Anggota:
II. HASIL
Nama obat : Asam salisilat Bobot hewan : 250 g
Bentuk sediaan : Larutan Tebal permukaan kulit : 0,89 cm
Bahan pembawa : Buffer pH 1,2 Luas area difusi : 7,065 cm2
Kadar sampel : 1500 ppm Volume sampling : 2 mL
Jenis membran : Buatan & Hewan : 296 nm
Hewan percobaan : Tikus Persamaan kurva baku : y = 0,2499x + 0,0048
𝑦−0,0048
Kadar Obat ((µg/mL) = 𝑥 𝐹𝑝, y = absorbansi
0,2499
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔
Kadar Obat Terkoreksi (µg/mL) = Kadar obat menit ke-t+ (𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑎𝑘𝑠𝑒𝑝𝑡𝑜𝑟
𝑥 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚)
t1⁄2 = 2,5 jam= 150 menit Klirens total = 1,38 L/jam = 23 mL/menit
0,693 𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒
𝑘= = 4,62 𝑥 10−3 /𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 𝐶𝑝 = 𝑥 (1 − 𝑒 −𝑘𝑡 )
150 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 𝐾𝑙𝑖𝑟𝑒𝑛𝑠 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
0,8559
𝐶𝑝(0) = 𝑥 (1 − 𝑒 −4,62𝑥0,001𝑥0 ) = 0 µ𝑔/𝑚𝐿
23
0,8559
𝐶𝑝(15) = 𝑥 (1 − 𝑒 −4,62𝑥0,001𝑥15 ) = 2,49 𝑥 10−3 µ𝑔/𝑚𝐿
23 Waktu vs Jumlah disolusi
0,8559
𝐶𝑝(30) =
23
𝑥 (1 − 𝑒 −4,62𝑥0,001𝑥30 ) = 4,81 𝑥 10−3 µ𝑔/𝑚𝐿 kumulatif
y = 0,8559x + 5,8026
0,8559 150,000
𝐶𝑝(45) = 𝑥 (1 − 𝑒 −4,62𝑥0,001𝑥45 ) = 6,99𝑥 10−3 µ𝑔/𝑚𝐿 R² = 0,9828
23
100,000
0,8559
𝐶𝑝(60) = 𝑥 (1 − 𝑒 −4,62𝑥0,001𝑥60 ) = 9,01𝑥 10−3 µ𝑔/𝑚𝐿
23 50,000
0,8559
𝐶𝑝(90) = 𝑥 (1 − 𝑒 −4,62𝑥0,001𝑥90 ) = 12,65 𝑥 10−3 µ𝑔/𝑚𝐿 0,000
23
0 50 100 150
0,8559
𝐶𝑝(120) = 𝑥 (1 − 𝑒 −4,62𝑥0,001𝑥120 ) = 15,83 𝑥 10−3 µ𝑔/𝑚𝐿
23
Persamaan Regresi Linear waktu vs jml dis kum
r: 0,9828 a: -5,8026 b: 0,8559 (Slope)
y = : 0,8559 x - 5,8026
𝑆𝑙𝑜𝑝𝑒 0,8559
𝐹𝑙𝑢𝑥 = = = 0,1211 𝜇𝑔⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 . 𝑐𝑚2
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑟𝑒𝑎 𝐷𝑖𝑓𝑢𝑠𝑖 (𝑐𝑚2 ) 7,065
III. PEMBAHASAN
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mempelajari absorpsi obat secara perkutan secara in vitro.
Absorpsi obat perkutan adalah absorpsi atau penyerapan obat dari luar kulit ke posisi di bawah kulit, lalu
masuk ke dalam aliran darah (Ansel, 1989). Absorbsi obat terutama tergantung pada keadaan fisiologi
kulit dan sifat fisika-kimia dari obat (Anief, 2007). Pada praktikum ini, akan dibandingkan absorbsi obat
dari membran kulit hewan (tikus) dan membran buatan (milipore).
Dari rangkaian percobaan yang dilakukan terhadap membran kulit tikus dan membran milipore dengan
waktu sampling dari 0, 15, 30, 45, 90, hingga 120 menit, diperoleh data berupa volume sampling sebanyak
2 mL yang kemudian diukur absorbansinya dengan Spektrofotometri UV pada λ 296 nm. Pada membran
tikus tidak dilakukan dikarenakan keterbatasan waktu dan data yang diperoleh tidak cukup. Maka dari itu,
praktikan memutuskan untuk menggunakan data membran tikus dari kelompok lain.
Data-data yang diperoleh dari percobaan terhadap membran kulit tikus dan membran milipore
kemudian diolah menggunakan persamaan kurva baku y = 0,2499x + 0,0048, untuk didapatkan kadar dan
jumlah obat kumulatif, yang akan dibuat profil hubungan antara jumlah kumulatif obat yang ditranspor
terhadap waktu, serta ditentukan koefisien permeabilitas dan fluks berdasarkan nilai slope pada daerah
linear.
Dari gambaran profil hubungan antara jumlah kumulatif obat yang ditranspor terhadap waktu,
diperoleh hasil bahwa gambaran profile hingga menit ke-120 pada membran tikus (r = 0,9682) tidak lebih
linear dibandingkan gambaran profile pada membran milipore (r = 0,9828).
Setelah itu, dilakukan perhitungan permeabilitas membran yang didapat dari fluks dibagi kadar awal
obat. Diperoleh permeabilitas membran milipore sebesar 0,081 𝑥 10−3 𝑚𝐿⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡. 𝑐𝑚2 dan membran kulit
tikus sebesar 5,46 𝑥 10−6 𝑚𝐿⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡. 𝑐𝑚2, yang artinya permeabilitas membran kulit tikus lebih baik, karena
semakin besar koefisien permeabilitas maka semakin mudah obat melewati membran. Perhitungan fluks
juga memperlihatkan bahwa membran kulit tikus (nilai fluks 0,00819 𝜇𝑔⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 . 𝑐𝑚2 ) lebih kecil atau
lebih jelek absopsinya dibandingkan membran milipore (nilai fluks 0,1211 𝜇𝑔⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 . 𝑐𝑚2 ). Hasil ini
tsesuai dengan teori.
Secara teoritis, absorpsi perkutan obat melalui membran buatan akan lebih baik karena pada kulit tikus
terdapat berbagai lapisan jaringan utama yakni epidermis, dermis, dan lemak subkutan. Stratum corneum
pada epidermis dapat berperan sebagai reservoir obat, sehingga meski sediaan sudah diambil atau
dibersihkan dari kulit, masih dapat terjadi difusi obat dari stratum corneum ke lapisan di bawahnya
(Washington, dkk., 2001). Sedangkan membran milipore hanya terdiri atas satu lapisan (monolayer),
sehingga barrier bagi obat dalam menembus membran akan lebih besar dengan kulit tikus. Ketidaksesuian
hasil percobaan terhadap teori dapat disebabkan oleh kesalahan dan kurangnya ketelitian praktikan pada
saat pelaksanaan praktikum, baik pada saat pemasangan alat, penyusunan membran pada alat,
pengambilan volume sampling, maupun interpretasi antara waktu dan volume yang harus diambil dan
ditambahkan ke alat.
IV. KESIMPULAN
1. Uji absorpsi perkutan secara in vitro perlu dilakukan lebih dahulu sebelum melakukan uji in vivo,
karena korelasi keduanya akan memberi gambaran apakah suatu formulasi sediaan transdermal sudah
baik atau belum.
2. Dari uji absorpsi perkutan secara in vitro, diketahui bahwa permeabilitas membran kulit tikus lebih
baik daripada permeabilitas membran milipore dengan nilai berturut-turut 0,081 𝑥 10−3 𝑚𝐿⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡. 𝑐𝑚2
dan fluks 0,1211 𝜇𝑔⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 . 𝑐𝑚2 serta 5,46 𝑥 10−6 𝑚𝐿⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡. 𝑐𝑚2 dan fluks 0,00819 𝜇𝑔⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 . 𝑐𝑚2 .
Hasil ini sesuai teori.
3. Absorpsi perkutan asam salisilat melalui membran milipore lebih bagus dibandingkan absorpsi
melalui membran kulit tikus, berdasarkan permeabilitas maupun profil hubungan jumlah kumulatif
obat ditranspor—waktu dan flux. Hasil ini sesuai teori.
V. DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 2007, Farmasetika, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta Washington, N.,
Washington, N., Washington, C., dan Wilson, C. G., 2001, Physiological Pharmaceutics: Barriers to
Drug Absorption, 2nd Edition, Taylor & Francis, London.