Anda di halaman 1dari 3

Salim adalah petani kelahiran Lumajang, 22 April 1969.

Tanah garapannya berada di sekitar


lokasi penambangan pasir di pesisir pantai selatan Watu Pecak.

Sawah Salim cuma seluas delapan petak (sekitar 1,5 hektar). Tapi lahan itulah satu-satunya
sumber penghidupan Salim sekeluarga. Ia bergantung pada sistem agraria, sebagaimana profesi
yang dilakoni para tetangga di kanan-kiri rumahnya.

Salim tidak sempat mengenyam bangku sekolah. Tapi, dari apa yang ia lihat dengan mata
kepala sendiri, Salim memahami bahwa penambangan pasir ilegal mengancam kelestarian
lingkungan.

Sejak 2013 dampak pertambangan pasir sudah mulai dirasakan petani Desa Selok Awar-Awar.
Irigasi pertanian rusak. Warga tidak bisa menanam padi karena pertambangan merusak pesisir,
air laut masuk ke daratan dan menggenangi areal persawahan.

Salim tidak bisa lagi menggarap sawahnya akibat kerusakan-kerusakan tersebut. Ia dan
beberapa warga kemudian membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-
Awar. Anggotanya terdiri dari 12 orang dengan teman masa kecilnya, Hamid, selaku
koordinator.

Forum mulai bergerak memprotes penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar sejak awal
2015. Pada Juni, misalnya, mereka mengirim surat kepada Bupati Lumajang untuk meminta
audiensi. Sayangnya tidak ada respon dari pihak kabupaten yang diwakili Camat Pasirian.

Memasuki September, forum masih konsisten menyuarakan advokasinya. Pada tanggal 9 di


bulan yang sama mereka menggelar aksi damai untuk menuntut penghentian aktivitas truk
bermuatan pasir yang berpusat di Balai Desa Selok Awar-Awar.

Kepala Desa Haryono akhirnya melunak. Ia menandatangani surat pernyataan untuk


menghentikan aktivitas tambang. Hal ini membuat forum merasa sedikit lega. Namun, yang
tidak diketahui anggota forum, Haryono sebenarnya masuk dalam komplotan pendukung
tambang.

Haryono sudah lama merasa gerah dengan aksi Salim dan kawan-kawan. Keesokan harinya,
Desir dan gerombolan preman yang dibentuk diam-diam oleh Haryono mengirim ancaman
pembunuhan kepada anggota forum. Harapannya agar forum ciut nyali dan penambang bisa
leluasa menjalankan aktivitas.

Baca juga: Dua Mata Pisau Peringatan Hari Sawit: Devisa dan Kerusakan Hutan

Haryono keliru. Isu tambang adalah perkara hidup dan mati bagi para petani di Selok Awar-
Awar. Keberanian forum tetap terjaga. Meski demikian, karena merasa posisinya sedang
terancam, forum kemudian melaporkan aksi main ancam komplotan Desir ke Polres Lumajang.

Kasat Reskrim menanggapinya dengan menjamin keamanan anggota forum dan menjalin
koordinasi dengan Polsek Pasirian. Pada 19 September, forum menerima surat pemberitahuan
terkait nama-nama penyidik yang akan menangani kasus ancaman pembunuhan.

Forum sempat merasa lega. Mereka melanjutkan perjuangan dengan mengadakan konsolidasi
aksi penolakan tambang pasir pada 25 September. Rencananya aksi akan digelar keesokan hari
sekitar pukul 07.30 WIB dan melibatkan warga luar forum yang bersimpati.

Lagi-lagi, yang tidak mereka ketahui, di waktu yang sama para preman sedang mempersiapkan
serangan balasan. Salim dijadikan target utama karena ia adalah anggota forum yang paling
vokal.

Kronologi yang dilansir dari laman Selamatkan Bumi menyebutkan Salim dijemput paksa dari
rumahnya dalam kondisi tangan diikat tali. Sepanjang jalan menuju Balai Desa, yang berjarak
kurang lebih dua kilometer, ia mendapat penyiksaan berat.
Pukulan tangan kosong, hantaman kayu, terjangan batu, berkali-kali mendarat di tubuhnya
yang sudah lunglai. Kepalanya mengucurkan darah, yang membasahi bajunya yang mulai koyak.
Gerombolan pelaku benar-benar bernafsu menghabisi nyawa Salim.

Dari Balai Desa, Salim dibawa menuju sebuah jalan yang sepi ke arah makam. Di sana ia
mendapat penyiksaan yang lebih kejam lagi. Tubuhnya disetrum. Kepalanya digorok. Seonggok
batu besar dihajarkan ke kepalanya.

Sabtu, 26 September 2015, tepat hari ini tiga tahun lalu, Salim Kancil meregang nyawa. Mayat
pria berusia 46 itu dibiarkan tergeletak begitu saja di pinggir jalan.

Kawan Salim, salah satu anggota forum bernama Tosan, juga diamuk komplotan Desir. Tosan
pagi itu sedang membagikan selebaran anti-tambang. Ia sempat kabur dengan menggunakan
sepeda, namun terjatuh di Lapangan Persil. Ia mendapat perlakuan yang persis seperti yang
dialami Salim di balai desa.

Tosan bernasib lebih baik. Penganiayaan berhenti sebab ia berpura-pura meninggal, demikian
tuturnya saat sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (25/2/2016), seperti dikutip Antara.
Ia selamat setelah dibawa ke Rumah Sakit Saiful Anwar, Malang.

Puluhan pelaku diamankan dalam kasus ini. Dua otak pembunuhan, Haryono dan Desir, divonis
20 tahun penjara pada persidangan bulan Juni 2016. Vonis ini dinilai mengecewakan bagi Tosan
yang berharap pelaku dihukum mati.

Anda mungkin juga menyukai