Anda di halaman 1dari 57

2019

HAKIKAT SAINS &


PEMBELAJARAN SAINS

Aulia Hildianti
M. Sopian Firdaus
M. Agus Johriadi
Siti Hidayatul Fitriani

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains i


KATA
PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita kesehatan
sehingga penulis bisa menyelesaikan buku yang berjudul “Hakikat Sains dan
pembelajaran Sains” ini dengan baik meskipun kurang maksimal. Buku ini ditujukan
untuk terutama bagi siswa atau peserta didik dan bagi para guru atau instruktur di
lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal. Buku ini diharapkan mampu
meningkatkan dan menambah wawasan bagi peserta didik dan pendidiknya, sehingga
benar-benar memahami tugas dan peranannya secara professional.
Harapan kami mudah-mudahan buku ini dapat memberikan wawasan bagi
usaha meningkatkan ualitasnya sebagai seorrang pendidik dan masyarakat social
dimlingkungan sekitarnya.

Penulis

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains ii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i


DAFTAR ISI................................................................................................................ ii
BAB 1. BELAJAR ...................................................................................................... 1
A. Pendahuluan .............................................................................................. 1
B. Pengertian Belajar ..................................................................................... 1
C. Jenis-Jenis Belajar .................................................................................... 3
D. Hakikat Belajar ........................................................................................ 6
E. Prinsip-Prinsip Pembelajaran .................................................................... 8
F. Kondisi Pembelajaran ............................................................................... 21
BAB II. HAKIKAT SAINS ......................................................................................... 24
A. Hakikat Sains/IPA .................................................................................... 24
B. Hakikat Pembelajaran IPA ....................................................................... 28
C. Konsep Belajar IPA ................................................................................. 30
BAB III. PEMBELAJARAN SAINS ......................................................................... 32
A. Hakikat Pembelajaran Sains ..................................................................... 32
B. Pembelajaran Sains .................................................................................. 35
C. Arti Penting Pembelajaran Sains .............................................................. 51

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains iii


Bab I
BELAJAR
A. PENDAHULUAN
Dalam keseluruhan proses pendidikan disekolah kegiatan belajar merupakan
kegiatan yang paling pokok ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan
pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa
sebagai anak didik.
Sekarang timbul pertanyaan apakah belajar itu sebenarnya ? semakin banyak
belajar dengan latihan dengan menghafal disertai pengumpulan fakta dan latihanserta
studi tentu saja terhadap pertanyaan tersebut banyak pendapat yang mungkin berbeda
satu sama lain.
Misalnya ada yang berpendapat bahwa belajar merupakan suatu kegiatan
menghafal jumlah fakta-fakta. Sejalan dengan pendapat ini maka seseorang yang telah
belajar akan ditandai dengan banyaknya fakta-fakta yang dapat dihafalkan. Guru yang
berpendapat demikian akan merasa puas jika siswa-siswa telah sanggup menghafal
sejumlah fakta diluar kepala, pendapat lain megatakan bahwa belajar adalah sama saja
dengan latihan sehingga hasil-hasil belajar akan tampak dalam keterampilan-
keterampilan tertentusebagai hasil latihan.

B. PENGERTIAN BELAJAR
Menurut pengertian secara psikkologis, belajar merupakan suatu proses perubahan
yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubaha-perubahan tersebut akan nyata pada seluruh
aspek tingkah laku.
Pengertian belajar dapat didefinisikan sebagai berikut: “belajar adalah suatu proses
usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya”. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata pada seluruh aspek tingkah laku.
a. Perubahan Terjadi Secara Sadar
Ini berarti bahwa seseorang yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan
itu atau sekurang-kurangnya ia merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 1


dalam dirinya. Misalnya ia menyadari bahwa pengetahuannya bertambah,
kecakapannya bertambah, kebiasaannya bertambah. Jadi perubahan tingkah laku
yang terjadi karena mabuk atau dalam keadaan tidak sadar, tidak termasuk
perubahan dalam pengertian belajar, karena orang yang bersangkutan tidak
menyadari akan perubahan itu.
b. Perubahan Dalam Belajar Bersifat continue dan fungsional
Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung
secara berkesinambungan tidak statis. Satu perubahan yang terjadi akan
menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun
proses belajar berikutnya. Misalnya, jika seseorang anak belajar menulis maka ia
akan mengalami perubahan dari tidak dapat menulis menjadi dapat menulis.
Perubahan ini berlangsung terus menerus hingga kecakapan menulisnya menjadi
lebih baik dan sempurna. Ia dapat manulis indah, dapat menulis dengan pulpen,
dapat menulis dengan kapur dan sebagainya. Disamping itu dengan kecakapan
menulis yang telah dimiliki ia dapat memperoleh kecakapan-kecakapan lain
misalnya, dapat menulis surat, menyalin catatan-catatan, mengerjakan soal-soal dan
sebagainya.
c. Perubahan Dalam Belajar Bersifat Positif Dan Aktif
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu senantiasa bertambah dan
tertuju untuk memeperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan
demikian makin banyak usaha belajar itu dilakukan, makin banyak dan makin baik
oerubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya perubahan itu tidak
terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha orang yang bersangkutan.
Misalnya perubahan tingkah laku karena proses kematangan yang terjadi dengan
sendirinya karena dorongan dari dalam, tidak termasuk perubahan dalam pengertian
belajar.
d. Perubahan Dalam Belajar Bukan Bersifat Sementara
Perubahan yang bersifat sementara atau temporer terjadi hanya untuk beberapa
saat saja. Seperti berkeringat, keluar air mata, bersin, menangis dan sebagainya tidak
dapat digolongkan sebagai perubahan dalam arti belajar. Perubahan yang terjadi
karena proses belajar bersifat menetap atau permanen. Ini berarti bahwa tingkah laku
yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap. Misalnya kecakapan seorang anak
dalam memainkan piano setelah belajar, tidak akan hilang begitu saja melainkan

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 2


akan terus memiliki bahwa akan makin berkembang kalau terus digunakan atau
dilatih.
e. Perubahan Dalam Belajar Bertujuan Atau Terarah
Ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang
akan dicapai. Perubahan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-
benar disadari. Misalnya, seseorang yang belajar mengetik, sebelumnya sudah
mengetik atau tingkat kecakapan mana yang akan dicapainya, dengan demikian
perubahan belajar yang dilakukan senantiasa terarah kepada tingkah laku yang telah
ditetapkannya.
f. Perubahan Mencangkup Seluruh Aspek Tingkah Laku
Perubahan yang diperoleh seseorang setelah melalui suatu proses belajar
meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku jika seorang belajar sesuatu, sebagai
hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap
keterampilan, pengetahuan dan sebagainya. Sebagai contoh jika seorang anak telah
belajar naik sepeda maka perubahan yang paling tampak ialah dalam keterampilan
naik sepeda itu, akan tetapi ia telah mengalami perubahan-perubahan lainnya seperti
pemahaman tentang cara kerja sepeda, pengetahuan tentang jenis-jenis untuk
memiliki sepeda yang lebih bagus, kebiasaan membersihkan sepeda dan sebagainya.
Jadi aspek perubahan yang satu berhubungan erat dengan aspek lainnya.

Soal
Apakah yang dimaksud dengan Belajar Secara umum.?
Jawaban
Belajar Secara Umum adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara sadar, bersifat
sementara, aktif maupun positif.

C. JENIS-JENIS BELAJAR
1. Belajar Bagian (Part Learning, Tractionad Learning)
Umumnya belajar dilakukan oleh seseorang bila ia dihadapkan pada materi
belajar yang bersifat luas dan ekstensif, misalnya mempelajari sejak ataupun
gerakan-gerakan motoris seperti bermain silat. Dalam hal ini individu memecah

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 3


seluruh materi pelajaran menjadi bagian-bagian yang satu sama lain berdiri sendiri,
sebagai lawan dari cara belajar bagian adalah belajar keseluruhan atau belajar global.
2. Belajar Dengan Wawasan (Learning by Insight)
Konsep ini diperkenalkan oleh W. Kohler, salah seorang tokoh psikologi
Gestalt Pada permulaan tahun 1971, sebagai suatu konsep wawasan (Iinsight) ini
merupakan pokok utama dalam membicarakan psikologi belajar dan proses berpikir.
Meskipun W. Kohler sendiri dalam menerangkan wawasan berorientasi pada
data.yang bersifat tingkah laku (perkembangan yang lembut dalam menyelesaikan
suatu persoalan dan kemudian secara tiba-tiba menjadi reorganisasi tingkah laku)
namun tidak urung wawasan ini merupakan konsep yang secara prinsipil ditentang
oleh penganut aliran neo-behaviorisme. Menurut Gestalt teori wawasan merupakan
proses mereorganisasikan pola-pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan
penyelesaian suatu persoalan. Sedangkan bagi kaum neo-behaviorisme (antara lain
C.E Osgood) menganggap wawasan sebagai salah satu bentuk atau wujud dari
asisasi stimulasi-respon (S-R). Jadi masalah bagi penganut neo-behaviorisme ini
justru bagaimana menerangkan reorganisasi pola-pola tingkah laku yang telah
terbentuk tadi menjadi satu tingkah laku erat hubungannya dengan penyelesaian
suatu persoalan. Dalam pertentangan ini barangkali jawaban yang memuaskan
adalah jawaban yang dikemukakakn oleh GA Miller yang menganjurkan
behaviorisme subjektif. Menurut pendapatnya wawasan barangkali merupakan
kreasi dari “rencana penyelesaian” (meta program) yang mengontrol rencana sub-
ordinasi lain pola tingkah laku yang telah terbentuk.
3. Belajar Deskriminatif
Belajar deskriminatif diartikan sebagai suatu usaha untuk memilih beberapa
sifat situasi/stimulasi dan kemudian menjadikannya sebagai pedoman dalam
bertingkah laku.dengan pengertian ini maka dalam eksperimen, subjektif diminta
untuk merespon secara berbeda-beda terhadap stimulasi yang berlainan.
4. Belajar Global Keseluruhan (Global Whole Learning)
Disini bahan pelajaran dipelajari secara keseluruhan berulang samapi pelajar
menguasainya. Lawan dari belajar bagian, adalaha dimana metode belajar ini sering
juga disebut metode GESTALT.
5. Belajar Insidental (Incidental Learning)
Konsep ini bertentangan dengan anggapan bahwa beajar itu slalu berarah
tujuan (incidental), sebab dalam belajar incidental pada individu tidak ada sama

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 4


sekali kehendak untuk belajar. Belajar disebut incidental bila tidak ada instruksi atau
petunjuk yang diberikan pada individu mengenai materi belajar yang akan diujikan
kelak. Dalam kehidupan sehari-hari, belajar incidental ini merupakan hal yang
sangat penting. Oleh karena itu diantara para ahli belajar incidental ini merupakan
bahan pembicaraan yang sangat menarik, khusunya sebagai bentuk belajar yang
bertentangan dengan belajar internasional. Dari salah satu penelitian ditemukan
bahwa dalam belajar incidental (dibandingkan dengan belajar intentional) jumlah
frekuensi materi belajar yang diperhatikan tidak memegang peranan penting, prestasi
individu menurun dengan meningkatkan motivasi.
6. Belajar Instrumental (Instrumental Learning)
Pada belajar instrumental, reaksi-reaksi seorang siswa yang diperlihatkan
diikuti oleh tanda-tanda yang mengarah pada apakah siswa tersebut akan mendapat
hadiah, hukuman, berhasil atau gagal. Oleh karena itu cepat atau lambatnya
seseorang belajar dapat diatur dengan jalan memberikan penguat (reinforcement)
atas dasar tingkat-tingkat kebutuhan. Dalam hal ini maka salah satu bentuk belajar
instrumental yang khusus adalah “pembentukan tingkah lau”. Disini individu diberi
hadiah bila ia bertingkah laku yang dikehendaki dan sebaliknya ia dihukum bila
memperlihatkan tingkah laku yang tidak sesuai dengan dikehendaki sehingga
akhirnya akan terbentuk tingkah laku tertentu.
7. Belajar Intensional (Intentional Learning)
Belajar dalam arah tujuan merupakan lawan dari belajar insidental.
8. Belajar Laten (latent learning)
Dalam belajar laten, perubahan-perubahan tingkah laku yang terlihat tidak
terjadi secara segera dan oleh karena itu disebut laten. Selanjutnya eksperimen yang
dilakukan terhadap binatang mengenai belajar laten, menimbulkan pembicaraan
yang hangat dikalangan penganut behaviorisme, khususnya mengenai mengenai
peranan faktor penguat (reinforcement) dala belajar rupanya penguat dianggap oleh
penganut behaviorisme ini bukan fakta atau kondisi yang harus ada dalam belajar.
Demikian penelitian mengenal ingatan, belajar laten diakui memang ada dalam
bentuk belajar insidental.
9. Belajar Mental (mental learning)
Perubahan kemungkinan tingkah laku yang terjadi disini tidak nyata terlihat,
melainkan hanya berupa perubahan proses kognitif karena ada bahan yang
dipelajari. Ada tidaknya belajar mental ini sangat sangat jelas terlihat pada tugas-

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 5


tugas yang sifatnya motoris, sehingga perumusan operasional juga menjadi sangat
berbeda. Ada ynag mengartikan belajar mental sebagai belajar dengan cara
melakukan observasi dari tingkah laku orang lain, membayangkan gerakan-gerakan
orang lain dan lain-lain.
10. Belajar produktif (productive learning)
R. Berguis (1964) memberikan arti belajar produktif sebagai belajar dengan
transfer yang maksimum. Belajar produktif adalah mengatur kemungkinan untuk
melakukan transfer tingkah laku dari satu situasi ke situasi lain. Belajar disebut
produktif bila individu mampu mentransfer prinsip menyelesaikan satu persoalan
dalam satu situasi ke situasi lain.
11. Belajar verbal (verbal learning)
Belajar verbal adalah belajar mengenai materi verbal dengan melalui latihan
dan ingatan. Dasar dari belajar verbal diperhatikan dalam eksperimen klasik dari
Ebbinghaus. Sifat eksperimen ini meluas dari belajar asosiatif mengenai hubungan
dua kata yang tidak bermakna sampai pada belajar dengan wawasan mengenai
penyelesaian persoalan yang konpleks yang harus diungkapkan secara verbal.

Soal
1. Sebutkan 11 Jenis- jenis belajar .!
Jawaban
Jenis belajar antara lain:
(1) Belajar bagian, (2) belajar dengan wawasan, (3) belajar deskriminatif, (4)
belajar global keseluruhan, (5) belajar insidental, (6) belajar Instrumental, (7)
belajar Intensional, (8) Belajar Laten, (9) Belajar mental, (10) belajar produktif,
(11) belajar verbal.

D. HAKIKAT BELAJAR
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa “ Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agarpeserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepriadian, kecerdasan, akhlak mulia,serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Berdasarkan pernyataan

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 6


tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan proses pembelajaran yang
diarahkan kepada perkembangan peserta didik untuk memiliki kekuatan spiriual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pembelajaran adalah terjemahan dari bahasa inggris intruction yang banyak
dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif-holistikyang menempatkan peserta didik
sebagai sumber kegiatan. Istilah ini dipengaruhi pula oleh perkembangan teknologi yang
diasumsikan dapat membantu peserta didik belajar memalui beragam sumber belajar dan
media pembelajaran seperti bahan-bahan cetak, program televisi, radio, internet,
gambar, audio dan sebagainya. Dalam Permendikbud No. 103 tahun 2014 dinyatakan
bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antar peserta didik, antara peserta didik
dengan tenaga pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pengertian
tentang pembelajaran dan berkembangnya teknologi, telah mendorong terjadinya
perubahan peran guru dalam proses pembelajaran yakni dari guru sebagai sumber
belajar menjadi guru sebagai fasilitator pembelajaran. Dalam hal ini, Gagne (1992)
menyatakan “instruction is a set of event that affect learners in such a way that learning
is facilitated”. Oleh karena itu kata mengajar (teaching) lebih merupakan bagian dari
pembelajaran (instuction) di mana peran guru lebih ditekankan pada bagaimana
merancang berbagai sumber, media dan fasilitas untuk membantu peserta dalam belajar.
Selanjutnya, Gagne (1992) menyatakan: “whay do we speak of instuction rather than
teaching? It is because we wish to describe all of the events that may have a direct effect
on the learning of a human being, not just those set in motion by individual who is a
teaccher. Instruction may include events that are generated y a page of print, by a
ficture, y a television program, or by combination of physical object, among other
things. Of course,a tercher may play an essential role in the arrangement of any of these
events.
Istilah pembelajaran lebih dipengaruhi oleh perkembangan teknologi untuk
keutuhan belajar, di mana peserta didik diposisikan sebagai subjek belajar yang
memegang peranan yang utama. Peserta didik difasilitasi untuk dapat beraktivitas secara
individual maupun kelompok dalam proses belajar. Oleh karena itu, jika istilah
pengajaran (taching) menempatkan guru sebagai pemeran utama untuk memberikan
informasi, maka dalam pembelajaran (instuction) guru lebih berperan sebegai fasilitator
dan pengelola sumber dan fasilitas belajar untuk peserta didik. Gagne selanjutnya
menyatakan pembelajaran sebagai pengaturan peristiwa yang ada di luar diri peserta

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 7


didik dan dirancang serta dimanfaatkan untuk memudahkan proses belajar. Penngaturan
situasi sebelum pelaksanaan kegiatan pembelajaran disebut sebagai management of
learning and conditions of learning (menejemen kondisi pembelajaran).
Proses pembelajaran dewasa ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif-
holistik yang menempatkan peserta didik sebagai pusat kegiatan atau sebjek belajar.
Seiring dengan hal ini, perkembangan teknologi yang sangat pesat semakin
mempermudah peserta didik dalam belajar. Berbagai sumber belajar dan media
pembelajaran sebagai produk kemajuan teknologi bidang pendidikan banyak berperan
dalam menentukan keberhasilan upaya peningkatan proses dan hasil pembelajaran.
Sebagai subjek belajar, peserta didik harus difasilitsi untuk dapat beraktivitas secara
maksimal dalam belajar.
Sehubungan dengan hal itu, maka paradigma pembelajaran dewasa ini harus
diarahkan pada pengembangan kompetensi peserta didik dalam melakukan tugas-tugas
akdemik berdasarkan standar kompetensi tertentu. Cakupan standar kompetensi,
umumnya meliputi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang perlu dimiliki
serta dapat direflesikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan
bertindak secara konsisten dan berkesinambungan diharapkan dapat mengantarkan
peserta didik untuk mampu menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapinya dengan baik
(Mulyasa, 2003). Berkaitan dengan hal tersebut, maka sistem penyalenggaraan
pembelajaran dan penilaian hasil belajar peseta didik, harus berubah dari pola yang lebih
berpusat pada kegiatan mengajar guru (teacher centered) dan berorientasi pada materi
pelajaran (subject matter oriented) ke pola yang lebih berpusat pada kegiatan belajar
peserta didik (student centered) dan berorientasi pada pengembangan kecakapan hidup
peserta didik (life skills) yang terdiri atas kecakapan berpikir, kecakapan sosial,
kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional (Depdiknas, 2003).

E. PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN
Bruce Weil (1980) mengemukakan tiga prinsip penting dalam proses
pembelajaran. Pertama, proses pembelajaran membentuk kreasi lingkungan yang dapat
mengubah struktur kognitif peserta didik. Pengaturan lingkungan belajar dimaksudkan
untuk memberikan pengalaman belajar yang dapat memfasilitasi perkembangan kognitif
peserta didik. Prinsip ini mendukung pendapat Piaget yang menyatakan bahwa struktur
kognitif akan tumbuh dengan baik jika peserta didik memiliki pengalaman belajar yang

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 8


bermakna. Oleh karena itu guru harus memperkaya pengalaman belajar peserta didik
dengan mendesain pembelajaran yang memaksimalkan aktivitas peserta didik.
Kedua, berhubungan dengan tipe-tipe pengetahuan yang harus dipelajari. Ada tiga
tipe pengetahuan fisik, sosial daan logika. Ketiga jenis pengetahuan tersebut masing-
masing memerlukan situasi yang berbeda dalam mempelajarinya. Pengetahuan fisik
adalah pengetahuan akan sifat-sifat fisik dari suatu objek atau kejadian seperti bentuk,
besar,berat, serta bagaimana objek itu berinteraksi dengan lingkungannya. Pengetahuan
fisik diperoleh melalui pengalaman indera secara langsung. Sebagai contoh, seorang
peserta didik memegang kain sutra yang terasa halus, atau memegang logam yang
bersifat keras. Pengalaman langsung memegang kedua benda tersebut akan membantu
peserta didik mengembangkan struktur kognitif tentang sutera dan logam. Dalam hal ini,
telah dikembangkan model pembelajaran langsung (direct intruction) yang bertujuan
untuk memfasilitasi peserta didik untuk secara langsung mengalami dan mempraktikan
pengetahuan dan keterampilannya dalam proses belajar. Dalam bidang IPA, model
pembelajaran langsung sangat relevan untuk memfasilitasi peserta didik mempelajari
tentang cara mencangkok tumbuhan, cara mengoprasikan mikroskop, cara merangkai
rangkaian listrik, cara membuat larutan dengan konsentrasi terentu, dan materi lain yang
sejenis.
Pengetahuan logika berhubungan dengan kemampuan berpikir matematis yaitu
pengetahuan yang dibentuk berdasarkan pengalaman dengan suatu objek dan kejadian
tertentu. Pengetahuan logika didapatkan dari proses astraksi berdasarkan pengalan
menggunakan suatu objek. Penngetahuan logis hanya akan berkembang apabila peserta
didik berhubungan dan bertindak dengan suatu objek, walaupun objek yang dipelajarinya
tidak memberikan informasi atau tidak menciptakan pengetahuan matematis.
Pengetahuan ini dibentuk oleh pikiran individu itu sendiri, sedangkan objek yang
dipelajarinya hanya bertindak sebagai media. Misalnya, pengtahuan tentang bilangan,
peserta didik dapat bermain dengan himuan kelereng atau apa saja yanng dapat
dikondisikan. Dalam konteks ini peserta didik tidak mempelajari kelereng sebagai
ssumber pengetahuan, akan tetapi kelereng merupakan alat untuk memahami ilangan
matematis. Jenis-jenis pengetahuan itu memiliki karakteristik tersendiri, oleh karena itu
pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh peserta didik mestinya bereda.
Ketiga, dalam proses pelaksanaan pembelajaran guru harus melibatkan peran
lingkungan sosial. Kmampuan mempelajari pengetahuan logika dan sosial berbeda antar
peserta didik. Melalui pergaulan dan hubungan sosial, peserta didik akan belajar lebih

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 9


efektif jika dibandingkan dengan proses belajar yang menjauhkan peserta didik dari
lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, melalui hubungan sosial itulah peserta didik
berinteraksi dan berkomunikasi, berbagi pengalaman, melakukan berbagai kegiatan lain
yang memungknkan mereka tumuh dan berkembang secara wajar.
Selama proses kehidupannya manusia tidak akan terlepas dari masalah. Tiap-tiap
manusia memiliki tujuan hidup untuk mencapai tujuan tersebut manusia akan dihadapkan
pada berbagai rintangan. Jika seseorang berhasil mengatasi rintangan, maka selanjutnya
dia akan dihadapkan pada tujun baru dan seterusnya seperti itu. Peserta didik yang
berkualitas agus dan sukses adalah manusia yang mampu mengatasi setiap hambatan dan
tantangan yang dihadapinya dengan cara yang tepat.
Berdasarkan uraian diatas, maka proses pembelajaran harus diarahkan pada upaya
untuk mengantarkan peseta didik agar mampu mengatasi setiap tantangan dan rintangan
dalam kehidupan yang cepat berubah, melalui sejumlah kompetensi yang harus dimiiki.
Itulah sebabnya, makna elajar ukan hanya mondorong peserta didik agar mampu
menguasai sejumlah materi pelajaran akan tetapi bagaimana agar peserta didik memiliki
sejumlah kompetensi untuk mampu menghadapi rintangan yang muncul sesuai dengan
perubahan pola kehidupan masyarakat. Pembelajaran di sekolah merupakan suatu
aktivitas yang dilakukan secara sadar, dan harus direncanakan dengan baik. Namun,
kenyataan menunjukan bahwa pada umumnya guru mempersepsi dan memaknai
pemelajaran seagai kegiatan, (a) meyampaikan berbagai pengetahuan bidang studi
dengan efektif dan efisien, (b) mencipta dan memelihara relasi antara pendidik dan
peserta didik, dan (c) menerapkan kecakapan teknis dalam mengelola potensi peserta
didik. Dalam hal ini, guru dituntut untuk mampumerancang pembelajaran yang mendidik
(Raka Joni, 2005) yakni pembelajaran yang memiliki karakteristik:
1. Menekankan proses membelajarkan cara belajar (learning how to learn);
2. Mengutamakan strattegi pembelajaran yang mendukung proses belajar yanng
bermakna;
3. Memantu peserta didik agar caka daam memkirkan dan memilih jawaban atas
persoalan yang dihadapkan kepadannya.
4. Pendidk tidak banyak menyampaikan informasi langsung kepada peserta didik.
Makna dari pembelajaran yang mendidik dalam konteks standar proses pendidikan
di Indonesia ditunjukan oleh beberapa prinsip yakni 1) pembelajaran sebagai
pengembangan kemampuan berpikir, 2) pembelajaran untuk mengembangkan fungsi
otak, dan 3) proses belajar berlangsung sepanjang hayat.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 10


1. Proses Pengembangan Kemampuan Berpikir
Belajar pada dasarnya merupakan proses untuk membantu pesrta didik untuk
mengembangkan keterampilan berpikir (thinking skill). Keterampilan berpikir adalah
salah satu aspek kecakaan hidup (life skill) yang sangat perlu mendapat perhatian
dan dikembangkan melalui proses pendidikan (Depdknas, 2003). Kemampuan
seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya terutama dalam upaya
menyelesaikan masalah-masalah kehidupan yan dihadapinya ditentukan oleh
keterampilan berfikir yang dimilikinya.elajar bagaimana cara erfikir yang aik
menekankan pada proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui intraksi
antara peserta didik sebagai individu dengan lngkungan sekitarnya.dalam kaitannya
dalam pembelajaran sains,inquiri dan berpikir merupakan dua hal yang sangat
berkaitan satu sama lain,dan disarankan untuk difasilitasi perkemangannya melalui
proses pembelajaran (Garrison & Archer, 2004).
Jhonson(2002) mengemukakan bahwa keterampilan berfikir dapat dibedakan
menjadi berfikir kritis dan erpikir kreatif. Kedua jenis keterampillan ini disebuut
juga sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi. Berpkir kritis merupakan proses
mental yang teroganisir dengan baik dan berperan dalam mengambil keputusan
untuk memecahkan masalah dengan menganalisis dan menginterpretasi data dalam
kegiatan inkuiri ilmiah. Berpikir kreatif adalah erpikir yang menghasilkan gagasan
asli, konstruktif, dan menekankan pada aspek intuitip serta rasional. Pemahaman
umum mengenai berpikir kritis sebenarnya adalah pencerminan dari gagasan Jhon
Dewey sebagai inkuiri ilmiah.
Dalam kaitan dengan pembelajaranberpikir, proses pendidikan di sekolah
tidak hanya menekankan pada akumulasi pengetahuan tentang materi pelajaran,
tetapi yang lebih diutamakan adalah kemampuan peserta didik untuk memperoleh
pengetahuannya sendiri (self regulated learning). Oleh karena itu, proses
pembelajaran hendaknya dapat merangsang peserta didik untuk mengeksplorasi dan
mengelaborasi sendiri sekaligus menkonfirmasi sesuatu sesuai dengan proses
berpikirnya sendiri.
Asumsi yang mendasari pembelajaran berpikir adalah bahwa pengetahuan itu
tidak datang dari luar, akan tetapi dibentuk oleh individu itu sendiri dalam struktur
kognitif yang dimilikinya (ingat teori perkembangan struktur kognitif menurut Jean
Piaget). Berdasarkan asumsi itu, maka perlu dipahami bahwa tanggung jawab guru
dalam pembelajaran bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru kepada peserta

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 11


didik, melainkan suatu aktivitas yang memungkinkan peserta didik untuk dapat
membanngun senndiri pengetahuannya. Menurut Bettencourt (1985) kegiatan
pembelajaran dalam hal ini adalah partisipasi guru dan peserta didik dalam
membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dn
mengadakan justifikasi.
Dalam proses pembelajara, La Costa (1985) mengklasifikasikan
pembelajaran berpikir menjadi tiga kreteria yaitu : teaching of thinking, teching for
thinking dan teaching about thingking. Teaching of thingking adalah proses
pembelajaran yang diarahkan untuk pembentukan keterampilan mental tertentu,
misalnya keterampilan berpikir kritis dan berpikir kreatif. Pembelajaran jenis ini
lebih menekankan kepada aspek tujuan pembelajaran. Teching for thinking adalah
proses pembelajaran yang diarahkan pada usaha menciptakan lingkungan belajar
yang dapat mendorong perembangan kemampuan kognitif. Jenis pembelajaran lebih
menitik beratkan pada proses menciptakan situasi dan lingkungan tertentu,
contohnya menciptakan suasana keterbukaan, demokratis dan menyenangkan
sehingga memungkinkan peserta didik dapat berkembang secara optimal. Teaching
about thingking, adalah pembelajaran yang diarahkan pada upaya membantu peserta
didik menjadi lebih sadar terhadap proses berpikirnya. Jenis pembelajaran ini lebih
menekankan pada metode pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran.

2. Proses Pengembangan Otak


Pembelajaran harus dikembangkan dengan mengoptimalkan perkembangan
potensi otak peserta didik secara maksimal. Menurut beberapa para ahli, otak
manusia terdiri dari dua bagian yaitu otak kanan dan otak kiri. Masing-masing
belahan otak memiliki kekhusussan fungsi dalam mengendalikan kemampuan-
kemampuan tertentu. Belahan otak kiri berperan untuk mengontrol kemampuan
logis, skuensial, linier dan rasional, meskipun juga berperan dalam penafsiran
abstrak dan simbolik. Mekanisme kerjanya sesuai untuk tugas-tugas yang teratur
seperti ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detail
dan fakta, fonetik, serta simbolis (De Porter, 1992).
Mekanisme kerja otak kanan bersifat acak, tidak linier, intutitif, holistik dan
berperan dalam mengontrol kemampuan yang bersifat non verbal seperti perasaan
dan emosi, kesadaran yang berkenan dengan perasaan, kesadaran spasial,
pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 12


visualisasi. Kedua belahan otak perlu dikembangkan secara optimal dan seimbang.
Belajar yang hannya cebdrung memanfaatkan otak kiri, misalnya dengan memaksa
peserta didik untuk berpikir logis dan rasional akan membuat peserta didik dalam
posisi “kering dan hampa”. Oleh karena itu belajar berpikir logis dan rasional perlu
didukung oleh pergerakan otak kanan, misalnya dengan memasukkan unsur-unsur
yang dapat mempengaruhi emosi, yaitu unsure estetika melalui proses belajar yang
menyenangkan dan menggaerahkan. Dalam standar proses pendidikan, belajar
adalah memanfaatkan kedua belahan otak secara seimbang. Pendapat lain tentang
otak adalah teori iotak triune, “ Triune” berarti Three In One (Dave Meie, 2002).
Menurut teori otak Triune, otak manusia terdiri dari 3 bagian yaitu otak reptile,
sistem limbik dan neokortek seperti yang ada dalam gambar berikut :

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 13


Neokorteks

Otak Triune
Reptil Sistem Limbik

Gambar 1 . Skema Otak Triune

Otak reptil adalah otak paling sederhana dan tugas utama dari otak ini adalah
untuk mempertahankan diri. Otak reptile mengontrol fungsi organ tubuh yang
bersifat otomatis seperti detak jantung dan sistem peredaran darah. Otak reptile
diyakini sebagai bagian dari otak hewan yang berfungsi untuk mengejar kekuasaan.
Seseorang yang didominasi oleh fungsi otak reptilnya akan berbuat apa saja untuk
mencapai tujuan yang diinginkannya termasuk untuk mempertahankan diri. Sistem
limbik adalah otak tengah yang mengontrol fungsi social dan emosional. Dalam
sistem limbik juga terdapat sarana untuk mengingat jangka panjang (long team
memory) . Neokorteks adalah bagian otak yang paling tinggi tingkatannya dan
memiliki fungsi kontrol tingkat tinggi termasuk mengembangkan kemampuan
berbahasa, berpikir abstrak, menyelesaikan masalah, mengatur rencana dan
kemampuan berkreasi. Bagian otak inilah yang menjadikan manusia berbeda dengan
makhluk lain ciptaan Tuhan.
Proses pendidikan dan pembelajaran harus diarahkan untuk mengembangkan
potensi semua bagian otak. Apabila proses pembelajaran mampu memfasilitasi
perkembangan potensi neokorteks maka tentu saja otak reptile dan system limbic
juga akan ikut berkembang. Sedangkan pembelajaran yang hanya menyentuh otak
limbic dan otak reptile saja belum tentu dapat mendukung perkembangan potensi
neo-korteks. Dalam proses belajar ada berbagai tahapan, dan dari masing-masing
tahap akan menampakkan hasil belajar. Dari masing-masing tahapan itu, komponen
utama yang terlibat dalam proses belajar dapat mengkondisikan diri secara kondusif
agar hasil belajar dapat optimal. Dengan demikian, proses itu mampu menanamkan
kemandirian kepada calon guru di masa yang akan datang.
Selama ini praktek pembelajaran di semua jenjang pendidikan di Indonesia
masih cendrung mengagungkan aspek intlektualitas dan lebih mementingkan hasil

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 14


belajar domain kognitif. Akibatnya persolalan nilai, sikap, minat, kreativitas
seringkali terabaikan. Masih banyak pendidik yeng berpegang pada paradigma
berpikir konvensional yang menjelaskan bahwa keberhasilan seorang peserta didik
lebih sering dikaitkan dengan kemampuan intlektual yang diukur dengan
Kecerdasan intlektual atau intlectual quotient (IQ). Paradigma untuk melihat
keberhasilan yang mengandalkan IQ ini sangat berpengaruh terhadap visi dan misi
proses pembelajaran . jika hal ini masih juga dipegang teguh oleh perguruan tinggi
yang mendidik calon guru, maka tentu sulit diharapkan munculnya pendidik yang
mampu menghadapi tantangan professional di abad ke-21.
Dalam dekade terakhir ini telah dikembangkan paradigm baru mengenal
keberhasilan seseorang. Parameter keberhasilan tidak lagi semata-mata terpokus
pada aspek IQ, karena menurut banyak hasil penelitian. IQ hanya menyambung 20%
dari keberhasilan seseorang. Dalam hal ini Goleman menyatakan bahwa
“phsycologist agree that IQ contributes only 20 persent of the factors has determine
success”. A ful 80 persent comes from other factors, including emotional
intelligence”. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat terlihat bahwa kecerdasan
emosional atau emotional intelligence (EQ) menentukan 80 persen dari keberhasilan
seseorang.
Paradigma baru ini perlu dipedomani dalam proses pembelajaran di lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (PTK) atau Perguruan Tinggi yang
menyelenggarakan proses pendidikan persiapan calon pendidik jika kita
menghendaki tumbuh kembangnya para calon guru yang memiliki keunggulan
kompetitif di masa datang. Hal ini penting untuk diingat karena IQ merupakan factor
bawaan yang tidak berubah sedangkan EQ dapat dikembangkan atau ditingkatkan
tentu dengan membangun komitmen, dengan mempraktikkan, dan dengan
pengetahuan dan kemamuan yang memadai. Perkembangan faktor EQ dalam proses
belajar mengajar di perguruan tinggi diperlukan agar para calon guru lulusan
perguruan tinggi memiliki kemandirian, rasa percaya diri, kreatif dan mampu
berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik di kelas dan masyarakat di
lingkungannya.
Pengembangan EQ lebih mungkin dilakukan karena memang faktor itu
terbukti dapat ditingkatkan. Sebaliknya, IQ tidak dapat ditingkatkan karena
merupakan bawa sejak manusia dilahirkan. Oleh karena itu, sifat-sifat manusia yang
terkait dengan EQ perlu integraasikan dengan proses pembelajaran agar mampu

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 15


memfasilitasi peserta didik untuk berkembang menjadi manusia masndiri yang
mampu berkompetensi dalam persaingan global. Patton (1997) menjelaskan sifat-
sifat manusia yang termasuk dalam unsure EQ meliputi kesadran diri ( self-
awareness), semangat mengelola diri (mood of self management termasuk optimis,
tahan uji, sabar), motivasi diri (self-motivation), dan keterampilan (skills).
Oleh karena itu, maka proses pembelajaaran tidak boleh hanya berorientasi
pada aspek kognitif semata yang sangat mementingkan kemampuan belahan otak
sebelah kiri. Kemampuan otak belahan kanan juga perlu dikembangkan dalam
proses belajar-mengajar agar kita dapat mempersiapkan peserta didik menjadi
generasi muda yang cerdas, dan kreatif. Scull (2010) menyatakan bahwa ada
perbedaan potensi kemampuan pada masing-masing belahan otak manusia seperti
diringkas dala tabel berikut ini :

Tabel.1 Perbandingan Belahan Otak Kanan Dan Kiri

Indikator Otak Kiri Otak Kanan


Fungsi Mengontrol kemampuan Kesadaran spatial, intuisi,
berbahasa, berbicara imej atau gambar visual, dan
matematika, menalar logis seni, music
dan analitis, berhitung dan
matematika
Sifat Berpikir linier, memproses Berpikir Holistik, memproses
secara ekskusi, mengambil secara random, mengambil
keputusan dengan logis, keputusan secara intuitif,
berorientasi pada berorientasi pada fantas
kenyataan.
Sifat Personal Analitis, logis, Kreatif, seni, berpikir terbuka
memperhatikan sesuatu (open-minded).
dengan detail.
Proses Berpikir Sekuensial; verbal Random; non-verbal
(memproses dengan kata- (memproses dengan visual).
kata).

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 16


Kekuatan Matematika, analitis, Berpikit multi-dimensi, seni,
membaca, mengeja, musik, olahraga, mengingat.
menulis, skuensi.

Pengembangan kemampuan belahan otak kanan selama ini cendrung


terabaikan dalam proses pembelajaran. Beberapa realitas penting berkaitan dengan
EQ perlu diketahui oleh para mahasiswa calon pendidik dan pendidik dalam rangka
mengembangkan pola pembelajaran yang mampu menawarkan keunggulan
kompetitif adalah :
a. EQ bukanlah lawan dari IQ karena EQ dapat dilatih dan ditingkatkan
potensinya.sedangkan IQ tidak dapat dilatihkan dan ditingkatkan.
b. Beberapa fenomena terkait EQ menunjukkan bahwa anak yang tidak diterima
oleh teman sekelasnya, besar kemungkinan bisa drop-out. Kurangnya
keterampilan emosional merupakan alasan banyak perkawinan yang berakhir
dengan perceraian. Dalam ikatan kerjasama disebutkan bahwa IQ akan
mengantar orang untuk disewa tetapi EQ akan mengantarkan orang pada
promosi.
c. Beberapa cara membangun EQ dalam diri dalam diri seseorang peserta didik
antara lain dengan kesadaran (awareness), menerima tanggung jawab
(accepting responsibility), dan melaui komitmen yang kuat (commit-ment)

3. Pembelajaran Sepanjang Hayat


Belajar adalah proses yang berlangsung terus menerus dan tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu. Hal ini berdasar asumsi bahwa sepanjang kehidupan manusia akan
selalu dihadapkan pada masalah atau tujuan yang ingin dicapainya. Dalam rangka
mengatasi masalah dan upaya untuk mencapai tujuan itu, manusia dihadapkan pada
berbagai rintangan. Setelah berhasil melaui suatu rintangan , manusia akan
dihadapkan pada tujuan atau masalah baru dan untuk mencapai tujuan baru itu
manusia akan dihadapkan pada rintangan baru pula. Seseorang dikatakan berhasil
atau sukses hanya jika dia dapat mengatasi segala masalah dan rintangan yang
dihadapinya dan dikatakan manusia gagal jika tidak dapat melewati rintangan. Atas
dasar itulah sekolah berperan sebagai wahana untuk memberikan latihan mengenai
bagaimana cara (learn how to learn).

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 17


Prinsip belajar sepanjang hayat seperti yang telah dikemukakan di atas,
sejalan dengan empat pilar pendidikan universal seperti yang dirumuskan UNISCO
(Geremeck, 1986), yaitu belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar
dengan melakukan (lerning ti do), belajar menjadi (learning to be), dan belajar
dengan bekerjasama (learning to live together) merupakan kebutuhan mendasar bagi
setiap peserta didik.
Learning to know mengandung makna bahwa belajar tidak hanya
berorientasi pada produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi pada
proses belajar. Dalam proses belajar, peserta didik bukan hanya menyadari apa yang
harus dipelajari tetapi juga harus menyadari bagaimana cara mempelajari apa yang
seharusnya dipelajari. Kesadaran tersebut, memungkinkan proses belajar tidak
terbatas di sekolah saja, akan tetapi memungkinkan peserta didik untuk belajar
secara berkesinambungan. Inilah hakekat dari semboyan “belajar sepanjang hayat”.
Jika hal ini dimiliki peserta didik , maka masyarakat belajar (learning community)
sebagai salah satu tuntutan global saat ini akan dapat terbentuk. Oleh sebab itu
belajar untuk mengetahui juga dapat bermakna belajar berpikr karena peserta didik
akan terus belajar dan mengembangkan kemauan dan kemampuan untuk berpikir.
Learning to be mengandung arti bahwa belajar adalah proses untuk
membentuk manusia yang memiliki jati dirinya sendiri. Oleh karena itu, pendidik
harus berusaha memfasilitasi peserta didik agar belajar mengaktualisasikan dirinya
sendiri sebagai individu yang berkepribadian utuh dan bertanggung jawab sebagai
individu sekaligus sebagai anggota masyarakat. Dalam pengertian ini terkandung
makna Bahwa kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yakni
makhluk hidup yang memiliki tanggung jawab sebagai khlaifah serta menyadari
akan segala kekurangan dan kelemahannya.
Learning to live together, adalah belajar untuk bekerjasama melalui proses
bekerjasama. Hal ini sangat diperlukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam
masyarakat global dimana manusia baik secara individu maupun secara kelompok
tidak mungkin dapat hidup sendiri atau mengasingkan diri dari masyarakat
sekitarnya.. dalam hal ini termasuk juga pembentukan masyarakat demokratis yang
memahami dan menyadari akan adanya perbedaan pandangan antar individu.
Prinsip pembelajaran terkait dengan pilar-pilar pendidikan sebagaimana
diuraikan di atas, pada dasarnya merupakan implementasi dari teori belajar

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 18


konstruktivisme. Dalam hal ini (Horsley, 1990) menyatakan bahwa belajar menurut
paham konstruktivisme meliputi empat tahap yaitu :
a. Tahap apersepsi (mengungkap konsepsi awal dan membangkitkan motivasi
belajar peserta didik),
b. Tahap eksplorasi,
c. Tahap diskusi dan penjelasan konsep, dan
d. Tahap pengembangan dan aplikasi konsep
Sejalan dengan pandangan di atas, Tobin dan Timon mengatakan bahwa
pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme meliputi empat kegiatan, antara
lain (1) berkaitan dengan pengetahuan awal (prior knowledge) peserta didik, (2)
mengandung kegiatan pengalaman nyata (real experiences), (3) terjadi interaksi
sosial (social interaction) dan (4) terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (ense
of making environ-ment).
Petunjuk tentang proses pembelajaran yang mengacu pada teori belajar
konstruktivisme dikemukakan oleh Dahai (1989), sebagai berikut: (1) siapkan
benda-benda nyata untuk digunakan para peserta didik, (2) pilihlah pendekatan yang
sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, (3) perkenalkan kegiatan yang
layak dan menarik serta beri kebebasan peserta didik untuk mempertimbangkan
saran dari guru, (4) Tekankan penciptaan pertanyaan dan masalah serta
pemecahannya (5) anjraan peserta didik untuk saling berinteraksi, (6) hindari istilah
teknis dan tekankan proses berpikir, (7) ajurkan mereka berpikir dengan secara
mandiri, (8) perkenalkan kembali materi dan kegiatan yang sama setelah beberapa
tahun lamanya.
Uraian-uraian diatas dapat member pandangan kepada guru dalam
menerapkan prinsip belajar konstruktivisme, guru benar-benar memperhatikan
kondisi lingkungan belajar peserta didik. Disamping itu, pengertian tentang kesiapan
peserta didik untuk belajar, juga tidak boleh diabaikan. Dengan kata laian, factor
lingkungan sebagai suatu sarana interaksi bagi peserta didik, bukanlah satu-satunya
hal yang perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh bagi guru.
Yagger (1991) mengungkapkan pentahapan yang lebih lengkap dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme. Dalam tahap pertama, peserta
didik didorong agar mengemukakakn pengetahuan awalnya tentang konsep yang
dibahas. Bila perlu guru memancing dengan pertanyaan tentang fenomena yang
sering dijumpai oleh perserta didik dan mengaitkannya denga konsep baru yang

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 19


akan dibahas. Selanjutnya, peserta didik diberi kesempatan untuk
mengkomunukasikan dan mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep-konsep
tersebut. Tahap kedua, peserta didik diberi kesempatan untuk menyelidiki dan
menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian dan
penginterpretasikan data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru.
secara keseluruhan pada tahap ini akan terpenuhi rasa keingintahuan peserta didik
dalam fenomena dalam lingkungan. Tahap ketiga, peserta didik memikirkan
penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasi peserta didik, ditambah
dengan penguatan dari guru. selanjutnya peserta didik membangun pemahaman
baru tentang konsep yang sedang dipelajari. Tahap keempat, guru harus berusaha
untuk menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan peserta didik untuk
mengaplikasikan pemahaman konseptualnya.
Dalam Permendikbud Nomor 103 tahun 2014 disebutkan bahwa kegiatan
pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru perlu menerapkan prinsip-
prinsip sebagai berikut :
a. Peserta didik difasilitasi untuk mencari tahu;
b. Peserta didik belajar dari berbagai sumber belajar;
c. Proses pembelajaran menggunakan pendekatan ilmiah;
d. Pembelajaran berbasis kompetensi;
e. Pembelajaran terpadu;
f. Pembelajaran yang menekankan pada jawaban divergen yang memiliki
kebenaran multi dimensi;
g. Pembelajaran berbasis keterampilan aplikatif;
h. Peningkatan keseimbangan, kesinambungan, dan keterkaitan antar hard-skills
dan soft-skills;
i. Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan, dan pemberdayaan peserta
didik sebagai pembelajar sepanjang hayat;
j. Pembelajaran yang menerapkan dengan nilai-nilai yang memberi keteladanan
(ing madyo mangun karso) dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam
proses pembelajaran ( tut wuri handayani );
k. Pembelajaran yang berlangung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat;
l. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas pembelajaran;

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 20


m. Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik;
dan
n. Suasana belajar menyenangkan dan memancing.

F. KONDISI PEMBELAJARAN
Sejalan dengan perkembangan penelitian yang terkait dengan pembelajar, maka
semakin jelas bahwa teori belajar harus berkembang semakin canggih, karena teori-teori
belajar bermanfaat sebagai pedoman bagi pengembangan model dan strategi
pembelajaran. Harus disadari pula bahwa meskipun guru sudah berusaha untuk
memfasilitasi pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsip teori belajar , situasi pembelajarn
yang efektif belum tentu dapat tercipta dengan baik. guru harus memperhatikan factor-
faktor yang dapat mempengaruhi pembelajaran yang dapat disebut dengan kondisi
pembelajaran. Kondisi pembelajaran dapat turut ditentukan oleh dua faktor yaitu, faktor
internal dan faktor external peserta didik. Faktor internal dapat berupa pola pikir dalam
menyelesaikan tugas-tugas dan kemampuan lain yang sudah dipelajari sebelumnya.
Kapasitas internal inilah yang berperan lebih banyak dalam mendukung pembelajaran
yang efektif.
Pembelajaran perlu memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai
kompetensi yang diharapakan. Pembelajaran potensi ini diarahkan untuk mendorong
pencapaian kompetensi dan terbentuknya perilaku khusus supaya setiap individu mampu
menjadi pebelajar sepanjang hayat dan menjadi warga masyarakat belajar (lerner
community). Dalam proses implementasi istilah pembelajaran tidak berarti bahwa guru
harus menghilangkan perannya sebagai pengajar, sebab secara konseptual istilah
mengajar itu juga bermakna membelajarkan peserta didik. Mengajar dan mengajar
adalah kata lain yang sering digunakan untuk kegiatan belajar dan pembelajaran.
Mengajar atau pembelajarn adalah suatu aktivitas yang dapat membuat peserta didik
belajar. Keterkaitan antara belajar dan mengajar diistilahkan oleh John Dewey sebagai “
Teaching is to learning as selling is to buying”. Artinya, seseorang tidak mungkin
menjual barangnya jika tidak ada orang yang membeli. Dalam hal pembelajaran, maka
pasti tidak akan ada proses pembelajaran atau kegiatan mengajar jika tidak ada peserta
didik yang belajar. Dengan demikian, maka dalam istilah mengajar juga terkandung
makna akan adanya proses belajar peserta didik.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 21


Dalam istilah pembelajaran, guru harus tetap berperan secara optimal demikian
juga halnya dengan peserta didik. Perbedaan dominansi dan aktivitas diatas, hanya
menunjukan adanya perbedaan tugas-tugas atau perlakuan guru dan peserta didik
terhadap materi dan proses pembelajaran. Sebagai contoh ketikan guru menentukan
proses belajar mengajar dengan menggunakan metode diskusi kelompok kecil yang lebih
menekankan kepada aktivitas peserta didik. Maka tidak berarti peran guru semakin kecil.
Guru tetap dituntut berperan secara optimal agar proses pembelajaran dengan kelompok
itu berlangsung dengan optimal. Demikian juga sebaliknya ketika guru menggunakan
pendekatan Ekspositori (contohnya dengan metode ceramah), tidak berarti peran peserta
didik menjadi semakin kecil. Mereka harus difasilitasi agar tetap berperan optimal dalam
rangka menguasai dan memahami materi pembelajaran yang sedang dipelajari. Mengacu
pada uraian tersebut, maka jelaslah bahwa istilah pembelajaran (learning) itu merujuk
pada usaha peserta didik dalam mempelajari bahan pelajaran sebagai dampak dari
perlakuan atau pengalaman belajar yang difasilitasi oleh guru. dalam hal ini maka
menjadi semakin jelas bahwa proses belajar peserta didik mungkin saja tidak akan dapat
terjadi tanpa adanya perlakuan yang direncanakan oleh guru.
Beberapa hasil penelitian yang menujukkan bahwa gaya bekajar seseorang
berkaitan dengan fungsi belahan otak kanan dan kiri. Kemampuan belajar verbal,
berpikir logis, dan proses belajar kognitif didominasi oleh fungsi belahan otak kiri,
sedangkan perkembangan sikap, intuisi, emosi dan elemen-elemen visual dikontrol oleh
otak sebelah kanan. Dalam kaitana dengan pembelajaran, maka dalam suatu kelas akan
ada peserta didik yang belajar lebih baik melalui pembelajaran verbal, sedangkan yang
lainnya akan lebih baik belajar melalui pembelajaran visual. Oleh karena itu, guru harus
berusaha menciptakan kondisi kelas yang dapat memfasilitasi keterlibatan afeksi dan
kognisi peserta didik sehingga memberikan tantangan bagi berkembangnya fungsi kedua
belah otak secara seimbang.
Gaya belajar adalah cara seseorang berkonsentrasi pada upaya menyerap dan
mempertahankan informasi atau keterampilan yang baru diketahui atau dikuasainya.
Gaya belajar terdiri atas kombinasi elemen-elemen lingkungan, emosional, sosiologi,
fisik dan fsikologis yang memungkinkan seseorang peserta didik untuk menerima,
menyimpan, dan menggunakan pengetahuan dan keterampilannya. Kombinasi elemen-
elemen tersebut pada tiap-tiap individu peserta didik sangat bervariasi. Beberapa beserta
didik mungkin akan lebih senang dalam kondisi kelas yang berpusat pada guru (teacher
entered) dengan pendekatan ekspositori, sebagian yang lain lebih cocok belajar dengan

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 22


bereksperimen, dan peserta didik lainnya dapat belajar lebih baik jika berada dalam
kelompok kecil yang aktif berdiskusi dan berdebat. Orlich, dkk (1998) mengelompokkan
peserta didik dalam empat tipe yaitu :
1. Pebelajar perihal pemikir (seeing-thinking) adalah pebelajar berpikir praktis, bekerja
berdasarkan fakta dan berorientasi pada kerja;
2. Pebelajar perihal perasa (seeing-feeling) yaitu pebelajar yag cenderung bersifat
simpatik dan bersahabat serta berusaha atau bekerja untuk keharmonisan kelompok;
3. Pebelajar intuitif pemikir (intuitive-thinking) yaitu orang yang berorientasi pada teori
dan pengetahuan intlektual; dan
4. Pebelajar intuitif-perasa (intuitive-feeling) yaitu peserta didik yang memiliki rasa
ingin tahu, imajinasi, dan kreativitas yang baik.
Masing-masing tipe peserta didik memerlukan pola pembelajaran tertentu yang
mendukung gaya pembelajarannya. Tiap-tiap gaya belajar lebih efektif dalam situasi
kelas tertentu. Jika guru dapat menyesuaikan moel pembelajaran dengan gaya belajar
peserta didik dan jika peserta didik belajar menyesuaikan gaya belajarnya dengan tugas-
tugas yang diberikan, maka sikap peserta didik terhadap tugas-tugas yang diberikan oleh
guru dan perolehannya dalam belajar akan dapat meningkat.

Soal
Bagaimanakah hakikat belajar yang sesungguhnya setelah anda mempelajari
uraian di atas ?
Jawaban
Belajar meliputi adanya perkembangan pengetahuan, keterampilan, sikap dan
perubahan tingkah laku yang terjadi pada seseorang sebagai dampak dari kegiatan belajar
seperti membaca, mendengar, meniru, dan berlatih. Belajar sering kali dialihkan sebagai
perolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan mutakhir tentang proses
belajar diperoleh dari kajian pengolahan informasi, neurofisiologi, neurofsikologi dan
sain kognitif. Gagne menyatakan bahwa pembelajaran adalah pengaturan pristiwa yang
ada yang ada di luar diri peserta didik dan dirancang serta dimanfaatkan untuk
memudahkan proses belajar. Makna pembelajaran yang mendidik dalam konteks proses
pendidikan di Indonesia ditunjukkan oleh beberapa prinsip yakni Pengembangan
kemampuan berpikir, pengembangan fungsi otak dan pembelajaran sepanjang hayat.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 23


Bab II
HAKIKAT SAINS
A. Hakikat SAINS ATAU IPA
1. Pengertian IPA
Dahulu, saat ini, dan saat yang akan datang IPA atau Ilmu Pengetahuan Alam
memegang peranan penting dan alam kehidupan manusia. Hal ini disebabkan
karena kehidupan kita sangat tergantung dari alam, zat terkandung di alam, dan
segala jenis gejala yang terjadi di alam.
IPA merupakan rumpn ilmu, memiliki karakteristik khusus yaitu mempelajari
fenomena alam yang faktual (factual), baik berupa kenyataan (reality) atau kejadian
(events) dan hubugan sebab-akibatnya. Cabang ilmu yang termasuk anggota
rumpun IPA saat ini antara lain Biologi, Fisika, IPA, Astronomi/Astrofisika, dan
Geologi.
IPA merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan
berdasarkan percobaan (induktif) namun pada perkembangan selanjutnya IPA juga
diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif). Ada dua hal berkaitan
yang tidak dapat terpisahkan dengan IPA, yaitu IPA sebagai produk, pengetahuan
IPA yang berupa pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif,
dan IPA sebagai proses, yaitu kerja ilmiah. Saat ini objek kajian IPA semakin luas,
melliputi konsep IPA, proses, nilai dan sikap ilmiah, aplikasi IPA dalam kehidupan
sehari-hari, dan kreativitas (Kemendiknaas, 2011). Belajar IPA berarti belajar
kelima objek atau bidang kajian tersebut.
Apakah yang dimaksud dengan IPA atau Ilmu Pengetahuan Alam? Ada tiga
istilah yang terlibat dalam hal ini, yaitu “ilmu”, “pengetahuan”, dan “alam”.
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia. Dalam hidupnya,
banyak sekali pengetahuan yang dimiliki manusia. Pengetahuan tentang agama,
pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, sosial, dan alam sekitar adalah contoh
pengetahuan yang dimiliki manusia. Pengetahuan alam berarti pengetahuan tentang
alam semesta beserta isinya.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 24


Ilmu adalah pengetahuan yang ilmiah, pengetahuan yang diperoleh secara
ilmiah, artinya diperoleh dengan metode ilmiah. Dua sifat utama ilmu adalah
rasional, artinya masuk akal, logis, atau dapat diterima akal sehat, dan objektif.
Artinya, sesuai dengan objeknya, sesuai dengan kenyataan, atau sesuai dengan
pengamatan. Dengan pengertian ini, IPA dapat diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang sebab dan akibat kejadian-kejadian yang ada di alam ini
(Sukarno, 1973).

Musik

Seni Sejarah

Pengetahuan

Literatur Filsafat

IPA

Gambar 1. IPA sebagai “Body of Knowledge”

Definisi diatas adalah salah satu definisi IPA dan bersifat sederhana. Dalam
hal ini yang dimaksud dengan IPA adalah body of knowledge (Gambar 3.1). berikut
beberapa definisi yanng senada (Subiyanti,1988).
a. Suatu cabang pengetahuan yang menyangkut fakta-fakta yang tersusun secara
sistematis dan menunjukan berlakunya hukum-hukum umum.
b. Pengetahuan yang didapatkan dengan jalan studi dan praktik.
c. Suatu cabang ilmu yang bersangkut-paut dengan obsevasi dan klasifikasi
fakta-fakta, terutama dengan disusunnya hukum umum dengan induksi dan
hipotesis.
Oleh karena itu, peserta didik dapat menemukan banyak definisi dari berbagai
sumber. Salah satu definisi yang lengkap diberikan oeh Gagne (2010), sciense
should be viewed as a way of thinking in the pursuit of understanding nature, as a
way of investigating claims about phenomena, and as a body of knowlwdge that has
resulted from inquiry. ( IPA harus dipandang sebagai cara berpikir dalam pencarian

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 25


tentang pengertian rahasia alam, sebagai cara penyelidikan terhadap gejala alam,
dan sebagai batang tubuh pengetahuan yang dihasilkan dari inkuiri).
Carin dan Sund (1993) mendefinisikan IPA sebagai “pengetahan yang
sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal), dan berupa
kumpulan data hasil observasi dan eksperimen”. Merujuk pada definisi Carin dan
Sund tersebut maka IPA memiliki empat unsur utama, yaitu.
a. Sikap: IPA memunculkan rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam,
makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat. Persoalan IPA dipecahkan
dengan menggunakan prosedur yang bersifat open ended.
b. Proses: proses pemecahan masalah pada IPA memungkinkan adanya prosedur
yang runtut dan sistematis melalui metode ilmiah. Metode ilmiah meliputi
penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi,
pengukuran, dan penarikan kesimpulan.
c. Produk: IPA menghasilkan produk berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum.
d. Aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-
hari.
Dalam proses pembelajaran IPA keempat unsur itu diharapkan dapat muncul
sehingga peserta didik dapat mengalami proses pembelajaran secara utuh dan
menggunakan rasa ingin tahunya memahami fenomena alam melalui kegiatan
pemecahan masalah yang menerapkan langkah-langkah metode ilmiah. Oleh karena
itu, IPA sering kali disamakan dengan the way of thinking.

2. Cara Berpikir IPA


Cara berpikir IPA meliputi:
a. Percaya (believe)
Kecendrungan para ilmuan melakukan penelitian terhadap masalah gejala
alam dimotivasi oleh kepercayaan bahwa hukum alam dapat dikonstruksi dari
observasi dan diterangkan dengan pemikiran dan penalaran.
b. Rasa ingin tahu (curiosity)
Kepercayaan bahwa alam dapat dimengerti didorong oleh rasa ingin tahu
untuk menemukannya.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 26


c. Imajinasi (Imagination)
Para ilmuan sangat mengandalkan pada kemampuan imajinasinya daalam
memecahkan masalah gejala alam.
d. Penalaran (Reasoning)
Penalaran setingkat dengan imajinasi. Para ilmuan juga mengandalkan
penalaran dalam memecahkan masalah gejala alam.
e. Koreksi diri (Self examination)
Pemikiran ilmiah adalah sesuatu yang lebih tinggi daripada sekedar suatu
usaha untuk mengerti tentang alam. Pemikiran ilmiah juga merupakan sarana
untuk memahami dirinya, untuk melihat seberapa jauh para ahli sampai pada
kesimpulan tentang alam.

3. Cara Penyelidikan IPA


Cara penyelidikan IPA meliputi:
a. Observasi (Observation)
Para ahli yang ingin mengerti alam dan menemukan hukum alam harus
mempelajari objek-objek dan kejadian-kejadian melalui observasi. Dari
observasi diperoleh fakta dan rekaman fakta merupakan data, yang selanjutnya
diolah menjadi hasil observasi.
b. Eksperimen (Eksperimentation)
Eksperimen merupakan hal sangat penting dalam metode ilmiah untuk
menguak rahasia gejala alam. Eksperimen harus diikuti observasi yang teliti dan
cermat agar diperoleh data yang akurat.
c. Matematika (Mathematic)
Matematika sangat diperlukan untuk menyatakan hubungan antar
variabel dalam hukum dan teori. Matematika juga penting membanggun suatu
model.
4. Objek atau Bidang Kajian IPA,
Batang tubuh IPA (science body of knowledge) yang dihassilkan dari disiplin
keilmuan mennunjukan hasil-hasil kreatif penemuan umat manusia selama berabad-
abad. Batang tubuh IPA berisi tiga dimensi pengetahuan, yaitu pengetahuan faktual
(fakta), pengetahuan kenseptual (konsep), pengetahuan prosedural (prinsip, hukum,
hipotesis, teori, dan model). Saat ini, ada dimensi pengetahuan IPA keempat, yaitu
pengetahuan metakognitif.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 27


Soal
Apakah yang dimaksud dengan IPA atau Ilmu Pengetahuan Alam?
Jawaban
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia, Ilmu adalah
pengetahuan yang ilmiah, pengetahuan yang diperoleh secara ilmiah, artinya
diperoleh dengan metode ilmiah. Maka ilmu pengetahuan Alam adalah ilmu
yang mempelajari tentang sebab dan akibat kejadian-kejadian yang ada di
alam ini.

B. HAKIKAT PEMBELAJARAN IPA


Pembelajaran IPA dapat digambarkan sebagai suatu sistem, yaitu sistem
pembelajaran IPA. Sistem pembelajaran IPA, sebagimana sistem-sistem lainnya terdiri
atas komponen masukan pembelajaran, proses pembelajaran, dan keluaran
pembelajaran.
Pembelajaran IPA adalah interaksi antara komponen-komponen pembelajaran
dalam bentuk proses pembelajaraan untuk mencapai tujuan yang berbentuk kompetensi
yang telah ditetapkan. Tugas utama Guru IPA adalah melaksanakan proses
pembelajaran IPA. Proses pembelajaran IPA terdiri atas tiga tahap, yaitu perencanaan
proses pembelajaran, pelaksanaaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil
pembelajaran. Proses pembelajaran dapat digambarkan sebagaimana Gambar 3.3.
Proses pembelajaran IPA harus memperhatikan karakteristik IPA sebagai proses
dan IPA sebagai produk. IPA sebagi integrative science atau IPA terpadu telah
diberikan di SD/MI dan SMP/MTS sebagai mata pembelajaran IPA Terpadu dan secara
terpisah di SMA/MA sebagai mata pembelajaran ilmu Biologi, Fisika, IPA, serta Bumi
dan Antariksa.
Seorang guru dan/atau dosen IPA wajib memiliki empat kompetensi sebagaimana
telah ditetapkan dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UU No. 14 Tahun 2005) dan
Standar Nasional Pendidikan (PP No. 19 Tahun 2005). Kompetensi tersebut adalah:
1. Kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan melaksanakan proses pembelajaran IPA.
2. Kompetensi profesional, yaitu kemampuan menguasai materi IPA.
3. Kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan menjadi teladan bagi peserta didik dan
sejawat, atasan, dan bawahan.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 28


4. Kompetensi sosial, yaitu kemampuan hidup bermasyarakat di sekolah maupun di
luar sekolah.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 29


Masukan Instrumental:
Kurikulum, Guru, Metode, Media,
Sarana/Prasarana

Keluaran Peserta
Masukan Proses
Didik yang
Peserta Didik Pembelajaran IPA
Berhasil

Masukan Lingkungan Lulusan yang


(sosial dan Alamiah) Berhasil

Gambar. 2 Model Sistem Pembelajaran IPA

Pendidikan IPA berhubungan dengan kompetensi pedagogik seorang guru IPA.


Pendidikan IPA mempunyai arti yang lebih luas daripada pembelajaran IPA, karena
pendidikan IPA terdiri atas komponen pembelajaran IPA, pembimbingan IPA, dan
pelatihan IPA. Di samping itu, pendidikan IPA memiliki cakupan aspek yang lebih luas
karena meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor, sementara pembelajaran IPA
lebih menekankan pada aspek kognitif.
Guru dan/atau dosen IPA adalah seorang yang profesional. Profesional dalam
bidang IPA, artinya ahli dan terampil dalam menyampaikan IPA kepada peserta
didiknya. IPA sebagai suatu bidang ilmu, seperti ilmu-ilmu yang lain, memiliki objek
atau bahan kajian (aspek ontologi), memiliki cara memproleh (aspek epistemologi), dan
kegunaan (aspek aksiologi).
Objek IPA adalah proses IPA dan produk IPA. Atas dasar hal ini, pembelajaran
IPA meliputi pula pembelajaran proses dan produk IPA. Objek proses belajar IPA
adalah kerja ilmiah (prosedur), sedangkan objek produk IPA adalah pengetahuan
faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan
metakognitif IPA.
Kurikulum terdiri atas kurikulum tingkat nasional, tingkat lembaga, dan tingkat
mata kuliah/mata pembelajaran. Kurikulum tingkat nasional yang disusun
Kemendikbud terdiri atas:

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 30


1. Kerangka dasar dan sruktur kurikulum.
2. Beban belajar bagi peserta didik.
3. Kurikulum tingkat satuan pendidikan.
4. Kalender pendidikan.

C. Konsep Belajar IPA


Proses belajar IPA ditandai dengan adanya perubahan pada individu yang belajar,
baik berupa sikap dan perilaku, pengetahuan, pola pikir, dan konsep nilai yang dianut.
Konsep belajar banyak dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan dan psikologi,
berikut ini dikemukakan secara ringkas tentang konsep belajar yang berhubungan
dengan IPA menurut beberapa para ahli pendidikan dan psikologi.
1. Belajar menurut pandangan Skinner
Belajar menurut pandangan B.F Skinner (1958) aadalah suatu proses adaptasi
atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Belajar
dipahami sebagai suatu prilaku, pada saat orang belajar maka responnya baik dan
sebaliknya. Jadi belajar merupakan perubahan dalam peluang terjadinya respons.
Seorang peserta didik akan belajar sungguh-sungguh untuk mendapatkan nilai
yang baik. nilai yang baik ini menurut akinner merupakan “operant
conditioning”.
2. Belajar Menurut pandangan Robert M. Gagne
Belajar merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan. Proses belajar dapat terjadi secara sengaja maupun tidak
sengaja, yang kesemuanya itu mempunyai keuntungan danmudah diamati (Gagne
et al., 1992). Belajar merupakan kegiatan yang kompleks yang menghasilkan
kapabilitas. Timbulnya kapabilitas disebabkan stimulasi yang berasal dari
lingkungan, dan proses kognitif yang dilakukan oleh peserta didik (Gagne et al.,
1992).
3. Belajar menurut pandangan Carl R. Rogers
Carl R. Rogers merupakan seorang ahli psikoterapi yang menganut asas
kebebasan dan kemerdekaan dalam belajar. Seorang peserta didik berhak
menentukan apa yang ingi dipelajari. Peran guru menurut Carl R. Rogers adalah :
a. Memberikan kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih beljar secara
terstruktur.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 31


b. Membuat kontrak belajar dengan peserta didik.
c. Menggunakan metode inkuiri atau belajar menemukan (discovery learning).
d. Menggunakan metode stimulasi.
e. Mengadakan latihan kepekaan agar peserta didik mampu menghayati dan
berpartisipasi dengan kelompok lain.
f. Bertindak sebagai fasilitator belajar.
g. Melaksanakan kegiatan pembelajaran berprogram untuk dapat meningkatkan
kreativitas peserta didik.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 32


Bab III
PEMBELAJARAN SAINS
A. HAKIKAT PEMBELAJARAN SAINS
Chiappeta dalam Prasetyo (2013) mengutarakan bahwa hakikat sains adalah
sebagai a way of thinking (cara berpikir), a way of investigating (cara penyelidikan) dan
a body of knowledge (sekumpulan pengetahuan). Sebagai cara berpikir, sains
merupakan aktivitas mental (berpikir) orang-orang yang bergelut dalam bidang yang
dikaji. Para ilmuan berusaha mengungkap, menjelaskan serta menggambarkan
fenomena alam. Ide-ide dan penjelasan suatu gejala alam tersebut disusun di dalam
pikiran. Kegiatan mental tersebut didorong oleh rasa ingin tahu (coriousity) untuk
memahami fenomena alam. Sebagai cara penyelidikan, sains memberikan gambaran
tentang pendekatan-pendekatan dalam menyusun pengetahuan. Observasi dan prediksi
merupakan dasar sejumlah metode dalam menyelesaikan masalah pengetahuan. Sebagai
sekumpulan pengetahuan, sains merupakan susunan sistematis hasil temuan yang
dilakukan para ilmuan. Hasil temuan tersebut berupa fakta, konsep, prinsip, hukum,
teori maupun model ke dalam kumpulan pengetahuan sesuai dengan bidang kajiannya,
misalnya, biologi kimia, fisika dan sebagainya.
Menurut Hungerford, Volk & Ramsey (1990:13-14) sains adalah (1) proses
memperoleh informasi melalui metode empiris (empirical method); (2) informasi yang
diperoleh melalui penyelidikan yang telah ditata secara logis dan sistematis; dan (3)
suatu kombinasi proses berpikir kritis yang menghasilkan informasi yang dapat
dipercaya dan valid. Berdasarkan tiga definisi tersebut, Hungerford, Volk & Ramsey
(1990) menyatakan bahwa sains mengandung dua elemen utama, yaitu: proses dan
produk yang saling mengisi dalam derap kemjuan dan perkembengan sains. Sains
sebagai suatu proses merupakan rangkaian kegiatan ilmiah atau hasil-hasil observasi
terhadap fenomena alam untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge) yang lazim di sebut produk sains. Produk-produk sains meliputi fakta,
konsep, prinsip, generalisasi, teori dan hukum-hukum, serta model yang dapat
dinyatakan dalam beberapa cara.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 33


Sementara itu, menurut Trowbridge & Bybee (1990:48) sains merupakan
representasi dari suatu hubungan dinamis yang mencakup tiga faktor utama, yaitu: “the
extant body of scientific knowledge, the values of science, and the method and
processes of science”. Pandangan ini lebih luas daripada pengertian sains yang
dikemukakan Hungerford, Volk & Ramsey (1990) karena Trowbridge & Bybee (1990)
selain memandang sains sebagai suatu proses dan metode (method and processes) serta
produk-produk (body of scientific knowledge), juga melihat bahwa sains mengandung
nilai-nilai (values).
Sebagai body of scientific knowledge, sains adalah hasil interpretasi/deskripsi
tentang dunia kealaman (natural world). Hal ini sesungguhnya sama dengan elemen
produk padda definisisains yang dikemukakan oleh Hungerfourd, Volk & Ramsey
(1990). Tujuan pokok sains adalah pengembangan body of scientific knowledge
(Hyllegard, mood & morrow, 1996:13).
Sains sebagai proses atau metode penyelidikan (inquiry method) meliputi cara
berpikir, sikap, dan langkah-langkah kegiatan saintis untuk memperoleh produk-produk
sains atau ilmu pengetahuan ilmiah, misalnya observasi, pengukuran, merumuskan dan
menguji hipotesis, mengumpulkan data, bereksperimen, dan prediksi. Dalam konteks
itu sains bukan sekadar cara bekerja, melihat, dan cara berpikir, melainkan ‘sciense a
way of knowing’. Artinya, sains sebagai proses juga dapat meliputi kecendrungan
sikap/tindakan, keingintahuan, kebiasaan berpikir, dan seperangkat prosedur.
Sementara nilai-nilai sains berhubungan dengan tanggung jawab moral, nilai-nilai
sosial, manfaat sains untuk sains dan kehidupan manusia, serta sikap dan tindakan
(misalnya, keingintahuan, kejujuran, ketelitian, ketekunan, hati-hati, toleran, hemat, dan
pengambilan keputusan).
Menurut Bambang Sumintono (2010:67) terdapat tiga fokus utama pembelajaran
sains di sekolah, yaitu dapat berbentuk (1) produk dari sains, yaitu pemberian berbagai
pengetahuan ilmiah yang dianggap penting untuk diketahui siswa (hard skills); (2) sains
sebagai proses, yang berkonsentrasi pada sains sebagai metode pemecahan masalah
untuk mengembangkan keahlian siswa dalam memecahkan masalah (hard skills dan
soft skills); (3) pendekatan sikap dan nilai ilmiah serta kemahiran insaniah (soft skills).
Menurut Bambang Sumintono (2010:64) pada dasarnya, pembelajaran sains
sebagai mata pelajaran di sekolah akan mempunyai dampak yang penting, karena hal
ini berhubungan erat dengan (1) keberlangsungan umat manusia di dunia ini, khususnya
yang berhubungan dengan pilihan tindakan yang bijak terhadap isu-isu global

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 34


(pemanasan global, rekayasa genetik dll.); tuntutan angkatan kerja dalam lingkungan
ekomomi yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (knoledge based economy).
Kenyataan ini jelas menunjukan adanya suatu kebutuhan supaya pendidikan sains di
sekolah haruslah efektif dan relevan bagi sebagian besar populasi serta juga untuk
berbagai kelompok yang berbeda-beda (gender, latar belakang ekonomi dan sosial,
suku bangsa, lokasi dll). Atau dengan kata lain ‘science for all’ bukanlah berarti ‘one-
size-firs-all’.

Soal
Sebutkan tiga focus utama pembelajaran Sains !
Jawaban
tiga fokus utama pembelajaran sains di sekolah, yaitu dapat berbentuk (1) produk
dari sains, yaitu pemberian berbagai pengetahuan ilmiah yang dianggap penting
untuk diketahui siswa (hard skills); (2) sains sebagai proses, yang berkonsentrasi
pada sains sebagai metode pemecahan masalah untuk mengembangkan keahlian
siswa dalam memecahkan masalah (hard skills dan soft skills); (3) pendekatan
sikap dan nilai ilmiah serta kemahiran insaniah (soft skills).

B. PEMBELAJARAN SAINS
Berdasarkan pengertian sains dan bagaimana anak membangun pengetahuannya
maka aktivitas belajar sains di sekolah perlu memperhatikan pembentukan pengetahuan
dalam benak siswa. Perlu diingat bahwa pengetahuan tidak dapat dipinddahkan begitu
saja dari pikiran seseorang, (guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswa sendirilah yang
harus mengartikan apa yang telah diajarkan oleh guru menyesuaikan terhadap
pengalaman-pengalaman mereka (Suparno 1997:19). Pada kondisi ini guru berperan
sebagai mediator dan fasilitator yang membantu proses belajar murid berjalan dengan
baik.
Menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006, kompetensi dalam pembelajaran
sains SD/MI, dapat dipilahkan menjadi 5, yaitu (1) menguasai pengetahuan tentang
berbagai jenis dan perangai lingkungan alam dan lingkungan buatan dalam kaitan
dengan pemanfaatanya bagi kehidupan sehari-hari; (2) mengembangkan proses
keterampilan sains; (3) mengembangkan wawasan, sikap dan nilai-nilai yang berguna
bagi siswa untuk meningkatkan kualitas kehidupan sehari-hari; (4) mengembangkan

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 35


kesadaran tentang keterkaitan yang saling mempengaruhi antara kemampuan sains dan
teknologi dengan keadaan lingkungan serta pemanfaatannya bagi kehidupan nyata
sehari-hari; dan (5) mengembangkan kemampuan siswa untuk menerapkan iptek serta
keterampilan yang berguna dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk melanjutkan
pendidikannya ke tinggat yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan ungkapan Yager
(1996), yang mengemukakan ada lima domain utama dalam pembelajaran sains, yaitu
domain konsep, proses, kreativitas, sikap dan aplikasi.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam pembelajaran sains adlah upaya agar
semua domain yang ada dalam pembelajaran sains yang terdiri terdiri atas kognisi,
keterampilan proses sains, aplikasi sains, sikap sains dan pengembangan kreativitas
sains dikembangkan bersama-sama. Pembelajaran sains harus mengupayakan agar
siswa memahami konsep melalui pengalaman langsung, menggali informasi,
mengorganisasikan informasi dan penguji pendapat. Roger Osborne dalam Harlen
(1988:86) menyarankan beberapa hal yang berkaitan dengan upaya mengubah gagasan
awal siswa yaitu:
a. Temukan atau identifikasi gagsan awal yang dimiliki oleh siswa tentang suatu
fenomena taut suatu situasi, apa yang mereka pikirkan, apa alasannya, bagaimana
cara menjelaskannya;
b. Tangani gagasan awal siswa dengan serius, beri mereka kesempatan mereka untuk
menguji gagasan melalui penyelidikan atau pengamatan objek atau situasi tertentu;
c. Ajak siswa berdiskusi tentang temuan yang mereka peroleh;
d. Lakukan diskusi kelas untuk memperoleh pendapat yang berbeda tentang hal yang
sama;
e. Beri kesempatan siswa untuk memperhatikan pendapat yang berbeda dengan
pendapatnya sendiri;
f. Tawarkan kepada siswa suatu pandangan ilmiah untuk mengupayakan agar siswa
dapat menggali sendiri nilai yang terkandung dalam suatu hal;
g. Berikan tantangan kepada siswa agar merka menggunakan gagsannya untuk
memecahkan maslah baru atau memperoleh pengalaman baru.
Hal ini tidak hanya memberikan kontribusi meningkatkan kepekaan siswa
tehadap lingkungan tetapi juga berlatih memecahkan masalah hidup dalam
kehidupannya kelak. Sains sama pentingnya dengan kemampuan membaca dan
berhitung, yang semakin hari semakin penting sejalan dengan perkembangan teknologi
yang menyentuh semua aspek kehidupan.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 36


Menurut Bambang Sumintono (2010:64) pada dasarnya, pembelajaran sains
sebagai mata pelajaran di sekolah akan mempunyai dampak yang penting, karena hal
ini berhubungan erat dengan (1) keberlangsungan umat manusia di dunia ini, khususnya
yang berhubungan dengan pilihan tindakan yang bijak terhadap isu-isu global
(pemanasan global, rekayasa genetik dll.); tuntutan angkatan kerja dalam lingkungan
ekomomi yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (knoledge based economy).
Kenyataan ini jelas menunjukan adanya suatu kebutuhan supaya pendidikan sains di
sekolah haruslah efektif dan relevan bagi sebagian besar populasi serta juga untuk
berbagai kelompok yang berbeda-beda (gender, latar belakang ekonomi dan sosial,
suku bangsa, lokasi dll). Atau dengan kata lain ‘science for all’ bukanlah berarti ‘one-
size-firs-all’, yakni penggunaan satu asesmen tidaklah cukup. Perlu berbagai teknik
asesmen otentik dalam proses asesmennya.
Seorang guru sains atau perancang kurikulum akan berpandangan bahwa kelima
dimensi sains dalam pengajaran sains sangat penting untuk mengembangangkan
kemampuan siswa tentang sains. Walaupun begitu pandangan berapa porsi yang tepat
dari masing-masing pendekatan akan merupakan suatu yang dapat diperdebatkan.
Kebanyakan teori belajar tidak spesifik membahas cara belajar sains (Berg,
1991:17). Akan tetapi, menurut Berg kemudian, sejak hampir 35 tahun lalu melalui
salah satu mazhab psikologi kognitif, yaitu constructivism, para ahli pendidikan mulai
memanfaatkannya secara spesifik dalam proses belajar mengajar sains, misalnya Susan
Loucks-Horsley dan kawan-kawan (1990). Horsley dan kawan-kawan infused
(menginternalisasikan) kelima domain taksonomi pendidikan sains itu paada suatu
model pembelajaran. Model pembelajaran mereka dipandang sebagai salah satu model
pembelajaran berorientasi konstruktivistik yang bagus. Penerapannya di sekolah dapat
meningkatkan baik kemampuan pengajaran ‘konstrutivistik’ maupun lima ranah dalam
taksonomi pendidikan sains. Model ini merefleksikan keunikan kualitas sains dan
teknologi secara bersamaan melalui enpat tahap pembelajaran yaitu sebagai berikut:
1. Peserta didik invited untuk belajar.
2. Kesempatan peserta didik menjawab pertanyaan mereka sendiri melalui observasi
pengukuran atau eksperimen.
3. Peserta didik menyiapakan pejelasan dan penyelesaian, serta melaksanakan apa
yang mereka pelajari.
4. Memberi kesempatan peserta didik mencari kegunaan temuan mereka, dan
menerpakan dari apa yang tetlah mereka pelajari.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 37


Ketika ilmu pengetahuan ilmiah terus berkembang maju yang berisi berbagai
penjelasan dan paparan berbagai pernyataan yang telah divalidasi oleh para ilmuan,
ternyata hanya sebagian kecil saja dari hal tersebut yang dapat diajarkan di sekolah.
Hasil dari seleksi inipun cendrung merupakan berbagai penyederhanaan dari pandangan
ilmuan dalam ussaha untuk menjadikan sains lebih mudah di pahami oleh siswa sekola.
Hasil seleksi ini kemudian muncul diantaranya dalm bentuk dokumen kurikulum
pengajaran sains sekolah serta silabusnya, buku teks, lembar kerja siswa, maupun
prosedur percobaan laboratorium.
Materi pelajaran sains yang diberikan di sekolah oleh perancang kurikulum sains
biasanya dikenalkan relatif secara berurutan dan berlanjut sebagai persiapan untuk
pelajaran di tingkat selanjutnya. Tujuan dari pengajaran sains sebagai produk ini adalah
untuk mengembangkan pemahaman konseptual siswa terhadap sains. Isi pelajaran
meliputi berbagai fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum alam, model-
model dan teori-teori yang membentuk pengetahuan formal ilmu pengetahuan. Di
samping itu juga terdapat berbagai latihan pemecahan masalah baik secara tertulis
maupun percobaan laboratorium yang umumnya mempunyai jawaban tinggi.
Sebenarnya tidak semua masalah sains mempunyai jawaban tunggal, tetapi bisa
menuntuk kemampuan divergen.
Bell (1993:45) mendifinisikan berpikir divergen sebagai kemampuan untuk
mengkonstruksi atau menghasilkan berbagai respons yang mungkin, ide-ide, opsi-opsi
atau alternatif-alternatif untuk suatu permasalahan atau tantangan. Berpikir divergen
paling tidak menekankan (a) adannya proses interpretasi dan evaluasi terhadap berbagai
ide-ide; (b) proses motivasi untuk memikirkan berbagai kemungkinan ide yang masuk
akal; dan (c) pencairan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang tak biasanya (non
rutin) dalan mengkonstruksi ide-ide unik. Devinisi divergen thinking menurut Bell ini
nampaknya lebih relevan dengan tema pengembangan kemampuan berpikir divergen
dan kritis dalam konteks pembelajaran sains juga.
Hubungan sesungguhnya dari materi pelajaran sains di sekolah dengan sains yang
absah pada saat ini tidaklah selalu sama. Hal ini dikarenakan usia siswa dan latar
belakang pengetahuan yang terbatas, sehingga kebanyakan isi buku teks merupakan
versi singkat dari pengetahuan sains yang valid di waktu tertentu atau sangat sedikit
dari materi sains yang diajarkan di sekolah merupakan versi yang masih berlaku di
antara ilmuan saat ini.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 38


Sains sebagai proses mempunyai pendekatan berbeda dengan sains sebagai
produk (Yager, 1991). Fokus utamanya adalah dalam hal upaya sains untuk melakukan
pemecahan masalah yang tertentu. Secara umum, hal ini berarti para siswa didorong
untuk menggunakan keterampilan yang dimiliki seperti halnya keterampilan dan
keahlian para ilmuan dalam memecahkan masalah ilmiah. Berbagai keahlian dan
keterampilan ini sangat bernilai bagi siswa baik untuk memahami pelajaran sains
maupun di luar konteks pelajaran.
Pengajaran sains sebagai proses menuntut perubahan metode mengajar dari pola
pengajaran sains sebagai produk. Pengajaran sains buku teks biasanya menggunakan
proses pengajaran dalam urutan yang terstruktur secara baik dimana pengetahuan yang
direncanakan bisa dipahami dengan baik oleh siswa, namun pengajaran sains sebagai
proses menerapkan pola pengajaran guru yang tidak terstruktur. Hal ini tidaklah berarti
akan lebih mudah, malahan akan lebih sulit dan membutuhkan keahlian dan
keterampilan mengorganisasi yang baik dari seorang guru sains. Para siswa diharapkan
akan terlibat secara individu atau dalam kelompok kecil untuk melakukan rencana
mereka sendiri. Pengaturan ada pada siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator.
Pengajaran pola ini akan terasa mengancam kewibawaan guru. Maksudnya,
ketika seorang guru mengajar dengan pola buku teks, dia menentukan tujuan
pembelajaran dan dapat mengetahui secara pasti materi pelajaran yang akan diberikan.
Namun, siswa yang diajarkan dengan metode sains sebagai proses yang melakukan
penelitian dan berhadapan dengan masalah nyata akan memunculkan pertanyaan yang
tiddadk akan secara mudah dijawab, dan bisa jadi malah tidak ada jawaban yang dapat
diketahui secara pasti.
Pendekatan kecakapan individu dan sosial adalah mengembangkan potensi siswa
yang juga penting. Sains bukanlah berada dalam sutu posisi yang unik yang
memberikan sumbangan terhadap perkembangan kecakapan ini, namun banyak pihak
berpendapat bahwa semua guru harus mengembangkan kemampuan individu siswa
seperti ketekunan, maupun kecakapan sosial seperti kerja sama. Jika sebagai guru
mempercayainya, maka hal tersebut akan terlihat dari perencanaan pengajaran sains dan
metode mengajar yang dipraktikan (Suparno, 1997:45).
Pemikiran sains penting untuk diketahui karena pengetahuan ini akan
memberikan pengertian yang lebih mendalam tentang kemajuan sains dewasa ini.
Mungkin kejadian-kejadian tertentu di zaman mereka itu tidak mempunyai arti penting
dipandang dari segi mereka sendiri, tetapi dari sudut historis merupakan sebagian dari

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 39


kejadian-kejadian yang spektakuler yang telah merekan capai. Dengan demikian kita
mendapat kesadaran yang lebih baik atas kebenaran pengetahuan manusia tentang sains
modern sebagai perkembangan dari sains secara keseluruhan. Perkembangan dan
pertumbuhan pemikiran manusia dalam filsafat dan sains juga perlu dipelajari (Palmer,
2003:123) sebagai contoh pemecahan atom yang merupakan kebanggaan dan
merupakan ciri sebagai pengetahuan modern, adalah pemikiran yang bersumberkan
hipotesis atom Demokritus yang telah diketahui sejak zaman purbakala. Dalam
perkembangan ilmu pengetahuan penting sekali diketahui klasifikasi ilmu pengetahuan
atas bermacam-macam ilmu seperti fisika, kimia, biologi dan lain-lain.
Sepanjang perjalanan sejarah, manusia telah mengembangkan hubungan antara
dunia fisik, biologi, psikologi dan sosial serta memvalidasinya. Ide-ide tersebut telah
memungkinkan terbentuknya generasi yang berhasil memperoleh pemahaman yang
komprehensif tentang manusia dan lingkungannya. Cara-cara yang digunakan untuk
mengembangkan ide-ide tersebut adalah cara khusus seperti, meneliti, berpikir,
melakukan eksperimen, dan membuat validasi. Cara-cara ini menggambarkan suatu
aspek fundamental dari hakikat sains dan merefleksikan bagaimana sains cendrung
berbeda dari jenis pengetahuan lainnya.
Robert E. Yager (1996: 9) mengemukakan tentang ruang lingkup hasil belajr
sains yang terdiri atas lima domain yang terdiri dari kognitif, keterampilan proses,
kreativitas, sikap ilmiah dan aplikasi. Lima domain sains tersebut dipandang
merupakan perluasan, pengembangan dan pendalaman tiga ranah Bloom, yang mampu
meningkatkan aktivitas pembelajran sains di kelas dan mengembangkan sikap positif
terhadap mata pelajaran itu (Loucks-Horsley, dkk. 1990). Melaluli mata pelajaran sains
berbasis lima ranah pendidikan sains peserta didik diharapkan tidak saja dapat
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga berkembang sikap positif
terhadap sains itu sendiri maupun dengan lingkungannya, serta menerapkan dan
menghubungkannya dalam kehidupan sehari-hari secara lebih aktif.
Zuh dan K. Prasetyo (2008) memaparkan lima ranah untuk pendidikan sains yang
terdiri dari (1) Domain I- knowledge domain; (2) Domain II- process of science
domain; (3) Domain III- creativity domain;(4) Domain IV-attitudinal domain; dan (5)
Domain V-application and connection domain.
Pertama, knowing and understanding (knowledge domain). Termasuk: fakta,
konsep, hukum (prinsip-prinsip), beberapa hipotesis dan teori yang digunakan para
saintis, dan masalah-masalah sains dan sosial. Hubungan antara kontruktivisme dan

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 40


pembelajaran yang menyangkut proses mental diungkapkan oleh Anderson dan
Krathwoohl (2001: 38) bahwa kontruktivisme menekankan pada apa yang diketahui
siswa (knowledge) dan bagaimana mereka berpikir (cognitive process) tentang apa yang
mereka ketahui sebagai usaha aktif mereka dalam belajar bermakna (meaningful
learning). Siswa secara aktif mengupayakan pemrosesan kognitifnya, seperti
memperhatikan informasi relevan yang diperoleh, mengorganisasikan informasi dan
mengintegrasikan informasi tersebut dengan pengetahuan yang telah dimiliki
(Anderson & Krathwoohl, 2001:65).
Beberapa kategori proses kognitif merupakan aspek kemampuan siswa yang bisa
dirumuskan dalam tujuan pembelajaran (objectivies). Kategori proses tersebut meliputi
remember, understand, apply, analyze, dan create. Masing-masing kategori tersebut
terdiri dari beberapa proses kognitif yang lebih spesifik dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 2. Dimensi Proses Kognitif


(Anderson & Krathwoohi, 1997; 67)
CATEGORIES &
ALTERNATIVE
COGNITIVE DEFINITIONS AND EXAMPLES
NAMES
PROCESSES
1. REMEMBER- retrieve relevant knowledge from long term memory
1.1 RECOGNIZING Identifiying Locating knowledge in long term memory that
is consistent with presented maerial (e.g.
recognize the date of important events in U.S.
history).
1.2 RECALLING Retrieving Retrieving relevant knowledge from long term
memory (e.g. recall the dates of important event
in U.S. history).
2. UNDERSTAND- construct meaning from instructional messages, including oral,
written and graphic communication
2.1 INTERPRETING Clarifying, Changing from one form of representation (e.g.
paraphrasing, paraphrase important speeches and document).
representing,
translating
2.2 EXEMPLIFYING Illustrating, Finding a specific example or illustration of a
instantiating concept or principle (e.g. give examples of
various artistic pointing styles).
2.3 CLASSIFYING Categorizing, Determining that something belongs to a
subsuming category (e.g. classify observed or described
cases of mental disorders)
2.4 SUMMARIZING Abstracting, Abstracting a general theme or major point(s)
generalizing (e.g. write a short summary of the event for
trayed on videotopes).
2.5 INFERRING Concluding, Drawing a logical conclusion from presented

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 41


extrapolating, information (e.g. in learning a foreign
interpolating, language, infer grammatical principles from
predicting examples).
2.6 COMPARING Contrasting, Detecting correspondences between to ideas,
mapping, objects and the like (e.g. compare historical
matching event to contemporary situations).
2.7 EXPLAINING Constructing, Constructing a cause and- effect model of a
models system (e.g. explain the causes of important 18th
century event in france)
3. APPLY-Carry out or use a procedure in a given situation
3.1 EXECUTING Carrying out Applying a procedure to a familiar task (e.g.
divide one whole number by another whole
number, both with multiple digits).
3.2 IMPLEMENTING Using Applying a procedure to an unfamiliar task
(e.g. Use Newton’s Second low in situations in
which it is appropriate).
4. ANALYZE – Break material into its constituans parts and determine how the parts
relate to one another and to an overall
4.1 DIFFERENTIATG Discrininating, Distinguishing relevant from irrelevant parts or
distinguishing, important parts of presented material (e.g.
focusing, distinguish between relevant in a mathematical
selecting word problem).
4.2 ORGANIZING Finding Determining how elements fit or function within
coherence, a structure (e.g. ttructure evidence in a
integrating, historical description into evidence for and
outlining, against a particular historical explanation).
parsing,
structuring.
4.3 ATTRIBUTING Deconstructing Determine a point of view, bias, values, or
intent underlying presented material (e.g.
determine the paint of view of the author 0f a
essay in terms of the or her political
perspective).
5. EVALUATE- Make judgments based on criteria and standards
5.1 CHECKING Coordinating, Detecting inconsistencies or folacies within a
detecting, process or produst, determining whether a
monitoring, process or product has internal consistency,
testing detecting the effectiveness of a procedure us it
is being implemented (e.g. determine if a
scientist’s conclusions follow from observed
data).
5.2 CRITIQUING Judging Detecting inconsistencies between a product
and external criteria, determining whether a
product has external consistency, detecting the
appropriateness of a procedure for a given
problem (e.g. judge which of two methods is the
best way to solve a given problem).
6. Create- put elements together to form a coherent or functionsl whole; reorganize
element into a new pattern or structure

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 42


6.1 GENERATING Hypothesizing Coming up with alternative hypotheses based
on criteria (e.g. generate hypotheses to account
for an abserved phenomenon)
6.2 PLANNING Designing Devising a procedure for accomplishing some
task (e.g. plan a research paper an a given
histirical topic)
6.3 PRODUCING Constructing Inventing a product (e.g. build habitats for a
specific purporse)

Kedua, exploring and discovering (process of science domain), yakni


penggunaan beberapa keterampilan proses sains untuk belajar bagaimana para saintis
berpikir dan bekerja (Eugene & Thomas, 2010) keterampilan proses dikembangkan
untuk siswa SD/MI pada pelajaran sais terdiri dari delapan asspek yaitu:
a. Keterampilan mengamati
Keterampilan mengamati merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki
oleh setiap orang dalam melakukan penyelidikan ilmiah. Proses mengamati dapat
dilakukan dengan menggunakan indra kita, tetapi tidak cukup kemungkinan
pengamatan dilakukan dengan menggunakan alat-alat, misalnya thermometer,
dynamometer, mikroskop.
b. Mengukur
Mengukur adalah kegiatan membandingkan seuatu dengan besarnya yang
sudah diketahui, atau mengkuantifikasikan sesuatu keterampilan mengukur sangat
berkaitan dengan keterampilan mengamati.
c. Menafsirkan
Menafsirkan berarti menjelaskan pengertian sesuatu baik berupa benda,
peristiwa atau hasil pengamatan yang dilakukan pengamatan yang berulang
terhadap beberapa objek dan peristiwa dengan tafsiran yang relatif sama akan
menghasilkan pola-pola tertentu. Oleh karena itu keterampilan menafsirkan hasil
pengamatan sangat mendukung pengambilan keputusan atau kesimpulan.
d. Meramalkan
Dengan ditemukannya gejala keteraturan maka diharapkan siswa dapat
meramalkan pola-pola berikutnya yang akan terjadi. Meramalkan sesuatu yang
akan terjadi bisa saja dilakukan dengan mengubah cara-cara pengamatan.
Keterampilan meramalkan merupakan keterampilan yang penting dimiliki oleh
peneliti.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 43


e. Menggunakan Alat dan Bahan
Keterampilan menggunakan alat dan bahan sangat mendukung terhadap hasil
percobaan yang akan diperoleh. Penggunaan alat dan bahan-bahan selama
percobaan berlangsung akan menambah pengalaman belajar siswa. Pengalaman
menggunakan alat merupakan pengalaman konkret siswa selama proses belajar.
f. Menggolongkan atau Mengelompokkan
Mengelompokkan merupakan suatu proses pemilihan objek-objek atau
peristiwa-peristiwa berdasarkan persamaan atau perbedaan sifat atau ciri-ciri dari
suatu objek atau peristiwa tersebut. Kegiatan pengelompokkan dapat berupa
mencari persamaan atau perbedaan dengan cara membandingkan satu objek dengan
objek lainnya.
g. Menerapkan Konsep
Kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap penerapan konsep di antaranya
adalah menghubungkan konsep yang satu dengan lainnya. Mencari konsep-konsep
yang berhubungan konsep yang satu dengan lainnya.
h. Mengkomunikasikan
Keterampilan berkomunikasi sangat penting dimiliki oleh setiap orang
termasuk siswa. Hal ini berkaitan dengan penyampaian informasi atau data-data,
baik secara tertulis atau lisan. Bentuk komunikasi yang baik adalah yang dapat
dipahami dan dimengerti oleh penerima informasi. Kegiatan yang termasuk
keterampilan dalam bentuk tulisan, menyajikan data dan informasi dalam bentuk
model, gambar, grafik, diagram tabel.
i. Mengajukan Pertanyaan
Keterampilan mengajukan pertanyaan merupakan salah satu ukuran untuk
mengetahui tingkst pemahaman konsep siswa setelah pelaksanaan pembelajaran.
Kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keterampilan mengajukan
pertanyaan yaitu dengan cara menghadapkan siswa dengan masalah-masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Siswa diberi kesempatan untuk menggunakan akal
pikirannya untuk menyelesaikannya. Dari pertanyaan yang diajukan dapat
diketahui sejauh mana siswa dapat menggunakan pemikirannya, sejauh mana
pemahaman yang dimilikinya.
Ketiga, imagining and creating (creating domain). Terdapat beberapa
kemampuan penting manusia dalam domain ini, yaitu mengkombinasikan beberapa
objek dan ide melalui cara-cara baru; menghasilkan alternatif atau menggunakan objek

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 44


yang tidak biasa digunakan; mengimajinasikan; memimpikan; dan menghasilkan ide-
ide yang luar biasa.
Kreativitas terjadi di seluruh bidang kegiatan manusia, termasuk seni, sains, saat
bekerja, saat bermain dan semua bidang lain dalam bidang kehidupan sehari-hari.
Semua orang memiliki kemampuan kreatif tetappi melalui berbagai cara. Ketika
seseorang menemukan kekuatan kreatif mereka, hal itu dapat memberikan dampak
besar pada kekuatan diri daripada pencapaian keseluruhan. (hellen Ward, 2010: 157).
Kreatif merupakan aktivitas imginatif yang dilakukan, sehingga membawa hasil yang
orisinil dan bernilai.
Keempat, feeling and valuing (attitudinal domain). Ranah ini merupakan ranah
yang paling relevan dalam upaya pengembangan moral, (karakter atau akhlakul
karimah) peserta didik. Melalui domain ini, rasa bertanggung jawab, mencintai dan
menjaga lingkungan dan alam sekitar dapat diperoleh dan dikembangkan. Sains
diyakini berperan penting dalam perkembangan karakter warga masyarakat dan Negara
Karena kemajuan produk sains yang amat pesat, kemampuan proses sains yang dapat
ditransfer pada berbagai bidang lain, dan kekentalan muatan nilai, sikap, dan moral di
dalam sains.
Domain sikap mencaangkup: pengembangan sikap positif terhadap sains secara
umum, sains di sekolah, para guru sains dan sikap positif terhadap diri sendiri.
Pengembangan sikap positif terhadap diri sendiri, misalnya ungkapan yang
mencerminkan rasa percaya diri “I can do it”; pengembangan kepekaan, dan
penghargaan, terhadap perasaan orang lain; dan pengambilan keputusan tentang
masalah-masalah lingkungan yang adil.
Domain sikap mampu mewujudkan nurturent effect ( dampak pengiring) yang
diyakini lahir dan berkembang dari scientifiec attitude (sikap ilmiah), seperti rasa ingin
tahu, tidak dapat menerima kebenaran tanpa bukti, terbuka, toleran, skeptic, optimistis,
kreatif, berani, dan jujur. Nilai-nilai ilmiah, dalam usaha membaca alamuntuk
menjawab hubungan sebab akibat, sains memiliki potensi pengembangan nilai-nilai
individu. Pengkajian terhadap keteraturan sistem alam mendorong peningkatan
kekaguman, keingintahuan terhadap alam, dan kemafhuman akan kebesaran Allah
SWT yang menciptakannya. Nilai-nilai etika dan moral yang terpatri pada pembacaan
ala mini akan berkembang dari dampak pengiring oleh sikap ilmiah di atas yang
dibiasakan dan terbiasa penerapannya dalam perilaku keseharian student as a scientist.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 45


Pendekatan sikap dan nilai ilmiah serta kemahiran insaniah dilakukan dalam dua
penekanan yang berbeda. Yang perama melibatkan usaha untuk mengembangkan
berbagai sikap tersebut yang dilihat sebagai sifat-sifat ilmuwan yang bila
dikembangkan akan membantu siswa menyelesaikan persoalan sejenis seperti halnya
ilmuwan menyelesaikannya. Beberapa sikap tersebut diantaranya adalah: 1) mengetahui
perlu adanya bukti sebelum membuat klaim pengetahuan; 2) mengetahui butuhnya
berhati-hati ketika melakukan interpretasi pada hasil percobaan/pengamatan; 3)
kemauan untuk mempertimbangkan interpretasi lain yang juga masuk akal: 5)
kemampuan untuk mengecek bukti dan interpretasinya; 6) mengakui keterbatasan
penyelidikan secara ilmiah (Bambang Sumintono, 2010; 78).
Penekanan yang kedua adalah mengembangkan sikap-sikap khusus terhadap alam
sekitar, mata pelajaranselain sains ataupun dasar untuk karir masa depan seperti halnya
sikap terhadap sains. Berbagai sikap tersebut seperti : 1) rasa ingin tahu tentang alam
fisik dan biologis dan bagaimana hal itu berkerja; 2) kesadaran bahwa sains dapat
menyumbangkan hal untuk mengatasi masalah individu ataupun global; 3) suatu
antusiasme terhadap pengetahuan ilmiah dan metodenya; 4) suatu pengakuan bahwa
sains adalah aktivitas manusia bukan sesuatu yang mekanis; 5) suatu pengakuan
pentingnya pemahaman ilmiah dalam dunia yang modern; 6) suatu kenyataan bahwa
pengetahuan ilmiah bisa digunakan untuk maksud baik maupun jahat; 7) suatu
pemahaman hubungan antara sains dan bentuk aktivitas manusis lainnya; 8) suatu
pengakuan bahwa pengetahuan dan pemahaman sains berbeda dengan yang dilakukan
sehari-hari.
Berbagai sikap dan kemahiran diatas secara jelas berhubungan dengan sains, dan
akan berpotensi terus berkembang khususnya ketika siswa terlibat dalam pelajaran yang
mana seorang guru sains dapat juga meneguhkan dan memperkuatnya seperti rasa
tanggung jawab, kesediaan untuk bekerja sama, toleransi, rasa percaya diri, menghargai
orang lain, kebebasan, dapat dipercaya dan kejujuran intlektual. Berbagai kemahiran
insaniah ini sangat penting untuk membuat lulusan sekolah lebih bernilai dalam dunia
yang berubah dengan cepat. Sudah lama disadari bahwa bekal pengetahuan teknis tidak
dianggap cukup lagi karena pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sehingga kemahiran insaniah bisa menjadi sisi kompetitif lulusan.
Pengembangan sikap-sikap ini biasanya merupakan konsekuensi tidak langsung
dari seluruh pengalaman di sekolah maupun di dunia luar. Tidak seorang guru pun atau
sekumpulan kegiatan yang akan bertanggung jawab terhadap siswa terhadap sains,

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 46


namun hal ini perlu dilakukan secara terus menerus, terencana dan berkesinambungan.
Penelitian dalam pendidikan misalnya, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh hidden
kurikulum disbanding isi materi kurikulum terhadap cara pandang siswa terhadap
dirinya sendiri, guru, sekolah maupun proses pendidikan. Namun, walaupun perubahan
sikap adalah hal yang lambat dibanding pertambahan pengetahuan dan pengukurannya
juga sulit dilakukan, hal ini tidak menjadikan bahwa hal itu sangat strategis untuk
direncanakan secara efektif.
Pengajaran sains dalam pengembangan kemahiran insaniah juga bisa ditunjukkan
dalam mengasah pada penyelesaian konflik (conflict resolution). Siswa yang belajar di
kelas yang paling tidak mendapat tiga pelajaran sains (biologi, fisika dan kimia) akan
berhadapan dengan beragam guru sainsyang juga beragam sikap dan pandanngannya
tentang sains. Hal ini berpotensi untuk menimbulkan kebingungan siswa, sudut
pandang guru yang mana yang memang lebih tepat ?. Cara yang lebih baik adalah
dengan mengakui adanya keberagaman pandangan tentang sains dan kesulitannya
mencari suatu consensus, untuk kemudian mendiskusikan kekuatan dan kelemahan
berbagai pandangan tersebut. Salah satu cara praktisnya adalah membawa siswa dengan
pendekatan sejarah filsafat sains, yaitu dimana siswa terlibat dalam mempelajari dan
menganalisis sebab-sebab historis dimana penyelidikan dan prestasi sains berlangsung.
Thurstone adalah yang pertama mempopulerkan metodologi pengukuran sikap.
Thurstone dalam kartawijaya (1992) mendefinisikan sikap sebagai seluruh
kecendrungan dan perasaan , kecurigaan dan prasangka, pra-pemahaman yang
mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal. Ada empat
dimensi sikap dari Thurstone, yaitu: (1) Pengaruh atau penolakan ; (2) Penilaian; (3)
Suka atau tidak suka; dan (4) Kepositifan atau kenegatifan terhadap objek psikologis.
Berbagai pendapat di atas dpat diambil kesimpulan lima ciri yang menjadi
karakteristik sikap seseorang:
1. Sikap adalah kecendrungan bertindak, berpresepsi, berpikir dan merasa dalam
menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap bukan perilaku tetapi merupakan
kecendrungan berprilaku dengan cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap
dapat berupa benda, orang, tempat, gagasan, situasi, atau kelompok.
2. Sikap sikap mempunyai daya pendorong. Sikap bukan hanya rekaman masa lalu
tetapi juga pilihan seseorang untuk menentukan apa yang disukai dan menghindari
apa yang tidak diinginkan.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 47


3. Sikap relatif lebih menetap ketika satu sikap telah terbentuk pada diri sesorang
maka hal itu akan menetap dalam waktu relative lama karena hal itu didasari
pilihan yang menguntungkan dirinya.
4. Sikap mengandung aspek evaluative. Sikap akan bertahan selama objek sikap
masih menyenangkan seseorang, tetapi kapan objek sikap dinilainya negative maka
sikap akan berubah.
5. Sikap timbul melalui pengalaman, tidak dibawa sejak lahir, sehingga sikap dapat
diperteguh atau diubah melalui proses belajar.
Cassio (1991) dan Gibson (1996) justru mendukung pendapat Ruch dengan
menggambarkan hubungan antara sikap dan perilaku sebagai berikut.
Sikap berkembang dari interaksi antara individu dengan lingkungan masa lalu
dari masa kini. Melaui proses kognisi dan integrasi dan konsistensi sikap dibentuk
menjadi komponen kognisi, emosi, dan kecendrungan bertindak. Setelah sikap
terbentuk akan mempengaruhi perilaku secara langsung. Perilaku akan mempengaruhi
perubahan lingkungan yang ada, dan perubahan-perubahan yang menjadi akan
menuntun pada perubahan sikap yang dimiliki.
Sikap dapat diidentifikasi dalam lima dimensi sikap yaitu arah, intensitas,
keluasan, konsistensi, dan spontanitas.
a. Sikap memiliki arah, artinya sikap terbagi pada dua arah, setuju atau tidak setuju,
mendukung atau tidak mendukung, positif atau negatif.
b. Sikap memiliki intensitas, artinya kedalaman sikap terhadap objek tertentu belum
tentu sama meskipun arahnya sama.
c. Sikap memiliki keluasan artinya ketidak setujuan terhadap objek sikap dapat
spesifik hanya pada aspek tertentu, tetapi sebaliknya dapat pula mencangkup
banyak aspek.
d. Sikap memiliki konsistensi yaitu kesesuaian antara pernyataan sikap yang
dikemukakan dengan tanggapan terhadap objek sikap. Sikap yang bertahan lama
(stabil) disebut sikap yang konsisten, sebaliknya sikap yang cepat berubah (labil)
disebut sikap inkonsisten.
e. Sikap memiliki spontanitas, artinya sejauh mana kesiapan seseorang menyatakan
sikapnya secara spontan. Spontanitas akan nampak dari pengamatan indicator sikap
pada seseorang mengemukakan sikapnya.
Sikap ilmiah dalam pembelajaran sains sering dikaitkan dengan sikap terhadap
sains. Keduanya saling berhubungan dengan dan keduanya mempengaruhi perbuatan.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 48


Pada tingkat sekolah dasar sikap ilmiah difokuskan pada ketekunan, keterbukaan,
kesediaan mempertimbangkan bukti, dan kesediaan membedakan fakta dengan
pendapat (kartiasa, 1980). Penilaian hasil belajar sains dianggap lengkap jika
mencangkup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Sikap merupakan tingkah laku
yang bersifat umum yang menyebar tipis diseluruh hal yang dilakukan siswa. Tetapi
sikap juga merupakan salah satu yang berpengaruh pada hasil belajar siswa.
Sikap ilmiah dibedakan dari sekedar sikap terhadap sains. Karena sikap terhadap
sains hanya terfokus pada apakah siswa suka atau tidak suka terhadap pembelajaran
sains. Tentu saja sikap positif terhadap pembelajaran sains akan memberikan kontribusi
tinggi dalam pembentukan sikap ilmiah siswa tetapi masih adafaktor lain yang
memberikan kontribusi yang cukup berarti.
Menurut Harlen (1996) paling kurang ada empat jenis sikap yang perlu mendapat
perhatian dalam pengembangan sikap ilmiah siswa sekolah dasar: (1) sikap terhadap
pekerjaan di sekolah; (2) sikap terhadap diri mereka sebagai siswa; (3) sikap terhadap
ilmu pengetahuan, khususnya sains; dan (4) sikap terhadap objek dan kejadian di
lingkungan sekitar. Keempat sikap ini akan membentuk sikap ilmiah yang
mempengaruhi keinginan seseorang untuk ikut serta dalam kegiatan tertentu, dan cara
seseorang merespon kepada orang lain, objek, atau peristiwa.
Pengelompokan sikap ilmiah oleh para ahli cukup bervariasi, meskipun kalau
ditelaah lebih jauh hamper tidak ada perbedaan yang berarti. Variasi muncul hanya
dalam penempatan dan penanaman sikap ilmiah yang ditonjolkan. Misalnya, Gega
(1977) memasukkan inventiveness (sikap penemuan) sebagai salah satu sikap ilmiah
utama, sedangkan AAAS (1993) tidak menyebut inventiveness tetapi memasukkan
open minded (sikap terbuka) sebagai salah satu sikap ilmiah utama.
American Association for Advancement of Science (AAAS:1993) memberikan
penekanan pada empat sikap yang perlu untuk tingkat sekolah dasar yakni honesty
(kejujuran), curiosity (keingintahuan), open minded (keterbukaan), dan skepticism
(ketidakpercayaan).
Harlen (1996) membuat pengelompokan yang lebih lengkap dan hapir
mencangkup kedua pengelompokkan yang lebih lengkap dan hampir mencangkup
kedua pengelompokkan yang telah dikemukakan. Secara singkat pengelompokkan
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel .3

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 49


Pengelompokkan Sikap Ilmiah Siswa
Harlen (1996) AAAS (1993)
Curiosity Honesty
(sikap ingin tahu) (sikap jujur)
Respect for evidence Curiosity
(sikap respek terhadap data) (sikap ingin tahu)
Critial reflection Open minded
(sikap refleksi kritis) (sikap berpikiran terluka)
Perseverance Skenticism
(sikap ketekunan) (sikap keragu-raguan)
Cretivity and inventiveness
(sikap kreatif dan penemuan)
Open mindedness
(sikap berpikiran terbuka)
Cretivity and inventiveness
(sikap kreatif dan penemuan)
Open mindedness
(sikap pikiran terbuka)
Co-operation With other
(sikap bekerjasama dengan orang lain)
Willingness to tolerate uncertainty
(sikap keinginan menerima
ketidakpastian)
Sensitivity to environment
(sikap sensitif terhadap lingkungan)

Pengukuran secara ilmiah siswa sekolah dasar dpat didasarkan pada


pengelompokan sikap sebgai dimensi sikap selanjutnya dikembangkan indikator-
indikator sikap untuk setiap dimensi sehingga memudahkan menyusun butir instrumen
sikap ilmiah ntuk lebih memudahkan dapat dugunakan pengelompokkan/dimensi sikap
yang dikembangkan oleh Harlen (1996) sebagai berikut:

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 50


Tabel . 4
DIMENSI DAN INDIKATOR SIKAP ILMIAH
Dimensi Indikator
Ikap ingin tahu Antusias mencari jawaban
Perhatian pada objek yang diamati
Antusias pada proses sains
Menanyakan setiap langkah kegiatan
Sikap respek terhadap Objektif/jujur
data/fakta Tidak memanipulasi data
Tidak purbasangka
Mengambil keputusan sesuai fakta
Tidak mencampur fakta dengan pendapat
Sikap berpikir kritis Meragukan temuan ilmiah
Menanyakan setiap perubahan/hal baru
Mengulangi kegiatan yang dilakukan
Tidak mengabaikan data meskipun kecil.
Sikap penemuan dari Menggunakan fakta-fakta untuk dasar konklus
kreativitas Menunjukkan laporan berbeda dengan teman kelas
Merubah pendapat dalam merespon terhadap fakta
Menggunakan alat tidak seperti biasanya
Menyarankan percobaan-percobaan baru
Menguraikan konklusi baru hasil pengamatan.
Sikap berpikir terbuka dan Menghargai pendapat/temuan orang lain.
kerjasama Mau merubah pendapat jika data kurang.
Menerima saran dari teman.
Tidak merasa selalu benar.
Menganggap setiap kesimpulan adalah tentative.
Berpartisipasi aktif dalam kelompok.
Sikap ketekunan Melanjutkan meneliti sesudah “kebaruannya” hilang.
Mengulangi percobaan meskipun berakibat kegagalan.
Melengkapi satu kegiatan meskipun teman.
Kelasnya selesai lebih awal.
Sikap peka terhadap Perhatian terhadap peristiwa sekitar.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 51


lingkungan sekitar Partisipasi pada kegiatan social.
Menjaga kebersihan lingkungan sekolah.

Kelima, Using and Applying (application and connection domain). Yang


termasuk ranah penerapan adalah mengamati contoh konsep-konsep sains dalam
kehidupan sehari-hari, menerapkan konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan
sains yang telah dipelajari untuk masalah-masalah teknologi sehari-hari, mengambil
keputusan untuk diri sendiri yang berkaitan dengan kesehatan, gizi dan gaya hidup
berdasarkan ppengetahuan sains daripada didasarkan pada apa yang “didengar” dan
“dikatakan” atau emosi; serta memadukan sains dengan subjek-subjek lain.

C. ARTI PENTING PEMBELAJARAN SAINS


Pendidikan adalah hak semua anak. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar,
pendidikan mendapat perhatian khusus dan tercantum secara eksplisit pada alenia
keempat. Bahkan, pendidikan sudah dianggap sebagai sebuah hak asasi yang secara
bebas dapat dimiliki semua anak. Seperti yang tercantum dalam Universal Declaration
of Human Right 1948 Pasal 26 (1) yang menyatakan bahwa:
Setiap orang memiliki hak atas pendidikan. Pendidikan haruslah bebas, paling tidak
pada tingkat dasar. Pendidikan dasar haruslah bersifat wajib. Pendidikan teknik dan
profesi harus tersedia dan pendidikan tinggi harus dapat diakses secara adil oleh
semua.
Selain itu, mandat Millenium Development Goals (MDGs) yanng diformulasikan
oleh PBB secara tegas juga menyatakan bahwa semua negara di dunia harus dapat
menyediakan pendidikan yang gratis dan sama rata, paling tidak pada level pendidikan
dasar. Peristiwa peluncuran sputnik pada tahun 1950-an telah menggugah negara
adidaya Amerika Serikat untuk mereformasi sistem pendidikan sains mereka yang
dianggap telah gagal sehingga teknilogi Amerika dapat dikalahkan oleh teknologi
Rusia. Dalam menghadapi ‘perang sains’ tersebut Amerika merasa telah kalah sehingga
perlu memperbaiki pendidikannya denan dikeluarkannya undang-undang Nation at Risk
(1983) oleh Commission on Excellence in Education. Dalam paragaraf pembukaan di
undang-undang terssebut dikatakan:
Our nation is at risk. Our once unchallenged preeminence in commerce, industry,
science, and technological innovation is being overtaken by competitors throughoout

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 52


the world....What was unimaginable a generation ago has begun to occur-others are
matching or surpassing our educational attainments” (National Commission on
Excellence in Educational, 1983, opening paragraph). ( Negara kita dalam bahaya.
Keunggulan kita dalam bidang perdagangan, industri, sains, dan inovasi teknologi di
masa lalu telah diambil alih oleh kompetitor kita di seluruh dunia....Apa yang ttidak
terbayangkan satu generasi yang lalu telah mulai terjadi-lainnya sesuai atau melebihi
pencapaian pendidikan kita).
Menanggapi hal tersebut, masyarakat Amerika segera memperbaiki sistem
pendidikan sainsnya sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan inovasi
teknologi yang mengungguli musuh besarnya di masa Perang Dingin, yaitu Rusia.
Mengawali millenium ke-2, pada tahun 2001, Amerika kembali meluncurkan sebuah
undang-undang pendidikan, yaitu No Child Left Behind (2001) yang dipicu oleh
kekhawatiran akan suplai ilmuan di masa depan.
Amerika menganggap serius pendidikan sains. Beberapa dekade setelah
peluncuran Spuntik, fokus reformasi pendidikan ssains di negara adidaya terssebut
adalah pada pengembangan kurikulum, strategi pembelajaran student-centered yang
memungkinkan siswa belajar melalui pertanyaan, tindakan sains, dan keterampilan
analisis ketika melakukan tindakan ilmiah. Misi No Child Left Behind sangatlah jelas,
yaitu mewujudkan akses pendidikan yang terbuka lebar bagi seluruh anak usia sekolah
di Amerika Serikat, serta meningkatkan mutu pendidikan sains sebagai ujung tombak
kemajuan suatu bangsa.

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 53


DAFTAR PUSTAKA

Jupri Wahab, (2017), Belajar dan Pembelajaran Sains, Bandung, Penerbit Pustaka Reka
Cipta.
Siti Fatonah dan Zuhdan K. Prasetyo, (2014), Pembelajaran Sains, Yogyakarta, Penerbit
Ombak.
Asih Widi Wisudawati dan Eka Sulistyowati, (2014), Metodologi Pembelajaran IPA, Jakarta,
PT. Bumi Aksara.
Daryanto, (2010), Belajar dan Mengajar, Bandung, CV. Yrama Widya

Hakikat Sains dan Pembelajaran Sains 54

Anda mungkin juga menyukai