Anda di halaman 1dari 12

Kenang Guru

dalam Kening Murid


Oleh: Ikbal Haming

“Zaman sekolah dulu, guru sangat


ditakuti dan dihormati, dulu kami
benjol dipukul guru karena kami
nakal, boro-boro lapor polisi, lapor
orang tua malah kita tambah
benjol, tapi kami tidak cengeng dan
menerima “hajaran” guru tersebut,
beda sama zaman sekarang.”
Begitu bunyi unggahan akun
Instagram sandiwarapemuda yang
pengikutnya mencapai 260 ribu,
caption-nya tentu saja Selamat Hari
Guru Nasional, bukan Selamat Hari
Menormalisasi Kekerasan Guru.

1
Di kekinian, komparasi murid zaman
old dan murid zaman now lumrah
kita jumpai. Bahkan tak jarang
keluar dari mulut guru itu sendiri,
“Dulu sewaktu jadi murid saya lebih
mudah diajar, murid sekarang
susahnya minta ampun.” Konon
katanya, itu disebabkan karena guru
dilarang melakukan kekerasan
terhadap murid. Akhirnya, murid
menjadi nakal dan patoa-toai.
Apakah benar demikian? Atau itulah
jebakan romantisisme masa lalu?

Sebagian orang mengira, cara-cara


dulu selalu relevan, hanya karena
saat itu dirasa makbul. Padahal
hidup makin dinamis dan masa lalu
tak selamanya manis. Zaman
beralih, generasi bersilih. Ilmu

2
pengetahuan terus diperbaharui,
cara dulu tinggalkanlah dahulu.

Patutlah jika paragraf kedua pidato


Hari Guru Nasional 2022, Mas
Menteri mengingatkan,
“Ketangguhan ini didorong oleh
kemauan untuk terus berubah,
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan
lama yang tidak lagi sesuai dengan
tantangan dan kebutuhan zaman.
Hal ini juga didorong oleh semangat
kita untuk terus berinovasi,
menciptakan perubahan dan
kebaruan yang membawa kita
melompat ke masa depan.”

Sewaktu di pesantren, di halaman


masjid saya pernah dihajar dengan
bambu di bagian betis, karena
masbuk. Centang biru di betis saya

3
bertahan tiga hari. Ibu yang melihat
itu sedikit kecewa. Saya pun tak
tahu, relasi antara hajaran di betis
dengan masbuk. Toh, ada yang
beberapa kali dihajar, tapi tetap
masbuk juga. Artinya cara-cara
seperti itu tidak efektif. Guru saya
saat itu juga tak mau mendengar
penjelasan, masbuk ya masbuk saja.
Saya tak diajak berkomunikasi,
merefleksikan kesalahan juga tidak.
Saya pasrah saja, mungkin begitulah
namanya dididik.

Di kelas pun demikian, guru


Matematika saya galaknya
nauzubillah. Detik-detik
menunggunya datang adalah masa-
masa kelam di kelas. Saya sering
membatinkan doa dirinya sakit agar
tak masuk meng(h)ajar. Penggaris

4
kayu di tangan, kata-katanya pedas,
dan raut muka ganas, benar-benar
kombinasi maut yang membikin
saya takut. Sialnya, saya ini tipe
murid yang buntu di pelajaran
Matematika. Beberapa kali saya
harus menghafal jawaban untuk
berjaga-jaga, saat tiba-tiba
telunjuknya menikam saya,
menyuruh maju ke depan
mengerjakan soal. Suasana benar-
benar mencekam. Padahal kelas
bukan penjara, dan guru bukan sipir.
Tapi saya terima saja, mungkin
itulah rupanya diajar.

Tetapi, penelitian Ilham di Jurnal


Paradigma tahun 2013, menyebut
bahwa kekerasan guru terhadap
murid, melahirkan trauma
berkepanjangan yang akan

5
menimbulkan kebencian terhadap
sekolah. “ Jangan salahkan anak jika
dia takut sekolah,” ujar Kak Seto.
Bisa jadi karena sekolah begitu
menakutkan baginya.

Dilansir Gorontalo Post, seorang


murid kelas VI di SDN Kecamatan
Tibawa mengalami trauma berat
dan sebulan lamanya tak mau ke
sekolah. Ia dipukul gurunya, hanya
karena terlambat datang ke sekolah.
Ironisnya, perlakuan kasar itu
disaksikan teman-temannya usai
upacara. Saat diajak ke sekolah oleh
tim dinas pendidikan dan Polres
Gorontalo, korban gemetar dan
dingin sekujur tubuh. Sang guru
akhirnya dimutasi, meninggalkan
muridnya yang ringkih.

6
Penelitian Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI), menyebut
banyak dampak kekerasan pada
anak, seperti anak yang mendapat
kekerasan, bisa berubah menjadi
pelaku kekerasan, perasaaan tidak
berguna, sehingga bersikap murung
dan sulit memercayai orang lain.
Anak juga menjadi depresif, sulit
mengendalikan emosi, dan susah
berkonsentrasi. Akhirnya,
kesehatannya terganggu,
kecerdasannya pun sulit
berkembang.

Saya harus jujur mengatakan,


dengan segala hormat pada guru-
guruku itu. Saya hanya mengingat
hajarannya, bukan ajarannya.
Mengajar dengan cara menghajar,
bukan ajaran sama sekali. Sekolah

7
bukanlah barak miiter. Dan saya tak
berniat menjadi tentara. Sungguh
cara-cara demikian tak membuat
murid merasa lebih baik.. Guru
bukan dewa yang selalu benar, dan
murid bukan kerbau, cakap Soe Hok
Gie.

Syukurnya, kenang guru


terselamatkan di kening saya,
berkat guru lain yang bersikap baik.
Keramahannya, senyumnya, dan
caranya mengajar menyisakan
memori manis masa sekolah.

Ketika bertemu kini, saya selalu


menyempatkan diri melakukan 3S:
Senyum, Sapa, dan Salam. Saya
menghormatinya, karena caranya
memperlakukan murid di kelas dulu.
Dalam dirinya menyata kata-kata

8
penulis Amerika, William Arthur
Ward, the mediocre teacher tells.
The good teacher explain. The
superior teacher demonstrates. The
great teacher inspires.

Kini, kala akhirnya jadi guru, saya


selalu berupaya mengimitasi guru
baik dulu semasa sekolah.
Mengingat-ingat, tentang
bagaimana caranya memperlakukan
murid. Setidaknya, kalau belum bisa
jadi guru yang menginspirasi, cukup
jadi guru yang tidak marah ketika
murid salah. Menjadi tegas, bukan
keras. Bertindak pas dan tidak
beringas. Sembari tertatih-tatih
berlatih menjadi guru yang lebih
baik saban hari.

9
Mari kembali ke paragraf awal.
Membandingkan murid dulu dan
kini tentu tidaklah adil. Tiap
generasi, punya masa dan
tantangannya, tapi tak menjadikan
satu lebih unggul dari yang lain.
Mengatai murid sekarang lebih
lemah, hanya karena tak tahan
dihantam tentu tuduhan yang
melukai.

Seri Laporan Project Mulatatuli


tentang #GenerasiBurnout—meski
dalam konteks yang berbeda—
menjabarkan bahwa generasi
sekarang bukannya lembek, tapi
mereka lebih berpengetahuan dari
pada generasi sebelumnya,
sehingga lebih banyak menginsafi
tentang apa yang patut dan tidak
patut diterima sebagai manusia.

10
Kalau orang tua murid keberatan
anaknya dihajar, itu bukanlah tanda
kelemahan. Mereka menyadari
bahwa cara-cara seperti itu tak
patut lagi, sebab penelitian
membuktikan cara seperti itu lebih
banyak mudaratnya, tinimbang
manfaatnya.

Lagi pula, di generasi mana pun,


saya yakin manusianya lebih suka
diajar dengan kasih sayang,
tinimbang dihajar kiri kanan.

Akhirnya, seperti yang selalu


diingatkan orang, suatu hari murid
mungkin lupa rumus yang diberikan
gurunya, tak tahu lagi teori yang
pernah dipelajarinya, tapi ia akan
selalu ingat bagaimana guru

11
memperlakukannya di sekolah. Jadi,
jika Anda adalah guru, ingin
dikenang apa Anda di kening murid?

12

Anda mungkin juga menyukai