Anda di halaman 1dari 4

KOMITMEN KEMBALI KE INDONESIA,

RENCANA PASCA STUDI DAN RENCANA KONTRIBUSI


dr. Retno Widyastuti

Menjadi seorang dokter adalah cita-cita yang saya miliki sejak berada di sekolah menengah
pertama. Lahir dari keluarga yang sederhana, tinggal di pedesaan, dan dengan latar belakang
keluarga yang tidak memiliki seorang pun berprofesi sebagai dokter, tidak menjadikan saya gentar
untuk berusaha menggapai mimpi saya tersebut. Alhamdulillah, pada tahun 2018 saya disumpah
menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Perjalanan
menjadi dokter adalah perjalanan yang panjang, penuh perjuangan, kesabaran, dan kegigihan.
Awal perkuliahan menjadi titik permulaan dimana segala sesuatu menjadi tantangan besar bagi
saya. Saya yang berasal dari daerah begitu merasakan kesenjangan antara saya dan teman-teman
saya yang berasal dari kota besar dalam hal ilmu pengetahuan dasar, kemampuan bahasa inggris,
kemampuan akses terhadap teknologi dan literasi, juga relasi. Pada awalnya, saya sempat merasa
rendah diri, namun tidak berlarut setelah saya mengingat kembali alasan dan tujuan mengapa saya
ada titik itu.”Menjadi dokter adalah profesi mulia, jika kamu menjadi anak yang pintar maka
gunakanlah kemampuanmu untuk menolong orang lain”, sekiranya begitu nasihat yang saya
terima dari mendiang nenek saya. Kegigihan saya dalam belajar, beradaptasi dengan lingkungan,
pantang menyerah walau banyak tantangan, dan berkat keridhaan dan doa orang tua, mengantarkan
saya menjadi lulusan terbaik kedua sarjana kedokteran, lulus dengan predikat lulusan tercepat dan
dengan pujian pada wisuda sarjana saya di tahun 2016.
Setelah lulus menjadi dokter, saya dihadapkan pada pilihan karir yang bisa saya pilih.
Bergabung dalam program Kementerian Kesehatan Penugasan Khusus Nusantara Sehat adalah
pilihan hidup yang hingga saat ini begitu saya syukuri dan banggakan. Mengabdi di daerah perifer,
daerah yang tidak banyak tersentuh oleh pelayanan kesehatan yang memadai, membuka lebar mata
saya pada begitu banyak permasalahan kesehatan yang nyata ada di masyarakat. Saya tidak pernah
merasa sebegitu dekat dengan orang-orang di sekitar saya, hingga ada banyak detil-detil kecil yang
saya amati dan resapi. Betapa amanat Undang-Undang Dasar 1945, bahwa setiap orang berhak
hidup sejahtera dan memperoleh pelayanan kesehatan, masih belum bisa dipenuhi oleh negeri ini.
Kesenjangan yang ada di daerah pinggiran dan ibukota begitu tampak nyata pada aspek kesadaran
masyarakat akan kesehatan, juga pelayanan kesehatan yang belum memadai. Saya kemudian
ditempatkan bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten, dan permasalahan yang saya
temui pun tak jauh berbeda.
Indonesia sebagai bagian dari negara-negara di dunia ikut serta dalam kesepakatan capaian global,
Sustainable Developmental Goals (SDGs). Salah satu sasarannya di bidang kesehatan, adalah
menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia
pada tahun 2030. Masih terdapat banyak pekerjaan rumah di bidang kesehatan misalnya masih
tingginya angka kematian dan kesakitan bayi dan balita yang hingga saat ini belum tercapai
targetnya. Permasalahan lain di bidang kesehatan adalah belum meratanya pelayanan kesehatan,
termasuk dokter spesialis, hingga ke daerah-daerah dan terutama Indonesia Timur. Padahal bidang
kesehatan sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan manusia Indonesia. Hal ini menjadi
penting untuk ditanggulangi mengingat pada tahun 2045, diharapkan Indonesia telah memiliki
sumber daya manusia yang berkualiatas sesuai dengan visi Indonesia Maju.
Anak merupakan aset yang menentukan kehidupan bangsa di masa depan. Sumber daya manusia
unggul harus di siapkan sejak dini, namun permasalahan kesehatan telah menjadi momok bagi
keberlangsungan kehidupan juga tumbuh kembang mereka. Angka kematian bayi dan balita masih
tergolong tinggi, dan penyebab-penyebabnya pun telah terdokumentasi dengan cukup baik. Salah
satu penyebab yang masih kurang digaungkan adalah kelainan kongenital. Padahal persentasinya
cukup besar dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2019, kelainan kongenital
menjadi penyebab dari 9.95% kematian bayi, dan meningkat menjadi 12,36% di tahun 2021. Selain
itu, masih banyak kelainan dan penyakit lain yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
anak yang memerlukan pembedahan seperti penyakit Hirscrprung, undencendentus testis, hernia,
hipospadia, atresia esofagus, appendisitis, malformasi anorektal, dan masih banyak lagi.
Insidensi penyakit dan kelainan di bidang bedah anak di Indonesia masih belum jelas
karena keterbatasan data. Namun, menurut pengalaman saya saat menjalani kepaniteraan klinik di
RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang, terdapat banyak kasus bedah anak yang dirujuk dari
Rumah Sakit Umum Daerah di wilayah Sumatera Selatan. Dan faktanya, kasus bedah anak ini bisa
diibaratkan seperti fenomena gunung es. Masih banyak sekali kasus yang tidak terdeteksi, tidak
tertanggulangi, dan tidak tertolong. Selama saya menjalani tugas di Puskesmas di daerah perifer,
saya beberapa kali menemui kasus bedah anak yang memerlukan pembedahan segera. Selama
bekerja dua tahun terakhir di RSUD saya saat ini, saya juga menemui banyak kasus bedah anak
yang tidak dapat ditanggulangi dan harus dirujuk. Selain itu, masih banyak juga kasus bedah anak
yang terabaikan ataupun lambat untuk dibawa berobat. Sebut saja anak tetangga saya yang baru
diketahui memiliki hipospadia saat akan beranjak masuk sekolah, keponakan saya yang masih
dibiarkan dengan salah satu testis yang tidak turun ke skrotum, dan masih banyak lagi kasus-kasus
di luar sana yang masih belum diketahui. Minimnya pengetahuan dan belum memadainya
pemerataan pelayanan kesehatan di bidang bedah anak merupakan tantangan yang harus segera
diselesaikan.
Berangkat dari permasalahan tersebut diatas, saya merasa bahwa peran dokter spesialis bedah anak
sangat dibutuhkan. Namun realitanya, jumlah dokter spesialis bedah anak di Indonesia masih jauh
dari jumlah ideal. Hal ini disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan Perbani di Semarang
tahun 2022, bahwa dokter spesialis bedah anak di Indonesia baru mencapai 163 dari target minimal
800 orang. Untuk mencetak banyak dokter spesialis bedah anak pun masih menjadi tantangan yang
besar karena saat ini baru terdapat empat universitas yang memiliki program studi pendidikan
dokter spesialis bedah anak. Dokter spesialis bedah anak memiliki kontribusi yang signifikan
dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada bayi dan anak, sehingga percepatan dan
dukungan pemerintah pusat akan sangat diperlukan.
Ketertarikan saya pada bidang bedah anak sebenarnya telah ada sejak saya menjalani
kepaniteraan klinik di RSMH Palembang. Saat itu saya merasa sangat kagum pada pekerjaan
seorang dokter spesialis bedah anak. Bagaimana seorang bayi dengan perut membuncit, muntah-
muntah, dan diare bedarah yang kemudian menjalani operasi pembedahan, dapat pulang dengan
raut wajah yang kembali lucu dan menggemaskan. Juga kedua orangtua yang sebelumnya penuh
dengan kecemasan dan rasa bersalah dapat kembali tersenyum lega dan gembira. Saya begitu
tersentuh pada ide bahwa, ketika kita menyelamatkan seorang anak, maka kita telah
menyelamatkan masa depan. Anak yang saat ini sedang pulih dari pembedahan, di masa depan
mungkin saja menjadi seoerang yang hidup dengan sangat baik atau bahkan menjadi pemimpin
yang membawa perubahan besar dalam kehidupan.
Tekad saya untuk melanjutkan pendidikan bukan tidak pernah goyah. Setelah lulus menjadi
dokter, saya menjumpai realitas bahwa menjadi seorang dokter spesialis terlebih dokter spesialis
bedah anak adalah mimpi yang agaknya tampak “muluk” untuk seseorang yang punya
keterbatasan seperti saya. Beberapa sejawat juga meragukan keinginan saya dan menawarkan opsi-
opsi lain yang “nampaknya lebih mudah”. Pada awalnya saya sempat mengubur mimpi saya
tersebut dan menjadikannya sebagai salah satu mimpi yang tidak pernah terwujud. Namun, getaran
di hati saya setiap kali kembali bertemu dengan kasus bedah anak, dukungan keluarga dan orang
terdekat, juga rekomendasi dari direktur tempat saya bekerja saat ini, telah menguatkan kembali
tekad saya. Saya juga kembali mengingat kalimat yang pernah diucapkan guru saya, “Tidak
banyak yang mau menjadi dokter spesialis bedah anak. Pasien yang kita layani sebagian besar
adalah meraka yang hidup dalam kekurangan. Bila berharap materi, bedah anak bukanlah opsi.
Namun bila berharap kepuasan hati untuk mengabdi maka disini kamu harus berdiri.”
Saya memiliki mimpi bahwa Indonesia di masa depan akan menjadi negara yang mandiri dalam
memanfaatkan potensi yang dimiliki. Karena apalah arti bila hanya sebatas potensi tanpa realisasi.
Pelayanan kesehatan yang telah merata, jaminan kesehatan untuk semua/ universal health
coverage (UHC), bertambah majunya pendidikan, penelitian dan pengembangan teknologi
kesehatan secara umum, dan khususnya di bidang bedah anak. Saya berharap tidak ada lagi
kematian bayi dan anak kurang beruntung yang terlahir dengan kelainan bedah yang seharusnya
bisa tertolong, tidak ada lagi bayi dan anak yang memiliki kelainan bedah yang tidak terdeteksi
atau dibiarkan begitu saja bertumbuh kembang dengan tidak selayaknya, tidak ada lagi alasan
bahwa pelayanan bedah anak terlalu jauh untuk dijangkau di ibukota. Itulah segelintir mimpi saya
yang semoga akan segera terealisasi.
Kita memang tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi, namun cara terbaik untuk
memprediksi masa depan adalah dengan menciptakannya. Sehingga peran sekecil apapun akan
menjadi berarti bila dimulai dari sekarang. Saya berusaha membentuk karakter diri saya menjadi
seseorang yang terus gigih, tangguh, dan selalu meningkatkan kualitas diri. Tidak perlu menunggu
saat telah menjadi dokter spesialis, saat ini pun saya akan berperan sebagai dokter umum yang
memberikan kontribusi pelayanan kesehatan dengan maksimal dan sebaik-baiknya. Namun bila
saya diberikan kesempatan untuk mendapatkan beasiswa dan melanjutkan pendidikan dokter
spesialis, saya akan melanjutkan peran dan kontribusi saya sebagai dokter spesialis bedah anak
yang mengabdikan diri untuk memberikan pelayanan menemukan dan mendiagnosa kelaianan
bedah anak, melakukan baik tindakan bedah dan nonbedah pada kasus bedah anak di daerah,
memberikan edukasi sebanyak-banyaknya pada masyarakat dan tenaga kesehatan lain, melakukan
kolaborasi dengan dokter spesialis dan penunjang lainnya dalam sebuah tim, melakukan riset untuk
memajukan penelitian di bidang bedah anak, Bergabung di pendidikan untuk mencetak lebih
banyak lagi dokter spesialis bedah anak.
Saat ini di Indonesia hanya terdapat empat universitas yang memiliki program studi
spesialis bedah anak yaitu Universitas Padjadjaran, Universitas Gajah Mada, Universitas
Airlangga, dan Universitas Hasanudin, dengan lama studi antara 10-12 semester. Bila saya
mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan sekolah, saya akan menjalani pendidikan dengan
sebaik-baiknya, memanfaatkan fasilitas yang ada untuk memperdalam peminatan saya di bidang
bedah anak terutama di sub bagian digestif anak, dan ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial
yang ada di bagian bedah anak.
Saat saya telah menyelesaikan pendidikan spesialis, saya mengabdikan ilmu yang telah
saya dapatkan untuk meningkatkan pelayanan bedah anak. Hal-hal yang akan saya lakukan adalah
1. Saya akan kembali ke rumah sakit tempat saya bekerja untuk megembangkan klinik bedah
anak
2. Berkolaborasi dengan dokter spesialis anak untuk mengembangkan perawatan NICU dan
PICU, juga tenaga kesehatan dan penunjang lain yang terkait dengan pembedahan dan
perawatan bedah anak di RSUD tempat saya bekerja
3. Memberikan pelatihan-pelatihan pada tenaga kesehatan yang ada di sekitar tempat saya
bekerja
4. Melakukan kegiatan-kegiatan edukasi agar pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan
kasus bedah anak semakin meningkat
5. Membantu menciptakan lebih banyak lagi dokter spesialis bedah anak dengan mengabdikan
diri saya di bidang pendidikan. Saya bermimpi bahwa dalam 10-15 tahun kedepan, FK
Unsri-RSUP Dr. Moh Hoesin bisa memiliki prodi bedah anak sehingga percepatan
pemenuhan dokter spesilais akan terwujud.
6. Melakukan riset di bidang bedah anak dan melanjutkan studi subspesialis

Sepanjang pendidikan dan karir saya, saya merasa telah banyak dibantu dan difasilitasi
oleh negara sehingga saya bertekad untuk terus melakukan pengabdian. Saya melihat bahwa di
Indonesia terlebih di daerah tempat saya bekerja masih sangat kekurangan dokter spesialis bedah
anak dan saya memiliki tekad kuat untuk melanjutkan pendidikan dokter spesialis walaupun harus
menghadapi tantangan yang besar. Beasiswa LPDP layaknya oasis ditengah gurun pasir bagi saya
yang sedang berjuang ini. Saya merasa bahwa inilah saatnya saya saya mengambil kesempatan
untuk meningkatkan kapasitas diri dalam menggapai mimpi saya mengabdi dan terus memberi
kontribusi. Saya merasa bahwa apa yang menjadi mimpi saya selaras dengan apa yang diharapkan
LPDP sehingga besar harapan saya bahwa panitia seleksi LPDP dapat mempertimbangkan
komitmen dan rencana-rencana saya kedepan agar saya dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk
memberikan kontribusi.

Anda mungkin juga menyukai