Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Kesehatan gigi dan mulut mempengaruhi kesehatan tubuh keseluruhan. Karies
adalah Permasalahan umum dalam kesehatan gigi dan mulut yang terjadi pada
orang dewasa dan anak-anak. United States Surgeon General pada tahun 2000
melaporkan bahwa penyakit infeksi yang paling banyak diderita anak-anak adalah
karies gigi. Karies lima kali lebih tinggi diderita anak-anak dibanding penyakit
asthma dan tujuh kali lebih banyak dibanding dengan penyakit demam (Susi et.al.,
2012). Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi.
Prevalensi nasional DMF-T adalah 4,6 dan terdapat 15 provinsi dari 33 provinsi
yang memiliki prevalensi di atas prevalensi nasional (Riskesdas, 2013).
Kesehatan gigi dan mulut anak pada umumnya ditandai dengan kondisi
kebersihan mulut yang buruk dan sering dijumpai penumpukan plak serta
deposit-deposit lainnya pada permukaan gigi. Akumulasi plak akan mengakibatkan
peningkatan fermentasi karbohidrat oleh bakteri asidogenik, yang kemudian akan
menyebabkan pH saliva turun, bila pH saliva turun hingga ambang kritis maka akan
menyebabkan demineralisasi email yang kemudian akan menyebabkan karies pada
gigi. Salah satu faktor penyebab terjadinya karies pada anak-anak adalah kurangnya
pengetahuan tentang waktu menyikat gigi dan cara menyikat yang tepat
(Sampakang, 2015).
Masyarakat di Indonesia masih banyak yang belum mempertimbangkan
kesehatan gigi dan mulut, dan penyakit gigi ini merupakan jenis penyakit pada
urutan pertama yang dikeluhkan oleh masyarakat dan harus dilakukan tindakan.
Namun masyarakat masih sering mengabaikan penyakit gigi dan mulut, jika sudah
menjadi parah baru merasa terkeluhkan (Nurhidayat, 2012). Presentase jumlah
penduduk yang mempunyai masalah kesehatan gigi dan mulut menurut Riskesdas
tahun 2007 dan 2013 meningkat dari 23,2% menjadi 25,9%. Presentase jumlah
penduduk yang mempunyai masalah kesehatan gigi dan mulut yang menerima
perawatan medis gigi meningkat dari 29,7% tahun 2007 menjadi 31,1% pada tahun
2013.

1
Pendidikan kesehatan merupakan proses yang direncanakan dengan sadar untuk
menciptakan peluang bagi individu-individu untuk senantiasa belajar memperbaiki
kesadaran serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya demi kepentingan
kesehatannya. Pendidikan kesehatan merupakan suatu proses perubahan perilaku
yang dinamis dengan tujuan mengubah atau memotivasi perilaku manusia yang
meliputi komponen pengetahuan, sikap, ataupun praktik yang berhubungan dengan
tujuan hidup sehat baik secara individu, kelompok maupun masyarakat, serta
merupakan komponen dari program kesehatan. Pendidikan kesehatan gigi dan
mulut adalah upaya untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku baik dan
memotivasi untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut, serta meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan gigi dan mulut dan memberikan
pengertian cara-cara memelihara kesehatan gigi dan mulut (Darwita et.al., 2011).
Prevalensi penyakit pada anak maupun dewasa dapat dikurangi dengan
penyuluhan kesehatan. Menurut WHO (2016), penyuluhan kesehatan adalah
kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan individu dan masyarakat mengenai
kesehatan. Tujuan dari penyuluhan kesehatan diantaranya untuk mempromosikan
gaya hidup sehat, mengurangi faktor resiko yang dapat menyebabkan masalah
kesehatan meliputi lingkungan, ekonomi, sosial, dan faktor kebiasaan individual
(Molete et al., 2013).
Pelaksanaan penyuluhan kesehatan dapat menggunakan berbagai alat bantu
penyuluhan. Alat bantu penyuluhan dapat dibagi menjadi dua yaitu multimedia dan
non-multimedia. Adapun contoh alat bantu penyuluhan multimedia diataranya
slide, film, radio, televisi dan video cassette. Keunggulan multimedia ini adalah
kemampuannya untuk menyampaikan pesan kepada audience dengan cara yang
menarik dan dapat meminimalisir adanya kesalahpahaman antara pemberi
informasi dan penerima informasi (Cruse, 2006). Multimedia merupakan alat bantu
penyuluhan yang efektif. Penelitian yang telah dilakukan oleh Newhouse et al
(2007), pada murid di Edith Cowan University of Australia, mengatakan bahwa
multimedia dapat meningkatkan tingkat konsentrasi murid dan meningkatkan
keefktifitasan dalam hal belajar mengajar.

2
Alat bantu penyuluhan non-multimedia merupakan alat bantu yang lebih
menekankan visual, misalnya poster, alat peraga yang terbuat dari styrofoam, dan
boneka tangan. Alat bantu penyuluhan non-multimedia lebih sering dipakai dalam
kegiatan penyuluhan karena media ini tidak membutuhkan biaya yang mahal dalam
penyediaan alat-alat pendukung, namun alat-alat tersebut tidak dapat bertahan lama
atau mudah rusak, sehingga perlu pengembangan metode penyuluhan kesehatan
yang lebih efektif dan efisien (Dinkes, 2012). Berdasar penelitian yang dilakukan
oleh Monash University of Australia, alat bantu penyuluhan nonmultimedia tidak
kalah efektif dengan multimedia, karena alat ini mempunyai daya tarik dari segi
warna dan gambar yang dibuat mencolok sehingga dapat menarik perhatian
seseorang (Ilic dan Rowe, 2015).

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Promosi kesehatan

3
1. Definisi promosi kesehatan
Promosi kesehatan merupakan proses pemberdayaan kemampuan
masyarakat untuk mengontrol dan meningkatkan kesehatannya. Setiap individu
atau kelompok harus dapat mengidentifikasi dan menyadari kebutuhannya masing-
masing untuk meningkatkan kesehatan fisik, mental, dan sosialnya. Promosi
kesehatan adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui
teknik praktik belajar atau instruksi
2. Tujuan promosi kesehatan
Mengubah atau mempengaruhi perilaku manusia secara individu, kelompok
maupun masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat.
Promosi kesehatan tidak hanya berfokus pada peningkatan kesehatan masyarakat
saja, tetapi juga merupakan program untuk merubah perilaku seseorang ke arah
yang lebih baik terutama dalam masalah kesehatan (Kumar dan Preetha, 2012).
3. Media Promosi Kesehatan
Media promosi kesehatan merupakan media yang dapat dilihat, didengar,
diraba, dirasa yang berguna dalam hal pendukung untuk memperlancar komunikasi
dan penyebarluasan informasi. Beberapa syarat media penyuluhan harus mudah
dimengerti oleh masyarakat, ide atau gagasan yang dimuat harus mudah
disampaikan serta diterima oleh masyarakat, dapat meminimalisir adanya salah
paham antara pemberi informasi dan yang menerima informasi, dapat memperjelas
apa yang diterangkan oleh petugas penyuluh kesehatan, mudah diingat, menarik,
dan dapat memberikan dorongan yang kuat serta contoh yang baik dan benar kepada
peserta penyuluhan (Saberan, 2012).
Menurut Dinkes (2012) media promosi kesehatan terbagi dalam 4 kelompok besar
yaitu:
1. Benda Asli
Benda asli merupakan wujud sesungguhnya baik hidup maupun benda
mati yang mudah dikenali serta memiliki ukuran yang tepat. Kelemahan
alat peraga ini adalah pada mobilitasnya. Benda asli tidak selalu fleksibel
untuk dibawa kemanapun misalnya saja bahan-bahan yang diawetkan.
2. Benda Tiruan

4
Benda ini merupakan tiruan atau duplikasi dari wujud benda atau alat
peraga yang sebenarnya, memiliki ukuran yang tidak sama. Benda tiruan
ini digunakan dalam kegiatan promosi kesehatan bila benda asli tidak
memungkinkan digunakan selama penyuluhan. Contoh benda tiruan ini
antara lain tanah, kayu, semen, plastik, dan lain-lain.
3. Gambar
a. Poster
Poster merupakan sehelai kertas atau papan yang berisi gambar
dengan tambahan bebrapa kata. Poster harus jelas, mudah dipahami,
memuat pesan yang tepat dan sesuai dengan yang ingin disampaikan,
dan dapat dibaca sekurang-kurangnya dalam jarak 6 meter. Poster
biasanya ditempatkan pada tempat yang mudah dijangkau dan dilihat
oleh kalangan umum, misalnya saja di papan pengumuman, pinggir
jalan, dinding balai desa, balai kota, dan lain-lain. Gambar dalam
poster dapat berupa lukisan, kartun, dan ilustrasi singkat serta
tambahan beberapa kata untuk memperjelas pesan yang disampaikan
dalam poster tersebut.
b. Leaflet
Leaflet merupakan selembar kertas yang memuat tulisan dan kalimat
singkat, mudah dipahami, padat, lugas, jelas, dan dengan penambahan
gambar-gambar yang sederhana.
c. Foto
Foto dapat berupa album yaitu berupa gambar yang disusun secara
berurutan, menceritakan suatu kejadian, cerita, dan lain-lain. Jenis
foto yang lain yaitu foto lepasan yang lebih menitikkan pada satu
pokok perhatian yang nantinya akan ditunjukkan kepada peserta
penyuluhan.
4. Media Grafis
a. Slide
Slide pada umumnya digunakan pada peserta penyuluhan yang
berbentuk kelompok atau grup. Slide merupakan media yang sangat

5
efektif untuk membahas masalah tertentu dan peserta dapat
memperhatikan dengan lebih seksama mengenai penjelasan pemberi
penyuluhan.
b. Film
Film merupakan sarana promosi kesehatan masal yang bersifat
menghibur namun tetap menekankan sisi edukatif.

B. Path Finder Survey


Path finder survey adalah metode survey yang bersifat praktis dan
ekonomis dimana subjek penelitian telah ditentukan dengan mengambil
sampel dari populasi yang memiliki tingkat keparahan penyakit yang
berbeda-beda dengan kelompok usia spesifik dalam satu lokasi. Melalui
metode ini diharapkan data yang diperoleh reliabel dan valid tanpa perlu
mengeluarkan biaya besar.
1. Metode Path Finder Survey
- Pilot Survey – hanya menginklusi subgrup populasi yang paling
berpengaruh serta hanya 1 atau 2 kelompok usia yang diikutkan,
umumnya usia 12 tahun dan satu kelompok usia bebas. Digunakan
sebagai langkah awal dalam perencanaan program dan dilanjutkan
dengan pengumpulan data tambahan untuk memerkuat hasil survei.
- National Survey – menginklusi semua subgrup populasi yang
berpotensi memberikan deviasi tingkat penyakit dan kebutuhan
perawatan dengan minimal 3 kelompok usia diikutkan dalam survei.
Merupakan survei lengkap untuk pengumpulan data di lokasi yang besar
(negara dengan variasi geografi dan sosioekonomi yang tinggi).
2. Fungsi Path Finder Survey
- Untuk mengetahui prevalensi rata-rata dari masalah gigi dan mulut
secara umum.

6
- Untuk Mengetahui Variasi dari tingkat keparahan dan kebutuhan
perawatan dari suatu penyakit dari satu subgrup populasi survei.
- Untuk mengetahui profil usia dari penyakit mulut di populasi.
3. Kelompok dan Indeks Usia Path Finder survey
- Usia 5 tahun – melihat status kesehatan gigi sulung dimana seluruh gigi
sulung sudah erupsi namun gigi permanen belum ada.
- Usia 12 tahun – kelompok usia yang paling umum dipakai karena mudah
didapat dan pertimbangan seluruh gigi permanen kecuali molar 3 sudah
erupsi.
- Usia 15 tahun – pertimbangannya adalah gigi-geligi sudah terekspos
lingkungan oral selama 3 – 9 tahun (tergantung survei yang dilakukan)
sehingga jika ada karies, maka karies tersebut sudah established dan
dilihat prevalensi karies yang terjadi di populasi. Kelompok ini juga
penting dalam pengumpulan data penyakit periodontal pada remaja
(juvenile periodontitis) mengingat adanya perubahan hormonal di
remaja.
- Usia 35 – 44 tahun – merupakan standar survei pada kelompok usia
dewasa. Survei pada kelompok usia ini dilakukan dengan pertimbangan
efek penuh dari karies dan penyakit periodontal pada seseorang telah
terjadi sehingga dapat dinilai risikonya
- Usia 65 – 74 tahun – digunakan untuk menentukan dan mengawasi
tingkat kebutuhan perawatan bagi orang tua..
-
C. DMF-T
1. Pengertian DMF-T
Indeks DMF-T adalah indeks untuk menilai status kesehatan gigi
dan mulut dalam hal karies gigi permanen. DMF-T merupakan singkatan
dari Decay Missing Filled-Teeth. Nilai DMF-T adalah angka yang
menunjukkan jumlah gigi dengan karies pada seseorang atau sekelompok
orang. Angka D (decay) adalah gigi yang berlubang karena karies gigi,
angka M (missing) adalah gigi yang dicabut karena karies gigi, angka

7
F(filled) adalah gigi yang ditambal atau di-tumpat karena karies dan dalam
keadaan baik. Nilai DMF-T adalah penjumlahan D+ F+ T. Indikator utama
pengukuran DMF-T menurut WHO adalah pada anak usia 12 tahun, yang
dinyatakan dengan indeks DMF-T yaitu ≤ 3, yang berarti pada usia 12 tahun
jumlah gigi yang berlubang (D), dicabut karena karies gigi (M), dan gigi
dengan tumpatan yang baik (F), tidak lebih atau sama dengan 3 gigi per
anak.
2. Rumus perhitungan DMF-T
- DMF-T = D + M + F
- DMF-T rata-rata =
Jumlah D + M + F
Jumlah orang yg diperiksa
- Keterangan: D (Decay/karies/berlubang), M (Missing/dicabut/tanggal
dengan sendirinya), F ((Filling/ditambal)
- Kategori DMF-T menurut WHO :
0,0 – 1,1 = sangat rendah
1,2 – 2,6 = rendah
2,7 – 4,4 = sedang
4,5 – 6,5 = tinggi
6,6 > = sangat tinggi

D. Metode Penyuluhan Kesehatan


Menurut Notoatmodjo (2012) metode penyuluhan adalah salah satu faktor
yang berpengaruh dalam keberhasilan penyuluhan. Ada beberapa jenis metode
penyuluhan yaitu:
1. Metode Penyuluhan Perseorangan
Metode penyuluhan individual (perseorangan) dapat digunakan untuk
membentuk suatu perilaku baru dari seseorang yang telah tertarik pada suatu
perubahan baru dalam hal perilaku. Metode ini digunakan karena setiap
individu memiliki persepsi yang berbeda terhadap masalah yang dialaminya
dan memiliki alasan tersendiri terhadap perubahan perilaku tersebut. Bentuk

8
dari pendekatan individual (perseorangan) ini adalah bimbingan atau
penyuluhan dan wawancara. Bimbingan atau penyuluhan merupakan
interaksi antara dua belah pihak, yaitu klien dan petugas penyuluhan.
Keunggulan dari metode ini adalah hubungan komunikasi antara klien dan
petugas penyuluhan lebih intensif, pada akhirnya klien akan dengan senang
hati menerima saran dan mendapat bantuan dari petugas penyuluhan karena
ada rasa percaya dari komunikasi yang intensif tersebut.
Metode bimbingan yang lain yaitu metode wawancara. Metode ini
lebih ditekankan mengenai tanya jawab antara klien dengan petugas
penyulahan mengenai pengalaman klien dalam menerima perubahan,
apakah klien tertarik dengan adanya perubahan, serta apakah klien sudah
mulai mengadopsi atau meniru perilaku yang dilakukan saat penyuluhan
sebelumnya.
2. Metode Penyuluhan Kelompok
Metode penyuluhan kelompok terbagi menjadi dua bagian, yaitu
metode penyuluhan kelompok besar dan kelompok kecil. Metode kelompok
besar dilakukan jika peserta penyuluhan lebih dari 15 orang. Metode
kelompok besar berupa ceramah dan seminar. Ceramah digunakan pada
peserta penyuluhan dengan latar belakang pendidikan rendah maupun
tinggi, sedangkan seminar ditujukan untuk kelompok besar dengan
pendidikan menengah ke atas. Terdapat juga metode penyuluhan untuk
kelompok kecil. Metode ini dilakukan apabila peserta penyuluhan kurang
dari 15 orang. Metode penyuluhan yang cocok untuk kelompok ini adalah
diskusi kelompok, curah pendapat, bola salju, memainkan peran, dan
permainan simulasi.
3. Metode Penyuluhan Massa
Metode ini merupakan metode yang digunakan dalam lingkup luas,
mecakup semua golongan tanpa membedakan jenis kelamin, umur,
pekerjaan, status ekonomi dan pendidikan. Pesan yang dimuat harus dibuat
sedemikian rupa agar mudah dipahami serta diadopsi oleh masyarakat luas.
Beberapa contoh dari metode ini adalah ceramah umum, pidato melalui

9
media masa, simulasi, dialog antara pasien dan petugas kesehatan, sinetron,
tulisan di majalah atau koran, billboard yang dipasang di jalan, spanduk,
dan poster.

BAB III
METODE KEGIATAN SURVEY, PROMOSI
KESEHATAN DAN SIKAT GIGI MASSAL

A. PATH FINDER SURVEY


Metode path finder dipilih karena bersifat praktis dan ekonomis.
Menggunakan teknik sampling stratified cluster dimana teknik ini memiliki
jumlah subjek yang telah ditentukan dengan mengambil sampel dari
populasi yang memiliki tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda

10
dengan kelompok usia spesifik dalam satu lokasi. Metode path finder dapat
digunakan untuk memerolah data berikut ini:
1. Prevalensi rata-rata dari masalah gigi dan mulut secara umum.
2. Variasi dari tingkat keparahan dan kebutuhan perawatan dari suatu
penyakit dari satu subgroup populasi survey.
3. Profil usia dari penyakit mulut di populasi.
Pada kegiatan survey ini dari keseluruhan jumlah desa di Kecamatan
Bulu adalah 12 desa, diambil usia 12 tahun dan 15 tahun. Seperti pedoman
pilot survey yang hanya menginklusi subgroup populasi yang paling
berpengaruh serta hanya 1 atau 2 kelompok usia yang diikutkan, umumnya
usia 12 tahun dan satu kelompok usia bebas, maka diambil usia 15 tahun.
Pilihan usia 12 tahun karena kelompok usia yang mudah didapat dan karena
pertimbangan seluruh gigi permanen sudah erupsi, kecuali molar ketiga.
Kemudian pilihan usia kelompok 15 sebagai grup kedua karena
pertimbangan gigi geligi sudah terekspos lingkungan oral selama 3-9 tahun
sehingga jika ada karies, maka karies tersebut sudah established dan dilihat
prevalensi karies yang terjadi di populasi ini lebih bernilai daripada usia 12
tahun. Pada usia 15 tahun juga merupakan indikator penting untuk penilaian
penyakit periodontal pada remaja.

B. ALAT DAN BAHAN


Alat:
1. Lembar Kertas pemeriksaan DMF-t
2. Model Phantom
3. Sikat gigi
4. Gelas Kumur
5. Senter
6. Bengkok
7. Diagnostic set
8. Lembar RAISA (Rapor Gigi Sehat Ceria)
9. Alat Tulis

11
10. Leaflet
11. Poster
12. LCD Projector
13. Lembar Kuesioner Pretest dan PosTest
Bahan:
1. Pasta Gigi
2. Air
3. Handscoon
4. Masker
5. Tisu
6. Air sterilisasi
C. SASARAN DAN TARGET
Sasaran Kegiatan Promosi Kesehatan, Penyuluhan dan Pemeriksaan adalah
Desa dengan tingkat karies atau gigi berlubang yang tertinggi.

BAB IV
EVALUASI KEGIATAN PROMOSI KESEHATAN GIGI
DAN SIKAT GIGI BERSAMA

Penyuluhan kesehatan merupakan salah satu cara untuk menambah


pengetahuan dan kemampuan individu atau kelompok melalui pembelajaran
(Kemenkes, 2011). Tujuan penyuluhan adalah untuk mengubah atau
mempengaruhi perilaku responden agar lebih mandiri untuk mencapai hidup
sehat (Depkes, 2012). Depkes (2012) juga menyatakan bahwa materi
penyuluhan sebaiknya diberikan dalam bahasa yang mudah dimengerti dan
tidak terlalu sulit. Metode dan media yang dipilih untuk kegiatan penyuluhan
dapat mempengaruhi keberhasilan suatu kegiatan penyuluhan (Notoatmojo,

12
2010), diantaranya media cetak (poster, leaflet), media elektronik (slide, radio,
video) dan media luar ruang (pamflet, iklan, spanduk).
Untuk mengetahui keberhasilan penyuluhan yaitu meningkatnya
pengetahuan responden setelah diberikan penyuluhan, maka dilakukan pre-test
dan post-test. Metode pre-test dan post-test merupakan alat penilaian yang
sangat dianjurkan untuk mengukur keberhasilan kemajuan suatu proses
pembelajaran karena evaluasinya bersifat ringkas dan efektif (Costa, 2013).
Pre-test diberikan sebelum penyuluhan dan bertujuan untuk mengetahui sejauh
mana pengetahuan responden tentang materi yang akan diberikan, Fungsi pre-
test untuk melihat efektifitas penyuluhan. Sementara post- test diberikan
setelah pemberian materi penyuluhan dengan tujuan untuk mengetahui sampai
dimana pemahaman responden terhadap materi penyuluhan setelah kegiatan
dilaksanakan (Purwanto, 2013).

Praktek kebersihan mulut oleh individu merupakan tindakan


pencegahan yang paling utama dianjurkan, juga berarti individu tadi telah
melakukan tindakan pencegahan yang sesungguhnya, praktek kebersihan
mulut ini dapat dilakukan individu dengan cara menggosok gigi. Menggosok
gigi berfungsi untuk menghilangkan dan mengganggu pembentukan plak dan
debris, membersihkan sisa makanan yang menempel pada gigi, menstimulasi
jaringan gigiva, menghilangkan bau mulut yang tidak diinginkan.(Depkes RI,
2014) Perilaku menggosok gigi pada anak harus dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari tanpa ada perasaan terpaksa. Kemampuan menggosok gigi secara
baik dan benar merupakan faktor yang cukup penting untuk perawatan
kesehatan gigi dan mulut. Keberhasilan menggosok gigi juga dipengaruhi oleh
faktor penggunaan alat, metode menggosok gigi, serta frekuensi dan waktu
menggosok gigi yang tepat.(Houwink, 2014) Kegiatan kesehatan gigi anak usia
sekolah dilaksanakan melalui kegiatan Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS)
yang salah satu kegiatan UKGS lebih menekankan pada aspek pelayanan
kesehatan siswa yaitu melakukan upaya pencegahan penyakit gigi yang terjadi
pada anak sekolah (SD/MI), dan juga aspek pendidikan pada siswa agar siswa

13
dapat membiasakan pelihara diri kesehatan gigi sejak dini salah satunya
melalui kebiasaan menggosok gigi yang benar. (Ircham, 2014)
Cakupan pelayanan kesehatan gigi sekolah dasar diharapkan 100%
sekolah dasar binaan melakukan UKGS dengan memasukan kurikulum
pendidikan kesehatan oleh guru UKS/UKGS. Target cakupan pelayanan
kesehatan gigi pada siswa sekolah dasar melalui UKGS dapat dicapai dengan
melalui pembinaan petugas dalam bidang kesehatan gigi dan mulut ke sekolah
dasar dilakukan minimal 2 kali per tahun per sekolah dasar dari jumlah sekolah
dasar melakukan UKGS, dengan tujuan terciptanya derajat kesehatan gigi dan
mulut siswa sekolah dasar secara optimal, siswa mempunyai pengetahuan
tentang kesehatan gigi serta mempunyai sikap/kebiasaan memelihara diri
terhadap kesehatan gigi dan mulut. (Dinkes, 2010).
Sejak dini siswa sekolah dasar perlu dididik untuk dapat memelihara
kesehatan giginya. Siswa kelas V dan VI berusia antara 10 – 12 tahun. Pada
usia 10 - 12 tahun anak memasuki awal dari fase gigi geligi tetap, meskipun
masih berlangsung pergantian dari gigi sulung ke gigi permanen namun sudah
banyak gigi permanen yang tumbuh. Pada usia tersebut sudah dapat
menangkap suatu pengertian dan dapat menjelaskan tentang sesuatu secara
realitis. Selain itu pada masa usia 10-12 tahun sudah dapat diberi tanggung
jawab terhadap tindakan menggosok gigi. Pada usia 10-12 tahun sudah mampu
melakukan menggosok gigi secara sistematis bila dibandingkan dengan
kelompok usia dibawahnya. Untuk itu kesehatan gigi dari awal perlu dijaga
agar anak mempunyai gigi permanen yang baik.(Suwelo, 2011).

14
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penjaringan gigi dan mulut dengan metode path finder survey

cluster sampling didapatkan rerata angka DMF-t tertinggi adalah pada SDN Karangasem

maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tingginya angka DMF-t disebabkan karena kurangnya informasi tentang cara

menjaga kesehatan gigi dan mulut serta cara menggosok gigi dengan baik dan benar

A. Saran
Penelitian ini hanya melihat tingkat keparahan DMF-t pada 12 desa di kecamatan

Bulu, sSukoharjo dengan sample siswa kelas 6 SD yang berusia 12 tahun serta siswa SMP

yag berusia 15 tahun melalui pemberian kuesioner pretest dan postest, maka kami sebagai

peneliti menyarankan sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang berkaitan tentang kesehatan gigi dan
mulut dengan menggunakan metode lain (flipchart, leaflet, powerpoint) serta
jumlah sampel yang lebih banyak untuk mengetahui jenis penyuluhan yang terbaik
dan efektif bagi siswa kelas 6 di SDN Karangasem dan siswa kelas IX SMP Bulu,
Sukoharjo.

15
Daftar Pustaka

Bell, L., Bull, G., 2010. Digital Video And Teaching. Contamporary Issues In Technology
And Teacher Education, Virginia 10(1), 1-6.
Bertrand, J., Williams, R., Jones, L.F., 2008. Social Paediatrics And Early Child
Development – The Practical Enhancements: Part 2. Paediatrics Child
Health13(10):857-861
Boeing, H., Bechthold, A., Bub, A., Ellinger, S., Haller, D., Kroke, A., Bonnet, L., Muller,
M., Oberriter, H., Schulze, M., Stehle, P., Watzl, B., 2012. Critical Review:
Vegetables And Fruit In The Prevention Of Chronic Disease. The German Nutrition
Society. 51: 637-663
Cruse, E., 2006. Using Educational Video In The Classroom: Theory, Researc, And Practice.
Library Video Company. 1-24
Dinas Kesehatan. 2012. Media Promosi Kesahatan.

Eileen, A., Marotz, R., 2010. Profil Perkembangan Anak Prakelahiran Hingga Usia 12
Tahun
edisi 5.

Kaur, D., Yong, E., Zin N.M., Dewitt,D., 2014. The Use Of Videos As A Cognitive
Stimulator And Intructional Tool In Tertiary ESL Classroom.The Malaysian Online
Journal Of Educationl Technology 2(3): 32-42

Kementerian Kesehatan RI., 2014. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta

Kumar, S., Preetha, GS., 2012. Health Promotion: An Effective Tool For Global Health.
Indian. J. Community Med. 37(1):5-12

Leversen, LSR., Haga, M., Sigmundsson, H., 2012. From Childern To Adults: Motor
Performance Life-Span. 7(6): 1-7

Lucey, J., 2015. Raw Milk Consumption : Risk And Benefits. Wollers Kluwer Health. 50(4):
189-194

Molete, M.P., Daly, B., Hlungwani, T.M., 2013. Oral Halth Promotion In Gauteng: A
Qualitative Study.Global Health Promotion 20(1): 50-59

Moore, M., Yeatman, H., Pollard, C., 2013. Evaluating Success In Public Health Advocacy
Stategies. Vietnam Journal Of Public Health 1(1), 66-75

16
Newhouse, CP., Lane, J., Brown, C., 2007. Reflecting On Teaaching Practices Using Digital
Video Representation In Teacher Education. Australian Journal Of Teacher
Education. 32(3): 5
Notoatmodjo, S., 2012. Promosi Kesehatan di Sekolah. Edisi 2. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Olbunmi B., Olushola, I., 2013. Effects Of Information Dissemination Using Video Of
Indigenous Language On 11– 12 Years Children's Dental Health. Ethiop J Health
Sci. 23 (3)

Shah, N., Mathur, VP., Kathuria, V., Gupta, T., 2016. Effectiveness Of An Educational
Video In Improving Oral Health Knowledge In Hospital Setting. Indian J Dent 7
(2):70-5

Skerrett, P.J., Willwt, W.C., 2010. Essentials Of Healthy Eating: A Guide. J Midwifery
Womens Health. 55(6): 492-501

Tengland, P., 2012. Behavior Change Or Empowerment: On The Ethics Of Health


Promotion Strategies. Public Health Ethics, 5, 140-153

World Health Organization., 2016. Health Promotion.

Zhan, Q., Pan, P., Xu, X., Lo, H., Lou, Y., Jin, F., 2013. An Overview Of Studies On
Psychological Well-Being In Childern Born Following Assisted Reproductive
Technologies. Journal of Zhajiang University Biomedicine and Biotechnology
14(11): 947-960

17
LAMPIRAN

18

Anda mungkin juga menyukai