Buku BTCLS-1
Buku BTCLS-1
Buku BTCLS-1
PENDAHULUAN
1.1 Materi Medis Teknis Standart
Materi medis teknis standart ini merupakan rangkuman yang di sajikan sebagai panduan
instrusksional dan di harapkan dapat mudah di merngerti dan mudah di lakukan. Materi tersebut
meliputi: cara memberikan bantuan hidup dasar (BHD) atau disebut juga BLS (Basic Life
Support), cara memberikan bantuan hidup lanjut atau di sebut juga ALS (Advanced Live Support)
penanganan awal kegawat daruratan baik trauma maupun non trauma yang merupakan suatu
kesatuan dalam penangan PPGD. Materi ini di harapkan dapat digunakan sebagai pedoman bagi
dokter, perawat, petugas ambulan ataupun orang awam
Ketrampilan dasar sangat di perlukan oleh dokter yang harus menangani pasien gawat
darurat selama dokter ahli belum ada di tempat. Langkah-langkah melakukan PPGD dimulai
dengan melakukan pengenalan kasus kegawat daruratan. Pengenalan keadaan ini meliputi
pengenalan awal untuk dapat memberikan pertolongan pertama (early treatment), selanjutnya
dilakukan evaluasi awal untuk mengetahui pertolongan lanjutan yang diperlukan. Dokter, perawat,
dan mahasiswa harus mampu melakukan resusitasi pada pasien yang mengalami henti jantung dan
nafas. Diharapkan para pelaksana PPGD dapat melakukan tindakan yang lebih dini / proaktif, yaitu
pengenalan yang cermat agar dapat dilakukan pencegahan memburuknya keadaan pasien sebelum
atau sesudah terjadinya henti nafas dan henti jantung.
Pencegahan merupakan serangkaian usaha maupun antisipasi yang perlu di pikirkan
sebelum memberikan penanganan henti jantung atau henti nafas. Pencegahan akan memberikan
hasil yang jauh lebih baik dari pada harus melakukan resusitasi jantung paru.
Pencegahan henti nafas atau jantung di kelompokkan sebagai berikut:
1. Pencegahan primer
Usaha mengidentifikasi faktor-faktor resiko, serta menghilangkan faktor-faktor tersebut jika
memungkinkan. Minimal melakukan monitoring agar faktor tersebut tidak berkembang menjadi
pencetus terjadinya henti jantung dan atau henti nafas.
2. Pencegahan Sekunder
Melakukan diagnosa dini dan tindakan pada kasus-kasus yang berpotensi mengalami henti jantung
atau nafas
3. Pencegahan Tersier
Melakukan resusitasi jantung paru dengat cepat dan tepat untuk mencegah terjadinya kematian
maupun kecacatan.
Kekurangan kadar oksigen lebih dari 5-7 menit dapat menyebabkan kerusakan otak yang
irreversible. Dengan deteksi dini dan melakukan penanganan yang cepat dan tepat di harapkan
memberikan hasil yang lebih baik bagi korban.
Beberapa kasus gawat darurat adalah sebagai berikut:
Masalah pada jalan nafas (airway)
Masalah pada ventilasi pernfasan (breathing)
Masalah pada sirkulasi darah (circulation)
Beberapa masalah tersebut di prioritaskan agar dapat segera mendapatkan penanganan agar
kecacatan dan kematian dapat di hindarkan. Agar memudahakn dalam memberikan penanganan
pada kasus tersebut, maka digunakan singkatan A-B-C yang mungkin harus dilanjutkan dengan
urutan D-E (untuk Bantuan Hidup Lanjut / ALS)
1.3 Kegawatan
Definisi
Suatu keadaan yang menimpa seseorang yang dapat mengancam jiwa. Sehingga
mememrlukan pertolongan cepat, tepat, dan cermat. Bila tidak maka seseorang tersebut dapat mati
atau cacat.
Prioritas Utama Penyebab Kegawatan
Banyak sebab yang dapat mengakibatkan kecacatan maupun kematian dalam waktu yang
singkat. Beberapa kegawatan tersebut adalah gangguan jalan nafas dan fungsi nafas, fungsi
sirkulasi, fungsi otak dan kesadaran.
Penyebab Medik Kegawatan Daruratan
Penyakit
Infeksi Otak : Gangguan kesadaran, Gangguan pada organ-organ
Diabetic : Koma diabetikum
Hepar : Koma hepatikum
Ginjal : Koma uremikum
Jantung : Serangan jantung
Hipertensi : Serangan otak
Kelemahan Otot : Tidak dapat bernapas
Obat-obatan
Narkotika : Henti nafas
Anafilaktik : Schock berat
Penyebab Trauma
Trauma kepala : gangguan kesadaran
Trauma wajah : gangguan jalas napas
Trauma dada : perdarahan / shock
Pneumothorak : Sesak
Patah tulang dada : Sesak, nyeri
Trauma anggota gerak : Perdarahan / shock / nyeri
Trauma pada kehamilan : Bahaya untuk ibu dan bayi
Terbakar : Sesak, shock
1.4. TRIAGE
DEFINISI
Pengelompokan korban berdasarkan berat-ringannya trauma / penyakit yang di derita
korban, serta tingkat kegawatan korban membutuhkan penanganan.
MACAM-MACAM KORBAN
- Multiple Korban (Korban Masal)
Kejadian atau timbulnya kedaruratan yang mengakibatkan lebih dari satu korban, sehingga
harus melibatkan lebih dari satu penolong. Kejadian tersebut bukan di akibatkan oleh bencana
- Korban Bencana (Mass Casualty Disasater)
Kegawatdaruratan yang memerlukan penerapan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat
Terpadu Sehari-hari dan Bencana (SPGDT-S dan SPGDT-B)
Prinsip seleksi korban, berdasarkan
1. Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam ukuran menit
2. Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam ukuran jam
3. Ruda paksa ringan
4. Sudah meninggal
PRIORITAS
1. Biru
2. Merah
3. Kuning
4. Hijau
5. Hitam
1.5 PRIORITAS
DEFINISI
Penentuan yang mana harus di dahulukan mengenai penanganan dan pemindahan yang
mengacu pada tingkat kegawatdaruratan
TINGKAT PRIORITAS
1. Prioritas pertama (I, Emergency)
Mengancam jiwa / anggota fungsi organ-organ vital
Penanganan dan pemindahan bersifat segera
2. Prioritas kedua (II, Urgent)
Potensial mengancam jiwa / fungsi organ-organ vital bila tidak segera di tangani dalam waktu
singkat
Penanganan dan pemnidahan bersifat jangan terlambat
3. Prioritas ketiga (III, Non emergency)
Perlu penanganan seperti pelayanan biasa
Tidak perlu segera
Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir
PENILAIAN
1. Primary Survey
A,B,C, Menghasilkan prioritas I,II,III, dan selanjutnya
2. Secondary Survey
Head to toe, menghasilkan prioritas I,II,III dan selanjutnya
3. Monitoring kondisi korban yang memiliki potensi terjadi perubahan:
Airway, Breathing, and Circulation
Derajat kesadaran
Tanda-tanda vital
4. Perubahan prioritas yang di karenakan berubahnya kondisi pasien
PERHATIAN KHUSUS
1. Meningkatnya derajat distress nafas, shock
2. Turunnya kualitas nadi
3. Perubahan derajat kesadaran
4. Koma yang timbul setelah lucid period
5. Timbulnya masalah jalan nafas dan rongga thorak
6. Perubahan hemodinamik / hipotensi secara mendadak, kemungkinan akibat perdarahan internal
7. Luka tembus kepala, dada, perut
Catatan
- Perlu adanya team leader serta anggota tim yang telah terdidik dan terlatih
- Prioritas, menggambar tingkat bahaya yang mengancam jiwa
TEKNIK PELAKSANAAN
Pertama kali harus dipastikan bahwa kondisi pasien gawat dalam kondisi sadar atau tidak,
dengan cara:
Memanggil korban
Bila tidak ada respon dapat di berikan rangsang nyeri.
Memeriksa kesadaran pada tahap primary survey ini disebut sebagai AVPU (dibahas pada
bab 5), funsi kesadaran. Tahap berikutnya adalah memeriksa dengan cepat fungsi vital dengan
sistematika A-B-C
A-Airway
Adakah suara nafas
Look, listen, feel
Buka jalan nafas, yakinkan adekuat
Atasi segera, bebaskan jalan nafas
Head tilt, chin lift, jaw thrust, hati-hati pada korban trauma, perhatikan adanya tanda-tanda ciera
tulang leher.
Suntion, hisap lendir
B-Breathing
Pertukaran nafas adekuat?
Jika tidak ada, lakukan resusitasi
Frekuensi
Kualitas
Teratur atau tidak
C-Circulation
Adakah perdarahan?
Eksternal
Hentikan segera: dengan bebat tekan pada luka
Elevasi
Kompres es
Tourniquet, hanya pada luka / trauma khusus
Internal
Segera kirim, lihat protokol khusus
Shock yang paling sering adalah shock hipovolemi
Perfusi dingin, basah, pucat
Nadi cepat dan lemah
Capillary refill time > 2 detik
D-Kesadaran
Bagaimana kesadaran korban
Trauma kepala
Pada korban yang di curigai mengalami cidera tulang leher, pasang collar brace sebelum di
rujuk
E-Enviroment
Pada pemeriksaan fisik, lepas semua baju dan celana, segerakan selimut kembali untuk
mencegah hipotermia. Apabila korban dalam kondisi basah, segera kekringkan dan selimuti
dengan selimut kering.
Catatan:
Primary survei harus selalu dilaksanakan pada tiap pasien / korban dan dilakukan pada saat
itu juga (time saving is life saving)
Hindari hal-hal yang dapat mengancam jiwa penolong. Yakinkan bahwa tindakan pertolongan
yang diberikan untuk anda
PERSIAPAN ALAT
Stotescope,
Tensimeter
Jam analog
Lampu pemeriksaan,
Gunting,
Thermometer,
Buku catatan
Alat tulis
Pemeriksaan laboratorium bila ada, Hb, foto thorak, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
TEKNIK PELAKSANAAN
1. Head to toe
Pemeriksaan menyelurur kondisi korban
Posisi saat ditemukan
Tingkat kesadaran
Sikap umum, keluhan
Ruda paksa, kelainan
Keadaan kulit
4. Periksa perut
Perlukaan, distensi, tegang, kendor, nyeri tekan undulasi
Catatan:
Perhatikan tanda-tanda vital
Pada kasus trauma, pemeriksaan setiap tahap selalu di mulai dengan pertanyaan adakah D-E-
C-A-P-B-L-S
D : Deformitas
E : Ekskoriasi
C : Contusi
A : Abrasi
P : Penetrasi
B : Bullae / Burn
L : Laserasi
S : Swelling / sembab
- Pada dugaan padah tulang, pemeriksaan setiap tahun selalu di mulai dengan pertanyaan:
Adakah : P-I-C
P : Pain
I : Instabilitas
C : Crepitasi
BAB 2
RESUSITASI JANTUNG PARU OTAK
2.1 PENDAHULUAN
Istilah Cardiopulmonary Resuscitation (CPR, Eropa) atau Cardiopulmonary Cerebral
Resuscitation (CPCR, isitilah amerika) yang diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagai
resusitasi jantung paru otak (RJPO) berarti tidakan Basic Life Support (BLS) dan Advanced Life
Support (ALS). Pada kehidupan sehari-hari sering dicampur aduk antara BLS dan CPR. Pada
hakekatnya BLS adalah tindakann membebaskan jalan nafas (Airway), memberikan bantuan nafas
(Breathing), dan melakukan pijat cantung (CPR). Tindakan ini diharapkan dapat dilanjutkan oleh
tenaga ahli dengan pemasangan monitoring ECG, pemberian obat emergency, serta penggunaan
defibrilator dan digolongkan sebagai Advanced Life Suppot (ALS). Selama bantuan tenaga ahli
atau ambulan belum datang maka BLS tetap harus di lanjutkan.
Perlu di ingat bahwa manusia adalah makhluk yang tidak memiliki cadangan oksigen. Pada
keadaan obstruksi total dari jalan nafas atau pasien tidak bernafas maka oksigen dalam paru
(Functional Residual Capacity) akan habis dalam 2-3 menit. Apabila sirkulasi juga berhenti 5-7
menit karena jantung yang berhenti berdenyut akan mengakibatkan keruksakan otak yang
permanen dan jika pasien tersebut mengalami hipoksimea sebelumnya maka batas waktu tersebut
menjadi lebih pendek. BLS harus segera dilakukan, sebelum 5 menit, sebelum jaringan otak
terlanjur menjadi rusak dan irreversible
Teknik BLS dilakukan tanpa bantuan alat, diajarkan kepada semua orang, bukan hanya
kepada tenaga kesehatan. BLS yang dilakukan dengan bantuan alat (jalan nafas buatan, masker
atau sungkup muka) disebut Basic Life Suport with Airway Adjunct”. Untuk profesional medis
bukan hanya dituntut menguasai BLS namun juga ALS, terutama tenakes di IGD, ambulan, dan
unit-unit perawatan intensif. Dalam guidline 2005 CPR, alat defibrilator mode otomatis (AED)
dimasukkan dalam materi BLS.
Keadaan henti nafas / respiratory arrest tidak selalu disertai dengan henti jantung,
sebaliknya henti jantung selalu disertai dengan henti nafas. Gangguan nafas yang terjadi bukan
akibat gangguan jalan nafas dapat terjadi karena gangguan pada sirkulasi, misalnya asistol,
bradikardi, takikardi ventrikel, febrilasi ventrikel. Penegakkan ada atau tidaknya nafas pada korban
dapat di kaji dengan Look-Listen-Feel
Henti jantung / cardiac arrest ditandai dengan tidak terabanya denyut nadi karotis. Pada
pasien yang telah terpasang monitoring EKG dan di dapat gambaran asistole pada layar monitor,
maka harus selalu di cek denyut nadi karotis untuk memastikan adanya henti jantung. Henti
jantung dapat disebebkan oleh beberapa hal, diantaranya:
Hipoksemia
Gangguan elekrolit (hipokalemia, hiperkalemi, hipomagnesia)
Aritmia
Penekanan mekanik pada jantung (tamponad jantung, tension pneumothoraks)
DUA PENOLONG
1. Langkah 1-10 di atas tetap dilakukan oleh penolong pertama hingga penolong kedua datang
2. Saat penolong pertama memriksa denuyt nadi karotis, penolong kedua mengambil posisi
untuk menggantikan pijat jantung.
3. Bila denyut nadi belum teraba, penolong kedua langsung melakukan pijatan. Penolong
pertama tidak perlu mendahului pijatan jantung dengan melakukan 2 x tiupan nafas
(berbeda dengan guidlines sebelumnya)
4. Lanjutkan siklus pertolongan dengan perbandingan 30 pijat : 2 ventilasi (oleh penolong
pertama)
5. Lakukan evaluasi denyut nadi karotis setiap 2 menit atau untuk 2 penolong evaluasi setiap
akhir siklus ke 7 atau akhir siklus ke 8
HEAD TILT
Dilakukan bila jalan nafas tertutup oleh pangkal lidah, suara nafas pasien tidak bersih,
terdengar suara nafas tambhan berupa “ngorok” / snoring
Cara:
letakkan 1 telapak di dahi pasien dan tekan ke bawah, sehingga kepala menjadi tengadah
dan penyangga lidah tegang akhirnya lidah terangkat ke depan
Catatan:
Cara ini sebaiknya tidak di lakukan pada dugaan adanya patah tulang leher
CHIN LIFT
Dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah depan
Cara:
Gunakan jari tengah dan jari telunjuk untuk memegang tulang dagu pasien, kemudian
angkat dan dorong tulangnya ke depan.
JAW THRUST
Walaupun head tilt dan chin lift sudah di lakukan seringkali jalan nafas belum terbuka
sempurna, mak teknik jaw thrust ini harus dilakukan
Cara:
Dorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah depan sehingga barisan gigi bawah berada di
depan barisan gigi atas. Atau gunakan ibu jari ke dalam mulut dan bersama dengan jari-jari lain
dagu ke depan
Pada dugaan patah tulang leher yang dilakukan adalah memodifikasi jaw thrust dan fiksasi leher
agar tidak ada gerak berlebih. Pada pasien dengan dugaan cedera leher dan kepala, hanya dilakukan
jaw thrust dengan hati-hati dan sebisa mungkin mencegah gerakan leher.
Bila jalan nafas tersumbat karena adnaya benda asing dalam rongga mulut dilakukan
pembersihan manual dengan sapuan jari / finger sweep. Kegagalan membuka jalan nafas dengan
cara ini perlu di pikirkan hal lain, yaitu adanya sumbatan jalan nafas daerah faring atau adnaya
henti nafas / apnea. Bila hal itu terjadi dan pasien menjadi tidak sadar, lakukan peniupan udara
melalui mulut, bila dada tidak tampak mengembang, makan kemungkinan adnya sumbatan pada
jlan nafas dan dilakukan heimlich manouver.
3.1.2 MEMBERSIHKAN JALAN NAFAS
FINGER SWEEB
Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut
bagian belakang atau hipofaring (gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya) yang
mengakibatkan tidak terasa hembusan nafas / obstruksi
Cara:
Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka mulut
dengan jaw thrust dan tekan dagu kebawah. Bila otot rahang lemas, gunakan 2 jari (jari telunjuk
dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan sarung tangan / kassa untuk membersihkan
mengorek / mengait semua benda asing dalam rongga mulut.
3.1.3 MENGATASI SUMBATAN JALAN NAFAS PARSIAL
Dapat menggunakan teknik manual thrust:
ABDOMINAL THRUST
Untuk penderita sadar dengan sumbatan jalan nafas parsial boleh dilakukan tindakan
Abdominal thrust (pada pasien dewasa). Bantu / tahan penderita tetap berdiri atau condong ke
depan dengan merangkul dari belakang
1. Lakukan hentakkan mendadak dan keras pada titik silanggaris antar berlikat dan garis
punggung tulang belakang (back blows)
2. Rangkul korban dari belakang dengan kedua lengan dan gunakan kepalan dua tangan,
hentakkan pada ulu hati (abdominal thrust). Ulangi hingga jalan nafas bebas atau hentikan bila
korban jatuh tidak sadar dan ganti dengan tindakan RJPO
3. Segera panggil bantuan
Ketika korban tidak sadar maka segera lakukan:
1. Tidurkan korban miring
2. Lakukan back blow posisi miring
3. Bila gagal dan korban tetap tidak sadar maka segera telentangkan kembali dan segera lakukan
RJPO
4. Segera panggil bantuan setelah pertolongan pertama di lakukan selama 1 menit
TEKNIK INTUBASI
1. Gunakan bantal dan pastikan jalan nafas terbuka, hati-hati pada cedera leher
2. Siapkan endrotacheal tube, periksa balok / cuff, siapkan stylet, dan beri pelumas
3. Pasang blade dan handle laringoskop, dan pastikan lampu menyala
4. Pasang laringoskop dengan tangan kiri, masukkan blad ke sisi kanan mulut pasien, geser lidah
pasien ke kiri
5. Tekan tulang rawan krikoid, untuk mencegah aspirasi = sellick manouver
6. Lakukan traksi sumbu panjang laringoskop, hati-hati cedera gigi, gusi, bibir
7. Lihat adanya pita suara, bila perlu isap lendir / cairan lebih dahulu
8. Keluarkan stylet dan laringoskop dengan hati-hati
9. Kembangkan balon / cuff endotracheal tube
10. Pasang pipa orofaring
11. Periksa posisi endotracheal tube apakah masuk dengan benar, cek dengan auskultasi suara
pernafasan atau udara yang ditiupkan.
12. Hubungkan dengan pipa oksigen
13. Fiksasi endotracheal tube dengan plester
3.2.2. SUCTIONING
Merupakan tindakan membersihkan benda asing berupa cairan dalam jalan nafas
menggunakan alat penghisap. Bila terdapat sumbatan jalan nafas karena benda cair yang di tandai
dengan terdengar suara tambhan berupa gargling, maka harus dilakukan suctioning. Masuknya
suction catheter tidak lebih dari 5 detik
TEKNIK SUCTIONING
1. Alat suction dihubungkan dengan suction catheter
2. Gunakan sarung tangan bila memungkinkan
3. Buka mulut pasien, terdangahkan jalan nafas bila perlu
4. Lakukan suctioning, kurang lebih 5 detik masuk dan tarik
5. Cuci suction catheter dengan memasukkannya pada air bersih untuk membilas, ulangi lagi
bila diperlukan
TEKNIK
1. Buka jalan nafas lurus atau lebar dengan memperbaiki posisi kepala
2. Gunakan laringoskop dengan tangan kanan
3. Masukkan blade-laryngoskope pada sudut mulut kanan dan mneyusur tepi lidah sampah
apangkal lidah, putar ujung blade perlahan ke tengah dan angkat tangkai laringoskop ke atas
depan sehingga terlihat hipofaring dan rima glotis
4. Gunakan suction untuk mengeluarkan cairan dan gunakan magyl forcep untuk mengeluarkan
benda padat
3.2.4. KRIKOTIROTOMI
Membuka jalan nafas dengan krikotirotomi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
Krikotirotomi jarum
Cara ini dilakukan pada kasus pemasangan endotracheal tube tidak mungkin dilakukan.
Arahkan jarum pada sudut 30-45 derajat ke arah bawah, jika ke arah atas akan menciderai plica
vocalis
Krikotirotomi pembedahan
Persiapan alat:
- Sarung tangan
- Pisau / skalpel no 1 dan 20
- Desinfektan
- Anastesi lokal
- Kassa
- Kanula tracheostomi no 5-7
- Baju steril
- Gunting
- Masker
- Kaca mata
TEKNIK
1. Jelaskan pada korban bila korban masih sadar
2. Pilih ukuran kanula tracheostomi sesuai kebutuhan
3. Atur posisi pasien
- Netral, pasang penyangga leher / collar splint pada pasien tanpa cedera leher
- Ekstensi pada kasus cedera leher
4. Pakai APD (Baju, masker, kaca mata, sarung tangan)
5. Desinfektan leher, tutup leher dengan kain steril berlubang
6. Berikan anastesi lokal
7. Tentukan letak membran krikoid.
Insisi pada membran 2 -3 cm menembus sampai rongga trakhea sudut 30-40 derajat ke bawah
untuk menghindari cedera pita suara
8. Perlebar dengan pangkal scalpel putar tegak lurus atau pergunakan klem atau spekulum /
dilatator
9. Pasang kanula tracheostomi
10. Kembangkan balon / cuff
11. Berikan ventilasi 100% oksigen
12. Cek segera potensi jalan nafas
13. Pasang pita pengikat kanula
14. Cek foto X-ray
Catatan:
Boleh pakai jarum besar sebelum insisi menembus membran krikoid sebgai pemandu insisi agar
cepat dapat membantu diberikannya oksigen.
Cara Menyiapkan Peralatan Bantu
Membuka Jalan Nafas
Umum Masker Orofaring Laringoskop ETT Stylet Suction
/ BB Catheter
Bayi baru Infant Infant 0 lurus 2,5 – 3,0 6 Fr 6 – 8 Fr
lahir / 3 Kg (tanpa
cuff)
0 – 6 bulan Infant Infant 1 lurus 3,0 – 3,5 6 Fr 8 Fr
/ 3,5 kg (tanpa
cuff)
6- 12 bulan/ Pediatrik Small 1 lurus 3,0 – 3,5 6 Fr 8 – 10 Fr
7 Kg (tanpa
cuff)
1 – 3 tahun Pediatrik Small 1 lurus 4,0 – 4,5 6 Fr 10 Fr
/ 10-12 Kg (tanpa
cuff)
4-7 tahun Pediatrik Medium 2 lurus / lengkung 5,0-5,5 14 Fr 14 Fr
/ 16-18 kg (tanpa
cuff)
8-10 tahun Pediatrik / Medium / 2-3 lurus / 5,5-5,6 14 Fr 14 Fr
/ 24-30 kg dewasa large lengkung (tanpa
cuff)
BAB 4
BREATHING
Pengelolaan fungsi pernafasan bertujuan untuk memperbaiki fungsi ventilasi dengan cara
memberikan bantuan nafas agar kebutuhan oksigen tercukupi
Diagnosa henti nafas dapat di pastikan apabila tidak terdapat tanda-tanda dari pemeriksaan look-
listen-feel, serta telah di lakukan menagement airway, akan tetapi tidak didapatkan adanya
pernafasan atau pernafasan yang tidak adekuat
Penilaian fungsi pernafasan dapat di bagi menjadi 4, yaitu:
1. Pernafasan normal
Mempertahankan jalan nafas tetap bebas, menjaga agar fungsi nafas tetap normal
2. Distress nafas
Mempertahankan jalan nafas tetap bebas, memberi tambahan oksigen untuk memnuhi
kebutuhan oksigen pada pasien, bila perlu memberi bantu nafas dan mencari penyebabnya
3. Henti nafas / apneu
Mempertahankan jalan nafas tetap bebas dan memberi nafas buatan pada pasien
4. Henti nafas dan henti jantung
Lakukan RJPO
PERSIAPAN ALAT
- Nasal canul
- Face mask
- Rebreathing mask
- Non rebreathing mask
- Venturi mask
- Bag valve mask
- Flow meter, regulator
- Oksigen
2. REGULATOR TEKANAN
Menurunkan tekanan dari dalam tangki
Jarum manometer menunjukkan sisa tekanan dalam tangki
Atur flow meter untuk folw-rate (0-15 lpm)
3. Humidifier
Untuk kelembapan oksigen
4. Alat penghisap
Membersihkan jalan nafas dari darah, muntahan, lendir
Dihidupkan dengan listrik, manual, vacum atau gas
Fixed / portable
Catatan:
- Jangan bekerja di area emergency tanpa perlengkapan oksigen yang lengkap dan berfungsi
baik
- Jangan melakukan suction flow oksigen > 15 detik
- Dilarang menggunakan minyak / pelumas pada alat-alat oksigen
- Dilarang merokok dan menyalakan api dekat area oksigen
- Jangan simpan oksigen pada > 125 derajat F
- Gunakan sambungan regular / valve yang tepat
- Tutup kran rapat-rapat jika tidak digunakan
- Silinder tidak jauh
- Pilih posisi yang tepat saat menghubungkan katup
- Pastikan masih terdapat oksigen
- Periksa dan pelihara alat yang sedang dalam perbaikan
- USP (United States Pharmacopeia)
INDIKATOR
Pada evaluasi setelah pemasangan ventilator, penilaian dikatakan baik bila didapat
perbaikan pada sistem pernafasan dan sirkulasi serta penderita tenang, tidak melawan alat. Bila
dapat dilakukan pemeriksaan analisa gas darah didapatkan nilah pH, PO2 dan PCO2 normal /
mendekati normal dan pasien tenang dengan hemodinamik yang stabil.
Bila hasilnya kurang baik dapat di lakukan beberapa hal:
1. Untuk memperbaiki PaO2 yang terlalu tinggi, turunkan FiO2. Sebaliknya bila PaO2 rendah
naikkkan FiO2 atau menaikkan PEEP / memanipulasi katup PEEP
2. PaCO2 yang terlalu tinggi dapat diturunkan dengan meningkatkan tidal volume, akan tetapi
dapat pula dengan menaikkan frekuensi pernafasan / RR sampai 20-24 kali/menit
3. Konsultasi dengan ahlinya, diharapkan dapat dipenuhi target PaO2 diatas 70 mmHg dan
PaCO2 antara 35-45 mmHg dan mungkin diperlukan penggunaan PEEP, misalnya PEEP 5-
30 cm H2O untuk perbaikan hipoksemia dan mencegah toksisitas oksigen atau penggunaan
5-10 cm H2O dapat dipilih untuk mencegah kolpas alveoli paru.
BAB 5
CIRCULATION MANAGEMENT
Kasus gangguan sirkulasi yang paling banyak dijumpai di UGD adalah shock, aritmia
jantung, dan henting jantung. Diagnosis shock secara cepat dapat di tegakkan dengan tidak teraba
atau melemahnya nadi radialis / nadi karotis, pasien tampak pucat, perabaan pada ekstremitas
teraba dingin, basah, dan pucat, serta memanjangnya waktu pengisian kaliper, capilary refill time
> 2 detik. Sedangkan diagnosisi henti jantung ditegallan dengan tidak adanya denyut nadi karotis
selama 5-10 detik. Henti jantung dapat disebabkan karena kelainya jantung / primer dan kelainan
jantung di luar jantung (skuder) yang harus segera dikoreksi.
5.1 SHOCK
Shock adalah sindroma yang ditandai dengan keadaan umum yang lemah, pucat, kulit yang
dingin dan basah, denyut nadi meninggkat, vena perifer tak mempan, produksi urine menurun dan
kesadaran menurun. Tekanan darah sistolik lazimnya kurang dari 90 mmHg atau menurunnya
lebih dari 50 mmHg di bawah tekanan darah semula. Masalah utama penurunan perfungsi (aliran
darah) yang efektif dan gangguan penyampaian oksigen ke jaringan
Keadaan shock menandakan bahwa mekanisme hemodinamik dan tranpor oksigen lumpuh.
Jangan menjadi rusak karena tidak mendapat oksigen yang cukup untuk metabolisme aerobic. Jika
sel melakukan metabolisme anaerobic maka akan dihasilkan asam laktat yang merugikan. Makin
tinggi kadar asam, makin tinggi resiko mati
TINDAKAN :
1. AIRWAY DAN BREATHING, jaga dan pertahankan jalan nafas tetab bes a, beri suplement
2. Posiskan pasien pada dalam posisi yaitu mengangkat kedua tungkai ke kebih tinggi dari
jantung
3. Pasang cairan infus kritstalodi berupa Ringer Laktat atau larutan garam fail. Pada pemasangan
pasien dewasa menggunakan jalur vena di lakukan dengan pilihan menggunakan jarum besar
> 16 G
4. Bila pasien shock aribat pakibat perdararan, lakukan penghentian sumber perdarahan yang
tampak dari luar dengan melakukan penekanan,
5.2 MENGHENTIKAN PERDARAHAN
TEKNIK:
1. Pilih vena daerah lengan atas / antikubital, Ante kubital
2. Bersihkan degan caira aira anti septik
3. Isi jalur infus dengan cara infus / hindarkan gelembung udara
4. Buat bendungan venah , bersihkan jarum intravensi, alirkan cairan infus.
Catatan:
- Pada pasien trauma dengan fraktor tulang extermitas, maka pemasangan jalur intravena tidak
dilakukan pada bagian distal trauma tersebut
- Bagi petugas medis terlatih dan terampil dapat dilakukan pemasangan jalur intravena, pada
vena sublavia / vena jugularis untuk itu harus diketahui komplikasinya
- Pada pasien anak dengan kesulitan melakukan pemasangan jalur intravena dapat dilakukan
segera pada jalur intraosseus di tuberositas tibia.
JALUR INTRA-OSSEUS
Terutama pada bayi dan anak-anak
PERSIAPAN ALAT
- Jarum tulang / ukuran no.15-18
- Kassa
- Spuit
- Antiseptik
- Anastesi lokal
- Sarung tangan
- Jarum infus
- Infus set
- Cairan infus
TEKNIK
1. Baringkan pasien, pasang bantal di bawah sendi lutu pasien
2. Bersihkan daerah tibia anterior dengan antiseptik, berikan anastesi lokal
3. Masukkan jarum pada tibia proksimal (1-2 cm dibawah tuberositas tibia) dengan sudut 45-60
derajat ke arah bawah / distal defngan teknik pemasangan sekrup
4. Lakukan pengisapan spuit untuk memastikan jarum sudah masuk sumsum tulang tibia
5. Pasang jalur infus dan masukkan cairan
Catatan:
Pada pasien dengan shock, perhatikan beberapa hal berikut ini sebelum dilakukan pemasangan
jalur intravena:
a. Karakteristik dan jenis shock
b. Pada shock hipovolemik terutama karena perdarahan dan dehirasi
PEMERIKSAAN
Perubahan perfusi perifer
- Ektremitas: dingin, basah, dan pucat
- Capillary Refill Time > 2 detik
Takikardi
Takipneu
Penurunan tekanan darah
Penurunan produksi urine
Tampak pucat, lemah, apatis
Kesadaran menurun
TINDAKAN:
Pemasangan 2 jalur intravena dengan jarum ukuran besar dan di berikan terapi cairan
kristaloid.
KLASIFIKASI KLINIS PENGELOLAAN
Dehidrasi ringan: - Nadi sedikit meningkat Penggantian volume cairan
Kehilangan cairan tubuh - Selaput lendir kering yang hilang dengan cairan
5% dari BB kristaloid (NaCl 0.9 %) atau
Ringer Laktat / Acetat
Dehidrasi sedang: - Nadi cepat Penggantian volume cairan
Kehilangan cairan tubuh - Hipotensi yang hilang dengan cairan
8% dari BB - Selaput lendir sangat kristaloid (NaCl 0.9 %) atau
kering Ringer Laktat / Acetat
- Oligouria
- Lesu
- Lemas
Dehidrasi berat: - Nadi sangat cepat Penggantian volume cairan
Kehilangan cairan > 10% - Nadi sulit diraba yang hilang dengan cairan
dari BB tubuh - Hipotensi
- Anuria kristaloid (NaCl 0.9 %) atau
- Selaput lendir pecah Ringer Laktat / Acetat
- Kesadaran menurun
PERDARAHAN
Perdarahan dalam jumlah besar, melebihi 15% volume darah yang beredar , akan
menyebabkan perubahan-perubahan fungsi tubuh seseorang. Makin banyak perdarahan, makin
berat kerusakan yang terjadi, maka risiko untuk meninggal juga meningkat. Perdarahan yang
banyak dapat mengakibatkan shock. 1 jam pertama masa shock sering disebut “the golden hour”.
Dalam periode ini time saving is life saving. Pertolongan harus cepat diberikan, yakni
menghentikan sumber perdarahan dan mengganti kehilangan darah dengan transfusi. Prognosis
pasien ditentukan oleh kecepatan mengatasi shock tersebut. Hipoksia sampai anoksia di jaringan
akibat shock menyebabkan kematian sel. Jika sel yang mati mencapai jumlah kritis (critical mass
of cells), maka akan terjadi gagal organ dan kematian. Perdarahan menyebabkan:
a) Kehilangan volume intravaskuler sehingga perfusi darah dan jumlah oksigen menurun
b) Kehilangan eritrosit dan hemoglobin sehingga kapasitas transpor oksigen perunit volume
darah menurun
Tubuh memiliki Estimated Blood Volume 65-75 mL/kg, untuk mempermudah dibuat rata-
rata EBV: 70 mL/kg. Jika pasien kehilangan darah sampai 15 mL/kg (20% EBV). Terjadilah
perubahan hemodinamik:
a) Takikardi
b) Kontraksi miokard meningkat
c) Vasokontriksi di daerah arterial dan vena
d) Tensi dalam batas normal
e) Nadi lemah
Reaksi takikardi, vasokontriksi memeras darah dari cadangan vena (75% volume sirkulasi
berada di vena) kembali ke sirkulasi efektif. Vasokontriksi arterial membagi secara slektif aliran
darah untuk otak dan jantung dengan mengurangi aliran ke kulit, ginjal, hati, usus. Vasokontriksi
yang berlebihan di daerah usus dapat menyebabkan cedera iskemik. Sehingga mengakibatkan
terjadinya translokasi kuman didalam usus menembus mukosa usus dan masuknya endotoksin ke
sirkulasi sistemik, memicu terjadinya sepsis.
PRINSIP PENANGANAN
Penggantian volume yang hilang untuk mempertahankan kecukupan oksigenasi jaringan,
akibat cukup volume maka hemodinamik terjaga. Untuk perdarahan dengan shock kelas III-IV
selain diberikan kristaloid sebaiknya disiapkan transfusi darah segera setelah sumber perdarahan
dihentikan. Sambil menunggu datangnya darah yang tidak selalu dengan mudah didapatkan atau
teratasinya sumber perdarahan, dapat diberikan cairan golongan plasma substitute / koloid.
TRAUMA
Dipergunakan untuk memperhitungkan seberapa banya jumlah perdarahan (EBL) dengan
melihat gejala klinis yang ada
KLASIFIKASI KLINIS PENGELOLAAN
Kelas I: Hipotensi postural Tidak perlu penggantian
Kehilangan volume darah
< Takikardi <100 x/menit volume
15% EBV
Kelas II: Takipneu Penggantain volume darah
Takikardi (100-120x/menit)
Kehilangan volume darah yang hilang dengan cairan
15-30% EBV Penurunan nadi kristaloid, sejumlah 2-4 kali
Produksi urin menurun (20- darah yang hilang
30 cc/jam)
Kelas III: Takipneu (30-40x/menit) Penggantain volume darah
Takikardi (>120x/menit)
Kehilangan volume darah yang hilang dengan cairan
30-40% EBV Produksi urin menurun (5-15 kristaloid dan darah
cc/jam)
Perubahan status mental /
confused
Kelas IV Takipneu (>35 x/menit) Penggantain volume darah
Takikardi (>140 x/menit) yang hilang dengan cairan
Perfusi jaringan pucat, kristaloid dan darah
dingin, basah
Catatan: Perubahan status mental
EBV (Estimated Blood
Volume) 70 cc / kg BB
Cairan koloid memiliki tekanan onkotik mirip plasma dan tinggal dalam pembuluh darah lebih
lama. Dengan pemberian koloid maka deficit PV (Plasma Volume) dan tekanan darah akan
kembali normal lebih cepat. Ada dua macam cairan koloid yaitu derivat plasma protein (albumin,
Plasma Protein Faction) dan bahan sintetik yakni Plasma Subtitute (dulu disebut sebagai plasma
expander).
Pada waktu terjadi kondisi hipovolemia sebenarnya tubuh juga melakukan kompensasi dengan
pergeseran cairan dari ISF (Interstitial Fluid) ke PV atau IVF (Intra Vascular Fluid) yang disebut
sebagai transcapillary refill, sebagai usaha untuk mengganti deficit PV. Proses ini dimulai 1-2 jam
setelah perdarahan, dengan kecepatan 90-120 ml/jam dan akan selesai dalam 12-72 jam.
Mekanisme kompensasi lambat lainnya adalah peningkatan kadar hormone eritropoetin yang
merangsang pelepasan retikulosit ke aliran darah perifer. Jumlah eritrosit muda mencapai
puncaknya pada hari kesepuluh. Jika kadar besi dan sintesa protein cukup, maka setelah 4-8
minggu jumlah eritrosit dan hemoglobin akan kembali normal. Perdarahan merangsang
peningkatan sintesa protein plasma di hati. Albumin plasma kembali normal dalam waktu 3 sampai
4 hari.
CATATAN
1. Menilai respons pada penggantian volume adalah penting. Bila respons minimal
kemungkinan adanya sumber perdarahan aktif harus dihentikan, hentikan perdarahan luar
yang tampak (misalnya ada ekstremitas), segera lakukan pemeriksaan golongan darah dan
cross matched, konsultasi dengan ahli bedah
2. Pada perdarahan hebat maka dianjurkan bila memungkinkan dan mampu melakukan,
dilakukan pemasangan monitoring vena sentral (CVP)
3. Penggantian darah dapat digunakan darah lengkap (whole blood) atau komponen darah
(packed red cell) bahkan apabila perdarahan massif dan kesulitan mendapatkan golongan
darah yang sesuai dapat digunakan Universal Donor (PRC – O). pada keadaan terpaksa
memakai PRC-O maka apabila sebelum 2 minggu masih memerlukan transfuse untuk
sementara tetap mengunakan PRC-O.
4. Harus di ingat bahwa jangan berikan transfuse darah dalam keadaan dignin karena akan
memperburuk keadaan (hipotermia, acidosis). Untuk mencegah hipotermia berikan
kristaloid yang dihangatkan. Dan pada penggantian darah ini tidak diperlukan penambahan
kalsium (penambahan kalsium akan membahayakan).
5.5.2 SHOCK ANAFILAKTIK
PENYEBAB
Reaksi anafilaktik berat
DIAGNOSA
Tanda-tanda shock (penurunan perfusi perifer dan penurunan tekanan darah yang tiba-tiba) dengan
riwayat adanya alergi (makanan atau hal-hal lain) atau riwayat setelah pemberian obat-obatan.
TINDAKAN
A- airway. Pertahankan jalan nafas tetap bebas. Call For Help.
B- breathing. Beri oksigen bila ada, kalua perlu nafas dibantu.
C- circulation. Raba karotis, posisi shock, pasang infus kristaloid (RL). Berikan epinefrin
(adrenalin) subcutan atau intra muskuler dengan dosis sesuai dengan gejala klinis yang
tampak (0.25 mg, 0.5 mg atau 1 mg = 1 ampul (bila ternyata jantung tidak berdenyut).
TINDAKAN
Pemasangan jalur intravena dan pemberian infus kristaloid (hati-hati dengan jumlah
cairan).
Pada aritmia mungkin diperlukan obat-obat inotropik.
Perikardiosentesis untuk tamponade jantung dengan monitoring EKG
Pemasangan jarum torakostomi pada tension pneumotoraks di ICS II-Mid Clavicular Line
untuk mengurangi udara dalam rongga pleura (dekompresi)
Gambar hal 70
TINDAKAN
1. Pasang masker oksigen paling tidak FiO2 60%.
2. Siapkan pasien, sudah terpasang jalur intravena.
3. Antiseptic daerah intercostal II daerah midclavicular.
4. Tusukkan jarum di tepi atas costa II sampai terdengar keluarnya aliran udara. Biasanya
gangguan pernapasan dan kardiovaskuler akan membaik dengan cepat. Selanjutnya pasien
dikonsultasikan dan disiapkan untuk pemasangan pipa torakostomi (chest tube).
5. Tahap-tahap tindakan tersebut harus dilakukan dengan cepat.
5.7.TAMPONADE JANTUNG
PERIKARDIOSENTESIS
Alat:
1. Jarum perikardiosentesis dan kawat penuntun (guide wire).
2. Aligator klip.
3. Semprit suntik.
4. Kasa dan plester.
5. Obat anastesi lokal dan sedative.
6. Obat antiseptic.
7. Oksigen suplemen.
8. EKG monitor.
9. Pulse oksimetri.
Gambar hal 73
Tindakan:
1. Siapkan pasien, berikan sedasi bila perlu.
2. Pasang jalur intravena.
3. Pasang oksigen, monitor EKG dan Pulse Oksimeter.
4. Pakai sarung tangan.
5. Bersihkan dengan antiseptic pad adaerah epigastrium dan sekitarnya.
6. Anestesi local di infiltrasi pada subxiphoid.
7. Masukkan jarum subxiphoid tepi kiri dengan sudut 45 derajat menuju arah ujung bawah
scapula kiri, bersamaan dengan masuknya jarum dilakukan aspirasi semprit.
8. Lakukan monitorisng EKG untuk mencegah masuknya jarum ke rongga jantung (bila
terjadi perubahan irama jantung, berarti jantung menusuk jantung).
9. Dengan mengurangi cairan 50 cc, maka jantung akan berfungsi dengan baik.
10. Cairan dalam siringe periksa untuk analisa di laboratorium.
11. Kawat penuntun masukkan melalui jarum tersebut, kemudian jarumnya dicabut dan
masukkan kateter dengan tuntunan kawat penuntun tersebut, cabut kawat penuntun.
12. Pertahankan posisi kateter pericardial dengan plester.
BAB 6
D: DISABILITY
(EVALUSI NEUROGENIK)
6.1. PENDAHULUAN
Kita mengetahui bahwa berat massa jaringan otak hanya 2% - 3% dari massa tubuh, namun
menerima 20% dari curah jantung (cardiac utput), yaitu 50-60 cc/ 100gr jaringan otak/ menit. Bila
cairan otak turun misalnya karena perdarahan hebat, shock, menjadi 18 cc/ 100 gram jaringan otak/
menit (menurun sampai 70-80% normal) akan menyebabkan perubahan biokimia sel dan
membrane yang menyebabkan perubahan fungsi otak yang menetap.
Pada keadaan dimana karena berbagai sebab jantung berhenti (cariac arrest) berarti sirkulasi darah
ke seluruh tubuh berhenti, terjadi hiposia yang berlanjut di tingkat sel. Selama aliran darah keotak
berhenti terjadi keadaan iskhemik dan dalam waktu 2-3 menit maka sumberenergi otak hanya
tersisa sekitar 10%. Tanpa bantuan resusitasi maka oksigen otak dengan cepat menurun hingga nol
(anoksia) dan sel otak hanya mampu bertahan 5-7 menit melalui pemanfaatan metabolism anaerob
dari glucose endogen, glikogen dan keton bodies. Hal ini yang mendasari bahwa pada kondisi
gawat darurat, emergency, jiwa terancam kematian, maka tindakan yang dilakukan harus cepat,
tepat dan cermat dalam ukuran menit dengan sistimatika Airway – Breathinh – Circulation. Time
saving is life saving.
KEadaan tersebut sangat berlainan dengan yang dialami pada kebanyakan sel jaringan tubuh,
misalnya jaringan otot yang masih dapat “tetap hidup” tanpa oksigen (anoksia) selama beberapa
menit dan kadang-kadang sampai selama 30 menit. Selama masa tersebut, jaringan sel mendapat
energinya melalui proses metabolism anaerobic.
Dalam keadaan istirahat metabolism otak kira-kira sebesar 15% dari seluruh metabolisme yang
terjadi atau kira-kira sebanyak 7.5% kali metabolism rata-rata dalam tubuh yang istirahat dengan
mengkonsumsi oksigen untuk 3.5 – 4 ml O2/ 100 gr/ menit. Sangat dimaklumi apabila kemampuan
jaringan otak melangsungkan metabolism an-aerobik sangat kecil (5-7 menit) selama aliran darah
berhenti. Salah satu penyebabnya adalah karena selain laju metabolism sel otak (neuron) yang
tinggi juga disebabkan karena jumlah glikogen yang diperlukan untuk metabolisme anaerob yang
terseimpan dalam sel otak sangat sedikit atau dapat dikatakan tidak ada. Dengan kata lain lebih
banyak energi yang dibutuhkan oleh setiap sel otak daripada yang dibutuhkan oleh jaringan lain.
6.2. TUJUAN
Menilai derajat angguan fungsi otak dan kesadaran baik akibat trauma kepala ataupun akibat
gangguan lain yang menyebabkan sirkulasi darah ke otak terganggu sehingga terjadi penurunan
kesadaran.
6.3. DIAGNOSA
Diagnosa dapat dilakukan dengan cara:
a. Secara cepat pada saat awal pemeriksaan pasien yaitu pada survey primer, dengan metode
AVPU.
b. Secara teliti dilakukan pada awal survey sekunder atau akhir survey primer, dengan metoda
GCS.
6.3.1. MENILAI DERAJAT KESADARAN DENGAN METODA AVPU
Dilakukan pada waktu pemeriksaan pertama (survey primer). Kontak pertama petugas
kesehatan dengan pasien. Saat akan memeriksa pasien pertama kali yang harus dilakukan
walaupun pasien dalam keadaan memejamkan mata adalah tegur sapa: “Bapak/ Ibu namanya
siapa?” dan seterusnya baru kemudian memeriksa pasien.
Alert: awake.
Pada manusia normal, sehat
Verbal stimulation: responds to Verbal command
Kesadaran menurun, tampak mengantuk namun terbangun dengan memuka mata
ketika namanya dipanggil.
Contoh: kondisi pre-shock, misalnya akibat perdarahan.
Pain stimulation: responds to Pain
Kesadaran menurun,tampak mengantuk, tidak terbangun ketika namanya dipanggil
dan baru terbangun dengan membuka mata atau menggerakkan anggota tubuhnya
ketika dicubit atau disakiti.
Contoh: kondisi shock.
Unresponsive
Tidak ada respon dengan rangsangan apapun.
Kesadaran sangat menurun, tampak sangat mengantuk, lemas, lemah, tidak
terbangun dengan membuka mata ketika namanya dipanggil dan bahkan tidak
bereaksi apapun ketika dicubit atau disakiti bagian tubuhnya. Lanjutkan dengan
penilaian ukuran serta reaksi pupil.
Contoh: kondisi shock berat
Pada trauma atau trauma kepala penilaian kesadaran secara teliti digunakan metode
Penilaian Derajat Skala Koma dari Glasgow University. Dampak langsung dari trauma
kepala adalah keadaan yang disebut sebagai edema otak, tekanan intra cranial naik
(cidera otak primer). Cidera ini dengan mudah akan berkembang menjadi lebih berat
(cidera otak sekunder) karena factor-faktor antara lain kondisi hipoksia, hiperkarbia,
hypovolemia, batuk, mengejan, dan semua peningkatan tekanan intra thorax atau intra
abdomen.
Pada dasarnya GCS adalah menilai derajat cedera kepala dan menilai GCS berulang
sangat berguna untuk meramal prognosis. Jika akan memutuskan suatu tindakan pada
pasien tersebut, tetapkan harga yang jika salah, tetapi tidak merugikan:
Kalua GCS rendah berakibat kita harus melakukan tindakan invasive, berikan
nilai rendah.
Kalua GCS tinggi membuat harapan yang lebih baik, berikan nilai tinggi agar
upaya medik jadi maksimal dan bersemangat.
GCS diukur jika pasien: tidak dibawah efek sedative, pelumpuh otot, narkotik, alkohol,
tidak hipotermia hipotensi, shock, hipoksia. Diukur apabila survey primer sudah tuntas.
PENILAIAN
Penilaian GCS meliputi respons mata, bicara dan gerak. Pemeriksaan dilakukan dengan
memberi rangsang nyeri yang dilakukan dengan cara menekan keras pada kuku jari
tangan pasien. Skor total maksimal 15, dengan perincian E – Eye responses (4), V –
Verbal responses (5), M – Motoric responses (6) pada sisi yang paling kuat.
Perkecualian penilain pada kondisi:
Mata bengkak E = x
Intubasi V = x
Paraplegia M = x dan bedakan keadaan tidak bicara atau tidak ada kontak
karena tidak sadar (general dysfunction) atau aphasia (local dysfunction)
Adrenaline bekerja
pada adrenergic reseptor
Alfa Betha
Vasokontriksi Merangsang kontraksi jantung
(menciptakan diastolic > tinggi) Memperbaiki perfusi koroner
Pemberian ini dimaksudkan merangsang reseptor adrenergic dan meningkatkan
aliran darah otak dan jantung.
- Efek alfa-adrenergik diperlukan saat henti sirkulasi untuk penyediaan
cadangan oksigen otot jantung.
- Efek betha-adrenergik diperlukan saat sudah mulai ada kontraksi jantung
spontan.
EPINEPHRINE
WHY
Meningkatkan
o Resistensi vaskuler sistemik
o Tekanan darah sistolik dan diastolic
o Aktivasi gelombang listrik di dalam miokardium
o Aliran darah ke serebral dan koroner
Meningkatkan
o Kekuatan kontraksi miokard
o Kebutuhan oksigen miokard
o Automaticity
WHEN
Henti jantung karena asystole, PEA, EMD
Henti jantung karena pulseless VT atau VF yang tidak respon dengan DC-
shock.
Bradikardia simtomatis
HOW
1 mg IV, ulangi setiap 3 – 5 menit, tidak ada dosis maksimal
Dapat diberikan lewat endotracheal tube atau disuntikkan transtracheal
melalui membrane crycothyroidea dengan dosis 3 – 10 kali dosis intra – venous,
diencerkan dengan aqua menjadi 10 cc (Guidelines CPR 2005).
Preparat: 1 mg dalam 1 ampul.
Tidak ada kontra indikasi untuk adrenalin pada henti jantung (cardiac arrest)
Henti jantung dan bradikardia simtomatik yang diikuti hipotensi diberikan
continuous infusion, 30 mg Epinephrine HCL ditambahkan kedala 250 mL/ jam
dan dititrasi sampai efek hemodinamik yang diinginkan.
Pada kasus Anafilaktik:
Subcutaneous: 0.3 – 0.5 mg.
WATCH OUT
Auto-oksidasi
Memperburuk iskemia miokard
Merangsang ventricular ectopy, muudah terjadi aritmia jantung
Menyebabkan hipertensi pada pasien yang tidak henti jantung.
2. AMIODARONE
WHY
Efektif untuk supraventricular arrhythmia, ventricular arrhythmia
Ventricular rate control
Kardioversi farmakologik
Mengubah konduksi yang melalui accessory pathway.
WHEN
Cardiac arrest karena VT atau VF.
VT dengan hemodinamik yang stabil.
Takikardia QRS lebar yang tak pasti sumbernya.
Polymorphic VT
Terapi tambahan setelah electrical cardioversion pada PSVT yang refrakter (II
a)
Kardioversi farmakologis untuk AF (II a).
Atrial Tachycardia (II b).
Ventricular rate control pada rapid atrial arrhythmia pada pasien dengan
fungsi ventrikel yang buruk atau pada pasien dengan konduksi accessory
pathway (setelah defibrilasi dan epinefrin)
HOW
In cardiac arrest due to pulseless VT or VF:
Dosis awal 300 mg, bolus, diencerkan dalam 20 – 30 ml saline atau D5%.
Diulangi, 150 mg untuk recurrent VT/ VF dan diteruskan dengan infus 900 mg/
24 jam (guidelines 2005)
Arhythmia
Dosis awal: 150 mg, jika perlu, untuk recurrent or persistent VT/ VF.
Diikuti dengan 1 mg/ min infus (6 jam)
Kemudian 0,5 mg/ min
Max. dosis sehari: 2 gram
WATCH OUT
Hypotension
Bradicardia
Heart Block
3. LIDOCAINE atau xylocaine ATAU LIGNOCAINE
Efek: Menekan aktifitas ektopik ventrikel
Menekan/ menurunkan eksitabilitas otot jantung dan sistem konduksi jantung.
Indikasi:
- Arhythmia:
Premature ventrikel contraction (PVC) yang multiple, multifocal, dan salvo R
on T.
- Cardiac Arrest VF/ VT-pulseless termasuk kategori II-a, merupakan pilihan
kedua setelah amiodaron.
WHY
Menekan aritmia ventrikel dengan menurunkan otomatisitas
Menghentikan ventricular arhythmia re-entant
Meningkatkan ambang fibrilasi
WHEN
Pulseles VT dan VF yang refrakter, pilihan kedua setelah Amiodarone.
Pasien dengan resiko terjadinya aritmia ventrikel yang maligna.
Ventricular ectopy, wide complex tachycardias, ventricular tachycardia dan
VF.
Tak direkomendasikan lagi untuk pemberian pencegahan rutin pada pasien
dengan IMA.
HOW
Dosis awal: 1,0 – 1,5 mg/ kg IV bolus.
Via ETT: 2 – 2,5 x IV dose.
Bolus kedua: 0,5 – 7,5 mg/ kg every 5’ – 10’
(bila masih tetap ada aritmia), sampai total: 3 mg/ kg 1 jam pertama)
Kemudian continuous IV infusion: 2 – 4 mg/ min (pada sirkulasi spontan).
WATCH OUT
Perubahan neurologis.
Depresi miokard & sirkulasi.
Alergi
4. LIDOCAINE atau xylocaine ATAU LIGNOCAINE
WHY
Non-adrenergic peripheral vasoconstrictor
Half-life 10 – 20 menit (lebih lama dari epinephrine)
Selama CPR meningkatkan perfusi coroner, tekanan darah, aliran darah ke
organ vital.
WHY
Shock-refractory VF (II-b)
WHY
40 U, IV single dose, 1 kali saja
Klas II-b pada cardiac arrest karena asistol
5. SULFAS ATROPIN
Digunakan untuk bradikardia (denyut nadi < 60x/ menit) dan asistol yang dimaksud
untuk menurunkan tonus vagal dan memperbaiki sistim konduksi atrioventricular.
Kelas II-a: pada bradikardia
Kelas II-b: pada asistol, PEA, EMD.
WHY
Obat parasimpatolitik
Meningkatkan otomatisitas SA node maupun AV node melalui aksi vagolitik.
WHEN
Terapi awal untuk bradikardia dengan symptom
In 1st degree AV block, Mobitz type I AV block
Pada 3rd degree block: termasuk klas IIb dan siap cardiac pacing
Pada brady-asystolic cardiac arrest: mematahkan stimulasi vagal yang
berlebihan.
HOW
Tanpa henti jantung: 0,5 – 1 mg, IV. Diulangi dalam interval 5 menit.
Bila melalui ETT/ trans tracheal: 3 mg dalam spuit 10 cc.
Brady-asystolic cardiac arrest: 1 mg IV. Diulangi dalam interval 5 menit.
WATCH OUT
Menginduksi takikardia.
Diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan infark miokard.
Dosis berlebihan dapat menyebabkan: anti-cholinergic syndrome:
delirium, takikardia, flushing, kulit terasa panas, pandangan kabur.
2. ADENOSINE
1st drug untuk PSVT (Paroximal Supra Ventricular Tachycardia)
WHY
Memperlambat konduksi melalui AV node.
Menghentikan jalur re-entri di AV node
Mengembalikan ke irama sinus pada pasien dengan PSVT
Respon farmakologinya singkat.
WHEN
Menghentikan SVT yang melibatkanjalur re-entri AV node.
HOW
Dosis awal: 6 mg bolus cepat dalam 1 – 3” diikuti flush cepat normal saline.
Dosis ulangan: 12 mg, jika tak berespon dalam 1 – 2 menit
Teofilin menyebabkan kurang sensitif.
WATCH OUT
Flushing, dyspnea, chest pain (biasanya hilang dalam 1 – 2 menit)
Transient bradycardia dan ventricular ectopy
Tak terlalu berpengaruh pada hemodinamik.
3. VERAPAMIL
WHY
Menghambat aktifitas slow channel otot jantung dan otot polos vaskuler.
Memperlambat konduksi dan memperpanjang masa refrakter AV node.
Memperlambat respon ventrikel pada atrial flutter dan atrial fibrillation.
Efek inotropic negatif dan kronotropik negatif yang potent.
WHEN
Menghentikan SVT dengan berefek langsung pada AV node.
Memperlambat respon ventrikel pada atrial flutter dan fibrillation.
HOW
Dosis awal: 2,5 – mg bolus selama 1 – 2 menit, perlahan.
Dosis ulangan: 5 – 10 mg dalam 15 – 30 menit setelah dosis awal.
5 mg bolus, tiap menit, sampai berespon atau dosis total 30 mg.
WATCH OUT
Atrial flutter / fibrillation dengan sindrom WPW.
VT, dapat menyebabkan hipotensi atau VF.
Hypotension, A-V block
4. SODIUM BIKARBONAT
Kelas I : Pada hyperkalemia.
Kelas II-A : Pada bicarbonate responsive acidosis
Kelas II-B : Prolonged resuscitation dengan ventilasi yang efektif.
Kelas III : hypoxic lactic acidosis (cardiac arrest dan CPR tanpa
intubasi)
SODIUM BIKARBONAT
WHY
Buffer agent.
Menghasilkan CO2, selama CPR bila transport CO2 ke dan dari paru berkurang
HOW
1 mEq/ kg, IV bolus, sebagai dosis awal.
Berikan setengahnya tiap 10”
Periksa status asam basa dengan analisa gas darah.
Dapat diberikan dengan infus, menggunakan NaHCO3 5%.
WATCH OUT
Perhatikan PCO2
Inotropik negatif
Hypernatremia dan perosmolality
Dengan infus menggunakan NaHCO3 5 %
2. MORPHINE SULPHATE
WHY
Mengurangi sakit karena iskemia.
Venodilatasi, mengurangi aliran darah balik ke jantung/ pre-load dan konsumsi
oksigen.
Meningkatkan aliran kolateral di jantung.
Dilatasi arteri koroner.
WHEN
Nyeri dada iskemia, angina pektoris tak stabil.
Edema paruakut (systolic > 100)
Dipakai rutin pada IMA
HOW
Sublingual: 0,3 – 0,4 mg, diulang tiap 5 menit.
Spray inhaler, ulang tiap 5 menit.
IV infusion: 10 – 20 ug/ menit; dinaikkan 5 – 10 ug/ menit tiap 5 – 10 menit.
GOAL: menghilangkan nyeri dan menurunkan tekanan darah.
WATCH OUT
Hati-hati bila systolic < 90 mmHg.
Turunkan MAP sampai 10% pada pasien normotensi, 30% pada pasien
hipertensi.
Sakit kepala, tekanan darah turun, syncope, takikardia.
Infark ventrikel kanan.
7.3.4. PADA ANAK-ANAK
Obat-obatan pada anak-anak harus memperhatikan dosis.
1. Epinephrine
Dosis 0,01 mg/ kg.BB dapat diulang 3 – 5menit dengan dosis 0,01 mg/ kg.BB
IV (1:1000).
2. Atropine
Dosis 0,02 mg/ kg.BB (minimal 0,1 mg) dapat diulang dengan dosis 2 kali tetapi
maksimal 1 mg.
3. Lidocaine (Lignocaine, Xylocaine)
Dosis 1 mg/ kg.BB IV.
4. Natrium Bicarbonat
Dosis 1 mEq/ kg.BB IV.
5. Kalsium Klorida
Dosis 20 – 25 mg/ kg.BB IV pelan-pelan.
6. Kalsium Glukonas
Dosis 60 – 100 mg/ kg.BB IV pelan-pelan.
BAB 8
DEFIBRILATION
(PENGGUNAAN KHUSUS)
8.4. INDIKASI
a. Defibrilasi unsynchronized cardioversion.
1. Fibrilasi ventrikel
2. Takikardia ventrikel tanpa denyut (pulseless ventricular tachycardia).
b. Defibrilasi synchronized cardioversion.
1. Pada takikardia ventricular yang stabil
2. Pada takikardia supraventricular tidak stabil dan sulit dikelola dengan obat-obatan.
Gambar hal 92
Gambar hal 92
8.7. ALGORITMA VF dan pulseless VT
CARDIAC ARREST
Monitor/ alat belum siap
Adrenaline: 1 mg IV
Dapat diulang setiap 3 – 5 menit, tidak ada batas maksimal
8.8. DEFIBRILATION STRATEGY
VF/ Pulseless VT
dan seterusnya
BAB 9
E: ELEKTROKARDIOGRAFI (EKG)
9.1.TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Mampu mengetahui gambaran EKG yang mengancam jiwa
9.2.TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
1. Mengetahui tatacara [erekaman EKG
2. Mengetahui gambaran EKG yang dapat mengancam jiwa
9.3.DIAGNOSA
Mengetahui gambaran EKG normal
Membaca EKG harus dimulai dengan:
1. Gambaran EKG tersebut laik dibaca/ tidak.
2. Tentukan frekuensi jantung.
3. Tentukan ada/ tidaknya gelombang P
4. Tentukan interval PR.
5. Tentukan komplek QRS.
6. Aksis
7. Lihat kelainan yang ada, misalnya:
- Tanda-tanda hipertrofi.
- Tanda-tanda infark miokard.
Sebelum kita dapat membaca EKG, maka kita perlu mengetahui bagaimana cara yang benar
untuk merekam EKG pada pasien sehingga diharapkan hasil rekaman EKG tersebut dapat
dibaca dengan benar pula. Setelah kita dapat merekam EKG dengan benar, kita juga harus bisa
membaca EKG yang normal terlebih dahulu sebelum kita dapat membaca EKG yang tidak
normal.
9.4.PEMBACAAN EKG
Gambar hal 95
Kertas EKG
a. Kotak-kotak pada garis ventrikel-horizontal interval 1 mm.
b. Garis horizontal menyatakan waktu 1 mm = 0,04” dan 5 mm.
c. garis vertical menyatakan voltage 10 mm = mV
1. Syarat membaca EKG
a. Ada data identitas nama, umur, tanggal.
b. Ada kalibrasi.
c. Kabel tak terbalik (gelombang P di lead I (+) dan di aVR (-)
2. Cara membaca EKG
a. Tentukan apakah irama sinus (lihat gelombang P). Disebut irama sinus bila terdapat
gelombang P normal yang diikuti gelombang QRS kompleks. Gelombang P normal: bila
tinggi amplitudo <2,5 mm dan panjang gelombang < 0,12 detik
b. Tentukan rate/ frekuensi denyut jantung. Cara menghitung rate. Hitung RR – interval
(ventricular – rate) atau PP – interval (atrial – rate) ada berapa kotak besar. Hitung
300
= 𝑅𝑎𝑡𝑒 (𝑓𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑗𝑎𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔)
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟
a. Gelombang P
Menyatakan aktivitas depolarisasi atrium.
Jelas terbaca pada lead I, II, III, aVF.
Normal gelombang P: lebar: < 0,12 dan tinggi: <1,5 mm.
Selalu memberikan gambaran gelombang (+) pada I dan II dan gambaran gelombang (-) pada
aVR.
b. Gelombang kompleks QRS
Merupakan aktivitas depolarisasi ventrikel diawali.
Gelombang Q di I, V5, V6.
Gelombang R di V1, V2.
Lebar Gelombang 0,07 – 0,10 mm
c. Penilaian Segmen
Penilaian segmen: awal P – awal QRS.
Isoelektrik
Perlambatan impuls di AV node
0,12 – 0,20 mm
d. RST = ST segmen
Mulai titik S sampai awal gelombang T.
Biasanya isoelektrik.
Prekordial: -0,5 -2,0
9.6.MEREKAM EKG
1. Penderita harus berbaring, rileks.
2. Kontak electrode dan kulit harus baik.
3. Alat EKG layak untuk digunakan (1 mV 1 cm deflexi).
4. Hindari arus bolak-balik (penderita dengan alat).
5. Hindari kontak dengan elektroda lain.
Pemasangan Lead: secara rutin 12 lead
a. I, II, III
b. AVR, Avl, aVF
c. V 1 – 6
Gambar hal 98
Gambar hal 98
Gambar hal 99
I
II
I
+ =
II III III
+ +
2. Infark
Terdapat segmen ST elevasi bentuk cembung.
Gambar hal 101
Selama infark miokard akut, perubahan gambaran EKG melalui 3 fase
- Gelombang T elevasi, diikuti dengan gelombang T-inversi (gambar A dan B)
- ST segmen elevasi (gambar C)
- Terlihat gelombang Q (gambar D)
Gambar hal 101
3. Hipertrofi:
Ventrikel kanan : - Axis ke kanan.
- Persisten S di V5 & V6.
Ventrikel kiri : - Axis ke kiri.
- S di V1 atau V2 ditambah R di V5 dan V6
Atrium kiri : - P mitral di II, III, Avr
- Bifasik P di V1
Atrium Kanan : - P pulmonal di I, II, aVf
- Bifasik P di V1
TINDAKAN
Pada PVC multiple, multifocal, salvo R on T diberikan Lidocaine.
Pada VF/ VT tanpa nadi dilakukan DC shock unsynchronized, RJPO.
Pada SVT dengan hemodinamik stabil baik diberikan obat (verapamil, beta blocker, digitalis,
adenosine).
Pada SVT tidak stabil diberikan Cardioversion (DC shock synchronized)
Pada asistol diberikan adrenalin, pijat jantung nafas buatan.
Pada bradikardi dan AV block diberikan atropine, pacu jantung.
BAB 10
KOMUNIKASI PELAYANAN GAWAT DARURAT DAN RUJUKAN
10.1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Mampu melakukan komunikasi medik rujukan dan transportasi penderita gawat darurat.
Perangkat Lunak
- Jejaring intra kesehatan & peran masing-masing
- Pusat komunikasi (communication centre) pada pusat rujukan 24 jam
- Tatalaksana komunikasi dan metoda pelaporan, log book
- Kontrol station local, regional dan tata bicara untuk radio
- Code system dan formulir khusus untuk berita melalui radio
(penjelasan berita, kurangi kemungkinan penyadapan berita)
E. PENGEMBANGAN TEKNIS
Telepon
- Fax
- Handphone (sangat tergantung RBS)
- Internet / email
- Teleconference
- Telepon satelit / low / middle / geostationer earth orbital
(operasional mahal, sekitar $ 10 / menit
Radio
- Pocket radio (fax by radio)
10.8. PENUTUP
1. Sistem komunikasi pelayanan gawat darurat mutlak diperlukan untuk menunjang
kelancaran pelayanan gawat darurat baik harian maupun musibah/ bencana.
2. Rujukan hendaknya didahului dengan komunikasi para rujukan selanjutnya bila perlu
selama rujukan dimonitor dan diakhiri dengan komunikasi pasca rujukan guna memberikan
pengalaman belajar Bersama dalam penanganan kasus sulit.
3. SKPGD dengan radio komunikasi khususnya daerah terpencil dan daerah bencana
merupakan kebutuhan dasar.
4. Perlu tindak lanjut pengembangan SDM dan perangkat keras radio yang telah ada secara
terpadu (termasuk alokasi frekuensi ex Parpostel), demikian pula adanya Pusat
Komunikasi di pusat rujukan guna memudahkan masuknya permuintaan bantuan darurat
baik untuk kedaruratan harian maupun musibah/ bencana.
BAB 11
TRANSPORTASI
MENGANGKAT DAN MENGANGKUT
11.1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Mengetahui dan mampu menggunakan alat-alat transportasi penderita gawa darurat
11.2. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
1. Mengetahui cara transportasi tanpa alat
2. Mengetahui cara transportasi dengan alat
3. Mengetahui cara memindahkan pasien dengan curiga cedera leher
11.3. DEFINISI
Suatu proses usaha memindahkan dari suatu tempat ke tempat lain tanpa ataupun
mempergunakan bantuan alat. Tergantung situasi dan kondisi lapangan.
11.4. ATURAN DALAM PEMINDAHAN KORBAN
1. Pemindahan korban dilakukan apabila diperlukan betul dan tidak membahayakan
penolong.
2. Terangkan secara jelas pada korban apa yang akan dilakukan agar korban dapat
kooperatif.
3. Libatkan penolong lain. Yakinkan penolong lain mengerti apa yang akan dikerjakan.
4. Pertolongan pemindahan korban di bawah satu komando agar dapat dikerjakan
Bersama.
5. Pakailah cara mengangkat korban dengan Teknik yang benar agar tidak membuat
cedera punggung penolong.
11.5. PERLENGKAPAN
Yang perlu diperhatikan: perlengkapan seharusnya lengkap dan cukup serta diletakkan di
suatu tempat yang mudah dicapai dan mudah di bawa.
Perlengkapan dasar
1. Tempat/ kotak tidak tembus air.
2. Bebagai ukuran pembalut dengan perkiraan jumlah 20 gulung.
3. 6-10 lembar kasa steril berukuran medium/ sedang.
4. 2 lembar kasa steril berukuran besar/ lebar.
5. 2 lembar kasa steril berukran lebih besar.
6. 6 lembar pembalut segitiga.
7. 6 peniti.
8. Beberapa sarung tangan steril.
Perlengkapan tambahan
1. 2 gulung pembalut elastis.
2. Gunting.
3. Klem/ pinset.
4. Kapas.
5. Desinfektan.
6. Plester perekat.
7. Alat tulis & label / tag.
8. Perlengkapan untuk universal precaution.
a. Kaca mata.
b. Topi dan masker.
c. Sarung tangan.
d. Baju pelindung dari bahan plastic (tidak tembus cairan).
9. Selimut, alas dari plastic/ karet, lampu dengan baterai.
11.6. TEKNIK
Proses pemindahan dilakukan oleh satu penolong, dua penolong, atau lebih tanpa
menggunakan alat-alat bantu.
1. Oleh satu penolong: dipapah, diseret, ditimang, digendong di punggung.
2. Oleh dua penolong: dapat dilakukan dengan cara
a. Dua tangan menyangga paha korban dan dua tangan lain menyangga punggung
korban.
b. Satu penolong mengangkat korban dari arah punggung korban sedangkan penolong
yang lain menyangga tungkai korban.
3. Oleh tiga penolong dapat dilakukan dengan cara korban diangkat Bersama-sama
dengan kondisi korban terbaring.
KONDISI KORBAN SATU PENOLONG DUA PENOLONG
Sadar mampu berjalan Cara Human Crutch Cara Human Crutch
Sadar tidak mampu berjalan Cara piggyback atau cradle Cara two-handed seat atau
untuk kasus dengan berat fore-and-aft carry
badan ringan cara drag
Tidak sadar Cara cradle atau drag Cara fore-and-aft carry
Cara PICK-A-BACK
1. Jongkoklah di depan pasien dengan punggung menghadap pasien. Anjurkan
pasien meletakkan kedua lengannya merangkul di atas pundak penolong.
Bila dimungkinkan kedua tangannya saling berpegangan di depan pada
penolong.
2. Gapai dan peganglah paha pasien, pelan-pelan angkat ke atas menempel
pada punggung penolong.
STRETCHER STANDARD
Dikenal the Furley stretcher terbuat dari selembar kanvas atau plastic yang dibatasi dan
melekat pada sebilah tongkat kiri dan kanan dengan kaki pendek di kedua ujung tongkat
tersebut. Kedua tongkat tersebut saling dihubungkan oleh engsel pengait.
The until folding stretcher. Seperti the furley stretcher namun lebih ringan dan lebih padat –
ringkas bila dilipat.
Gambar hal 124
Cara membuka THE FURLEY STRETCHER
Rebahkan gulingan stretcher terbaring pada satu sisi tongkatnya, lepaskan semua tali
pengikatnya.
Regangkan kedua tongkat pembatas kanvas dan buka engsel pengaitnya.
Kedua engsel pengait telah terbuka kedua tongkat pembatas kanvas telah teregang jadilah
sekarang usungan dari bahan kanvas.
Cara menutup THE FURLEY STRETCHER
Lepas dan kendorkan engsel pengati kedua tongkat pebatas tepi kanvas.
kedua tongkat pembatas tersebut dapat didekatkan sehingga kanvas melipat.
makin dekatkan kedua tongkat tersebut hingga saling berimpit. Lipat dan gulungkan kanvasnya
menutup kedua tongkat pembatas tersebut. Selanjutnya ikat dengan tali.
SYARAT-SYARAT PEMBALUTAN
1. Mengetahui tujuan yang akan dikerjakan mengetahui seberapa batas fungsi bagian
tubuh dikehendaki dengan balutan.
2. Tersedia bahan-bahan memadai sesuai dengan tujuan pembalutan, bentuk, dan
besarnya bagian tubuh yang akan di balut. Pembalutan harus menutup seluruh luka.
Untuk pembalutan steril, jika bahan steril kurang posisikan bahan steril di luka sisanya
tutup dengan yang tidak steril.
3. Terangkan dengan jelas apa yang akan dilakukan terhadap korban.
4. Usahakan korban nyaman posisinya, duduknya, baringnya.
5. Tahan dan bantu bagian yang cedera.
6. Apabila korban terbaring terlentang lewatkan bebat pada bagian-bagian tubuh korban
yang tidak menempel pada alas, misalnya: sebatas bagian kaki, lutut, pinggang dan
leher.
7. Balutkan bebat secara tepat tidak teralu ketat sehingga mengganggu aliran darah. Bila
pasien mengeluh sakit anggap balutan terlalu ketat.
8. Usahakan ujung-ujung jari tangan atau kaki terlihat, tidak tertutup bebat agar dapat
dipantau aliran darah kesana.
9. Usahakan simpul bebat tidak mengganggu. Secara teratur lakukan pemeriksaan
terhadap aliran darah pada bagian bawah bebat kendorkan bila perlu.
3. PLESTER
Terdiri dari pita berperekat, dipergunakan untuk:
1. Melekatkan kasa penutup luka.
2. Membuat traksi kulit.
3. Untuk fiksasi.
4. Untuk adaptasi, mendekatkan tepi-tepi luka lama yang sudah bersih.
Saat ini telah tersedia lembaran/ anyaman berperekat yang tahan air (hypafix) untuk
melekatkan penutup luka secara berkeliling dengan sedikit penekanan da nagak kedap
air.
12.6. TEKNIK PEMBEBATAN
Pembalut Segitiga
1. Untuk kepala
a. “Capitum Pravum Triangulare” (triangle of head or scalp)
Untuk pembungkus kepala/ penahan rambut
Gambar hal 143
Gambar hal 143
b. “Fascia Nodosa”
Untuk fiksasi cedera tulang/ sendi pada wajah
Untuk pembalut mata/ telinga/ perdarahan temporal.
Balutan ini tidak boleh diaplikasikan pada pasien yang pernah tidak sadar selama
cedera dan curiga patah tulang wajah.
Gambar hal 143
Gambar hal 143
2. Untuk pembalut sendi bahu, sendi panggul
3. Untuk pembalut punggung/ dada, penyangga buah dada
4. Untuk pembalut sendi siku/ lutut/ tumit/ pergelangan tangan
Gambar hal 144
Gambar hal 144
5. Untuk pembalut tangan/ kaki
Gambar hal 144
Gambar hal 144
6. Untuk penyangga lengan/ bahu (arm sling).
Gambar hal 144
Gambar hal 144
7. Penggunaan segitiga funda
(Funda Maxillae, F.Nasi, F.Frontis, F.Vertics, F.Occipitis, F.Calcanei)
8. Penggunaan segitiga platenga
(Penyangga/ penekan buah dada, pembalut perut/ bokong)
Pembalut Pita
1. Untuk kepala dan wajah.
a. Fascia Galenica, Mitra Hippocratis (F.Capitalis)
b. Fascia Nodosa, Fascia Sagittalis
c. Monoculus/Binoculus, balut teringa cara korner
2. Untuk anggota badan berbentuk bulat panjang.
a. Balutan biasa berulang (dolabra currens) Untuk bagian tubuh yang penampang
melintang sama
Untuk leher, telinga, tungkai
b. Balutan pucuk, rebung (dolabra revens) Untuk bagian tubuh yang penampang
melintang tidak sama
Untuk lengan, tungkai
Gambar hal 145
Gambar hal 145
3. Untuk anggota badan berbentuk lonjong.
a. Dolabra reversa
b. Balut belit ular (dolabra repens)
4. Untuk persendian.
a. Balut silang (Spica, figure og eight)
b. Balut penyu (Testudo: inversa/reversa)
Dolabra Currens Humeri (Ascendens)
Dolabra Reversa Humeri (Ascendens)
Testudo Cubiti Inversa
Spice Manus Descendens
Spica Policis Ascendens
Spica Humeri Ascendens
Spice Trochanterri Descendens
(Spice Glute/ Inquinalis Descendens)
Spica Pedis
Spica Bigiti
Spica Hallucis
5. Beberapa metode lain-lain.
a. Stella Pectoris, Stella Dorsi
Untuk menutup dan menekan luka di dada dan punggung. Stella Dorsi dapat
dipakai untuk fraktur clavicula (cara lain dengan Ransel Verband)
b. Suspensorium Mamae (simple/duplex) dari Van Eden
Untuk menyangga buah dada yang sakit/ sehabis operasi. Bisa untuk balut penekan
dengan sedikit modifikasi.
c. Balutan Penarikan/ Traksi Kulit
Sesudah plester diletakkan pada sisi tungkai, luarnya dibalut dengan balutan elastic
dolabra currens pada betis dan paha, sedangkan pada lutut memakai testudo
reversa.
12.7. DEFINISI DAN SYARAT PEMBIDAIAN
Bidai adalah dipakai untuk mempertahankan kedudukan atau letak tulang yang patah. Alat
penunjang berupa sepotong tongkat, bilah papan, tidak mudah bengkok ataupun patah, bila
dipergunakan akan berfungsi untuk mempertahankan, menjamin tidak mudah bergerak
sehingga kondisi patah tulang tidak makin parah.
SYARAT-SYARAT BIDAI
Ukuran meliputi lebar dan panjangnya disesuaikan dengan kebutuhan
Panjang bidai diusahakan melampaui dua sendi yang membatasi bagian yang
mengalami patah tulang. Usahakan bidai dengan lapisan empuk agar tidak membuat
sakit.
Bidai harus dapat mempertahankan kedudukan dua sendi tulang yang patah.
Bidai tidak boleh terlalu kencang atau ketat.
Perhatian
Pada saat pemasangan bidai ingat nyeri dapat lebih menghambat, dapat menyebabkan
shock
Pada saat pemasangan bidai yang kurang hati-hati dapat mengakibatkan patah tulang
makin parah
Kain segitiga untuk menyangga anggota badan atas
Cara memasang bidai bagian atas
Bidai untuk lengan bawah
3 buah kain segitiga untuk fiksasi patah tulang iga
Bidai/ fiksasi untuk cerai sendi bahu
Bidai untuk jari tangan yang patah
Bidai untuk patah tulang sendi lutut
Bidai untuk patah tulang paha
Fiksasi patah tulang punggung dapat dengan:
a. Papan keras
Gambar hal 147
b. Long Spine Board
Gambar hal 147
Short Board (untuk evakuasi korban di dalam mobil dan dicurigai patah tulang punggung/
leher)
Penutup Luka
Dimaksudkan untuk:
Membantu mengatasi perdarahan
Melindungi dan mengurangi resiko infeksi
Bebat
Dimaksudkan untuk:
Menekan langsung pada luka untuk mengatasi perdarahan
Mempertahankan penutup luka, bidai dan memberikan tekanan
Membatasi pembengkakan
Menunjang cedera
Mengurangi pergerakan
Macam-macam penutup luka
Kassa steril
Kassa berisi kapas
Kain atau kertas tissue
Plester berisi kasa
Meletakkan kompres es
Isikan potongan es batu kecil-kecil atau yang telah diremukkan ke dalam kantong platik.
Selanjutnya ikat dan bungkus dengan selembar kain atau pembalut. Pegang dan
pertahankan kompres es tersebut menutup di bagian yang cedera. Lakukan dalam 10-15
menit. Ulangi bila masih diperlukan.