Buku BTCLS-1

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 105

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Materi Medis Teknis Standart
Materi medis teknis standart ini merupakan rangkuman yang di sajikan sebagai panduan
instrusksional dan di harapkan dapat mudah di merngerti dan mudah di lakukan. Materi tersebut
meliputi: cara memberikan bantuan hidup dasar (BHD) atau disebut juga BLS (Basic Life
Support), cara memberikan bantuan hidup lanjut atau di sebut juga ALS (Advanced Live Support)
penanganan awal kegawat daruratan baik trauma maupun non trauma yang merupakan suatu
kesatuan dalam penangan PPGD. Materi ini di harapkan dapat digunakan sebagai pedoman bagi
dokter, perawat, petugas ambulan ataupun orang awam
Ketrampilan dasar sangat di perlukan oleh dokter yang harus menangani pasien gawat
darurat selama dokter ahli belum ada di tempat. Langkah-langkah melakukan PPGD dimulai
dengan melakukan pengenalan kasus kegawat daruratan. Pengenalan keadaan ini meliputi
pengenalan awal untuk dapat memberikan pertolongan pertama (early treatment), selanjutnya
dilakukan evaluasi awal untuk mengetahui pertolongan lanjutan yang diperlukan. Dokter, perawat,
dan mahasiswa harus mampu melakukan resusitasi pada pasien yang mengalami henti jantung dan
nafas. Diharapkan para pelaksana PPGD dapat melakukan tindakan yang lebih dini / proaktif, yaitu
pengenalan yang cermat agar dapat dilakukan pencegahan memburuknya keadaan pasien sebelum
atau sesudah terjadinya henti nafas dan henti jantung.
Pencegahan merupakan serangkaian usaha maupun antisipasi yang perlu di pikirkan
sebelum memberikan penanganan henti jantung atau henti nafas. Pencegahan akan memberikan
hasil yang jauh lebih baik dari pada harus melakukan resusitasi jantung paru.
Pencegahan henti nafas atau jantung di kelompokkan sebagai berikut:
1. Pencegahan primer
Usaha mengidentifikasi faktor-faktor resiko, serta menghilangkan faktor-faktor tersebut jika
memungkinkan. Minimal melakukan monitoring agar faktor tersebut tidak berkembang menjadi
pencetus terjadinya henti jantung dan atau henti nafas.
2. Pencegahan Sekunder
Melakukan diagnosa dini dan tindakan pada kasus-kasus yang berpotensi mengalami henti jantung
atau nafas
3. Pencegahan Tersier
Melakukan resusitasi jantung paru dengat cepat dan tepat untuk mencegah terjadinya kematian
maupun kecacatan.
Kekurangan kadar oksigen lebih dari 5-7 menit dapat menyebabkan kerusakan otak yang
irreversible. Dengan deteksi dini dan melakukan penanganan yang cepat dan tepat di harapkan
memberikan hasil yang lebih baik bagi korban.
Beberapa kasus gawat darurat adalah sebagai berikut:
 Masalah pada jalan nafas (airway)
 Masalah pada ventilasi pernfasan (breathing)
 Masalah pada sirkulasi darah (circulation)
Beberapa masalah tersebut di prioritaskan agar dapat segera mendapatkan penanganan agar
kecacatan dan kematian dapat di hindarkan. Agar memudahakn dalam memberikan penanganan
pada kasus tersebut, maka digunakan singkatan A-B-C yang mungkin harus dilanjutkan dengan
urutan D-E (untuk Bantuan Hidup Lanjut / ALS)

1.2 Prinsip PPGD


1.2.1. Istilah
Kasus Gawat Darurat,
Perlu pertolongan segera karena ancaman kematian akut
Critical ILL Patient,
 Immediatelly life threatening
 Potentiallylife threatening
Kasus Gawat Darurat
Emergency Patient
Perlu pertolongan segera
1.2.2. Tindakan Dalam PPGD
 Siapa saja yang pertama mengetahui (dokter, perawat, awam)
 Tindakan pertolongan pertama
 BHD (Bantuan Hidup Dasar/Basic Life Support) dan BHL (Bantuan Hidup Lanjut/Advaned
Life Support)
 Penanganan melibatkan multi disiplin, profesi, dan lintas sektor.
 Pendekatan berdasarkan problem dan fungsi-fungsi
 Pengetahuan tambahan (Spesialis) diperlukan untuk kasus rujukan
 Kegiatan meliputi
- Pra rumah sakit
- Intra rumah sakit
- Antar rumah sakit

1.3 Kegawatan
Definisi
Suatu keadaan yang menimpa seseorang yang dapat mengancam jiwa. Sehingga
mememrlukan pertolongan cepat, tepat, dan cermat. Bila tidak maka seseorang tersebut dapat mati
atau cacat.
Prioritas Utama Penyebab Kegawatan
Banyak sebab yang dapat mengakibatkan kecacatan maupun kematian dalam waktu yang
singkat. Beberapa kegawatan tersebut adalah gangguan jalan nafas dan fungsi nafas, fungsi
sirkulasi, fungsi otak dan kesadaran.
Penyebab Medik Kegawatan Daruratan
Penyakit
Infeksi Otak : Gangguan kesadaran, Gangguan pada organ-organ
Diabetic : Koma diabetikum
Hepar : Koma hepatikum
Ginjal : Koma uremikum
Jantung : Serangan jantung
Hipertensi : Serangan otak
Kelemahan Otot : Tidak dapat bernapas
Obat-obatan
Narkotika : Henti nafas
Anafilaktik : Schock berat

Penyebab Trauma
Trauma kepala : gangguan kesadaran
Trauma wajah : gangguan jalas napas
Trauma dada : perdarahan / shock
Pneumothorak : Sesak
Patah tulang dada : Sesak, nyeri
Trauma anggota gerak : Perdarahan / shock / nyeri
Trauma pada kehamilan : Bahaya untuk ibu dan bayi
Terbakar : Sesak, shock

1.4. TRIAGE
DEFINISI
Pengelompokan korban berdasarkan berat-ringannya trauma / penyakit yang di derita
korban, serta tingkat kegawatan korban membutuhkan penanganan.
MACAM-MACAM KORBAN
- Multiple Korban (Korban Masal)
Kejadian atau timbulnya kedaruratan yang mengakibatkan lebih dari satu korban, sehingga
harus melibatkan lebih dari satu penolong. Kejadian tersebut bukan di akibatkan oleh bencana
- Korban Bencana (Mass Casualty Disasater)
Kegawatdaruratan yang memerlukan penerapan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat
Terpadu Sehari-hari dan Bencana (SPGDT-S dan SPGDT-B)
Prinsip seleksi korban, berdasarkan
1. Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam ukuran menit
2. Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam ukuran jam
3. Ruda paksa ringan
4. Sudah meninggal
PRIORITAS
1. Biru
2. Merah
3. Kuning
4. Hijau
5. Hitam

PEDOMAN TIM PENOLONG


Pemimpin Triage:
 Primary survey
 Menentkan prioritas penanganan dan pemindahan
 Menentukan pertolongan apa yang harus di berikan
Tanggung jawab anggota tim triage
 Mencegah kerusakan berlanjut
 Triage korban
 Melindungi korban
Catatan:
 Ketika dalam kondisi bencana lebih baik meminta bantuan personel
 Utamakan memberikan penanganan pada pasien yang berpotensi selamat
 Perlu berfikir kemungkinan kondisi terburuk yang akan terjadi, sehingga kita dapat
mempersiapkan dengan baik

1.5 PRIORITAS
DEFINISI
Penentuan yang mana harus di dahulukan mengenai penanganan dan pemindahan yang
mengacu pada tingkat kegawatdaruratan
TINGKAT PRIORITAS
1. Prioritas pertama (I, Emergency)
Mengancam jiwa / anggota fungsi organ-organ vital
Penanganan dan pemindahan bersifat segera
2. Prioritas kedua (II, Urgent)
Potensial mengancam jiwa / fungsi organ-organ vital bila tidak segera di tangani dalam waktu
singkat
Penanganan dan pemnidahan bersifat jangan terlambat
3. Prioritas ketiga (III, Non emergency)
Perlu penanganan seperti pelayanan biasa
Tidak perlu segera
Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir
PENILAIAN
1. Primary Survey
A,B,C, Menghasilkan prioritas I,II,III, dan selanjutnya
2. Secondary Survey
Head to toe, menghasilkan prioritas I,II,III dan selanjutnya
3. Monitoring kondisi korban yang memiliki potensi terjadi perubahan:
 Airway, Breathing, and Circulation
 Derajat kesadaran
 Tanda-tanda vital
4. Perubahan prioritas yang di karenakan berubahnya kondisi pasien

PERHATIAN KHUSUS
1. Meningkatnya derajat distress nafas, shock
2. Turunnya kualitas nadi
3. Perubahan derajat kesadaran
4. Koma yang timbul setelah lucid period
5. Timbulnya masalah jalan nafas dan rongga thorak
6. Perubahan hemodinamik / hipotensi secara mendadak, kemungkinan akibat perdarahan internal
7. Luka tembus kepala, dada, perut

Catatan
- Perlu adanya team leader serta anggota tim yang telah terdidik dan terlatih
- Prioritas, menggambar tingkat bahaya yang mengancam jiwa

PRIORITAS DAN KODE WARNA


Prioritas 1, merah
1. Sumbatan jalan nafas / distres nafas
2. Luka tusuk dada
3. Hipotensi / shock
4. Perdaraham pembuluh darah besar
5. Problem kejiwaan yang serius
6. Tangan / kaki yang terpotong
7. Combustio tingkat II > 25%
8. Combustios tingkat III > 25%
Prioritas II, KUNING
1. Combustio tingkat II / tingkat III >25%
2. Fraktur pada tulang besar
3. Trauma thorak / abdoment
4. Laserasi luas
5. Trauma bola mata
PRIORITAS III, HIJAU
1. Contusio dan laserasi otot ringan
2. Combustio tingkat II < 20 %, kecuali pada daerah muka dan tangan
PRIORITAS 0, HITAM
1. Henti jantung yang kritis
2. Trauma kepala yang kritis
3. Radiasi tinggi

1.5. PRIMARY SURVEY


DEFINISI
Deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kondisi fungsiorgan vital yang terancam. Pada
dasarnya Primary survey adalah life support dan resusitasi segera terhadap kelainan yang
mengancam jiwa. Dalam waktu kurang dari 2 menit, penolong mampu menyimpulkan kondisi
kegawat daruratan
Dinilai dari Airway, breathing, dan circulation. Tindakan yang di berikan oleh penolong
diharapkan dapat memperbaiki Dissability, yaitu fungsi kesadaran atau brain dengan tidak
mengesampingkan E-Enviroment untuk mecegah hipotermi atau hipertermia dan waspada akan
adanya cidera tulang leher pada kasus trauma.

TEKNIK PELAKSANAAN
Pertama kali harus dipastikan bahwa kondisi pasien gawat dalam kondisi sadar atau tidak,
dengan cara:
 Memanggil korban
 Bila tidak ada respon dapat di berikan rangsang nyeri.
Memeriksa kesadaran pada tahap primary survey ini disebut sebagai AVPU (dibahas pada
bab 5), funsi kesadaran. Tahap berikutnya adalah memeriksa dengan cepat fungsi vital dengan
sistematika A-B-C

A-Airway
 Adakah suara nafas
 Look, listen, feel
 Buka jalan nafas, yakinkan adekuat
 Atasi segera, bebaskan jalan nafas
 Head tilt, chin lift, jaw thrust, hati-hati pada korban trauma, perhatikan adanya tanda-tanda ciera
tulang leher.
 Suntion, hisap lendir

B-Breathing
Pertukaran nafas adekuat?
 Jika tidak ada, lakukan resusitasi
 Frekuensi
 Kualitas
 Teratur atau tidak

C-Circulation
Adakah perdarahan?
 Eksternal
Hentikan segera: dengan bebat tekan pada luka
Elevasi
Kompres es
Tourniquet, hanya pada luka / trauma khusus
 Internal
Segera kirim, lihat protokol khusus
Shock yang paling sering adalah shock hipovolemi
 Perfusi dingin, basah, pucat
 Nadi cepat dan lemah
 Capillary refill time > 2 detik

D-Kesadaran
 Bagaimana kesadaran korban
 Trauma kepala
Pada korban yang di curigai mengalami cidera tulang leher, pasang collar brace sebelum di
rujuk

E-Enviroment
Pada pemeriksaan fisik, lepas semua baju dan celana, segerakan selimut kembali untuk
mencegah hipotermia. Apabila korban dalam kondisi basah, segera kekringkan dan selimuti
dengan selimut kering.

Catatan:
Primary survei harus selalu dilaksanakan pada tiap pasien / korban dan dilakukan pada saat
itu juga (time saving is life saving)
Hindari hal-hal yang dapat mengancam jiwa penolong. Yakinkan bahwa tindakan pertolongan
yang diberikan untuk anda

1.6 SECONDARY SURVEY


DEFINISI
Mencari perubahan-perubahan fisik anatomis yang dapat berkembang menjadi lebih gawat
dan dapat mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi. Dilakukan setelah primary survey selesai

PERSIAPAN ALAT
 Stotescope,
 Tensimeter
 Jam analog
 Lampu pemeriksaan,
 Gunting,
 Thermometer,
 Buku catatan
 Alat tulis
 Pemeriksaan laboratorium bila ada, Hb, foto thorak, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

TEKNIK PELAKSANAAN
1. Head to toe
Pemeriksaan menyelurur kondisi korban
 Posisi saat ditemukan
 Tingkat kesadaran
 Sikap umum, keluhan
 Ruda paksa, kelainan
 Keadaan kulit

2. Periksan kepala dan leher


 Rambut dan kulit kepala
Perdarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan cedera tulang belakang
 Telinga
Perlukaan, darah, cairan
 Mata
Perlukaan pembengkaan, perdarahan, refleks pupil, kondisi kelopak mata, kemerahan
perdarahan sclera/alrian antrum anterior, benda asing, pergerakan abnormal
 Hidung
Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping hidung, kelainan anatomi karena ruda paksa
 Mulut
Perlukaan, darah, cairan, muntahan benda asing, gigi, bau mulut, dapat membuka mulut atau
tidak
 Bibir
Perlukaan, perdarahan, cyanosis, kering
 Rahang
Perlukaan, stabilitas, krepitasi
 Kulit
Perlukaan, basah / kering, darah, warna goresan-goresan, suhu
 Leher
Perlukaan, bendungan vena, deviasi trachea, spasme otot, stoma, tag, stabilitas tulang leher.
3. Periksa dada
Flailchest, nafas diagfragma, kelainan bentuk, tarikan antar iga, nyeri tekan, perlukaan, suara
ketuk, suara nafas

4. Periksa perut
Perlukaan, distensi, tegang, kendor, nyeri tekan undulasi

5. Periksa tulang belakang


Kelainan bentuk, nyeri tekan, spasme

6. Periksa pelvis / genetalia


Perlukaan, nyeri, pembengkaan, krepitasi, priapismus, inkontinensia

7. Periksa ekstermitas atas dan bawah


Perlukaan, angulasi, hambatan pergerakan gangguan rasa nyaman, bengkak, denyut nadi, warna
luka

Catatan:
 Perhatikan tanda-tanda vital
 Pada kasus trauma, pemeriksaan setiap tahap selalu di mulai dengan pertanyaan adakah D-E-
C-A-P-B-L-S
D : Deformitas
E : Ekskoriasi
C : Contusi
A : Abrasi
P : Penetrasi
B : Bullae / Burn
L : Laserasi
S : Swelling / sembab
- Pada dugaan padah tulang, pemeriksaan setiap tahun selalu di mulai dengan pertanyaan:
Adakah : P-I-C
P : Pain
I : Instabilitas
C : Crepitasi
BAB 2
RESUSITASI JANTUNG PARU OTAK
2.1 PENDAHULUAN
Istilah Cardiopulmonary Resuscitation (CPR, Eropa) atau Cardiopulmonary Cerebral
Resuscitation (CPCR, isitilah amerika) yang diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagai
resusitasi jantung paru otak (RJPO) berarti tidakan Basic Life Support (BLS) dan Advanced Life
Support (ALS). Pada kehidupan sehari-hari sering dicampur aduk antara BLS dan CPR. Pada
hakekatnya BLS adalah tindakann membebaskan jalan nafas (Airway), memberikan bantuan nafas
(Breathing), dan melakukan pijat cantung (CPR). Tindakan ini diharapkan dapat dilanjutkan oleh
tenaga ahli dengan pemasangan monitoring ECG, pemberian obat emergency, serta penggunaan
defibrilator dan digolongkan sebagai Advanced Life Suppot (ALS). Selama bantuan tenaga ahli
atau ambulan belum datang maka BLS tetap harus di lanjutkan.
Perlu di ingat bahwa manusia adalah makhluk yang tidak memiliki cadangan oksigen. Pada
keadaan obstruksi total dari jalan nafas atau pasien tidak bernafas maka oksigen dalam paru
(Functional Residual Capacity) akan habis dalam 2-3 menit. Apabila sirkulasi juga berhenti 5-7
menit karena jantung yang berhenti berdenyut akan mengakibatkan keruksakan otak yang
permanen dan jika pasien tersebut mengalami hipoksimea sebelumnya maka batas waktu tersebut
menjadi lebih pendek. BLS harus segera dilakukan, sebelum 5 menit, sebelum jaringan otak
terlanjur menjadi rusak dan irreversible
Teknik BLS dilakukan tanpa bantuan alat, diajarkan kepada semua orang, bukan hanya
kepada tenaga kesehatan. BLS yang dilakukan dengan bantuan alat (jalan nafas buatan, masker
atau sungkup muka) disebut Basic Life Suport with Airway Adjunct”. Untuk profesional medis
bukan hanya dituntut menguasai BLS namun juga ALS, terutama tenakes di IGD, ambulan, dan
unit-unit perawatan intensif. Dalam guidline 2005 CPR, alat defibrilator mode otomatis (AED)
dimasukkan dalam materi BLS.
Keadaan henti nafas / respiratory arrest tidak selalu disertai dengan henti jantung,
sebaliknya henti jantung selalu disertai dengan henti nafas. Gangguan nafas yang terjadi bukan
akibat gangguan jalan nafas dapat terjadi karena gangguan pada sirkulasi, misalnya asistol,
bradikardi, takikardi ventrikel, febrilasi ventrikel. Penegakkan ada atau tidaknya nafas pada korban
dapat di kaji dengan Look-Listen-Feel
Henti jantung / cardiac arrest ditandai dengan tidak terabanya denyut nadi karotis. Pada
pasien yang telah terpasang monitoring EKG dan di dapat gambaran asistole pada layar monitor,
maka harus selalu di cek denyut nadi karotis untuk memastikan adanya henti jantung. Henti
jantung dapat disebebkan oleh beberapa hal, diantaranya:
 Hipoksemia
 Gangguan elekrolit (hipokalemia, hiperkalemi, hipomagnesia)
 Aritmia
 Penekanan mekanik pada jantung (tamponad jantung, tension pneumothoraks)

2.2 TEKNIK RESUSITASI JANTUNG PARU


I. TANPA ALAT
 Satu orang penolong
Memberikan pijat jantung luar dan pernafasan buatan dengan perbandingan 30:2 dalam 2 menit
(5 siklus)
 Dua orang penolong
Memberikan pijat jantung luar dan pernafasan buatan yang di lakukan oleh masing-masing
penolong secara bergantian dengan perbandingan sama dengan 1 penolong yaitu 30:2 dalam 2
menit (7-8) siklus.
II. Dengan alat
Untuk mencapai hasil RJOP yang lebih baik, pijat jantung tanpa sela maka harus
diusahkan sesegera mungkin pemasangan intubasi endotracheal

2.4.1 BLS DEWASA


 Satu Penolong
1. Pada korban tidak sadar (periksa dengan tegur sapa, menepuk bahu, lalu di berikan
rangsang nyeri / cubit untuk memastikan)
2. Sekaligus atur posisi korban, telentangkalah di atas alat keras dengan cara log roll
(meggelindingkan). Hati-hati bila ada kecurigaan patah tulang belakang
3. Berusaha memberikan pertolongan segera dan minta bantuan (berteriak, call for help, dsb)
tanpa meninggalkan pasien
4. Periksa apakah pasien bernafas / tidak.
5. Bila tidak bernafas, buka dan bebaskan jalan nafas : head tilt / chin lift / jaw thurst.
6. Periksa kembali apakah pasien bernafas atau tidak. Dengan posisi look-listen-feel selama
3-5 detik, tentukan pasien bernafas atau tidak
7. Bila tidak bernafas, berikan nafas 2 x, tidak perlu berlebihan, cukup asal membuat dada
mengembang
8. Raba denyut karotis 5 – 10 detik
9. Bila nadi karotis tidak teraba, lakukan pijat jantung dari luar 30 x pada titik tumpu tekan
jantung, tekan tulang dada sampai turun dengan kedalaman menekan sternum 4 -5 cm.
Lakukan dengan kecepatan minimal 100x per menit. Lanjutka pemberian nafas buatan
tanpa alat / dengan alat dua kali, tidak perlu berlebihan, cukup asal membuat dada
mengembang
10. Lengkapi tiap siklus dengan perbandingan 30 pijatan dan 2 ventilasi
11. Evaluasi denut karotis tiap 2menit. Untuk satu penolong evaluasi dilakukan setiap akhir
siklus ke-5
12. Bila denyut nadi karotis belum teraba, lanjutkan RJPO hingga nadi karotis berdenyut.

 DUA PENOLONG
1. Langkah 1-10 di atas tetap dilakukan oleh penolong pertama hingga penolong kedua datang
2. Saat penolong pertama memriksa denuyt nadi karotis, penolong kedua mengambil posisi
untuk menggantikan pijat jantung.
3. Bila denyut nadi belum teraba, penolong kedua langsung melakukan pijatan. Penolong
pertama tidak perlu mendahului pijatan jantung dengan melakukan 2 x tiupan nafas
(berbeda dengan guidlines sebelumnya)
4. Lanjutkan siklus pertolongan dengan perbandingan 30 pijat : 2 ventilasi (oleh penolong
pertama)
5. Lakukan evaluasi denyut nadi karotis setiap 2 menit atau untuk 2 penolong evaluasi setiap
akhir siklus ke 7 atau akhir siklus ke 8

2.4.2 BLS PADA ANAK


1. Langkah 1-8 tetap dilakukan seperti pada BLS Dewasa
2. Untuk pijat jantung, gunakan penekanan dengan 2 jari tengah dan jari manis di atas tulang dada,
1 jari di bawah garis imajinasi antara puting susu.
3. Tekan tulang dada sampai turun kurang lebih sepertiga diameter anteroposterior rongga dada
bayi dengan frekuensi minimum 100 kali per menit
BAB 3
AIRWAY MANAAGEMENT
Membebaskan jalan nafas adalah tindakan untuk menjamin pertukaran udara secara
normal. Korban tidak jatuh dalm kondisi hipoksia maupun hiperkabia. Ada 2 cara yaitu dengan
alat dan tanpa alat / manual, diagnosis terhadap adanya gangguan jalan naffas dapat diketahui
dengan cara
Look,
Melihat gerakan nafas / pengembangan dada
Dan adanya retraksi sela iga
Dilakukan
Listen
dengan satu gerakan
Mendengar aliran udara pernafasan
Feel
Merasakan adanya aliran udara pernafasan
Kesimpulan LLF:
Jalan nafas bebas tanpa sumbatan
Jalan nafas tersumbat ringan / sedang / berat
Jalan nafas tersumbat total
3.1 MEMBEBASKAN JALAN NAFAS TANPA ALAT
3.1.1 MEMBUKA JALAN NAFAS
Dapat dilakukan:
 Head-tilt, dorong kepala kebelakang
 Chin-lift manouver, tindakan mengangkat dagu
 Jaw-thrust manouver, tindakan mengangkat sudut rahang bawah

HEAD TILT
Dilakukan bila jalan nafas tertutup oleh pangkal lidah, suara nafas pasien tidak bersih,
terdengar suara nafas tambhan berupa “ngorok” / snoring
Cara:
letakkan 1 telapak di dahi pasien dan tekan ke bawah, sehingga kepala menjadi tengadah
dan penyangga lidah tegang akhirnya lidah terangkat ke depan
Catatan:
Cara ini sebaiknya tidak di lakukan pada dugaan adanya patah tulang leher

CHIN LIFT
Dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah depan
Cara:
Gunakan jari tengah dan jari telunjuk untuk memegang tulang dagu pasien, kemudian
angkat dan dorong tulangnya ke depan.

JAW THRUST
Walaupun head tilt dan chin lift sudah di lakukan seringkali jalan nafas belum terbuka
sempurna, mak teknik jaw thrust ini harus dilakukan
Cara:
Dorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah depan sehingga barisan gigi bawah berada di
depan barisan gigi atas. Atau gunakan ibu jari ke dalam mulut dan bersama dengan jari-jari lain
dagu ke depan
Pada dugaan patah tulang leher yang dilakukan adalah memodifikasi jaw thrust dan fiksasi leher
agar tidak ada gerak berlebih. Pada pasien dengan dugaan cedera leher dan kepala, hanya dilakukan
jaw thrust dengan hati-hati dan sebisa mungkin mencegah gerakan leher.
Bila jalan nafas tersumbat karena adnaya benda asing dalam rongga mulut dilakukan
pembersihan manual dengan sapuan jari / finger sweep. Kegagalan membuka jalan nafas dengan
cara ini perlu di pikirkan hal lain, yaitu adanya sumbatan jalan nafas daerah faring atau adnaya
henti nafas / apnea. Bila hal itu terjadi dan pasien menjadi tidak sadar, lakukan peniupan udara
melalui mulut, bila dada tidak tampak mengembang, makan kemungkinan adnya sumbatan pada
jlan nafas dan dilakukan heimlich manouver.
3.1.2 MEMBERSIHKAN JALAN NAFAS
FINGER SWEEB
Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut
bagian belakang atau hipofaring (gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya) yang
mengakibatkan tidak terasa hembusan nafas / obstruksi
Cara:
Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka mulut
dengan jaw thrust dan tekan dagu kebawah. Bila otot rahang lemas, gunakan 2 jari (jari telunjuk
dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan sarung tangan / kassa untuk membersihkan
mengorek / mengait semua benda asing dalam rongga mulut.
3.1.3 MENGATASI SUMBATAN JALAN NAFAS PARSIAL
Dapat menggunakan teknik manual thrust:
 ABDOMINAL THRUST
Untuk penderita sadar dengan sumbatan jalan nafas parsial boleh dilakukan tindakan
Abdominal thrust (pada pasien dewasa). Bantu / tahan penderita tetap berdiri atau condong ke
depan dengan merangkul dari belakang
1. Lakukan hentakkan mendadak dan keras pada titik silanggaris antar berlikat dan garis
punggung tulang belakang (back blows)
2. Rangkul korban dari belakang dengan kedua lengan dan gunakan kepalan dua tangan,
hentakkan pada ulu hati (abdominal thrust). Ulangi hingga jalan nafas bebas atau hentikan bila
korban jatuh tidak sadar dan ganti dengan tindakan RJPO
3. Segera panggil bantuan
Ketika korban tidak sadar maka segera lakukan:
1. Tidurkan korban miring
2. Lakukan back blow posisi miring
3. Bila gagal dan korban tetap tidak sadar maka segera telentangkan kembali dan segera lakukan
RJPO
4. Segera panggil bantuan setelah pertolongan pertama di lakukan selama 1 menit

 BACK BLOW PADA BAYI


Bayi sadar:
1. Bila penderita dapat batuk keras, observasi ketat
2. Bila nfas tidak efektif / henti nafas, lakukan:
- Lakukan back blow 5 kali (hentakan keras mendadak pada punggung korban di titik silang
garis antar belikat dengan tulang punggung)
- Posisikan tangan kiri berada pada dada bayi dengan dua jari membuka mulut bayi
- Kemudian tangan yang satu melakukan hentikan pada punggung
CHEST THRUST
Merupakan tindakan untuk membebaskan jalan nafas dari sumbatan parsial akibat benda
padat. Biasanya pada korban bayi, anak, orang gemuk, dan wanita hamil.
Korban sadar:
Pada anak lebih dari 1 tahun lakukan chest thrust 5 kali dengan cara tekan tulang dada
dengan jari telunjuk dan tengah kurang lebih satu jari di bawah garis imajinasi antar puting susu
Korban tidak sadar:
1. Tidurkan terlentang,
2. Lakukan chest thrust
3. Tarik lidah dan lihat adakah benda asing
4. Berikan pernafasan buatan
5. Bila jalan nafas tersumbat di bagian bawah, lanjutkan dengan krikotirotomi jarum

3.2 MEMBERIKAN JALAN NAFAS MENGGUNAKAN ALAT


Cara ini dilakukan bila tindakan manual tanpa alat tidak berhasil sempurna. Alat yang
digunakan bermacam-macam sesuai dengan jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien yang
intinya bertujuan mempertahankan jalasn nafas agar tetap terbuka

3.2.1 OROFARING, NASOFARING, DAN ENDOTRACHEAL TUBE


Jalan nafas buatan di pasang pada korban jika gagal menggunakan cara manual. Orafaring
di pasang untuk mempertahankan jalan nafas tetap terbuka dan menahan pangkal lidah agar tidak
jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan nafas pada korban tidak sadar. Bila dengan
menggunakan Orofaring dan nasofaring belum membuka jalan nafas, maka perlu menggunakan
endotracheal tube. Pemasangan endotracheal tube akan menjamin jalan nafas tetap terbuka,
menghindari aspirasi dan memudahkan tindakan bantuan pernafasan

TEKNIK PEMASANGAN OROFARING:


1. Buka mulut pasien dengan menggunakan chin lift /gunakan ibu jari dan telunjuk
2. Siapkan pipa orofaring yang tepat ukurannnya
3. Bersihkan dan basahi agar licin
4. Arahkan lengkungan menghadap ke langit-langit / palatal
5. Masuk saparuh, putar lengkungan mengarah ke bawah lidah
6. Dorong pelan-pelan sampai posisi tepat
7. Yakinkan lidah sudah tertopang pipa orofaring, lalu lihat, dengar, dan raba nafas
Pada korban bayi masukkan pipa orofaring dengan bantuan spatel sehingga laring dapat
terlihat jelas, lengkungan pipa diatur searah dengan lidah. Hal ini dilakukan karena palatum bayi
masih lunak dan tonsil masih besar

TEKNIK PEMASANGAN NASOFARING


1. Nilai lubang hidung, septum nasi, ukuran pipa
2. Pakai sarung tangan
3. Beri jelly pada pipa dan kalau perlu tetesi lubang hidung dengan vasokontriktor
4. Hati-hati dengan kelengkungan tube yang menghadap ke arah depan, ujungnya di arahkan ke
arah telinga
5. Dorong pelan-pelan hingga seluruhnya masuk, lalu pasang plester
Catatan:
Perhatikan arah irisan lubang nasofaring, serta arah masuk atau lekukan

PEMASANGAN ENDOTRACHEAL TUBE


Persiapan alat intubasi
- Pipas nasofaring atau orogaring
- Alat sution
- Kanul dan masker oksigen
- Ambu bag
- Pipa endotrakcheal dan stylet
- Jelly
- Magill forcep
- Laringoscope
- Obat-obatn sedatif I.V
- Sarung tangan
- Plester
- Gunting
- Bantal kecil tebal 10 cm bila ada

TEKNIK INTUBASI
1. Gunakan bantal dan pastikan jalan nafas terbuka, hati-hati pada cedera leher
2. Siapkan endrotacheal tube, periksa balok / cuff, siapkan stylet, dan beri pelumas
3. Pasang blade dan handle laringoskop, dan pastikan lampu menyala
4. Pasang laringoskop dengan tangan kiri, masukkan blad ke sisi kanan mulut pasien, geser lidah
pasien ke kiri
5. Tekan tulang rawan krikoid, untuk mencegah aspirasi = sellick manouver
6. Lakukan traksi sumbu panjang laringoskop, hati-hati cedera gigi, gusi, bibir
7. Lihat adanya pita suara, bila perlu isap lendir / cairan lebih dahulu
8. Keluarkan stylet dan laringoskop dengan hati-hati
9. Kembangkan balon / cuff endotracheal tube
10. Pasang pipa orofaring
11. Periksa posisi endotracheal tube apakah masuk dengan benar, cek dengan auskultasi suara
pernafasan atau udara yang ditiupkan.
12. Hubungkan dengan pipa oksigen
13. Fiksasi endotracheal tube dengan plester

3.2.2. SUCTIONING
Merupakan tindakan membersihkan benda asing berupa cairan dalam jalan nafas
menggunakan alat penghisap. Bila terdapat sumbatan jalan nafas karena benda cair yang di tandai
dengan terdengar suara tambhan berupa gargling, maka harus dilakukan suctioning. Masuknya
suction catheter tidak lebih dari 5 detik
TEKNIK SUCTIONING
1. Alat suction dihubungkan dengan suction catheter
2. Gunakan sarung tangan bila memungkinkan
3. Buka mulut pasien, terdangahkan jalan nafas bila perlu
4. Lakukan suctioning, kurang lebih 5 detik masuk dan tarik
5. Cuci suction catheter dengan memasukkannya pada air bersih untuk membilas, ulangi lagi
bila diperlukan

3.2.3. MEMBERSIHKAN BENDA ASING PADAT


Bila pasien tidaksadar dan terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring yang tidak
mungkin untuk dihilangkan dengan sapuan jari, maka gunakanlah alat berikut ini:
- Laringosko
- Suction
- Magil forcep

TEKNIK
1. Buka jalan nafas lurus atau lebar dengan memperbaiki posisi kepala
2. Gunakan laringoskop dengan tangan kanan
3. Masukkan blade-laryngoskope pada sudut mulut kanan dan mneyusur tepi lidah sampah
apangkal lidah, putar ujung blade perlahan ke tengah dan angkat tangkai laringoskop ke atas
depan sehingga terlihat hipofaring dan rima glotis
4. Gunakan suction untuk mengeluarkan cairan dan gunakan magyl forcep untuk mengeluarkan
benda padat

3.2.4. KRIKOTIROTOMI
Membuka jalan nafas dengan krikotirotomi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
 Krikotirotomi jarum
Cara ini dilakukan pada kasus pemasangan endotracheal tube tidak mungkin dilakukan.
Arahkan jarum pada sudut 30-45 derajat ke arah bawah, jika ke arah atas akan menciderai plica
vocalis
 Krikotirotomi pembedahan
Persiapan alat:
- Sarung tangan
- Pisau / skalpel no 1 dan 20
- Desinfektan
- Anastesi lokal
- Kassa
- Kanula tracheostomi no 5-7
- Baju steril
- Gunting
- Masker
- Kaca mata

TEKNIK
1. Jelaskan pada korban bila korban masih sadar
2. Pilih ukuran kanula tracheostomi sesuai kebutuhan
3. Atur posisi pasien
- Netral, pasang penyangga leher / collar splint pada pasien tanpa cedera leher
- Ekstensi pada kasus cedera leher
4. Pakai APD (Baju, masker, kaca mata, sarung tangan)
5. Desinfektan leher, tutup leher dengan kain steril berlubang
6. Berikan anastesi lokal
7. Tentukan letak membran krikoid.
Insisi pada membran 2 -3 cm menembus sampai rongga trakhea sudut 30-40 derajat ke bawah
untuk menghindari cedera pita suara
8. Perlebar dengan pangkal scalpel putar tegak lurus atau pergunakan klem atau spekulum /
dilatator
9. Pasang kanula tracheostomi
10. Kembangkan balon / cuff
11. Berikan ventilasi 100% oksigen
12. Cek segera potensi jalan nafas
13. Pasang pita pengikat kanula
14. Cek foto X-ray

Catatan:
Boleh pakai jarum besar sebelum insisi menembus membran krikoid sebgai pemandu insisi agar
cepat dapat membantu diberikannya oksigen.
Cara Menyiapkan Peralatan Bantu
Membuka Jalan Nafas
Umum Masker Orofaring Laringoskop ETT Stylet Suction
/ BB Catheter
Bayi baru Infant Infant 0 lurus 2,5 – 3,0 6 Fr 6 – 8 Fr
lahir / 3 Kg (tanpa
cuff)
0 – 6 bulan Infant Infant 1 lurus 3,0 – 3,5 6 Fr 8 Fr
/ 3,5 kg (tanpa
cuff)
6- 12 bulan/ Pediatrik Small 1 lurus 3,0 – 3,5 6 Fr 8 – 10 Fr
7 Kg (tanpa
cuff)
1 – 3 tahun Pediatrik Small 1 lurus 4,0 – 4,5 6 Fr 10 Fr
/ 10-12 Kg (tanpa
cuff)
4-7 tahun Pediatrik Medium 2 lurus / lengkung 5,0-5,5 14 Fr 14 Fr
/ 16-18 kg (tanpa
cuff)
8-10 tahun Pediatrik / Medium / 2-3 lurus / 5,5-5,6 14 Fr 14 Fr
/ 24-30 kg dewasa large lengkung (tanpa
cuff)
BAB 4
BREATHING
Pengelolaan fungsi pernafasan bertujuan untuk memperbaiki fungsi ventilasi dengan cara
memberikan bantuan nafas agar kebutuhan oksigen tercukupi
Diagnosa henti nafas dapat di pastikan apabila tidak terdapat tanda-tanda dari pemeriksaan look-
listen-feel, serta telah di lakukan menagement airway, akan tetapi tidak didapatkan adanya
pernafasan atau pernafasan yang tidak adekuat
Penilaian fungsi pernafasan dapat di bagi menjadi 4, yaitu:
1. Pernafasan normal
Mempertahankan jalan nafas tetap bebas, menjaga agar fungsi nafas tetap normal
2. Distress nafas
Mempertahankan jalan nafas tetap bebas, memberi tambahan oksigen untuk memnuhi
kebutuhan oksigen pada pasien, bila perlu memberi bantu nafas dan mencari penyebabnya
3. Henti nafas / apneu
Mempertahankan jalan nafas tetap bebas dan memberi nafas buatan pada pasien
4. Henti nafas dan henti jantung
Lakukan RJPO

Look-listen-feel bertujuan untuk mengevaluasi pernafasan pasien, yaitu:


- Ada atau henti nafas
- Frekwensi nafas
- Ritme nafas
- Amplitudo
- Nafas dada atau perut
- Gerak cuping hidung
- Ketegangan otot bantu nafas
- Cekungan antar iga
- Gerak paradoksial
- Cyanosis atau tidak
Sehingga dari pemriksan tersebut pernfasan pasien dapat di simpulkan, pernfasan ada dan
adekuat, atau pernafasan ada dan tidak adekuat, atau bahkan henti nafas.
4.1 PEMBERIAN NAFAS BUATAN TANPA ALAT
Memberikan pernafasan buatan dari mulut ke mulut atau dari mulut ke hidung sebanyak 2
kali ventilasi dan di selingi ekshalasi.

4.2 PEMBERIAN NAFAS BUATAN DENGAN ALAT


Memeberikan pernafasan buatan dengan alat dapat dilakukan dengan bantuan pocket mask
atau face mask yang di tiup dengan mulut penolong, BVM (Bag Valve Mask) atau ambu bag (self
inflating bag), dan jackson rees (non self inflating bag). Pada alat tersebut dapat ditambahkan
oksigen dengan aliran (flow) tertentu. Pernafasan buatan atau bantuan nafas yang berkepanjangan
diberikan dengan menggunakan alat ventilator mekanik.

4.3 TERAPI OKSIGEN


DEFINISI
Pemberian tambahan oksigen pada pasien agar kebutuhan tubuh akan oksigen dapat
terpenuhi. Pemeberian oksigen sama dengan pemberian obat. Harus tepat indikasi, dosis, waktu,
cara pemberian dan waspada efek samping. Pasien tidak sadar dengan terapi masker oksigen sering
kali wajah pasien tidak terlihat apabila pasien muntah, maka siapkan suction. Monitoring A-B-C
adan aliran oksigen (lpm). Oksigen menyebabkan mukosa kering, pemakaian hummidifier pada
pemberian oksigen > 30 menit namun apabila diperlukan flow oksigen yang tinggi 6 lpm, tidak
diperlukan hummidfier.
Konsentrasi oksigen atau disebut sebgai FiO2 (Fraction Inspired Oxygen) tergantung dari
jenis alat dan flow-rate yang diberikan. Kondisi pasien menentukan keperluan alat dan konsentrasi
oksigen yang diperlukan. Pada prinsipnya semua keadaan gawat darurat memerlukan tambhan
oksigen, paling tidak FiO2 = 60%
TEKNIK PEMBERIAN
Terapi oksigen dan bantuan pernafasan dapat dilakukan dengan berbagai cara dan alat.
 Nasal canule
 Masker
 Masker non rebreathing
 Masker rebreathing
 Ventilator
Untuk kasus henti jantung disertai henti nafas dilakukan resusitasi jantung paru. Kondisi
yang memerlukan tambahan oksigen dengan atau tanpa bantuan nafas antara lain:
1. Sumbatan jalan nafas
2. Henti nafas
3. Nyeri jantung
4. Nyeri dada
5. Trauma thorak
6. Tenggelam
7. Hipoventilasi, nafas < 10x/menit
8. Distres nafas
9. Hiperthermia
10. Shock
11. Stroke (CVA)
12. Keracunan
13. Pasien tidak sadar

PERSIAPAN ALAT
- Nasal canul
- Face mask
- Rebreathing mask
- Non rebreathing mask
- Venturi mask
- Bag valve mask
- Flow meter, regulator
- Oksigen

JENIS ALAT KONSENTRASI ALAT ALIRAN OKSIGEN


Nasal canul 24%-32% 2-4 lpm
Simple Face mask 40-60% 6-8 lpm
Rebreathing mask 60-80% 8-10 lpm
Non rebreathing mask 80-100% 8-10 lpm
Venturi 24-50% 4-10 lpm

Bag Valve Mask


Tanpa oksigen 21%
Dengan oksigen 40-60% 8-10 lpm
reservior 100% 8-10 lpm

4.4 PERALATAN PEMBERIAN OKSIGEN DALAM BREATHING MANAGEMENT


Berbagai komponen peralatan yang diperlukan untuk memberikan oksigen, baik yang
fixed, mobile maupun portable unit
KOMPONEN:
1. SILINDER OKSIGEN TEKANAN 200 PSI
UKURAN VOLUME KONSTANTE DURASI
Kecil 300 0.16 29 menit
Sedang 650 0.28 50 menit
Besar 3000 2.56 4 jam 41 menit
Perhitungan lama pemakaian
(Tekanan pada manometer – 200) x konstante = Menit
Kecepatan aliran

2. REGULATOR TEKANAN
 Menurunkan tekanan dari dalam tangki
 Jarum manometer menunjukkan sisa tekanan dalam tangki
 Atur flow meter untuk folw-rate (0-15 lpm)
3. Humidifier
Untuk kelembapan oksigen

4. Alat penghisap
 Membersihkan jalan nafas dari darah, muntahan, lendir
 Dihidupkan dengan listrik, manual, vacum atau gas
 Fixed / portable

Catatan:
- Jangan bekerja di area emergency tanpa perlengkapan oksigen yang lengkap dan berfungsi
baik
- Jangan melakukan suction flow oksigen > 15 detik
- Dilarang menggunakan minyak / pelumas pada alat-alat oksigen
- Dilarang merokok dan menyalakan api dekat area oksigen
- Jangan simpan oksigen pada > 125 derajat F
- Gunakan sambungan regular / valve yang tepat
- Tutup kran rapat-rapat jika tidak digunakan
- Silinder tidak jauh
- Pilih posisi yang tepat saat menghubungkan katup
- Pastikan masih terdapat oksigen
- Periksa dan pelihara alat yang sedang dalam perbaikan
- USP (United States Pharmacopeia)

4.5 VENTILALATOR MEKANIK


Penggunaan alat bantu ventilator atau respirator merupakan upaya bantuan hidup lanjut
dengan pemberian nafas buatan.
JENIS VENTILATOR
1. Type: pressure limit
Ventilator jenis ini, mesin akan berhenti memberikan oksigen bila tekanan dalam sirkuit
mencapai batas yang ditentukan. Misalnya: ventilator bannet PR-2, Bird Mask 7/8. Penggunaan
yang ditujukan pada pasien dengan compliance paru dan dinding thoraks yang normal, penderita
koma, penderita sadar tetapi tidak kooperatif dan pada penggunaan ventilator yang tidak terlalu
lama
2. Type: volume limit
Ventilator akan bekerja memberikan volume yang telah ditentukan. Misalnya ventilator
MA-1. Penggunaan lebih ditujukan pada pasien dengan gagal nafas karena kelainan patologi paru.
3. Flow type
Ventilaltor dengan menggunakan penentuan Tidal Volume pada pasien setting awal
meliputi penentuan volume, frekuensi pernafasan, dan rasio inspirasi-ekspirasi. Misalnya : MRT,
CP-2000, servo 900. Penggunaan jenis ini dapat untuk semua kasus yang memerlukan bantuan
nafas.
Pemasangan alat bantu nafas (ventilator) memerlukan dukungan alat, obat, keterampilan
dan keahlian yang memadai. Bukan tindakan yang sederhana, perlu observasi yang terus menerus.

CONTOH JENIS MODE DASAR VENTILATOR:


a) Pernapasan spontan / spontaneous ventilation
b) IPPV / Intermittent Positive Presure Ventilation
c) CPPV / Continous postive presure Ventilation
d) IMV / Intermittent Mandatory Ventilation
e) SIMV / Syncronized Intermetten Mandatory Ventilation
f) PS-IMV / Pressure Support Intermitten Mandatory Ventilation
g) CMV / Controlled Mandatory Ventilation
h) PCV / Presure Controlled Ventilation
Mode yang relatif baru, dengan basic presure controlled adalah BIPAP atau DUOPAP
INDIKASI PENGGUNAAN VENTILATLOR
a) Henti nafas / apneu
b) Gagal nafas akut, bila dari pemeriksaan analisa gas darah didapatkan pH < 7,35 dan PaO2
menurun atau < 50, serta PaCo2 meningkat atau > 50
c) Kecendrungan mengalami gagal nafas / impending respiratory failure. Klinis: sesak, gelisah,
eksitasi, tampak lelah berkeringat, nafas dalam dan cepat, takikardi, aritmia, tekanan darah
tidak stabil, asidosis
d) Hipoksemia yang tidak dapat diatasi dengan pemberian terapi oksigen biasa
e) Penyakit neuromuskuler
f) Diperlukan PEEP (Postive End Expiratory Pressure)

TEKNIK SETTING AWAL VENTILALTOR


1. Pilih mode ventilator IPPV / Assisted atau Controlled Ventilation, CPPV, IMV
2. Periksa Humdifier dan heater
3. Atur FiO2 mulai dengan 100% oksigen agar saturasi oksigen > 92%
4. Pilih tidal volume 8-10 cc / kg BB. Untuk pasien gagal ginjal akut dan kelainan
meuromuskuler biasanya dipilih tidal volume 10-12 cc / kgBB.
5. Tentukan frekuensi nafas / RR 12-14 x / menit (dewasa)
6. Harus dicoba terlebih dahulu pada manekin sebelum digunakan oleh pasien
7. Bila terdapat kesulitan bisa konsultasi kepada yang lebih ahli

INDIKATOR
Pada evaluasi setelah pemasangan ventilator, penilaian dikatakan baik bila didapat
perbaikan pada sistem pernafasan dan sirkulasi serta penderita tenang, tidak melawan alat. Bila
dapat dilakukan pemeriksaan analisa gas darah didapatkan nilah pH, PO2 dan PCO2 normal /
mendekati normal dan pasien tenang dengan hemodinamik yang stabil.
Bila hasilnya kurang baik dapat di lakukan beberapa hal:
1. Untuk memperbaiki PaO2 yang terlalu tinggi, turunkan FiO2. Sebaliknya bila PaO2 rendah
naikkkan FiO2 atau menaikkan PEEP / memanipulasi katup PEEP
2. PaCO2 yang terlalu tinggi dapat diturunkan dengan meningkatkan tidal volume, akan tetapi
dapat pula dengan menaikkan frekuensi pernafasan / RR sampai 20-24 kali/menit
3. Konsultasi dengan ahlinya, diharapkan dapat dipenuhi target PaO2 diatas 70 mmHg dan
PaCO2 antara 35-45 mmHg dan mungkin diperlukan penggunaan PEEP, misalnya PEEP 5-
30 cm H2O untuk perbaikan hipoksemia dan mencegah toksisitas oksigen atau penggunaan
5-10 cm H2O dapat dipilih untuk mencegah kolpas alveoli paru.
BAB 5
CIRCULATION MANAGEMENT
Kasus gangguan sirkulasi yang paling banyak dijumpai di UGD adalah shock, aritmia
jantung, dan henting jantung. Diagnosis shock secara cepat dapat di tegakkan dengan tidak teraba
atau melemahnya nadi radialis / nadi karotis, pasien tampak pucat, perabaan pada ekstremitas
teraba dingin, basah, dan pucat, serta memanjangnya waktu pengisian kaliper, capilary refill time
> 2 detik. Sedangkan diagnosisi henti jantung ditegallan dengan tidak adanya denyut nadi karotis
selama 5-10 detik. Henti jantung dapat disebabkan karena kelainya jantung / primer dan kelainan
jantung di luar jantung (skuder) yang harus segera dikoreksi.

5.1 SHOCK
Shock adalah sindroma yang ditandai dengan keadaan umum yang lemah, pucat, kulit yang
dingin dan basah, denyut nadi meninggkat, vena perifer tak mempan, produksi urine menurun dan
kesadaran menurun. Tekanan darah sistolik lazimnya kurang dari 90 mmHg atau menurunnya
lebih dari 50 mmHg di bawah tekanan darah semula. Masalah utama penurunan perfungsi (aliran
darah) yang efektif dan gangguan penyampaian oksigen ke jaringan
Keadaan shock menandakan bahwa mekanisme hemodinamik dan tranpor oksigen lumpuh.
Jangan menjadi rusak karena tidak mendapat oksigen yang cukup untuk metabolisme aerobic. Jika
sel melakukan metabolisme anaerobic maka akan dihasilkan asam laktat yang merugikan. Makin
tinggi kadar asam, makin tinggi resiko mati

TINDAKAN :
1. AIRWAY DAN BREATHING, jaga dan pertahankan jalan nafas tetab bes a, beri suplement
2. Posiskan pasien pada dalam posisi yaitu mengangkat kedua tungkai ke kebih tinggi dari
jantung
3. Pasang cairan infus kritstalodi berupa Ringer Laktat atau larutan garam fail. Pada pemasangan
pasien dewasa menggunakan jalur vena di lakukan dengan pilihan menggunakan jarum besar
> 16 G
4. Bila pasien shock aribat pakibat perdararan, lakukan penghentian sumber perdarahan yang
tampak dari luar dengan melakukan penekanan,
5.2 MENGHENTIKAN PERDARAHAN

5.3 PEMASANGAN KATETER VENA


Persiapan alat:
- Jarum infus ,
- Jalur infus
- Obat antiseptik
- Plester
- Kassa

TEKNIK:
1. Pilih vena daerah lengan atas / antikubital, Ante kubital
2. Bersihkan degan caira aira anti septik
3. Isi jalur infus dengan cara infus / hindarkan gelembung udara
4. Buat bendungan venah , bersihkan jarum intravensi, alirkan cairan infus.

Catatan:
- Pada pasien trauma dengan fraktor tulang extermitas, maka pemasangan jalur intravena tidak
dilakukan pada bagian distal trauma tersebut
- Bagi petugas medis terlatih dan terampil dapat dilakukan pemasangan jalur intravena, pada
vena sublavia / vena jugularis untuk itu harus diketahui komplikasinya
- Pada pasien anak dengan kesulitan melakukan pemasangan jalur intravena dapat dilakukan
segera pada jalur intraosseus di tuberositas tibia.

JALUR INTRA-OSSEUS
Terutama pada bayi dan anak-anak
PERSIAPAN ALAT
- Jarum tulang / ukuran no.15-18
- Kassa
- Spuit
- Antiseptik
- Anastesi lokal
- Sarung tangan
- Jarum infus
- Infus set
- Cairan infus

TEKNIK
1. Baringkan pasien, pasang bantal di bawah sendi lutu pasien
2. Bersihkan daerah tibia anterior dengan antiseptik, berikan anastesi lokal
3. Masukkan jarum pada tibia proksimal (1-2 cm dibawah tuberositas tibia) dengan sudut 45-60
derajat ke arah bawah / distal defngan teknik pemasangan sekrup
4. Lakukan pengisapan spuit untuk memastikan jarum sudah masuk sumsum tulang tibia
5. Pasang jalur infus dan masukkan cairan

Catatan:
Pada pasien dengan shock, perhatikan beberapa hal berikut ini sebelum dilakukan pemasangan
jalur intravena:
a. Karakteristik dan jenis shock
b. Pada shock hipovolemik terutama karena perdarahan dan dehirasi

5.5 JENIS-JENIS SHOCK


a) SHOCK HIPOVOLEMIK
PENYEBAB:
 Dehidrasi
- Muntah, diare yang sering
- Peritonitis
 Luka bakar
- Derjat II & III
- Luas luka bakar > 30%
 Perdarahan
- Trauma disertai perdarahan
- Perdarahan post partum, KET, dll

PEMERIKSAAN
 Perubahan perfusi perifer
- Ektremitas: dingin, basah, dan pucat
- Capillary Refill Time > 2 detik
 Takikardi
 Takipneu
 Penurunan tekanan darah
 Penurunan produksi urine
 Tampak pucat, lemah, apatis
 Kesadaran menurun

TINDAKAN:
Pemasangan 2 jalur intravena dengan jarum ukuran besar dan di berikan terapi cairan
kristaloid.
KLASIFIKASI KLINIS PENGELOLAAN
Dehidrasi ringan: - Nadi sedikit meningkat Penggantian volume cairan
Kehilangan cairan tubuh - Selaput lendir kering yang hilang dengan cairan
5% dari BB kristaloid (NaCl 0.9 %) atau
Ringer Laktat / Acetat
Dehidrasi sedang: - Nadi cepat Penggantian volume cairan
Kehilangan cairan tubuh - Hipotensi yang hilang dengan cairan
8% dari BB - Selaput lendir sangat kristaloid (NaCl 0.9 %) atau
kering Ringer Laktat / Acetat
- Oligouria
- Lesu
- Lemas
Dehidrasi berat: - Nadi sangat cepat Penggantian volume cairan
Kehilangan cairan > 10% - Nadi sulit diraba yang hilang dengan cairan
dari BB tubuh - Hipotensi
- Anuria kristaloid (NaCl 0.9 %) atau
- Selaput lendir pecah Ringer Laktat / Acetat
- Kesadaran menurun

PERDARAHAN
Perdarahan dalam jumlah besar, melebihi 15% volume darah yang beredar , akan
menyebabkan perubahan-perubahan fungsi tubuh seseorang. Makin banyak perdarahan, makin
berat kerusakan yang terjadi, maka risiko untuk meninggal juga meningkat. Perdarahan yang
banyak dapat mengakibatkan shock. 1 jam pertama masa shock sering disebut “the golden hour”.
Dalam periode ini time saving is life saving. Pertolongan harus cepat diberikan, yakni
menghentikan sumber perdarahan dan mengganti kehilangan darah dengan transfusi. Prognosis
pasien ditentukan oleh kecepatan mengatasi shock tersebut. Hipoksia sampai anoksia di jaringan
akibat shock menyebabkan kematian sel. Jika sel yang mati mencapai jumlah kritis (critical mass
of cells), maka akan terjadi gagal organ dan kematian. Perdarahan menyebabkan:
a) Kehilangan volume intravaskuler sehingga perfusi darah dan jumlah oksigen menurun
b) Kehilangan eritrosit dan hemoglobin sehingga kapasitas transpor oksigen perunit volume
darah menurun
Tubuh memiliki Estimated Blood Volume 65-75 mL/kg, untuk mempermudah dibuat rata-
rata EBV: 70 mL/kg. Jika pasien kehilangan darah sampai 15 mL/kg (20% EBV). Terjadilah
perubahan hemodinamik:
a) Takikardi
b) Kontraksi miokard meningkat
c) Vasokontriksi di daerah arterial dan vena
d) Tensi dalam batas normal
e) Nadi lemah
Reaksi takikardi, vasokontriksi memeras darah dari cadangan vena (75% volume sirkulasi
berada di vena) kembali ke sirkulasi efektif. Vasokontriksi arterial membagi secara slektif aliran
darah untuk otak dan jantung dengan mengurangi aliran ke kulit, ginjal, hati, usus. Vasokontriksi
yang berlebihan di daerah usus dapat menyebabkan cedera iskemik. Sehingga mengakibatkan
terjadinya translokasi kuman didalam usus menembus mukosa usus dan masuknya endotoksin ke
sirkulasi sistemik, memicu terjadinya sepsis.

PRINSIP PENANGANAN
Penggantian volume yang hilang untuk mempertahankan kecukupan oksigenasi jaringan,
akibat cukup volume maka hemodinamik terjaga. Untuk perdarahan dengan shock kelas III-IV
selain diberikan kristaloid sebaiknya disiapkan transfusi darah segera setelah sumber perdarahan
dihentikan. Sambil menunggu datangnya darah yang tidak selalu dengan mudah didapatkan atau
teratasinya sumber perdarahan, dapat diberikan cairan golongan plasma substitute / koloid.
TRAUMA
Dipergunakan untuk memperhitungkan seberapa banya jumlah perdarahan (EBL) dengan
melihat gejala klinis yang ada
KLASIFIKASI KLINIS PENGELOLAAN
Kelas I:  Hipotensi postural Tidak perlu penggantian
Kehilangan volume darah 
< Takikardi <100 x/menit volume
15% EBV
Kelas II:  Takipneu Penggantain volume darah
 Takikardi (100-120x/menit)
Kehilangan volume darah yang hilang dengan cairan
15-30% EBV  Penurunan nadi kristaloid, sejumlah 2-4 kali
 Produksi urin menurun (20- darah yang hilang
30 cc/jam)
Kelas III:  Takipneu (30-40x/menit) Penggantain volume darah
 Takikardi (>120x/menit)
Kehilangan volume darah yang hilang dengan cairan
30-40% EBV  Produksi urin menurun (5-15 kristaloid dan darah
cc/jam)
 Perubahan status mental /
confused
Kelas IV  Takipneu (>35 x/menit) Penggantain volume darah
 Takikardi (>140 x/menit) yang hilang dengan cairan
 Perfusi jaringan pucat, kristaloid dan darah
dingin, basah
Catatan:  Perubahan status mental
EBV (Estimated Blood
Volume) 70 cc / kg BB
Cairan koloid memiliki tekanan onkotik mirip plasma dan tinggal dalam pembuluh darah lebih
lama. Dengan pemberian koloid maka deficit PV (Plasma Volume) dan tekanan darah akan
kembali normal lebih cepat. Ada dua macam cairan koloid yaitu derivat plasma protein (albumin,
Plasma Protein Faction) dan bahan sintetik yakni Plasma Subtitute (dulu disebut sebagai plasma
expander).
Pada waktu terjadi kondisi hipovolemia sebenarnya tubuh juga melakukan kompensasi dengan
pergeseran cairan dari ISF (Interstitial Fluid) ke PV atau IVF (Intra Vascular Fluid) yang disebut
sebagai transcapillary refill, sebagai usaha untuk mengganti deficit PV. Proses ini dimulai 1-2 jam
setelah perdarahan, dengan kecepatan 90-120 ml/jam dan akan selesai dalam 12-72 jam.
Mekanisme kompensasi lambat lainnya adalah peningkatan kadar hormone eritropoetin yang
merangsang pelepasan retikulosit ke aliran darah perifer. Jumlah eritrosit muda mencapai
puncaknya pada hari kesepuluh. Jika kadar besi dan sintesa protein cukup, maka setelah 4-8
minggu jumlah eritrosit dan hemoglobin akan kembali normal. Perdarahan merangsang
peningkatan sintesa protein plasma di hati. Albumin plasma kembali normal dalam waktu 3 sampai
4 hari.
CATATAN
1. Menilai respons pada penggantian volume adalah penting. Bila respons minimal
kemungkinan adanya sumber perdarahan aktif harus dihentikan, hentikan perdarahan luar
yang tampak (misalnya ada ekstremitas), segera lakukan pemeriksaan golongan darah dan
cross matched, konsultasi dengan ahli bedah
2. Pada perdarahan hebat maka dianjurkan bila memungkinkan dan mampu melakukan,
dilakukan pemasangan monitoring vena sentral (CVP)
3. Penggantian darah dapat digunakan darah lengkap (whole blood) atau komponen darah
(packed red cell) bahkan apabila perdarahan massif dan kesulitan mendapatkan golongan
darah yang sesuai dapat digunakan Universal Donor (PRC – O). pada keadaan terpaksa
memakai PRC-O maka apabila sebelum 2 minggu masih memerlukan transfuse untuk
sementara tetap mengunakan PRC-O.
4. Harus di ingat bahwa jangan berikan transfuse darah dalam keadaan dignin karena akan
memperburuk keadaan (hipotermia, acidosis). Untuk mencegah hipotermia berikan
kristaloid yang dihangatkan. Dan pada penggantian darah ini tidak diperlukan penambahan
kalsium (penambahan kalsium akan membahayakan).
5.5.2 SHOCK ANAFILAKTIK
PENYEBAB
Reaksi anafilaktik berat

DIAGNOSA
Tanda-tanda shock (penurunan perfusi perifer dan penurunan tekanan darah yang tiba-tiba) dengan
riwayat adanya alergi (makanan atau hal-hal lain) atau riwayat setelah pemberian obat-obatan.

TINDAKAN
A- airway. Pertahankan jalan nafas tetap bebas. Call For Help.
B- breathing. Beri oksigen bila ada, kalua perlu nafas dibantu.
C- circulation. Raba karotis, posisi shock, pasang infus kristaloid (RL). Berikan epinefrin
(adrenalin) subcutan atau intra muskuler dengan dosis sesuai dengan gejala klinis yang
tampak (0.25 mg, 0.5 mg atau 1 mg = 1 ampul (bila ternyata jantung tidak berdenyut).

5.5.3 SHOCK SEPTIK


PENYEBAB
Karena proses infeksi berlanjut
DIAGNOSA
a. Fase dini tanda klinis hangat, vasodilatasi.
b. Fase lanjut tanda klinis dingin, vasokonstriksi
TINDAKAN
Ditujukan agar tekanan sistolik >90 – 100 mmHg (Mean Arterial Pressure / MAP = 60 mmHg)
 Tindakan awal.
Infus cairan kristaloid, RL, Pemberian antibiotic, membuang sumber infeksi
(pembedahan).
 Tindakan lanjut.
Penggunaan cairan koloid KaEn HE Me 3, lebih baik dengan diberikan vasopressor
(dopamine atau dikombinasi dengan Noradrenalin).
5.5.4 SHOCK KARDIOGENIK
PENYEBAB
Dapat terjadi pada keadaan-keadaan antara lain:
 Kontusio jantung
 Tamponade jantung
 Tension pneumotorarks, dibahas tersendiri dalam Bab. 5.5.5.
Pada versi lain pembagian jenis shock, ada yang membagi bahwa shock karidogenik hanya untuk
gangguan yang disebabkan karena gangguan pada fungsi miokard. Missal: decomp cordis, trauma
langsung pada jantung, kontusio jantung.
Tamponade jantung dan tension pneumotoraks dikelompokkan dalam shock obstructive (shock
karena obstruksi mekanik.
DIAGNOSA
 Hipotensi disertai gangguan irama jantung
 Mungkin terdapat peninggian tekanan vena jugularis (JVP)
 Lakukan pemriksaan fisik pendukung pada tamponade jantung (bunyi jantung menjauh
atau redup), pada tension pneumotoraks (hipersonor dan pergeseran letak trakea)

TINDAKAN
 Pemasangan jalur intravena dan pemberian infus kristaloid (hati-hati dengan jumlah
cairan).
 Pada aritmia mungkin diperlukan obat-obat inotropik.
 Perikardiosentesis untuk tamponade jantung dengan monitoring EKG
 Pemasangan jarum torakostomi pada tension pneumotoraks di ICS II-Mid Clavicular Line
untuk mengurangi udara dalam rongga pleura (dekompresi)

5.6. TENSION PNEUMOTORAKS


DEKOMPRESI / TORAKOSTOMI DENGAN JARUM
Needle thoracotomy dengan tehnik spuit yang diisi aquadest
Materi ini akan diperdalam dalam diskusi dan skill station, peragaan bagaimana diagnostic secara
fisik dan bagaimana melakukan dekompresi.
ALAT
1. Jarum berkatetr no. 14-16 (untuk bayi jarum bersayap no. 23).
2. Antiseptik, anastesi local (bila memungkinkan).

Gambar hal 70

TINDAKAN
1. Pasang masker oksigen paling tidak FiO2 60%.
2. Siapkan pasien, sudah terpasang jalur intravena.
3. Antiseptic daerah intercostal II daerah midclavicular.
4. Tusukkan jarum di tepi atas costa II sampai terdengar keluarnya aliran udara. Biasanya
gangguan pernapasan dan kardiovaskuler akan membaik dengan cepat. Selanjutnya pasien
dikonsultasikan dan disiapkan untuk pemasangan pipa torakostomi (chest tube).
5. Tahap-tahap tindakan tersebut harus dilakukan dengan cepat.

PEMASANGAN NEEDLE THORACOSYNTHESIS


Gambar hal 71
Gambar hal 71
Gambar hal 71
Gambar hal 72
Gambar hal 72

5.7.TAMPONADE JANTUNG
PERIKARDIOSENTESIS

Alat:
1. Jarum perikardiosentesis dan kawat penuntun (guide wire).
2. Aligator klip.
3. Semprit suntik.
4. Kasa dan plester.
5. Obat anastesi lokal dan sedative.
6. Obat antiseptic.
7. Oksigen suplemen.
8. EKG monitor.
9. Pulse oksimetri.

Gambar hal 73
Tindakan:
1. Siapkan pasien, berikan sedasi bila perlu.
2. Pasang jalur intravena.
3. Pasang oksigen, monitor EKG dan Pulse Oksimeter.
4. Pakai sarung tangan.
5. Bersihkan dengan antiseptic pad adaerah epigastrium dan sekitarnya.
6. Anestesi local di infiltrasi pada subxiphoid.
7. Masukkan jarum subxiphoid tepi kiri dengan sudut 45 derajat menuju arah ujung bawah
scapula kiri, bersamaan dengan masuknya jarum dilakukan aspirasi semprit.
8. Lakukan monitorisng EKG untuk mencegah masuknya jarum ke rongga jantung (bila
terjadi perubahan irama jantung, berarti jantung menusuk jantung).
9. Dengan mengurangi cairan 50 cc, maka jantung akan berfungsi dengan baik.
10. Cairan dalam siringe periksa untuk analisa di laboratorium.
11. Kawat penuntun masukkan melalui jarum tersebut, kemudian jarumnya dicabut dan
masukkan kateter dengan tuntunan kawat penuntun tersebut, cabut kawat penuntun.
12. Pertahankan posisi kateter pericardial dengan plester.
BAB 6
D: DISABILITY
(EVALUSI NEUROGENIK)
6.1. PENDAHULUAN
Kita mengetahui bahwa berat massa jaringan otak hanya 2% - 3% dari massa tubuh, namun
menerima 20% dari curah jantung (cardiac utput), yaitu 50-60 cc/ 100gr jaringan otak/ menit. Bila
cairan otak turun misalnya karena perdarahan hebat, shock, menjadi 18 cc/ 100 gram jaringan otak/
menit (menurun sampai 70-80% normal) akan menyebabkan perubahan biokimia sel dan
membrane yang menyebabkan perubahan fungsi otak yang menetap.
Pada keadaan dimana karena berbagai sebab jantung berhenti (cariac arrest) berarti sirkulasi darah
ke seluruh tubuh berhenti, terjadi hiposia yang berlanjut di tingkat sel. Selama aliran darah keotak
berhenti terjadi keadaan iskhemik dan dalam waktu 2-3 menit maka sumberenergi otak hanya
tersisa sekitar 10%. Tanpa bantuan resusitasi maka oksigen otak dengan cepat menurun hingga nol
(anoksia) dan sel otak hanya mampu bertahan 5-7 menit melalui pemanfaatan metabolism anaerob
dari glucose endogen, glikogen dan keton bodies. Hal ini yang mendasari bahwa pada kondisi
gawat darurat, emergency, jiwa terancam kematian, maka tindakan yang dilakukan harus cepat,
tepat dan cermat dalam ukuran menit dengan sistimatika Airway – Breathinh – Circulation. Time
saving is life saving.
KEadaan tersebut sangat berlainan dengan yang dialami pada kebanyakan sel jaringan tubuh,
misalnya jaringan otot yang masih dapat “tetap hidup” tanpa oksigen (anoksia) selama beberapa
menit dan kadang-kadang sampai selama 30 menit. Selama masa tersebut, jaringan sel mendapat
energinya melalui proses metabolism anaerobic.
Dalam keadaan istirahat metabolism otak kira-kira sebesar 15% dari seluruh metabolisme yang
terjadi atau kira-kira sebanyak 7.5% kali metabolism rata-rata dalam tubuh yang istirahat dengan
mengkonsumsi oksigen untuk 3.5 – 4 ml O2/ 100 gr/ menit. Sangat dimaklumi apabila kemampuan
jaringan otak melangsungkan metabolism an-aerobik sangat kecil (5-7 menit) selama aliran darah
berhenti. Salah satu penyebabnya adalah karena selain laju metabolism sel otak (neuron) yang
tinggi juga disebabkan karena jumlah glikogen yang diperlukan untuk metabolisme anaerob yang
terseimpan dalam sel otak sangat sedikit atau dapat dikatakan tidak ada. Dengan kata lain lebih
banyak energi yang dibutuhkan oleh setiap sel otak daripada yang dibutuhkan oleh jaringan lain.
6.2. TUJUAN
Menilai derajat angguan fungsi otak dan kesadaran baik akibat trauma kepala ataupun akibat
gangguan lain yang menyebabkan sirkulasi darah ke otak terganggu sehingga terjadi penurunan
kesadaran.
6.3. DIAGNOSA
Diagnosa dapat dilakukan dengan cara:
a. Secara cepat pada saat awal pemeriksaan pasien yaitu pada survey primer, dengan metode
AVPU.
b. Secara teliti dilakukan pada awal survey sekunder atau akhir survey primer, dengan metoda
GCS.
6.3.1. MENILAI DERAJAT KESADARAN DENGAN METODA AVPU
Dilakukan pada waktu pemeriksaan pertama (survey primer). Kontak pertama petugas
kesehatan dengan pasien. Saat akan memeriksa pasien pertama kali yang harus dilakukan
walaupun pasien dalam keadaan memejamkan mata adalah tegur sapa: “Bapak/ Ibu namanya
siapa?” dan seterusnya baru kemudian memeriksa pasien.
Alert: awake.
Pada manusia normal, sehat
Verbal stimulation: responds to Verbal command
Kesadaran menurun, tampak mengantuk namun terbangun dengan memuka mata
ketika namanya dipanggil.
Contoh: kondisi pre-shock, misalnya akibat perdarahan.
Pain stimulation: responds to Pain
Kesadaran menurun,tampak mengantuk, tidak terbangun ketika namanya dipanggil
dan baru terbangun dengan membuka mata atau menggerakkan anggota tubuhnya
ketika dicubit atau disakiti.
Contoh: kondisi shock.
Unresponsive
Tidak ada respon dengan rangsangan apapun.
Kesadaran sangat menurun, tampak sangat mengantuk, lemas, lemah, tidak
terbangun dengan membuka mata ketika namanya dipanggil dan bahkan tidak
bereaksi apapun ketika dicubit atau disakiti bagian tubuhnya. Lanjutkan dengan
penilaian ukuran serta reaksi pupil.
Contoh: kondisi shock berat

6.3.2. MENILAI DERAJAT KESADARAN DENGAN METODA GCS


GCS: Glasgow Coma Scale – Score

Pada trauma atau trauma kepala penilaian kesadaran secara teliti digunakan metode
Penilaian Derajat Skala Koma dari Glasgow University. Dampak langsung dari trauma
kepala adalah keadaan yang disebut sebagai edema otak, tekanan intra cranial naik
(cidera otak primer). Cidera ini dengan mudah akan berkembang menjadi lebih berat
(cidera otak sekunder) karena factor-faktor antara lain kondisi hipoksia, hiperkarbia,
hypovolemia, batuk, mengejan, dan semua peningkatan tekanan intra thorax atau intra
abdomen.
Pada dasarnya GCS adalah menilai derajat cedera kepala dan menilai GCS berulang
sangat berguna untuk meramal prognosis. Jika akan memutuskan suatu tindakan pada
pasien tersebut, tetapkan harga yang jika salah, tetapi tidak merugikan:
 Kalua GCS rendah berakibat kita harus melakukan tindakan invasive, berikan
nilai rendah.
 Kalua GCS tinggi membuat harapan yang lebih baik, berikan nilai tinggi agar
upaya medik jadi maksimal dan bersemangat.
GCS diukur jika pasien: tidak dibawah efek sedative, pelumpuh otot, narkotik, alkohol,
tidak hipotermia hipotensi, shock, hipoksia. Diukur apabila survey primer sudah tuntas.

PENILAIAN
Penilaian GCS meliputi respons mata, bicara dan gerak. Pemeriksaan dilakukan dengan
memberi rangsang nyeri yang dilakukan dengan cara menekan keras pada kuku jari
tangan pasien. Skor total maksimal 15, dengan perincian E – Eye responses (4), V –
Verbal responses (5), M – Motoric responses (6) pada sisi yang paling kuat.
Perkecualian penilain pada kondisi:
 Mata bengkak E = x
 Intubasi V = x
 Paraplegia M = x dan bedakan keadaan tidak bicara atau tidak ada kontak
karena tidak sadar (general dysfunction) atau aphasia (local dysfunction)

E – Score (kemampuan membuka mata/ eye opening responses)


Nilai
4 : Membuka mata spontan (normal).
3 : Dengan kata-kata akan membuka mata bila diminta.
2 : Membuka mata bila diberikan rangsangan nyeri.
1 : Tak membuka mata walaupun dirangsang.

V – Score (memberikan respon jawaban secara verbal/ verbal responses)


Nilai
5 : Memiliki orientasi baik karena dapat memberi jawaban dengan baik dan benar
pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan (nama, umur, dll)
4 : Memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya seperti bingung
(confused conversation).
3 : Memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawaban hanya berupa kata-kata
yang tak jelas (inappropriate words)
2 : Memberikan jawaban berupa suara yang tak jelas bukan merupakan kata
(incomprehensible sounds).
1 : Tak memberikan jawaban berupa suara apapun.

M – Score (menilai respon motoric ekstremitas/ motor responses)


Nilai
6 : Dapat menggerakkan seluruh ekstremitas sesuai dengan permintaan
5 : Dapat menggerakkan ekstremitas secara terbatas karena nyeri (localized pain).
4 : Respon gerakan menjauhi rangsang nyeri (withdrawal).
3 : Respon gerak abnormal berupa fleksi ekstremitas.
2 : Respon berupa gerak ekstensi.
1 : Taka da respon berupa gerak.
TINDAKAN
Pada penderita tidak sadar.
1. Pada dasarnya ditunjukan pada optimalisasi aliran darah sistemik dan aliran darah
otak (perfusi otak) dengan cara mencegah hipotensi, hipoksia, hiperkarbia, dan
mencegah kenaikan tekanan intracranial. Semua tindakan jaringan jangan
menyebabkan kenaikan tekanan intracranial. Semua tindakan jangan
menyebabkan kenaikan tekanan intracranial, misal: tindakan suctioning
2. Sistematika A – B – C
3. Do no further harm (jangan menambah cidera)
4. Pada trauma kepala baring kepala lebih tinggi 15o - 300 (Anti-Trendelenburg)
5. Cari penyebab
i. Trauma.
ii. Hipoksia hypercarbia misalnya pada kasus tidak sadar kemudian tersedak.
iii. Pengaruh obat sedatif, overdosis narkotik, amfetamin, ketamin, alkohol.
6. Diabetes, uremia, dsb
BAB 7
DRUG MANAGEMENT
(PENGGUNAAN OBAT GAWAT DARURAT)
7.1. TUJUAN PEMBELAARAN UMUM
Mengenal, memahami dan mampu memilih dan menggunakan obat darurat yang
diperlukan untuk resusitasi jantung paru otak (RJPO)

7.2. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


1. Mengenal obat-obat darurat Adrenalin, Amiodaron, Lidocain, dan Sulfas Atropin
2. Dapat menyiapkan, memberikan dengan benar sesuai dengan macam, dosis serta cara
pemberian
Obat-obatan tersebut harusdiberikan melalui jalur intravena kecuali Adrenalin dapat juga
diberikan intratracheal atau transtrakheal dengan dosis 3 – 10x dosis intra vena (Guidelines CPR
2005); juga untuk Lidokain dan Sulfas Atropin.

KLASIFIKASI: Intervensi obat-obatan


Klas I : Pilihan no. 1: indikasi/ dapat diterima: berguna dan efektif.
Klas II-A: Bukti-bukti klinis mendukung data efektifitasnya.
Klas II-B: Tidak didukung bukti-bukti klinis:mungkin menolong, tidak berbahaya
Klas III : Tidak didukung data-data klinis, mungkin berbahaya

7.3. JENIS OBAT


7.3.1. OBAT UNTUK CPR/ RJPO
1. EPINEPHRINE atau ADRENALINE
Kategori: Klas I

Adrenaline bekerja
pada adrenergic reseptor

Alfa Betha
Vasokontriksi Merangsang kontraksi jantung
(menciptakan diastolic > tinggi) Memperbaiki perfusi koroner
Pemberian ini dimaksudkan merangsang reseptor adrenergic dan meningkatkan
aliran darah otak dan jantung.
- Efek alfa-adrenergik diperlukan saat henti sirkulasi untuk penyediaan
cadangan oksigen otot jantung.
- Efek betha-adrenergik diperlukan saat sudah mulai ada kontraksi jantung
spontan.
EPINEPHRINE
WHY
 Meningkatkan
o Resistensi vaskuler sistemik
o Tekanan darah sistolik dan diastolic
o Aktivasi gelombang listrik di dalam miokardium
o Aliran darah ke serebral dan koroner
 Meningkatkan
o Kekuatan kontraksi miokard
o Kebutuhan oksigen miokard
o Automaticity
WHEN
 Henti jantung karena asystole, PEA, EMD
 Henti jantung karena pulseless VT atau VF yang tidak respon dengan DC-
shock.
 Bradikardia simtomatis
HOW
 1 mg IV, ulangi setiap 3 – 5 menit, tidak ada dosis maksimal
 Dapat diberikan lewat endotracheal tube atau disuntikkan transtracheal
melalui membrane crycothyroidea dengan dosis 3 – 10 kali dosis intra – venous,
diencerkan dengan aqua menjadi 10 cc (Guidelines CPR 2005).
 Preparat: 1 mg dalam 1 ampul.
 Tidak ada kontra indikasi untuk adrenalin pada henti jantung (cardiac arrest)
 Henti jantung dan bradikardia simtomatik yang diikuti hipotensi diberikan
continuous infusion, 30 mg Epinephrine HCL ditambahkan kedala 250 mL/ jam
dan dititrasi sampai efek hemodinamik yang diinginkan.
 Pada kasus Anafilaktik:
Subcutaneous: 0.3 – 0.5 mg.
WATCH OUT
 Auto-oksidasi
 Memperburuk iskemia miokard
 Merangsang ventricular ectopy, muudah terjadi aritmia jantung
 Menyebabkan hipertensi pada pasien yang tidak henti jantung.

2. AMIODARONE
WHY
 Efektif untuk supraventricular arrhythmia, ventricular arrhythmia
 Ventricular rate control
 Kardioversi farmakologik
 Mengubah konduksi yang melalui accessory pathway.
WHEN
 Cardiac arrest karena VT atau VF.
 VT dengan hemodinamik yang stabil.
 Takikardia QRS lebar yang tak pasti sumbernya.
 Polymorphic VT
Terapi tambahan setelah electrical cardioversion pada PSVT yang refrakter (II
a)
 Kardioversi farmakologis untuk AF (II a).
 Atrial Tachycardia (II b).
 Ventricular rate control pada rapid atrial arrhythmia pada pasien dengan
fungsi ventrikel yang buruk atau pada pasien dengan konduksi accessory
pathway (setelah defibrilasi dan epinefrin)
HOW
In cardiac arrest due to pulseless VT or VF:
 Dosis awal 300 mg, bolus, diencerkan dalam 20 – 30 ml saline atau D5%.
Diulangi, 150 mg untuk recurrent VT/ VF dan diteruskan dengan infus 900 mg/
24 jam (guidelines 2005)
Arhythmia
 Dosis awal: 150 mg, jika perlu, untuk recurrent or persistent VT/ VF.
 Diikuti dengan 1 mg/ min infus (6 jam)
 Kemudian 0,5 mg/ min
 Max. dosis sehari: 2 gram
WATCH OUT
 Hypotension
 Bradicardia
 Heart Block
3. LIDOCAINE atau xylocaine ATAU LIGNOCAINE
Efek: Menekan aktifitas ektopik ventrikel
Menekan/ menurunkan eksitabilitas otot jantung dan sistem konduksi jantung.

Indikasi:
- Arhythmia:
Premature ventrikel contraction (PVC) yang multiple, multifocal, dan salvo R
on T.
- Cardiac Arrest VF/ VT-pulseless termasuk kategori II-a, merupakan pilihan
kedua setelah amiodaron.
WHY
 Menekan aritmia ventrikel dengan menurunkan otomatisitas
 Menghentikan ventricular arhythmia re-entant
 Meningkatkan ambang fibrilasi
WHEN
 Pulseles VT dan VF yang refrakter, pilihan kedua setelah Amiodarone.
 Pasien dengan resiko terjadinya aritmia ventrikel yang maligna.
 Ventricular ectopy, wide complex tachycardias, ventricular tachycardia dan
VF.
 Tak direkomendasikan lagi untuk pemberian pencegahan rutin pada pasien
dengan IMA.
HOW
 Dosis awal: 1,0 – 1,5 mg/ kg IV bolus.
 Via ETT: 2 – 2,5 x IV dose.
 Bolus kedua: 0,5 – 7,5 mg/ kg every 5’ – 10’
(bila masih tetap ada aritmia), sampai total: 3 mg/ kg 1 jam pertama)
 Kemudian continuous IV infusion: 2 – 4 mg/ min (pada sirkulasi spontan).
WATCH OUT
 Perubahan neurologis.
 Depresi miokard & sirkulasi.
 Alergi
4. LIDOCAINE atau xylocaine ATAU LIGNOCAINE
WHY
 Non-adrenergic peripheral vasoconstrictor
 Half-life 10 – 20 menit (lebih lama dari epinephrine)
 Selama CPR meningkatkan perfusi coroner, tekanan darah, aliran darah ke
organ vital.
WHY
 Shock-refractory VF (II-b)
WHY
 40 U, IV single dose, 1 kali saja
 Klas II-b pada cardiac arrest karena asistol
5. SULFAS ATROPIN
Digunakan untuk bradikardia (denyut nadi < 60x/ menit) dan asistol yang dimaksud
untuk menurunkan tonus vagal dan memperbaiki sistim konduksi atrioventricular.
Kelas II-a: pada bradikardia
Kelas II-b: pada asistol, PEA, EMD.
WHY
 Obat parasimpatolitik
 Meningkatkan otomatisitas SA node maupun AV node melalui aksi vagolitik.
WHEN
 Terapi awal untuk bradikardia dengan symptom
 In 1st degree AV block, Mobitz type I AV block
 Pada 3rd degree block: termasuk klas IIb dan siap cardiac pacing
 Pada brady-asystolic cardiac arrest: mematahkan stimulasi vagal yang
berlebihan.
HOW
 Tanpa henti jantung: 0,5 – 1 mg, IV. Diulangi dalam interval 5 menit.
 Bila melalui ETT/ trans tracheal: 3 mg dalam spuit 10 cc.
 Brady-asystolic cardiac arrest: 1 mg IV. Diulangi dalam interval 5 menit.
WATCH OUT
 Menginduksi takikardia.
 Diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan infark miokard.
 Dosis berlebihan dapat menyebabkan: anti-cholinergic syndrome:
delirium, takikardia, flushing, kulit terasa panas, pandangan kabur.

7.3.2. OBAT UNTUK PERBAIKAN SIRKULASI


1. DOBUTAMINE
2nd drug pada bradikardia (setelah sulfas atropine).
Pada kondisi hypovolemia digunakan setelah tercapai kondisi normovolemia atau
deficit volume Intravascular diatasi. Khasiat bersifat “dose dependent”, tergantung
pada dosis. Pada dosis 5 – 10 ug (dosis inotropik), merangsang efek alfa dan beta
adrenergic sehingga kontraktilitas miokard, curah jantung (cardiac output) dan
tekanan darah meningkat. Dosis 10 – 15 ug (efek vasopressor).
Dosis:
Rendah : 1 – 5 mcg/ Kg.BB/ menit (1 – 5 gamma)
Medium : 5 – 10 mcg/ Kg.BB/ menit (5 – 10 gamma)
Tinggi : 10 – 20 mcg/ Kg.BB/ menit (10 – 20 gamma)
WHY
 Dosis rendah (1 – 2 ug/ kg/ min): merangsang reseptor dopaminergic
menyebabkan vasodilatasi serebral, renal dan mesenteric, tapi menyebabkan
meningkatnya tonus vena.
 Dosis 2 – 10 ug/ kg/ min: meningkatkan curah jantung dan sedikit
meningkatkan resistensi vaskuler sistemik.
 Dosis lebih dari 10 ug/ kg/ min: vasokontriksi renal, arteri perifer, mesenteric,
venous. Menyebabkan meningkatnya SVR-Systemic Vascular Resistance,
PVR-Peripheral Vascular Resistance dan preload.
WHEN
 Hipotensi tanpa ada hypovolemia.
 Bradikardia simtomatik dengan hipotensi, atau setelah kembalinya sirkulasi
spontan setelah CPR.
HOW
 Dosis infus awal: 1 – 5 microgram/ kg/ min, dapat ditingkatkan hingga tekanan
darah dan produksi urine membaik.
 Rentang dosis: 5 – 20 microgram/ kg/ min
 Sebaiknya gunakan infusion pump agar laju infus stabil.
WATCH OUT
 Meningkatkan laju jantung, dapat pula menyebabkan kongesti paru dan
perburukan curah jantung.
 Mual, muntah, terutama pada dosis tinggi.
 Nekrosis jaringan bila terjadi ekstravasasi.
 Menjadi tak aktif pada keadaan basa; jangan dicampur dengan sodium
bicarbonate.

2. ADENOSINE
1st drug untuk PSVT (Paroximal Supra Ventricular Tachycardia)
WHY
 Memperlambat konduksi melalui AV node.
 Menghentikan jalur re-entri di AV node
 Mengembalikan ke irama sinus pada pasien dengan PSVT
 Respon farmakologinya singkat.
WHEN
 Menghentikan SVT yang melibatkanjalur re-entri AV node.
HOW
 Dosis awal: 6 mg bolus cepat dalam 1 – 3” diikuti flush cepat normal saline.
 Dosis ulangan: 12 mg, jika tak berespon dalam 1 – 2 menit
 Teofilin menyebabkan kurang sensitif.
WATCH OUT
 Flushing, dyspnea, chest pain (biasanya hilang dalam 1 – 2 menit)
 Transient bradycardia dan ventricular ectopy
 Tak terlalu berpengaruh pada hemodinamik.

3. VERAPAMIL
WHY
 Menghambat aktifitas slow channel otot jantung dan otot polos vaskuler.
 Memperlambat konduksi dan memperpanjang masa refrakter AV node.
 Memperlambat respon ventrikel pada atrial flutter dan atrial fibrillation.
 Efek inotropic negatif dan kronotropik negatif yang potent.
WHEN
 Menghentikan SVT dengan berefek langsung pada AV node.
 Memperlambat respon ventrikel pada atrial flutter dan fibrillation.
HOW
 Dosis awal: 2,5 – mg bolus selama 1 – 2 menit, perlahan.
 Dosis ulangan: 5 – 10 mg dalam 15 – 30 menit setelah dosis awal.
 5 mg bolus, tiap menit, sampai berespon atau dosis total 30 mg.
WATCH OUT
 Atrial flutter / fibrillation dengan sindrom WPW.
 VT, dapat menyebabkan hipotensi atau VF.
 Hypotension, A-V block

4. SODIUM BIKARBONAT
Kelas I : Pada hyperkalemia.
Kelas II-A : Pada bicarbonate responsive acidosis
Kelas II-B : Prolonged resuscitation dengan ventilasi yang efektif.
Kelas III : hypoxic lactic acidosis (cardiac arrest dan CPR tanpa
intubasi)

SODIUM BIKARBONAT
WHY
 Buffer agent.
 Menghasilkan CO2, selama CPR bila transport CO2 ke dan dari paru berkurang
HOW
 1 mEq/ kg, IV bolus, sebagai dosis awal.
 Berikan setengahnya tiap 10”
 Periksa status asam basa dengan analisa gas darah.
 Dapat diberikan dengan infus, menggunakan NaHCO3 5%.
WATCH OUT
 Perhatikan PCO2
 Inotropik negatif
 Hypernatremia dan perosmolality
 Dengan infus menggunakan NaHCO3 5 %

7.3.3. LAIN - LAIN


1. MORPHINE SULPHATE
WHY
 Mengurangi kecemasan, sakit, dan iskemia.
 Meningkatkan venous capacitance.
 Menurunkan systemic vascular resistance.
 Menurunkan kebutuhan oksigen, iskemia, dan luas infark.
WHEN
 Sakit dan cemas karena IMA.
 Acute cardiogenic pulmonary edema.
HOW
 1 – 3 mg, bisa diberikan tiap 5 menit.
 GOAL: menghilangkan sakit.
WATCH OUT
 Depresi nafas.
 Antidote, bila narcosis berlebihan: Naloxone (0,4 – 0,8 mg).
 Hipotensi, perubahan laju jantung.

2. MORPHINE SULPHATE
WHY
 Mengurangi sakit karena iskemia.
 Venodilatasi, mengurangi aliran darah balik ke jantung/ pre-load dan konsumsi
oksigen.
 Meningkatkan aliran kolateral di jantung.
 Dilatasi arteri koroner.
WHEN
 Nyeri dada iskemia, angina pektoris tak stabil.
 Edema paruakut (systolic > 100)
 Dipakai rutin pada IMA
HOW
 Sublingual: 0,3 – 0,4 mg, diulang tiap 5 menit.
 Spray inhaler, ulang tiap 5 menit.
 IV infusion: 10 – 20 ug/ menit; dinaikkan 5 – 10 ug/ menit tiap 5 – 10 menit.
 GOAL: menghilangkan nyeri dan menurunkan tekanan darah.
WATCH OUT
 Hati-hati bila systolic < 90 mmHg.
 Turunkan MAP sampai 10% pada pasien normotensi, 30% pada pasien
hipertensi.
 Sakit kepala, tekanan darah turun, syncope, takikardia.
 Infark ventrikel kanan.
7.3.4. PADA ANAK-ANAK
Obat-obatan pada anak-anak harus memperhatikan dosis.
1. Epinephrine
 Dosis 0,01 mg/ kg.BB dapat diulang 3 – 5menit dengan dosis 0,01 mg/ kg.BB
IV (1:1000).
2. Atropine
 Dosis 0,02 mg/ kg.BB (minimal 0,1 mg) dapat diulang dengan dosis 2 kali tetapi
maksimal 1 mg.
3. Lidocaine (Lignocaine, Xylocaine)
 Dosis 1 mg/ kg.BB IV.
4. Natrium Bicarbonat
 Dosis 1 mEq/ kg.BB IV.
5. Kalsium Klorida
 Dosis 20 – 25 mg/ kg.BB IV pelan-pelan.
6. Kalsium Glukonas
 Dosis 60 – 100 mg/ kg.BB IV pelan-pelan.
BAB 8
DEFIBRILATION
(PENGGUNAAN KHUSUS)

8.1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


Mengenal, menyiapkan dan mampu menggunakan defibrilator
8.2. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
Dapat menyiapkan dan mengunakan defibrilator
8.3. ALAT
 Devibrilator/ cardioverter.
 Obat-obat sedative, jelly (pelumas).
 Alat untuk memberikan oksigen tambahan.
 EKG monitor.
 Pulse oksimetri (bila ada).
 Alat-alat resusitasi
 Infus (IV catheter)
 Suction

Gambar hal 89 Gambar hal 89


Trolley emergency Defibrilator Monophasic

8.4. INDIKASI
a. Defibrilasi unsynchronized cardioversion.
1. Fibrilasi ventrikel
2. Takikardia ventrikel tanpa denyut (pulseless ventricular tachycardia).
b. Defibrilasi synchronized cardioversion.
1. Pada takikardia ventricular yang stabil
2. Pada takikardia supraventricular tidak stabil dan sulit dikelola dengan obat-obatan.

8.5. TEKNIK DEFIBRILAOT PADA CARDIAC ARREST (DC SHOCK)


1. Oles dulu paddles dengan jelly ECG tipis rata, baru kemudian:
2. Switch ON
Pasang paddles pada posisi apex dan parasternal (boleh tebalik)
3. Tempelkan di dada, baru:
Gambar hal 90
 Charge 360 joules (Unsynchronized)
 Ucapkan dengan keras:
Awas semua lepas dari pasien!
o Nafas buatan berhenti dulu
o Bawah bebas, Gambar hal 90
o Samping bebas, Paddles di apex dan para sternal
o Atas bebas, dibawah clavicula dextra
Ditekan dengan kekuatan 10 kg
o Saya bebas!
(stand clear!!!)
4. Shock!! (tekan dua tombol paddles bersamaan)
5. lepas paddles dari dada, segera pijat jantung lagi.
Tanpa harus melihat dulu hasil DC-shock tersebut.
6. Setelah 2 menit baru di-evaluasi, raba lagi/ baca lagi monitor EKG
Pada cardiac arrest dengan irama jantung jenis shockable rhythm:
o Digunakan DC shock dengan mode: unsynchronized.
o Defibrilator monophasic: single shock 360 joule untuk setiap shock.
o Defibrilator bi-phasic: single shock 150 joule – 200 joules.
o Bila tetap VF/ VT, defibrilasi dilakukan berulang setiap 2 menit yang harus segera diikuti
dengan pijat jantung.
o Urutan: CPR – Drug – DC Shock, CPR – Drug – DC – Shock, dst.
o Epinephrine 1 mg dimasukkan apabila setelah DC shock ke dua irama masih tetap VF atau
VT. Pemberian berikutnya berupa dosis ulangan 1 mg setiap 3 – 5 menit tanpa ada batas
maksimum.
o Lidocaine atau amiodarone dapat diberikan apabila setelah pemberian 3 shock pertama,
irama tetap VT/ VF.

8.6. TEKNIK DEFIBRILATOR UNTUK CARDIOVERSION


Defibrilasi synchronized untuk kardioversi pada takikardia ventricular yang stabil (teraba nadi
karotis) atau takikardia supraventricular tidak stabil yang membandel dikelola dengan obat-obatan.
1. Tentukan irama jantung.
2. Siapkan defibrillator.
3. Sambungkan elektroda monitor.
4. Pasang cairan infus.
5. Berikan O2 kanula nasal/ masker.
6. Monitor pulse oksimetri dan EKG.
7. Pilih synchronized.
8. Tentukan dosis energi.
9. Letakkan pedal di dada (dengan tekanan ± 10 kg)
10. Jauhkan penolong dari tempat tidur pasien.
11. Tekan tombol charge, tungu sampai pengisian selesai (ditandai suara alarm).
12. Tekan tombol defibrillator setelah memeriksa keadaan, tidak ada penolong yang menempel
ke pasien/ tempat tidur.
13. Nilai kembali gambaran EKG.
14. Dapat diulang bila usaha pertama gagal.
Pada dasarnya sama dengan tindakan defibrilasi pada cardiac arrest hanya pada cardiac arrest
semua tindakan misalnya pasang IV line, intubasi, dll; tidak boleh menghentikan aktivitas CPR
(pijat jantung nafas buatan).
Komplikasi penggunaan defibrillator:
 Luka bakar bila jelly (pelumas yang digunakan) tidak cukup atau kontak yang kurang antara
paddle dengan dinding dada.
 Shock listrik (Shock Electric)
Terjadinya sengatan listrik oleh karena kebocoran arus listrik.

Gambar hal 92

Gambar hal 92
8.7. ALGORITMA VF dan pulseless VT

CARDIAC ARREST
Monitor/ alat belum siap

CPR 30 : 2 Raba Carotis


2 menit

Ada Tidak Ada


Lihat EKG

ROSC Shockable Unshockable

Pertahankan jalan nafas bebas tetap Shockable Unshockable


beri oksigen
Raba Arteri Radialis
Lihat EKG – ukur tensi nadi
Pertahankan infus Single Shock 360 J CPR 30 : 2 (2 menit)
Hipotensi: beri inotropic CPR 30 : 2 (2 menit) Adrenaline
Terapi Aritmia
Koreksi Eektrolit & cairan
Lihat manajemen Manajemen
Observasi di ICU VT/ VF Asistole
Waspada CA berulang

Adrenaline: 1 mg IV
Dapat diulang setiap 3 – 5 menit, tidak ada batas maksimal
8.8. DEFIBRILATION STRATEGY

VF/ Pulseless VT

- A single shock (I)


Biphasic 150 – 200 joules
Monophasic 360 joules
- CPR 30 : 2

NO Check EKG YES


Check Pulse

- A single shock (II) 2 Minutes, 30 : 2 ROSC


Biphasic 150 – 200 joules
Monophasic 360 joules
- Adrenaline
- CPR 30 : 2

NO Check EKG YES


Check Pulse

- A single shock (III) 2 Minutes, 30 : 2 ROSC


Biphasic 150 – 200 joules
Monophasic 360 joules
- CPR 30 : 2

NO Check EKG YES


Check Pulse

- Amiodarone 300 mg or Adrenaline: 1 mg IV ROSC


Lidocaine 1 mg/ kg Repeated every 3 – 5 minutes
- A single shock (IV)
Biphasic 150 – 200 joules - A single shock (IV)
Monophasic 360 joules Biphasic 150 – 200 joules
- CPR 30 : 2 Monophasic 360 joules
- CPR 30 : 2

dan seterusnya
BAB 9
E: ELEKTROKARDIOGRAFI (EKG)
9.1.TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Mampu mengetahui gambaran EKG yang mengancam jiwa
9.2.TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
1. Mengetahui tatacara [erekaman EKG
2. Mengetahui gambaran EKG yang dapat mengancam jiwa
9.3.DIAGNOSA
Mengetahui gambaran EKG normal
Membaca EKG harus dimulai dengan:
1. Gambaran EKG tersebut laik dibaca/ tidak.
2. Tentukan frekuensi jantung.
3. Tentukan ada/ tidaknya gelombang P
4. Tentukan interval PR.
5. Tentukan komplek QRS.
6. Aksis
7. Lihat kelainan yang ada, misalnya:
- Tanda-tanda hipertrofi.
- Tanda-tanda infark miokard.
Sebelum kita dapat membaca EKG, maka kita perlu mengetahui bagaimana cara yang benar
untuk merekam EKG pada pasien sehingga diharapkan hasil rekaman EKG tersebut dapat
dibaca dengan benar pula. Setelah kita dapat merekam EKG dengan benar, kita juga harus bisa
membaca EKG yang normal terlebih dahulu sebelum kita dapat membaca EKG yang tidak
normal.
9.4.PEMBACAAN EKG
Gambar hal 95
Kertas EKG
a. Kotak-kotak pada garis ventrikel-horizontal interval 1 mm.
b. Garis horizontal menyatakan waktu 1 mm = 0,04” dan 5 mm.
c. garis vertical menyatakan voltage 10 mm = mV
1. Syarat membaca EKG
a. Ada data identitas nama, umur, tanggal.
b. Ada kalibrasi.
c. Kabel tak terbalik (gelombang P di lead I (+) dan di aVR (-)
2. Cara membaca EKG
a. Tentukan apakah irama sinus (lihat gelombang P). Disebut irama sinus bila terdapat
gelombang P normal yang diikuti gelombang QRS kompleks. Gelombang P normal: bila
tinggi amplitudo <2,5 mm dan panjang gelombang < 0,12 detik
b. Tentukan rate/ frekuensi denyut jantung. Cara menghitung rate. Hitung RR – interval
(ventricular – rate) atau PP – interval (atrial – rate) ada berapa kotak besar. Hitung

300
= 𝑅𝑎𝑡𝑒 (𝑓𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑗𝑎𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔)
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟

c. Cara membaca axis


axis QRS/ ventrikel
1. Normal : -30o s/d +90o
2. Kanan : +90o s/d +180o
3. Kiri : -30o s/d -90o

9.5.ANATOMI EKG DAN INTERPRETASINYA


Gambar hal 97

a. Gelombang P
 Menyatakan aktivitas depolarisasi atrium.
 Jelas terbaca pada lead I, II, III, aVF.
 Normal gelombang P: lebar: < 0,12 dan tinggi: <1,5 mm.
Selalu memberikan gambaran gelombang (+) pada I dan II dan gambaran gelombang (-) pada
aVR.
b. Gelombang kompleks QRS
 Merupakan aktivitas depolarisasi ventrikel diawali.
 Gelombang Q di I, V5, V6.
 Gelombang R di V1, V2.
 Lebar Gelombang 0,07 – 0,10 mm
c. Penilaian Segmen
Penilaian segmen: awal P – awal QRS.
 Isoelektrik
 Perlambatan impuls di AV node
 0,12 – 0,20 mm
d. RST = ST segmen
 Mulai titik S sampai awal gelombang T.
 Biasanya isoelektrik.
 Prekordial: -0,5  -2,0

9.6.MEREKAM EKG
1. Penderita harus berbaring, rileks.
2. Kontak electrode dan kulit harus baik.
3. Alat EKG layak untuk digunakan (1 mV  1 cm deflexi).
4. Hindari arus bolak-balik (penderita dengan alat).
5. Hindari kontak dengan elektroda lain.
Pemasangan Lead: secara rutin 12 lead
a. I, II, III
b. AVR, Avl, aVF
c. V 1 – 6
Gambar hal 98
Gambar hal 98
Gambar hal 99

1. Unipolar lead: Wilson


 Extremitas (limb leads) aVR, aVL, Avf.
 Precordial/ chest lead: V
 Esophageal leads
 Intracardiac leads
2. Bipolar leads: Eindhoven
 I : Perbedaan LA – RA
 II : LL – RA
 III : LL – RA

I
II
I
+ =
II III III
+ +

9.7.CONTOH GAMBARAN EKG YANG ABNORMAL


Setelah kita dapat mengetahui EKG yang normal, barulah kita dapat membaca hasil rekaman
EKG yang tidak normal. Ada banyak macam gambaran EKG yang abnormal. Disini
mempelajari terutama gambaran EKG yang mengancam jiwa. Gambaran EKG yang dapat
mengancam jiwa dapat disebabkan oleh:
1. Adanya gangguan pembentukan impuls pada SA Node, Atrium, AV Node, Ventrikel.
2. Adanya gangguan sistem konduksi pada SA Node, AV Block, Bundle Branch Block.
3. Adanya gangguan keseimbangan elektrolit
 Hipo/ Hiperkalemia
 Hipomagnesia
 Hipo/ Hiperkalemia
4. Adanya pengaruh obat-obatan (digitalis)
Contoh-contoh:
Kelainan Irama Jantung
1. Takikardia:
 Supraventrikular takikardia
 Ventrikular takikardia
 Bradikardia

Gambar hal 100

2. Infark
Terdapat segmen ST elevasi bentuk cembung.
Gambar hal 101
Selama infark miokard akut, perubahan gambaran EKG melalui 3 fase
- Gelombang T elevasi, diikuti dengan gelombang T-inversi (gambar A dan B)
- ST segmen elevasi (gambar C)
- Terlihat gelombang Q (gambar D)
Gambar hal 101
3. Hipertrofi:
 Ventrikel kanan : - Axis ke kanan.
- Persisten S di V5 & V6.
 Ventrikel kiri : - Axis ke kiri.
- S di V1 atau V2 ditambah R di V5 dan V6
 Atrium kiri : - P mitral di II, III, Avr
- Bifasik P di V1
 Atrium Kanan : - P pulmonal di I, II, aVf
- Bifasik P di V1
TINDAKAN
 Pada PVC multiple, multifocal, salvo R on T diberikan Lidocaine.
 Pada VF/ VT tanpa nadi dilakukan DC shock unsynchronized, RJPO.
 Pada SVT dengan hemodinamik stabil baik diberikan obat (verapamil, beta blocker, digitalis,
adenosine).
 Pada SVT tidak stabil diberikan Cardioversion (DC shock synchronized)
 Pada asistol diberikan adrenalin, pijat jantung nafas buatan.
 Pada bradikardi dan AV block diberikan atropine, pacu jantung.
BAB 10
KOMUNIKASI PELAYANAN GAWAT DARURAT DAN RUJUKAN
10.1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Mampu melakukan komunikasi medik rujukan dan transportasi penderita gawat darurat.

10.2. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


1. Memahami masalah komunikasi medik rujukan.
2. Mampu membantu merencanakan persiapan pra rujukan dan transportasi.
3. Mampu merujuk penderita gawat darurat.

10.3. TUJUAN SISTEM KOMUNIKASI DALAM PELAYANAN GAWAT DARURAT


A. Latar Belakang
a. Kondisi geografis dan teknis.
 Indonesia negara kepulauan.
 Belum semua daerah:
- Dilengkapi sarana komunikasi memadai
- Sarana transportasi memadai.
Fasilitas komunikasi belum memadai di semua tempat.
b. Pada bencana alam/ buatan manusia perangkat telepon rawan lumpuh.
B. Peran dan Tujuan Pemanfaatan
Peningkatan mutu dan pemerataanan
Tradisional:
 Pada musibah masal/ bencana informasi/tergantung “nasib”.
 Transfer [enderita lewat suara konsultasi, jawaban lambat.
C. Komunikasi Pelayanan Gawat Darurat
a. Pelayanan gawat darurat sehari-hari
 Indikasi rujukan lebih tepat sasaran.
 Persiapan pra rujukan lebih baik, informasi pasca rujukan segera.
 Tambahan pengetahuan langsung.
 Diskusi jarak jauh pra dan pasca transfer pasien.
 Konsultasi jarak jauh.
b. Penanganan musibah/ bencana
 Early warning lebih cepat.
 Mobilisasi – koordinasi multi level – multi sector lebih baik.
 Kuliah jarak jauh.
c. Pemecah rasa terisolasi
 Bagi daerah tanpa fasilitas telepon
 Rasa aman bagi petugas

10.4. PEMANFAATAN KOMUNIKASI UNTUK RUJUKAN


A. RUJUKAN
Tidak semua penderita yang dating dapat diatasi sendiri. Untuk itu perlu dirujuk ketempat
lain yang lebih lengkap dan mampu. Cara tradisional yang selama ini dilakukan dengan
surat pengantar dan tidak didahului komunikasi dengan rumah sakit tujuan.
Kerugian dari cara ini adalah:
1. Rumah sakit tujuan tidak siap untuk menerimapenderita.
2. Stabilitas pra rujukan belum tentu sesuai dengan kebutuhan, sangat tergantung
kemampuan tenaga setempat sendiri tanpa ada koreksi kekurangan segera.
3. Bila terjadi penyulit selama rujukan, tidak ada sistem pendukung bagi pengantar
rujukan.
4. Pasca rujukan tidak ada penegasan apakah indikasi dan diagnose pra rujukan sudah
benar/ kurang benar.
Kesemuanyamenghilangkan kesempatan bersama yang sangat baik guna memberikan
pengalaman lebih untuk menghadapi kasus yang sama pada waktu mendatang.
Dari pengalaman RSU Dr. Soetomo sejak pengembangan Pusat Komunikasi Medik 1984
lalu, hendaknya hal-hal sebagai berikut:
1. Pra rujukan lakukan komunikasi untuk diskusi
 Keseragaman cara evaluasi penderita
 Ketepatan indikasi medik rujukan (kecuali atas pertimbangan non-medik
 Tindakan stabilisasi lain yang mungkin masih diperlukan transportasi
 Diskusi masalah potensial yang mungkin terjadi selama transportasi dan persiapan
tindakan pencegahan yang dianggap perlu.
2. Selama rujukan
 Tetap ditetapkan tempat ain yang mungkin dapat membantu kesulitan selama
perjalanan.
3. Pasca rujukan
 Diskusi ketepatan diagnosa pra rujukan.
 Pelajaran/ pengalaman lain yang didapat selama penanganan kasus sulit.

B. Musibah Massal/ Bencana


Pada musibah massal/ bencana akan jatuh korban dengan jumlah yang melebihi
kemampuan tersedia. Untuk itu diperlukan sarana komunikasi dan pengendalian kegiatan
semua fasilitas medik yang dapat dimobilisasi agar tercapai efisiensi dan efektivitas
pertolongan ditengah keterbatasan tenaga, sarana dan pendukung lainnya. Sistem
komunikasi apapun perangkat keras yang dipakai mutlak diperlukan untuk menunjang
keperluan ini. Agar dapat berfungsi secara optimal sistem ini harus telah tergelar sebelum
terjadinya musibah/ bencana sekaligus agar dapat berfungsi sebagai sarana yang dapat
mengaktifasi sistem pertolongan musibah massal/ bencana dalam waktu singkat.

10.5. PEMANFAATAN KOMUNIKASI UNTUK RUJUKAN


A. Jenis Jaringan Sistem Komunikasi Pelayanan Gawat Darurat Sesuai Keperluan
Pelayanan
 Aspek intra sector (sesuai jarring rujukan medik &kesehatan) atau antar ptretugas
kesehatan (sistem tertutup)
 Aspek lintas sector (local)
i. Hubungan dengan masyarakat (sistem terbuka)
ii. Hubungan dengan instalasi tertentu (sistem penunjang)
POLRI
PEMDA
Militer
Instansi lainnya
B. Bentuk Jaringan Intra Kesehatan
a. Lingkar intra puskesmas dan Pustu, Polindes, Ambulans
b. Lingkar intra Kabupaten
 Antar Puskesmas
 Puskesmas – RSU / Dinkes Kabupaten
c. Lingkar intra Provinsi
 RSU / Dinkes Kabupaten – RSU / Dinkes Provinsi
d. Lintas Provinsi
 Antar pusat rujukan
 Pada bencana
C. Aspek Muatan
a. Pada keadaan darurat baik perorangan maupun massal / bencana
 Rujukan gawat darurat perorangan & massal / bencana
 Rujukan sehari-hari non darurat / transfer penderita
 Rujukan kesehatan / pelaporan KLB
b. Kegawatan tak terjadi tiap saat namun kesiagaan untuk kedaruratan harus tetap tinggi
tiap saat, untuk itu sistem komunikasi harus tetap siaga pada keadaan normal
c. Rujukan program
 Penurunan IMR – MMR
 JPS
 Rawan gizi, dll
d. Rujukan alat
Contoh: perbaikan teknis alat medis
e. Rujukan kedinasan biasa
Supaya antar petugas saing kenal, sistem komunikasi siaga tiap saat
D. ASPEK TEKNIS
Perangkat Keras
 Telepon
- Utama pada daerah berkembang
 Radio
- Utama pada daerah terpencil
- Cadangan umum pada semua tingkat untuk keadaan khusus
- Mutlak perlu dipunyai oleh pusat-pusat rujukan daerah
- Pemilihan jenis perangkat kesesuaian titik yang dihubungkan

Perangkat Lunak
- Jejaring intra kesehatan & peran masing-masing
- Pusat komunikasi (communication centre) pada pusat rujukan 24 jam
- Tatalaksana komunikasi dan metoda pelaporan, log book
- Kontrol station local, regional dan tata bicara untuk radio
- Code system dan formulir khusus untuk berita melalui radio
(penjelasan berita, kurangi kemungkinan penyadapan berita)
E. PENGEMBANGAN TEKNIS
Telepon
- Fax
- Handphone (sangat tergantung RBS)
- Internet / email
- Teleconference
- Telepon satelit / low / middle / geostationer earth orbital
(operasional mahal, sekitar $ 10 / menit
Radio
- Pocket radio (fax by radio)

10.6. KEMAMPUAN SDM DAN PENGEMBANGANNYA


A. Sosialisasi sistem dan manfaatnya
 Pada pengambil keputusan
 Kebijakan pengembangan
 Kebijakan pemanfaatan sehari-hari
 Pengguna tingkat unit kerja
 Puskesmas
 Rumah sakit
 Tingkat provinsi
 Dinkes, kanwil, pemda
 Tingkat nasional
 Crisis center
B. Penentuan kemampuan tenaga operator
- Penguasaan sistem / perangkat lunak dan pelaporannya
- Sistem rujukan
- Teknis komunikasi khususnya radio
- Penguasaan teknis operasional perangkat keras
C. Penetuan kurikulum pelatihan dan pelaksanaanya adalah sesuai kebutuhan pelayanan
D. Perlunya daerah percontohan / model pengembangan

10.7. SISTEM KOMUNIKASI PELAYANAN GAWAT DARURAT SURABAYA


A. Network Surabaya dan Jatim
 Intrasektor
 Lintas sektor
B. Perangkat keras
Telepon
 Pelayanan umum (118)
 Internal PABX Rumah Sakit
Integrasi teleconference equipment / ISDN line dengan operator
Radio
 Jaringan umum VHF band (local Surabaya dan sekitarnya)
 Jaringan dinas / tertutup
VHF band multi canal (regional Jatim)
HF band multi canal (nasional)
 Lintas sector (Jasa marga – POLRI)
C. Perangkat lunak
 Protokol komunikasi bagi operator jaga
 Log book
 Darurat sehari-hari
 Darurat massal / bencana
 Evaluasi kegiatan (data berita, partisipasi net call, rujukan / KLB, emergency
ambulance call dan lain-lain)
D. Operasionalisasi
Eskalasi kegiatan “Siaga Sepanjang Waktu” berdasar:
a. Net call 3 kali sehari
b. Berita administrasi dan kedinasan
Eskalasi – I
a. Kedaruratan harian
b. KLB
c. Ambulans gawat darurat Surabaya
Konsep dasar: - Koordinasi
- Regionalisasi
- Standarisasi (Karjadi W – 1997)
Eskalasi – II
a. Pelayanan gawat darurat musibah massal
b. Pelayanan gawat darurat bencana
E. Sumber Daya Manusia
Operasi 24 jam
Tiap shift 2 orang, total tenaga 8 orang
Kurikulum pelatihan kemampuan perorangan
Kualifikasi:
 Penguasaan teknis operator radio dan telepon
 Mampu BLS plus
 Mampu sebagai paramedic ambulans
F. Pusat Komunikasi Medik RSUD Dr. Soetomo
Adanya pusat koordinasi pengendalian medik di Lantai III IRD RSUD Dr. Soetomo
kamar 313 (Radio Medik)
- Publik information centre
- Koordinasi intra Rumah Sakit
- Koordinasi antar Rumah Sakit
- Pengendali pelayanan ambulans gawat darurat Surabaya dan sekitarnya
- Siaga musibah massal / bencana dan pengendali pada kegiatan pertolongannya
- Pengendali utama sektor medik pada:
 Operasi ketupat (lebaran)
 Operasi lilin (tahun baru)
 Sekaligus sebagai kesempatan “latihan basah”
G. Contoh
PON XV (sebagai contoh adaptasi sistem darurat harian dan penanganan bencana)
Area tersebar di 10 kabupaten, berjarak 200 x 200 km meliputi 8000 atlet dan official.
Rawan kecelakaan olahraga di daerah Batu dan Karangkates Malang (180 km dari Surabaya)
dan rawat keributan dan konflik
Antisipasi:
Model ekskalasi kegiatan dan team penangkal
Lapis 1 : Tim kesehatan PON
Lapis 2 : Tim kesehatan penanggulangan medik
Musibah massal (TKPM3 Jatim)
Lapis 3 : Tim gerak cepat penanggulangan bencana
(TKPM3 plus Kesling, P2M, dan lain-lain)
Koordinasi terpusat lewat Puskodalmedkes di Surabaya
Telepon : 031-5501233, 5501244
Radio; ORARI : dial 718
Dinas VHF : Kaal 1 dan 4
Dinas HF : 5.407 & 5405,6 USB
15.802,5 USB
Pola Operasi
Pos Lapangan:
Pokes di Wisma
Pokes di Lapangan pertandingan
Pos Depan
Puskesmas/ Rumah Sakit terdekat milik siapapun
(mobilisasi & koordinasi oleh Dinkes Prov. & PERSI Jatim)
Pos Belakang
RS terlengkap di daerah terdekat atau ditarik ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Siaga ambulans cadangan dikendalikan terpusat lewat Posko Kes Kabupaten dan
Puskodalmed/ Puskodalmedkes PON XV, koordinasi ketat dengan bidang keamanan
 Puskodalmed harian menjadi Puskodalmedkes PON X
 Sistem komunikasi tergelar penuh 24 jam, keharusan pelaporan semua kasus, dimonitor
khusus, dibicarakan tiap jam 20.00
 Perangkat keras apapun yang ada sesuai yang dimiliki saat itu, Puskodalmed
menyesuaikan.
Termonitor langsung ditangani 1885 kasus termasuk korban keributan kecil saat pembukaan
dan saat pertandingan, harus masuk Rumah Sakit 65 kasus

10.8. PENUTUP
1. Sistem komunikasi pelayanan gawat darurat mutlak diperlukan untuk menunjang
kelancaran pelayanan gawat darurat baik harian maupun musibah/ bencana.
2. Rujukan hendaknya didahului dengan komunikasi para rujukan selanjutnya bila perlu
selama rujukan dimonitor dan diakhiri dengan komunikasi pasca rujukan guna memberikan
pengalaman belajar Bersama dalam penanganan kasus sulit.
3. SKPGD dengan radio komunikasi khususnya daerah terpencil dan daerah bencana
merupakan kebutuhan dasar.
4. Perlu tindak lanjut pengembangan SDM dan perangkat keras radio yang telah ada secara
terpadu (termasuk alokasi frekuensi ex Parpostel), demikian pula adanya Pusat
Komunikasi di pusat rujukan guna memudahkan masuknya permuintaan bantuan darurat
baik untuk kedaruratan harian maupun musibah/ bencana.
BAB 11
TRANSPORTASI
MENGANGKAT DAN MENGANGKUT
11.1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Mengetahui dan mampu menggunakan alat-alat transportasi penderita gawa darurat
11.2. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
1. Mengetahui cara transportasi tanpa alat
2. Mengetahui cara transportasi dengan alat
3. Mengetahui cara memindahkan pasien dengan curiga cedera leher
11.3. DEFINISI
Suatu proses usaha memindahkan dari suatu tempat ke tempat lain tanpa ataupun
mempergunakan bantuan alat. Tergantung situasi dan kondisi lapangan.
11.4. ATURAN DALAM PEMINDAHAN KORBAN
1. Pemindahan korban dilakukan apabila diperlukan betul dan tidak membahayakan
penolong.
2. Terangkan secara jelas pada korban apa yang akan dilakukan agar korban dapat
kooperatif.
3. Libatkan penolong lain. Yakinkan penolong lain mengerti apa yang akan dikerjakan.
4. Pertolongan pemindahan korban di bawah satu komando agar dapat dikerjakan
Bersama.
5. Pakailah cara mengangkat korban dengan Teknik yang benar agar tidak membuat
cedera punggung penolong.
11.5. PERLENGKAPAN
Yang perlu diperhatikan: perlengkapan seharusnya lengkap dan cukup serta diletakkan di
suatu tempat yang mudah dicapai dan mudah di bawa.
Perlengkapan dasar
1. Tempat/ kotak tidak tembus air.
2. Bebagai ukuran pembalut dengan perkiraan jumlah 20 gulung.
3. 6-10 lembar kasa steril berukuran medium/ sedang.
4. 2 lembar kasa steril berukuran besar/ lebar.
5. 2 lembar kasa steril berukran lebih besar.
6. 6 lembar pembalut segitiga.
7. 6 peniti.
8. Beberapa sarung tangan steril.
Perlengkapan tambahan
1. 2 gulung pembalut elastis.
2. Gunting.
3. Klem/ pinset.
4. Kapas.
5. Desinfektan.
6. Plester perekat.
7. Alat tulis & label / tag.
8. Perlengkapan untuk universal precaution.
a. Kaca mata.
b. Topi dan masker.
c. Sarung tangan.
d. Baju pelindung dari bahan plastic (tidak tembus cairan).
9. Selimut, alas dari plastic/ karet, lampu dengan baterai.

11.6. TEKNIK
Proses pemindahan dilakukan oleh satu penolong, dua penolong, atau lebih tanpa
menggunakan alat-alat bantu.
1. Oleh satu penolong: dipapah, diseret, ditimang, digendong di punggung.
2. Oleh dua penolong: dapat dilakukan dengan cara
a. Dua tangan menyangga paha korban dan dua tangan lain menyangga punggung
korban.
b. Satu penolong mengangkat korban dari arah punggung korban sedangkan penolong
yang lain menyangga tungkai korban.
3. Oleh tiga penolong dapat dilakukan dengan cara korban diangkat Bersama-sama
dengan kondisi korban terbaring.
KONDISI KORBAN SATU PENOLONG DUA PENOLONG
Sadar mampu berjalan Cara Human Crutch Cara Human Crutch
Sadar tidak mampu berjalan Cara piggyback atau cradle Cara two-handed seat atau
untuk kasus dengan berat fore-and-aft carry
badan ringan cara drag
Tidak sadar Cara cradle atau drag Cara fore-and-aft carry

11.6.1. TANPA ALAT


11.6.1.1. TENAGA PENOLONG SATU ORANG
a. Teknik menyangga penolong (Human Crutch & Drag Methode)
Cara Human Crutch
Dipapah dengan dirangkul dari samping, bila dimungkinkan berikan alat bantu
jalan sebagai penopang atau penguat (alat bantu ekstra).
1. Berdiri disamping pasien di sisi yang cedera atau yang lemah, rangkulkan
satu lengan pasien pada leher penolong yang lain dari arah belakang
menggait pinggang pasien.
2. Tahan kaki penolong yang berdekatan dengan pasien untuk mendampingi
pasien, sedang kaki penolong yang jauh dari pasien maju setapak demi
setapak.
3. Bergeraklah pelan-pelan maju.
4. Selanjutnya tarik pelan-pelan gulungan yang ada di arah kepala agar terbuka
mengalasi tubuh pasien bagian atas sedang gulungan yang ada di kaki Tarik
ke bawah agar terbuka mengalasi tubuh pasien bagian bawah. Seundukan
kedua tongkat masing masing di kiri dan kanan tepi kanvas yang sudah di
lipat dan di jahit.
5. Angkat dan angkut pasien hati-hati.

Cara Drag (DDrag = diseret)


1. Jongkoklah di belakang pasien bantu pasien sedikit/ setengah duduk. Atur
kedua lengan pasien menyilang dadanya.
2. Susupkan kedua lengan penolong di bawah ketiak kiri dan kanan pasien dan
gapai serta pegang kedua pergelangan tangan pasien.
3. Secara hati-hati Tarik/ seret tubuh pasien kebelakang sembari penolong
berjalan jongkok ke belakang.
4. Bila pasien kebetulan memakai jaket buka semua kancingnya, balik bagian
belakang jaketnya, Tarik dan seret hati-hati bagian belakang.
Gambar hal 116
Human Crutch
Gambar hal 116
Drag Methode
b. Teknik Menggendong dan Membopong
Cradle (cradle = dibopong) dan Pick-A-Back
Cara-cara ini tidak digunakan pada pasien dengan cedera pundak, kepala, dan
leher
Gambar hal 116
Cradle = dibopong

Gambar hal 116


PICK-A-BACK
Cara cradle
1. Jongkoklah di belakang pasien letakkan satu lengan penolong merangkul di
bawah punggung pasien sedikit di atas pinggang
2. Letakkan lengan yang lain di bawah paha pasien tepat di pelipatan lutut.
Berdirilah pelan-pelan dan bersamaan mengangkut pasien.

Cara PICK-A-BACK
1. Jongkoklah di depan pasien dengan punggung menghadap pasien. Anjurkan
pasien meletakkan kedua lengannya merangkul di atas pundak penolong.
Bila dimungkinkan kedua tangannya saling berpegangan di depan pada
penolong.
2. Gapai dan peganglah paha pasien, pelan-pelan angkat ke atas menempel
pada punggung penolong.

11.6.1.2. TENAGA PENOLONG 2 ORANG


a. CARA THE TWO HAND SEAT
Ditandu dengan kedua lengan penolong
Gambar hal 117
Kedua lengan penolong yang menerobos di bawah lipatan lutut pasien, saling
bergandengan dan mengait dengan cara saling memegang pergelangan tangan.
Gambar hal 117
Pasien didudukkan
1. Kedua penolong jongkok dan saling berhadapan di samping kiri dan kanan
pasien lengan kanan penolong kiri dan lengan kiri penolong kanan saling
menyilang di belakang punggung pasien. Menggapai dan menarik ikat
pinggang pasien.
2. Kedua lengan penolong yang menerobos di bawah pelipatan lutut pasien,
saling bergandengan dan mengait dengan cara saling memegang
perfelangan tangan.
3. Makin mendekatlah para penolong.
4. Tahan dana tur punggung penolong tegap. Angkatlah pasien pelan-pelan
bergerak ke atas

b. CARA THE FORE AND AFT CARRY


Jongkoklah dibelakang pasien
1. Dudukkan pasien. Kedua lengan menyilang di dada. Rangkul dari belakang
dengan menyusupkan kedua lengan penolong di bawah ketiak pasien
setinggi dada pasien.
2. Pegang pergelangan tangan kiri pasienoleh tangan kanan penolong dan
pergelangan tangan kanan pasien oleh tangan kiri penolong.
3. Penolong yang lain jongkok di samping pasien setinggi lutut pasien dan
mencoba mengangkat kedua paha pasien.
4. Bekerjalah secara koordinatif. Pertahankan punggung tegap. Angkat pelan-
pelan.
Gambar hal 118
Gambar hal 119

11.6.2. DENGAN ALAT


Proses pemindahan dapat dilakukan oleh dua-empat penolong dengan menggunakan alat-
alat bantu:
 Dengan menggunakan kursi kayu.
 Dengan menggunakan kayu / usungan.
- Dari bahan kayu atau bamboo.
- Dari bahan kayu, kanvas, kain tebal, atau selimut.
- Dari bahan logam
 Dengan menggunakan usungan beroda atau tempat tidur beroda.
 Dapat menggunakan kendaraan berupa
- Motor
- Mobil, Ambulans.
- Pesawat terbang, Helikopter
Cara-cara memindahkan korban akan di tunjukkan langsung pada pelatihan praktek.

11.6.2.1. TENAGA PENOLONG 2 ORANG


Dengan kursi
Gambar hal 120

11.6.2.2. MEMAKAI TANDU/ STRETCHER


Gambar 120
Mengangkat yang aman
Diperlukan otot otot yang kuat antara lain:
Otot-otot paha, otot-otot pinggul dan otot bahu.
Ikuti cara-cara berikut:
1. Piker masak-masak sebelum mengangkat/ konsentrasi.
2. Berdiri sedekat mungkin dengan pasienatau alat-alat angkat.
3. Pusatkan kekuatan pada lutut.
4. Atur punggung tegak namun tidak kaku.
5. Gunakan kaki untuk menopang tenaga yang diperlukan.
6. Selanjutnya bergeraklah secara halus, tahanlah sipasien atau alat angkut kea rah
penolong.

11.6.2.3. MEMINDAHKAN PASIEN DENGAN KURSI BERODA


Persiapan:
1. Siapkan kursi, cek cukup/ kuat bagi berat pasien.
2. Pastikan kursi tidak cacat/ tidak rusak.
3. Dudukan pasien diatas kursi roda, yakin aman, pergunakan sabuk pengaman
Satu penolong menahan-membantu di belakang kursi, sedang penolong lain meyakinkan
duduk pasien sudah aman.
1. Yakinkan pada pasien apa yang harus dilakukan.
2. Yakinkan bahwa pasien sudah pada posisi yang aman.
3. Miringkan ke belakang pelan dan hati-hati.
4. Dorong kursi pelan dan hati-hati kedepan dengan kecepatan.
5. Jaga hati-hati keseimbangan kursi
Apabila medan yang harus di tempuh ternyata harus menuruni atau menaiki anak tangga
maka kerjakan cara Down Step berikut:
1. Berdirilah di belakang kursi beroda pasien, di anak tangga yang tertinggi dimana
saudara berada. Penolong yang lain berdiri beberapa anak tangga ke bawah menghadap
ke kursi pasien.
2. Dorong pelan-pelan kursi kedepan hingga roda kedepan hingga roda dekat dengan
tepian anak tang. Penolong kedua berjongkok didepan nya dan menggait serta
mengangkat pegangan kursi dengan pasien yang ada di bagian kaki pasien.
3. Penolong kedua mengangkat kursi sembari memberikan aba-aba untuk Bersama-sama
menganggkat pegangan kursi dengan pasien nya. Aba-aba dilanjutkan untuk kemudian
menuruni atau menaiki tangga.
11.6.3. MENGUSUNG KORBAN DENGAN SELIMUT
 Letakkan selimut terbuka diatas lantai.
 Gulung salah satu sisi selimut.
 Geser seluruh selimut mendekat pasien dengan sisi tergulung menempel pasien.
 Gelindingkan pasien hati-hati dan bersamaan ke atas selimut. Tarik sisi selimut
yang tergulung dan buka sedikit-sedikit.
 Selanjutnya terlentangkan kembali posisi pasien.
 Gulung tepi selimut yang masih terbuka kearah pasien.
 Terakhir posisi pasen terletak di atas selimut yang kedua sisinya tergulung, di sisi
kiri dan kanan pasien.
 Angkat pasien Bersama-sama dengan memegang gulung selimut.
MENYELIMUTI PASIEN DI ATAS USUNGAN
Dengan selembar selimut
 Letakkan selembar selimut terbuka diatas usungan, atur dengan arah diagonal,
pojok atas dan bawah selimut di arah kepala dan kaki dari usungan sedang pojok
kiri dan kanan selimut terbuka di sisi kiri dan kanan usungan.
 Baringkan pasien di atas selimut tersebut.
 Lipat ujung pojok bawah selimut menutup kaki pasien.
 Lipat sisi pojok kanan selimut menutup tubuh pasien dan selipkan ujung pojok
kanan selimut tersebut di bawah tubuh pasien. Selanjutnya lipat sisi pojok kiri
selimut menutup di atasnya. Begitu pula ujung pojok kiri selimut di bawah tubuh
pasien.
 Terakhir ujung pojok atas selimut atur sedemikian rupa secara rapi menutup kepala
pasien.
Dengan dua lembar selimut
 Letakkan satu selimut terbuka lebar melintang di atas usungan, sedangkan selimut
yang lain terbuka membujur di atas selimut pertama.
 Lipat kedua sisi kiri dan kanan selimut ke dua arah tengah.
 Baringkan pasien di atas selimut kedua.
 Tutup kedua tungkai pasien dengan tepu bawah ujung selimut kedua.
 Ambil tepi kanan selimut pertama. Selimutkan pada pasien, selipkan sisa tepinya
di bawah tubuh pasien sisi kiri selanjutnya ambil tepi kiri selimut pertama
menyelimuti tubuh pasien selipkan sisa tepinya di bawah tubuh pasien sisi kanan.
 Atur sisi tepi selimut kedua di arah kepala agar menutup kepala pasien dengan rapi.

11.6.4. TANDU (STRETCHER)


STRETCHER – USUNGAN, ALAT ANGKAT DAN ANGKUT
Sebelum digunakan selalu harus diperiksa lebih dahulu: apakah cukup kuat tidak robek. Yakin
dapat digunakan untuk mengangkut seberat pasien. Bila akan digunakan untuk pasien
terangkan sejelasnya pada pasien. Yakin ada tali pengaman agar pasien tidak jatuh.

CARA MEMBAWA STRETCHER


Peraturan umum membawa pasien dengan usungan kepala pasien arah belakang kecuali hal-
hal tertentu:
1. Korban dengan kerusakan tungkai berat, hipotermia, menuruni tangga atau bukit.
2. Pada pasien stroke trauma kepala, letak kepala harus lebih tinggi dari letak kaki.
Setiap pengangkat siap pada keempat sudut. Apabila hanya ada 3 pengangkat, maka 2
pengangkat di bagian kepala sedang yang satu di bagian kaki. Masing-masing pengangkat
jongkok dan menggapai masing-masing pegangan dengan kokoh.
Gambar hal 123
Di bawah komando salah satu pengangkat di bagian kepala, keempat pengangkat bersamaan
berdiri sambal mengangkat usungan (stretcher). Komando berikutnya pengangkat bergerak
maju perlahan-lahan. Dengan posisi tubuh dekat dengan usungan. Selanjutnya untuk
menurunkan usunfan dengan satu komando keempat pengangkat berhenti dan selanjutnya
bersamaan merunduk sambal menurunkan usungan.

PEMBAGIAN UMUM JENIS STRETCHER


1. Tandu Sederhana
2. Tandu Rescue
3. Tandu Ambulans
4. Orthopaedics Stretcher
5. Tandu Alas Keras

STRETCHER STANDARD
Dikenal the Furley stretcher terbuat dari selembar kanvas atau plastic yang dibatasi dan
melekat pada sebilah tongkat kiri dan kanan dengan kaki pendek di kedua ujung tongkat
tersebut. Kedua tongkat tersebut saling dihubungkan oleh engsel pengait.
The until folding stretcher. Seperti the furley stretcher namun lebih ringan dan lebih padat –
ringkas bila dilipat.
Gambar hal 124
Cara membuka THE FURLEY STRETCHER
Rebahkan gulingan stretcher terbaring pada satu sisi tongkatnya, lepaskan semua tali
pengikatnya.
Regangkan kedua tongkat pembatas kanvas dan buka engsel pengaitnya.
Kedua engsel pengait telah terbuka kedua tongkat pembatas kanvas telah teregang jadilah
sekarang usungan dari bahan kanvas.
Cara menutup THE FURLEY STRETCHER
Lepas dan kendorkan engsel pengati kedua tongkat pebatas tepi kanvas.
kedua tongkat pembatas tersebut dapat didekatkan sehingga kanvas melipat.
makin dekatkan kedua tongkat tersebut hingga saling berimpit. Lipat dan gulungkan kanvasnya
menutup kedua tongkat pembatas tersebut. Selanjutnya ikat dengan tali.

Gambar hal 125


STRETCHER KHUSUS
1. The Rescue Stretcher
The Rescue Stretcher dirancang untuk memindahkan korban dari tempat-tempat yang sulit
dicapai. Hanya digunakan oleh penolong-penolong terlatih.
Gambar hal 126
2. Trolley Cot (Tandu Ambulan)
Trolley Cot umumnya digunakan dan diletakkan dalam ambulans. Digunakan oleh petugas
terlatih. Dapat diubah-ubah bentuknya, dapat terbuka datar maupun terlipat seperti posisi
kursi.
Gambar hal 126
Gambar hal 127
3. Orthopaedics Stretcher
Disebut juga scoop stretcher usungan ini dapat dipisahkan menjadi dua bagian kiri dan
kanan sebagai sayap kiri dan kanan. Dengan di kedua ujung atas dan bawah ada pengunci.
Bila kedua sayap kiri dan kanan tersebut didekatkan pengunci mengait sehingga menjadi
satu kesatuan merupakan usungan yang kokoh.
Gambar hal 127
Cara menggunakan SCOOP STRETCHER
Pusatkan kedua sayap usungan dengan membuka kuncinya di bagian ujung atas dan bawah.
Dekatkan masing-masing sayap di sisi kiri dan kanan pasien dengan arah pengunci atas di
kepala pengunci bawah di kaki. Geser hati-hati kedua sayap usungan tersebut makin
mendekat makin menyusup punggung pasien dengan alas pasien.
Setelah posisi tepat, dekatkan kedua pengunci atas dan bawah. Kunci dengan tepat. Angkat
dan angkutlah pasien dengan hati-hati

4. Tandu Alas Keras/ LONG SPINE BOARD


Gambar hal 128

5. Canvas Poles Stretcher


Usungan dari bahan kanvas dengan dua tongkatnya kiri dan kanan untuk penguat. Sering
digunakan untuk mengangkut pasien ke ambulan.
Cara menggunakan
1. Letakkan kanvas tebuka lebar diatas lantai. Lipat atau gulungkan kedua sisi tepi kanvas
ke arah tengah. Kedua lipatan tersebut bertemu di tengah kanvas.
2. Penolong lain mengngkat tubuh pasien hati-hati setinggi ±2 ½ cm tepat pada bagian
pinggul selundupkan gulungan kanvas tadi menyusup di bawahnya.
11.7. AMBULANS

Gambar hal 129


HEAD CLEARANCE TINGGI

Gambar hal 129


Atap ambulans harus tinggi agar kita dapat bekerja di dalamnya.

Gambar hal 129


Gambar hal 129
Gambar hal 129
Gambar hal 129

11.8. LOG ROLL


Log roll berasal dari kata log (balok kayu dan roll (berguling), jadi log roll adalah cara
memindahkan atau memiringkan pasien dengan prinsip kegarisan.log roll digunakan terutama
untuk memindahlan pasien dengan kecurigaan patah tulang leher, dengan harapan tidak
memperparah cedera yang dialami. Kita harus mencurigai paien mengalamipatah tulang leher
apabila didapatkan tanda-tanda sbagai berikut:
 Adanya jejas di atas clavicula
 Trauma yang mengakibatkan korban tidak sadar
 Multiple trauma
 Trauma dengan kecepatan tinggi
 Adanya deficit neurologis, misalnya parastesi, hemiparese sampai hemiplegia.
Log roll dilakukan dengan 4 orang penolong, dimana 1 orang bertanggung jawab atas airway
dan breathing pasien sekaigus menjadi pemimpin. Tiga orang lainnya berada di samping pasien
dengan tangan saling bersilangan sehingga apabila satu orang bergerak maka yang lain akan
bergerak juga. Semua tindakan harus dengan aba-aba orang pertama sehingga pasien tetap
dalam posisi kesegarisan.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memiringkan pasien, antara lain:
 Bila terdapat patah tulang yang belum dibidai maka memiringkan pasien kearah yang
sakit, seolah-olah kita menggunakan lantai sebagai bidai.
 Bila terdapat patah tulang yang sudah di bidai, miringkan pasien kea rah yang sehat.
 Bila terdapat patah tulang di kedua sisi dan belum di bidai, miringkan pasien kea rah
yang lebih parah.
 Bila terdapat patah tulang di kedua sisi dan sudah di bidai, miringkan pasien kea rah
yang lebih sehat.
Setelah pasien dimiringkan maka penolong kedua sampai keempat secara bergantian
memeriksa bagian punggung pasien (back check) untuk melihat apakah ada DECAP-BLS-
PIC.
LOG ROLL
Gambar hal 131
Gambar hal 131
Gambar hal 131
Gambar hal 131
Gambar hal 131
Gambar hal 131
11.9. TRANSPORTASI
UNTUK KORBAN YANG DIDUGA PATAH TULANG LEHER
Gambar hal 132
Fungsi dapat digantikan dengan bantal pasir
Gambar hal 132
Head immobilizer
Gambar hal 132
Gambar hal 132
Gambar hal 132
Gambar hal 132
Diberi bantal pasir dikanan kiri kepala dan dagu serta dahi diikat/ diplester

11.10. TEKNIK MELEPASKAN HELM


Gambar hal 133
Gambar hal 133
Gambar hal 133
Gambar hal 133
Gambar hal 133
Gambar hal 133
11.11. UNTUK DUGAAN PATAH TULANG LEHER
Pada korban yang terperangkap di mobil
Gambar hal 134
Gambar hal 134
Gambar hal 134
Gambar hal 134
Gambar hal 134
Gambar hal 134
Gambar hal 135
Gambar hal 135
Gambar hal 135
Gambar hal 135
Gambar hal 135
Gambar hal 135
Gambar hal 135

11.12. IMMOBILISASI TULANG PANJANG


Prinsip: pasien harus dilakukan pembalutan dan pembidaian, baru setelah itu
dilakukan transportasi atau di rujuk.
Contoh: Patah tulang lutut
BAB 12
PEMBALUTAN DAN PEMBIDAIAN

12.1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


Mampu melakukan pembebatan dan pembidaian pasien yang benar

12.2. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


1. Mengerti arti bebat, bidai
2. Mengenal jenis/ macam bebat, bidai
3. Mengerti fungsi dan kegunaan bebat, bidai
4. Mampu melakukan pembebatan dan pembidaian dan transportasi pasien dengan benar

12.3. DEFINISI DAN TUJUAN PEMBALUTAN


Pembalutan adalah penutupan suatu bagian tubuh yang cedera dengan bahan tertentu
dengan tujuan tertentu
TUJUAN PEMBALUTAN
Tujuan pembalutan meliputi satu atau lebih hal-hal berikut:
1. Menahan sesuatu seperti:
 Menahan penutup luka
 Menahan pita traksi kulit
 Menahan bidai
 Menahan bagian tubuh yang cedera dari gerakan dan geseran (sebagai splint)
 Menahan rambut kepala di tempat
2. Memberikan tekanan, seperti terhadap:
 Kecenderungan timbulnya perdarahan atau hematom
 Adanya ruang mati (dead space)
 Membantu mengatasi perdarahan
3. Melindungi bagian tubuh yang cedera.
4. Memberikan support terhadap bagian tubuh yang cedera.
5. Melindungi bagian tubuh yang cedera sehingga mengurangi infeksi
12.4. PRINSIP DAN SYARAT PEMBALUTAN
PRINSIP-PRINSIP PEMBALUTAN
1. Balutan harus rapat rapi jangan terlalu erat karena dapat mengganggu sirkulasi
2. Jangan terlalu kendor sehingga mudah bergeser atau lepas
3. Ujung-ujung jari dibiarkan terbuka untuk mengetahui adanya gangguan sirkulasi
4. Bila ada keluhan balutan erat hendaknya sedikit dilonggarkan tapi tetap rapat,
kemudian evaluasi keadaan sirkulasi

SYARAT-SYARAT PEMBALUTAN
1. Mengetahui tujuan yang akan dikerjakan mengetahui seberapa batas fungsi bagian
tubuh dikehendaki dengan balutan.
2. Tersedia bahan-bahan memadai sesuai dengan tujuan pembalutan, bentuk, dan
besarnya bagian tubuh yang akan di balut. Pembalutan harus menutup seluruh luka.
Untuk pembalutan steril, jika bahan steril kurang posisikan bahan steril di luka sisanya
tutup dengan yang tidak steril.
3. Terangkan dengan jelas apa yang akan dilakukan terhadap korban.
4. Usahakan korban nyaman posisinya, duduknya, baringnya.
5. Tahan dan bantu bagian yang cedera.
6. Apabila korban terbaring terlentang lewatkan bebat pada bagian-bagian tubuh korban
yang tidak menempel pada alas, misalnya: sebatas bagian kaki, lutut, pinggang dan
leher.
7. Balutkan bebat secara tepat tidak teralu ketat sehingga mengganggu aliran darah. Bila
pasien mengeluh sakit anggap balutan terlalu ketat.
8. Usahakan ujung-ujung jari tangan atau kaki terlihat, tidak tertutup bebat agar dapat
dipantau aliran darah kesana.
9. Usahakan simpul bebat tidak mengganggu. Secara teratur lakukan pemeriksaan
terhadap aliran darah pada bagian bawah bebat kendorkan bila perlu.

Bebat untuk mencegah gerak pada tungkai yang cedera


1. Letakkan sesuatu yang lunak, potongan untuk mengganjal, misalnya: handuk, baju
yang dilipat, kapas diantarakedua tungkai atau antara lengan dengan tubuh.
2. Pasang bebat, membalut tungkau hindari bagian-bagian yagn cedera.
3. Usahakan simpul bebat tidak menyebabkan kerusakan lebih parah.
4. Setiap pemasangan bebat periksa aliran darah ke bagian yang dibebat tiap 10 menit

Cara memeriksa aliran darah pasca pembebatan


Pemeriksaan delalu dilakukan dengan memeriksa ujung-ujung jari tangan atau kaki tiap 10
menit. Sebagai akibat pemasangan bebat yang terlalu ketat:
Tanda-tanda dini
1. Bengkak dan terbendung
2. Kulit berwarna biru terlihat gambaran pembuluh darah
3. Rasa cekot-cekot
Tanda-tanda lanjut
1. Kulit pucat memutih seperti lilin, dingin, rasa tebal
2. Rasa nyeri di bagian dalam
3. Jari-jari tangan/ kaki tak mampu bergerak
Bila terlihat tanda-tanda tersebut segera kendorkan bebat dan pasang ulang jangan terlalu
ketat
Ukuran bebat
1. Untuk jari-jari 2,5 cm
2. Untuk tangan 5 cm
3. Untuk lengan 7,5 – 10 cm
4. Untuk tungkai 10 – 15 cm

12.5. MACAM-MACAM BAHAN PEMBALUTAN


1. PEMBALUT SEGITIGA (MITELLA)
Terbuat dari kain tipis, lemas, kuat biasanya berwarna putih. Bentuk segitiga sama
kaki-tegak lurus dengan panjang kaki-kakinya 90 cm – 100 cm (40 inchi).
Cara memakainya bisa dilebarkan atau dilipat-lipat sehingga berbentuk dasi (cravat)
atau seperti kain pramuka.
Terdapat 3 macam pembalut segitiga:
a. Segitiga biasa
Gambar hal 140
b. Segitiga platenga
c. Segitiga funga
Penggunaanya bisa untuk pembalut biasa, tourniquet, penahan bidai atau penyangga
(sling). Lebih seding digunakan untuk tujuan PPGD. Sedangkan di Rumah Sakit sering
dipakai untuk menutup kepala yang sedang diobati atau untuk menahan rambut pada
operasi daerah kepala atau leher. Cara mengukur mitela dalam fungsi menahan rambut,
yaitu dari pangkal hidung sampai dengan belakang kepala (occipital)

2. PEMBALUT BENTUK PITA


Pembalut bentuk pita ada bermacam-macam:
a. Pembalut Kasa Gulung
 Biasanya untuk pembalut luka sederhana atau pembalut gips
 Pembalut kasa bertajin dipakai bila diperlukan pembalut yang kaku dan kuat
misalnya untuk penutup kepala, bidai, pembalut gips (saat ini jarang dipakai)
 Di samping itu bisa juga dibuat dari kain katun atau kain flannel, dan seringkali
dipakai untuk tujuan PPGD.
Gambar hal 141
b. Pembalut Elastic
 Tersedia di took dengan ukuran 4 dan 6 inchi
 Bisa di pakai untuk berbagai tujuan: penahanan, penekanan, pelindung dan
penyanggah, sehingga pemakaiannya sangat luas.
Gambar hal 141
c. Pembalut Tricot
Terdiri dari kain seperti kain kasa sehingga agak elastic bagian tengahnya diisi
kapas sehingga berbentuk bulat panjang. Tersedia di tokok dengan ukuran: 2, 4, 6,
dan 19 inchi. Pemakaiannya sebagai bebat, tekan, penahan, penyangga, dan
pelindung.
d. Pembalut Cepat
Tersedia steril dalam bungkus, terdiri dari penutup luka dan beserta pembalut
diluarnya. Sangat berguna pada PPGD (untuk luka kecil). Sering dipakai sebagai
peralatan tantara.
e. Pembalut Martin
Terbuat dari karet, pada ujungnya dilekatkan pita kain. Dipakaiuntuk balutan keras
(tourniquet), dan balutan setengah keras.
f. Pembalut Gips
Menggunakan pembalut kasa yang dibubuhi bubuk gips. Saat ini tersedia di tokok
pembalut gips yang siap pakai.
g. Lain-lain
Stocking elastic, terbuat dari bahan elastic dengan tekanan tertentu. Yang lain
misalnya baju elastic. Butterfly, terbuat dari plester kecil untuk merapatkan luka-
luka kecil tanpa jahitan.

3. PLESTER
Terdiri dari pita berperekat, dipergunakan untuk:
1. Melekatkan kasa penutup luka.
2. Membuat traksi kulit.
3. Untuk fiksasi.
4. Untuk adaptasi, mendekatkan tepi-tepi luka lama yang sudah bersih.
Saat ini telah tersedia lembaran/ anyaman berperekat yang tahan air (hypafix) untuk
melekatkan penutup luka secara berkeliling dengan sedikit penekanan da nagak kedap
air.
12.6. TEKNIK PEMBEBATAN
Pembalut Segitiga
1. Untuk kepala
a. “Capitum Pravum Triangulare” (triangle of head or scalp)
Untuk pembungkus kepala/ penahan rambut
Gambar hal 143
Gambar hal 143
b. “Fascia Nodosa”
Untuk fiksasi cedera tulang/ sendi pada wajah
Untuk pembalut mata/ telinga/ perdarahan temporal.
Balutan ini tidak boleh diaplikasikan pada pasien yang pernah tidak sadar selama
cedera dan curiga patah tulang wajah.
Gambar hal 143
Gambar hal 143
2. Untuk pembalut sendi bahu, sendi panggul
3. Untuk pembalut punggung/ dada, penyangga buah dada
4. Untuk pembalut sendi siku/ lutut/ tumit/ pergelangan tangan
Gambar hal 144
Gambar hal 144
5. Untuk pembalut tangan/ kaki
Gambar hal 144
Gambar hal 144
6. Untuk penyangga lengan/ bahu (arm sling).
Gambar hal 144
Gambar hal 144
7. Penggunaan segitiga funda
(Funda Maxillae, F.Nasi, F.Frontis, F.Vertics, F.Occipitis, F.Calcanei)
8. Penggunaan segitiga platenga
(Penyangga/ penekan buah dada, pembalut perut/ bokong)
Pembalut Pita
1. Untuk kepala dan wajah.
a. Fascia Galenica, Mitra Hippocratis (F.Capitalis)
b. Fascia Nodosa, Fascia Sagittalis
c. Monoculus/Binoculus, balut teringa cara korner
2. Untuk anggota badan berbentuk bulat panjang.
a. Balutan biasa berulang (dolabra currens)  Untuk bagian tubuh yang penampang
melintang sama
Untuk leher, telinga, tungkai
b. Balutan pucuk, rebung (dolabra revens)  Untuk bagian tubuh yang penampang
melintang tidak sama
Untuk lengan, tungkai
Gambar hal 145
Gambar hal 145
3. Untuk anggota badan berbentuk lonjong.
a. Dolabra reversa
b. Balut belit ular (dolabra repens)
4. Untuk persendian.
a. Balut silang (Spica, figure og eight)
b. Balut penyu (Testudo: inversa/reversa)
Dolabra Currens Humeri (Ascendens)
Dolabra Reversa Humeri (Ascendens)
Testudo Cubiti Inversa
Spice Manus Descendens
Spica Policis Ascendens
Spica Humeri Ascendens
Spice Trochanterri Descendens
(Spice Glute/ Inquinalis Descendens)
Spica Pedis
Spica Bigiti
Spica Hallucis
5. Beberapa metode lain-lain.
a. Stella Pectoris, Stella Dorsi
Untuk menutup dan menekan luka di dada dan punggung. Stella Dorsi dapat
dipakai untuk fraktur clavicula (cara lain dengan Ransel Verband)
b. Suspensorium Mamae (simple/duplex) dari Van Eden
Untuk menyangga buah dada yang sakit/ sehabis operasi. Bisa untuk balut penekan
dengan sedikit modifikasi.
c. Balutan Penarikan/ Traksi Kulit
Sesudah plester diletakkan pada sisi tungkai, luarnya dibalut dengan balutan elastic
dolabra currens pada betis dan paha, sedangkan pada lutut memakai testudo
reversa.
12.7. DEFINISI DAN SYARAT PEMBIDAIAN
Bidai adalah dipakai untuk mempertahankan kedudukan atau letak tulang yang patah. Alat
penunjang berupa sepotong tongkat, bilah papan, tidak mudah bengkok ataupun patah, bila
dipergunakan akan berfungsi untuk mempertahankan, menjamin tidak mudah bergerak
sehingga kondisi patah tulang tidak makin parah.

SYARAT-SYARAT BIDAI
 Ukuran meliputi lebar dan panjangnya disesuaikan dengan kebutuhan
 Panjang bidai diusahakan melampaui dua sendi yang membatasi bagian yang
mengalami patah tulang. Usahakan bidai dengan lapisan empuk agar tidak membuat
sakit.
 Bidai harus dapat mempertahankan kedudukan dua sendi tulang yang patah.
 Bidai tidak boleh terlalu kencang atau ketat.
Perhatian
 Pada saat pemasangan bidai ingat nyeri dapat lebih menghambat, dapat menyebabkan
shock
 Pada saat pemasangan bidai yang kurang hati-hati dapat mengakibatkan patah tulang
makin parah
Kain segitiga untuk menyangga anggota badan atas
Cara memasang bidai bagian atas
Bidai untuk lengan bawah
3 buah kain segitiga untuk fiksasi patah tulang iga
Bidai/ fiksasi untuk cerai sendi bahu
Bidai untuk jari tangan yang patah
Bidai untuk patah tulang sendi lutut
Bidai untuk patah tulang paha
Fiksasi patah tulang punggung dapat dengan:
a. Papan keras
Gambar hal 147
b. Long Spine Board
Gambar hal 147
Short Board (untuk evakuasi korban di dalam mobil dan dicurigai patah tulang punggung/
leher)

12.8. PENUTUP LUKA


Definisi
Alat penunjang berupa lembaran tipis kedap dan tidak mudah robek bila dipergunakan.
Berfungsi menutup, menekan, dan membalut sehingga luka, perdarahan tidak makin
memburuk.

Penutup Luka
Dimaksudkan untuk:
 Membantu mengatasi perdarahan
 Melindungi dan mengurangi resiko infeksi
Bebat
Dimaksudkan untuk:
 Menekan langsung pada luka untuk mengatasi perdarahan
 Mempertahankan penutup luka, bidai dan memberikan tekanan
 Membatasi pembengkakan
 Menunjang cedera
 Mengurangi pergerakan
Macam-macam penutup luka
 Kassa steril
 Kassa berisi kapas
 Kain atau kertas tissue
 Plester berisi kasa

Syarat umum memasang penutup luka


 Harus menutup seluruh luas luka
 Letakkan langsung tepat dari ats luka, jangan menggeser dari tepi luka
 Bila tertembus darah, jangan dilepas namun tambahkan penutup luka lain di atasnya

12.9. PENCEGAHAN INFEKSI


 Gunakan sarung tangan
 Gunakan pelindung/ baju tak tembus air
 Bila dimungkinkan, cuci tangan lebih dahulu
 Jangan sentuh luka
 Jangan sentuh penutup luka yang akan digunakan
 Usahakan tidak banyak bicara bersin batuk didepan luka
 Bila tidak ada sarung tangan
o Anjurkan korban merawat sendiri dengan dipandu
o Gunakan kantong plastic
o Cuci tangan betul-betul bersih setelah merawat luka
 Bersihkan sesuatu setelah perawatan selesai
 Gunakan larutan pemutih/ kaporit – 8 gram dalam 10 liter air pada cairan atau darah
korban yang tercecer di lantai ataupun pada alat-alat
 Buang barang-barang tajam bekas pakai pada tempat pembuangan khusus (kotak
kuning) yang tidak tembus barang tajamsetelah dilakukan klorinisasi
 Buang barang-barang bekas pakai tidak tajam, misalnya: kassa, sarung tangan pada
kantong plastic (kuning), ikat rapat-rapat dan dihancurkan / dibakar

12.10. KOMPRES DINGIN


Dengan mendinginkan bagian cedera misalnya memar atau terkilir dapat mengurangi
pembengkakan dan rasa nyeri. Untuk hal ini dapat digunakan kompres es, kapas dingin
atau meletakkan bagian yang cedera di bawah aliran dingin. Dapat pula digunakan buah
atau sayur dingin yang telah dibungkus dengan selembar kain sebelumnya.

Meletakkan padding dingin


Rendam selembar flannel atau handuk ke dalam air dingin.
Peras pelan-pelan dam letakkan hati-hati diatas bagian yang cedera.
Rendam ulang tiap 3-5 menit agar padding tetap dingin.
Lakukan pendinginan ini selama kuarng lebih 20 menit.

Meletakkan kompres es
Isikan potongan es batu kecil-kecil atau yang telah diremukkan ke dalam kantong platik.
Selanjutnya ikat dan bungkus dengan selembar kain atau pembalut. Pegang dan
pertahankan kompres es tersebut menutup di bagian yang cedera. Lakukan dalam 10-15
menit. Ulangi bila masih diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai