Anda di halaman 1dari 6

BAB. 3.

Berdamai dengan konflik

Luar Biasa, Astaghfirullah… Apa yang terjadi dengan siswa-siswa kita


di zaman sekarang. Mengapa begitu sulit untuk melakukan pembinaan dalam
mendidik dan mengajarkan mereka kepada nilai-nilai kebaikan.

Butuh kesabaran lebih saat mengajar di kelas yang satu ini. Saat jam
istirahat setelah 4 jam pelajaran atau disaat pergantian jam pelajaran, guru-
guru yang keluar dari kelas ini saling curhat, berbagi cerita tentang kegalauan
dan gundah gulana yang dirasakannya disaat berlangsung proses belajar
mengajar di kelas ini.

Hari ini, proses pembelajaran sedang tidak baik-baik saja, kelas


kurang kondusif karena Angga dan Danu, entah siapa yang memulai lebih
dulu mereka berkelahi, Angga melepaskan tinju ke arah mata Danu. Mereka
saling balas, kelas heboh. Bu Ratih marah dengan nada suara yang tinggi.
Angga bukannya diam, menunduk mengakui kesalahannya, melainkan
berbalik marah dengan kata kata yang tidak pantas keluar dari mulutnya.
Herannya lagi, makhluk yang satu ini bahkan balik bertanya, mengapa selalu
dia yang disalahkan.

Raut wajah kesal tampak jelas dari ekspresinya, setiap ada masalah
ujung-ujungnya dia yang selalu menjadi orang tertuduh, pembuat onar, dan
pengacau. Dia protes karena situasi tidak pernah berpihak kepadanya. Meski
Angga sudah berusaha meyakinkan Bu Ratih kalau yang memulai duluan
adalah Danu, tetap saja alasannya tidak diterima.

Sekali ini saja cobalah untuk berpihak kepadanya. Angga membatin.


“kalian sama saja keduanya “, ucap Bu Ratih. Tidak ada yang mau mengalah,
padahal segala sesuatu bias diselesaikan dengan baik. Apakah perkelahian
yang baru saja terjadi dapat menyelesaikan masalah kalian berdua? Dari
satu kasus ke kasus berikutnya. Belum tampak perobahan untuk menjadi
lebih baik. Begitu lantang suara Bu Ratih mengalir menembus batas dinding
kelas.

Tidak bisakah orang-orang yang ada di sekolah ini, memahami bahwa


dia sudah berniat untuk menjadi anak yang baik dan patuh. Berikan
kesempatan berobah untuk dirinya. Dimulai hari ini sebenarnya. Namun
saying, Danu merusak semua rencana indah yang sudah disusunnya.
Hmmm… Dia tersenyum sendiri.

Ternyata tidak semudah yang dibayangkannya, tantangan belum


berhasil ditaklukan, namun kasus baru muncul lagi. Konflik dengan Danu
yang terjadi hari ini, menguras energi dan emosinya.

Proses belajar terganggu, jangankan untuk paham materi pelajaran,


untuk duduk tenang dan nyaman mesti harus diatur dulu frekuensi tarikan
napas dan kecepatan denyut jantung masing-masing, apalagi untuk
berkonsentrasi memahami teks naratif yang dijelaskan oleh Bu Ratih.
Suasana kelas tegang, sebagian siswa deg-degan, cemas, dan takut meski
kejadian seperti ini sudah sering terjadi dan bukan hari ini saja, namun kali ini
emosi kedua siswa memang sudah tak terbendung lagi, usut punya usut
ternyata hanya karena persoalan sepele “saling sebut nama orang tua
masing-masing” yang dibumbui dengan cemoohan terhadap profesi salah
satu dari orangtua mereka, yang akhirnya terjadi duel hebat “.

Sebegitu rapuhkah pengendalian diri dan emosi siswa-siswa kita saat


ini? Sedikit saja pemicunya berakhir dengan perkelahian. “Tenang kan
dirimu, tarik nafas, kendalikan emosi”, ujar Bu Ratih tegas sambil mendekati
keduanya. Memegang pundak dan berusaha memahami dengan penuh
perhatian apa yang terjadi di antara mereka.

Entah angin apa yang berhembus hari ini, Danu “Si tukang usil “,
memulai aksinya lebih duluan. Tabiat dan kebiasaannya yang banyak bicara,
kadang membuat Angga bosan, ada saja hal-hal yang di komentarinya.
Nyinyir seperti emak-emak kata Angga. Danu mengoceh tak henti,
menggerutu, tidak jelas apa yang diucapkannya. Angga tidak
mempedulikannya. Dia asyik membolak-balik buku catatannya, membaca
sepintas paragraf demi paragaraf teks naratif yang ada di buku paket.
Bersiap dan waspada jika sewaktu-waktu ada pertanyaan dari Bu Ratih, dia
bias menjawabnya.

Tak sengaja ada tulisan nama ibunya yang dilukis sudah cukup lama,
tampak dan dibaca oleh Danu. “Cieee…Anisah…ehmm” kata Danu. Itu ibuku
kata Angga. Danu balik menggoda. Ibu atau? Angga mulai terpancing
emosinya. Iya ibuku. Sama dengan emakmu sipenjual gorengan itu. Merasa
profesi ibunya dilecehkan, Danu tersinggung, meski ibunya seorang penjual
gorengan tapi ibunya adalah wanita hebat yang sangat dikagumi dan
dibanggakannya. Jika ada yang mencoba menghina atau menyakiti perasaan
ibunya dia tidak akan tinggal diam.

Danu beraksi. Dia menginjak kuat kaki Angga di bawah meja agar
tidak ketahuan oleh Bu Ratih. Angga meringis menahan sakit, karena
injakkannya tepat mengenai kaki yang sakit saat main bola kemarin. Spontan
Angga langsung berdiri dan mendaratkan tinjunya kebagian wajah Danu.
Perkelahian tak dapat dihindarkan lagi. Mereka lupa kalau saat ini sedang
berlangsung proses belajar mengajar bersama guru.

Mengapa mudah sekali siswa-siswa kita terpancing emosinya ?

Butuh pendekatan dan kepiawaian guru dalam menyikapi, merangkul,


dan mendengarkan keluh kesah mereka, mencari solusi terbaik.

Tekad Angga untuk suatu hari ingin sukses, perlu diapresiasi dan
dimotovasi untuk terus tumbuh dan berkembang, baik oleh guru di sekolah,
maupun orangtua dan lingkungan. Sambil terus melakukan bimbingan untuk
menanamkan kebiasaan berperilaku yang lebih terkendali. Untuk senantiasa
mampu berdamai dengan konfilk.

Disinilah peran ganda guru, selain mentransfer pengetahuan, guru


juga perlu merangkul, dan mencari solusi terbaik bagi siswa yang sedang
bermasalah, tentu menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan saat ini.
Termasuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan kondusif bagi
para siswa di sekolah.

Keberhasilan proses pembelajaran di dalam kelas, tidak hanya


tergantung pada kelengkapan sarana, kemampuan dan keterampilan siswa,
serta kompetensi yang dimiliki oleh guru. Ada faktor lain yang tak kalah
penting dan sangat menentukan yaitu menciptakan lingkungan belajar yang
nyaman dan kondusif bagi siswa-siswa.

Lingkungan sekolah dan lingkungan belajar yang nyaman dan


kondusif akan membentuk iklim belajar yang menyenangkan. Ketika suasana
hati senang, tanpa beban dan tekanan, membuat siswa lebih fokus, karena
proses belajar membutuhkan konsentrasi maksimal. Sel-sel otak akan
bekerja secara baik untuk menyerap dan mengolah informasi saat terjadi
interaksi dalam kegiatan belajar di dalam kelas.

Guru secara aktif membimbing siswa, menjalin komunikasi yang


harmonis, mengasah kemampuan berpikir, serta melatih keterampilan sesuai
tujuan pembelajaran masing-masing. Semuanya sudah dirancang oleh guru
dan terpola secara sistematis agar pembelajaran bermakna dan berkualitas,
siswa paham, tujuan pembelajaran tercapai.

Saat pelaksanaan di kelas, program dan scenario pembelajaran yang


sudah direncanakan guru, terkadang belum terlaksana secara maksimal.
Banyak siswa yang sudah focus dengan baik, tetapi tidak sedikit yang hadir
di kelas masih sebatas pendengar dan penonton, pelengkap komunitas kelas
tanpa berbuat banyak untuk kemajuan proses dan hasil belajar yang
harusnya bisa diperolehnya secara maksimal.

Mengapa siswa sulit sekali untuk bisa fokus, apakah siswa dalam
kondisi baik-baik saja? Bisa jadi ada hal lain yang membuat kesungguhan
belajarnya hilang dan tidak bergairah dalam belajar. Mungkin saja ada
masalah dalam keluarganya yang terjadi saat itu, siswa merasa sendirian,
terabaikan, dan banyak persoalan lainnya yang merusak suasana hati yang
berujung pada pengendalian diri yang kurang baik. Sehingga siswa mudah
terpancing emosinya. Kondisi seperti ini perlu dipahami secara baik oleh guru
dengan multi perannya sebagai pendidik, menjadi moitivator, sebagaii figure
teladan sekaligus orang tua di sekolah.

Dari kisah Angga dan Danu di atas, yang terlibat dalam konflik emosi
yang tidak terkendali, perlu ditelusuri penyebab yang memicu terjadinya hal
tersebut. Sebenarnya, tradisi dan pola tingkah siswa dari zaman ke zaman
menyebut nama orang tua sebagai bahan bercanda, bukanlah sesuatu yang
baru. Banyak siswa yang merespon santai candaan tersebut, sekedar
menyebut nama orang tua sakitnya dimana? Tidak perlu diperpanjang. Jika
ditanggapi dengan diam dan sedikit senyum persoalan selesai. Candaan
berakhir sampai disitu tidak perlu ada duel. Itu untuk siswa yang memiliki
pengendalian emosi yang baik, yang mampu berdamai dengan konflik. Hidup
terasa nyaman. Tidak demikian halnya untuk siswa yang mudah terpancing
emosinya. Candaan ini bias memicu amarahnya, menyakitkan, bahkan
sampai menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Karakter siswa yang beragam, dipengaruhi oleh latar belakang


keluarga, lingkungan, dan pola asuh yang didapatkan selama ini. Setiap
siswa menunjukan tanggapan dan sudut pandang yang sesuai dengan latar
belakang kondisinya tersebut dalam menyikapi suatu peristiwa.
Disinilah peran dan fungsi guru, tidak hanya bertanggung jawab dalam
pencapaian target akademik. Namun juga berperan membangun rasa empati,
peduli, dan saling memahami. Hubungan emosional yang kuat perlu dibina
antara guru, siswa, dan semua warga di lingkungan sekolah.

Selain itu, penting sekali untuk mengenal siswanya dengan baik. Guru
harus memahami kepribadian, minat, dan kebutuhan agar dapat memberikan
bimbingan dan dukungan yang tepat

Guru dapat mencoba berbicara secara pribadi dengan siswa, seperti


pada Angga dan Danu. Mereka berdua sedang butuh perhatian khusus.
Pembinaan dapat dilakukan melalui pertemuan secara individu dengan siswa
terkait, dengan orang tuanya, atau dengan teman kesehariannya. Secara
terbuka berbicara dari hati ke hati tentang beban dan persoalan apa yang
dihadapinya saat ini. Guru hadir sebagai figur yang memberi solusi dan
penguatan, sehingga siswa tidak merasa sendiri, atau merasa terabaikan,
sehingga rasa percaya dirinya muncul.

Kehadiran seorang guru diharapkan dapat memberikan kenyamanan


bagi siswa-siswanya. Guru dapat memperlakukan semua siswa dengan adil,
tanpa diskriminasi, atau prasangka yang akan membuat siswa terpojok.
Jadilah guru yang selalu ada di hati para siswa, Kehadirannya selalu
dirindukan dan selalu dinantikan oleh para siswa. Menyejukan disaat gelisah
melanda, Semoga....

Anda mungkin juga menyukai