Namaku Rama Aditya Putra. Panggil aku Rama. Aku ingin bercerita tentang sekolah.
Jika tidak benar-benar siap, sebaiknya siapapun tidak meneruskan membaca cerita ini.
Tetapi jika benar-benar ingin tahu, tentang sekolah dan segala hal yang tersinggung
dengannya, mungkin beberapa yang akan kuceritakan berikut ini belum kaian
ketahui aku ingin memulai semuanya dengan menceritakan sekolahku
***
Sekolahku adalah tempat terbaik untuk bertumbuh: Guru-guru, dengan pakaian rapi
dan rambut kelimis, tersenyum ramah menyambut semua murid yang memasuki kelas
penuh harapan. Guru, begitu kami menyapa mereka, seperti sesungguhnya: Teladan
utama yang benar-benar patut di gugu lan ditiru.
Di sekolahku, ada cinta dan persahabatan, juga hal-hal lainnya yang karena begitu
indah sekaligus menyenangkan menjadi tak bisa dilukiskan kata-kata. Ya, tak tertola,
sekolahku adalah tempat yang paling tepat untuk menempa diri dan menyiapkan masa
depan! Disanalah kami mendapatkan ilmu pengetahuan, pengalaman-pengalaman,
kebenaran-kebenaran.
Di sekolahku, tak ada hal yang lain kecuali baik dan benar, dari logika, etika, hingga
estetika. Tak ada yang lebih baik dari tempat ini. Semuanya berjalan tertib dan sesuai
harapan. Barangkali, jika kitab suci belum selesai dituliskan, sekolahku bisa
diandaikan sebagai surga di dunia!
Itulah sekolahku. Jika tak percaya, datanglah ke sana: maka kau akan menemukan
kebohongan-kebohongan semacam ini, lebih banyak lagi
***
Cih!
Aku muak dengan semua ini! Sekolahku adalah tempat sampah bagi semua kotoran
dan kebusukan dunia. Di sekolah aku pertama kali mengenal hampir semua kata-kata
kotor, umpatan, dan makian. Di sana aku pertama kali berkalahi, coba-coba jadi
jagoan. Teman-teman memperkenalkan aku pada video-video porno, dan aku jadi
kecanduan. Lalu mereka mengajariku merokok kadang-kadang melinting ganja,
minum-minum, sesekali mencoba obat-obatan, meski tak sampai kecanduan. Tak
ada yang tahu, tentu saja, apalagi orangtua. Kami melacak dan merayakan kedewasaan
kami secara sembunyi-sembunyi dalam keramaian dan hiruk-pikuk pesta yang kami
ciptkan untuk kelompok kami sendiri.
Demi masa depan? Entah nabi mana yang mengajari bahwa sekolah akan menjamin
masa depan yang baik. Sekolah? Bullshit! Kenyataanya, jutaan pengangguran
berijazah sekolah setiap tahun mengantre di perusahaan-perusahaan yang dimiliki
orang-orang putus sekolah! Aneh! Aku setuju bahwa manusia perlu ilmu pengetahuan,
dan ilmu pengetahuan adalah modal penting untuk mendapatkan masa depan yang
baik, tetapi bisakan semua itu tak dimonopoli dan dikalengkan di pabrik-pabrik
pengetahuan bernama sekolah? Ah, aku benci mengatakan ini: aku benar-benar
membenci sekolah, tapi aku tak punya pilihan lainnya!
***
Ketika Gaus dipanggil si idiot karena raut wajahnya selalu ketakutan dan ia tak
lancar berbicara, aku tak tahu bagaimana harus membayangkan perasaannya.
Sementara kakak-kakak kelas tertawa, sebagian dari kami juga. Aku melihat Gaus
hanya diam saja. Tertunduk. Sesekali melihat sekeliling yang sedang
menertawakannya. Aku membayangkan perasaanya yang tiba-tiba jadi asing. Ciut. Si
idiot. Si idiot. Si idiot. Aku membayangkan kata-kata itu, hinaan itu, terus menerus
menggema di dalam kepalanya, meruntuhkan perasaanya, mengecilkan dirinya untuk
selama-lamanya.
Demikianlah. Tolol. Bego. Monyet. Banci. Dangdut. Kodok. Ngepet. Udik. Bangsat.
Apapun bisa menjadi nama lain buat masing-masing kami. Terserah selera dan
kehendak kakak kelas yang mulia! Beberapa dari kami diminta berduel satusama lain,
untuk membuktikan mana yang benar-benar laki-laki, setengah laki-laki, atau
seperempat laki-laki, di pukul, ditendang. Dan siapapun yang berani melawan atau
melaporkan semua ini pada guru atau orangtua, tak akan selamat! Jelas semua
ancaman itu membuat kami tak berani melakukannya. Akhirnya, semua ini kami
simpan rapat-rapat. Seperti dia mana-mana. Jika nekat, jangan harap semua akan baik-
baik saja!
biar mental lu kuat! Sekarang lu pada udah SMA! Kata salah seorang dari senior
kami, sambil menampari wajah-wajah kami yang lesu dan ketakutan, Anak Lazuardi
nggak boleh cemen! Yang nangis, pergi sana pake rok! Pake lipstick! Anjing!
ini baru latihan. Kita masih baik. Lawan elu semua yang sebenernya ada di luar sana!
Mereka bisa nyerang elu semua kapan aja! Mereka nggak nyerang elu pake tangan
kosong! Mereka bawa senjata, apa aja yang bisa ngabisin nyawa elu semua! Jangan
nangis! Cemen! Banci! Kita semua kayak gini bukan berarti kita enggak suka sama
elu! Sebagai senior, kita justru tanggung jawab buat bikin elu siap ngadepin
kenyataan sesungguhnya di luar sana! Kita punya peperangan kita sendiri
Waktu itu, aku masih belum mengerti sepenuhnya apa yang dijejalkan ke telinga
kami. Tetapi semua tentang kebencian. Bahwa kami harus kuat. Dan di luar sana,
semuanya akan lebih gila dari kebiadaban ini. Tetapi segila apa?
Hari demi hari berlalu. Berminggu-minggu mendapat perlakuan seperti itu, akhirnya
beberapa di antar kami dinobakan sebagai skuad resmi Brigade Lazard. Aku
termasuk salah satu di antara mereka, secara terpaksa tentu saja. Aku dianggap cukup
tangguh untuk menjadi pasukan yang siap membela harga diri SMA Lazuardi,
Lazard. Sebagaian lain, yang tak termasuk dalam kelompok ini, secara resmi menjadi
banci sekolah yang akan dihina sampai kapan saja. Mereka tak termasuk dalam
kelompok. Mereka tak punya fasilitas pembelaan jika kapanpun mendapatkan
ancaman atau bahaya, dan hampir tak punya harga diri sebagai laki-laki.
***
Sekarang, mungkin semua yang kuceritakan ini terdengar berlebihan. Nyinyir. Palsu.
Atau apapun. Seolah-olah aku hanya remaja labil yang karena tak sanggup memikul
tugas-tugas yang di bebankan sekolah, lantas frustrasi dan membabi-buta
menyalahkan segalanya tentang sekolah. Aku tahu akan ada di antar kalian yang
menganggapku demikian. Mungkin benar juga, aku adalah sampah dunia pendidikan
yang tak sanggup berkompetisi dalam sebuah arus-utama bernama sekolah. Terserah
kalian saja. Tapi jika banyak orang punya pirkiran dan perasaan sepertiku, aku kira
tentu ada yang salah dengan sekolah system pendidikan kan?
Tentang semua itu, aku bukan ahlinya, tetapi aku akan menceritakan semua kisahku
apa adanya aku ingin kalian membacanya dan mengetahui bahwa aku, dan teman-
temanku, benar-benar butuh pertolongan. Ada yang salah dengan sekolah. Paling
tidak, ada yang salah dengan sekolahku!