Anda di halaman 1dari 44

Motif Ukir Semarang

Written By Unknown on Saturday, 4 April 2015 | 12:49:00 pm

Motif Ukir Semarang merupakan stilasi dari bentuk tumbuhan menjalar. Daun pokoknya
berbentuk relung (lung). Pada sepanjang relung ditumbuhi daun trubusan yang berbentuk
kombinasi bulat dan runcing. Unsur - unsur yang terdapat pada motif ukir Semarang terdiri
dari :

1.) Relung
Relung pada motif ukir Semarang berbentuk panjang melengkung. Pada ujung relung
berbentuk ulir.

2.) Daun
Daun pada motif ukir Semarang di ukir berbentuk bulat semua.

3.) Ulir
Ulir pada motif ukir Semarang terdapat pada setiap ujung relung. Selain itu ulir sering
terdapat pada daun trubusan.

4.) Benangan
Benangan terdapat pada setiap daun dengan bentuk ukiran miring.

Ciri Khusus Motif Ukir Semarang :


- Semua daun di ukir berbentuk bulat.
- Ujung relung berbentuk ulir
Ragam Hias Batik Semarangan
Ciri khas yang terdapat pada Batik Semarang 16 adalah motif dan ragam hias yang
mengambil artefak dan kekhasan Kota Semarang. Ini tentu saja melalui proses yang panjang,
termasuk di dalamnya pendapat dan komentar minor soal keberadaan batik yang bisa disebut
khas Semarang.

Sebelumnya, sering muncul pertanyaan: adakah yang bisa disebut Batik Semarang? Kalau
ada, apa ciri khasnya? Ragam hias seperti apa yang bisa langsung jadi titik pengenal suatu
batik disebut batik Semarang. Yang tanya seperti itu tak hanya orang dari luar Semarang, tapi
juga orang dari dalam Kota Semarang sendiri. “Setiap mengadakan pelatihan dan pameran,
saya selalu ditanya apa benar ada batik Semarangan? Ya, orang-orang tentu sudah mengenal
batik Solo, Yogya, Pekalongan, atau Lasem. Tapi saya terus saja berkreasi dengan
memunculkan ragam hias yang saya ambil baik dari artefak di Kota Semarang maupun
kekhasan lain dari kota itu,’’ tandas Umi pemilik Sanggar Batik Semarang 16. Dalam suasana
keragu-raguan mengenai identitas batik Semarang, Batik Semarang 16 terus berkreasi
menghasilkan batik-batik yang khas.

Sebagai identitas batik gaya Semarangan, di antara ratusan motif, 11 di antaranya telah diakui
dan dipatenkannya di HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Kesebelas motif itu
menampilkan artefak Semarang sebagai ragam hiasnya, antara lain Lawang Sewu Ngawang,
Ceng Ho neng Klenteng, Asem Arang (bervarian tiga motif), Gambang Semarangan, Tugu
Muda Kekiteran Sulur, dan Blekok Srondol.
Kampung Kulitan dan Gandhekan, Pemukiman Bangsawan yang Jadi
Pangkalan Terbesar Gilo-Gilo

June 09, 2016

DAHULU, nama Kampung Kulitan dikenal karena menjadi kediaman Tasripien, tuan tanah
dengan jumlah kekayaan yang tak terbilang. Seiring dengan meredupnya pamor dinasti
Tasripien, popularitas kampung di wilayah Kecamatan Semarang Tengah atau berada di
kawasan Jalan MT Haryono itu pun tetap tidak hilang.
Reputasi nama kampung pun kembali besar setelah awal 1960-an, para perantau asal Klaten
dan Sukoharjo menghuni kawasan itu. Bersama Kampung Gandhekan, Kulitan dikenal
menjadi pangkalan gilo-gilo terbesar di Kota Semarang. Tak kurang dari 80-an orang
pedagang tinggal di kedua kampung yang bersebelahan itu. Setiap hari, mereka berkeliling
menjajakan Gilo-gilo ke seluruh sudut Kota Semarang.
Gilo-gilo, begitu masyarakat menyebut aneka makanan yang dijajakan pedagang dengan
gerobag kayu yang suka berkeliling atau mangkal di beberapa titik di Kota Semarang.
Makanan yang dijual diantaranya, nanas, pepaya, bengkoang, melon, semangka, pisang,
pisang goreng, singkong goreng, jadah goreng, bakwan, martabak pasar, bakwan, onde-onde,
molen pisang, bolang-baling, tahu goreng, tahu isi, tahu petis, nagasari, sate kerang, sate telur
puyuh, beberapa macam kerupuk dan masih ada yang lain.

Saat saya memasuki dua kampung yang


masih terlihat beberapa rumah khas Semarangan yang kini dihuni cucu dan buyut Tasripien,
Rabu (7/1) pagi, terlihat kesibukan kaum ibu membuat penganan. Para pedagang menyiapkan
dasaran, mulai dari merajang buah, membersihkan gerobak dan mengisinya dengan aneka
makanan. Gerobak-gerobak itu berjajar memenuhi jalan kampung yang tak seberapa lebar.
Beranjak siang, satu per satu mereka berkeliling menjajakan dagangannya.
Suwarno (64) perantau asal Klaten yang tinggal di Kampung Gandekan mulai 1966 dan
berjualan Gilo-gilo sejak 1981, menjelaskan, kata Gilo-gilo berasal dari kata "gi lho" yang
merupakan transformasi dari "iki lho" yang artinye "ini lho". Atau, sang penjual ingin
membuktikan eksistensi diri bahwa "ini lho makanan dan jajanan yang anda cari."
''Dulu, jumlah pedagangnya ada 80-an orang, sekarang sekitar 35 orang. Semua pedagang
pun mengontrak rumah milik keturunan Tasripien, termasuk saya,'' tutur Suwarno, atau yang
akrab disapa Pak Badut, saat ditemui di Jalan MT Haryono.
Pedagang Gilo-gilo sejak 1990, Kuslan (59) yang juga tinggal di rumah milik Tasripien di
Kampung Kulitan menambahkan, di Kampung Kulitan, sisa-sisa kejayaan Tasripien masih
terlihat. Diantaranya tujuh rumah dengan bangunan asli bergaya Semarangan dengan bahan
baku kayu jati yang masih kokoh berdiri.
''Dulu, jalan masuk kampung disini cukup lebar. Mobil pun bisa masuk. Sekarang tidak bisa.
Rumah-rumah disini dulu ditempati kaum bangsawan. Sekarang, selain menjadi pemukiman
pedagang Gilo-gilo, beberapa rumah ditempati keturunan Pak Tasripien,'' kata bapak dua
anak dan tiga cucu itu, kemarin. (KS)
Pelestarian Kampung Kauman Kota
Semarang Sebagai Kawasan Wisata
Budaya
By Staf Editor on Jumat, 15 September 2017 0

dolandolen.com

Berlibur ke Kampung Kauman Kota Semarang sangat menarik untuk dilakukan. Hari libur
merupakan hari yang selalu ditunggu- tunggu semua kalangan. Begitu juga dengan kamu
bukan ? Pilihan berbagai destinasi mesti kamu dipikirkan jauh-jauh hari. Setelah itu tentukan
juga dengan siapa kamu akan menghabiskan hari liburmu. Tentunya akan sangat berarti jika
kamu ditemani orang yang kamu sayangi seperti teman, sahabat, pacar maupun keluarga.

Salah satu kota yang mempunyai aneka wisata adalah kota Semarang. Kota pesona Asia ini
menawarkan ragam destinasi seperti pantai, hutan, gunung, air terjun, dan wisata alam
lainnya. Jika kamu ingin mencari destinasi baru, mungkin kamu bisa mencoba destinasi
bernuansa religi atau budaya.
Kampung Kauman salah satunya. Tempat ini terkenal sebagai kampung santri dengan segala
kenangan budaya yang khas didalamnya. Pelestarian kampung Kauman dapat digunakan
sebagai kawasan wisata budaya. Berikut simak informasi seputar kampung Kauman.

pegipegi.com

Sejarah Kampung Kauman

Kauman adalah sebutan untuk tempat yang masuk dalam tatanan kota di setiap daerah Jawa.
Terbentuknya kampung Kauman berawal dari Ki Ageng Pandanaran dalam memberikan
karater islami yang begitu kental pada tempat tersebut. Kampung Kauman Semarang terletak
di pusat kota. Pada kampung ini , hidup beragam etnis dari berbagai daerah , jadi tidak
berasal dari jawa saja. Keharmonisasian penduduknya menjadi ciri khas kampung ini .
Dampak aktivitas ekonomi di sekitarnya, membuat kampung Kauman berubah menjadi
kawasan yang dipenuhi dengan aktivitas perdangangan dan jasa. Hal ini juga menggeser
rumah khas pedesaan menjadi jajaran toko atau ruko yang terbentang di jalan raya Kauman.
Untuk melestarikan kebudayaannya, masyarakat setempat berkomitmen menjaga segala jenis
tradisi yang ada.

Dahulu terjadi diskriminasi ras di Kota semarang. Terdapat 2 tipe ras. Kampung Kauman
terkenal sebagai tempat penghuni ras kedua, khususnya ras arab. Berdasarkan sejarah,
dimulai dari zaman kerajaan demak hingga zaman kerajaan mataram telah menjadikan
Kauman sebagai tipologi central. Tempat kumpulan elite agama ini letaknya terkesan
diwajibkan berada antara alun-alun dan masjid. Perkembangan zaman lambat laun merubah
tempat ini. Kekhasannya sebagai kampung santri mulai bergese sejak adanya kegiatan
perdagangan dan jasa .
Hal yang menarik tentang kampung Kauman

1. Pondok pesantren

Pondok pesantren Raudatul Qur-an berdiri di kawasan kampung Kauman. Seluruh aktivitas
agamis yang rutin membuat keberadaan pondok pesantren ini menjadi alasan kuatnya suasana
islamik yang begitu kental di kampung Kauman.

2. Tradisi dugderan

Tradisi dugderan merupakan hasil budaya yang unik dari kampung Kauman. Tradisi ini
bertujuan untuk menyambut bulan Ramadhan. Kegiatan yang dilakukan berupa karnaval
yang diikuti oleh warga Semarang. Tradisi ini menjadi acara nasional yang sering dinanti oleh
masyarakat.

3. Masjid Agung Kauman

Masjid agung Kauman tergolong dalam masjid tua yang berada di Jawa. Berdirinya masjid
ini serta peninggalan prasasti didalamnya, menunjukan bahwa dahulu Kauman merupakan
salah satu pusat peradaban islam. Masjid ini juga mngukir sejarah yang unik. Mimbar masjid
didalamnya merupakan tempat dimana diumumkan kemerdekaan Indonesia tepat pada
tanggal 17 Agustus 1945.

4. Rumah tradisional

Rumah-rumah yang unik berbahan kayu dengan ukuran yang cukup besar mengisi berbagai
titik di kawasan kampung ini. Meskipun telah terpengaruh oleh kehidupan sosial yang
semakin maju, beberapa rumah tradisional yang ada mampu bertahan. Nuansa yang didapat
dari rumah itu seakan membawa kita ke zaman peradaban islam tahun silam.

5. Pasar Johar

Pasar yang terletak di Kota Semarang ini merupakan pusat perbelanjaan yang diminati sejak
dahulu. Aktivitas perdagangan dan jasa mempengaruhi perubahan sosial dan budaya
Kampung Kauman. Bangunan lama ini menunjukan ciri khas Kauman pada zamannya.
Namun sayang, beberapa waktu lalu terjadi kebakaran yang menyebabkan pasar Johar tak
seontentik dulu.

Berbagai hal menarik yang dimiliki kampung Kauman Semarang sangat patut untuk
dilestarikan. Semuanya merupakan bukti identitas kampung penuh sejarah ini. Pelestarian
kampung Kauman akan menjadikan tempat ini sebagai kawasan wisata budaya yang ada di
Semarang.
Beragam Cerita di Balik Pemukiman Padat Kampung Mataram

Sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah sekaligus menjadi kota terbesar kelima di Indonesia,
Semarang tak lepas dari peran perkampungan-perkampungan yang sudah ada sejak zaman Hindia
Belanda.

Minggu pagi, 2 September 2018, bersama Bersukaria diajak untuk jelajah seputar Mataram.
Bersukaria adalah semacam tour & travel di Kota Semarang yang salah satu programnya yaitu
walking tour / tur jalan kaki. Setiap weekend mereka mengadakan walking tour dengan rute yang
berbeda-beda dengan story teller yang bergantian.

Di rute Mataram, kami dipandu oleh Mas Ardhi dengan titik kumpul di seberang Rumah Sakit Panti
Wilasa Dr. Cipto. Di pagi hari yang hawanya enak banget buat melanjutkan ke alam mimpi, satu
persatu dari peserta walking tour sebanyak 9 orang berdatangan.
Setelah perkenalan diri masing-masing, Mas Ardhi mulai menjelaskan bahwasanya tempat
sekarang kita berpijak di Jl. Dr. Cipto dulunya bernama Mlaten — salah satu pemukiman orang yang
cukup berada.

"Salah satu contoh rumahnya ada di sebelah sana. Dulu rumah itu punya halaman yang luas." lanjut
Mas Ardhi sambil menunjuk ke salah satu rumah yang sepertinya tak berpenghuni.

Bangunan penting yang bisa kita lihat di salah satu ruas Jl. Dr. Cipto yaitu Rumah Sakit Panti Wilasa.
Secara kasat mata, mungkin tidak ada yang menarik dari bangunan rumah sakit ini, tapi siapa kira
ada sejarah panjang di baliknya?

Rumah Sakit Panti Wilasa kan ada 2 cabang nih, di Dr. Cipto dan di Citarum, kira-kira lebih duluan
mana dibangunnya?
Jawabannya lebih dulu gedung Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto.

Diinisiasi tahun 1948 dan diresmikan pada tanggal 19 Januari 1950 sebagai Klinik Bersalin Panti
Wilasa (yang mengandung arti Rumah Cinta dan Kasih Sayang) dan dikepalai oleh Zr. AJ. Heidema.

Pada tahun 1956 dibuka lembaga pendidikan untuk mendidik pembantu bidan.

Kemudian baru pada tahun 1966 muncullah rencana sekaligus pelaksanaan proyek pembangunan
RS Panti Wilasa Citarum. Tiga tahun kemudian dilakukan peletakan batu pertama RS Panti Wilasa
Citarum. Singkat cerita, pada tahun 1974 pelayanan di komplek Jl. Dr. Cipto diresmikan menjadi
RSU Panti Wilasa. (pantiwilasa.com)

Persis di sebelah selatan RS Panti Wilasa Dr. Cipto, terlihat rumah dengan model sama yang disebut
rumah deret. Sekilas memang tak begitu kelihatan karena di bagian depan tertutup oleh
pepohonan dan parkir mobil pengunjung RS Panti Wilasa. Rumah deret ini pun sudah ditetapkan
sebagai cagar budaya golongan D.
Belum ada data yang valid kapan dibangunnya, perkiraan sekitar pertengahan hingga akhir abad
ke-19. Di sebelahnya adalah bekas penjara Mlaten. (Sekarang Rupbasan kelas 1 Semarang).
Kemungkinan rumah deret di sampingnya tadi merupakan bagian dari fasilitas penjara Mlaten.

Menyeberang di padatnya lalu lintas Jl. Dr. Cipto, tepat di depan Rupbasan, tibalah kami di tujuan
berikutnya. Berbeda dengan 2 bangunan yang sebelumnya terkesan modern, tempat ini bernama
Sobokartti.

Terlihat sangat khas bangunan Jawa dari atapnya yang mempunyai 3 tingkat, seperti masjid-masjid
Jawa pada umumnya. Di dalam bangunan inti juga terdapat 4 buah soko guru serta pelataran.
Adapun pendopo yang terpisah dengan bangunan inti dan masih sering digunakan untuk latihan
tari anak-anak maupun dewasa.
Pembangunan Sobokartti diinisiasi oleh Ir. Herman Thomas Karsten dan Pangeran Prangwedana
(kelak menjadi KGPAA Mangkunegara VII). Ketika itu kraton-kraton Jawa sedang terjadi proses
demokratisasi berupa diijinkannya kesenian kraton (yang semula eksklusif untuk lingkungan kraton)
diajarkan dan digelar di luar dinding kraton.

Untuk mendukung gagasan tersebut, dibuatlah pertemuan yang dihadiri antara lain Burgemeester
Semarang Ir de Jonghe, Bupati Semarang RMAA Purbaningrat, GPH Kusumayuda dari Kraton
Surakarta, dan pimpinan surat kabar "De Locomotief". Dalam pertemuan itu disepakati untuk
mendirikan perkumpulan kesenian yang diberi nama "Sobokartti" (tempat berkarya).
Sobokartti menjadi saksi sejarah pertempuran 5 hari di Semarang. Sebanyak 18 pemuda gugur di
sana ketika berusaha merebut senjata dari tentara Jepang yang menjadikan Sobokartti sebagai
markas. Jenazah mereka dimakamkan dalam satu lubang di kawasan Sobokartti, kemudian pada
tahun 1960, 12 jenazah dipindah ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang sebagai
'Pahlawan Tidak Dikenal', sementara 6 jenazah lainnya dimakamkan kembali oleh keluarga masing-
masing.

***

Menjauh dari Sobokartti, kami berjalan terus ke timur, mengamati ruko-ruko di Kawasan Dargo
yang belum begitu ramai. Meski ada jalan tembus yang lebih dekat dengan 'the real Mataram', kami
diajak berputar-putar dahulu seolah Mas Ardhi menginginkan peserta walking tour untuk
berinteraksi dengan perkampungan-perkampungan yang dilewati. Beberapa rumah yang khas
Belanda masih bisa ditemukan, meski sudah ada percampuran dengan gaya modern.

Beberapa menit kemudian sampailah kita di jalan yang selalu sibuk. Jalan ini sudah ada sejak zaman
Hindia Belanda, bernama Jl. Mataram. Menurut mas Ardhi, belum ada data yang valid kenapa
dinamakan Mataram. Apakah ada hubungannya dengan tentara Mataram? Apakah ada kesamaan
sejarah dengan Matraman di Jakarta?
Di sepanjang Mataram, dulunya dibangun jalur trem milik Samarang - Joana Stoomtram
Maatschappij (SJS) yang menghubungkan Semarang Djoernatan - Djomblang dengan jarak 4
kilometer. Selengkapnya mengenai jalur kereta api dan trem di Semarang, bisa ikut walking tour
rute Spoorweg atau boleh juga baca-baca di link berikut ini.

Penamaan Jl. MT. Haryono baru ada setelah kemerdekaan. Kini, di sisi kanan kiri jalan utama
berjajar ruko-ruko yang menjual segala macam produk. Di belakangnya, di antara gang-gang yang
tak begitu lebar, terdapat perkampungan padat penduduk. Toponimi / penamaan daerah tersebut
berdasarkan profesi masyarakatnya.

Dengan salah satu peserta walking tour, kami berandai-andai mungkinkah penyebutan nama-nama
kampung yang berdasarkan profesi warganya ini berperan dalam suatu proses?

Misal:

 Jagalan ; diambil dari profesi warganya yang sebagian besar menjadi tukang jagal / pemotong
hewan seperti sapi / kambing.
 Kentangan ; dahulu menjadi tempat orang-orang menjemur kulit, sebutan Kentangan karena
panasnya ngentang-ngentang (dalam Bahasa Indonesia semacam panas banget). Tapi beberapa
tulisan di internet menyebut bahwa Kentangan dulunya karena banyak orang menanam kentang.
 Kulitan ; dahulu daerah ini menjadi tempat pengrajin kulit.
Bukankah dari 3 kampung itu bisa dianggap sebagai suatu proses dari hewan yang dijagal, diambil
kulitnya untuk dijemur, kemudian kulitnya dijadikan kerajinan?

"Tapi misalkan kalau mau cari malingan atau ngutangan, nggak ada ya. Walaupun itu juga kadang
jadi profesi sih" canda mas Ardhi.

Menyeberang Jl. MT. Haryono, masuk ke kampung Grajen (dahulu menjadi tempat penggergajian /
tempat pengumpulan serbuk-serbuk gergaji), berdiri sebuah klenteng yang terbilang masih muda
dan berbeda dengan klenteng-klenteng yang ada di Pecinan.

Perbedaan itu ada pada atapnya yang bertingkat, pintu klenteng yang hanya ada satu semacam
rolling door, serta tidak menggunakan nama Hookian melainkan disebut nama daerahnya yaitu
Klenteng Grajen.
Setelah ini kami dibawa untuk menyusuri jalan-jalan kampung yang benar-benar beragam. Citra
Semarang sebagai kota multicultural tersaji di sini. Seperti misalnya rumah-rumah orang Tionghoa
berdekatan dengan masjid, atau rumah kuno Semarangan.

Atau bisa juga ditemukan di salah satu sudutnya, secuil rumah Verbetering. Berupa rumah deret
yang bentuknya mirip. Kampung verbetering ini muncul awal abad ke-20 seiring dengan kebijakan
politik etis, pemerintah Belanda memberi perhatian pada kampung dalam bentuk peningkatan
infrastruktur juga dalam mengatasi masalah kesehatan dan sanitasi.

Keluar masuk perkampungan, akhirnya sampailah kita di salah satu sudut gang yang cukup
instagramable. Pada mulut gang tertulis Kampung Kulitan. Bicara mengenai Kampung Kulitan tak
lepas dari salah satu saudagar dan tuan tanah pribumi dari Semarang. Ia adalah Tasripin, seorang
pengusaha kopra, kapuk, dan juga memiliki bisnis kulit yang dijalankan di Kampung Kulitan ini pada
permulaan abad ke-19. Kampung Kulitan dahulu juga disebut sebagai 'Kerajaan Tasripin' karena ia
beserta segenap kerabatnya pernah tinggal di sini.

Meski tak begitu luas dibanding kampung yang lain, beberapa rumah khas Semarangan dengan
bahan kayu jati bisa kita lihat langsung di sepanjang Kampung Kulitan.
Tak hanya menarik dalam hal arsitektur bangunan, kampung-kampung di Mataram juga tak mau
kalah dalam hal kuliner. Di salah satu gang misalnya, ada penjual lumpia atau penjual moachi yang
cukup terkenal di Semarang.

Selisih beberapa gang, sebagian besar warganya berdagang olahan kambing. Tempat itu bernama
Kampung Bustaman, yang terkenal dengan Gulai Bustaman. Spesialnya dari gulai tersebut terletak
pada dagingnya yang menggunakan daging bagian kepala serta tanpa santan.
Memasuki Kampung Bustaman, bau prengus kambing senantiasa terhirup sepanjang jalan.
Beberapa warga terlihat sedang mengolah daging kambing.

Bisnis kambing di Kampung Bustaman sudah berlangsung sejak zaman Belanda. Pelopornya ada 4
orang yaitu H. Marzuki, H. Ibrahim, Khayat, dan Ny. Klentheng. Bedanya, zaman dulu kambing-
kambing yang akan dipotong harus dibawa ke Rumah Pemotongan Hewan (RPH), jika tidak maka
akan dikenakan sanksi / denda.

Kampung Bustaman juga tak lepas dari salah satu tokoh pelukis terkenal yaitu Raden Saleh Sjarif
Boestaman. Masa kecilnya, beliau pernah tinggal di sini. Pada saat usianya 10 tahun, oleh
pamannya — yang menjabat Bupati Semarang diserahkan kepada Belanda untuk belajar.
Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembaga-
lembaga elite Hindia Belanda.

Raden Saleh dikenang terutama karena lukisan historisnya 'Penangkapan Pangeran Diponegoro'
yang menggambarkan peristiwa pengkhianatan Belanda kepada Pangeran Diponegoro untuk
mengakhiri Perang Jawa pada tahun 1930.

Sebelumnya sudah ada pelukis Belanda, Nicolaas Pieneman yang melukis penangkapan Pangeran
Diponegoro, tapi Raden Saleh seolah tidak setuju dengan penggambaran Pieneman, kemudian
beliau memberikan sejumlah perubahan signifikan pada lukisannya.
Seperti yang dikatakan mas Ardhi di awal-awal kalau rute Mataram ini tidak banyak bangunan-
bangunan bersejarah / cagar budaya yang bisa diulik.

Namun, Mataram dengan pesonanya yang tersembunyi di balik ruko-ruko dan pemukiman padat
penduduk, menyimpan potensi tersendiri di Kota Semarang. Bagi pecinta rumah-rumah kuno jelas
mereka akan terkagum-kagum dengan keaslian serta ornamen-ornamen beberapa rumah warga.

Syaratnya cuma mata harus jeli melihat ke kanan dan ke kiri. Karena banyak juga bangunan-
bangunan modern yang berdiri di area perkampungan Mataram.
Batik Semarang

Kota Semarang dikenal dengan sebutan kota atlas, yaitu sebagai pusat kota dan ibukota Jawa Tengah.
Tak banyak yang tau, jika di kota ini juga menghasilkan kerajinan batik. Batik Semarang biasa disebut
dengan Batik Semarangan. Sejak zaman Belanda, di kampung Rejomulyo sudah terdapat pengrajin
batik, namun pada zaman Jepang, kampung ini sempat terbakar.

Pada tahun 1980 embrio sentra batik tumbuh dan berkembang kembali di lokasi kampung Batik
Semarang. Di dalam sentra tersebut tumbuh sekitar 15 sampai 20 perajin batik. Selanjutnya dalam
pembinaan terhadap industri kecil batik, untuk mengantipasi pencemaran yang ada, sentra batik di
kampung batik dipindahkan ke lokasi Desa Cangkiran Kecamatan Mijen. Ternyata oleh karena usia
para perajin yang semakin tua, industri batik di desa Cangkiran Kecamatan Mijen tidak berkembang.
Industri batik tersebut hilang, hingga pada tahun 2006, industri batik di kampung ini mulai dibangun
kembali.

Pembinaan, lebih secara teknis mengenai dasar cara pembuatan, gambar, pewarnaan, pencelupan
warna natural alam, sampai menimba ilmu dengan magang ke lokasi industri batik di kota batik
seperti Jogja, Solo maupun Pekalongan. Tahun 2007, dimulai sebuah seminar tentang batik berfokus
pada pembahasan apa dan bagaimana motif atau corak ragam hias batik Semarang.

Batik Semarangan Motif Lawang Sewu


Sumber: https://warung-raa.blogspot.com

Batik Semarang adalah batik yang diproduksi oleh orang atau warga kota semarang dengan motif
atau ragam hias yang berhubungan dengan ikon-ikon Semarang. Sebuah pengertian atau definisi
yang akhirnya muncul dari pembahasan tersebut. Batik Semarang menggunakan motif flora dan
fauna, dan saat ini motif Batik Semarang juga bertambah tidak hanya batik dengan motif flora dan
fauna saja tetapi ada juga batik Semarang dengan motif ikon kota Semarang. Misalnya pohon asem,
tugu muda, lawang sewu, serta legenda-legenda yang ada di kota Semarang seperti legenda Jatigaleh
dan lain sebagainya. Selain itu, warna batik Semarangan tidak semeriah batik Pekalongan. Namun,
tidak sekalem warna batik Solo atau Yogya.

Batik Semarangan Motif Lawang Sewu Kekiteran Asem

Sumber: https://warung-raa.blogspot.com

Motif Batik Semarangan yang telah mendapatkan hak paten adalah Motif Tetenger Kutho, Motif
Dlorong Asem Baris, Motif Legenda Banyumanik, Motif Legenda Jembatan Mberok, Motif Tosan Aji,
Motif Puspa Lestari, Motif Legenda Watu Gong, Motif Kuliner Bandeng Presto, Motif Semesta, Motif
Merak Bertengger, Motif Legenda Pleburan, Motif Legenda Gedong Songo, Motif Kembang Kipas,
Motif Pesona Tugu Muda, Motif Gua Kreo, Motif Legenda Pekojan, Motif Daun Menari, Motif Merak
Puspa Rukmi, motif Legenda Sendang Mulyo, Motif Legenda Jatingaleh, Motif Kembang Beras, Motif
Samodro Amangku Nagari, Motif Legenda Meteseh, Motif Asem Manis, Motif Wono Segoro, Motif
Gombel, Motif Puspita Indah, Motif Wit Asem Ing Tugu, Motif Kuliner Lonpia II, Motif Dlorong Asri,
Motif Blekok Ing Laut Marina, Motif Legenda Pasar Johar, Motif Asem Tugu Semarang, Motif Tari
Kupu Ing Ron Pring, Motif Kuliner Tahu Gimball.

Batik Semarangan Motif Asem Tugu Semarang

Sumber: https://warung-raa.blogspot.com

Batik Semarangan Motif Motif Blekok

Sumber: https://produsenbatik.com
Dalam proses membatik, ada keunikan lain dari para pengrajin batik di Semarang. Sebagian besar
dari mereka sudah menggunakan canting elektrik. Canting tersebut dihubungkan ke listrik, kemudian
potongan-potongan malam dimasukkan ke dalam lubang canting. Malam itu akan mencair dengan
sendirinya akibat panas yang dihasilkan dari listrik. Namun penggunaan canting elektrik ini dianggap
mengurangi nilai seni dan budaya dari batik itu sendiri.

Canting Listrik

Sumber: https://bkbalau.blogspot.com

Banyak para peneliti melakukan penelitian terhadap motif Batik Semarang karena keunikan dan
kekhasan batik tersebut. Lee Chor Lin, menegaskan Batik Semarang dalam beberapa hal
memperlihatkan gaya laseman karakter utama laseman berupa warna merah (bangbangan) dengan
latar belakang gading (kuning keputih-putihan). Maria Wonska-Friend, ciri pola Batik Semarang
berupa floral, yang dalam banyak hal serupa dengan pola Laseman. Ini mempengaruhi, motif batik di
abad ke-20 yang disebut batik Lasem atau Semarang. Artinya, batik-batik tersebut tidak spesifik
mewakili kreasi satu kota misalnya batik Lasem saja atau batik Semarang saja namun ada unsur
penggabungan. Pepin Van Roojen, motif batiknya seperti papan dan tumpal dengan ornamen berupa
bhuta atau sejenis daun pinus runcing asal Kashmir. Motif badannya berupa ceplok, walau motifnya
lebih bebas, namun pola-pola baku tetap pula dipakai seperti ditunjukkan pada pola ceplok itu.
Robyn Maxwell, motif Batik semarang memiliki dekorasi dari warna alam yang sangat berbeda
dengan motif Solo atau Yogyakarta.

Batik Semarangan Motif Cheng Hou Neng Klenteng


Sumber: https://warung-raa.blogspot.com

Produksi batik Semarangan terpusat pada Kampung Batik, yang beralamatkan di kelurahan
Rejomulyo, Semarang Timur. Beberapa jenis batik yang terdapat di Semarang yaitu Batik Desa
Gemawang, batik ini memiliki ciri khas unsur batik kopi, tala madu dan baru klinting, sedangkan
pewarnaan utama menggunakan indigo (indigofera). Batik Franquemont dan Oosterom, dominasi
warna hijau sebagai kekhasan, khas dengan pola-pola bermotif Eropa, Cina dan pesisir utara
khususnya Madura, pola-pola yang dikembangkan adalah pola keraton, mengadaptasi figur dan
atribut dari berbagai dongeng Eropa, pola sedikit rumit dan kompleks.

Batik Kampung Batik, yang disebut kampung batik yaitu kampung-kampung yang berada di sekitar
kota Semarang tempo dulu. Diantaranya Bugangan, Rejosari, Kulitan, Kampung Melayu, dan
Kampung Darat. Kampung batik merupakan sentra batik di Semarang yang pernah mengalami
kejayaan pada zaman Belanda. Motif-motif yang dikembangkan, berupa motif naturalis (ikan, kupu-
kupu, bunga, pohon, bukit, dan rumah), Ciri itu dapat dimaknai sebagai karakter masyarakat pesisir,
yang lebih terbuka dan ekspresionis.

Batik Semarang 16, batik dengan motif yang dikembangkan, terutama motif kekinian yang
berhubungan dengan landmark atau tenger kota Semarang seperti Tugu Muda, Lawang Sewu, Pohon
Asem, Blekok Srondol dan lainnya. Batik Tan Kong Tien, motif dasar parang yang merupakan motif
batik keraton, dipadu dengan motif burung merak, menjadi cirikhas dari “Batikkerij Tan Kong Tien”
merupakan hasil akulturasi motif pesisiran yang berkarakter terbuka dan motif keraton. Dan lain
sebagainya.

Unik dan berbeda dengan batik dari daerah lain kan Sahabat. Silakan jadikan Batik Semarangan
menjadi salah satu koleksi anda. Semoga bermanfaat.
Jalan Leluhur Rumah Kopi Semarang
by Silvia GalikanoPosted onNovember 26, 2017

R
umah Kopi di Jalan Wotgandul Barat, Semarang diperkirakan berdiri pada 1850-an. (Foto Silvia
Galikano)

Keluarga ini menorehkan takdir barunya pada 1916 ketika memutuskan mencoba
peruntungan di bidang kopi dengan mendirikan pabrik penyangraian kopi.

Oleh Silvia Galikano

Rumah dua lantai bercat putih ini berlanggam Indis, berdiri di tengah lahan seluas 2000 meter
persegi yang dikelilingi pohon tua dan tanaman perdu yang asri. Kolom-kolom art deco di
lantai bawah menopang balkon yang kolomnya bergaya Tuscan dengan baluster besi, fascia
kayu, dan verge board (papan berukir di ujung pertemuan dua atap).

Rumah ini beralamat di Jalan Wotgandul Barat 12, Kebonkarang, Semarang. Sekarang masuk
kawasan Pecinan. Namun pada awal abad ke-20 saat pembatasan wilayah diterapkan ketat,
rumah ini berada di luar Pecinan, berjarak tak sampai 100 meter di luar batas.

Baca juga Spiegel

Tak diketahui siapa pendiri dan kapan didirikannya, namun dari langgamnya dan ketika
diurutkan silsilah ke atas, diperkirakan tahun 1850-an.
Penghuni sekarang adalah Widayat Basuki Dharmowiyono (Tan Tjoan Pie), 72 tahun yang
mewarisinya dari sang ayah, Tan Liang Tjay (1907 – 1981). Basuki mengelola penyangraian
kopi (coffee roastery) bernama Margo Rejo, usaha keluarga sejak kakeknya, Tan Tiong Ie
(1883 – 1949). Itu sebab rumah ini dikenal masyarakat dengan sebutan Rumah Kopi.

Ruang tamu Rumah Kopi. (Foto Silvia Galikano)

Tiga generasi Tan dilahirkan di rumah eklektik ini, terakhir adalah generasi Basuki (kelahiran
8 Oktober 1945) berikut dua kakak dan satu adiknya. Sedangkan anak dan cucunya lahir di
rumah sakit.

Basuki pun menciptakan budaya baru yang dia sebut “budaya Basuki”, menjadikan pintu
tengah—dari tiga pintu—sebagai pintu upacara (ceremonial door). Pintu tengah ini hanya
dilewati anggota keluarga untuk pertama kali memasuki rumah dan untuk keluar rumah
terakhir kalinya.

Baca juga Warisan Ternama di Pecinan Jakarta

“Anggota keluarga baru, misalnya setelah menikah atau bayi yang baru lahir di klinik
bersalin, begitu pertama kali dibawa pulang, lewatnya pintu ini. Lalu nanti keluarnya peti
jenazah, lewat sini juga,” saat dijumpai di kediamannya di Semarang, akhir Oktober 2017.

Seperangkat kursi yang ada di tengah ruang tamu masih kursi tamu yang ada di foto lama
hitam putih, hanya kain pelapisnya yang sudah diganti. Di ruang tamu itu ada perabot yang
menyita perhatian, berada di pojok kiri dari pintu utama, yakni lemari altar.
Kong po atau lemari altar, bergaya art deco. (Foto Silvia Galikano)

Basuki Dharmowiyono. (Foto: Silvia Galikano)

Menariknya, alih-alih dengan ukiran khas Tionghoa, lemari altar ini bergaya art deco dan
minim ukiran. Selainsebagai tempat mengenang dan menghormati leluhur, altar ini juga
difungsikan sebagai tempat menyimpan sinci (papan arwah) tiga generasi ke atas, hingga Tan
Tjien Gwan (1861 – 1914), kakek buyut Basuki.

Leluhur Basuki yang pertama datang ke Nusantara adalah Tan Bing atau Juragan Bing, dari
Hokkian/Fujian di Tiongkok pada 1790-an.

Baca juga Selamat Jalan, Bu Dini

Sedangkan keturunan Tan Bing yang pertama menghuni rumah ini adalah Tan Ing Tjong
(1837 – 1899, cicit Tan Bing), seorang pemegang pacht garam dan opium pada akhir abad ke-
19. Sebelum dimiliki Tan Ing Tjong, menurut Basuki, rumah ini adalah milik kerabat Tan Ing
Tjong yang juga pemilik pacht namun merugi sehingga menjual rumahnya untuk menutup
kerugian.

Generasi kedua yang mendiami rumah ini adalah Tan Tjien Gwan, dan diteruskan Tan Tiong
Ie, juga pemegang pacht garam. Nahas, Tiong Ie, yang tak lain kakek Basuki, merugi besar
hingga keuangannya morat-marit dan terjerat utang.

Baca juga Hotel Candi Baru, Arti Sebuah Legitimasi

Alexander Claver dalam Dutch Commerce and Chinese Merchants in Java: Colonial
Relationships in Trade and Finance, 1800-1942 (2014) yang merupakan disertasinya di Vrije
Universiteit, Belanda, menuliskan, setelah berhasil membayar kembali utang-utang berkat
bantuan teman-teman dan kerabat, Tiong Ie memboyong keluarganya ke Cimahi, kota di
sebelah barat Bandung, untuk memulai hidup baru.

Awalnya dia membuka toko roti kecil – sebagaimana hobi istrinya membuat roti – dan
berbisnis kayu, yang membuatnya bisa bernapas longgar walau bukan sukses besar.
Tan Tiong Ie dan istri, Kwee Sik Yang. (Dok. Basuki Dharmowiyono)
Generasi terdahulu keluarga Tan berfoto di ruang tamu. Tampak kursi tamunya tetap sama dengan
sekarang. (Dok. Basuki Dharmowiyono)

Margo Redjo berdiri


Keluarga ini menorehkan takdir barunya pada 1916 ketika memutuskan mencoba
peruntungan di bidang kopi dengan mendirikan pabrik penyangraian kopi Eerste
Bandoengsche Electrische Koffiebranderij “Margo-Redjo” di Cimahi. Margo Redjo, bahasa
Jawa yang berarti “jalan kemakmuran”, menjual bubuk kopi ke pedagang grosir dan eceran.

Baca juga Mengenang Nh Dini


“Tidak tahu persisnya mengapa Cimahi yang dipilih sebagai tempat usaha, bukan Semarang.
Kemungkinan karena gagal di pacht garam, Cimahi tempat pelarian saja,” kata Basuki.

Sewaktu perusahaan belum lama berjalan, Tong Ie pulang ke Semarang pada 1925 dan
melanjutkan Margo Redjo di Semarang. Alat-alat produksi yang saat itu masih sederhana,
dibawa pindah ke Semarang, termasuk alat sangrai besar model pertama yang berbentuk bulat
berbahan bakar kayu (versi lebih modern pada 1930-an menggunakan bahan bakar gas).

Duduk depan Tan Tiong Ie dan istri, Kwee Sik Yang. Belakang adalah anak-anak mereka (ki-ka) Tan
Liang Hoo, Tan Liang Tjay, dan Tan Sioe Nio. (Dok. Widjajanti Dharmowijono)

Kala itu, ibunda Tong Ie, Goei Joe Nio, masih hidup dan tinggal di Semarang. Ada
kemungkinan dia dipanggil pulang ibunya.

Sempat Tiong Ie membuka pabrik es juga di Semarang, tapi karena tak memberi banyak
keuntungan, dia berfokus pada Margo Redjo.

Baca juga Eksotiknya Kuliner Semarangan

Ruang belakang rumah Jalan Wotgandul Barat jadi tempat produksi baru kopi Margo Redjo
yang segera mendapat sambutan pasar. Karyawannya terus bertambah sampai-sampai perlu
sirine sebagai penanda dimulai dan berakhirnya waktu istirahat.
Bangunan di tenggara rumah utama menjadi kantor dan rumah tinggal Tan Liang Hoo, putera
sulung Tan Tiong Ie, yang juga aktif mengelola Margo Redjo.

Kong po atau lemari altar, bergaya art deco diletakkan di sudut ruangan.(Foto: Silvia Galikano)
Dua pasang pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah. (Foto: Silvia Galikano)

Meski dimulai dari awal lagi, tak sulit bagi Margo Redjo merebut pasar kopi mengingat
belum adanya saingan di segmentasi yang sama. Claver menuliskan bahwa kunci sukses
perusahaan itu adalah strategi pemasaran yang cerdas, yang dikendalikan dengan keras oleh
Tan Liang Hoo.

Dia punya ketertarikan besar pada produksi dan teknik pemasaran serta selalu mengikuti
informasi mutakhir dunia dengan membeli majalah serta buku-buku terkait. Dia juga punya
ide kreatif dan original untuk pemasaran dan kampanye kehumasan.
Baca juga Merawat Marwah Rumah Tjoa

Strategi itu di antaranya Margo Redjo memproduksi beragam kualitas kopi dengan merek dan
harga berbeda-beda. Tjap Grobak Idjo adalah yang paling murah, sementara Tjap Margo
Redjo yang paling mahal. Di antara keduanya ada Tjap Pisau, Tjap Orang-Matjoel, Koffie
Sentoso, Koffie Mirama, dan Koffie Sari Roso.

Margo Redjo juga membedakan kemasan untuk pedagang grosir dan untuk pelanggan
perorangan. Pedagang eceran juga bisa memesan label khusus dengan merek mereka sendiri,
strategi yang saat itu belum umum dipraktikkan.

Jaringan distribusi Margo Redjo berkembang baik. Selain mencapai Singapura, Makassar,
dan Lampung, khusus di Jawa, merek ini masuk sampai tempat-tempat terpencil.

Patung singa bergaya Eropa, diperkirakan dipasang saat renovasi teras. (Foto Silvia Galikano)
Patung singa bergaya Eropa, diperkirakan dipasang saat renovasi teras. (Foto Silvia Galikano)

Margo Redjo juga tak segan-segan menghabiskan banyak waktu dan usaha untuk
mengiklankan produknya yang berberbeda-beda di koran-koran, ikut pameran, memberi
bonus, serta mengadakan lomba-lomba berhadiah. Tan Liang Hoo sendirilah yang jadi copy
writer sekaligus desainer untuk iklan, flyer, dan poster Margo Redjo.

Tan Tiong Ie masuk dalam Orang-orang Tionghoa (1935) yang memuat daftar orang
Tionghoa terkaya di Jawa. Dia disebut sebagai pengusaha Tionghoa pertama yang
mengekspor kopi ke negara lain dengan jumlah ekspor mencapai satu juta kilogram kopi
setiap tahun. Margo Redjo menjadi perusahaan sangrai kopi terbesar di Jawa yang
mempekerjakan puluhan pekerja.

Tan Tiong Ie akhirnya mampu mengirim Tan Liang Hoo kuliah hukum di Leiden, di salah
satu universitas paling bergengsi di Belanda.

Baca juga Untuk Lasem, Roemah Oei Buka Gerbangnya

Sentuhan art deco


Di tengah masa jaya inilah, pada 1927, rumah mengalami renovasi, antara lain penambahan
luas teras dari 10×2 meter menjadi 10×4 meter. Empat kolom di lantai bawah, yang
sebelumnya sejajar dengan kolom di lantai atas, dimajukan. Bentuk kolom teras bawah pun
diubah sesuai zaman, dari bergaya Tuscan menjadi art deco.
Kwitansi pembayaran jasa renovasi Van Oyen (Dok. Basuki Dharmowiyono)
Berita kematian Tan Tiong Ie 31 Mei 1949 di surat kabar. (Dok. Basuki Dharmowiyono)

Renovasi yang juga mencakup ruang produksi di belakang dipercayakan kepada arsitek
terkenal masa itu, Liem Bwan Tjie (LBT, 1891-1966), arsitek modern pertama yang
berpendidikan Belanda dari kalangan Tionghoa-Indonesia. LBT banyak mengerjakan rumah
mewah masyarakat Tionghoa di Semarang.

Tiong Ie juga memesan lemari altar, menggantikan lemari altar lama bergaya Tionghoa yang
diberikan ke tetangga seberang rumah, sekarang jadi kedai kopi bernama Stasiun Kopi.
Pembuat lemari altar art deco ini tidak main-main, J. Th. van Oyen (1893-1944), arsitek
Belanda ternama yang membangun Gereja Gereformeerd (1918) di Semarang, Gereja Santa
Theresia (pembangunan 1933-1934) di Jakarta, dan Gereja Katedral Randusari di Semarang
(pembangunan 1936-1937).

Baca juga Bali Hotel dan Singgahnya Negarawan Dunia

Di tengah-tengah lemari altar diukir karakter Mandarin yang berarti “Dapat mengikuti jejak
leluhur”. Di kanan dan kiri altar dipasang papan bertuliskan karakter Mandarin, yang jika
diartikan, “Walau lumut berukuran kecil, bermanfaat pula” dan “Sebaik-baiknya punya anak
berkecukupan, lebih baik lagi kalau anak itu pandai.”

Dari kwitansi berangka tahun 1927, sebetulnya Van Oyen juga terlibat dalam renovasi rumah
dan pabrik Margo Rejo, namun tidak diketahui apa lagi yang dikerjakan Van Oyen selain
membuat lemari altar. Serta apakah Van Oyen dan LBT bekerja pada waktu bersamaan
ataukah berselang beberapa tahun.

Ruang produksi kopi menempati bangunan membujur di barat rumah utama. (Foto: Silvia Galikano)
Ruang produksi kopi menempati bangunan membujur di barat rumah utama. (Foto Silvia Galikano)

Setelah Belanda angkat kaki dan Jepang belum mendarat, kondisi keamanan tak stabil. Tan
Tiong Ie memutuskan mengganti daun jendela yang sebelumnya adalah kaca patri, menjadi
kayu.

Daun pintu yang dari kaca patri pun ditambah daun pintu kayu sebagai pelindung, sehingga
masing-masing pintu punya dua pasang daun pintu, membuka ke luar dan membuka ke
dalam. Daun pintu dari kaca patri dan dari kayu itu sekarang masih terpasang di tempatnya,
sedangkan keberadaan daun jendela kaca patri tak diketahui.

Suasana yang tak tenang ini juga menyebabkan tak setiap hari karyawan Margo Redjo bisa
datang yang berakibat perusahaan tak bisa setiap hari berproduksi. Usaha kopi Margo Redjo
pun mulai turun.

Ketika perang usai dan Indonesia merdeka, Margo Redjo kesulitan mengembalikan posisinya
ke keadaan semula. Pesaing sudah menggantikan posisi lowong yang dulu ditinggalkan.

Baca juga Cita Rasa Retro Terus Dirindu

Re-branding Margo Rejo

Basuki Dharmowiyono melanjutkan Margo Rejo sekaligus Rumah Kopi warisan ayahnya
selulus kuliah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tahun 1975. Dia belajar sendiri
teknik sangrai, bukan dari ayahnya. “Ayah banyak mengarahkan saya untuk kuliah hukum,
bukan mengarahkan ke kopi,” ujarnya.

Ruang produksi kopi menempati bangunan membujur di barat rumah utama. (Foto Silvia Galikano)
Mesin panggang kopi. (Foto Silvia Galikano)

Margo Rejo belum kembali ke kejayaannya di awal abad ke-20, malah sejak 1990-an Basuki
nombok tiap bulan agar produksi berjalan terus. “Saya punya keterikatan emosional dengan
Margo Rejo, tidak mungkin saya tutup. Syukurlah sekarang trennya naik,” kata Basuki.

Ruang produksi lama sekarang jadi gudang. Ruang produksi sekaligus penjualan biji kopi
sekarang ada di bangunan sayap barat. Di sinilah biji kopi mentah dari berbagai daerah di
Indonesia diolah dan dipanggang untuk kemudian dipasarkan dalam bentuk biji. Kafe-kafe
yang kini menjamur di Semarang tak sedikit mendapat pasokan biji kopi dari Margo Rejo.
Sering juga coffee cupping diadakan di sini.

Berbeda dengan ayah dan kakeknya yang menjual bubuk kopi, mulai 2017 Basuki hanya
menjual biji kopi, dengan alasan usia biji kopi lebih panjang dibanding bubuk kopi. Bubuk
kopi hanya tahan delapan jam setelah digiling, setelah itu aromanya menurun tajam, dan
sehari kemudian rasanya sudah berbeda. Sedangkan biji kopi tahan delapan hari setelah
disangrai, setelah itu aromanya menurun, namun landai.

Baca juga Sarang Garuda, Epos Keluarga Oei

Selain itu, Basuki ingin mengikuti zaman, bahwa kini pengetahuan tentang kopi sudah
dipunyai masyarakat yang lebih luas dibanding dahulu. Kedai kopi yang menjamur hingga
kota-kota kecil, umumnya dikelola anak muda, pengunjungnya juga anak muda, dan mereka
umumnya tahu bagaimana kopi berkualitas.
“Jadi sekarang paradigma Margo Rejo bukan lagi perusahaan yang menjual kopi bubuk,
melainkan perusahaan sangrai kopi yang menjual biji kopi,” ujar Basuki.

Anda mungkin juga menyukai