Anda di halaman 1dari 46

Untuk Kamu yang Berjuang Melawan Bullying dari Guru Sendiri

MOJOK.CO – Mau dia guru, kepala sekolah, atau tukang cilok, bullying tetap bullying.
Tugasmu adalah menjaga agar mentalmu tak jatuh. Tidak gampang, tapi harus bisa.

Semasa SMA saya pernah punya guru yang kehadirannya lebih kerap memicu asam lambung
ketimbang mengajar mata pelajaran yang diampunya, Bahasa Inggris. Guru wanita ini seperti
dilanda dendam kesumat pada murid bodoh, atau banyak mulut, dan terlebih murid bodoh
dan banyak mulut.

Saya di waktu itu adalah anak yang dalam kondisi separuh tidur pun bisa dapat nilai sembilan
di pelajaran ini. Namun, karena banyak mulut, maka saya dibencinya. Matanya berkobar-
kobar saat mengusir saya karena bersenandung kecil dalam upaya mengusir rasa bosan ketika
ia sedang menerangkan di depan kelas.

―Pindah ke Inggris sana kalau sudah merasa sangat pintar!!!‖

Teman lain kelas, seorang anak perempuan, pernah juga diteriakinya,‖Sudah bodoh, hitam,
pesek pula!‖ Waktu istirahat berita itu tersebar dan si guru disumpahi punya menantu bodoh,
hitam, pesek pula oleh anak-anak dari sekian kelas.

Beragam jenis kata kejam pernah keluar dari mulut guru ini. Tapi, tak ada yang lebih sadis
ketimbang apa yang dikatakannya pada salah seorang teman sekelas, sebut saja Nyonyo, satu-
satunya etnis Tionghoa di SMA kami.
Demikian kata Ibu Guru: ‖Besok kamu pindah sekolah sana! Jangan di sekolah negeri,
pindah saja ke sekolah anu (menyebut nama sekolah swasta elit pilihan anak-anak keturunan
di kota kami). Kamu seharusnya berkumpul dengan kaummu!‖

Berhubung kami adalah produk tahun ‗90-an yang biasa dipukuli kemoceng di rumah, maka
rentetan kata-kata jahat ibu guru itu justru kami jadikan bahan untuk meledek satu sama lain.
Pendeknya, kami sama sekali tidak terpengaruh oleh kata-kata keji guru culas tersebut. Hanya
saja saya belakangan kerap berkhayal, betapa indahnya dunia bila ia hidup di masa kini, di
mana orang tua murid sedikit-sedikit melaporkan guru ke polisi.

Mungkin ia bisa keluar-masuk penjara sesering orang tua mengambil rapor bayangan dan
semesteran.

Guru-guru dengan mental bullying macam ini, entah dengan alasan apa, selalu tersambung
regenerasinya dari waktu ke waktu. Masa boleh berganti, dari generasi X dan seterusnya,
namun pengajar dengan mulut tajam tak kenal nurani tetap lestari. Bukti paling mutakhir
adalah twit viral yang menjalar ke Facebook tentang anak-anak yang telah sukses di
bidangnya masing-masing, datang untuk ―menggoda‖ guru yang pernah merendahkan
mereka.

Seorang perempuan muda memamerkan studi S-3 yang ditempuhnya pada guru yang
mendakwanya tak bakal lolos S1, sebab nilai UN Fisikanya hanya 5,25. Seorang dokter
menyampaikan salam dari pasiennya pada wali kelas yang mengatainya tak bakal jadi dokter.
Satu perempuan muda dituding bermasalah dan tak tahu besok jadi apa oleh guru BK-nya
dulu, dan beberapa tahun kemudian ia menjadi manajer di usia 23.

Bahkan ada yang ketika SMP dimaki goblok oleh guru sambil dijambak rambutnya karena
jawabannya salah. Dituding seniman tak bakal punya masa depan, ternyata perempuan muda
itu sukses menggelar pameran di mana-mana dan membuat bangga orangtuanya.

Itu cerita-cerita yang terekspose. Sudah pasti di balik air yang biru tenang masih gunungan
guru lain yang gemar melakukan bullying. Apakah semua kata-kata tersebut digunakan para
guru tersebut untuk memotivasi muridnya agar maju? Saya tidak yakin. Ada banyak pilihan
kata lain untuk mendorong semangat tanpa menyinggung latar belakang ras, penampilan
fisik, dan lain-lain hal menyakitkan.

Tetapi apakah kemudian kata-kata itu bisa dijadikan alasan untuk membuat si penerimanya
jatuh dalam kubangan rasa sakit hati dan amarah tak berkesudahan? Untuk soal ini, saya
sangat yakin jawabannya adalah tidak, kendati kita memang punya pilihan.

Sama halnya pedang bermata dua, kekerasan dalam bentuk apa pun,
termasuk bullying verbal, bisa ―menguntungkan‖ kalau kita memang memilih menjadikannya
begitu. Yang jelas jadi bukti adalah rentetan kisah di atas. Anak-anak yang dipandang hina
oleh guru-gurunya, tapi memutuskan mengubah rasa sakit itu sebagai lecut pemacu.

Bahkan dalam beberapa hal saya menganggap mereka cukup ―beruntung‖. Mereka beruntung
sudah kena ―lecutan‖ di periode awal kehidupan. Sebab kelak, ketika seragam putih abu-abu
mereka tanggalkan, mereka akan menghadapi deretan dosen yang kerap berlagak separuh
dewa, yang dimintai waktu untuk konsultasi saja sulitnya minta ampun. Jangan dikira
dibiarkan menunggu seharian tanpa kepastian bukan teror mental. Belum terhitung makalah
yang susah-payah dibuat sampai berkeringat jagung, dan di ujung hari hanya dipandang
sekilas sambil dicoret-coret tanpa ampun.

Sudah cukup? Belum. Masih ada medan cambukan lanjutan, yaitu periode lulus kuliah. Di
sini ada berkas-berkas lamaran yang tak kunjung mendapat respons, rangkaian wawancara
kerja tanpa berita, dan seterusnya.

Di tengah tekanan itu, tetangga kiri-kanan mulai kasak-kusuk karena anak Pak Ibnu sudah
lulus empat bulan tapi masih nganggur, dan sebagainya. Lalu, ketika sambil menunggu
panggilan, anak Pak Ibnu tersebut memutuskan mengisi waktu dengan menjadi sopir ojol.
Tawa makin menggema dari balik pintu-pintu rumah tetangga.

Dan ketika akhirnya panggilan kerja diterima, masih ada ancaman rekan kerja penjilat yang
suka memfitnah di depan atasan. Atau atasan culas yang ―mencuri‖ proyek hasil peras otak
bawahannya dan mengaku sebagai hasil kerjanya di depan big boss. Belum terhitung
konsumen yang mengartikan pepatah ―pembeli adalah raja‖ dengan segenap penghayatan dan
kesungguhan.

Satu lagi jenis tekanan yang kerap tak diperhitungkan, tapi dampaknya sangat nyata pada
menurunnya tingkat kebahagiaan seseorang adalah stres di jalanan. Kota mana pun di
Indonesia kini menghadapi masalah padatnya lalu lintas, bukan hanya Jakarta. Berangkat dari
rumah subuh, di jalanan tertekan, di kantor sikut-sikutan, ketemu konsumen jadi bulan-
bulanan, pulang larut dan tidur hanya beberapa jam.

Tidak ada satu dalil pun yang bisa membenarkan guru yang bersikap rasis, menghina
penampilan fisik muridnya, atau mengatainya goblok hanya karena si murid tak mahir satu
jenis pelajaran. Saya jadi ingat Alm. Romo Mangunwijaya dalam satu wawancaranya, di
mana beliau berkata demikian, kira-kira, ―Tak ada satu anak pun yang bodoh sepenuhnya.
Bisa saja dalam SEMUA pelajaran dia jeblok, tapi siapa tahu dia pintar main layangan?‖

Kalau dipikir-pikir benar juga, ya. Dipikir main layangan itu gampang apa? Saya saja waktu
kecil diajari selama beberapa minggu oleh bapak saya sampai kulit hangus, baru mahir teknik
―ampatan‖ atau memotong senar lawan.

Sekali lagi, tak ada dalih bagi guru untuk menjatuhkan mental muridnya. Tapi ini berita
baiknya: Si murid dalam hal ini justru diberi semacam peluang ―the moment of truth‖: ―Kira-
kira aku bakal drop, percaya pada semua omongan jahat itu, lalu putus asa dan seterusnya,
atau justru maju karena hinaan, ya?‖

Percayalah, anak zaman sekarang, walaupun kelihatannya terkubur dalam kubangan Tik-Tok,
sesungguhnya adalah kelompok manusia dengan kemampuan berpikir yang tajam, kalau saja
ada sedikit dorongan. Mereka berbeda dengan anak-anak tahun ‘90-an, anak-anak zaman
saya, yang direndahkan macam apa pun toh tak memetik hikmah sedikit jua kecuali
cengengesan tanpa ukuran.
Mengingat fakta bahwa guru-guru dengan hobi bullying akan selalu hadir di setiap zaman, tak
ada pilihan lain bagi para murid—yang kelak akan tumbuh dewasa dengan beragam stres dan
tekanan dari dunia luar yang jauh lebih keras. Mereka harus mengubah kekejian verbal
menjadi cambuk. Cambuk memang tak ada yang empuk, tapi dengan itu, siapa pun yang
menerimanya tak akan mudah diinjak untuk kemudian remuk.

Yuanita Maya

Penulis, ibu rumah tangga, tinggal di Jakarta.


Pakai Darah Haid demi Bikin Cowok Klepek-klepek, Salah Satu
Wujud Insecure yang Aneh
Darah menstruasi untuk ritual pelet

MOJOK.CO – Ada narasi yang menyebutkan bahwa ketika perempuan mencampurkan


darah haid ke minuman cowok yang dia suka, ini bisa jadi pelet ampuh.

Masa kecil perempuan dipenuhi dengan anggapan bahwa darah menstruasi adalah darah yang
paling jorok ketimbang darah lainnya. Padahal, darah itu ya sekadar darah biasa yang
kebetulan menandai salah satu fase reproduksi perempuan. Di banyak kebudayaan,
perempuan yang sedang mengalami datang bulan juga dianggap jorok, diasingkan, dan
dilarang untuk melakukan aktivitas normal.

Ini masih mending, ada anggapan yang lebih brutal, darah haid dianggap klenik dan jadi
instrumen penting dalam ritual pelet. Konon, sihir yang melibatkan darah menstruasi bisa
membuat seorang pria klepek-klepek. Sebab saya bukan ahli ilmu hitam, urgensi penggunaan
darah menstruasi perempuan buat melangsungkan ritual pelet mungkin bisa Anda tanyakan
ke Mbah Mijan. Tapi, satu yang pasti, mencampur darah itu ke dalam minuman pasangan
atau target bribikan Anda adalah sebuah bentuk ketidakpercayaan diri yang cukup aneh,
apalagi jika ritual ini dilakukan asal-asalan dan mandiri.

Lah, ternyata beneran ada yang melakukan praktik nista macam itu?

Ya ada lah! Jangan salah, kepercayaan bahwa darah macam ini bisa membius laki-laki ada di
banyak kebudayaan. Nggak cuma di Indonesia. Bahkan, sebuah film horor yang disutradarai
Ari Aster berjudul Midsommar juga menggunakan elemen semacam ini.

Dalam film tersebut, tokoh perempuan dari desa Halga mencampurkan rambut kemaluannya
dalam adonan pai yang dihidangkan untuk seorang tokoh laki-laki. Minuman si tokoh laki-
laki yang disuguhkan juga berwarna oranye pekat, menandakan bahwa ada sebuah campuran
yang berbeda di sana. Ya apalagi kalau bukan darah mens.

Seusai acara makan-makan, si lelaki ini kemudian ―didorong‖ untuk melakukan ritual
persetubuhan dengan si perempuan Halga. Padahal sebelumnya, tokoh laki-laki tersebut sama
sekali nggak tertarik. Inilah saudara-saudara, sebuah pelet internasional.

Dalam ilmu sihir, ritual pelet macam itu memang ada dan memang dipercaya bisa membius
targetnya biar tarakdungces sama seseorang. Sayangnya, si tersangka yang pakai jalan pintas
untuk bikin orang jatuh cinta semestinya nggak bangga sama praktik macam ini. Selain
menjijikan karena membuat orang lain ―meminum‖ darah, ini adalah bentuk
ketidakpercayaan diri. Apa saking kehabisan pesona makanya pakai cara-cara klenik, Mbak?

Gini lho gini, logisnya dua insan saling jatuh cinta karena ada listrik-listrik yang
menghampiri mereka berdua. Sumbunya bisa muncul karena rupa, karena kebaikan hati,
ketenangan jiwa, kekayaan, kekaguman dengan personalitas (hilih ngisink!), atau bahkan
hanya karena terbiasa. Ini adalah cara-cara ―normal‖ buat menumbuhkan cinta lho ya.
Sedangkan cara merawat agar cinta itu tidak padam tentunya jauh lebih beragam. Ada yang
namanya perhatian, kesabaran, keseriusan, kasih sayang, sampai… ehem, sentuhan. Jika
kalian adalah pencinta sejati dan petarung hati, mbok yakin kalian nggak butuh hal klenik
buat bikin lawan jenis klepek-klepek. Sekali merayu, dua tiga bujangan bisa ge-er.

Lagian praktik nyampurin darah haid ke kopi target itu agak konyol. Kalau niatnya mau
melet beneran, tentunya perlu ritual khusus yang nggak sembarangan. Bukan asal nyendokin
darahnya dari pembalut lalu mengaduknya dengan segelas robusta cum arabika cum house
blend kesukaan si doi. Pasti perlu ada jampi-jampi khususnya. Sekali lagi, coba tanyain dulu
ke Mbah Mijan deh.

Kalau saya sih, ini kalau saya lho ya. Mending pakai pelet jalur kanan alias doa yang tulus.
Boleh ditiru jika kamu bukanlah ateis dan agnostik. Panjatkanlah syukur kepada Tuhan yang
sudah menciptakan insan macam si dia, dia yang bisa membuatmu terpesona. Mintakanlah
rahmat dan kebaikan dari Tuhan untuknya biar dia bisa hidup dengan lebih baik. Syukur-
syukur dia bisa dapat hidayah buat melirikmu yang penampakannya samar kayak bunglon
lagi mimikri. Dengan begitu kamu nggak perlu ritual aneh-aneh, nggak perlu konsultasi ke
dukun, dan peras pembalut diam-diam.

Mbok yang percaya diri gitu lho kalau sayang. Udahlah, percaya aja kalau doamu lebih
manjur dari jalur pelet mana pun.

Ajeng Rizka
Redaktur Mojok. Suka koprol.
Serba Salah sama Orang yang Merendah untuk Meroket, Insecure
Beneran Apa Sombong sih?

MOJOK.CO – Orang yang suka pamer IPK di menfess, selfie bangun tidur padahal cantik
apa nggak lagi praktik merendah untuk meroket ya? Sampai bingung mau respons apa.

Secara pribadi saya gedeg banget sama orang-orang yang pamer IPK tinggi dan bilang dia
galau karena nilai dia dapat nggak seberapa. Woy, Anda sama aja kayak bilang, ―Maaf ya,
aku cuma Nia Ramadhani.‖ Tapi ngomongnya ke seluruh netizen yang kebanyakan kaum
sobat misqueen.

Saya kan jadi punya prasangka negatif. Jangan-jangan orang ini memang berniat merendah
untuk meroket. Hadeeeh, klasik. Biar dipuji ya, Bos. Rasanya pengin bales, ―Aduh, IPK aku
semester ini juga 4 bulat, gimana dong, aku takut dikira sombong.‖ Padahal memang lagi
pamer.

Di dunia nyata orang-orang kayak gini bermanifestasi dalam berbagai berntuk. Pernah nggak
sih temanmu tiba-tiba chat WhatsApp dan curhat kalau lagi kebingungan ngerjain tugas. Dia
bilang kalau tugasnya belum selesai dan insecure parah, takut tugasnya nggak bisa selesai.

Lalu kamu bertanya, ―Emang udah dapat berapa kata buat nulis esainya?‖
Dia pun menjawab, ―Aduh, baru 5.000 kata nih, gimana dong, baru sedikit banget.‖

Kamu pun terasa kayak habis disamber gledhek karena kamu bahkan belum menyentuh
tugasmu, bahkan belum kepikiran mau bikin esai soal apa. Insecure-nya pindah ke kamu.
Padahal kamu nggak melakukan apa pun.
Merendah untuk meroket di dunia nyata memang terasa lebih bangsat. Kadang saya merasa
kalau orang-orang begini cuma pengin memindahkan kekhawatirannya dengan mencari
kawan yang sekiranya males. Biar dia tenang karena ada teman yang kesiapannya lebih
buruk. Kejam betul.

Beberapa spesies ini memang membuat cemas. Kadang saya pun heran kok ada yang ngepost
jumlah IPK-nya di Instastory dan ngasih tau orang-orang nilainya emang ‗sebagus itu
lho guys…’ demi menaikkan kepercayaan diri dan bikin orang lain minder.

Padahal kawan-kawannya mungkin dapat IPK standar karena bodo amat sama nilai. Ada juga
yang lemah soal mata kuliah dan ujian tertulis, tapi mereka lebih cerdas di urusan praktik dan
kerja nyata. Seolah-olah dia pamer barusan dapat piala, padahal kawan-kawan lainnya
menargetkan uang. Sabar ya, Bung.

Sebenarnya nggak cuma soal IPK dan dunia perkuliahan aja, praktik merendah untuk
meroket ini sering dilakukan oleh mbak-mbak di media sosial. Tiba-tiba foto bangun tidur,
bilang no makeup, merasa jelek banget. Padahal Anda pakai bulu mata extension, mana bibir
udah disulam dan diisi, belum lagi alisnya udah pakai tato 3D. Tapi captionnya bilang,

―Duh, muka aku bengkak. Bangun tidur, jelek banget nggak sih?‖

Selanjutnya diunggah ke Instagram Story, Tik Tok, dan Twitter. Sebenarnya mbaknya
berharap apa sih? Berharap dibilang ―iya jelek banget mbak ngapain dipost.‖ atau ―ah, nggak
jelek kok, cantik banget.‖ Saya kadang suka bingung mau merespons apa, masak orang cantik
nggak tahu kalau dirinya cantik?!

Tapi seberapa sebel saya sama fenomena-fenomena merendah untuk meroket ini, tetap saja
ada perasaan nggak tega. Jangan-jangan mereka memang menilai dirinya seburuk itu
sehingga terselip rasa insecure di tengah segala kelakuannya yang nyebelin. Kalau saya
membalas dengan kata-kata kasar yang cenderung ngajak ribut jadinya nggak tepat.
Kesannya saya kode-kode biar dikirimin meme ‗iri bilang bos‘ yang gambarnya Pak Harto
lagi ngerokok.

Saya jadi ingat kejadian lama ketika teman saya nangis-nangis saat keluar ruangan UN SMP.
Katanya, dia tahu betul ada satu soal matematika yang dia jawab dengan keliru. Iya, dia cuma
salah satu tapi menangisinya semalam. Sementara murid lainnya bersenang-senang setelah
berhasil mengerjakan 75% soal dengan benar. Asal lulus aja mereka bersyukur. Dari
peristiwa ini kita tahu, standar goblok orang itu beda-beda.

Sama aja kan dengan standar IPK rendah orang-orang dan standar cantik mbak-mbak ketika
bangun tidur. Siapa tahu ada yang menargetkan bangun-bangun mukanya kayak Laura
Basuki, waktu lihat kaya mukanya tetap kentang dia pun kecewa berat.

Sampai sekarang saya masih nggak tahu harus bersikap gimana menghadapi orang-orang
yang merendah untuk meroket. Karena kadang mereka sedang merendah karena merasa
rendah beneran. Asli, susah banget bedainnya.
Masalahnya begini, kalau saya terlanjur memuji orang yang terang-terangan mau sombong
kan males banget. Kayak ngasih makan ego orang secara cuma-cuma. Kadang kala saya ingin
membalas kesombongannya dengan kesombongan yang lebih besar. Sombong ke orang
sombong itu sedekah, Lur. Kalau ada yang pamer muka bangun tidur, bilang lagi jelek
padahal cakep. Saya bakal minta Gal Gadot buat balas unggahannya dengan selfie juga dan
bilang, ―Wah Beb, sabar ya. Aku malah heran kenapa ya muka aku kalau bangun tidur
langsung flawless.‖

Mamam nggak tuh.

Sementara di sisi lain kalau mereka benar-benar insecure, langkah membalas perilaku
sombong dengan kesombongan itu nggak tepat dan nggak jadi sedekah. Mereka bakal tambah
minder, rendah diri, dan nggak keluar kamar seminggu gara-gara disikat Gal Gadot.

Kadang kala membedakan orang yang merendah untuk meroket dan emang rendah beneran
itu lebih sulit daripada mempertahankan cinta beda agama.

Ajeng Rizka

Redaktur Mojok. Suka koprol.


Hidup Penuh Insecure, Mau Bahagia Kok Kebanyakan Mikir?

MOJOK.CO – Merasa insecure dengan kondisi diri sendiri. Jadinya susah untuk
mensyukuri anugerah yang Tuhan beri.

TANYA

Dear Mas/Mbak Mojok yang baik hati. Saya galau, tolong dijawab. Kalau tulisannya hancur,
mohon diedit. Soalnya saya sedang galau dan nggak kepikiran buat ngedit. Semoga Masnya
atau Mbaknya punya jawaban. Terima kasih

Btw, insecurity itu datang dari mana dan untuk siapa? Hal-hal yang belum tentu terjadi itu
datang dari mana dan pun jika terjadi itu untuk siapa?

Pernah nggak, Mas/Mbak ngalamin pengen deketin cowok tapi takut ditolak karena kita,
misalnya gendut, tidak berpenampilan menarik, tidak secantik Raisa, atau hartanya tidak
selimpah Tasya Farasya? Atau misalnya, Mas/Mbak pengin kerja di sebuah perusahaan elit
tapi takut nggak keterima karena misalnya IPK-nya kurang?

Nah saya sedang mengalami salah satu di antaranya. Yang pertama sih utamanya. Memang
masalah cinta-cintaan nggak pernah abis buat dibahas, yes. Apalagi cerita cinta bertepuk
sebelah tangan selalu menjadi cerita seksi yang nggak kalah pamor sama cerita operasi
plastik boongan.
Saya gendut, iya, saya overweight. Nggak begitu cantik juga, tapi saya suka sama mas-mas
yang nggak begitu ganteng juga, sih. Menurut intuisi saya, saya jatuh cinta. Akan tetapi,
melihat mas-mas yang saya suka ini kayaknya suka sama yang imut-imut, berbodi aduhai nan
langsing. Saya tentu bukan salah satu kriterianya. Belum juga bicara blak-blakan, saya
udah insecure duluan.

Saya merasa hidup saya diambang batas. Pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung
menemukan jawaban pun muncul. Apakah saya bisa memenuhi kriterianya? Apa yang terjadi
jika saya bilang ke masnya dengan keadaan saya yang seperti ini? Apakah saya harus diet
ketat dulu sedangkan saya nyaman dengan diri saya sendiri? Apakah masnya dengan keadaan
terbuka mau menerima saya?

Kemudian pertanyaan-pertanyaan itu dijawab dengan pertanyaan juga, masih oleh diri saya
yang membuat saya semakin merasa insecure. Jika pun iya saya langsing, emang masnya
mau sama saya? Saya langsing sih, tapi saya nggak kaya. Saya nggak punya
banyak followers, feed Instagram saya biasa aja. Saya juga nggak punya jabatan apa-apa.
Kalau iya saya memenuhi kriteria masnya, lalu apa? Masuk kriteria masnya sih, lantas
apakah saya akan bahagia?

JAWAB

Hai mbak-mbak yang nggak nyebutin namanya siapa. Btw, selamat bergalau ria dan merawat
dengan baik insecure dalam hidup sampeyan. Petama, iya, tulisan curhat sampeyan sudah
kami edit. Semoga hasil editannya ini lebih enak dibaca tapi tetap menyimpan
energi sampeyan yang penuh insecure tersebut.

Mbak, langsung saja kami jawab, ya. Ngomong-ngomong, justru perasaan insecure dan tidak
nyaman dengan diri sendiri lah, yang bisa bikin si Masnya bakal mikir-mikir buat
ngedeketin sampeyan. Lha, kalau sampeyan saja nggak percaya sama diri sendiri, gimana
orang lain bisa percaya buat nitipin hatinya buat sampeyan? Iya, nggak?

Di atas sampeyan dengan tegas bilang kalau, ―Saya gendut, iya, saya overweight. Nggak
begitu cantik juga‖, sungguh ini pernyataan kalau sampeyan memang belum bisa menghargai
dan bersyukur atas anugerah yang diberikan Tuhan pada sampeyan.

Mohon maaf nih ya, Mbak. Kalau memang sampeyan gendut dan nggak cantik, terus kenapa?
Masalahnya di mana? Banyak orang yang mengharap kondisinya yang terpenting tidak
kekurangan apa-apa, loh, Mbak. Lha, bukankah Mbak saat ini hidup dengan kelengkapan
fisik yang dapat berfungsi dengan semestinya?

Toh sampeyan juga bilang, ―Apakah saya harus diet ketat dulu sedangkan saya nyaman
dengan diri saya sendiri?‖ Nah, poinnya: bukankah sampeyan sudah nyaman dengan diri
sendiri? Lantas, lagi-lagi, masalahnya apa, Mbak? Kalau sampeyan sudah merasa nyaman,
ngapain harus ngeribetin sesuatu yang belum jelas juntrungannya. Sok-sokan meraba-raba
soal apa yang si Mas suka. Padahal, itu semua hanya mentok pada info yang
sedang sampeyan reka-reka sendiri, kan?
Begini ya, Mbak. Kalau modal merasa nyaman dengan diri sendiri sudah sampeyan miliki.
Tugas selanjutnya, sampeyan bisa menghargai apa yang ada di diri sampeyan tersebut. Lalu
berani untuk mengungkapkan padanya, bahwa sampeyan memiliki rasa yang kelihatannya
sih, jatuh cinta. Kalau sejauh ini hanya sibuk menebak-nebak dan merawat rasa insecure, ya
buat apa? Mbak?

Lha wong, sampeyan di akhir saja sudah bilang, ―Kalau masuk kriteria masnya, lantas apakah
saya akan bahagia?‖ Nah, itu. Kalau sampeyan memilih berjuang untuk mengubah sesuatu—
yang sebetulnya bikin sampeyan nyaman—demi orang lain, apakah ada
jaminan sampeyan akan merasakah kebahagiaan? Lantas, kenapa terlalu ngurusin
kebahagiaan orang lain? Kenapa nggak sibuk merawat kebahagiaan diri sendiri saja?

Mbak, buat apa terlalu ribet ngurusin hal-hal yang belum tentu juga bakal terjadi? Kasihan
energi sampeyan yang malah habis untuk sesuatu yang nggak jelas hasilnya. Bikin bahagia
aja nggak, bikin tenang apalagi….

Udah, dikurang-kuranginlah rasa insecure nya. Mending perbanyak makan gelato rasa
tiramisu aja, Mbak. Enaaa~

Audian Laili

Redaktur Terminal Mojok.


Toxic Parents Merasuki Orang Tua Asia, Stigma Negatif yang Jadi
Guyonan di Medsos
Pantesan orang tua Asia terkenal di jagat meme, soalnya suka nggak masuk akal sih!

MOJOK.CO – Cara didik orang tua Asia dianggap toxic parents dan sudah jadi meme.
Membandingkan anak sendiri dengan anak tetangga yang paling relate di Indonesia.

Meme internet dilihat dari satu sisi adalah sebuah cara orang-orang di internet bercanda. Di
sisi lain, meme juga sebuah produk budaya dan cerminan permasalahan yang kadang cukup
berbahaya. Topik soal cara didik orang tua Asia adalah salah satunya. Nggak hanya di
Indonesia, ternyata kebanyakan orang tua di beberapa negara Asia juga punya kultur yang
mirip.

Netizen menyebutnya sebagai toxic parents, kondisi saat apa yang dilakukan orang tua
terhadap anaknya adalah hal yang menyakitkan. Topik ini sensitif benar, tapi media sosial
sudah mengekstraksi masalah ini sebagai bahan bercandaan.

Nggak semua orang tua Asia separah ini, tapi konon banyak anak-anak Asia
yang relate dengan kondisi toxic parents. Guyonan paling mengena, adalah guyonan yang
memang dialami banyak orang. Coba cek stigma negatif tentang orang tua Asia berikut dan
mungkin kamu akan tertawa dalam kegelapan.

#1 Membandingkan anaknya dengan anak tetangga


Konon, ini adalah toxic parents yang paling relate dengan anak-anak Indonesia. Ketika anak
tetangga terbilang lebih sukses, punya prestasi segudang, dan sudah menikah duluan, siap-
siap mendengar perkataan dari orang tua yang isinya, ―Anaknya Bu RT itu lho, sudah… (isi
dengan pencapaian anak tetangga).‖

Sebenarnya orang tua kita nggak bermaksud menjelek-jelekkan anaknya sendiri. Tapi, entah
kenapa kok kalimat penyampaiannya terdengar menyakitkan ya?

Ucapan itu terjadi begitu saja. Salah satu redaktur Mojok yang sudah punya anak, nggak
perlu saya sebutkan deh, juga sempat mengalami kondisi ini. Katanya sih, kadang sebagai
orang tua mereka nggak sengaja membandingkan anaknya dengan anak tetangga atau anak
teman. ―Eh, anaknya si X kok sudah bisa calistung pas umur 3 tahun ya.‖ Duh, semoga
anaknya nggak dengar.

#2 Patokan suksesnya spesifik, yaitu jadi dokter, pilot, atau insinyur

Stigma negatif yang satu ini sudah turun-temurun. Pantesan, anak-anak Indonesia kalau
ditanya cita-citanya jadi apa kebanyakan jawab pengin jadi dokter. Seolah-olah dokter adalah
profesi yang paling baik untuk dirinya. Padahal nggak semua anak cocok jadi dokter, dan
nggak semua dokter sesukses yang dibayangkan orang tua Asia. Selain dokter, profesi pilot
dan insinyur juga kerap dijadikan patokan sukses.

Kalau kamu punya tetangga yang sepantaran, sudah jadi dokter, dan buka klinik di dekat
rumahmu, sedangkan kerjamu remote freelancer, siap-siap tutup kuping dengan apa yang
dibilang orang tuamu. Meskipun uangmu mungkin lebih banyak ketimbang si dokter,
pekerjaan freelance masih rawan dituduh ―ngepet‖ dan nirprestasi. Ah, andai
generasi boomer tahu berapa uang di rekeningmu.

#3 Jarang memuji, tapi membanggakanmu berlebihan di depan orang lain

Sebetulnya ini toxic parents juga sih, walaupun maksudnya baik. Masih mending kan orang
tua Asia yang membanggakan anaknya di depan orang lain. Coba kalau di depan orang lain
pun anaknya dijelek-jelekin, apa nggak lebih toxic tuh.

Bagaimanapun, rasanya memang nggak enak kalau nggak pernah diapresiasi ayah ibu sendiri.
Mungkin aslinya kamu adalah anak gemilang yang penuh prestasi, tapi orang tuamu nggak
pernah bilang kalau mereka bangga denganmu. Ya, soalnya gengsi. Pola komunikasi kita kan
kadang begitu, gengsi buat mengutarakan perasaan. Sekalinya ketemu tetangga, orang tuamu
malah menggembor-gemborkan prestasimu, merasa bangga seolah-olah kamu adalah anak
terbaik di dunia.

Nah, ini bahaya nih kalau sampai rumah nanti tetanggamu yang tadi, membandingkan
anaknya sendiri denganmu. Hadeh, lingkaran syaiton memang.

#4 Tidak ada kebebasan memilih

Orang tua Asia memang punya stigma cara didik yang mengekang dan mengontrol. Berbeda
dengan orang tua Amerika dan Eropa yang cenderung ―nggak peduli‖ dan membebaskan si
anak. Meskipun nggak bisa dimungkiri di negara maju juga banyak toxic parents yang jauh
lebih parah.

Beruntunglah kamu jika punya ayah dan ibu yang selalu memberimu pilihan dalam keputusan
hidup. Beberapa anak di Indonesia ketika usianya sudah lebih dari 25 tahun pun harus izin ke
orang tua pas mau resign kerjaan.

Orang tua Asia juga memegang peranan penting soal pilihan pendidikan anaknya. Jika
mereka adalah dokter, anaknya juga disuruh jadi dokter. Jika mereka pengusaha, anaknya
juga disuruh jadi pengusaha. Kalau anaknya nggak setuju nanti dianggap durhaka, aduh pelik
benar.

#5 Nyuruh cepat-cepat menikah, punya anak, punya rumah, punya mobil

Lagi-lagi, maksud orang tua Asia yang semacam ini memang baik. Mereka pengin
mendorong anaknya untuk segera mencapai kebahagiaan. Sayangnya kadang mereka lupa
kalau patokan kebahagiaan juga beda-beda.

Nggak semua orang beruntung punya pasangan yang baik dan sat-set diajak menikah, nggak
semua pasangan beruntung sehingga cepat dikaruniai anak. Masalah ekonomi? Ya nggak bisa
juga dipaksakan.

Ketimbang pusing memikirkan toxic parents dan penyataan menyakitkan orang tua
yang bikin mental remuk, memang lebih baik masalah ini diketawain aja. Jalan keluarnya
rumit, sih. Melawan dianggap durhaka, nggak melawan kok sumbu kesabarannya harus
dibuat panjang banget. Dachlach.

Ajeng Rizka

Redaktur Mojok. Suka koprol.


Uang Itu untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Cari Uang
Uang itu seperti aliran air. Kalau sirkulasinya dihambat, bukannya menghidupkan, tapi justru
membahayakan yang punya.

MOJOK.CO – Ada banyak orang seperti Mas Is. Uang ada, kebutuhan darurat di depan
mata, tapi rasanya berat untuk mengeluarkannya.

Gus Mut dan Fanshuri tergopoh-gopoh menuju rumah sakit. Malam itu, keduanya mendapat
kabar bahwa Mas Is kecelakaan sepeda motor. Mas Is mengalami patah tulang di bagian
lengan dan harus segera ada penindakan operasi.

Problemnya, Mas Is tidak mau operasi. Pada mulanya Gus Mut sudah menelepon dokter yang
bertugas, hanya saja menurut keterangan dokter, si pasien tidak mau operasi. Itulah kenapa
Gus Mut dan Fanshuri segera meluncur ke rumah sakit tanpa pikir panjang.

Begitu masuk IGD Rumah Sakit, Gus Mut segera masuk dan mendatangi Mas Is. Syukurlah,
meski didiagnosis patah tulang, keadaan Mas Is relatif masih baik. Tidak ada luka-luka lain di
sekujur tubuhnya.

―Ayo, segera kasih keputusan, Mas Is. Biar besok pagi bisa segera dilakukan tindakan
operasi,‖ kata Fanshuri tanpa basa-basi.

Mas Is cuma nyengir.

―Aku takut operasi, Fan,‖ kata Mas Is. ―Lagipula tidak terlalu sakit kok. Kita bawa ke
sangkal putung aja ya?‖ kata Mas Is membujuk.
Gus Mut yang mengetahui itu tidak setuju.

―Nggak bisa begitu, Mas Is. Ini darurat. Biar aku saja yang tanggung jawab,‖ kata Gus Mut.

―Jangan, Gus. Jangan,‖ kata Mas Is.

―Kok jangan sih, Mas Is? Ini tangan sampean patah tulang lho. Memangnya mau diapain?
Dilem Alteco?‖ kata Fanshuri.

Fanshuri dan Gus Mut tahu, Mas Is tidak setakut itu dengan operasi. Sudah jadi kebiasaan
Mas Is, kalau dia itu agak eman-eman dengan uang yang dimiliki.

―Mahal, Gus, biayanya. Belasan juta, tadi aku udah nanya,‖ kata Mas Is.

―Nggak apa-apa. Aku yang tanggung jawab. Pakai uangku dulu,‖ kata Gus Mut.

―Jangan,‖ Mas Is masih bersikeras.

―Sampean itu gimana sih, Mas Is?‖ Fanshuri yang dari rumah sudah panik jadi kepancing
emosi.

―Saya nggak mau utang,‖ kata Mas Is, ―Apalagi diutangi Gus Mut.‖

―Nggak perlu dibalikin,‖ kata Gus Mut.

―Nah, itu. Apalagi itu. Utang sama Gus Mut itu nggak pernah ditagih, sering-seringnya malah
diikhlasin. Kalau seratus dua ratus ribu sih tidak apa-apa, lah ini sampai belasan juta. Nggak
mau saya, Gus,‖ kata Mas Is.

Fanshuri cuma geleng-geleng kepala. Gus Mut cuma tersenyum. Ini kebiasaan Mas Is dari
lama. Kalau soal dirinya sendiri, Mas Is selalu eman untuk keluar uang. Beda kalau untuk
keluarganya, anaknya, atau istrinya.

―Lagian, aku juga punya uang segitu kok, Gus, sebenarnya,‖ kata Mas Is.

―Lah makanya? Kenapa masih ngeyel?‖ kata Fanshuri.

Ditanya begitu, Mas Is malah tersenyum cengengesan.

―Pokoknya saya nggak mau operasi, Gus. Kita ke alternatif dulu aja,‖ kata Mas Is.

―Fan, kamu tolong urus ke bagian administrasi,‖ kata Gus Mut berbisik ke Fanshuri.

Fanshuri pun keluar ruangan IGD.

―Mas, sampean itu kenapa begitu?‖ tanya Gus Mut. Kini duduk di samping ranjang Mas Is.

Mas Is masih cengengesan.

―Saya tahu, Gus. Ini kebiasaan buruk soal saya eman sama uang. Tapi saya yakin saya baik-
baik saja,‖ kata Mas Is.
―Baik-baik saja gimana. Ini tadi aku udah telepon dokter, katanya udah rontgen dan kelihatan
tulang Mas Is patah. Ini bisa bahaya. Apalagi urusannya cuma uang, dan sampean sendiri
bilang kalau uang itu ada,‖ kata Gus Mut.

―Uang itu rencana mau saya pakai buat biaya anak sekolah dan renovasi rumah, Gus,‖ kata
Mas Is.

―Renovasi rumah sama tangan Mas Is memang penting mana?‖ tanya Gus Mut.

―Ya sama pentingnya sih, Gus. Tapi itu uang sudah saya tabung lumayan lama, Gus. Gus Mut
nggak tahu kerja keras saya ngumpulin duit segitu,‖ kata Mas Is.

Gus Mut tersenyum.

―Mas, sampean itu kan kerja pakai tangan sampean. Sekarang mindset-nya dibalik deh. Kita
bukan operasi untuk benerin itu tulang, tapi untuk menyelamatkan alat produksi Mas Is untuk
cari nafkah. Kan bukan tidak mungkin kalau tangan Mas Is nggak bisa kembali normal, Mas
Is malah jadi lebih sulit cari rezeki ke depannya,‖ kata Gus Mut.

Dibilangin begitu, Mas Is berpikir sejenak.

―Mas, uang itu seperti aliran air. Kalau Mas Is menyimpannya terus, tanpa ada aliran yang
baik, padahal ada kebutuhannya, itu akan jadi air mati. Dan air yang tidak bergerak itu
sumber penyakit. Kayak uang, kalau kita terlalu pelit mengeluarkannya untuk kebutuhan,
untuk sedekah, ya uang itu bisa jadi penyakit. Memang terkesan jadi banyak, tapi alih-alih
jadi rezeki, uang itu malah jadi sumber bencana,‖ kata Gus Mut panjang lebar.

―Ta-tapi, Gus,‖ kata Mas Is

―Mas, kita mencari uang itu digunakan untuk hidup, bukan malah sebaliknya… seluruh hidup
kita malah dipakai cuma untuk cari uang. Harta yang kadang tidak benar-benar bisa kita
manfaatkan di jalan yang baik itu kebanyakan malah menjerumuskan. Lagipula rezeki itu
bentuknya nggak selalu uang, Mas Is, ada banyak yang lain,‖ kata Gus Mut.

Mas Is terdiam lagi.

―Jadi gimana, Mas Is? Mau ya operasi?‖ kata Gus Mut.

Mas Is menerawang langit-langit. Mengangguk sebentar. Gus Mut tersenyum

―Oke, biar aku yang bicara sama dokternya,‖ kata Gus Mut berdiri dari tempat duduknya.

―Tu-tunggu, Gus,‖ kata Mas Is.

Gus Mut berbalik.

―Tapi, Gus. Saya takut,‖ kata Mas Is.

―Takut operasi? Kan nanti dibius total, nggak kerasa, Mas Is,‖ kata Gus Mut.
―Bukan, bukan takut operasi,‖ kata Mas Is.

―Terus?‖

―Anu, saya takut disuntik.‖

*) Diolah dari kisah nyata.

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke
Mana-mana kok Disuruh Kembali".
Jangan Mikir Jodoh Melulu, Sahabat Perempuan Juga Bisa Jadi
Soulmate-mu

MOJOK.CO – Sahabat perempuan yang kita punya di dunia ini bukanlah tokoh figuran
yang hanya perlu kita hubungi saat putus dengan pacar. Mari mengapresiasi!

Hai, generasi milenial yang berbahagia—terutama para ladies yang sekarang mulai rajin
membersihkan make up sebelum tidur, alih-alih tidur tanpa sentuhan micellar water~

Ya, ya, ya. Saya menulis artikel ini untuk seluruh perempuan yang tengah merasa terombang-
ambing hidupnya terutama yang habis putus dari hubungan yang tadinya terasa begitu nyata
dan serius. Di usia muda-produktif-tapi-menuju-zona-umur-yang-harus-membiasakan-diri-
dihujani-pertanyaan-Kapan-nikah, saya paham betul perempuan-perempuan ini kadang
terjebak dalam anxiety-nya sendiri, jika bukan krisis-krisis seperempat abad yang nyebahi.

Tapi, ladies, di tengah gempuran anxiety dan ketakutan menghadapi quarter life
crisis tersebut, pernahkah kamu mencoba berpikir jernih dan mengingat siapa saja yang
selalu ada di sampingmu? Hmm?

Beberapa orang menyebutkan dengan yakin bahwa dia yang selalu ada di samping mereka
adalah orang yang mereka cintai. Selain keluarga, terma ‗orang yang mereka cintai‘ ini
merujuk pada istilah ‗soulmate‘ yang bakal dengan bangga mereka tujukan pada pasangan
romantis mereka: pacar, tunangan, calon suami, atau malah suami.
Tapi, pertanyaannya: benarkah soulmate selalu berarti jodoh lawan jenis yang bakal
menghabiskan sisa hidup bersamamu dalam ikatan pernikahan??? Apakah soulmate selalu
hadir dalam bentuk laki-laki brewokan yang kalau kencan suka nanya, ―Makan di
mana?‖ dan merasa kesal setengah mati kalau kita jawab, ―Terserah‖???

Hmm, hmm, hmm, tunggu dulu, Sista-sista sekalian~

Usut punya usut, banyak sumber menyebutkan bahwa soulmate tak melulu soal jodoh. Bisa
saja, soulmate-mu justru dia yang merupakan…

…sahabat perempuanmu!!!

Baiklah, langsung saja kita mulai tulisan ini (LAH DARITADI BELUM MULAI???) dengan
cerita saya sendiri.

*jeng jeng jeng*

Saya pernah merasa sangat insecure pada sebuah hubungan yang saya jalani dengan seorang
pria. Tengah malam, saya menelepon seorang sahabat perempuan. Tahu apa yang dia lakukan
setelah mendengar saya menangis di ujung telepon?

Dia datang ke kosan saya, menginap satu malam dan memeluk saya setiap kali saya
menangis.

Oh—rumahnya jauh sekali, mungkin sekitar 45 ribu ongkos naik ojek online. Hehe.

Saya juga punya seorang sahabat lain: perempuan, dan sudah menikah. Suatu hari, saya
merasa dunia saya hancur, sehancur-hancurnya. Menyebalkannya, saya cuma bisa menangis
seperti bayi besar dan lupa bagaimana caranya membuat tebak-tebakan receh yang dulu
selalu jadi andalan demi membuat teman-teman tertawa.

Ajaibnya, sahabat perempuan saya ini datang, menjemput saya di kosan untuk menginap di
rumahnya, meminjamkan kamarnya untuk saya, sementara dia dan suaminya tidur di kamar
lain. Hhhh, maaf, ya :(((

Dia mendengarkan saya sepanjang hari, memasakkan sarapan dan makan siang untuk saya.
Dia membolehkan kucing peliharaannya saya elus-elus sepuasnya, lalu memberikan banyak
tisu untuk menyeka air mata. Bahkan ketika saya pulang, dia selalu membalas pesan saya dan
tak pernah menjawab, ―Maaf, lagi sibuk, nih. Nggak bisa WA-an dulu!‖

Gimana? Sudah iri sama saya ada gambaran sahabat perempuan di kepalamu?

Jadi begini, Ladies.

Coba hentikan dulu pikiran soal jodoh—salah satu poin terbesar yang menjadi beban pikiran
dalam quarter life crisis kita semua. Ingat, Mbak-mbak sekalian, kita tidak dilahirkan hanya
untuk merelakan diri dikejar-kejar pertanyaan ―Kapan nikah?‖ yang tak berkesudahan.
Alih-alih berfokus pada mencari soulmate dengan anggapan ―soulmate-adalah-jodoh‖, kini
tiba waktunya bagi kita untuk…

…mengapresiasi semua sahabat perempuan yang selalu ada untuk kita!!!

Ya, benar, ladies-ladies sekalian. Sahabat perempuan yang kita punya di dunia ini bukanlah
tokoh figuran yang hanya perlu kita hubungi saat putus dengan pacar. Sahabat perempuan
kita, nyatanya, sangat mungkin menjadi soulmate yang sebenarnya selalu kita cari selama ini.

Alasan pertama, sahabat perempuan adalah orang yang akan selalu memelukmu.

Kamu lagi nangis? Mereka akan memelukmu. Kamu lagi bahagia? Mereka akan membalas
pelukanmu. Kamu lagi ketakutan? Mereka tidak akan melepas pelukannya. Kamu lagi ingin
dipeluk? Tangan mereka jelas terbuka lebar.

Menariknya, kamu tidak perlu merasa rikuh-rikuh minta dipeluk, karena, hey, mereka kan
sahabat perempuanmu, Sayangkuuu~

Kedua, mereka bisa menjadi ‗cenayang‘ yang patut kamu andalkan.

Kalau kamu menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang kamu sayangi, tapi sahabatmu
tidak menyukainya, cobalah berpikir logis: kenapa dia nggak suka??? Apakah ada hal yang
tidak kamu lihat dari kekasihmu, tapi bisa dilihat oleh sahabatmu???

Jangan remehkan ‗mata batin‘ sahabat perempuanmu. Kadang-kadang, mereka melihat hal-
hal tertentu lebih jelas darimu meskipun kamu sudah mengenakan kacamata baru yang
minusnya nambah~

Ketiga, kamu bisa menjadi orang yang paling bahagia, paling sedih, atau bahkan paling hobi
marah-marah di depan mereka, tapi mereka bakal selalu menyayangimu.

Iya, poin ini serius. Kamu bisa nangis bombay 3 hari 3 malam, tapi sahabat perempuanmu
tidak akan serta merta meninggalkanmu begitu saja. Kalau marah-marahmu sudah
keterlaluan, mereka pun tidak akan segan mengingatkan dengan baik. Bersama mereka, hidup
rasanya jauuuuh lebih lengkap!

Keempat, mereka akan selalu punya nasihat paling baik yang kamu butuhkan setiap kali
kamu mengalami bad day.

Saya pernah terperangkap dalam sebuah overthinking sampai menangis seperti orang gila.
Tadinya, saya pikir saya butuh seorang psikolog agar merasa lebih tenang. Tapi, saya
memutar arah dan memutuskan bertemu sahabat saya, lalu—boom!

Segalanya terasa jauh lebih baik.

Kelima, kamu tahu kamu bahagia dengan keberadaannya.

Bersama si sahabat perempuan, kamu bisa bertukar pakaian, kerudung, bahkan alat make
up. Kamu bisa berbagi pancake dengan taburan gula dan susu stroberi yang kamu beli di
pinggir jalan dengannya, sementara kalian akan mengobrolkan episode terbaru drama
Korea bersama-sama. Kamu akan mendengar ―I love you‖ tiap kali kalian mengakhiri
pembicaraan di telepon. Kamu tidak akan segan mengiriminya emoji hati dan kiss sebanyak
mungkin. Kamu tidak akan merasa buruk saat bertemu dengannya hanya dengan tank top dan
celana yoga.

Oh, dan jangan lupakan betapa kamu akan tertawa dengan jokes recehnya saat kamu sedang
menangis. Kamu juga memercayakan kisah-kisah rahasiamu padanya. Kamu dan dia bisa
pergi berdua dan berpura-pura berkencan sambil memutuskan film terbaru yang akan kalian
tonton. Kamu tidak keberatan mengambil ratusan foto bersamanya, meski nanti hanya ada
satu yang di-upload di Instagram!

Kalau ada seseorang memperlakukanmu dengan brengsek, sahabatmu tak akan suka dengan
orang itu. Kamu tahu, dia menyayangimu setulus hati—lebih tulus dari laki-laki manapun.

Sebagai penutup, marilah mengingat kutipan manis dari Candace Bushnell, penulis Sex and
the City. Katanya:

―Maybe our girlfriends are our soulmates and guys are just people to have fun with.‖

Who knows, right, Girls?

Aprilia Kumala

Penulis lepas. Pemain tebak-tebakan. Tinggal di Cilegon, jiwa Banyumasan.


7 Skill Tahu Diri yang Harus Dimiliki Pengangguran
Anyway, profesi nganggur ini juga seperti profesi lain pada umumnya, yang walau
bagaimana juga kalau ditekuni tetep ada hasilnya.

MOJOK.CO – Jadi gini. Beberapa tips untuk Anda semua yang kebetulan di masa-masa ini
sedang ngikutin tren jadi pengangguran tekun.

Tahu bulat is good, tahu diri is better.

Jadi pengangguran emang bukan yang diharapkan diri sendiri, apalagi keluarga. Selain
perasaan diri yang harus dijaga akibat lamaran kerja nggak juga diterima-terima, perasaan
keluarga juga harus sedemikian dijaga.

Lah gimana, udah disekolahin tinggi-tinggi dan taruh ekspektasi kiriman gaji awal bulan, eh
habis lulus sekolah masih aja numpang makan. Sungguh beban keluarga bukan?

Memang berat, Dilan yang katanya kuat aja, cuma bisa nahan rindu ke Milea, bukan nahan
nganggur dan jadi beban keluarga. Tapi life must go on kawand, ya setidaknya kalau belum
bisa membahagiakan, ya jangan terlalu membebani.

Anyway, profesi nganggur ini juga seperti profesi lain pada umumnya, yang bagaimana pun
kalau ditekuni tetep ada hasilnya. Sebagai bahan untuk bekal dalam dunia per pengangguran,
ada beberapa skill yang harus dimiliki untuk menjadi pengangguran yang successful.

Ya setidaknya, walau pengangguran, tetap jadi pengangguran yang baik. Ini beberapa tips di
antaranya.

Bangun lebih awal


―Wes nganggur, tangi awan pisan.‖

Malaikat Raqib Atid juga males banget di sisi manusia yang bentukannya kaya gini. Catetan
blio berdua juga pasti bakal banyak tipex-nya.

Bangun pagi memang berat, apalagi nggak ada kegiatan. Tapi kebiasaan menjadi morning
person harus dimiliki oleh si nganggur.

Bangun pagi ini bisa menjadi salah satu karburator, eh, indikator bahwa meski jadi
pengangguran, tapi Anda tetap semangat dalam menjalani hidup saben harinya.

Perlihatkan semangat Anda kepada keluarga, berusahalah terlihat tangguh, kuat, panas,
trengginas, kalau mau nangis dan misuh silakan ke kamar.

Ibadah juga dong

Meski urusan ibadah itu hubungannya sama Tuhan, tapi si nganggur juga harus rajin-rajin
ibadah. Bayangkan sedihnya orang tua saat anaknya jauh dari kata ―kerja‖ juga jauh dari kata
―doa‖.

Jangan sampai jasmani nganggur, rohani nge-blur, Lur.

Cekatan dalam pekerjaan rumah

Tiba-tiba terdengar bunyi piring yang ditumpuk? Atau ada suara gesekan sapu dengan debu-
debu? Ini adalah saat yang tepat untuk Anda sigap dan dengan tegas bilang, ―Sudah aku saja
sini!‖

Sebenernya basic life skill kayak gini harus dipunyai setiap manusia yang hidup. Tapi buat
Anda yang nggak punya kegiatan 7 x 24 jam, skill ini kudu ra kudu, kudu iso. Masak, nyapu,
ngepel, nyuci baju, nyetrika, nyuci piring, nyuci perkara, ngangkat galon, ngangkat derajat
keluarga pokoknya apa saja pekerjaan rumahnya, harus ikut andil.

Singkatnya saja kalau biaya makan, sewa kamar, tagihan listrik, dan tagihan air dibarter
dengan Anda yang cekatan mengurus pekerjaan rumah, ya anggap saja jadi asisten rumah
tangga. Cuma ini rumah Anda sendiri gitu.

PRT = Pengangguran rumah tangga.

Pertukangan

Kalau ada perabotan di rumah yang rusak, jadilah tukang dadakan, meski hasil pekerjaan
Anda nggak semulus paha ayam tanpa kulit (kalau hasilnya bagus kan Anda mending jadi
tukang aja dong).

Meski begitu, kemampuan mau ngoprek-ngoprek begitu setidaknya mengurangi anggaran


untuk menyewa tukang. Beberapa skill yang harus dipunyai antara lain adalah ganti lampu,
nyambung kabel, benerin paralon air, benerin genteng bocor, benerin rumah tangga orang,
jahit baju tipis-tipis.
Sebagai catatan nih, misal kerusakan terlalu parah dan resiko berhasilnya sangat tipis, ya
mending serahin ke tukang aja.

Makan seperlunya dan seadanya

Anda harus pintar menghitung kira-kira energi yang Anda makan sama yang Anda keluarin
itu balance nggak?

Ingat, berhentilah makan sebelum kenyang, karena ngapain makan banyak-banyak kalo toh
karbohidrat yang Anda konsumsi tidak berubah jadi amunisi?

Satu lagi, jangan juga coba-coba request dibikinin suatu hidangan. Udah makan aja apa yang
ada di tudung saji, misal yang dihidangkan cuma harapan, makan aja. Memang selama ini
belum familiar? Belum adaptasi sama rasanya ya?

Menyibukan diri

Terlihatlah sibuk, meski terkesan caper. Anda bisa wira-wiri kesana kemari, dari ruang ruang
tamu ke dapur bawa asbak, pot bunga atau taplak meja.

Atau Anda juga bisa membersihkan kerak pada kompor, gosok pantat panci, nata isi kulkas,
ngegarisin lipatan baju biar rapi, atau bisa menghitung debit air pada air keran dapur dan
kamar mandi lalu membandingkan keduanya. Bagaimana? Ide bagus bukan?

Pintar ngatur keuangan

Dari semua skill di atas, memanajemen uang ini noted banget sih bagi pengangguran. Posisi
emang lagi nggak menghasilkan duit, tapi ada aja kebutuhan yang ngeluarin duit. Ya jelas
harus skillfull dong jadinya. Menyimpan sesuatu yang jarang dimiliki jeh.

Skill ini rasanya susah banget sih kalau lagi pengangguran, makanya harus belajar sejak dini.
Ibaratnya orang kaya yang mendadak miskin itu gimana sih? Pasti kaget dong? Culture
shock banget mesti ya?

Tiap bulan dikirim duit sama ortu dan tinggal dibagi aja perkebutuhan, eh sekarang udah
nggak. Sakit nggak tuh rasanya. Miskin, miskin dah.

Ingat, Kawand. Nganggur itu cuma masalah waktu, jadi mohon, gosok terus aja skill di atas.
Siapa tahu malah bisa jadi profesi kayak Hong Bajang di Home Town Chachacha.

Istiqomah Rifkha Aghni

Tinggal di Temanggung.
Panik Berjamaah karena Usia Target Menikah Terlewat

MOJOK.CO – Tak tercapainya usia target menikah semestinya tak menjadikanmu panik
berlebihan. FYI, ada banyak hal yang bisa kamu pelajari dari fenomena ini.

Dulu sekali di bangku sekolah, seorang teman pernah melempar topik soal usia target
menikah saat istirahat kedua dimulai. Sambil makan mendoan dan sate kerang, kami pun
terlibat dalam diskusi yang cukup serius.

Bagi kami-kami yang kala itu masih berusia 17 tahun, angka 25 dianggap seksi sebagai usia
yang tepat untuk masuk ke dunia pernikahan. Nyatanya, Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) pun memiliki hasil yang tak beda jauh. Dari data tahun 1991 hingga 2012,
sebanyak 59,9 persen remaja perempuan berpendapat bahwa target usia menikah yang ideal
adalah 22 hingga 25 tahun. Berpegang teguh pada impian kala berseragam putih abu-abu
inilah, usia antara 22 hingga 25 menjadi doa dan harapan agar kelak bisa menjadi istri orang.

Sayangnya, hidup itu tidak semudah mengerjakan ulangan Matematika bagi si juara kelas,
Saudara-saudara. Dalam perjalanan cinta berikutnya, kekasihmu mungkin bertingkah gila dan
terlalu asyik bermain-main atau nonton anime sampai kamu memutuskan untuk berteman
saja, hanya untuk mengizinkan hidup membawamu kepada seorang pria yang kamu pikir
berkomitmen tapi malah menyelingkuhimu tepat setelah ia menyatakan akan serius di depan
kedua orang tuamu. Hah, ra mashooook blas!
Kamu yang hatinya langsung patah dan compang-camping pun akhirnya menyadari: usiamu
sudah di atas 25—melebihi usia target menikah yang kamu buat sambil haha-hihi semasa
SMA dulu.

Ya, Pemirsa: target menikah yang dulu itu ternyata tidak bisa kamu capai!!!!!11!!!!1!!

Tiba-tiba, dunia terasa berat sekali.

Lah, gimana nggak? Sahabat-sahabatmu sudah menikah, saudara-saudaramu pun terus


menerus bertanya ―Kapan nikah?‖ seolah-olah hanya itu saja yang bisa mereka ucapkan
padamu, sementara usiamu kian dewasa dan membuatmu khawatir kamu bakal menjadi satu-
satunya orang yang telat menikah.

Curhat kepada teman pun menjadi pilihan. Kamu berkeluh kesah pada si teman, meminta
mereka mendengar setiap air mata yang kamu teteskan dan mengetahui betapa tersiksanya
hatimu menyadari bahwa target menikahmu harus mundur gara-gara lelaki yang
mengkhianatimu. Tapi, tanpa kamu sadari, Ladies, kamu sedang memindahkan energi negatif
kesedihanmu pada teman curhatmu…

…yang juga belum menikah, sementara usia target menikahnya telah terlewat sejak 2 tahun
yang lalu.

Lalu muncullah: perasaan panik berjamaah gara-gara kamu dan temanmu (atau teman-
temanmu) belum menikah di usia yang kalian pikir seharusnya menjadi usia pernikahan ideal.

Wow wow wow, tunggu dulu, Teman-teman. Tak tercapainya usia target menikah yang
pernah kita buat itu semestinya tak menjadikanmu panik berlebihan, apalagi sampai
menyalahkan diri sendiri dan membiarkan ketakutan-ketakutan aneh berkelebat di kepalamu.
Lagi pula nih, ya, FYI aja, ada banyak hal yang bisa kamu pelajari hikmahnya bersama-sama
dari fenomena terlewatinya usia target menikah.

Iya, saya ulangi sekali lagi: ada banyak hal yang bisa kamu pelajari dari fenomena
terlewatinya usia target menikah.

Pertama, saking seringnya datang ke kondangan pernikahan sahabat-sahabat, kamu jadi


punya kesempatan memilih konsep pernikahan yang kamu mau.

Setidaknya, selagi menjadi tamu, kamu bisa mengamati dekorasi apa yang menarik dipasang
untuk resepsi, jenis makanan apa yang seharusnya disediakan, sampai perlu atau tidaknya
dana ekstra untuk pengadaan partner foto-foto lucu demi update-an di
Instagram bridesmaids.

Kedua, karena belum kunjung dilamar dan diajak menikah, kamu jadi punya banyaaaaaak
sekali waktu untuk bersenang-senang.

Mau pergi nonton konser? Bisa. Beli baju couple, tapi dua-duanya dipakai sendiri? Bisa. Mau
makan sebanyak apa pun tanpa takut baju kencan nggak muat? O tentu saja kamu bisa,
Mariana~
Ketiga, di usia di atas 25 tahun, kamu telah menimbun ilmu-ilmu penting untuk menjadi
calon pengantin berkualitas, meskipun Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa usia pernikahan ideal adalah pada usia 21-25 tahun.

Sebagai contoh nyata, belum menikah hingga lewat umur 25 tahun ternyata bisa membuatmu
lebih unggul perihal ngurusin anak. Soalnya, saking banyaknya sahabat yang sudah menikah
dan punya anak, kamu pun terbiasa menyapa bayi dan menowel-nowel pipinya hingga si bayi
ketawa-ketawa atau men-cep-cep-kan mereka kala menangis menjadi-jadi. Nah, bukankah itu
suatu keahlian yang hakiki???

Selain itu, target menikah yang kelewat toh juga bisa membuatmu lebih memahami diri
sendiri. Gimana nggak: di usia 25-an, kamu bakal mengalami krisis seperempat abad
alias quarter life crisis yang dibarengi dengan overthinking soal hidupmu sendiri. Tanpa
suami yang bisa dipeluk-peluk setiap menit, kamu yang masih jomblo dan belum menikah
pun secara refleks akan mampu berjuang sendiri melalui dua langkah praktis:

1) menyibukkan diri (sibuk nangis); dan 2) sabar (sabar menghadapi sindiran belum nikah).

Eaaa, mamam~

Aprilia Kumala

Penulis lepas. Pemain tebak-tebakan. Tinggal di Cilegon, jiwa Banyumasan.


Puncak Keimanan Adalah Keindahan bukan Cuma soal Kebenaran
Ekspresi keimanan seseorang kalau hanya berkutat pada hasrat untuk menyebarkan
kebenaran akan cenderung keras dan kaku seperti kanebo.

MOJOK.CO – Menularkan keimanan atau mendakwahkan agama punya dua cara.


Memakai narasi kebenaran atau dengan cara menunjukkan keindahan.

―Akhirnya, Gus. Orang yang merusak sesajen dan viral kemarin ketangkep polisi. Katanya
mau diproses hukum, mau dipenjara kayaknya,‖ kata Fanshuri ke Gus Mut.

―Waduh, kok akhirnya ditangkap ya?‖ kata Gus Mut terkejut.

―Kok ‗waduh‘, Gus? Bukannya harusnya Gus Mut seneng ya?‖ kata Fanshuri.

―Kenapa harus seneng?‖ Gus Mut bertanya.

―Ya kan orang ini sudah berlaku semena-mena terhadap keyakinan orang lain. Dan berisiko
memancing kerusuhan besar. Apa artinya ini Gus Mut malah mendukung keimanan orang ini
ya?‖ kata Fanshuri.

Gus Mut terkekeh.

―Iya saya mendukung keimanan orang itu,‖ kata Gus Mut.

―Allah ya karim, serius, Gus? Gus Mut mendukung ekspresi keimanan model begini? Yang
melecehkan keyakinan orang lain begini?‖ Fanshuri terkejut.

―Wah, kalau soal itu aku tidak mendukung,‖ kata Gus Mut.

Fanshuri bingung.
―Gus Mut ini gimana sih, kok jadi mencla-mencle?‖

Gus Mut kembali terkekeh.

―Tolong dibedakan, Fan,‖ kata Gus Mut.

―Dibedakan gimana maksudnya, Gus?‖

―Dibedakan antara keimanan dengan ekspresi keimanan. Kalau soal keimanan personal saya
mendukung bagaimana orang ini berhati-hati soal potensi kemusyrikan, tapi soal ekspresi
keimanan saya tidak setuju dengan caranya,‖ kata Gus Mut.

Fanshuri baru paham. ―Oalah, begitu.‖

―Lah kalau begitu, harusnya Gus Mut setuju dong kalau orang kayak gini harus dihukum dan
dipenjara?‖ tanya Fanshuri.

―Kalau setuju dihukum iya, tapi kalau dipenjara tidak, Fan,‖ kata Gus Mut.

―Ah, Gus Mut ini mbulet lagi deh. Kan sama aja maksudnya itu, Gus,‖ kata Fanshuri sambil
nguyel-nguyel kepalanya sendiri.

―Dihukum itu kan tidak harus dipenjara, Fan. Ada banyak cara dan penjara itu hanya satu di
antara banyak pilihan. Kamu waktu kecil ketahuan curi mangga misalnya, apa iya kamu
langsung dihukum potong tangan? Kan nggak? Bisa aja kamu dihukum dengan cara disuruh
membersihkan halaman rumah yang punya pohon misalnya,‖ kata Gus Mut.

―Ya jangan bandingin curi manga sama melecehkan keyakinan orang lain dong, Gus,‖ kata
Fanshuri.

―Maksudku begini, Fan. Tindakan orang ini tidak hanya soal urusannya dengan keyakinan
atau tradisi dari orang yang kasih sesajen di tempat itu, tapi juga perasaan banyak orang.
Tawaran hukuman penjara itu tidak menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan
masalah baru,‖ kata Gus Mut.

―Masalah baru gimana?‖ kata Fanshuri.

―Ya si orang ini bukannya sadar dia sedang melakukan kesalahan, tapi justru merasa tambah
yakin bahwa ekspresi keimanan yang dilakukannya itu benar,‖ kata Gus Mut.

―Memang tawaran Gus Mut soal hukuman bagi orang begini apa?‖ tanya Fanshuri.

Gus Mut tersenyum.

―Ya aku pikir orang itu cukup dipertemukan dengan orang kasih sesajen. Disuruh bergaul
dengan masyarakat seperti itu saja. Itu cukup kok,‖ kata Gus Mut.

―Ya nggak mungkin maulah dia, Gus. Orang dia menganggap itu tindakan musyrik kok,‖ kata
Fanshuri.
―Ya konsep hukuman kan memang begitu, Fan. Selalu ada paksaan. Kalau sukarela mah
bukan hukuman namanya, tapi donasi. Lagian, memang orang itu juga mau kalau disuruh
masuk penjara? Kan ya sama-sama nggak mau sebenarnya,‖ kata Gus Mut.

―Oke deh, kita berandai-andai misalnya hukumannya adalah mempertemukan kedua belah
pihak ini. Memang apa yang bisa didapat?‖ kata Fanshuri.

―Ya kedamaian,‖ kata Gus Mut.

―Kok kedamaian?‖ tanya Fanshuri.

―Iya, orang ini jadi mengenal seseorang yang punya pendekatan berbeda soal cara berdialog
dengan Tuhan. Kadang-kadang orang jadi fanatik cuma pada satu cara ekspresi keimanan itu
karena yang dia lawan tidak dia kenal sepenuhnya, tidak dia kenal secara dekat, secara
personal,‖ kata Gus Mut.

―Ya kan terhadap yang kita lawan itu memang sebaiknya tidak kita kenal secara personal
dong, Gus,‖ kata Fanshuri.

―Memang kenapa begitu, Fan?‖ tanya Gus Mut.

―Soalnya kalau kita kenal dekat secara personal sama pihak yang kita lawan, kita jadi segan,
kita jadi berhati-hati, takut menyinggung perasaannya dan lain sebagainya. Nggak jadi
musuhan dong akhirnya,‖ kata Fanshuri.

Gus Mut tersenyum.

―Nah, tepat di situlah ekspresi keimanan yang benar. Kamu menasihati orang dengan cara
persis seperti itu karena ujung-ujungnya untuk berdamai, bukan untuk menang-menangan,
apalagi dalam ekspresi permusuhan atau perlawan. Kamu masih memakai perasaan segan,
ada kehati-hatian, dan ada upaya jangan sampai menyinggung perasaan orang itu karena
kamu kenal,‖ kata Gus Mut.

Fanshuri terkejut.

―Ekspresi keimanan yang begitu itulah yang dilakukan Nabi Muhammad ketika menyebarkan
agama Islam pertama kali. Nabi berhati-hati dan memakai cara-cara yang baik karena yang
dia dakwahi adalah keluarga-keluarganya, sahabat-sahabatnya, bukan orang-orang yang nun
jauh di sana,‖ kata Gus Mut.

―Artinya?‖ tanya Fanshuri.

―Artinya ya mulailah dengan orang terdekatmu dulu kalau mau meluruskan sesuatu yang
kamu anggap salah. Kalau dengan orang dekatmu saja kamu merasa tidak berhasil, ya berarti
ada dua kemungkinan. Pertama, caramu meluruskan memang selama ini salah. Atau kedua,
keyakinanmu sendiri memang ada yang salah,‖ kata Gus Mut.

Fanshuri tertawa mendengar penjelasan Gus Mut.


―Lho aku serius lho. Coba deh lihat beda Islam menyebar di Andalusia dengan Islam
menyebar di Nusantara,‖ kata Gus Mut.

―Apa bedanya memang, Gus?‖ tanya Fanshuri.

―Di Andalusia, Islam datang melalui peperangan dahsyat. Oke, Islam memang masuk ke
Eropa, tapi nafasnya tidak panjang. Peninggalannya memang banyak, tapi penganutnya
beralih balik lagi ke agama lamanya begitu Kerajaan Islam di Andalusia runtuh. Ya karena
pendekatannya lewat jalur kekerasan. Di Nusantara sebaliknya, Islam datang lewat
perdagangan, lewat pernikahan, lewat kebudayaan. Pada akhirnya nafasnya jadi panjang dan
kebanyakan orang nggak mau juga balik ke agama lamanya. Bahkan sampai Nusantara
akhirnya beralih nama jadi Indonesia tetap begitu saja. Awet sampai sekarang,‖ kata Gus
Mut.

Fanshuri manggut-manggut.

―Puncak dari keimanan itu bukan hanya soal kebenaran, Fan,‖ kata Gus Mut.

―Lho bukannya keimanan itu adalah soal yang haq dan bathil ya, Gus?‖ tanya Fanshuri.

―Iya, tapi bukan di situ puncaknya. Secara hakikat keimanan itu adalah soal keindahan. Hal-
hal yang haq itu selalu mewakili keindahan dan yang bathil itu selalu mewakili keburukan.
Kamu salat secara khusyuk misalnya, itu lebih ke urusan keindahan. Salatmu bisa saja sah
secara fikih, tapi tidak indah karena pikiranmu ke mana-mana. Atau ketika sedekah dengan
ikhlas, itu juga mewakili unsur keindahan karena ada unsur ikhlasnya.‖

Fanshuri termenung sejenak.

―Berarti, meskipun kita merasa keimanan kita sudah yang paling benar, kalau ekspresi kita
tidak mewakili keindahan, bisa jadi cara kita yang keliru, Gus?‖ tanya Fanshuri.

Gus Mut tersenyum.

―Tentu saja. Soalnya menularkan keimanan itu sifatnya menyentuh apa yang ada di dalam
hati, bukan apa yang ada di dalam kepala. Dan cara paling baik untuk menyentuh hati, tentu
bukan hanya sekadar menunjukkan kebenaran, tapi juga menunjukkan keindahan.‖

Gantian Fanshuri yang kini tersenyum. Tersenyum dengan ekspresi keindahan.

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke
Mana-mana kok Disuruh Kembali".
Alasan Emoji WhatsApp Bisa Redam Lahirnya Perang Dunia Ketiga
Lebih dari separuh perang dalam sejarah terjadi karena manusia gagal berkomunikasi.

MOJOK.CO – Fungsi emoji WhatsApp sebenarnya tidak sesepele itu. Hal yang mungkin tak
terbayangkan oleh para ahli komunikasi zaman dulu.

Seorang dosen, dulu, di mata kuliah Komunikasi Antarpribadi, pernah berpesan. Kata beliau,
meskipun berbicara lewat telepon, cobalah untuk tersenyum.

Lawan bicaramu memang tidak bisa melihatmu, tapi ia bisa merasakan senyumanmu.
Getaran suara yang disertai senyuman beda dengan yang tidak.

Belakangan saya baru tahu kalau ada yang namanya smiley voice, biasanya diajarkan di
kelas-kelas Radio Broadcast. Tarikan sudut bibir bisa mempengaruhi efek suara yang keluar.

Konon, beberapa pekerja yang melibatkan layanan suara, misalnya customer service bank,
juga dianjurkan untuk tersenyum ketika menerima telepon, meskipun nggak kelihatan.

Lalu bagaimana dengan pesan teks seperti SMS atau WhatsApp? Bisakah orang yang
membacanya menangkap emosi di balik teks yang kita tulis?

Izinkan saya bercerita sedikit tentang ini. Istri saya, Desanti, sedang memulai bisnis kuliner.
Istri saya membuat warung online dengan nama #bekalochan. Dinamai #bekalochan karena
memang awalnya ini postingan cerita di akun medsosnya, tentang bekal makan siang yang
dia masak untuk saya setiap berangkat kerja.
Karena menurut saya masakan istri saya sangat enak, saya lalu punya ide bagaimana kalau
sekalian dijual saja? Eh, dia setuju.

Jadi, setiap dia bikin bekal untuk saya, dilebihkan beberapa porsi untuk dijual di kompleks.
Alhamdulillah keterusan sampai sekarang.

Nah, gara-gara kini istri saya jualan, makanya belakangan kami kerap berkomunikasi dengan
orang-orang baru. Dan kebetulan, tempo hari saya merasa tidak enak kepada seorang
pelanggan kami.

Si pelanggan memesan ―ayam tangkap‖ (salah satu menu andalan kami) tapi tidak bisa kami
penuhi segera. Karena saat ini cuma Desanti yang masak dan saya belum bisa bantu.

Ketika membalas pesan pelanggan itu, Desanti menulis, ―Maaf, tukang masaknya cuma
satu.‖

Pelanggan itu mungkin agak baper dan menulis reply yang saya tangkap seperti, ―Ya udah,
kalau nggak siap jangan buka order dong.‖

Saya bilang ke Desanti, lain kali selalu sertakan emoji WhatsApp senyum (�) dan salam
Thailand (�) setiap membalas pesan, apalagi kalau itu orderan dagangan.

Kelihatannya sepele sih, tapi itu bisa memberi kesan baik dan ramah. Supaya orang yang
membacanya tahu kamu tersenyum dan tulus. Pesan teks tidak seperti pesan suara yang masih
ada kemungkinan orang merasakan emosimu.

Tidak apa ketikan kita terlihat ―ramai‖ gara-gara emoji WhatsApp ini, asalkan pesan diterima
dengan baik. Saya ingatkan juga pentingnya komunikasi.

Jangan lupa, lebih dari separuh perang dalam sejarah, terjadi karena manusia gagal
berkomunikasi (failure to communicate). Jauh lebih banyak daripada yang disebabkan oleh
perebutan tanah dan pemaksaan agama.

Nah, sampai di sini, saya akhirnya merasa perlu menyebut nama Harvey Ball. Harvey Ball
(lahir 10 Juli 1921-wafat 12 April 2001) adalah seniman Amerika yang dikenal sebagai
perancang gambar bulatan kuning dengan dua titik dan garis lengkung yang kemudian
dikenal dengan sebutan smiley. Ikon yang selalu ada di emoji WhatsApp kita.

Ikon ini dipakai di seluruh dunia sebagai simbol keakraban dan keramahan. Harvey sendiri
tidak pernah mendaftarkan temuannya ini sebagai merek dagang (trademark) dan
membiarkan siapa pun leluasa menggunakannya. Sungguh orang baik. Alfatihah untuk
beliau. Eh.

Sebelum era emoji WhatsApp seperti sekarang, ikon smiley dulu biasa digambarkan dengan
mengetik simbol ―:‖, ―-―, dan ―)‖. Nah, ini yang kemudian disebut ―emoticon‖, yaitu
rangkaian tanda baca, simbol, atau huruf yang kalau digabungkan bisa menggambarkan
ekspresi atau emosi.
Sekian puluh tahun kemudian, seorang desainer Jepang bernama Shigetaka Kurita
membawa emoticon ke tahap yang lebih jauh: emoji.

Kurita adalah orang yang paling sering disebut sebagai kreator emoji. Berbeda dengan
emoticon, emoji lebih luas pemaknaannya. Tidak hanya ekspresi, tapi bisa juga
menggambarkan situasi atau fenomena.

Kurita membuat emoji pertamanya pada tahun 1999, saat dia bekerja untuk perusahaan
telepon seluler Jepang NTT DoCoMo.

Ketika itu, sistem perusahaan tersebut menyediakan fitur e-mail namun terbatas 250 karakter
saja. Kurita dan beberapa rekannya kemudian mencoba merancang simbol yang bisa
digunakan menyampaikan pesan ekspresi namun tetap hemat karakter. Muncullah emoji.

Istilah emoji sendiri berasal dari kata Bahasa Jepang ―e‖ yang berarti gambar, dan ―moji‖
yang berarti karakter.

Pertama kali dirilis, NTT DoCoMo hanya menyediakan 176 emoji dalam satu set untuk
ponsel dan pager. Saat ini sudah ada ribuan emoji yang dipakai di berbagai platform, dan
sangat berguna untuk menggambarkan berbagai perasaan yang tidak bisa ditulis.

Cara kita berkomunikasi saat ini mungkin tidak pernah terbayangkan oleh para ahli
komunikasi zaman dulu. Teknologi berkembang membawa potensi konflik baru, dan mau
tidak mau manusia harus beradaptasi kalau ingin tetap bertahan.

Sehingga tidak berlebihan juga rasanya kalau kita harus berterima kasih kepada Harvey Ball
dan Shigetaka Kurita. Beliau-beliau ini telah menghindarkan kita dari ketegangan yang tak
perlu akibat salah memahami makna teks.

Sudah banyak contoh yang kita temui, orang bertengkar betulan di dunia nyata karena salah
paham di dunia maya. Bukan tidak mungkin salah komunikasi semacam ini juga bisa memicu
pecahnya perang dunia ketiga.

Setidaknya, foto yang saya lampirkan di bawah ini sering saya jadikan contoh di sejumlah
diskusi penulisan. Ini kejadian nyata di sebuah kompleks perumahan (disclaimer: saya tidak
bilang ini kompleks tempat tinggal saya ya :-D).

Awalnya, seorang warga bernama Pak Agung menginformasikan ke grup WA warga


mengenai dugaan pungli oleh oknum sekuriti kompleks. Namun informasi itu tidak dipercaya
begitu saja oleh anggota grup lain, yang kalau dilihat dari percakapan ini adalah pejabat RT.

―Saya tidak percaya Pak Agung.‖

Begitu tulis Pak RT yang memiliki nomer 0811 9 sekian-sekian itu.

Pak Agung tersinggung. Ia merasa dianggap pembohong oleh Pak RT. Padahal maksud Pak
RT adalah: ia tidak percaya pada informasi itu, bukan pada Pak Agung-nya.
Pak RT lupa menambahkan koma sebelum nama. Jelas maksud Pak RT sesungguhnya
adalah: ―Saya tidak percaya, Pak Agung.‖

Lupa koma dan tanpa emoji satu di WhatsApp pun, perbincangan ringan itu akhirnya jadi
masalah. Tak berselang lama, Pak Agung pun left group setelah itu.

Yah, begitulah. Hanya karena kurang tanda baca saja, kesan yang ditampilkan bisa berbeda
makna, bahkan sampai memicu perselisihan.

Ngomong-ngomong, pernah ada teman yang mendebat emoji WhatsApp yang


begini �sebenarnya bukanlah ―salam Thailand‖ seperti yang saya anggap. Katanya, itu
emoji ―tos‖ atau high five.

Padahal emoji itu sering saya pakai setiap mengakhiri pesan yang saya kirimkan untuk atasan
saya di kantor. Tempo hari juga saya menggunakan emoji WhatsApp ini � ketika
mengirimkan pesan kepada teman yang orang tuanya wafat.

Wah, kacau sekali saya kalau itu bukan simbol salam. Kalau emoji WhatsApp itu dianggap
sebagai high five, pesan duka saya kan bisa saja terbacanya jadi gini: ―Turut berduka. High
Five!

Waduh, kok kesannya saya jadi sangat tidak berempati ya? Btw, kalau menurutmu gimana?
Begini ini � diartikan ―salam ala orang Thailand‖ atau memang ―high five‖?

Fauzan Mukrim

Media Ronin di CNN Indonesia. Tinggal di Jakarta.


Putus Cinta karena Perbedaan Kelas Sosial? Tenang, Kalian nggak
Sendirian

MOJOK.CO – Hidup itu memang penuh urutan-urutan kesialan. Salah satunya putus cinta,
kandas, karena kelas sosial. Tenang, kalian nggak sendirian.

Ketika kalian sudah menjalani hubungan pacaran dalam waktu lama, pertanyaan tentang
menikah sering tak terelakkan. Pertanyaan itu wajar muncul, dan kalian nggak boleh marah
kalau ditanya ini. Setidaknya, orang yang bertanya menginginkan kalian bersatu selamanya.

Tapi ketika berbicara pernikahan, cinta saja nggak cukup. Kalian tiba-tiba dihadapkan kepada
banyak permasalahan yang mungkin tidak pernah kalian pikirkan. Salah satu hal yang akan
kalian hadapi adalah perbedaan kelas sosial.

Hidup nyatanya pahit. Idealnya, saya ingin cerita kisah cinta seperti FTV. Misalnya laki-laki
dari ―kelas rakyat jelata‖ jatuh cinta dengan perempuan dari kasta sugih mblegendhu. Asmara
sempat ditolak, tapi akhirnya bersatu karena cinta sanggup melelehkan meteor sekalipun.

Tapi nyatanya, perbedaan kelas menjadi penyumbang terbesar bagi kisah putus cinta. Sebuah
kisah tentang asmara yang kandas.

Tak perlu mengambil contoh muluk-muluk, saya sendiri adalah korban putus cinta karena
kelas sosial. Suatu hari di bulan Ramadan 2016, saya harus menenangkan Bapak yang
meminta maaf karena saya lahir dari keluarga berekonomi menengah ke bawah.

Penyebabnya adalah, pasangan saya saat itu berkata akan meninggalkan saya begitu
mendapat laki-laki dari kelas ekonomi yang jauh lebih mendingan. Pedih.

Apakah pasangan saya saat itu salah? Oh tidak, tentu tidak. Saat itu saya baru sadar, saya
nggak akan bisa memenuhi basic needs dengan keadaan seperti ini. Saya memang kuliah saat
itu, tapi faktanya, gelar sarjana tidak lagi seksi di depan perusahaan.
Agustus 2019 saja, ada 737.000 sarjana pengangguran dari rentang pendidikan S1 sampai S3.
Mengandalkan orang tua untuk menghidupi kekasih? Tolol sekali pemikiran seperti itu.

Orang yang terlahir dari keluarga biasa saja, ketika sudah bekerja, akan menemui berbagai
masalah. Banyak dari mereka yang bekerja bukan hanya untuk menghidupi diri sendiri, tapi
juga keluarga. Di saat yang sama, mereka juga harus pandai mengatur keuangan demi
kehidupan sehari-hari, masih harus menabung untuk biaya pernikahan, atau membeli rumah.
Apakah cukup gajinya? Tentu saja tidak.

Dalam diskusi di ―Discord-discord Darurat‖, persoalan putus cinta karena kelas sosial itu
tidak sederhana. Kesadaran akan kelas sosial yang kita serap sehari-hari turut membentuk
pandangan kita tentang cinta.

Bagi kelas atas, standar hidup yang ada dipatok pada standar yang juga tinggi. Maka mereka
bisa dengan mudah menabung, berinvestasi, dan perintilan-perintilan lain. Basic needs sudah
tercukupi, ada uang sisa. Mereka punya yang namanya pilihan. Mereka bisa memandan cinta
dengan warna yang cerah.

Tapi bagi orang yang terlahir di kelas bawah, standar jadi kabur. Asal bisa makan dan bayar
tagihan tepat waktu sudah bersyukur. Boro-boro mikir perintilan keuangan, tidak khawatir
akan hari esok saja itu sudah prestasi. Warna cinta menjadi begitu hitam.

Perbedaan kelas sering jadi bumbu perdebatan. Satu ingin hidup layak, satu ingin
mengusahakan hidup layak tapi kudu bersabar. Masing-masing keras, masing-masing tidak
mengerti. Pada akhirnya, cinta kandas menjadi hal yang tak terelakkan, seperti hidup saya.

Putus cinta karena kelas sosial, pada akhirnya, tidak semata hanya karena perbedaan nilai
harta yang dimiliki. Perbedaan cara memandang kehidupan dan rencana masa depan yang
berbeda menjadi katalis.

Apakah kita tidak boleh mencintai orang yang kelas sosialnya lebih tinggi? Sah-sah saja. Tapi
pada saatnya nanti, kalian harus memikirkan kenyataan-kenyataan yang ada. Jika kebetulan
kalian mendapat pasangan yang mau dan bisa mendobrak batasan, pertahankan.

Tapi kalau berakhir mengenaskan, terima saja. Hidup itu memang penuh dengan urutan-
urutan kesialan, tak ada cara mengobati rasa sakit selain menerimanya. Setidaknya, kalian
tidak menangis sendirian ketika putus cinta karena perbedaan kelas sosial. Surem, ya.

Rizky Prasetya

Redaktur Mojok. Hobi main game dan suka nulis otomotif.


Media Sosial dan Dunia Nyata Sama-Sama Membuat Kita Merasa Tidak
Lebih Baik Dibandingkan Orang Lain

MOJOK.CO - Tanya

Teruntuk Mojok yang kadang bijak.

Sebelumnnya, saya ingin menyapa dulu… Hai millenials umur 20an, apa hidup kalian
sebahagia feed di instagram?

Sebut saja Rara. Saya remaja menginjak dewasa (katanya) berusia 20 tahun. Saya ingin
berkeluh kesah, selain berbagi cerita dengan Tuhan, saya juga ingin berbagi resah dengan
klean smwaaa.

Entah ini saya alami sendiri atau ada teman-teman lainnya yang juga merasakan hal yang
sama. Hiruk pikuk kehidupan di sosial media sepertinya begitu indah, main sana sini,
nongkrong asiquee, berhedon ria, penuh wkwkwk bareng teman, full of love bareng pacar.
Tapi di real lyfe kok saya nggak merasakan hal yang sama. Kalo saya baca ulang kok rasanya
sedi ya huhuuu~

Memasuki usia 20an, jadi anak pertama, masih kuliah, tidak menghasilkan. Rasanya saya
benar-benar buruk. Mungkin bagi sebagian orang itu hal wajar. Tapi tidak dengan beberapa
orang tua seperti orang tua saya. ―Kamu bisanya cuma minta aja‖ , ―nanti kalo udah lulus
juga belum pasti kerjaannya apa‖ , ―si itu udah kerja sekarang sukses‖ , ―anaknya pak itu
nilainya bagus, kamu kok cuma segitu‖ , ―halah taunya cuma main‖.

Apa ada yang sering mendengar kalimat-kalimat di atas? Sedih? Sakit hati? Iyalah, gak
terima? Kadang. Rasanya melebihi kalo diselingkuhin mantan, asli. Mau ngejawab kok ya
orangtua. Ya diem baelah, emang sekarang aku percum gak bergunnnnnn huhu~

Poin satu. Bagi saya itu jadi sebuah tuntutan hidup. Saya mengalami kebimbangan, saya
masih kuliah tapi selalu diomeli tentang penghasilan, kamu bisa apa, cuma menghabiskan
uang, beberapa pekerjaan ringan juga saya kerjakan yang kadang juga bisa buat jajan kalo di
kampus. Tiap hari juga rajin ngampus, tidak boros-boros dalam menghabiskan uang jajan,
kalo di kos juga hemat, tidak minum-minuman keras dan menjauhi narkoba, masih kurang
berbakti juga ternyata hikss.

Poin dua. Dibanding-bandingkan dengan anak tetangga, anak teman bapak, anak teman ibu,
dan anak-anak lain. Rasanya engga ena skaliiiiiii~ Kuliah saja sudah beda univ tapi masih
saja dibandingkan. Intinya, saya lebih buruk dari yang lain.

Sekian jok,

Maafin ya, saya tau ini nanti bingung mau ditanggepinnya gmn. Saya juga bingung
permasalahannya dimana , tapi saya merasa sediiiiiiiiiiiiii.

Dari remaja galau yang sangat huhu~

Jawab

Dear kamu yang sedang merasa galau.

Usia 20-an memang usia kritis. Rasanya seperti berjalan di atas tanduk. Dalam istilah lain,
usia 20-an seperti telur yang diletakan di tepi jurang. Rasanya sangat tidak aman dan tidak
menyenangkan.Banyak sekali perspektif untuk menjelaskan fenomena ini, salah satunya
adalah quarter life crisis. Mungkin kamu bisa menggali lebih dalam mengenai fenomena ini
dengan banyak baca dari berbagai jenis sumber.

Dari cerita yang kamu sampaikan. Nampaknya ada dua hal yang perlu kita bahas. Yang
pertama adalah tentang media sosial. Yang kedua adalah tentang orang tua yang menuntutmu
dengan segudang hal. Keduanya mengarahkan pada hal yang sama, yaitu perasaan bahwa
―saya tak cukup‖, ―saya kurang‖ dan ―saya selalu lebih buruk dari orang lain‖.

Mari kita bahas satu per satu.

Tentang Media Sosial

Kami senang kamu sadar bahwa banyak milenial yang memakai topeng. Pertanyaan ―apa
hidup kalian sebahagia feed di instagram?‖ adalah cerminan kita semua di usia 20-an.
Pertanyaan yang mungkin menampar sebagian besar milenial yang membaca. Kamu hebat
karena sudah berani menjadi authentic dengan bertanya. Kamu hebat karena telah sadar
dengan ‗ada yang salah di era ini‘ dan juga ingin berefleksi. Tak banyak anak muda
sepertimu, yang menyadari hal tersebut. Lebih banyak yang memilih pura-pura tidak tahu
atau benar-benar tidak tahu. Hingga akhirnya, terjebak di dunia maya selama mungkin
sampai mereka sadar bahwa waktu mereka telah habis tanpa makna.

Dunia maya, dengan media sosial di dalamnya, adalah tempat yang sangat menyenangkan.
Tempat di mana kamu dan semua orang bisa menampilkan diri terbaikmu. Media sosial juga
menjadi tempat manusia jelata untuk memiliki panggung yang terus disorot masyarakat.
Apalagi hidup di dunia nyata yang dingin dan minim apresiasi, bertengger di dunia maya
membuat kita merasa eksis bagai selebritas. Love dan like menjadi notifikasi yang selalu
ditunggu. Harga diri kita ditentukan oleh sebarapa banyak followers, seberapa
banyak love dan likes yang kita dapatkan. Tentunya, mendapatkan love di Instagram lebih
mudah daripada mendapatkan love di dunia nyata. Di sinilah letaknya candu kita. Instagram
memenuhi salah satu kebutuhan utama manusia, perasaan ingin dicintai dan dihargai.

Akan tetapi, karena semua itu hanya ada di dunia maya, maka tak aneh jika sebagian besar
dari kita merasa kosong di balik semua ―wkwkwkw‖ dan ―foto nongkrong asique‖ di
Instagram. Belum lagi, melihat feed teman-teman yang sudah lebih sukses dari kita. Rasa-
rasanya diri ini semakin terinjak-injak.

Tapi percayalah, semua yang ada di Instagram tidak mewakili kehidupan si pemilik akun.
Instagram hanyalah 1 detik foto dari 24 jam kehidupan manusia. Sayangnya, sebagian besar
dari kita berlomba-lomba menampilkan yang terbaik saja. Akibatnya, tidak ada satu orang
yang pun yang puas akan pencapaian dirinya sendiri karena iri melihat feed Instagram orang
lain.

Sebagai tambahan, kamu bisa membaca kisah lucy, yang sempat viral, mengenai iri hati dan
cemburu di dunia maya.

Dibanding-bandingkan Orangtua

Hal kedua yang menganggumu adalah orang tua yang kerap membanding-bandingkan.

Perlu kita ketahui bahwa mereka yang menyakiti kita juga sebenarnya sedang terluka.
Sekilas, dari sudut pandangmu, dan dari sudut pandang anak-anak usia 20-an, orangtua yang
membandingkan anaknya dengan anak lain adalah orang tua yang amat tega. Perbandingan
yang dilakukan itu mampu menyiksa anaknya pada tataran batin.

Namun, jika ditarik dari sudut pandang yang lebih luas, orangtuamu juga belum puas dengan
keadaannya. Mereka masih ingin ekonominya lebih baik lagi atau mereka sangat pencemas,
yang sudah mengkhawatirkan masa depan anaknya sejak bayi. Jadi, kalau sekarang kamu
mendengar kekhawatiran dan perbandingan yang mereka lakukan, coba bayangkan kamu
berada di posisi mereka. Posisi sebagai orangtua yang juga menanti segala kepastian.

Sebagai anak yang bisa kamu lakukan adalah berusaha memahami mereka. Kata-kata itu
memang sakit, sesekali bicaralah dari hati ke hati bila diperlukan dan ada momen yang tepat.
Namun, kadang-kadang memaksa orang lain berubah bukanlah hal mudah. Satu-satunya yang
bisa diubah adalah dirimu sendiri. Berusahalah mengubah dirimu dengan meningkatkan
kesabaranmu, memahami orang tuamu, dengan belajar lebih tekun dan bisa membanggakan
orangtuamu, karena mungkin itu yang mereka mau. Itu yang mereka ingin lihat.

Bersikap “Bodo Amat”

Seringkali kita memedulikan sesuatu yang menyedot tenaga dan membuat kita semakin
pusing sebagai akibatnya. Padahal, kita tidak perlu memedulikan setiap hal yang ada di
sekitar kita. Seperti yang sedang kamu rasakan, tanpa disadari kamu memedulikan banyak hal
yang sebenarnya bisa kamu pilih untuk tidak diacuhkan. Memedulikan feed Instagram teman
atau terlalu memikirkan pendapat negatif tentang dirimu dari orangtua.

Kamu bisa belajar untuk bersikap ―bodo amat‖. Hidup dengan ―bodo amat‖ menjadi hal
penting yang perlu dilakukan di tengah dunia yang penuh dengan cibiran, nyinyiran, serta
perbandingan dari orang-orang. Belajar untuk tidak peduli dengan apa yang terjadi di luar
sana karena hanya akan membuat dirimu merasa tidak nyaman. Tidak apa-apa kamu
merasakan ada yang salah, ada yang kurang, selama kamu dapat belajar untuk lebih
mengenali dan memahami apa yang sebenarnya dapat menjadi kelebihanmu. Kamu tidak
harus berubah dengan keras demi memenuhi standar orang lain. Terima apa yang ada di
dirimu sekarang dan melihat apa sebenarnya yang kamu inginkan dan hal apa yang kamu
punya untuk bisa dikembangkan.

Menyayangi Diri Sendiri sebagai Jawaban

Seperti saran di atas, jika perlu uninstall media sosialmu biar semakin cool kayak Ed
Sheeran. Dengan meng-unistall media sosial, kamu bisa melindungi diri untuk tidak
membandingkan hidup dengan orang lain di dunia maya sana. Waktu yang kamu habiskan
juga tidak sia-sia begitu saja hanya karena scrolling feed media sosial.

Di sisi lain, kamu perlu lebih menyanyangi dirimu sendiri. Sudah banyak kata-kata negatif
yang kamu telan. Baik dari orang tuamu saat membanding-bandingkan ataupun dari dirimu
sendiri saat scrolling IG orang lain. Maafkanlah dan sayangi dirimu sendiri. Berhentilah
melabel negatif diri dan menggunakan orang lain sebagai patokan kualitas dirimu. Ketika
kamu semakin kuat menggunakan orang lain sebagai patokan, semakin besar peluangmu
untuk kehilangan diri sendiri. Percayalah, masing-masing dari kita memiliki alur hidup
masing-masing untuk mencapai perubahan.

***

Terakhir, jangan pernah lupa bahwa kamu masih muda. Usia 20 tahunan rasanya memang
menyiksa. Ada banyak hal di depan mata yang bisa kamu lakukan. Ada banyak hal di internet
dan di toko buku yang bisa kamu pelajari. Pelajarilah kisah orang-orang sukses, lakukan
rutinitas yang mereka lakukan. Lihatlah dirimu di masa depan dan mulai lakukan apa yang
perlu dilakukan sekarang, perlahan demi perlahan. Jika kamu bisa menyibukan diri dengan
hal-hal positif yang terarah, percayalah, tanpa kamu sadari tiba-tiba kamu sudah berada di
titik sukses yang kamu harapkan. Saat itu terjadi, segala drama yang diakibatkan media sosial
hanya akan menjadi debu yang tak lagi berarti.

Regis Machdy
Kasta Sosial dalam Kepanitiaan yang Sering Menimbulkan Kecemburuan

MOJOK.CO – Demi berlangsungnya acara, diam-diam muncul kasta sosial dalam


kepanitiaan karena perbedaan beban kerja dan kesempatan show off yang sering
mengakibatkan kecemburuan.

Aktif berorganisasi disebut-sebut memiliki banyak keuntungan. Pasalnya, aktivitas ini


dianggap menjadi wadah belajar dan menempa diri. Meski harus mengalami lika-liku drama
yang tidak bikin capek, namun katanya, justru drama-drama itulah yang bakal membentuk
kita menjadi pribadi yang lebih namaste serta melatih kita membangun sebuah relasi.

Bagi kamu-kamu yang senang menjalin relasi dan mengasah kemampuan melalui organisasi
atau sekadar mengikatkan diri dalam sebuah kepanitiaan, pasti diam-diam merasakan bahwa
di balik solidnya kebersamaan kepanitiaan tersebut, ada sebuah pembagian tingkatan kasta
sosial dalam kepanitiaan yang tidak menyenangkan dan sering memunculkan kecemburuan.
Yaiyalah, namanya digolong-golongin pasti nggak enak. Sebagai manusia, kita kan pengin
dianggap sama dan sejajar aja~

Untuk menjelaskan lebih jauh mengenai pembagian tingkatan kasta sosial dalam kepanitiaan,
mari simak beberapa info berikut….

Dalam sebuah kepanitiaan, tingkatan kasta sosial dalam kepanitiaan tertinggi, tentu saja—
tak perlu dipertanyakan lagi—dimiliki oleh ketua acara dan rekan kerjanya, si seksi acara.
Orang-orang yang berada dalam posisi ini dianggap memiliki kasta tertinggi, karena
keberadaan mereka sungguh penting dan betul-betul menentukan bagaimana acara tersebut
berlangsung. Maka tidak mengherankan, jika yang berhasil menempati posisi ini adalah
orang-orang pilihan dan punya track record yang lebih dari baik dalam lingkungan.
Mereka inilah yang bakal bekerja jauh-jauh hari sebelum panitia lainnya untuk menyusun
konsep acara tersebut. Oleh karena itu, orang-orang yang tergabung di dalamnya harus punya
banyak kreativitas dan ide brilian untuk membuat acara tersebut menjadi kece! Mereka harus
menelurkan ide-ide yang kreatif dan inovatif namun juga tetap realitis!

Selain itu, yang bikin orang-orang dalam kasta ini semakin keren ketika hari H acara adalah
ketika mereka tampak sibuk dan seolah-olah profesional dengan handy talky-nya.

Selanjutnya, kasta kedua dalam sebuah kepanitiaan dianugerahkan kepada orang-orang


yang bekerja di posisi sekretaris dan bendahara. Keduanya merupakan tangan kanan sang
ketua panitia yang dipercaya menyiapkan segala kebutuhan administrasi. Sabagai asisten
ketua panitia yang ngurusin administrasi, tentu saja tugas mereka nggak babu-babu amat.
Masih menunjukkan citra manusia yang memiliki pekerjaan yang elegan, karena nggak perlu
kotor-kotoran.

Sementara kasta sosial dalam kepanitiaan ketiga jatuh pada panitia yang tergabung dalam
seksi publikasi, dokumentasi, dan keamanan. Mereka memang ‗bekerja keras‘ dalam sebuah
kepanitiaan. Namun, bisa dikatakan, bahwa kerja mereka sebetulnya nggak keras-keras amat.
Nggak sampai berada di posisi tertindas-tertindas bangetlah. Pendapat ini didasarkan pada
penampilan mereka yang masih tetep kece ketika acara berlangsung.

Orang-orang yang terpilih sebagai seksi publikasi, biasanya adalah orang-orang yang
memiliki kemampuan memanfaatkan media sosial dan dapat menjalin jaringan dengan baik.
Supaya acara yang telah dipersiapkan ini, bisa laku terjual! Untuk seksi dokumentasi, ah tak
perlu ditanya lagi, tentu saja mereka diam-diam menjadi sorotan banyak orang. Pasalnya,
diam-diam orang lain pun ingin menjadi sorotan kameranya. Gimana? Kamu juga pengin
diperhatiin orang lain juga? Udah, bawa kamera aja sana. Jangan lupa kamera yang DSLR ya,
pokoknya biar kelihatan pro dulu aja lah!

Sedangkan yang terpilih di posisi keamanan, biasanya merupakan orang-orang yang bertubuh
gede dan punya kharisma yang bisa bikin orang tunduk. Pasalnya, mereka ini punya tugas
untuk menertibkan yang susah diminta tertib. Namun, jika acara yang diadakan cukup besar,
biasanya tugas mereka jadi nggak bakal berat-berat amat. Ya, bagaimana tidak? Lha
wong mereka udah dibantuin sama pihak kepolisian, Je.

Kasta keempat dalam sebuah kepanitiaan, kami nobatkan pada seksi konsumsi dan
perlengkapan. Sudah, jangan tanya bagaimana beratnya tugasnya mereka. Apalagi jika acara
tersebut butuh latihan berbulan-bulan, semisal pementasan teater ataupun drama kolosal.
Pokoknya, seksi konsumsi dan perlengkapan ini harus siap sedia memenuhi kebutuhan sang
juragan seksi acara dan pihak-pihak ‗penting‘ lainnya.

Seksi perlengkapan, tak jarang mereka harus lembur kerja keras—yang betul-betul keras—
layaknya buruh pada sebelum dan sesudah acara. Bagi perlengkapan, dapat jatah makan lebih
banyak daripada panitia yang lain saja, sudah menjadi bentuk perhatian yang mumpuni.
Sementara untuk seksi konsumsi, saya nggak paham kok bisa-bisanya disepelekan? Padahal
kan kita semua tahu, logika nggak bakal jalan kalau nggak ada logistik~
Nah, yang sering bikin sedih, meski kontribusi kedua seksi ini besar dalam keberlangsungan
acara, keduanya jarang disebut-sebut. Bahkan lebih sering terlupakan. Jangankan berharap
untuk disebut, untuk bisa tampil kece saat berlangsungnya acara saja, sepertinya menjadi
harapan yang terlalu tinggi. Soalnya angkut-angkut berhasil bikin muka jadi kucel dan
kumus-kumus.

Biasanya, orang-orang yang masuk dalam kasta keempat ini adalah orang-orang yang tidak
terpilih dalam tiga kasta sebelumnya. Saking disepelekannya, seakan-akan tugas seksi
konsumsi dan perlengkapan merupakan kemampuan sederhana yang bisa dilakukan oleh
semua orang dan nggak memerlukan kemampuan yang spesial.

Untuk kasta kepanitiaan terakhir dalam sebuah kepanitiaan—tentu saja—jatuh pada seksi
dana usaha dan sponsorship. Mengenai bagaimana kerja mereka dan kontribusinya bagi
keberlangsungan acara supaya sesuai konsep seksi acara, memang tidak perlu dipertanyakan
lagi. Mereka ini, bisa dikatakan sebagai tulang punggung atau lebih tepatnya sebagai: budak
program kerja yang tertindas!!1111!!!

Pasalnya, mereka tidak hanya harus bekerja keras sejak jauh-jauh hari, namun jika dana
usaha yang mereka lakukan ini mengalami kerugian, maka mereka jugalah yang harus
menanggungnya sendiri. Sebaliknya, jika ada keuntungan, tentu saja itu untuk kemaslahatan
umat.

Dikarenakan sangat jarang ada yang bersedia menjadi seksi dana usaha dan sponsorship—
karena risiko besar yang bakal ditanggung tapi nggak bakal show off—biasanya ketua panitia
bakal melobi-lobi terlebih dahulu orang yang ia percaya untuk berada dalam posisi ini.
Pasalnya, posisi ini harus ditempati oleh sosok-sosok yang memiliki jiwa entrepreneur dan
punya kemampuan lobi-lobi bisnis yang mumpuni. Meski mereka tertindas, namun apa kabar
jika sebuah acara tidak menerima sokongan dana dari mereka?

Meski memunculkan kecemburuan, toh apapun tugas yang diampu—meski sulit show off—
ini ada hikmahnya. Misalnya yang sudah terbiasa menjadi perlengkapan, bakal menjadi
pribadi yang peka karena telah terlatih untuk memahami dan mempersiapkan apa yang
dibutuhkan oleh orang lain. Sedangkan jika terbiasa menjadi seksi dana usaha dan
sponsorhip, tentu semakin menguatkan jiwa wani perih-nya. Lha gimana, Je? Lha
wong mereka ini sudah terlatih untuk ditolak.

Audian Laili
Redaktur Terminal Mojok.

Anda mungkin juga menyukai