NIM : 12116027
TUGAS PERORANGAN
Munculnya persoalan tersebut karena selama ini pemerintah dianggap tidak transparan
mengenai hasil pemeriksaan kegiatan pertambangan PTFI. Menanggapi kondisi tersebut,
Inspektur Jenderal KLHK, Ilyas Asaad menjelaskan pemerintah sebenarnya telah melakukan
pemeriksaan khususnya mengenai kerusakan lingkungan dari kegiatan pertambangan PTFI.
Ilyas menjelaskan dari sejumlah sanksi tersebut sebanyak 42 kegiatan telah selesai
dilaksanakan pihak PTFI. Sedangkan, sebanyak 6 sanksi lainnya belum dapat diselesaikan
dengan dalih memerlukan waktu yang lama untuk penyelesaiannya serta adanya aspek
keamanan.
“Sanksi yang belum dilaksanakan tersebut antara lain pengelolaan sedimen non
tailing dari lower Wanagon serta area tambang dalam pemasangan alat pemantau kontinyu
untuk mengukur debit harian pada titik pantau 57, pemenuhan baku mutu emisi cerobong dan
pemenuhan baku mutu kualitas air estuaria, untuk selanjutnya diselesaikan melalui
mekanisme roadmap (peta jalan),” jelas Ilyas.
Lebih lanjut, Ilyas menekankan saat ini pihaknya masih berpegang pada Kepmen Roadmap
Nomor 594/Menlhk/Setjen/PLA.0/12/2018 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan
kehutanan Nomor 175/Menlhk/Setjen/PLB.3/4/2018 tentang Persyaratan Pengelolaan tailing
untuk PTFI. Kepmen tersebut berisikan tentang prosedur-prosedur yang harus dipenuhi PTFI
dalam mengelola limbah tambangnya.
“Kepmen 175 tidak pernah dicabut dan tetap masih berlaku. Roadmap yang disusun merupakan
langkah menuju pengelolaan tailing yang lebih baik. Melalui Kepmen Roadmap Nomor 594
ditegaskan langkah yang perlu dilakukan oleh PT Freeport Indonesia dalam menuju
pengelolaan tailing sebagaimana diatur dalam Kepmen 175,” jelas Ilyas.
Permasalahan lingkungan ini juga mendapat perhatian khusus dari Badan Pemeriksaan
Keuangan (BPK). Anggota IV BPK, Rizal Djalil menjelaskan pihaknya menemukan temuan
pada kegiatan Kontrak Karya PTFI sepanjang 2013-2015 berupa penggunaan hutan lindung
seluas 4.535,93 hektar tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari KLHK dan
pembuangan limbah yang mengakibatkan kerusakan ekosistem. Selain itu, BPK juga mendapat
temuan kekurangan penerimaan negara berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan
kelebihan pencairan jaminan reklamasi sebesar US$ 1.616.454,16 atau sekitar Rp 23 miliar.
Lebih lanjut, Rizal menjelaskan permasalahan kekurangan penerimaan negara dalam PNBP
dan kelebihan pencairan jaminan reklamasi tersebut telah diselesaikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan berlaku. Kemudian, Kementerian ESDM dan KLHK juga telah membuat
pembaharuan regulasi terkait dengan pengelolaan usaha jasa pertambangan sesuai dengan
rekomendasi BPK. “Sehingga, potensi penyimpangan pada masa yang akan datang dapat
dicegah dan tidak terjadi kembali,” jelas Rizal saat konperensi persi di Gedung BPK, Desember
lalu.
Selain temuan tersebut, BPK sebenarnya pernah melaporkan hasil pemeriksaan dengan tujuan
tertentu terhadap KK PTFI pada Maret 2018. Dengan bekerjasama Institut Pertanian Bogor dan
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menyatakan terjadi kerusakan
ekosistem akibat limbah PTFI senilai Rp 185 triliun.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c35f52adc2c8/respons-klhk-soal-
kerusakan-lingkungan-akibat-tambang-freeport/
Dari sejumlah sanksi tersebut sebanyak 42 kegiatan telah selesai dilaksanakan pihak PTFI.
Sedangkan, sebanyak 6 sanksi lainnya belum dapat diselesaikan dengan dalih memerlukan
waktu yang lama untuk penyelesaiannya serta adanya aspek keamanan.
Sanksi yang belum dilaksanakan tersebut antara lain pengelolaan sedimen non
tailing dari lower Wanagon serta area tambang dalam pemasangan, alat pemantau kontinyu
untuk mengukur debit harian pada titik pantau 57, pemenuhan baku mutu emisi cerobong dan
pemenuhan baku mutu kualitas air estuaria, untuk selanjutnya diselesaikan melalui
mekanisme roadmap (peta jalan).
Atas pelanggaran yang mengakibatkan kerusakan lingkungan tersebut, KLHK menjatuhkan
denda kepada PTFI sebesar Rp 460 miliar. Denda tersebut akibat penggunaan kawasan hutan
tanpa izin sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tetang Jenis dan
Tarif Atas Jenis PNBP yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan
Pembangunan di Luar kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Sanksi
tersebut dihitung penggunaanya sejak tahun 2008.