Anda di halaman 1dari 13

2.

3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan


1. Faktor Genetika (Hereditas)
Hereditas merupakan totalitas karakteristik individu yang
diwariskan orang tua kepada anak atau segala potensi (baik fisik
maupun psikis) yang dimiliki individu sejak masa konsepsi sebagai
pewarisan daripihak orang tua melalui gen-gen.
Pada masa konsepsi (pembuahan ovum oleh sperma), seluruh
bawaan hereditas individu dibentuk dari 23 kromosom dari ibu dan 23
kromosom dari ayah. Dalam 46 kromosom tersebut terdapat beribu-
ribu gen yang mengandung sifat-sifat fisik dan psikis individu atau
yang menentukan potensi-potensi hereditasnya. Dalam hal ini tidak
ada seorang pun yang mampu menambah atau mengurangi potensi
hereditas tersebut.
Masa dalam kandungan dipandang sebagai periode yang kritis
dalam perkembangan kepribadian individu, sebab tidak hanya sebagai
saat pembentukan pola-pola kepribadian, tetapi juga sebagai masa
pembentukan kemampuan-kemampuan yang menentukan jenis
penyesuaian individu terhadap kehidupan setelah kelahiran. Agar janin
dalam kandungan pertumbuhannya sehat, maka ibu yang mengandung
perlu memperhatikan kesehatan dirinya, baik fisik maupun psikis.
Pengaruh gen terhadap kepribadian, sebenarnya tidak secara
langsung, karena yang dipengaruhi gen secara langsung adalah : (a)
kualitas sistem saraf; (b) keseimbangan biokimia tubuh; dan (c)
struktur tubuh.
Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa fungsi hereditas dalam
kaitannya dengan perkembangan kepribadian adalah : (a) sebagai
sumber bahan mentah (raw materials) kepribadian seperti fisik,
inteligensi, dan temperamen; (b) membatasi perkembangan
kepribadian (meskipun kondisi lingkungan sangat kondusif,
perkembangan kepribadian itu tidak bisa melebihi kapasitas atau
potensi hereditas); dan (c) memengaruhi keunikan kepribadian.
Sehubungan dengan hal di atas, Cattel dkk., mengemukakan
bahwa “kemampuan belajar dan penyesuaian diri individu dibatasi
oleh sifat-sifat yang inheren dalam organisme individu itu sendiri”.
Misalnya kapasitas fisik (perawakan, energi, kekuatan, dan
kemenarikannya), dan kapasitas intelektual (cerdas, normal,
terbelakang). Meskipun begitu, batas-batas perkembangan
kepribadian, bagaimanapun lebih besar dipengaruhi oleh faktor
lingkungan.
Contoh untuk pernyataan terakhir di atas: seorang anak yang
tubuhnya kecil (kerdil atau kurus) mungkin akan mengembangkan
“self-concept” yang negatif, apabila dia berkembang dalam
lingkungan sosial yang snagat menghargai ukuran tubuh yang atletis.
Sama halnya dengan seorang wanita yang ukuran tubuhnya gendut
dan wajahnya tidak cantik, dia akan merasa inferior (rendah diri),
apabila berada dalam lingkungan yang sangat menghargai wanita dari
segi kecantikannya. Menurut C. S. Hall “dimensi-dimensi temperamen
: emosionalitas, aktifitas, agresivitas, dan reaktifitas bersumber dari
plasma benih (gen), demikian juga halnya dengan intelegensi”.
2. Faktor Lingkungan
Lingkungan adalah keseluruhan fenomena (peristiwa, situasi,
atau kondisi) fisik atau alam atau sosial yang memengaruhi atau
dipengaruhi perkembangan individu. Faktor lingkungan, yang dibahas
pada faktor berikut adalah lingkungan keluarga, sekolah, teman
sebaya, dan media massa.
a. Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga dipandang sebagai faktor penentu
utama terhadap perkembangan anak. Alasan tentang pentingnya
peranan keluarga bagi perkembangan anak, adalah : (a) keluarga
merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat
identifikasi anak; (b) keluarga merupakan kelompok pertama
yang mengenalkan nilai-nilai kehidupan kepada anak; (c) orang
tua dan anggota keluarga lainnya merupakan “significant
people” bagi perkembangan kepribadian anak; (d) keluarga
sebagai institusi yang memfasilitasi kebutuhan dasar insani
(manusiawi), baik yang bersifat fisik-biologis, maupun sosio-
psikologis; dan (e) anak banyak menghabiskan waktunya di
lingkungna keluarga.
Orang tua mempunyai peranan sangat penting bagi
tumbuh-kembangnya anak sehingga menjadi seorang pribadi
yang sehat, cerdas, terampil, mandiri, dan berakhlak mulia.
Seiring dnegan fase perkembangan anak, maka peran orang tua
juga mengalami perubahan. Menurut Hamner dan Turner
peranan orang tua yang sesuai dengan fase perkembangan anak
adalah : (1) pada masa bayi berperan sebagai perawat
(caregiver); (2) pada masa kanak-kanak sebagai pelindung
(protector); (3) pada masa usia pra sekolah sebagai pengasuh
(nurturer); (4) pada masa sekolah dasar sebagai pendorong
(encourager); dan (5) pada masa praremaja dan remaja berperan
sebagai konseler (counseler).
Seiring perjalanan hidupnya yang diwarnai faktor internal
(kondisi fisik, psikis, dan moralitas anggota keluarga) dan faktor
eksternal (perkembangan sosial budaya), maka setiap keluarga
mengalami perubahan yang beragam. Ada keluarga yang
semakin kokoh dalam menerapkan fungsi-fungsinya
(fungsional-normal) sehingga setiap anggota keluarga merasa
nyaman dan bahagia (baitii jannatii = rumahku surgaku); dan
ada juga keluarga yang mengalami broken home, keretakan ata
ketidak harmonisan (disfungsional – tidak normal) sehingga
setiap anggota keluarga merasa tidak bahagia (baitii naarii =
rumahku nerakaku).
Keluarga yang fungsional atau yang ideal menurut
Alexander A. Schneiders memiliki karakteristik sebagai berikut.
 Minimnya perselisihan antar orang tua atau antar
orang tua dengan anak.
 Ada kesempatan untuk menyatakan keinginan.
 Penuh kasih sayang.
 Menerapkan kedisiplinan yang tidak keras.
 Memberikan peluang untuk bersikap mandiri dalam
berfikir, merasa, dan berperilaku.
 Saling menghargai atau menghormati (mutual
respect) antar anggota keluarga.
 Menyelenggarakan konferensi (musyawarah)
keluarga dalam memecahkan masalah.
 Menjalin kebersamaan antar anggota keluarga.
 Orang tua memiliki emosi yang stabil.
 Berkecukupan dalam bidang ekonomi.
 Mengamalkan nilai-nilai moral agama.
Sementara keluarga yang disfungsional, menurut Dadang
Hawari ditandai dengan karakteristik sebagai berikut.
 Kematian salah satu atau kedua orang tua.
 Kedua orang tua berpisah atau bercerai (divorce).
 Hubungan kedua orang tua kurang baik (poor
marriage).
 Hubungan orang tua dengan anak tidak baik (poor
parent-child relationship).
 Suasana rumah tangga yang tegang dan tanpa
kehangatan (high tensions and law warmth).
 Orang tua sibuk dan jarang berada di rumah
(parent’s absence).
 Salah satu atau kedua orang tua mempunyai
kelainan kepribadian atau gangguan kejiwaan
(personality or psychological disorder).
b. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupaka lembaga pendidikan formal yang secara
sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan
atau pelatihan dalam rangka membantu para siswa agar mampu
mengembangkan potensiya secara optimal, baik yang
menyangkut aspek moral spiritual, intelektual, emosional, sosial,
maupun fisik-motoriknya.
Hurlock mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor
penentu bagi perkembangan kepribadian anak, baik dalam cara
berfikir, bersikap, maupun berperilaku. Sekolah berperan sebgai
substitusi keluarga, dan guru sebagai substitusi orang tua.
Dalam slaah satu hasil penelitian mengenai pendidikan,
Michael Russel mengemukakan tentang definisi sekolah yang
efektif, yaitu yang mengembangkan prestasi akademik,
keterampilan sosial, sopan santun, sikap positif terhadap belajar,
absenteism yang rendah, melatih keterampilan sebagai bekal
bagi siswa untuk dapat bekerja.
Beberapa faktor lingkungan sekolah yang berkontribusi
positif terhadap perkembangan siswa atau anak di antaranya :
 Kejelasan visi, misi, dan tujuan yang akan dicapai.
 Pengelolaan atau manajerial yang profesional.
 Para personel sekolah memiliki komitmen yang
tinggi terhadap visi, misi, dan tujuan sekolah.
 Para personel sekolah memiliki semangat kerja yang
tinggi, merasa senang, disiplin, dan rasa tanggung
jawab.
 Pada guru memiliki kemampuan akademik dan
profesional yang memadai.
 Sikap dan perlakuan guru terhadap siswa bersikap
positif yaitu bersikap ramah dan respek terhadap siswa,
memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berpendapat atau bertanya.
 Para guru menampilak peranannya sebagai guru
dalam cara-cara yang selaras dengan harapan siswa,
begitupun siswa menampilakn peranannya sebagai
siswa dalam cara-cara yang selaras dengan harapan
guru.
 Tersedianya sarana-prasarana yang memadai,
seperti: kantor kepala dan guru, ruang kelas, ruang
laboratorium (praktikum), perlengkapan kantor,
perlengkapan belajar, perpustakaan, alat peraga,
halaman sekolah dan fasilitas bermain, tampat
beribadah, dan toilet.
 Suasana hubungan sosio-emosional antarpimpinan
sekolah, guru-gru, siswa, petugas administrasi, dan
orang tua siswa berlangsung secara harmonis.
 Para personel sekolah merasa nyaman dalam
bekerja karena terpenuhi kesejahteraan hidupnya.
Seiring dengan program pemerintah mengenai pendidikan
karakter, maka sekolah memiliki tanggung jawab untuk
merealisasikannya melalui pengintrogasian pendidikan karakter
tersebut ke dalam program pendidikan secara keseluruhan.
Sebagai lembaga pendidikan, sekolah diharapkan menjadi
“Centre of Nation Character Building” ( pusat pembangunan
karakter bangsa). Pendidikan karakter ini bukan mata pelajaran,
tetapi nilai-nilai karakter itu harus ditanamkan kepada para
peserta didik melalui proses pembelajaran di kelas maupun di
luar kelas.

Penataan Sosio-Emosional
dan Kultur Akademik Sekolah
Penciptaan Iklim
STRATEGI PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
Bekerja Sama dengan
Religius yang Pihak Lain
Kondusif Terpadu dalam
Terpadu dalam
Proses Belajar Program Bimbingan
Mengajar Konseling
Terpadu dalam Program
Ekstrakurikuler
Pada dasarnya fungsi sekolah dari awal pendiriannya
mempunyai misi untuk membangun karakter atau akhlak para
siswa, di samping mengembangkan wawasan dan penguasaan
ilmu dan teknologi. Untuk melaksanakan pendidikan karakter di
sekolah, ada beberapa strategi yang seyogianya ditempuh, yaitu
seperti digambarkan di atas. Setiap strategi tersebut dijelaskan
pada paparan berikut.
1) Menciptakan iklim religius yang kondusif. Strategi
ini dimaksudkan adalah bahwa sekolah, dalam hal ini
pihak pimpinan sekolah, guru-guru, dan staf sekolah
lainnya perlu memiliki komitmen yang sama untuk
merealisasikan (mengamalkan) nilai-nilai keagamaan atau
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam proses
pendidikan di sekolah. Pengamalan nilai-nilai agama itu,
terutama menyangkut akhlak mulia, seperti ketaatan
beribadah, kedisiplinan dalam bekerja, menegakkan
amanah, tanggung jawab, dan sikap jujur, memelihara
kebersihan dan keasrian lingkungan, dan menjalin
silaturahim (persaudaraan).
2) Menata iklim sosio-emosional. Sekolah merupakan
lingkungan yang diharapkan dapat mengembagkan
kompetensi sosial dan emosional siswa. Untuk itu sekolah
perlu memfungsikan dirinya sebagai lingkungan yang
mendukung berkembangnya kedua kompetensi siswa
tersebut. Beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian
terkait dengan hal itu, di antaranya menyangkut : (a)
hubungan interpersonal yang positif antar pimpinan, guru,
staf, dan siswa; (b) sikap dan perlakuan guru terhadap
siswa yang penuh kasih sayang, dan respek teehadap
pribadi siswa; dan (c) kepemimpinan kepala sekolah yang
berwibawa dan bijak.
3) Membangun budaya akademik dalam hal ini
pimpinan sekolah dan guru-guru perlu menampilkan
dirinya sebagai figur atau panutan yang memberikan
teladan kepada para siswa dalam membangun budaya
akademik. Budaya akademik tersebut adalah sikap mental,
kebiasaan, dan perilaku yang terkait dengan proses
pengembangan intelektual, dan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tremasuk di dalamnya aspek
kejujuran akademik (tidak mencotek atau menjadi
plagiator; dan etos belajar sepanjang hayat, yang
diwujudkan dalam aktivitas kedisiplinan belajar, kebiasaan
membaca buku, mengerjakan tugas-tugas tepat waktu, dan
mencari informasi dari berbagai media (cetak dan
elektronik) yang terkait dengan materi pelajaran atau ilmu
pengetahuan lainnya yang positif.
4) Terpadu dengan proses pembelajaran. Cara yang
dapat ditempuh oleh guru dalam menanamkan karakter
(akhlak mulia), di antaranya adalah (a) memberi teladan
kepada siswa dalam bertutur kata yang santun, berpakaian
yang bersih dan sopan (menutup aurat), dan disiplin dalam
mengajar; (b) mengaitkan nilai-nilai karakter dengan
materi pelajaran; (c) memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengemukakan pendapat, atau mengajukan
pertanyaan; (d) bersikap objektif dalam memberikan nilai;
(e) memberikan reward (penghargaan/pujian) kepada
siswa yang berprestasi atau berperilaku baik, dan
memberikan hukuman yang bersifat edukatif kepada siswa
yang berperilaku kurang baik; dan (d) membangun sikap
toleransi, saling menghargai, dan tolong menolong di
antara siswa.
5) Terpadu dalam program bimbingan dan konseling.
Dalam pelaksanaannya, guru bimbingan dan konseling
atau konselor dapat memasukkannya ke dalam empat
bidang bimbingan, yaitu bidang bimbingan pribadi, sosial,
akademik, dan karier. Tujuan bimbingan dan konseling
pribadi, yaitu mampu mengembangkan karakter personal,
mampu mengaktualisasikan karakter kejujuran,
kedisiplinan, self-respect, self-control, komitmen,
kompeten, daya juang, dan estetika. Bimbingan dan
konseling sosial ialah proses bantuan keda individu agar
dapat memahami norma, aturan, atau adat yang dijunjung
tinggi di lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat,
dan mampu menyesuaikan diri terhadap norma tersebut
secara positif dan konstruktif. Bimbingan dan konseling
akademik terkait dengan pengembangan karakter siswa,
maka bimbingan belajar diorientasikan untuk membangun
kesadaran untuk belajar sepanjang hayat, minat (perasaan
senang) membaca (memiliki budaya baca), menghidar dari
mencontek, bersikap rasional dan objektif, dan
berorientasi masa depan.bimbingan dan konseling karier
merupakan pemberian kepada siswa agar memiliki
kemampuan untuk menuntaskan tugas-tugas
perkembangan kariernya, pemahaman tentang kompetensi
yang dipersyaratkan suatu pekerjaan, penguasaan
informasi tentang pendidikan dan dunia kerja, dan
semangat interpreneurship (kewiraswastaan).
6) Terpadu dalam kegiatan ekstrakurikuler. Nilai-nilai
karakter yang dapat dikembangkan melalui kegiatan ini di
antaranya: kedisiplinan, kejujuran, sportivitas, tanggung
jawab, kebersamaan, toleransi, keberanian, dan kehalusan
budi.
7) Bekerja sama dengan pihak lain. Untuk membangun
karakter para siswa, sekolah dapat juga bekerja sama
dengan pihak lain, baik instansi pemerintah atau swasta,
organisasi kemasyarakatan, maupun para pengusaha.
c. Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi
anak mempunyai peranan yang cukup penting bagi
perkembangan dirinya. Melalui kelompok sebaya, anak dapat
memenuhi kebutuhannya untuk belajar berinteraksi sosial
(berkomunikasi dan bekerja sama), belajar menyatakan pendapat
dan perasaan, belajar merespons atau menerima pendapat dan
perasaan orang lain, belajar tentang norma-norma kelompok,
dan memperoleh pengakuan dan penerimaan sosial.
Pengaruh kelompok teman sebaya terhadap anak bisa
positif atau negatif. Berpengaruh positif, apabila para anggota
kelompok itu memiliki sikap dan perilakunya positif, atau
berakhlak mulia. Sementara yang negatif, apabila para anggota
kelompoknya berperilaku menyimpang, kurang memiliki
tatakrama, atau berakhlak buruk.
Terkait dengan pengaruh negatif dari kelompok sebaya
terhadap anak, Healy dan Browner menemukan bahwa 67% dari
3.000 anak nakal di Chicago, ternyata karena mendapat
pengaruh dari teman sebayanya.
Dewasa ini kita sering mendengar di media massa atau
melihat sendiri tentang perilaku anarkhis atau tindak kriminal
dari kelompok remaja, seperti geng motor. Kelompok remaja ini
terbentuk, karena ada kesamaan nasib, dan sikap konformitas di
antara mereka, seperti sama-sama mengalami masalah dalam
keluarga (broken home), minat atau keinginan untuk tampil
sama, bergaya bahasa yang sama, gaya berpakaian yang relatif
sama, dan sikap solidaritas yang kuat.
Untuk mencegah terjadinya penyimpangan perilaku
remaja, khususnya dalam kelompok teman sebaya, maka perlu
diperhatikan beberapa hal berikut.
 Orang tua perlu menjalin hubungan yang harmonis
antara mereka sendiri (suami-istri) dan merekadengan
anak. Hal ini perlu, karena pada umumnya perilaku
menyimpang anak disebabkan oleh keluarga yang tidak
harmonis (broken home).
 Orang tua perlu mencurahkan kasih sayang dan
perhatian kepada anak. Dengan kasih sayang ini anak
merasa betah di rumah, sehingga dia dapat mengurangi
perhatiannya untuk bermain ke luar.
 Orang tua berdiskusi dengan anak tentang cara
memilih atau bergaul dengan teman.
 Orang tua harus menjadi suriteladan dan
menanamkan nilai-nilai akhlak mulia kepada anak, seperti
persaudaraan, tolong menolong, dan semangat dalam
belajar.
 Sekolah perlu diciptakan sebagai lingkungan belajar
yang memfasilitasi perkembangan siswa, baik aspek fisik,
intelektual, emosi, sosial, maupun moral-spiritual.
d. Media Massa
Salah satu media massa yang dewasa ini sangat menarik
perhatian warga masyarakat, khususnya anak-anak adalah
televisi. Televisi sebgaia media massa elektronik mempunyai
misi untuk memberikan informasi, pendidikan, dan hiburan
kepada para pemirsanya. Dilihat dari sisi ini televisi bisa
memberikan dampak positif bagi warga masyarakat (termasuk
anak-anak), karena melalui berbagai tayangan yang disajikannya
mereka memperoleh : (a) berbagai informasi yang dapat
memperluas wawasan pengetahuan tentang berbagai aspek
kehidupan; (b) hiburan, baik yang berupa film maupun musik;
dan (c) pendidikan, baik yang bersifat umum maupun agama.
Tayangan-tayangan televisi itu di samping memberikan
dampak positif, juga telah memberikan dampak negatif terhadap
gaya hidup warga masyarakat, terutama anak-anak. Tayangan
televisi yang berupa hiburan, baik film maupun musik banyak
yang tidak cocok ditonton oleh anak-anak.
Jika kita perhatikan tayangan-tayangan film dan musik
(terutama dangdut) di televisi dewasa ini semakin banyak yang
tidak memedulikan norma agama atau akhlak mulia. Tidak
sedikit aktor-aktris, atau para biduan yang dalam penampilannya
senang berpakaian dan bergaya tidak senonoh (berbau porno,
buka-buka aurat), atau adegan-adegan film (dalam dan luar
negeri) yang mempertontonkan kekerasan (sadis dan agresif),
pornoaksi, tahayul, khurafat, mistik, atau kemusyrikan. Di
samping itu, banyak juga beredar VCD porno yang bebas dibeli
oleh masyarakat, termasuk juga remaja. Dampak dari itu semua,
berkembang perilaku asusila di kalangan masyarakat, seperti
pemerkosaan, hubungan seksual di luar nikah (free sex), bahkan
kehidupan prostitusi (pelacuran) di kalangan siswa sekolah
pertama dan atas.
Dalam menyikap tayangan televisi ini, Conny R.
Semiawan mengemukakan, bahwa “Sayangnya tidak semua
tayangan-tayangan tontonan itu cocok ditonton oleh anak.
Beberapa di antaranya bahkan ada yang bisa berpengaruh
negatif terhadap perkembangan anak. Bukan hanya mengganggu
terhadap jam belajarnya yang berkurang, tetapi lebih parah lagi
dapat merangsang berkembangnya perilaku-perilaku negatif
pada anak. Studi Betsch dan Dickenberger (1993), misalnya
menunjukkan bahwa anak-anak yang biasa menonton film yang
agresif cenderung berperilaku agresif pula”.
Sigelman dan Shaffer (1995) mengemukakan bahwa
televisi itu memiliki pengaruh yang negatif dan positif.
Pengaruh yang negatif ditunjukkan dari hasil penelitian, bahwa
anak-anak yang menonton tayangan kekerasan dalam televisi
perilakunya cenderung agresif. Sementara itu, televisi juga dapat
memberikan pengaruh yang positif kepada anak, yaitu apabila
tayangan yang ditonton anak adalah program yang baik, seperti
tayangan prosocial bahavior (tingkah laku sosial yang positif,
seperti membantu orang lain dan kerja sama atau kooperasi),
maka anak cenderung berperilaku prososial.
Meskipun kita sudah tahu dampak negatif televisi bagi
anak, tetapi tidak mungkin kita melarang anak untuk
menontonnya. Sebagai jalan keluarnya, Santrock dan Yussen
mengemukakan saran-saran dari Dorothy dan Singer, tentang
bagaimana membimbing anak dalam menonton televisi, yaitu
sebagai berikut.
 Kembangkan kebiasaan nonton yang baik sejak
awal kehidupan anak.
 Doronglah anak untuk menonton program-program
khusus secara terencana, bukan menonton sembarang
program. Aktiflah bersama anak disaat menonton
program-program yang terencana tersebut.
 Carilah program-program yang menonjolkan peran
anak dalam kelompok usianya.
 Menonton televisi hendaknya tidak digunakan untuk
mengganti kegiatan lain.
 Lakukan pembicaraan dengan anak tentang tema-
tema yang sensitif. Berilah mereka kesempatan untutk
bertanya tentang program tersebut.
 Seimbangkan antara aktivitas membaca (belajar)
dengan menonton televisi. Anak-anak dapat
menindaklanjuti program-program televisi yang menarik.
 Bantulah anak dalam mengembangkan jadwal
menonton yang seimbang antara program pendidikan,
aksi, komedi, seni, fantasi, olahraga, dan seterusnya.
 Tunjukkan contoh-contoh positif yang menunjukkan
bagaimana etnik (suku bangsa, seperti Sunda, Jawa,
Padang, dan suku-suku lainnya) yang bervariasi dan
kelompok budaya berkontribusi (memberi sumbanga)
dalam menciptakan suasana masyarakat yang lebih baik.
 Tunjukkan contoh-contoh positif dari wanita yang
berkompeten, baik di rumah maupun di dalam profesi.
Di jaman era globalisasi dan seiring perkembangan
teknologi, banyak alat komunikasi dan barang elektronik lainnya
yang menyediakan berbagai media massa yang berfungsi
menyalurkan dan menginfokan hal dan berita-berita yang akurat
serta masalah khayalan lainnya. Dalam media massa contohnya
facebook, banyak memuat hal yang senonoh. Media tersebut
mampu menghubungkan orang-orang di seluruh belahan dunia.
Melalui media massa kita dapat berkomunikasi jarak jauh,
berinteraksi, berkenalan, berekspresi, berbagi (sharing),
berbisnis, dan hal-hal lainnya. Media massa pula yang
menjerumuskan kita ke jurang kegelapan. Jadi dalam hal ini
peran orang tua, guru, dan orang terdekat yang dipercaya baik
sangat penting dalam menumbuhkembangkan kepribadian anak
sebaik mungkin hingga mereka menjadi pribadi yang elegent,
bijaksana, wibawa, baik, disiplin, disegani, berkarakter baik, dan
berbudi pekerti yang luhur.

Anda mungkin juga menyukai