Anda di halaman 1dari 36

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Blok Pengelolaan
Masalah Kesehatan.
Tujuan pembuatan Laporan Blok Gangguan Dermatomuskuloskeletal.. Skenario
adalah untuk mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan yang diberikan, sekaligus
memenuhi tugas Blok Pengelolaan Masalah Kesehatan.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
laporan ini dapat diselesaikan pada waktunya.
Kami menyadari bahwa dalam pengerjaan laporan ini jauh dari sempurna, baik dari
segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun, khususnya dari dosen guna menjadi acuan dalam bekal
pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Jayapura,22 November 2019

Tim Penyusun

i LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

SKENARIO................................................................................................................................3

STEP I KLARIFIKASI TERMINOLOGI................................................................................4

STEP II MENDEFINISIKAN MASALAH..............................................................................5

STEP III CURAH PENDAPAT KEMUNGKINAN HIPOTESIS.............................................6

STEP IV ANALISIS MASALAH..............................................................................................7

STEP V MEMFORMULASIKAN TUJUAN BELAJAR.........................................................8

STEP VI BELAJAR MANDIRI................................................................................................9

KESIMPULAN........................................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................30

ii LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


SKENARIO

Stunting pasti pendek, tetapi pendek belum tentu stunting. Mari mengenali
bedanya.Stunting mampu merenggut kesejahteraan dan masa depan anak-anak. Di
Indonesia, prevalensinya yang sangat tinggi tergolong masalah genting dan perlu
segera dituntaskan. Ini pula yang menjadi sorotan pada debat calon presiden putaran
ketiga 2019 pada Minggu, 17 Maret lalu.Anak stunting biasanya bisa dikenali dari
tubuh yang pendek. Namun, bukan berarti semua anak bertubuh pendek menandakan
stunting, meski tubuh lebih pendek juga perlu diwaspadai. Kebingungan soal
perbedaan ini pernah diungkap sebuah studi di Tanzania. Peneliti menemukan,
banyak orang tua yang sebetulnya menyadari pertumbuhan anak terhambat tetap
menganggap normal karena tak bisa membedakan kapan anak yang pendek
mengalami stunting atau gangguan pertumbuhan tertentu.Ketua Umum Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI), Dr. Dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K)., FAAP., dan Prof.
dr. Dodik Briawan MCN berpendapat perbedaan terbesar antara pendek dan stunting
terletak pada penyebab.Menurut mereka, tubuh pendek bisa disebabkan sangat
banyak hal, sedangkan stunting lebih disebabkan gizi buruk berkepanjangan
(malnutrisi kronis) ditambah sejumlah faktor terkait.“Selain kurangnya gizi, infeksi
berulang dan penyakit kronis menjadi penyebab stunting," kata dr Aman.Indonesia
termasuk negara dengan penderita gizi buruk akut dan kronis. Persentase balita
penderita stunting pada 2017 naik dibandingkan dua tahun sebelumnya, berada di
angka 29,6 persen dan wasting (kurus) sebanyak 9,5 persen, serta underweight (gizi
kurang) yakni 17,8 persen.Steven Dowshen, MD., menambahkan, agar lebih jeli
membedakan pendek dan stunting ada baiknya memahami dulu seperti apa pola
pertumbuhan anak berperawakan pendek (short stature), mengingat jenis dan
penyebab tubuh pendek cakupannya sangat luas.Berdasar variasi, papar Dowshen,
pola pertumbuhan anak terbagi dua. Normal dan tidak. Anak bertubuh pendek yang
normal, biasanya tidak memiliki gejala penyakit atau gangguan tertentu yang
memengaruhi tingkat dan kecepatan pertumbuhan. Ini bisa terjadi karena turunan

3 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


(genetik), mereka bisa tumbuh setinggi orang tuanya, atau karena terlambat tumbuh
(growth delay), di mana mereka mencapai pubertas lebih lambat, tapi cenderung bisa
mengejar tinggi teman-teman di masa dewasa. Penyebab anak terlambat tumbuh,
jelas spesialis anak Karen Gill, MD., karena “memiliki usia tulang tertunda, yang
berarti tulang mereka matang lebih lambat daripada usianya.” Sementara itu, lanjut
Dowshen, anak bertubuh pendek dengan pola pertumbuhan tidak normal biasanya
memiliki gangguan pertumbuhan (growth disorder) yang bisa mencegah mereka
tumbuh secara optimal.Sekitar lima persen gangguan pertumbuhan disebabkan
kondisi medis (faktor patologi) semisal penyakit kronis, hingga penyakit endokrin
atau kelainan hormon. Stunting sendiri merupakan salah satu jenis gangguan
pertumbuhan dalam kategori gagal tumbuh yang berbeda dari jenis lain.Dengan
demikian, "Kelainan hormon yang ada pada bapak dan ibu pendek itu tidak stunting,
kelainan tulang pun tidak stunting,” tegas dr Aman.Sebagai contoh, gangguan tubuh
pendek yang ekstrem atau disebut kerdil (dwarfisme), umumnya dibagi dua kategori.
Yakni proporsional—seluruh badan kecil dan pendek tapi pas di tubuh, dan tidak
proporsional—beberapa anggota tubuh bisa lebih pendek atau lebih besar dari yang
lain.Meski anak stunting memiliki tubuh proporsional, kerdil yang proporsional
biasanya sudah tampak begitu lahir karena kekurangan hormon pertumbuhan.
Sementara kerdil nonproporsional yang lebih umum kebanyakan disebabkan kelainan
genetik.Keduanya jelas berbeda dari stunting yang disebabkan kekurangan gizi akibat
kemiskinan. Terlebih lagi, dwarfisme dan gangguan pertumbuhan lain cenderung
tidak memengaruhi kecerdasan seseorang. "Stunting bukan hanya soal tubuh yang
pendek. Anak stunting empat kali lebih mudah meninggal, dan IQ-nya turun 11 poin,"
tutur Dr. dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A(K)., Konsultan Nutrisi dan Penyakit
Metabolik FKUI/RSCM, menerangkan efek stunting.Selain kerdil, jelas Gill, faktor
patologi berbeda menyebabkan anak tumbuh pendek dengan tanda-tanda berbeda
pula. Misal, jika anak pendek karena mengalami defisiensi hormon pertumbuhan
(GHD), pertumbuhan wajahnya akan terlihat sangat muda secara tidak normal.
Berdasarkan standar WHO, pertumbuhan anak berusia 0-5 tahun dikatakan
mengalami gangguan termasuk stunting bila nilai Z -2, atau seperti dibilang dr Aman,

4 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


jika tinggi badannya hanya sekitar 8,5-11,75 cm--lebih pendek daripada rata-rata
normal anak seusianya. Sementara anak bisa disebut dwarfisme dan stunting berat
(severely stunting) bila nilai Z -3.Lebih lanjut, dr Aman menekankan setiap anak bisa
tumbuh dengan kecepatan berbeda sekalipun mereka masih satu keluarga. Oleh sebab
itu, saran Francisco J. Rosales, MD, ScD, direktur medis Urusan Ilmiah dan Medis
dari Abbott, alih-alih membandingkan pertumbuhan satu anak dengan anak lain di
usia yang sama, lebih bijak jika orang tua secara teratur memantau pertumbuhan anak
dan segera mengonsultasikan ke dokter jika pertumbuhan melambat.

5 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


STEP I
KLARIFIKASI TERMINOLOGI

1. Stunting
-

6 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


STEP II
MENDEFINISIKAN MASALAH

1. Apa perbedaan antara stunting dan pendek?


2. Bagaimana kriteria anak yang dikatakan stunting dan pendek? Beserta
klasifikasinya!
3. Apa saja faktor-faktor yang dapat menyebabkan stunting dan pendek?
4. Bagaimana penanganan pada anak-anak yang mengalami stunting?
5. Bagaimana pencegahan terhadap anak yang mengalami stunting?
6. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak normal sesuai dengan usia?
7. Bagaimana insidensi stunting di Indonesia dan Papua?
8. Apa saja komplikasi terhadap anak yang mengalami stunting?

7 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


STEP III
CURAH PENDAPAT KEMUNGKINAN HIPOTESIS

1. Perbedaan antara stunting dan pendek terdapat pada penyebabnya.


2. –
3. Stunting dapat dipengaruhi oleh faktor kurang gizi yang kronis sedangkan
pendek dipengaruhi oleh hormone dan genetik.
4. Diberikan makanan yang bergizi dan segera dibawa ke fasilitas kesehatan agar
diperiksa.
5. Diberikan imunisasi pada anak, memberikan edukasi kepada orang tua dan
dilakukannya penyuluhan tentang stunting.
6. –
7. –
8. Anak yang mengalami stunting memiliki IQ yang rendah dan juga memiliki
resiko meninggal 4 kali lebih tinggi.

8 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


STEP IV

ANALISIS MASALAH

9 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


STEP V
MEMFORMULASIKAN TUJUAN BELAJAR

Mahasiswa mampu untuk memahami dan menjelaskan tentang:


1. Perbedaan antara stunting dan pendek.
2. Kriteria anak yang dikatakan stunting dan pendek beserta klasifikasinya.
3. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan stunting dan pendek.
4. Penanganan pada anak-anak yang mengalami stunting dan pendek.
5. Pencegahan pada anak-anak yang mengalami stunting.
6. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal sesuai usia.
7. Insidensi stunting di Indonesia dan Papua.
8. Komplikasi terhadap anak yang mengalami stunting.

10 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


STEP VI
BELAJAR MANDIRI
1. Apa yang dimaksud dengan primary survey dan jelaskan!
Primary survey
Menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian danmanajemen segera
terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan.tujuan dari
Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera
masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary
survey antara lain :[3]
1. Airway maintenance dengan cervical spine protection
2. Breathing dan oxygenation
3. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
4. Disability dan pemeriksaan neurologis singkat
5. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey
bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah
berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan
berhasil.Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain :[3]
a) General impression
 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa
responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada
atau tidaknya sumbatan jalan nafas seorang pasien yang dapat berbicara
dengan jelas maka jalan nafas pasien tersebut terbuka Pasien yang tidak sadar
mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi . Yang perlu
diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :[3]
1. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. pakah pasien dapat berbicara
atau bernafas dengan bebas

11 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


2. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara
lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan atau paradoxical chest
movements
 Sianosis
3. Look danlisten bukti adanya masalah pada saluran napas bagian
atas dan potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
4. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
5. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada
pasien yang berisikountuk mengalami cedera tulang belakang.
6. gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas
pasien sesuai indikasi :
 Chin lift / jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia
 Ropharyngeal airway/nasopharyngeal airway
 Lakukan intubasi
c) Breathing pernafasan
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan
nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien
tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah
dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open
chest injury dan ventlasi buatan .Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian
breathing pada pasien antara lain:[3]
1. Look,listen dan feel : lakukan penilaian terhadap %entilasi dan
oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. apakah ada
tanda-tanda sebagai berikut cyanosis: penetrating injury,

12 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


fail chest ,sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
 Palpasi untuk adanya :pergeseran trakea, fraktur ruling
iga, subcutane emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
2. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien
jika perlu.
3. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien;
kaji lebih lanjut mengenaikarakter dan kualitas pernafasan pasien.
4. Penilaian kembali status mental pasien.
5. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
6. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-valve Masker
 intubasi (endotrakeal ataunasal dengan konfirmasi penempatan
yang benar) jika diindikasikan
 catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced
airway procedures
7. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya
dan berikan terapisesuai kebutuhan.
d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan ok
sigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada
trauma,diagnosis syok didasarkan pada temuan klinis :hipotensi,
takikardi, takipnea, hipotermi, pucat ektermitas dingin,penurunan capillary
refill dan penurunan produksi urine . Olehkarena itu, dengan adanya
tanda&tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman
untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkantim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien,
antara lain :[3]
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.

13 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pe
mberian penekanan secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan :
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate(lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau
hipoksia (Capillary refill )
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

Hubungan primary survey dengan kasus :

1) Airway : bebas
2) Breathing :bebas
3) Circulation :
- Nadi: 128X/menit
- TD: 60/Palpasi
- Akral terba dingin
- CRT >4 detik

Syok hipovelemik adalah ketikan cairan keluar dari ruang


intravaskuler dikarenakan kehilangan eksternal ataun perpindahan cairan dari
pembulih darah keruang interstial atau ruang interstial atau ruang intrasel,
aliran balik vena ke jantung akan mengalami penurunan. Penurunan prelood
ini mengurangi pengisian ventrikel
sehingga terjadi penurunan volume sekuncup. Dengan demikian curah jantung
akan menurun penurunan ini mengurangi perfusi darah pada jaringan dan
organ tubuh .[3]

14 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN

Tabel 1 Derajat Hipovolemik Berdasarkan Estimated Blood Loss (EBL).


Dari hasil pengkajian dapat dinyatakan pasien mengalami :[3]

- Syok hipovelemik kelas III hal ini sesuai dengan table diatas dan
keadaan yang dialami pasien tersebut
- Penatalaksanaan : sesuai table diatas syok hipovelemi kelas III
membutuhkan koreksi awal yaitu cairan kortisol dan darah . Cairan
resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau
ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20
ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang dewasa.
Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan
tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat perbaikan
hemodinamik, maka pemberian kristaloid terus dilanjutnya. Pemberian
cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat perkiraan volume darah yang
hilang dalam waktu satu jam, karena distribusi cairan kirstaloid lebih
cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial.
e) (Disability) (Evaluasi Neurologis)
Disability merpakan evaluasi neuroogis secara cepat setelah survey
awal. Dengan evaluasi ini kita dapat menilai tingkat kesadaran, besar dan
reaksi pusi. Evaluasi ini mengguanakn metode AVPU, yaitu :[1]
- A Alert/Sadar
- V Vokal/Adanya Respon Terhadap Stimuli Vokal
- P Painul/Adanya Rspon Hanya Pada Rangsangan Nyeri
- U Unresponsive/Tidak Ada Respon Sama Sekali
f) (Eksposure) (Kontrol Lingkunagn)
Untuk melakukan pemeriksaan secara teliti pakaian penderita
harus dilepas, selain itu perlu dihindari terjadnya hipotermia.[1]
2. Bagaimana pemeriksaan penunjang dan interpretasinya?
Pemeriksaan radiologi dan interpretasi
Peran Radiologi :[5]
1. Diagnosis dan evaluasi tipe fraktur dan dislokasi
2. Monitoring hasil terapi dan komplikasi

Foto polos layak baca :[5]

15 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


1. 2 proyeksi
2. Satu sendi terfoto
3. Bandingkan yang normal dan yang abnormal

Evaluasi fraktur :[6]

1. Lokasi anatomi dan perluasan


2. Tipe : inkomplit atau komplit
3. Aligment : Displacement, angulasi, rotasi, shortening, distraksi
4. Arah garis fraktur terhadap aksi longitudinal
5. Gambaran fraktur khusus : Impaksi, depresi, kompresi
6. Keadaan khusus yang menyertai : fraktur dengan dislokasi atau
diastasis
7. Tipe khusus : Stress/traumatik/patologi fraktur

Gambar 1 Foto Rontgen Antebrachi AP

Foto abnormal antebrachi dextra posisi AP/lateral Penilaian radiologi terhadap


gambar di atas: [6]
 Alignment : Berubah. Terdapat fraktur dan dislokasi.
 Bone : Tampak fraktur kompresi pada 1/3 proksimal os ulna dextra
disertai dislokasi os radius proksimal dextra
 Celah sendi : Tidak tervisualisasi
dengan baik..
 Soft tissue : Jaringan lunak
sekitarnya swelling

16 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


Gambar 2 Foto Rontgen Cruris AP

Foto abnormal antebrachi dextra posisi AP/lateral Penilaian radiologi terhadap


gambar di atas: [6]

 Alignment : Berubah dan tampak fraktur.


 Bone : Tampak fraktur oblik pada 1/3 distal os tibia dextra.
 Celah sendi : Tidak tervisualisasi dengan baik.
 Soft tissue : Jaringan lunak sekitarnya tidak terdapat swelling
3. Apa diagnosis dari kasus tersebut?
 Diagnosis
Diagnosis fraktur dapat ditegakkan dengan riwayat penderita,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis.
 Riwayat
Faktor trauma kecepatan rendah atau taruma kecepatan tinggi sangat
penting dalam menentukan klasifikasi fraktur terbuk a karena akan
berdampak pada kerusakan jaringan itu sendiri. Riwayat trauma kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari tempat ketinggian, luka tembak dengan kecepatan
tinggi atau pukulan langsung oleh benda berat akan mengakibatkan
prognosis jelek dibanding trauma sederhana atau trauma olah raga. Penting
adanya deskripsi yang jelas mengenai keluhan penderita, biomekanisme
trauma, likasi dan derajat nyeri. Umur dan kondisi penderita sebelum
kejadian seperti penyakit hipertensi, diabetes melitus dan sebagainya
merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan juga. Kalau fraktur terjadi
akibat cedera ringan, curigailah lesi patologi. nyeri, memar, dan

17 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


pembengkakan adalah gejala yang sering ditemukan, tetapi gejala itu tidak
membedakan fraktur dari cedera jaringan lunak. Deformitas jauh lebih
mendukung. Selalu tanyakan mengenai gejala-gejala cedera yang
berkaitan, seperti baal atau hilangnya gerakan, kulit yang pucat / sianosis,
darah dalam urin, nyeri perut, hilangnya kesadaran untuk sementara.
Tanyakan juga tentang cedera sebelumnya.
 Pemeriksaan Fisik
Jaringan yang mengalami cedera juga harus ditangani dengan hati-hati.
Untuk menimbulkan krepitus atau gerakan yang abnormal tidak perlu
menimbulkan nyeri, diagnosis dengan foto rontgen lebih dapat diandalkan.
Namun butir-butir pemeriksaan klinik yang biasa harus selalu
dipertimbangkan, kalau tidak kerusakan pada arteri dan saraf dapat
terlewatkan. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah identisifikasi luka
secara jelas dan gangguan neurovaskular bagian distal dan lesi tersebut.
Pulsasi arteri bagian distal penderita hipotensi akan melemah dan dapat
menghilangkan sehingga dapat terjadi kesalahan penilaian vaskular
tersebut. bila disertai trauma kepala dan tulang belakang maka akan terjadi
kelainan sensasi nervus perifer di distal lesi tersebut. Pemeriksaan kulit
seperti kontaminasi dan tanda-tanda lain perlu dicatat. Pemeriksaan yang
dilakukan adalah :
i. Look (inspeksi)
Pembengkakan, memar, dan deformitas mungkin terlihat jelas,
tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh atau tidak. Kalau
kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera itu
terbuka (compound).

ii. Feel (palpasi)


Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa
bagian distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji
sensasi. Cedera pembuluh darah adalah keadaad darurat yang
memerulkan pembedahan.
iii. Movement (gerakan)

18 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih
pnting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakkan sendi-
sendi di bagian distal dari cedera.
 Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk menentukan keparahan
kerusakan tulang dan jaringn lunak yang berhubungn dengan derajat energi
dari trauma itu sendiri. Bayangan udara di jaringan lunak merupakan
petunjuk dalam melakukan pembersihan luka atau irigasi dalam melakukan
debridement. Bila bayangan udara tersebut tidak berhubungan dengan
daerah fraktur maka dapat ditentukan bahwa fraktur tersebut adalah fraktur
tertutup. Radiografi dapat terlihat bayangan benda asing disekitar lesi
sehingga dapat diketahui derajat keparahan kontaminasi disamping melihat
kondisi fraktur atau tipe fraktur itu sendiri. Diagnosis fraktur dengan tanda-
tanda klasik dapat ditegakkan secara klinis, namun pemeriksaan radiologis
tetap diperlukan untuk konfirmasi untuk melengkapi deskripsi fraktur,
kritik medikolegal, rencana terapi dan dasar untuk tindakan selanjutnya.
Sedangkan untuk fraktur-fraktur yang tidak memberikan gejala kalsik
dalam menentukan diagnosa harus dibantu pemeriksaan radiologis sebagai
gold standart.
Untuk menghindari kesalahan maka dikenali formulasi hukum dua
yaitu :

1. Dua posisi proyeksi


Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film rontgen tunggal,
dan sekurang-kurangnya harus dilakukan dua sudut pandang
(anteroposterior dan lateral).
2. Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur dan
angulasi. Tetapi, angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang

19 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


yang lain juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendi-sendi
di atas dan di bawah fraktur keduanya harus disertakan pada foto
rontgen.
3. Dua anggota gerak
Pada rontgen tulang anak-anak epifisis yang normal dapat mengacaukan
diagnosis fraktur. Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.
4. Dua trauma
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari satu
tingkat. Karena itu, bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur, perlu
juga diambil foto rontgen pada pelvis dan tulang belakang.
5. Dua kali dilakukan foto
Segera setelah cedera, suatu fraktur (skafoid karpal) mungkin sulit
dilihat. Kalau ragu-ragu, sebagai akibat resorpsi tulang, pemeriksaan
lebih jauh 10-14 hari kemudian dapat memudahkan diagnosis.

 Pencitraan kasus
Kadang-kadang fraktur atau keseluruhan fraktur tidak nyata pada foto
rontgen biasa. Tomografi mungkin berguna untuk lesi spinal atau fraktur
kondilus tibia. CT atau MRI mungkin merupakan satu-satunya cara untuk
menunjukkan apakah fraktur vertebra mengancam akan menekan medula
spinalis, sesungguhnya potret transeksional sangat penting untuk visualisasi
fraktur secara tepat pada tempat yang sukar misalnya kalkaneus atau
asetabulum, dan potret rekonstruksi tiga dimensi bahkan lebih baik.
Scanning radioisotop berguna untuk mendiagnosis fraktur tekanan yang
dicurigai atau fraktur tidak bergeser yang lain.
Anamnesis :
- Anak laki-laki 12 tahun
- Jatuh tertabrak motor
- Jatuh dengan posisi telapak tanggan kanan sebagai tumpuhan
badan
- Terhempas sejauh 2 meter dari titik kejadian
- Mengalami tubrukan yang cukup keras pada tungkai kanan bawah.

20 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


Pemeriksaan fisik :
Primary survey
1. Airway : bebas
2. Breathing : bebas
3. Circulation : - TD 60 / palpasi
- Denyut nadi 128 x / menit
- Regular dan teraba lemah (tidak kuat angkat )
-Aakral teraba dinggin
- CRT > 4 detik
4. Resusitasi evaluasi disability tidak menunjukan abnormal
5. Exposure ditemukan luka terbuka ukuran 10 cm x 2 cm x 7 cm
dengan dasar tulang pada tungkai bawah kanan.
6. Pulsasi arteri dorsalis pedis dextra teraba sangat lemah.
7. Pada antebrahi dekstra ditemukan edema
8. Deformitas pada region ulna
9. Posisi tanggan pronasi dan dan terjadi perbedaan panjang
terhadap lengan sinistra sejauh 4 cm.

Pemeriksaan Penunjang :

1. Rontgen
Ditemukan gambaran seperti di bawah ini :

21 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


Diagnosis

1. Fraktur monteggia
Karena frakturnya terjadi pada os ulna dan disertai dislokasi os radius
proksimal.
2. Open fraktur 1/3 distal Os tibia dekstra.
Karena frakturnya terjadi pada os tibia 1/3 distal dan terjadi hubungan
dengan lingkugan luar melalui kulit sehingga disebut fraktur terbuka.

Definisi Fraktur

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,


tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial.

Patofisiologi

Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma
baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil
atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan
menyangga, juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah
tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak
berkontraksi.Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup,
tertutup bila tidak ter dapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar, terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
oleh karena perlukaan di kulit.

Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat


patah dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak

22 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


juga biasanya me ngalami kerusakan. reaksi peradangan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut, Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. di tempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur ) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel
baru, aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang
disebut callus, bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati.

Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang


berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani
dapat menurunkan asupan darah ke ekstrem itas dan mengakibatkan
kerusakan saraf perifer, bila tidak terkontrol pembe ngkakan dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat
berakibat anoksia jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf
maupun jaringan otot, komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen.

Klasifikasi Fraktur

A. Klasifikasi Etiologis
 Fraktur traumatik : Terjadi karena trauma yang tiba-tiba.
 Fraktur patologis : Terjadi pada tulang karena adanya kelainan atau
penyakit yang menyebabkan kelemahan pada tulang (infeksi,
tumor, kelainan bawaan) dan dapat terjadi secara spontan atau
akibat trauma ringan.
 Fraktur stress : Terjadi karena adanya stress yang kecil dan
berulang-ulang pada daerah tulang yang menopang berat badan.
Fraktur stress jarang sekali ditemukan pada anggota gerak atas.

Pada sekenario tersebut pasien terjadi fraktur disebabkan traumatic


akibat tertabrak motor.

B. Klasifikasi klinis

23 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


 Fraktur tertutup (simple fraktur), bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
 Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
 Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
 Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
 Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
 Fraktur terbuka (compoun fraktur), bila terdapat hubungan antara
Fragmen tulang dengan dunia luar. Karena adanya perlukaan
dikulit. Fraktur dengan komplikasi, misal malunion, delayed,
union, nonumion,infeksi tulang.Fraktur terbuka dibagi atas 3
derajat Menurut Gustilo, Merkow dan Templeman, yaitu :
 Derajat I : Luka kecil < 1 cm panjangnya, biasaya karena luka
tusukan dari fragmen tulang yang menembus keluar kulit,
terdapat sedikit kerusakan jaringan dan tidak dapat tanda-tanda
trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi
biasanya bersifat simple, tranversal, oblik pendek atau sedikit
komuitif.
 Derajat II : Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak ada
kerusakan jaringa yang hebat atau avulse kulit. Terdapat
kerusakan yang sedang dari jaringan dengan sedikit
kontaminasi dari fraktur.
 Derajat III : Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak
termasuk otot, kulit dan struktur neurovaskuler dengan
kontaminasi yang hebat. Tipe ini biasanya disebabkan oleh
karena trauma kecepatan tinggi.
Derajat III dibagi lagi kedalam tiga subtype :
1) Tipe III a

24 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun
terdapat laserasi yang hebat ataupun adanya flap, fraktur bersifat
segmental atau komunitif yang hebat.

2) Tipe III b
Fraktur disertai dengan trauma hebat dengan kerusakan dan
kehilangan jaringan, terdapat pendorong ( stripping ) periost,
tulang terbuka, kontaminasi yang hebat serta fraktur komunitif
hebat.
3) Tipe III c
Fraktur terbuka dengan kerusakan arteri yang memerluka
perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan jaringan
lunak.
Pada pasien tersebut terjadi fraktur moteggia tertutup dan fraktur
Os tibia terbuka.

C. Klasifikasi radiologis
i. Lokalisasi : diafisial, metafisial, intra-artikuler, fraktur dengan
dislokasi.
ii. Konfigurasi: fraktur transfersal, fraktur oblik, fraktur spinal,
fraktur segmental, fraktur komunitif (lebih dari deaf ragmen),
fraktur beji biasa vertebra karena trauma, fraktur avulse, fraktur
depresi, fraktur pecah, dan fraktur epifisis.
iii. Menurut ekstensi : fraktur total, fraktur tidak total, fraktur buckle
atau torus, fraktur garis rambut, dan fraktur green stick.
iv. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya :
tidak bergeser, bergeser (berdampingan, angulasi, rotasi,
distraksi, overring, dan impaksi).
4. Bagaimana penatalaksaan dari kasus tersebut?
 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Awal

25 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


Tatalaksana tersebut adalah pemasangan bidai sederhana. Pemasangan
bidai dilakukan setelah dipastikan tidak ada gangguan pada pernapasan
dan sirkulasi korban dan luka sudah ditangani. Bidai bertujuan untuk
mencegah pergerakan (imobilisasi) pada tulang dan sendi yang mengalami
cedera. Imobilisasi ini menghindari pergerakan yang tidak perlu, sehingga
mencegah perburukan patah tulang dan cedera sendi serta menghindari
rasa nyeri. Pemasangan bidai juga akan memberikan gaya tarik dengan
perlahan namun konsisten sehingga membantu mereposisi bagian yang
cedera mendekati posisi normalnya.Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pemasangan bidai, yaitu:[9]
- Bidai harus cukup panjang. Pada kasus patah tulang: Melewati
sendi yang ada di pangkal dan ujung tulang yang patah. Pada kasus
cedera sendi: Mencapai dua tulang yang mengapit sendi yang
cedera.
- Bidai harus cukup kuat untuk menghindari gerakan pada bagian
yang patah tulang atau sendi yang cedera, namun tidak
mengganggu sirkulasi.
- Bila tidak ada alat yang kaku untuk dijadikan bidai, bagian tubuh
yang cedera bisa diikatkan dengan bagian tubuh yang sehat,
misalnya dengan membalut lengan ke tubuh, atau membalut kaki
ke kaki yang sehat.
- Jangan meluruskan (reposisi) tangan atau kaki yang mengalami
deformitas, pasang bidai apa adanya.

Berikut adalah langkah-langkah pemasangan bidai:[9]


1. Pastikan lokasi luka, patah tulang atau cedera sendi dengan
memeriksa keseluruhan tubuh korban (expose) dan membuka
segala jenis aksesoris yang menghalangi (apabila tidak melukai
korban lebih jauh)
2. Perhatikan kondisi tubuh korban, tangani perdarahan jika perlu.
Bila terdapat tulang yang mencuat, buatlah donat dengan

26 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


menggunakan kain dan letakkan pada tulang untuk mencegah
pergerakan tulang.
3. Memeriksa PMS korban, apakah pada ujung tubuh korban yang
cedera masih teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat digerakkan (M,
Motorik), dan masih dapat merasakan sentuhan (S, Sensorik) atau
tidak.
4. Tempatkan bidai di minimal dua sisi anggota badan yang cedera
(misal sisi samping kanan, kiri, atau bagian bawah). Letakkan
bidai sesuai dengan lokasi cedera.
5. Hindari mengangkat tubuh pasien untuk memindahkan pengikat
bidai melalui bawah bagian tubuh tersebut. Pindahkan pengikat
bidai melalui celah antara lekukan tubuh dan lantai. Hindari
membuat simpul di permukaan patah tulang.
6. Buatlah simpul di daerah pangkal dan ujung area yang patah
berada pada satu sisi yang sama. Lalu, pastikan bidai dapat
mencegah pergerakan sisi anggota badan yang patah. Beri
bantalan/padding pada daerah tonjolan tulang yang bersentuhan
dengan papan bidai dengan menggunakan kain.
7. Memeriksa kembali PMS korban, apakah pada ujung tubuh korban
yang cedera masih teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat digerakkan
(M, Motorik), dan masih dapat merasakan sentuhan (S, Sensorik)
atau tidak. Bandingkan dengan keadaan saat sebelum pemasangan
bidai. Apabila terjadi perubahan kondisi yang memburuk (seperti:
nadi tidak teraba dan / atau tidak dapat merasakan sentuhan dan /
atau tidak dapat digerakkan) maka pemasangan bidai perlu
dilonggarkan.
8. Tanyakan kepada korban apakah bidai dipasang terlalu ketat atau
tidak. Longgarkan balutan bidai jika kulit disekitarnya menjadi
pucat atau kebiruan, sakit bertambah, kulit di ujung tubuh yang
cedera menjadi dingin,dan ada kesemutan atau mati rasa

27 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


Gambar 3 Pemasangan bidai untuk patah tulang
lengan bawah

Gambar 4 Pemasangan bidai untuk patah tulang


tungkai bawah

2. Penatalaksanaan fraktur luka terbuka : [10]


 Pembersihan terhadap luka fraktur, dengan cara irigasi dengan NaCl
fisiologis secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang
melekat.

28 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


 Balut luka untuk menghentikan perdarahan, pada fraktur dengan
tulang menonjol keluar sedapat mungkin dihindari memasukkan
komponen tulang tersebut kembali ke dalam luka.
 Fraktur dengan luka yang berat memerlukan suatu traksi skeletal.
Fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.
 Pemberian antibiotika: merupakan cara efektif mencegah terjadinya
infeksi pada fraktur terbuka. Antibiotika yang diberikan sebaiknya
dengan dosis yang besar. Untuk fraktur terbuka antibiotika yang
dianjurkan adalah golongan cephalosporin, dan dikombinasi dengan
golongan aminoglikosida.
 Pencegahan tetanus: Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu
diberikan pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat
imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi bagi yang belum,
dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia).
3. Penatalaksanaan Luka Tertutup : [10]
- Semua fraktur dikelola secara emergensi.
- Lakukan penilaian awal akan adanya cedera lain yang dapat
mengancam jiwa.
- Pasang cairan untuk mengantisipasi kehilangan darah yang tidak
terlihat misalnya pada fraktur pelvis dan fraktur tulang panjang
- Lakukan stabilisasi fraktur dengan spalk, waspadai adanya tanda-tanda
kompartemen syndrome seperti odema, kulit yang mengkilat dan
adanya nyeri tekan.
5. Bagaimana prognosis dari kasus tersebut?
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, namun quo ad fungsionamnya adalah dubia ad
bonam. Hal ini bergantung kepada kecepatan dan ketepatan tindakan yang
dilakukan, dan pada usia pasien juga berpengaruh. Hal ini disebabkan aktivtas
osteogenesis pada periosteum dan endosteum.[10]
Edukasi : [11]
1. Memberikan motivasi agar pasien terus berlatih
2. Untuk mengurangi udem pasien disuruh menyangga tungkai yang sakit
dengan bantal dan diletakkan lebih tinggi dari posisi jantung

29 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


3. Menganjurkan pada pasien untuk melakukan gerakan dorsi fleksi-plantar
fleksi maupun inervasi-eversi, fleksi ekstensi lutut secara aktif yang
sebelumnya diberikan contoh oleh fisioterapi.
4. Menganjurkan pasien agar tidak menapakkan kaki yang sakit ke lantai.

6. Bagaimana rehabilitasi medik yang dilakukan pada pasien tersebut?



Defenisi
Menurut kamus kedokteran Dorland edisi 29, definisi rehabilitasi
adalah pemulihan ke bentuk atau fungsi yang normal setelah terjadi luka atau
sakit, atau pemulihan pasien yang sakit atau cedera pada tingkat fungsional
optimal di rumah dan masyarakat, dalam hubungan dengan aktivitas fisik,
psikososial, kejuruan dan rekreasi. Jika seseorang mengalami luka, sakit, atau
cedera maka tahap yang harus dilewati adalah penyembuhan terlebih dulu. [2]
Setelah penyembuhan atau pengobatan dijalani maka masuk ke tahap
pemulihan. Tahap pemulihan inilah yang disebut dengan rehabilitasi. Jadi,
rehabilitasi medis adalah cabang ilmu kedokteran yang menekankan pada
pemulihan fungsional pasien agar aktivitas fisik, psikososial, kejuruan, dan
rekreasinya bisa kembali normal. Menurut Depkes, rehabilitasi adalah proses
pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atau
usaha mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan
kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang
ada padanya.Sehingga pelayanan rehabilitasi medik merupakan pelayanan
kesehatan terhadap gangguan fisik dan fungsi yang diakibatkan oleh
keadaan/kondisi sakit, penyakit atau cedera melalui paduan intervensi medik,
keterapian fisik dan atau rehabilitatif untuk mencapai kemampuan fungsi yang
optimal. Ilmu Rehabilitasi Medik (disebut juga sebagai ilmu kedokteran fisik
dan rehabilitasi) adalah ilmu yang mengkhususkan diri dalam pelayanan
masyarakat sejak bayi, anak, remaja, dewasa sampai usia tua, yang
memerlukan asuhan rehabilitasi medis. Dimana pelayanan yang diberikan
adalah untuk mencegah terjadinya kecacatan yang mungkin terjadi akibat

30 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


penyakit yang diderita serta mengembalikan kemampuan penderita seoptimal
mungkin sesuai kemampuan yang ada pada penderita.[12]

Tujuan Rehabilitasi Medik
Rehabilitasi medik dilakukan pada penderita dengan atau tanpa
kecacatan. Rehabilitasi medik harus dimulai dari awal, yaitu sebelum, selama
dan sesudah suatu tindakan dilakukan dan diteruskan sampai tercapai fungsi
optimal atau menjadi normal bila memungkinkan. Tujuan : [1]

 Mempertahankan fungsi otot dan sendi.

 Mencegah atrofi otot, adhesi dan kekakuan sendi.

 Mencegah terjadinya komplikasi seperti dekubitus, thrombosis


vena, infeksi saluran kemih dan batu ginjal.


Gangguan Fungsi
Menurut WHO tingkatan gangguan fungsi dapat dikategorikan sebagai
berikut:[12]
1. Impairment, yaitu keadaan kehilangan atau ketidaknormalan dari kondisi
psikologis, fisiologis, atau struktur anatomi atau fungsi.
2. Disability, yaitu segala restriksi atau kekurangan kemampuan untuk
melakukan aktivitas dalam lingkup wajar bagi manusia yang diakibatkan
impairment.
3. Handicap, yaitu hambatan dalam individu yang diakibatkan oleh
impairment dan disability yang membatasi pemenuhan peran wajar
seseorang sesuai dengan faktor umur, seks, sosial, dan budaya.
Bertitik tolak dari kerangka pemikiran upaya rehabilitasi fisik tersebut
maka penanganan bersifat komprehensif, sehingga layanan rehabilitasi dapat
diartikan sebagai upaya terkoordinasi yang bersifat medik, sosial, edukasi dan
kekaryaan untuk melatih sesseorang kearah tercapainya kemampuan
fungsional semaksimal mungkin, dan menjadikan individu sebagai anggota
masyarakat yang berswasembada dan berguna. Upaya rehabilitasi fisik
merupakan upaya medik untuk mencegah terjadinya impairment, disability,
dan handicap dengan memanfaatkan kemampuan yang ada.

31 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN



Pelayanan dalam Rehabilitasi Medik : [12]
1. Pelayanan Fisioterapi
Adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan
memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang kehidupan dengan
menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan
(fisik, elektroterapeutis, dan mekanis), pelatihan fungsi dan komunikasi.
2. Pelayanan Terapi Wicara
Adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan atau kelompok untuk memulihkan dan mengupayakan
kompensasi atau adaptasi fungsi komunikasi, bicara dan menelan dengan
melalui pelatihan remediasi, stimulasi dan fasilitasi (fisik,
elektroterapeutis, dan mekanis).
3. Pelayanan Terapi Okupasi
Adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara,
memulihkan fungsi dan atau mengupayakan kompensasi/adaptasi untuk
aktifitas seharti-hari (Activity Day Life), produktifitas dan waktu luang
melalui pelatihan remediasi, stimulasi dan fasilitasi.
4. Pelayanan Ortotis-Prostetis
Adalah salah satu bentuk pelayanan keteknisian medik yang
ditujukan kepada individu untuk merancang, membuat dan mengepas alat
bantu guna pemeliharaan dan pemulihan fungsi, atau pengganti anggota
gerak.

Tim Rehabilitasi Medik
Tim rehabilitasi medik dilakukan oleh tim yang terdiri dari berbagai
disiplin ilmu, diantaranya:[12]
1. Dokter rehabilitasi medik sebagai ketua tim yang menyusun program
rehabilitasi.

32 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


2. Perawat rehabilitasi, melakukan positioning yang benar, untuk
mencegah komplikasi serta memperpendek masa pemulihan.Latihan
buang air besar/kecil, aktivitas sehari-hari, transfer, mobilisasi bersama
fisioterapis dan terapi okupasi dilakukan di bangsal.
3. Fisioterapist, memeriksa dan mengevaluasi gangguan motorik dan
sensorik yang mempengaruhi fungsi dan menyesuaikan program
fisioterapi secara individu sesuai keadaan pasien.
4. Okupational Terapist, memeriksa, mengevaluasi dan menyusun
program yang berhubungan dengan Aktivitas Kehidupan Sehari-hari
(AKS) misalnya cara makan, menulis, berpakaian, membersihkan diri
sendiri, dan lain-lain.
5. Pekerja sosial medik, mengadakan penilaian terhadap kebutuhan
penderita dan keluarganya selama dirawat, di rumah dan di masyarakat
serta sumber daya yang dipunyainya.
6. Speech therapist (terapi wicara) yaitu mengevaluasi masalah-masalah
komunikasi.
7. Psikologi, mengevaluasi keadaan psikologi penderita secara tuntas,
termasuk keluarganya.
8. Ortotik-prostetik, mengevaluasi dan mengadakan alat-alat bantu yang
telah disesuaikan guna memperbaiki aktivitas.
9. Penderita dan keluarga, melengkapi tim rehabilitasi. Diskusi yang
memadai mengenai penyakit dan defisit neurologis adalah penting
untuk mengetahui gangguan fungsional yang sebenarnya.
10. Rohaniawan.

33 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


34 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN
KESIMPULAN

35 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN


DAFTAR PUSTAKA

1. Rasjad , Chairuddin. 2012.


Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi Edisi Ketiga. Jakarta: Yarsi Watampone.
2. Dorland, W.N. 2015. Kamus
Saku Kedokteran Dorland, ed. 29. Jakarta :Elsevier.
3. ACS Commites On Trauma,
2012. Advanced Trauma Life Support (Atls) Student Course Manual, 9th Ed.
Chicago:American College Of Surgeons
4. Fulde. Gordian. 2009.
Emergency Medicine 5th Edition. Australia: Elsevier
5. Fuaz N, Mackuli S, Wollstein R.
2016. Distal Radius Fracture with Associated Ulnar Head Fracture. J of Clinical
Orthopaedics and Trauma.
6. Sammer DM, et al.2012.
Management of the Distal Radioulnar Joint and Ulnar Styloid Fracture. Hand
Clin
7. Ade Indra
8. Ade Indra
9. Emergency Informations System,
Inc. Fractures. 2011 [updated 2011, cited April 2014]. [Figure] Fracture of the
forearm. Available from: http://911emg.com/firstaid-forearm.html
10. Menteri Kesehatan RI, 2014.
PERMENKESNO. 5 Tahun 2014Tentang Panduan Praktk Klinis Bagi Dokter di
Fasilitasi Pelayanan Kesehatan Sekunder.
11. Garrison, S. J, 1996; Dasar-
dasar terapi latihan dan rehabilitasi fisik; Terjamahan Hipocrates, Jakarta.
12. Ahmad Toha M. 1996. Peranan
Rehabilitasi Medis dalam Pelayanan Kesehatan. Bandung. FK UNPAD.

36 LAPORAN BLOK PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN

Anda mungkin juga menyukai