Anda di halaman 1dari 4

Jumat 23 Agustus 2019

Satu hari sebelum menempuh perjalanan panjang Jakarta Solo Purwokerto dalam 48 jam via kereta
ekonomi.

Mengurus NPA IDI . akses kendaraan umum ke sana agak sulit meski berada tidak jauh dari sebuah mall.
Karena pembangunan menghabiskan tempat dan mempersulit penyeberangan. Sehingga lebih baik
menggunakan gojek dari tempat stop kendaraan umum terdekat.

Dua hari yang lalu (21 Agusutus 2019), sehabis dari Primasana menuju ke sana, tempat awal niat
membuat NPA IDI yang sudah kudaftar sejak satu bulan lalu. Belum sempat terisi tentu saja lembar
pernyataan yang seharusnya berlandaskan materai 6000 rupiah itu. Tiba pukul 12.00 WIB, memang
terpampang di depan pintu “Jam Istiraha 12.00 – 13.00 WIB”

“maaf mba mau istirahat ya?”, sapaku pada salah satu petugas masih berusaha membujuk rayu, pikirku
tidak apa beliau sambil memesan makan.

“gimana mau istirahat kalau mba aja masih ada di sini.”, pernyataannya yang kubalas dengan senyuman
denggan bisik dalam hati, apa mba ini tidak bahagia, kenapa sulit sekali menjawab pertanyaan dengan
ramah. Mama memang selalu bilang, kalau ada orang menyebalkan itu karena hidupnya tidak bahagia.

Rabu, 10 Agustus 2019

Dalam desak kerumunan ruang khusus wanita bus 10. Tanpa sengaja air mata jatuh membasahi masker
ungu dan kacamata emas, teman sekaligus saksi bisu diri yang dilempari pertanyaan kredensial hari ini.

Terharu. Perasaan membiru secara spontan memenuhi dada teringat perkataan dr. H, sp an. (K) di akhir
interview tadi.

Tadinya berpikir wawancara kali ini seperti biasanya, hanya di lempari tanya motivasi, harapan dan
rencana ke depan , sedikit pertanyaan seputar kehidupan pribadi yang menunjang pekerjaan. Ternyata
hari ini ujian kredensial, menguji dan pertanggungjawaban semua yang kunyatakan dalam kertas
kompetensi bertanda tangan itu.

Dimulai dari nomor urut 1 tentang kasus dan diagnosis apa yang akan dilakukan jika mendapat kasus.
Mual, muntah, nyeri kepala, penglihatan kabur. Letak kuncinya bukan pada apa terapi mata tapi apa
yang dilakukan sebagai dokter umum. Konsul ! Ya.. atasi kegawatan dan simtom lain selain mata
kemudian segera konsul untuk dirujuk ke tmpt lain atau masuk ke ruangan dalam rumah sakit impian
itu.

Nomor urut 2 tentang terapi emergency. Mana mungkin bisa berkelit, menampakkan kesalahan kecilpun
pasti terdeteksi oleh Konsulen anestesi di depan mata yang anaknya ternyata juga menempuh jalur
cepat alias akselerasi dalam sekolahnya dan saat ini sudah menempuh residensi jantung dan bedah
saraf.

"Apa saja obat obatan emergensi ?"


Mungkin rambut dalam kain yang membungkusnya sudah berdiri seperti ketika setiap kali berpikir keras
seolah ada aliran listrik. Tersebut satu persatu. Hingga pada satu nama yang benar benar terlupakan
meski kucari dalam setiap sela memori.

"Aminofilin. Pada orang asma, itu sangat signifikan. Bisa cium tangan ke kamu keluarganya. Jangan lupa
ya."

Terus. Pertanyaan demi pertanyaan..

Kasus demi kasus..

Dikeluarkan telepon genggam, ditunjukkannya gambaran rumput..

"Infark miokard akut."

Tidak berhenti di sana, gambaran hitam putih yg lama tak kujumpai..

"Kardiomegali."

"Ini kardiomegali dan ada putih dibawah kamu lihat. Dia pneumonia."

Satu persatu membuat kepastian skill diberi nomor 1 untuk mampu sendiri, 2 untuk supervisi, 3 untuk
tidak pernah.

"Belajar lagi ya.. pesannya.."

Di akhir kata, sampailah pada pesan itu. Pesan yang membuat air mata tergenang, tertahan sekuat
tenaga agar tidak terjatuh dan nampak sebagai jiwa yang lemah.

"Kamu harus ingat terus surat AlBaqarah ayat terakhur kan ya..,

Kalau memang itu jalanmu, garismu, pasti Allah mudahkah. Allah kasih jalan, tapi jika itu menjadi sulit,
dipersulit, itu bukan yang terbaik.. okei ?"

Jum,at 26 Juli 2019

Sembari duduk di atas kursi berbahan besi, menunggu Bus Transjakarta.

07.10 – 07.26, 16 menit duduk di samping konsulen mata sekaligus ketua komite medik yang baiknya
parah.

Sedikit terlambat tadi pagi termakan macetnya Jakarta menyalip barisan mobil dibantu abang gojek
bermotor Megapro. Pukul 7 tepat di antara asap kendaraan bermotor depan Halte Busway Utan Kayu,
kubuka whatsapp dan bertanya pada Mas N, sekretaris komed, “apa dr. E sudah tiba?”. “Belum,”
katanya. alhamdulillah..

Dua menit kemudian. “ternyata sedang visit dok,” begitu pesan mas N. Tepat sesuai perkiraank,
terlambat 10 menit menuju lobi dan langsung dijemput. Kunaiki lift itu dengan sepatu cokelat berhak 3
cm pinjaman dari Michelle. Pintu terbuka mengantarkan pada seorang lelaki berkulit putih separuh baya
duduk membaca berkas terbungkus map bertuliskan dr. Gabriella Cereira Angelina, received pada
lembar pertamanya. Ya, itulah berkasku yang sedang dibaca dr. E., Sp M (K), orang yang sangat baik,
disiplin, dan menghargai waktu.

Tamparan keras untukkku yang hanya butiran debu membuatnya menunggu 10 menit, tapi tidak ada
perlakuan atau perkataannya menyakiti sama sekali. Semua yang keluar drari bibirnya hanya pertanyaan
seputar pengalaman, motivasi, semangat, hal yang benar benar positif. mendapatkan sosok, role model
hari ini yang membuktikan bahwa apa yang yang akan diraih tergantung bagaimana kedisiplinan diri
sendiri, jam setengah 7 pagi berkeliling bangsal, menyapa dan memastikan pasien dalam kondisi baik
tentu bukanlah kebiasaan seorang pemalas.

“semoga bekerja di sini bisa membawa hal yang positif untuk impian kamu,” katanya yang kubalas
dengan senyuman penuh harap bahwa itu akan menjadi kenyataan.

Kamis, 25 Juli 2019

Di ruang praktek dalam sebuah klinik, menunggu angka 3 dan 12 membentuk siku siku.

Kepala ini rasanya tegang terikat, tension type headache mulai menyerang manusia yang tidur pukul 11
malam tanpa bisa terlelap, terbangun pada setiap jamnya. Pukul 4 pagi terbangun, mandi dan bersiap
berpindah tempat jaga. Pasien semalam datang silih berganti mulai dari narapidana yang gatal pada
tubuhnya hingga anggota polri yang kakinya bengkak tertusuk kukunya sendiri. Berjaga di sana selalu
punya banyak cerita, selalu bertemu orang yang beraneka rupa, kemarin 3 narapidana cantik, masih
belia, berpostur aduhai, semuanya terkena kasus narkoba.

Bertemu pula dengan salah seorang pejabat struktural, dr. M namanya, berbincang dan bertukar nomor
whatsapp karena ternyata satu kampung, Bangka Belitung. “Gigi kamu bagus, protrusif, jelas putih dari
jauh,” katanya pertama kali pandangannya langsung terarah dan membuatku susah dilupakan karena
gigi. Benar benar hanya beliau yang pernah memuji gigi yang sebelumnya paling membuat tidak percaya
diri selain tinggi badan dan tulang belakang yang bentuknya tidak sempurna.

Tapi hal ini membuat belajar, bahwa apa yang ada hanya bergantung sudut pandang, bagaimana kita
memandangn. Beberapa orang akan merasakan ketidaksempurnaan itu sebagai sebuah penghambat,
tapi beberapa orang akan menghargai ketidaksempurnaan itu sebagai pengingat.

Tenyata hari ini berbeda itu menjadi lebih penting ketimbang menjadi sempurna.

Senin, 10 Juni 2019

Masjid Al Kamal, Kedoya Raya, sembari mengambil napas, menyantap bekal kotak makan berisi roti lapis
meses dan satu buah pisang. Duduk bersama map berisi daftar riwayat hidup, surat lamaran, form
aplikasi, keringat jagung, dan perasaan tidak menentu. Jadi begini rasanya menjadi orang yang mencari
pekerjaan. Kebanyakan manusia mengira dokter tidak akan kesulitan mencari pekerjaan, memang tidak.
yang sulit itu bukan mencari pekerjaan, tapi mencari jalan yang akan membawa pada impian.

Mengukir jalan setapak pada hutan belantara pasti lebih sulit dari menyusuri jalan yang sudah jelas
kentara.

ya itulah yang sebagian manusia sedang ramai membahasnya. Privilege. Mau diakui atau tidak, privilege
itu benar adanya. Tapi apa kita akan terfokus pada kesempatan menyalahkan ketiadaan privilege?
Cukup tahu saja. karena pada kenyataannya memiliki privilege tidak selamanya membawa pada gerbang
kenyamanan. Tidak juga 100% dari mereka yang memilikinya dapat memanfaatkan sebuah imunitas itu.
Terjebak dalam situasi.

Cap “wajar saja” jika mampu memanfaatkannya, dan

Cap “bagaimana bisa” jika tidak mampu memanfaatkannya.

ya begitulah hidup, kalau berkutat pada persepsi manusia yang tiada habisnya mengurusi manusia
lainnya. Lebih baik fokus mengukir jalan setapak di tengah rumput ilalang, biar jalan setapak ini nantinya
dapat menjadi jalan untuk orang lain pula, toh Nabi juga menasihati “orang yang paling baik adalah yang
bermanfaat untuk orang lain.”

Anda mungkin juga menyukai