Anda di halaman 1dari 21

II-1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum
Pencemaran udara umumnya diartikan sebagai udara yang mengandung suatu
atau lebih bahan kimia dalam konsentrasi yang cukup tinggi untuk dapat
menyebabkan gangguan atau bahaya terhadap manusia, binatang, tumbuh-
tumbuhan, dan harta benda (Azizah, 2013).

Udara dikatakan telah tercemar apabila telah terjadi perubahan terhadap


komposisi diatas terutama terjadi penambahan gas lain yang menimbulkan
gangguan (Prayudi dan Susanto, 2001).

Pencemaran udara adalah menurunnya kualitas udara sehingga udara tidak dapat
menjalankan fungsi sebagaimana mestinya sehingga berdampak buruk bagi
kesehatan manusia dan juga lingkungan. Salah satu penyebab terjadinya
pencemaran udara adalah pertumbuhan penduduk yang meningkat terutama pada
daerah urban. Kegiatan transportasi, industri, dan aktivitas penduduk juga dapat
menjadi potensi pencemaran udara (Diazander A dkk, 2012).

Selain itu, pencemaran udara juga didefinisikan sebagai masuknya zat pencemar
(berbentuk gas-gas dan aerosol) ke dalam udara. Masuknya zat pencemar ke dalam
udara dapat secara alamiah, misalnya dari asap kebakaran hutan, akibat gunung
berapi, debu meteor, juga sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia,
misalnya akibat pembuangan sampah, baik akibat proses dekomposisi ataupun
kebakaran serta kegiatan rumah tangga. Pencemaran udara pada suatu tingkat
tertentu dapat merupakan campuran dari satu atau lebih bahan pencemar, baik
berupa padatan, cairan atau gas yang masuk terdispersi ke udara dan kemudian
menyebar ke lingkungan sekitarnya (Abyati, 2015).

Menurut Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian


Pencemaran Udara, emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang
dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara
ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai dan/atau tidak mempunyai
potensi sebagai unsur pencemar.
II-2

2.2 Penyebab Pencemaran Udara


Perkembangan yang pesat saat ini, khususnya dalam industri dan teknologi, serta
meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil
(minyak) menyebabkan udara yang kita hirup disekitar menjadi tercemar oleh gas-
gas buangan hasil pembakaran. Secara umum penyebab pencemaran udara ada 2
macam, yakni (Pohan, 2002):
a. Faktor internal (secara alamiah), seperti:
1. Debu yang beterbangan akibat tiupan angin
2. Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gas-gas
vulkanik
3. Proses pembusukan sampah organik.

b. Faktor eksternal (karena ulah manusia), seperti:


1. Hasil pembakaran bahan bakar fosil
2. Debu / serbuk dari kegiatan industri
3. Pembakaran zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara.

2.3 Sumber Pencemaran Udara


Menurut Cahyono (2011), sumber pencemaran udara dapat dibagikan
berdasarkan dua kategori besar, yaitu:
1. Sumber Perkotaan dan Industri
Umumnya sumber perkotaan adalah sumber pencemar bergerak yang berasal
dari aktivitas kendaraan bermotor yang menghasilkan emisi. Sedangkan sumber
pencemar dari industri adalah sumber tidak bergerak yang merupakan sumber titik
yang berasal dari cerobong. Walaupun di dalam kawasan industri besar akan
ditemui juga sumber garis, misalnya jalan penghubung di kawasan industri tersebut,
maupun sumber area.

2. Emisi Alami
Emisi alami yaitu emisi yang dihasilkan dari proses alam seperti letusan gunung
berapi yang menghasilkan gas dan partikulat yang dapat mencemari kualitas udara
ambien, kebakaran hutan akibat musim kemarau yang berkepanjangan.

Menurut Mukono (2011), sumber pencemaran udara dibagi menjadi dua, yaitu,
sumber pencemaran tidak bergerak dan sumber pencemaran bergerak. Sumber
II-3

pencemaran tidak bergerak misalnya seperti industri yang mempunyai cerobong


asap yang menghasilkan bahan pencemar baik gas maupun partikulat. Sedangkan
sumber pencemaran bergerak semua alat transportasi yang berbahan bakar fosil.

Penggolongan polutan di udara berdasarkan asal mula dan kelanjutan


perkembangannya dibedakan menjadi dua, yaitu (Ryadi, 1982):
a. Polutan Primer
Polutan primer merupakan polutan yang dihasilkan dari aktivitas manusia
maupun karena proses alami. Jadi polutan ini merupakan polutan yang sama
seperti saat dibebaskan dari sumber pencemarannya. Contoh polutan primer
yaitu karbon monoksida (CO), CO2, SO2, NO2, HC, dan Partikulat.
b. Polutan Sekunder
Polutan sekunder merupakan polutan yang terbentuk akibat hasil reaksi dari
polutan primer dengan komponen lainnya. Polutan ini sudah berubah karena
reaksi tertentu seperti foto-kimia dan reaksi katalisis.

2.4 Jenis-Jenis Pencemaran Udara


Menurut Pohan (2002), pencemaran udara dapat dibagi menjadi dua macam
berdasarkan asalnya, yaitu:
a. Pencemaran Udara Alami
Masuknya zat pencemar ke dalam atmosfer yang disebabkan oleh proses-proses
alam seperti asap kebakaran hutan, debu gunung berapi, pancaran garam dari laut,
debu meteor dan sebagainya.

b. Pencemaran Udara Non-Alami


Masuknya zat pencemar yang diakibatkan bukan dari proses alam, melainkan
aktivitas manusia yang tanpa disadari hasil sampingannya berupa gas-gas yang
beracun, asap-asap partikel halus yang menyebabkan kualitas udara menurun
seperti aktivitas kendaraan bermotor, kegiatan industri dan kegiatan pada domestik.

2.5 Klasifikasi Bahan Pencemaran Udara


Menurut Mukono (2011), bahan pencemaran udara atau polutan dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu polutan primer dan polutan sekunder.
II-4

2.5.1 Polutan Primer


Polutan primer adalah polutan yang dikeluarkan langsung dari sumbernya
yang dapat berupa gas dan partikel.
1. Gas
Gas terdiri dari:
a. Senyawa Karbon, yaitu senyawa Hidrokarbon, Hidrokarbon Teroksigenasi
dan Karbon Oksida (CO atau CO2)
b. Senyawa Sulfur, yaitu Sulfur Oksida
c. Senyawa Nitrogen, yaitu Nitrogen Oksigen dan Amoniak
d. Senyawa Halogen, yaitu Flour, Klorin, Hidrogen Klorida, Hidrokarbon
Terklorinasi dan Bromin.

2. Partikel
Partikel yang terdapat pada atmosfer memiliki karakteristik spesifik, dapat
berupa zat padat maupun suspensi aerosol cair. Bahan partikel tersebut dapat
berasal proses kondensasi, dispersi (misalnya proses menyemprot (sprying)
maupun proses erosi bahan tertentu. Asap (smoke) sering digunakan untuk
campuran bahan partikulat (particulate matter), uap (fumes), gas dan kabut
(mist). Adapun pengertian dari masing-masing diatas yaitu:
a. Asap (Smoke): Partikel karbon yang dihasilkan dari pembakaran yang tidak
sempurna (sering juga disebut sebagai jelaga)

b. Debu / Partikulat (Particulate Matter): Partikel padat yang dapat dihasilkan


dari kegiatan manusia maupun proses alam dan merupakan hasil dari proses
pemecahan suatu bahan
c. Uap (Fume): Partikulat yang merupakan hasil dari proses sublimasi, distilasi
atau reaksi kimia
d. Kabut (Mist): Partikel cair yang berasal dari proses reaksi kimia dan
kondensasi uap air. Berdasarkan ukuran, secara garis besar partikel dapat
merupakan suatu:

a. Partikel debu kasar (coarse particle), yaitu partikel yang ukuran diameternya
> 10 mikron
II-5

b. Partikel debu, uap dan asap, yaitu partikel yang ukuran diameternya antara 1
sampai 10 mikron
c. Aerosol, yaitu partikel yang ukurannya < 1 mikron.

2.5.2 Polutan Sekunder


Polutan sekunder adalah polutan yang terjadi akibat reaksi oleh dua atau lebih
bahan kimia di atmosfer, misalnya seperti reaksi fotokimia. Polutan sekunder ini
mempunyai sifat fisik dan sifat kimia yang tidak stabil. Contoh dari polutan
sekunder ini adalah Ozon, Formaldehid dan PAN (Peroxy Acyl Nitrat). Proses
kecepatan dan arah reaksinya dipengaruhi beberapa faktor, yaitu:
a. Konsentrasi relatif dari bahan reaktan
b. Derajat fotoaktivasi
c. Kondisi iklim
d. Topografi lokal dan adanya embun

2.6 Proses dan Penyebaran Pencemaran Udara


Setiap zat yang dipancarkan ke udara akan mengalami pengangkutan,
pencampuran dan penyebaran (dispersi) sesuai dengan dinamika udara. Maka perlu
ditinjau dan dipelajari proses-proses fisis yang berlaku di atmosfer, seperti (Pohan,
2002):
a. Proses pengangkutan / transportasi
b. Proses dispersi
c. Proses turbulensi dan dilusi
d. Proses perubahan fasa air, dan sebagainya.

Menurut Abyati (2015), alam mempunyai prosesnya sendiri yang secara alamiah
dapat mengurangi maupun memindahkan konsentrasi berbagai partikulat tersebut
sebagai akibat faktor meteorologi. Pencemar udara akan dipancarkan oleh
sumbernya dan kemudian mengalami transportasi, dispersi, atau pengumpulan
karena kondisi meteorologi maupun topografi.

2.6.1 Proses Penyebaran (Adveksi)


Penyebaran zat pencemar yang diemisikan dari sumbernya ke udara diakibatkan
oleh adanya pengaruh down wind. Dalam perhitungan harga kecepatan dan arah
II-6

angin diperlukan sebagai indikasi pergerakan udara di suatu daerah. Bahkan untuk
jarak yang pendek, profil pergerakan udara biasanya akan sangat kompleks (Abyati,
2015).

2.6.2 Proses Pengenceran (Dilusi)


Pengenceran dan pencampuran zat pencemar di udara diakibatkan oleh adanya
gerakan turbulen. Kondisi udara pada umumnya mempunyai
kecepatan pengenceran yang diakibatkan oleh pencampuran atau turbulensi
(Abyati, 2015).

2.6.3 Proses Perubahan (Difusi)


Zat pencemar selama berada di udara akan mengalami perubahan fisik dan
kimia, sehingga membentuk zat pencemar sekunder. Smog adalah contoh,
numerical atmospheric diffusion model merupakan hasil interaksi di udara antara
oksida nitrogen, hidrokarbon, dan energi matahari (Abyati, 2015).

2.6.4. Proses Penghilangan (Dispersi)


Zat pencemar di atmosfer akan mengalami penghilangan atau pengurangan
karena adanya proses-proses meteorologi, seperti hujan. Pola gerakan atmosfer
sangat berperan dalam penyebaran polutan pencemar yang masuk ke dalam
atmosfer (udara ambien). Faktor-faktor dinamika yang mempengaruhi adalah
(Abyati, 2015):
1. Transportasi atau pengangkutan zat oleh aliran udara horizontal atau angin.
2. Transportasi atmosfer vertikal atau konveksi
3. Difusi, baik difusi molekuler maupun difusi turbulensi.

2.7 Faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Udara Ambien


Faktor yang mempengaruhi pencemaran udara ambien, antara lain sebagai
berikut:
1. Karakteristik Emisi

Karakteristik dari pencemar udara dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut:
II-7

Tabel 2.1 Karakteristik Pencemar Udara


Pencemar Karakteristik Fisik Tingkat Konsentrasi

 Tingkat konsentrasi latar


 Gas yang tidak berwarna dengan iritasi, belakang (background)
bau yang menyegat dalam rentang 0,04 sampai
 Dapat dideteksi oleh rasa pada 6 ppb
SO2
konsentrasi 0,3 sampai 1 ppm  Konsentrasi rata-rata
 Sangat larut dalam air (10,5 gr/100 cm3 maksimum per jam di area
pada 293ºK. perkotaan kadang melebihi
1 ppm.

 Tingkat konsentrasi
 Tidak berwarna dan tidak berbau background dari 10 sampai
 Tidak mudah terbakar dan sedikit larut dengan 100 ppt
NO
dalam air  Tingkat di perkotaan yang
 Bersifat toksik. telah diteliti lebih besar
dari 500 ppb.
 Tingkat konsentrasi
 Berwarna coklat kemerahan, bau background dari 10 sampai
menyengat, dan sangat korosif dengan 500 ppt
NO2
 Menyerap cahaya lebih banyak dari  Konsentrasi di perkotaan
spektrum yang terlihat. telah mencapai nilai
melebihi 500 ppb.
 Rata-rata konsentrasi
 Tidak berwarna, tidak berbau, mudah background di 0,09 ppm
CO terbakar, gas toksik, dan sedikit larut  Tingkat perkotaan
dalam air. disekitar jalan raya dapat
melebihi 100 ppm.
 Rentang konsentrasi
background berkisar 20-60
 Tidak berwarna, toksik, sedikit larut ppb
O3
dalam air.  Tingkat polusi di
perkotaan berkisar 100-
500 ppb.
Sumber: Aulia et al., dalam Flagon et al., 2018
2. Karakteristik Meteorologi

a. Arah Angin & Kecepatan Angin


Konsentrasi polutan banyak dipengaruhi oleh arah dan kecepatan angin.
Kecepatan angin berfungsi untuk pengenceran polutan dan dispersi polutan
dari sumber emisi. Arah angin berfungsi untuk melihat arah sebaran polutan
di permukaan bumi. Menurut Latini et al. (2002), pada kecepatan angin
rendah, polutan cenderung menumpuk di dekat sumber dan akan berkurang
jika kecepatan angin bertambah. Angin juga bergantung pada topografi
wilayahnya. Bangunan-bangunan tinggi di daerah perkotaan mengakibatkan
II-8

kecepatan angin berkurang dan arah angin berubah. Daerah perkotaan dengan
batas wilayah pegunungan dan pantai akan dipengaruhi oleh angin gunung
dan angin laut (Marhaeni, 2018).

b. Kelembaban
Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang
tergantung pada suhu udara dan radiasi matahari. Kelembaban udara memiliki
hubungan keterbalikan dengan radiasi matahari dan suhu udara. Kelembaban
udara berkaitan dengan pembentuk awan di atmosfer dan menghalangi radiasi
matahari yang masuk ke permukaan bumi. Udara yang berkabut akibat
kelembaban udara yang tinggi juga berakibat pada berkurangnya jarak
pandang karena adanya konsentrasi partikel yang tersuspensi. Pada
pembentukan polutan sekunder seperti ozon, tingginya kelembaban udara
dapat membantu reaksi pembentukan partikel sekunder di atmosfer.
Sebaliknya secara umum, kelembaban relatif dipengaruhi oleh curah hujan
yang dapat mengurangi konsentrasi polutan di udara akibat terjadi proses
pencucian polutan (Marhaeni dalam Azmi et al., 2018). Kelembaban udara
yang relatif rendah (< 60%) di daerah tercemar SO2, akan mengurangi efek
korosif dari bahan kimia tersebut. Pada kelembaban yang lebih tinggi atau
sama dengan 80% di daerah yang dicemari oleh SO2, maka efek korosifnya
semakin meningkat (Mukono, 2011).

c. Temperatur
Suhu yang menurun pada permukaan bumi dapat menyebabkan
peningkatan kelembapan udara sehingga dapat meningkatkan efek korosif
bahan pencemar di daerah yang udaranya tercemar. Pada suhu yang
meningkat, akan meningkat pula kecepatan suatu reaksi dari bahan kimia
(Mukono, 2011).

d. Stabilitas Atmosfer
Stabilitas atmosfer dipengaruhi oleh radiasi matahari, suhu udara, dan
kecepatan angin. Kondisi stabilitas atmosfer mempengaruhi dispersi zat polutan,
baik vertikal maupun horizontal. Secara umum, stabilitas atmosfer terbagi
menjadi tidak stabil, stabil, dan netral. Kondisi stabilitas atmosfer tidak stabil
II-9

terjadi jika suhu paket udara lebih kecil dari suhu lingkungan, sehingga suhu
paket udara menaikkan polutan secara vertikal, sedangkan pada kondisi stabil
suhu paket udara lebih besar dari suhu lingkungan, sehingga paket udara akan
kembali ke kondisi semula sehingga polutan tidak mudah terdispersi karena
udara terhambat. Kondisi stabilitas atmosfer netral apabila suhu paket udara
sama dengan suhu lingkungan dan menyebabkan penyebaran polutan bergerak
seimbang, baik secara horizontal maupun vertikal (Marhaeni, 2018). Stabilitas
atmosfer mempunyai peranan penting dalam pengenceran kadar polutan akibat
faktor difusi dan angin. Untuk kondisi atmosfer yang tidak stabil (umumnya
terjadi pada tengah hari di atas jalanan beraspal), udara cenderung bergerak ke
atas sehingga kadar polutan per satuan volume yang terakumulasi di atmosfer
menjadi lebih kecil atau terjadi proses dispersi polutan yang berakibat pada
penurunan beban konsentrasi polutan. Sedangkan untuk kondisi atmosfer yang
stabil (umumnya terjadi pada pagi dan sore hari), udara cenderung akan bergerak
ke bawah/ turun sehingga kadar polutan per satuan volume menjadi besar atau
memperlambat proses dispersi polutan yang berakibat penambahan kadar
polutan (Dwirahmawati, 2018).

3. Karakteristik Daerah Penerima


Di lapisan atmosfer teratas, udara sering kali mengalami percepatan yang
kecil dantekanan rendah sehingga gaya-gaya yang bekerja pada bagian udara
pada kasus ini akan berimbang dan gradien arah pergerakan udara sejajar dengan
garis tekanan. Dekat dengan permukaan bumi, gaya gravitasi mulai berperan
sehingga mengakibatkan perubahan gradien arah pergerakan udara terhadap
ketinggian.Untuk sebuah daerah, efek sirkulasi angin terjadi tiap jam, tiap hari,
dan dengan arah dan kecepatan yang berbeda-beda. Distribusi frekuensi dari
arah angin menunjukkan daerah mana yang paling tercemar oleh polutan.

Di lapisan atmosfer teratas, udara sering kali mengalami percepatan yang kecil
dan tekanan rendah sehingga gaya-gaya yang bekerja pada bagian udara pada kasus
ini akan berimbang dan gradien arah pergerakan udara sejajar dengan garis tekanan.
Dekat dengan permukaan bumi, gaya gravitasi mulai berperan sehingga
mengakibatkan perubahan gradien arah pergerakan udara terhadap ketinggian.
II-10

Untuk sebuah daerah, efek sirkulasi angin terjadi tiap jam, tiap hari, dan dengan
arah dan kecepatan yang berbeda-beda. Distribusi frekuensi dari arah angin
menunjukkan daerah mana yang paling tercemar oleh polutan (Huboyo dan
Budiharjo, 2008).

2.8 Dampak Pencemaran Udara


2.8.1 Dampak Pencemaran Udara Terhadap Kesehatan Manusia
Data epidemi menunjukkan bahwa pemaparan partikulat dihubungkan dengan
peningkatan terjadinya angka sakit saluran pernapasan, bronkitis, penurunaan
fungsi ginjal, serta angka kematian. Dalam waktu pemaparan yang pendek,
pemaparan partikulat juga meningkatkan timbulnya angka sakit asma.

Potensi pengaruh patikulat terhadap kesehatan tidak hanya ditentukan oleh


tingkat konsentrasi, tetapi juga oleh kondisi fisik dan kimia yang terkandung di
dalamnya. Sebagai contoh partikulat dengan ukuran > 10 m dapat disisihkan
sebelum masuk saluran pernapasan tetapi untuk yang berukuran < 2 atau 3 m
dapat mencapai paru-paru. Hal ini dapat menunjukkan pentingnya mengetahui
ukuran partikel sebagai pertimbangan. Fine Particle terbentuk dari senyawa sulfat
dan senyawa sekunder lain yang mungkin bersifat toksik. Coarse Particle
didominasi oleh adanya dust. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk
melakukan pemantauan kualitas udara, terutama yang bersifat inhalable,
berdasarkan ukuran partikel yang < 2,5 m serta antara 2,5 – 10 m (Cooper dan
Alley, 1994).

Dampak pencemaran udara tidak hanya berpengaruh dan berakibat kepada


lingkungan alam saja, akan tetapi berakibat dan berpengaruh pula terhadap
kehidupan tanaman, hewan dan juga manusia. Menurut WHO dalam Sujardi
(1996), efek kesehatan dari bahan pencemar udara adalah sebagai berikut :
1. Suspended Particulates dapat masuk ke paru dan dalam waktu yang lama dapat
mengiritasi bronchus (Saluran napas). SO2 diserap selama bernapas,
mengakibatkan iritasi saluran napas dengan kemungkinan spasme bronchus
2. Asam sulfur terjadi karena reaksi SO2 di udara, sangat mengiritasi. Mungkin
sangat menyebabkan spasme saluran napas.
II-11

Ketiga bahan pencemar (Suspended Particulates, SO2, Asam Sulfur)


menyebabkan penyakit yang dikenal sebagai London Smog Complex. Dalam jangka
pendek mengakibatkan penyakit pada pasien yang mempunyai kelainan saluran
napas, pengurangan fungsi paru (kapasitas vital paru) dan dapat menyebabkan
kematian. Dalam jangka panjang meningkatkan frekwensi infeksi penyakit
pernapasan pada anak dan gejala penyakit saluran napas pada orang dewasa.

Dengan memperkirakan makin mudahnya tiap orang memiliki kenderaan


pribadi, maka situasi pencemaran udara di waktu mendatang makin meningkat.
Emisi gas buang kenderaan bermotor diyakini mengakibatkan gangguan kesehatan
masyarakat. Gangguan yang lazim dikenal akibat emisi gas buang cerobong ini
adalah : gangguan saluran pernapasan, sakit kepala, iritasi mata, menjadi pemicu
serangan asma, penyakit jantung dan penurunan kualitas intelegensia pada anak–
anak. Beberapa penelitian terakhir menemukan bahwa gas buang kenderaan
bermotor juga menyebabkan kanker. Terjadinya pencemaran udara oleh sektor
transportasi adalah akibat penggunaan bahan bakar yang dipergunakan sebagai
penggerak bagi kenderaan yang menjadi sarana utama sektor transportasi tersebut.
Penguapan bahan bakar, sistem ventilasi mesin dan yang terutama adalah buangan
dari knalpot hasil pembakaran bahan bakar yang merupakan pencampuran ratusan
gas dan aerosol menjadi penyebab utama keluarnya berbagai pencemar dari sektor
transportasi (Efriyanti, 2007).

2.8.2 Dampak Pencemaran Udara Terhadap Material dan Tanaman


Pencemaran udara berpengaruh pada material dengan proses soiling atau korosi.
Tingginya kadar asap dan partikulat dihubungkan dengan terjadinya proses korosi
antara pelapis dan struktur material dengan senyawa asam atau alkalin, terutama
sulfur dan materi korosif. Ozon sangat efektif dalam mempercepat proses korosi
karet. Senyawa pencemar yang diketahui sebagai Phytoxicants adalah SO2. Peroxy
Acetyle Nitrate (PAN-hasil proses fotokimia pada smoge), serta etana. Disamping
itu ada jumlah sedikit gas klorin, hidrogen klorida, amonia, dan merkuri. Secara
umum polutan akan masuk ke tubuh tanaman melalui proses respirasi, kemudian
akan merusak klorofil dan menghambat fotosintesis tanaman. Kerusakan yang
II-12

ditimbulkan, dapat dilihat dari daunnya, dimulai dari penurunan tingkat


pertumbuhan hingga kematian tanaman (Cooper dan Alley,1994).

2.8.3 Dampak Terhadap Hewan


Dampak terhadap hewan dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung,
secara langsung terjadi bila ada interaksi melalui sistem pernafasan sebagaimana
terjadi pada manusia. Dampak tidak langsung terjadi melalui suatu perantara, baik
tumbuhan atau perairan yang berfungsi sebagai bahan makanan hewan. Pengaruh
Oksida Nitrogen (NOx) pada dosis tinggi terhadap hewan berupa terjadinya gejala
paralisis sistem syaraf dan konvulusi, dari hasil penelitian ditunjukkan bahwa
pemaparan NO dengan dosis 2500 ppm terhadap tikus akan berpengaruh
kehilangan kesadaran 6-7 menit, bila pemaparan ini terjadi selama 12 menit, maka
tikus tersebut akan mati. Begitu pula pengaruh NO2 terhadap hewan, N02 yang
bersifat racun, pada konsentrasi lebih dari 100 ppm akan bersifat letal terhadap
kebanyakan hewan dan 90 % kematian tersebut disebabkan oleh gejala edema
pulmonari. NO2 pada konsentrasi 800 ppm akan berakibat kematian 100 %.
Konsentrasi SO2 400-800 ppm akan berpengaruh langsung dan sangat berbahaya,
meskipun hanya terjadi kontak secara singkat (Budiyono, 2001).

2.9 Pengukuran Emisi Sumber Tidak Bergerak


Menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 paragraf 2 tentang emisi
sumber tidak bergerak pasal 28 yaitu: Penanggulangan pencemaran udara sumber
tidak bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan baku mutu emisi yang telah
ditetapkan, pemantauan emisi yang keluar dari kegiatan dan mutu udara ambien di
sekitar lokasi kegiatan, dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan
teknis pengendalian pencemaran udara.

2.9.1 Pengukuran Secara Manual


Menurut Permen LHK No. P.19 Tahun 2017 Tentang Baku Mutu Emisi Bagi
Usaha dan/atau Kegiatan Industri Semen Pasal 13 Ayat 2 bahwasanya pemantauan
emisi dengan cara manual dilakukan paling sedikit 1 kali dalam 3 bulan.
Pemantauan emisi manual PT Semen Padang dilakukan setiap satu semester sekali
atau sekali per enam bulan. Pengukuran tersebut dilakukan oleh laboratorium
lingkungan terakreditasi di lembaga akreditasi. Pemantauan emisi manual tersebut
II-13

dilakukan pada kiln, unit penggilingan dan atau pencampuran (raw mill, coal mill,
cement mill), unit pengumpulan debu pada alat transportasi unit produksi,
pengepakan dan pengantongan.

2.9.2 Pengukuran Secara Terus Menerus (Continuous)


Menurut Permen LHK No. P.19 Tahun 2017 Tentang Baku Mutu Emisi Bagi
Usaha dan/atau Kegiatan Industri Semen Pasal 9 Ayat 2 bahwasanya pemantauan
emisi dengan cara terus-menerus wajib menggunakan CEMS (Continuous Emission
Monitoring system). yang memiliki spesifikasi untuk memantau dan mengukur
parameter Partikulat, Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Oksida (NOx) dan laju alir.
Instrumen tersebut menggunakan sensor atau probe yang ada pada cerobong untuk
kemudian diproses dan dilakukan pembacaan pada monitor panel alat.

2.10 Perbandingan Hasil Pengukuran dengan Baku Mutu


Adapun landasan yang dipakai adalah Permen LHK No. 19 Tahun 2017 tentang
Baku Mutu Emisi Bagi Usaha dan /atau Kegiatan Industri Semen.

Tabel 2.2 Baku Mutu Udara Emisi

Sumber: Peraturan Menteri LHK No. 19 Tahun 2017

Catatan :
- Nilai baku mutu emisi :
II-14

A. Bagi industri semen beroperasi sebelum 31 Desember 1990


B. Bagi industri semen beroperasi 1 Januari 1990 sampai dengan 31 Desember
2013
C. Bagi industri semen mulai beroperasi 1 januari 2014
- Volume gas diukur dalam keadaan standar (250C dan tekanan 1 atmosfer) Kadar
maksimum baku mutu di atas dikoreksi terhadap 7% Oksigen (O2) pada kondisi
25oC, 760 mmHg.
- Pengukuran emisi dilakukan pada kondisi kering. (*) Diambil masing-masing
satu contoh uji emisi untuk unit : crusher, raw mill, kiln, dan cement grinding
pada masing-masing plant.
Adapun metode yang digunakan dalam pengukuran parameter udara emisi di
PT. Semen Padang dapat dilihat pada tabel 2.10.

Tabel 2.10 Metode Pengukuran Parameter Udara Emisi


METODE PARAMETER
SNI 7117.17-2009 Partikulat
UP.IK.24.01.01 (Combustion gas analyzer) Sulfur Dioksida (SO2)
UP.IK.24.01.01 (Combustion gas analyzer) Nitrogen Oksida (NOx)
SNI 7117.20:2009 Raksa (Hg)

Pengambilan contoh uji partikulat dilakukan secara isokinetik di mana titik-titik


lintas, kecepatan linier, komposisi gas buang, kandungan air gas buang dalam
cerobong harus ditentukan terlebih dahulu sehingga kecepatan linier gas buang
yang dihisap melalui nozzle sama dengan kecepatan linier gas buang di dalam
cerobong. Partikulat yang terkumpul pada filter dan dalam sampling
line ditentukan secara gravimetri.
2.11 Pengendalian Pencemaran Udara
Menurut Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara, pencemaran udara dapat diartikan sebagai masuknya atau
dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh
kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Sedangkan
pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau
II-15

penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara. Pengendalian


pencemaran udara meliputi pengendalian dari usaha dan/atau kegiatan sumber
bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak
bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya pengendalian sumber emisi
dan/atau sumber gangguan yang bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara
ambien.

Pengendalian Pencemaran udara dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu


(Soedomo, 2001):
1. Pengendalian Pencemaran Udara di Dalam Proses
Pengendalian pencemaran udara dapat dilakukan di dalam proses dan di luar
proses. Yang termasuk dalam pengendalian di dalam proses adalah sebagai berikut:
a. Memperbaiki proses agar sisa pembakaran seminimal mungkin
b. Memperbaiki proses agar bahan yang diproses terisolasi dari lingkungan
c. Memperbaiki kondisi proses//
d. Memperbaiki peralatan agar tidak terjadi kebocoran lingkungan
e. Pemasangan alat penangkap polutan pada aliran gas yang akan dibuang ke
lingkungan
f. Perancangan dan pemasangan cerobong yang sesuai dengan ketentuan dan
dengan memperhatikan kondisi lingkungan (Soedomo, 2001).

2. Teknik Pengendalian Emisi Gas


Teknik yang dipilih tergantung pada karakteristik fisik dan kimiawi polutan.
Untuk emisi gas tertentu kontrol emisi dapat dilakukan dengan lebih dari satu
teknik. Teknik yang digunakan untuk mengontrol emisi gas adalah
a. Absorpsi: adalah transfer massa gas polutan dari aliran gas pembawa ke liquid
larut tertentu. Mekanisme absorpsi adalah difusi gas melalui gas
pembawa, keseimbangan antara interface gas – liquid dan difusi gas
melalui liquid.
b. Adsorpsi: adalah proses tertahannya gas atau uap molekul pada permukaan
padatan. Sedangkan Adsorbent adalah suatu zat padat yang dapat
mengadsorpsi molekul. Adsopsbate adalah molekul yang tertahan
pada permukaan padat.
II-16

c. Pembakaran (Combution): proses pembakaran sering digunakan untuk


mengendalikan emisi gas hidrokarbon atau senyawa organik yang
berbau yang diemisikan oleh berbagai jenis industri. Prinsip
pembakaran atau insinerasi adalah reaksi oksidasi senyawa
hidrokarbon oleh oksigen yang berasal dari udara pada temperatur
yang tinggi dan waktu reaksi yang memadai, maka senyawa
hidrokarbon akan teroksidasi menjadi karbon dioksida dan air.
d. Kondensasi: adalah suatu proses untuk mengubah suatu gas atau uap menjadi
cairan. Gas dapat berubah menjadi cair dengan menurunkan
temperaturnya atau meningkatkan tekanan.

3. Teknik Pengendalian Partikulat


Terdapat beberapa peralatan kontrol partikulat yang digunakan, yaitu
Mechanical Separator, misal : Cyclone, Fabric Filter, Electrostatic Precipitators
dan Wet Scrubber. Menurut Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran Udara, upaya pengendalian pencemaran udara dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. enetapan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku
tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan
bermotor.
2. Penetapan kebijakan pengendalian pencemaran udara.

Pada dasarnya, pengendalian pencemaran udara mencakup kegiatan-kegiatan


yang berintikan:
1. Inventarisasi kualitas udara daerah dengan mempertimbangkan berbagai kriteria
yang ada dalam pengendalian pencemaran udara
2. Penetapan baku mutu udara ambien dan baku mutu emisi yang digunakan
sebagai tolok ukur pengendalian pencemaran udara
3. Penetapan mutu kualitas udara di suatu daerah termasuk perencanaan
pengalokasian kegiatan yang berdampak mencemari udara
4. Pemantauan kualitas udara baik ambien dan emisi yang diikuti dengan evaluasi
dan analisis
5. Pengawasan terhadap penaatan peraturan pengendalian pencemaran udara
II-17

6. Peran masyarakat dalam kepedulian terhadap pengendalian pencemaran udara


7. Kebijakan bahan bakar yang diikuti dengan serangkaian kegiatan terpadu
dengan mengacu kepada bahan bakar bersih dan ramah lingkungan
8. Penetapan kebijakan dasar baik teknis maupun non-teknis dalam pengendalian
pencemaran udara secara nasional.

2.11.1 Jenis-Jenis Alat Pengendali Udara


1. Electrostatic Precipitator
Electrostatic Precipitator (ESP) merupakan salah satu alat pengendali kualitas
udara yang digunakan oleh PT Semen Padang. Alat tersebut digunakan untuk
menangkap partikulat atau debu yang dihasilkan dari proses produksi yang ada.
Prinsip kerja dari Electrostatic Precipitator (ESP) terbagi atas tiga prinsip dasar
yaitu: charging, collecting, dan removing. Prinsip dasar pertama yaitu charging
yang dilakukan dengan memberikan muatan atau mengionisasi partikulat dengan
muatan ndustry dari discharge electrode terhadap partikulat dari aliran udara.
Proses ionisasi pemindahan muatan kepada material partikulat sehingga
bermuatan disebut dengan proses attraction. Kemampuan material untuk
melakukan proses attraction dipengaruh nilai migration velocity material.
Prinsip dasar kedua yaitu collecting yang dilakukan dengan mengumpulkan
partikulat yang telah bermuatan ke collecting Plate atau collecting area yang
cenderung bermuatan lebih positif. Prinsip dasar ketiga yaitu removing dengan
meluruhkan partikulat yang telah tertangkap pada collecting plate dengan
menggunakan hammer (rapping). Partikulat atau debu yang telah luruh akan
jatuh kedalam hopper untuk selanjutnya masuk kedalam transport system dan
akan disalurkan kedalam proses produksi kembali.

2. Bag House Filter


Bag House Filter (BHF) merupakan alat pengendali kualitas udara yang
menggunakan filter atau penyaringan yang menggunakan bag/kantong sebagai
medium filternya. Gas yang kotor dipisahkan dari partikel halus dengan cara
melewatkannya melalui medium yang terbuat dari kain dengan area yang luas.
Aliran debu dan gas dalam bag filter dapat melewati kain (fabric) ke segala arah.
Partikel yang tidak bisa menembus medium akan tertinggal di permukaannya
II-18

dan membentuk ”filter cake” atau “dust cake”. Konsentrasi partikel inlet bag
filter adalah antara 100 μg/ m3 – 1 kg/m3 (Bethea, 1978). Debu disisihkan dari
kantong dengan goncangan atau menggunakan aliran udara terbalik, sehingga
dapat dikatakan bahwa bag filter adalah alat yang menerima gas yang
mengandung debu, menyaringnya, mengumpulkan debunya, dan mengeluarkan
gas yang bersih ke atmosfer (Buonicore and Davis, 1992). Pada sebuah BHF
terdapat ratusan bahkan ribuan filter bag dengan jenis bahan yang berbeda-beda
dari setiap BHF, bergantung dari penggunaan BHF dalam proses produksi semen
tersebut. Pada Bag House Filter tersebut terdapat beberapa metode yang
digunakan untuk membersihkan filter bag agar performa dari BHF dapat
berjalan maksimal seperti shaking mechanism, reverse air system, compressed
air, combination of various systems dan ultrasonic cleaning. Pada Bag House
Filter (BHF) yang digunakan oleh PT Semen Padang mekanisme pembersihan
yang digunakan adalah compressed air yaitu dengan memberikan tekanan udara
dari kompresor kepada setiap bag filter sehingga debu ataupun partikulat yang
menempel akan jatuh ke hopper Bag House Filter (BHF) dan dikembalikan
kepada proses produksi melalui alat transport.
3. Jet Pulse Filter
Pada PT Semen Padang juga terdapat alat pengendali kualitas udara lainnya yaitu
Jet Pulse Filter (JPF). Teknologi tersebut pada dasarnya memiliki prinsip kerja
yang sama dengan Bag House Filter (BHF) yaitu keduanya sama – sama
menggunakan bag filter untuk menyaring aliran gas atau partikulat yang lewat.
Namun, terdapat beberapa perbedaan dalam hal dimensi, skala dan fungsi
penggunaan alat serta tidak terkait antara satu dengan yang lainnya dari proses
produksi (interlock). Pada JPF dimensi alat tersebut lebih kecil dibandingkan
dengan BHF dan juga digunakan untuk skala yang lebih kecil. Fungsi
penggunaan alat ini yaitu untuk mennyaring partikulat atau debu pada alat
transport seperti belt conveyor, elevator dan sebagainya.

4. Waste Heat Recovery Power Generation


Waste Heat Recovery Power Generation (WHRPG) ini merupakan sebuah
pembangkit listrik tenaga gas panas buang yang ada di PT Semen Padang dan
II-19

dibangun pada tanggal 15 Januari 2009 serta diresmikan beroperasinya pada


tanggal 26 Oktober 2011. Proyek tersebut didirikan atas kerja sama Pemerintah
Indonesia dengan Pemerintah Jepang melalui New Energy Technology
Development Organization (NEDO). WHRPG ini bertujuan untuk
memanfaatkan gas buang kiln sehingga akan menghasilkan daya dan
penghematan listrik. Selain itu, proyek WHRPG ini juga bertujuan untuk
mengurangi emisi CO2 guna menciptakan alat yang ramah lingkungan.
Pembangunan WHRPG PT. Semen Padang merupakan yang pertama di Asia
Tenggara sebagai pelopor dan juga menghabiskan biaya investasi sebesar Rp.
235 M. Teknologi tersebut dapat menghasilkan tenaga listrik sebesar 8,5 MW
(setara dengan 63,2 GWh/tahun) dari panas yang terbuang dalam proses
produksi dan dapat menghemat biaya listrik hingga Rp. 33 M per tahun serta
akan mengurangi gas CO2 sebesar 43.117 ton per tahun. Pada penggunaan
WHRPG ini dilakukan pemanfaatan gas panas yang digunakan untuk
menghasilkan steam pada boiler yang berasal dari proses suspension preheater
dan grate cooler.

2.12 Emisi yang dihasilkan Industri Semen


1. Debu / SPM (Suspended Particulat Matter)
Debu respirable adalah partikel debu yang cukup kecil untuk menembus hidung
dan sistem pernafasan bagian atas dan bagian dalam sampai ke paru-paru. Paparan
yang berlebihan dari debu respirable yang berbahaya dapat mengakibatkan
penyakit pernafasan yang disebut dengan pneumoconiosis. Penyakit ini disebabkan
penggalian mineral atau partikel debu metalik pada paru-paru dan reaksi jaringan
terhadap kasus tersebut (Bachtiar dan Rani, 2016).

Sumber pencemaran partikel dapat berasal dari peristiwa alami dan juga dapat
berasal dari ulah manusia dalam rangka mendapatkan kualitas hidup yang lebih
baik. Pencemaran partikel yang berasal dari alam sering kali dianggap wajar.
Kalaupun terjadi gangguan terhadap lingkungan yang mengurangi tingkat
kenyamannan hidup maka hal tersebut dianggap sebagai musibah bencana alam.
Sumber pencemaran partikel akibat ulah manusia sebagian besar berasal dari
II-20

pembakaran batu bara, proses industri, kebakaran hutan dan gas buangan alat
transportasi (Pohan, 2002).

Partikel sebagai pencemar udara mempunyai waktu hidup. Pada saat partikel
masih melayang-layang sebagai pemcemar di udara sebelum jatuh ke bumi. Waktu
hidup partikel berkisar anatra beberapa detik sampai beberapa bulan. Sedangkan
kecepatan pengendapannya tergantung pada ukuran partikel, massa jenis partikel
serta arah dan kecepatan angin yang bertiup (Pohan, 2002).

Suhu udara berpengaruh terhadap konsentrasi partikulat, ketika suhu udara


meningkat maka konsentrasi partikulat juga akan meningkat. Suhu udara yang
tinggi dapat mengakibatkan keadaan lingkungan menjadi panas dan kering
sehingga polutan akan mudah terangkat dan melayang di udara. Sehingga ketika
terjadi suhu udara yang rendah maka konsentrasi partikulat yang dihasilkan pun
akan rendah. Selain itu juga terjadi karena faktor kelembaban dimana kelembaban
memberikan pengaruh yang berbanding terbalik dengan suhu udara karena apabila
suhu meningkat maka kelembaban udara akan berkurang. Hal itu juga berlaku
sebaliknya, apabila suhu udara rendah maka kelembaban udara pun akan
meningkat. Kondisi udara yang lembab dimana suhu udara turun akan
menyebabkan terhalangnya radiasi matahari ke bumi karena terbentuknya awan di
atmosfer dan membantu proses pengendapan bahan pencemar, sebab dengan
keadaan udara yang lembab maka sejumlah partikel debu akan berikatan dengan air
yang ada dalam udara dan membentuk partikel yang berukuran lebih besar sehingga
akan lebih mudah untuk mengendap ke permukaan tanah (Palureng dkk, 2017).

2. Gas Sulfur (SOx)


Gas sulfur dioksida (SO2) adalah gas yang tidak berbau bila berada pada
konsentrasi rendah tetapi akan memberikan bau yang tajam pada konsentrasi pekat.
Sulfur dioksida berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak bumi
dan batubara. Pencemaran SO2 pada saat ini baru teramati secara lokal di sekitar
sumber-sumber titik yang besar, seperti pembangkit listrik dan industri, meskipun
sulfur adalah salah satu senyawa kimia yang terkandung di dalam bensin dan solar.
Sepertiga dari jumlah sulfur yang terdapat di atmosfir merupakan hasil kegiatan
manusia dan kebanyakan dalam bentuk SO2. Dua pertiga hasil kegiatan manusia
II-21

dan kebanyakan dalam bentuk SO2. Dua pertiga bagian lagi berasal dari sumber-
sumber alam seperti vulkano dan terdapat dalam bentuk H2S dan oksida (Diazander
A dkk, 2012).

3. Gas Nitrogen (NOx)


Menurut Diazander A dkk (2012), kadar NOx di udara perkotaan biasanya
10 – 1000 kali lebih tinggi dari pada di udara pedesaan. Emisi NOx dipengaruhi
kepadatan penduduk karena sumber utama NOx yang diproduksi manusia adalah
dari pembakaran arang, bensin, minyak dan gas. Berbagai jenis NOx dapat
dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar
(BB) fosil lainnya pada temperatur tinggi, baik sumber statik maupun sumber
bergerak seperti pembakaran pada kendaraan bermotor, peleburan besi, pembangkit
tenaga listrik dan proses industri yang dibuang kelingkungan melalui cerobong
pabrik-pabrik di daerah kawasan industri. Penyebaran dan konsentrasi berbagai
jenis gas NOx di lingkungan dipengaruhi oleh topografi lokal dan keadaan
meteorologinya. Gas NO akan menjadi lebih berbahaya apabila gas itu teroksidasi
oleh oksigen sehingga menjadi gas NO2. Pada saat di udara, nitrogen monoksida
(NO) teroksidasi sangat cepat membentuk nitrogen dioksida (NO2) yang pada
akhirnya nitrogen dioksida (NO2) teroksidasi secara fotokimia menjadi nitrat. Gas
NO yang mencemari udara secara visual sulit diamati karena gas tersebut tidak
bewarna dan tidak berbau. Dimana gas NO2 bila mencemari udara mudah diamati
dari baunya yang sangat menyengat dan warnanya merah kecoklatan. Sifat racun
(toksisitas) gas NO2 empat kali lebih kuat dari pada toksisitas gas NO.

4. Karbon Monoksida (CO)


Menurut Abyati (2015), Karbon Monoksida (CO) adalah pencemar yang paling
besar dan paling umum dijumpai. Sebagian besar CO terbentuk akibat proses
pembakaran pembakaran bahan-bahan karbon yang digunakan sebagai bahan bakar
yang tidak terbakar sempurna, misalnya pembakaran bahan bakar minyak,
pemanas, proses-proses industri, dan pembakaran sampah. Kegiatan industri
perminyakan merupakan kegiatan yang menimbulkan emisi CO yang signifikan.
CO juga dihasilkan oleh proses peledakan dan secara alami.

Anda mungkin juga menyukai