Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Diperkirakan 15 persen dari 3000 spesies ular yang ditemukan di seluruh
dunia dianggap berbahaya bagi manusia. Dalam tiga tahun terakhir, AAPCC
(American Association of Poison ControlCenters )telah melaporkan rata-rata
terdapat 6000 kasus gigitan ular (snake bites) per tahun nya, dan 2000 kasus
diantaranya disebabkan oleh ular berbisa. (Gold, Barry S.,Richard, 2002)
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan
berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan
sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia.Pada kenyataannya bukan
hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan.
Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan
dan hewan.Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di
daerah tropis dan subtropis.Mengingat masih sering terjadi keracunan akibat
gigitan ular maka untuk dapat menambah pengetahuan masyarakat kami
menyampaikan informasi mengenai bahaya dan pertolongan terhadap gigitan
ular berbisa.
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di
Indonesia.Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak
berbisa.Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas.Pada
taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh
mangsanya.Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk
melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri.
Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh
kelenjar khusus.

1
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu kelenjar ludah
parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata.Bisa
ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik. Patofisologi atau
proses bisa ular masuk ke dalam tubuh untuk setiap ular kurang lebih sama.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PATOFISIOLOGI GIGITAN ULAR


Pada seorang anak yang digigit ular, perlu dilakukan pemeriksaan apakah
ular yang menggigit anak tersebut berbisa atau tidak. (Anik Muryani, 2010).
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein. Jumlah
bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia
ular. Bisa ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur. (Gold
BS, 2002) Secara mikroskop elektron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan
protein yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding
pembuluh darah, sehingga menyebabkan kerusakan membran plasma.Komponen
peptida bisa ular dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada
pada tubuh korban. (Dart RC & Barrish RA, 2002).
Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah
mata.Bisa ular dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring yang terdapat di
rahang atas. Gigi taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake (ular
derik) yang besar. Dosis bisa setiap gigitan tergantung pada waktu yang berlalu
sejak gigitan terakhir, derajat ancaman yang dirasakan ular, dan ukuran mangsa.
Lubang hidung ular merespon panas yang dikeluarkan mangsa, yang
memungkinkan ular untuk mengubah-ubah jumlah bisa yang akan dikeluarkan.
Semua metode injeksi venom ke dalam korban (envenomasi) adalah untuk
mengimobilisasi secara cepat dan mulai mencernanya.Sebagian besar bisa terdiri
dari air.Protein enzimatik pada bisa menginformasikan kekuatan destruktifnya.
Bisa ular terdiri dari bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase,
ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase,
DNA-ase. Mangsa gigitan ular jenis Elapidae, biasanya akan mengalami
pendarahan kesan daripada luka yang berlaku pada saluran darah dan pencairan
darah merah yang mana darah sukar untuk membeku.

3
Pendarahan biasanya akan berterusan selama beberapa hari. Pendarahan
pada gusi, muntah darah, ludah atau batuk berdarah dan air kencing berdarah
adalah kesan nyata bagi keracunan bisa ular jenis Elapidae. Walaupun tragedi
kematian adalah jarang, kehilangan darah yang banyak akan mengancam nyawa
mangsa. Bila tidak mendapat anti venom akan terjadi kelemahan anggota tubuh
dan paralisis pernafasan. Biasanya full paralysis akan memakan waktu lebih
kurang 12 jam, pada beberapa kasus biasanya menjadi lebih cepat, 3 jam setelah
gigitan. Beberapa Spesies ular dapat menyebabkan terjadinya koagulopathy.
Tanda- tanda klinis yang dapat ditemui adalah keluarnya darah terus menerus
dari tempat gigitan, venipunctur dari gusi, dan bila berkembang akan
menimbulkan hematuria, haematomisis, melena dan batuk darah. Tidak ada cara
sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa.
Beberapa spesies ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular
berbisa.Namun, beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk,
warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam.Beberapa
ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada
luka bekas gigitan terdapat bekas taring.

2.1.1 Ciri – ciri ular tidak berbisa :


1. Bentuk kepala segi empat panjang
2. Gigi taring kecil
3. Bekas gigitan luka halus berbentuk lengkungan
2.1.2 Ciri-ciri ular berbisa:
1. Bentuk kepala segitiga
2. Dua gigi taring besar di rahang atas
3. Bekas gigitan dua luka gigitan utama akibat gigi taring

4
Gambar 2.1 Ciri–ciri ular tidak berbisa & Ular Tidak berbisa

Gambar 2.2 Bekas Gigitan Ular

Tabel 2.1 Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa


Tidak berbisa Berbisa
Bentuk Kepala Bulat Elips, Segitiga
Gigi Taring Gigi Kecil 2 gigi taring besar
Bekas Gigitan Lengkung seperti U Terdapat 2 titik
Warna Warna Warni Gelap

5
2.1.3 SIFAT BISA ULAR :
Bisa ular mengandung toksin yang berasal dari air liur. Bisa tersebut
bersifat:
 Neurotoksin: berakibat pada sistem saraf dan otak. Berakibat fatal karena
paralise otot-otot lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan,
kardiovaskuler yang terganggu, derajat kesadaran menurun sampai dengan
koma.
 Haemotoksin: berakibat pada jantung dan pembuluh darah dan bersifat
hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya atau menyebabkan
koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai
akibat lisisnya sel darah merah karena toksin. Manifestasi klinis: luka bekas
gigitan yang terus berdarah, haematom pada tiap suntikan IM, hematuria,
hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal.
 Myotoksin: mengakibatkan efek pada jaringan otot. Myoglobulinuria yang
menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel
otot.
 Cytotoksin: Bekerja pada lokasi gigitan dengan melepaskan histamin dan zat
vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler.

Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa


pada korbannya.Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang
diinjeksikan ketubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan
kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan
ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang
diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah
tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar,
pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan
nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae).

6
2.1.4 PATOFISIOLOGI GIGITAN ULAR BERBISA
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada
di bawah mata.Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang
atasnya.Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar.Dosis
bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan
pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang
hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan
ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.Bisa biasanya berupa
cairan.Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-bahan penghancurnya.
Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi pada bisa pit
viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan
sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal,
koagulopati biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema
lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan.Efek akhirnya berupa
kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder
terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan minute
ventilasi. Efek blokade neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan
pergerakan diafragma.Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan
hipotensi.Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal.
(Daley, Brian James MD, 2010)

2.1.5 GEJALA KLINIS


Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua
gigitan ular.
1. Gejala lokal:
a.Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Pendarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis (peradangan / pembagkakan pembuluh limfatik)
f. Pembesaran kelenjar limfe

7
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis (kematian sel)

Gambar 2.3 Gejala Lokal Gigitan Ular

2. Gejala sistemik:
a. Umum (general)
mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae)
gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung,
edema paru, edema konjungtiva (chemosis).
c. Pendarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
Pendarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk
pendarahan yang terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari
luka yang telah menyembuh sebagian (oldrus mene parttly-healed
wounds), pendarahan sistemik spontan – dari gusi, epitaksis, pendarahan
intrakranial (meningism, berasal dari pendarahan subdura, dengan tanda
lateralisasi dan atau koma oleh pendarahan cerebral), hemoptisis,
perdarahan perektal (melena), hematuria, perdarahan pervaginam,
perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa (misalnya

8
konjungtiva), kulit (peteki, purpura, perdarahan diskoid, echimosis), serta
perdarahan retina.
d. Neurologis (Elapide, Russel Viper)
Mengantuk, parestesia, abnormalitas pengucapan dan pembahuan,
potosis,oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang
dipersyarafi nervus cranialais, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan
melalui hidung, kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan
dan flasid generalisata.
e. Destruksi Otot Skeletal (Sea Snake, beberapa spesies kraits, bungarus niger
and B. Candidus, western Russell’s viper Daboia russelli)
Nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, miolobinuria,
hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut.
f. Sistem Perkemihan
Nyeri pungggung bawah, hematuria, hemoglobinria, mioglobinuria,
oligoria atau anuria, tanda dan gejala uremia (pernafasan asidosis, hiccup,
mual, nyeri pleura, dll)
g. Gejala Endokrin
Insufisiensi hipofisis atau kelenjar adrenal yang disebabkan infrakhipofisis
anterior. Pada fase akut : Syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan
hingga tahun setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual
sekunder, kehilangan libido, aminoria, atrofi testis, hipotyroidsm.

9
Bagan 2.1 Proses Masuknya Bisa Ular ke Dalam Tubuh

2.1.6 DIAGNOSA KLINIK


 Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda
baik lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?Dokter dapat melihat
secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya, adanya bekas
taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
2. kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?Perkiraan tingkat
keparahanenvenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu sejak
pasien terkena gigitan ular.Apabila pasien tiba di rumah sakit segera
setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan
gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah diinjeksikan. Bila pasien
digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit adalah
Kraits (ular berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular

10
kobra atau russel viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit
viper hijau (ular berbisa), bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang
sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau air payau).
3. perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?Ular yang telah
menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari
pasien.Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya
ular tersebut dibawa bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk
memudahkan identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau tidak.Apabila
spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular samasekali) pasien dapat
segera ditenangkan dan dipulangkandari rumah sakit.
4. apa yang anda rasakan saat ini?Pertanyaan ini dapat membawa dokter
pada analisis sistem tubuh yang terlibat.Gejala gigitan ular yang biasa
terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami trombositopenia
atau mengalami gangguan pembekuan darah akan mengalami perdarahan
dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin
serta warna urin sejak terkena gigitan ular.Pasien yang mengeluhkan
kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau ganda,
kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.
 Pemeriksaan fisik
Tidak ada cara yang sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa yang
berbahaya. Beberapa ular berbisa yang tidak berbahaya telah berkembang
untuk terlihat hampir identik dengan yang berbisa.Akan tetapi, beberapa ular
berbisa yang terkenal dapat dikenali dari ukuran, bentuk, warna, pola sisik,
prilaku serta suara yang dibuatnya saat merasa terancam.2. Beberapa ciri ular
berbisa adalah bentuk kelapa segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka
bekas gigitan tedapat bekas gigi taring.

11
Gambar 2.5 Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B)
Ular berbisa dengan bekas taring (Sumber : Sentra Informasi Keracunan
Nasional adan POM, 2012)

2.1.7 DERAJAT GIGITAN ULAR (Parrish)


 Derajat 0 :
- Tidak ada gejala sistemik sampai 12 jam
- Pembengkakan minimal, diameter 1 cm 2.
 Derajat I :
- Bekas gigitan 2 taring
- Bengkak dengan diameter 1 – 5 cm
- Tidak ada tanda-tanda sistemik setelah 12 jam
 Derajat II :
- Sama dengan derajat I
- Petechie, echimosis
- Nyeri hebat dalam 12 jam
 Derajat III :
- Sama dengan derajat I dan II
- Syok dan distres nafas / petechie, echimosis seluruh tubuh
 Derajat IV :
- Sangat cepat memburuk.

12
Tabel 2.2 Pemberian anti bisa ular menggunakan pedoman dari Parrish
Derajat Venerasi Luka Gigit Nyeri Udem/eritema Tanda
Sistemik
0 0 + +/- <3cm/12jam 0
I +/- + + <3cm/12jam 0
II + + +++ >12cm- +,
25cm/12jam Neurotoksik,
muaal,
pusing, syok
III ++ + +++ >25cm/12jam ++, syok,
petekie,
ekimosis
IV +++ + +++ Pada satu ++,
ekstremitas gangguan
secara faal ginjal,
menyeluruh koma,
pendarahan.

2.1.8 TERAPI SABU MENGACU PADA SCHWARTZ DAN WAY (Depkes, 2001):
 Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika
derajat meningkatmaka diberikan SABU
 Derajat II: 3-4 vial SABU
 DerajatIII:5-15 vial SABU
 Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU

13
Bagan 2.2 Derajat pemberian SABU (Serum Anti Bisa Ular)

Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi.Anti bisa
ular dapat melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah
menetap selama beberapa hari, atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat
belangsung dua minggu atau lebih.Untuk itu, pemberian anti bisa tepat diberikan
selama terdapat bukti terjadi koagulopati persisten. Apakah antibisa ular dapat
mencegah nekrosis lokal masih menjadi kontroversi, namun beberapa bukti
klinins menunjukkan bahwa agar antibisa efektif pada keadaan ini, anti bisa ular
harus diberikan pada satu jam pertama setelah gigitan.

2.1.9 PERTOLONGAN PERTAMA DAN PERAWATAN LANJUTAN


Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi
gigitan ular sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh
korban sendiri atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan
pertama adalah untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup
korban dan menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di
rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang membahayakan.Kemudian segera
bawa korban ke tempat perawatan medis.

14
Metode pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan korban yang
cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan
cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot,
karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke
dalam aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-immobilisation
pada gigitan Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat
meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.
Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara
yang aman dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot
untuk mencegah peningkatan penyerapan bisa.

 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium :
1. Penghitungan jumlah sel darah
2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah
4. Tipe dan jenis golongan darah
5. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
6. Urinalisis untuk myoglobinuria
7. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik

b. Pemeriksaan radiologis :
1.Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum
2. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal

c. Pemeriksaan lainnya :Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara


komersialtersedia alat yang steril, sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan
dapat dipercaya (seperti Styker pressure monitor). Indikasi pengukuran tekanan
kompartemen adalah bila terdapat pembengkakan yang signifikan, nyeri yang
sangat hebat yang menghalangi pemeriksaan, dan jika parestesi muncul pada
ekstremitas yang tergigit

15
 Kandungan Serum Anti Bisa Ular
Tiap ml dapat menetralisasi :
a. Bisa ular Ankystrodon rhodosoma 10-50 LD
b. Bisa ular Bungarus Fascinatus 25-50 LD
c. Bisa ular Naya Sputatrix 25-50 LD
d. Dan mengandung Fenol 0,25% sebagai pengawet.

 Efek Samping Serum Anti Bisa Ular


Meskipun pemberian anti serum akan menimbulkan kekebalan pasif dan
memberikan perlindungan untuk jangka pendek, tetapi pemberiannya harus hati-
hati, mengingat kemunkinan terjadinya reaksi sampingan yang dapat berubah :
1.Reaksi Anafilaktik
Dapat timbul dengan segera atau beberapa jam setelah suntikan
2. Penyakit serum
Dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu,
gatal-gatal, sesak nafas dll, gejala alergi reaksi ini jarang timbul ila
digunakan serum yang sudah murnikan.
3. Kenaikan suhu ( demam ) dengan menggigil
Biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena.
4. Rasa nyeri ppada suntikan.
Biasanya timbul pada penyuntikan serum dengan jumlah besar reaksi ini
terjadi dalam pemberian 24 jam.
Oleh kerena itu, pemberian serum harus diberikan atas indikasi yang tajam.

Indikasi SABU (Serum Anti Bisa Ular) adalah adanya gejala venerasi sistemik dan
edema hebat pada bagian luka.
 Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001) :
1. Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat meningkat maka diberikan SABU
2. Derajat II: 3-4 vial SABU
3. Derajat III: 5-15 vial SABU
4. Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU

16
 ANTIDOT
Pada tahun 2000 bulan Desember terdapat produk baru yaitu Crotalinae
Polyvalent Immune Fab (ovine) antivenon yang berasal dari serum domba. Serum
Fab ini ternyata lima kali lebih poten dan efektif sebagai anti bisa dan jarang
terdapat komplikasi akibat pem- beriannya. Penggunaan serum Fab dianjurkan
diencer- kan dalam 250 ml NaCl 0,9% dan pemberiannya lebih dari satu jam melalui
intravena.
Untuk pasien yang masih sangat kecil (berat badan kurang dari 10 kg), volume
cairan dapat disesuaikan.Jumlah penggunaan anti bisa ular tergantung derajat
beratnya kasus. Kasus dengan derajat none tidak diberikan anti bisa, untuk kasus
dengan derajat minimal diberikan 1-5 vial sedangkan moderate dan severe lebih dari
15 vial
 DESKRIPSI
Serum Anti Bisa Ular Polivalen adalah an- tisera murni yang dibuat dari plasma
kuda yang memberikan kekebalan terhadap bisa ular yang bersifat neurotoksik
(seperti ular dari jenis Naja sputatrix – Ular Kobra, Bungarus fasciatus – Ular
Belang) dan yang bersifat hemotoksik (ular Agkistrodon rho- dostoma – Ular
Tanah) yang banyak ditemu- kan di Indonesia, serta mengandung fenol sebagai
pengawet. Serum Anti Bisa Ular Polivalen berupa cairan bening kekuningan.
 SUB KELAS TERAPI : Obat yang Mempengaruhi Sistem Imun
 KOMPOSISI :
Zat aktif :
- Setiap mL mengandung anti bisa ular :
 Agkistrodon rhodostoma ≥ 10 LD50
 Bungarus fasciatus ≥ 25 LD50
 Naja sputatrix ≥ 25 LD50
- Zat tambahan:
-  Fenol 2,5 mg
 INDIKASI :
Untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa dari jenis Naja sputatrix,
Bungarus fasciatus, Agkistrodon rhodostoma.

17
 CARA KERJA OBAT :
Imunisasi pasif, pada penyuntikan dimasuk- kan zat-zat Anti yang
mampu menetralisir bisa ular yang beredar dalam darah penderita.
 POSOLOGI :
Jumlah dosis yang tepat tergantung tingkat keparahan penderita pada saat
akan menerima antisera.
Dosis pertama sebanyak 2 vial @ 5 mL yang bila ditambahkan ke dalam
larutan fisiologis menjadi larutan 2 % v/v dan diberikan sebagai cairan infus
dengan kecepatan 40-80 tetes/ menit, diulang 6 jam kemudian.
Apabila diperlukan (misalnya dalam keadaan gejala-gejala tidak
berkurang atau bertambah) Serum Anti Bisa Ular Polivalen dapat terus diberikan
setiap 24 jam sampai mak- simum 80 – 100 mL. Serum Anti Bisa Ular Polivalen
yang tidak diencerkan dapat diberikan langsung sebagai suntikan intravena
dengan sangat perlahan-lahan. Dosis Serum Anti Bisa Ular Polivalen untuk
anak-anak sama dengan dosis untuk orang dewasa. Lakukan uji kepekaan
terlebih dahulu, bila peka lakukan desensitisasi.
 Pemberian secara Intravena :
1. Hasil uji kepekaan harus negatif
2. Penyuntikan harus dilakukan secara perlahan
3. Penderita harus diamati paling sedikit selama 1 (satu) jam
 INTERAKSI OBAT :
Belum ada interaksi signifikan yang dilaporkan.
 PENGARUH ANAK :
Anak-anak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap envenoming
yang parah karena massa tubuh yang lebih kecil dan kemungkinan aktivitas fisik
yang lebih besar. ;Anak-anak membutuhkan dosis yang sama dengan dewasa,
dan tidak boleh diberikan dosis anak berdasarkan berat badan (pediatric weight-
adjusted dose); disebabkan hal ini dapat menimbulkan perkiraan dosis yang
lebih rendah. Jumlah serum anti bisa ular yang diperlukan tergantung dari
jumlah bisa ular yang perlu dinetralisasi bukan berat badan pasien.
 KONTRAINDIKASI :
Penderita yang terbukti alergi terhadap antisera kuda.

18
 PERINGATAN & PERHATIAN :
Karena tidak ada reaksi netralisasi silang (cross-neutralization) Serum
Anti Bisa Ular Polivalen ini tidak berkhasiat terhadap gigitan ular yang terdapat
di Indonesia bagian Timur (misalnya ular-ular dari jenis Acanthopis antarticus,
Xyuranus scuttelatus, Pseudechis papuanus dan lain-lain) dan terhadap gigitan
ular laut (Enhydrina cystsa). Dapat diberikan pada pasien dengan riwayat
penyakit asma berat jika sudah menunjukkan tanda-tanda keracunan
sistemik.Bukan untuk pemberian lokal pada tempat yang digigit.Perhatikan
Petunjuk Pemakaian Anti- sera.
 PENYIMPANAN :
Serum anti bisa ular harus disimpan pada suhu antara +2°C s/d +8°C. JANGAN
DIBEKUKAN. Masa daluarsa 2 tahun.
 KEMASAN :
Dus : 10 Vial @ 5 mL &BIOSAVE Dus : 1 vial @ 5 mL

2.1.10 PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah :
1. Menghalangi / memperlambat absorbsi bisa ular
2. Menetralkan bisa ular yang sudah masuk kedalam sirkulasi darah
3. Mengatasi efek local dan sistemik.

 SEBELUM PENDERITA DIBAWA KE PUSAT PELAYANAN KESEHATAN,ADA


BEBERAPA HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN :
1. Luka dicuci dengan air bersih atau dengan larutan kalium permanganate untuk
menghilangkan atau menetralisir bisa ular yang belum terabsorpsi.
2. Penderita di istirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan.
3. Jangan memanipulasi daerah gigitan
4. Penderita dilarang berjalan dan minum minuman yang ber alcohol.
5. Apabila gejala timbul secara cepat,sementara belum tersedia Anti Bisa
Ular,maka ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Tindakan ini berguna
jika dilakukan sekitar lebih dari 30 menit paska gigitan ular. Tujuannya adalah
: Menahan aliran limfe , bukan menahan aliran vena atau arteri.

19
6. Lakukan kemudian imobilisasi anggota badan yang digigit dengan cara
memasang bidai karena gerakan otot dapat mempercepat penyebaran racun.

Gambar 2.6 Metode Pressure imobilisasi (Kaki)

Gambar 2.7 Metode Pressure imobilisasi (Tangan)

6. Bila mungkin anggota badan yang digigit didinginkan dengan es batu

20
 SETELAH PENDERITA TIBA DI PUSAT PELAYANAN KESEHATAN :
1. Dibawa ke Emergency Room, dan melakukan ABC (Penatalaksanaan
Airway Breathing and Circulation).
2. Pada penatalaksanaan sirkulasi,berikan infuse (Cairan yang bersifat
Kristaloid)
3. Beri pertolongan pertama pada gigitan (perban ketat luka gigitan,imobilisasi
dengan bidai bila perlu).
4. Sampel darah untuk pemeriksaan : Trombosit, Kreatinin, Urea dan, elektrolit
5. Periksa waktu pembekuan darah, jika>10 menit, maka menunjukan
kemungkinan adanya koagulopati.
6. Berikan SABU (Serum Anti Bisa Ular,Serum kuda yang di
kebalkan)Polivalen 1 ml.

21
Bagan 2.3 Penanganan Gigitan Ular

22
 KETERANGAN BAGAN :
1. CROSS INSISI
Tabel 2.3CROS INSISI
Setelah tergigit Bisa yang Dapat Terbuang
3 menit 90 %
15 – 30 menit 50%
1 jam 1%

2. TANDA ENVENOMASI (KERACUNAN) GIGITAN ULAR BERBISA


Tabel 2.4 ENVENOMASI (Keracunan)
LOKAL ( pada bekas gigitan) Sistemik
a. Tanda gigitan taring (fang Umum (general) : mual, muntah, nyeri perut,
marks) lemah, mengantuk, lemas.
b. Nyeri lokal Kelainan hemostatik : perdarahan spontan
c. Perdarahan lokal (klinis), koagulopati, atau trombositopenia.
d. Kemerahan Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia
e. Limfangitis eksternal, paralisis, dan lainnya. Kelainan
f. Pembesaran kelenjar limfe Kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia
g. Inflamasi (bengkak, merah, (klinis), kelainan EKG.
panas) Cidera ginjal akut (gagal ginjal) :
h. Melepuh oligouria/anuria (klinis), peningkatan
i. Infeksi lokal, terbentuk abses kreatinin/urea urin (hasil laboratorium).
j. Nekrosis Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin coklat
gelap (klinis), dipstik urin atau bukti lain
akan adanya hemolisis intravaskuler atatu
rabdomiolisis generalisata (nyeri otot,
hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium).
Serta adanya bukti laboratorium lainnya
terhadap tanda venerasi.

23
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa
pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang
diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan
kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan
ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang
diinjeksikan pada korban.
Korban yang terkena gigitan ular harus segera diberi pertolongan
pertama sebelum dibawa dan dirawat di rumah sakit. Pada umumnya terjadi
salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular.Untuk mengobati korban
gigitan ular dianjurkan menggunakan serum anti bisa ular.

24
DAFTAR PUSTAKA

Muryani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta: Tim/Trans Info
Media
Sumitro, A. 2009. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta: Tim/Trans Info
Media
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2011. Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.
Jakarta: Salemba Medika
Ball, J. 1999. Pediactric Nursing Caring For Children. Singapura: A Simon & Schuster
Company.
Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article :Current Concept
Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5·August 1, 2002
WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East
AsiaRegion.
Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A,
et al. 2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and Modelling
BasedonRegional Estimates of Envenoming and Deaths. PLoS Med 5(11): e218.
doi:10.1371/journal.pmed.0050218
SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke from :
www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012.Penatalaksanaan Keracunan
Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id (diakses pada 30 Maret
2012)
Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku
Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100
Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
Emedicine Health. 2005. Snakebite. available from :
http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite
Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM
Depkes RI.Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
Wangoda R., Watmon B. Kisige M. 2002. Snakebite Management : Experience From
Gulu Regional Hospital Uganda.

25
26

Anda mungkin juga menyukai