Anda di halaman 1dari 4

Nama : Dzaky Ilham Muyasar

NIM : 12116027

TA 4103 LINGKUNGAN TAMBANG


SEMESTER I TAHUN 2019/2020

TUGAS PERORANGAN

 permasalahan lingkungan dari kegiatan pertambangan di Indonesia yang terjadi


pada tahun 2019

Respons KLHK Soal Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang


Freeport
Rabu, 09 January 2019
Sebanyak 48 sanksi yang diberikan pada kegiatan pertambangan PT Freeport
Indonesia. KLHK menyatakan sebagian besar sanksi tersebut telah ditindaklanjuti.
Mochamad Januar Rizki

Permasalahan kerusakan lingkungan akibat pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI),


Jayapura terus menjadi perhatian publik seiring dengan proses divestasi saham kepada PT
Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Persero. Mulai dari isu besarnya nilai kerugian materi
hingga sosial terus menjadi persoalan sampai saat ini.

Munculnya persoalan tersebut karena selama ini pemerintah dianggap tidak transparan
mengenai hasil pemeriksaan kegiatan pertambangan PTFI. Menanggapi kondisi tersebut,
Inspektur Jenderal KLHK, Ilyas Asaad menjelaskan pemerintah sebenarnya telah melakukan
pemeriksaan khususnya mengenai kerusakan lingkungan dari kegiatan pertambangan PTFI.

Berdasarkan hasil pemeriksaan September lalu, KLHK menemukan sebanyak 48 pelanggaran


lingkungan akibat pertambangan PTFI. Pelanggaran tersebut juga telah ditindaklanjuti dengan
penetapan sanksi administratif kepada PTFI melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Nomor SK 5559/MENLHK-PHLHK/PPSA/GKM.0/10/2017.

Ilyas menjelaskan sebagian besar pelanggaran tersebut berhubungan dengan limbah


atau tailing pertambangan PTFI. “Kerusakan paling besar sehubungan dengan tailing
(limbah),” kata Ilyas di Gedung KLHK, Rabu (9/1).

Berdasarkan pemeriksaan KLHK, 48 sanksi tersebut dikelompokkan menjadi sebagai berikut:


a. Melakukan kegiatan tidak dilengkapi dengan izin lingkungan sebanyak 12 kegiatan
b. Melakukan kegiatan tidak sesuai dengan Amdal berdasarkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-55/menlh/12/1997, sebanyak 7 kegiatan
c. Tidak melakukan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan, sebanyak 12
kegiatan.
d. Tidak melakukan upaya pengendalian pencemaran air, sebanyak 5 kegiatan
e. Tidak melakukan upaya-upaya pengendalian pencemaran udara, sebanyak 5 kegiatan.
f. Tidak melakukan upaya-upaya pengelolaan LB3, sebanyak 7 kegiatan.

Ilyas menjelaskan dari sejumlah sanksi tersebut sebanyak 42 kegiatan telah selesai
dilaksanakan pihak PTFI. Sedangkan, sebanyak 6 sanksi lainnya belum dapat diselesaikan
dengan dalih memerlukan waktu yang lama untuk penyelesaiannya serta adanya aspek
keamanan.

“Sanksi yang belum dilaksanakan tersebut antara lain pengelolaan sedimen non
tailing dari lower Wanagon serta area tambang dalam pemasangan alat pemantau kontinyu
untuk mengukur debit harian pada titik pantau 57, pemenuhan baku mutu emisi cerobong dan
pemenuhan baku mutu kualitas air estuaria, untuk selanjutnya diselesaikan melalui
mekanisme roadmap (peta jalan),” jelas Ilyas.

Lebih lanjut, Ilyas menekankan saat ini pihaknya masih berpegang pada Kepmen Roadmap
Nomor 594/Menlhk/Setjen/PLA.0/12/2018 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan
kehutanan Nomor 175/Menlhk/Setjen/PLB.3/4/2018 tentang Persyaratan Pengelolaan tailing
untuk PTFI. Kepmen tersebut berisikan tentang prosedur-prosedur yang harus dipenuhi PTFI
dalam mengelola limbah tambangnya.

“Kepmen 175 tidak pernah dicabut dan tetap masih berlaku. Roadmap yang disusun merupakan
langkah menuju pengelolaan tailing yang lebih baik. Melalui Kepmen Roadmap Nomor 594
ditegaskan langkah yang perlu dilakukan oleh PT Freeport Indonesia dalam menuju
pengelolaan tailing sebagaimana diatur dalam Kepmen 175,” jelas Ilyas.

Masih menurut Ilyas, berdasarkan pemeriksaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan


(Amdal), KLHK telah menyetujui Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) yang
diterbitkan PTFI. Dokumen tersebut melingkupi 21 kegiatan yang telah berjalan namun belum
mempunyai izin lingkungan. Izin tersebut tercantum dalam SK.32/PKTL/PDLUK/PLA.4/
5/2018 tentang pengesahan dokumen evaluasi lingkungan hidup perubahan kegiatan usaha
pertambangan dan fasilitas pendukung dari yang tercantum dalam AMDAL, RKL, dan RPL
regional rencana perluasan kegiatan penambangan tembaga.

Atas pelanggaran yang mengakibatkan kerusakan lingkungan tersebut, KLHK menjatuhkan


denda kepada PTFI sebesar Rp 460 miliar. Denda tersebut akibat penggunaan kawasan hutan
tanpa izin sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tetang Jenis dan
Tarif Atas Jenis PNBP yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan
Pembangunan di Luar kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Sanksi
tersebut dihitung penggunaanya sejak tahun 2008.

Permasalahan lingkungan ini juga mendapat perhatian khusus dari Badan Pemeriksaan
Keuangan (BPK). Anggota IV BPK, Rizal Djalil menjelaskan pihaknya menemukan temuan
pada kegiatan Kontrak Karya PTFI sepanjang 2013-2015 berupa penggunaan hutan lindung
seluas 4.535,93 hektar tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari KLHK dan
pembuangan limbah yang mengakibatkan kerusakan ekosistem. Selain itu, BPK juga mendapat
temuan kekurangan penerimaan negara berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan
kelebihan pencairan jaminan reklamasi sebesar US$ 1.616.454,16 atau sekitar Rp 23 miliar.
Lebih lanjut, Rizal menjelaskan permasalahan kekurangan penerimaan negara dalam PNBP
dan kelebihan pencairan jaminan reklamasi tersebut telah diselesaikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan berlaku. Kemudian, Kementerian ESDM dan KLHK juga telah membuat
pembaharuan regulasi terkait dengan pengelolaan usaha jasa pertambangan sesuai dengan
rekomendasi BPK. “Sehingga, potensi penyimpangan pada masa yang akan datang dapat
dicegah dan tidak terjadi kembali,” jelas Rizal saat konperensi persi di Gedung BPK, Desember
lalu.

Selain temuan tersebut, BPK sebenarnya pernah melaporkan hasil pemeriksaan dengan tujuan
tertentu terhadap KK PTFI pada Maret 2018. Dengan bekerjasama Institut Pertanian Bogor dan
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menyatakan terjadi kerusakan
ekosistem akibat limbah PTFI senilai Rp 185 triliun.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c35f52adc2c8/respons-klhk-soal-
kerusakan-lingkungan-akibat-tambang-freeport/

 isi berita dan/atau analisis yang dituliskan dalam berita tersebut


Pemberian 48 sanksi oleh KLKH kepada ptfi terkait kerusakan lingkungan akibat tambang,
persoalan tersebut muncul karena selama ini pemerintah dinilai tidak transparan mengenai hasil
pemeriksaan kegiatan pertambangan PTFI seiring proses divestasi saham kepada PT Indonesia
Asahan Alumunium (Inalum) Persero.
KLHK menemukan sebanyak 48 pelanggaran lingkungan akibat pertambangan PTFI.
Pelanggaran tersebut juga telah ditindaklanjuti dengan penetapan sanksi administratif kepada
PTFI melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK
5559/MENLHK-PHLHK/PPSA/GKM.0/10/2017.

Berdasarkan pemeriksaan KLHK pada bulan September, 48 sanksi tersebut dikelompokkan


menjadi sebagai berikut:
a. Melakukan kegiatan tidak dilengkapi dengan izin lingkungan sebanyak 12 kegiatan
b. Melakukan kegiatan tidak sesuai dengan Amdal berdasarkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-55/menlh/12/1997, sebanyak 7 kegiatan
c. Tidak melakukan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan, sebanyak 12
kegiatan.
d. Tidak melakukan upaya pengendalian pencemaran air, sebanyak 5 kegiatan
e. Tidak melakukan upaya-upaya pengendalian pencemaran udara, sebanyak 5 kegiatan.
f. Tidak melakukan upaya-upaya pengelolaan LB3, sebanyak 7 kegiatan.

Dari sejumlah sanksi tersebut sebanyak 42 kegiatan telah selesai dilaksanakan pihak PTFI.
Sedangkan, sebanyak 6 sanksi lainnya belum dapat diselesaikan dengan dalih memerlukan
waktu yang lama untuk penyelesaiannya serta adanya aspek keamanan.

Sanksi yang belum dilaksanakan tersebut antara lain pengelolaan sedimen non
tailing dari lower Wanagon serta area tambang dalam pemasangan, alat pemantau kontinyu
untuk mengukur debit harian pada titik pantau 57, pemenuhan baku mutu emisi cerobong dan
pemenuhan baku mutu kualitas air estuaria, untuk selanjutnya diselesaikan melalui
mekanisme roadmap (peta jalan).
Atas pelanggaran yang mengakibatkan kerusakan lingkungan tersebut, KLHK menjatuhkan
denda kepada PTFI sebesar Rp 460 miliar. Denda tersebut akibat penggunaan kawasan hutan
tanpa izin sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tetang Jenis dan
Tarif Atas Jenis PNBP yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan
Pembangunan di Luar kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Sanksi
tersebut dihitung penggunaanya sejak tahun 2008.

 Tanggapan tentang permasalahan tersebut:


Ditelaah dari persoalan tersebut, anggapan dan penilaian publik yang negatif terhadap
pemerintah muncul sebab ada indikasi ketidak-transparan dalam pemeriksaan hasil kegiatan
pertamabangan oleh PTFI, hal demikian saya nilai wajar terjadi dan memang seharusnya
masyarakat kristis lantaran kepemilikan saham PTFI sekarang sudah sebagian besar di tangan
pemerintah, proses divestasi yang seharusnya dinilai melegakan dan meningkatkan nama baik
pemerintah di mata masyarakat harusnya juga diimbangi dengan tanggung jawab akan
manajemen yang baik pula, jangan ada penurunan kualitas dan kelonggaran hanya karena
kepemilikan PTFI tersebut sudah sebagian besar dipegang oleh Pemerintah, alih-alih
membawa atmosfer positif, ditakutkan barangkali terjadi hal-hal yang akan merugikan dan
ditunggangi oleh sekelompok oknum demi kepentingan perorangan atau kelompok,
perpindahan tangan akan pengelolaan dari asing tentunya akan memberi beban yang cukup
berat bagi pemerintah untuk mendayagunakan dan mengelola tambang Grassberg tersebut,
perihal pemberian sanksi oleh KLKH, meski 42 sudah dilakukan, sisanya harus tetap diawasi,
pemantauan dan pengawasan oleh Lembaga-lembaga berwenang jangan sampai kendor, jika
memang keadaan lingkungan jadi makin buruk akibat perpindahan pengelolaan dari pemilik
saham sebelumnya, saya lebih memilih PTFI dikelola asing dari pada dikelola pihak sendiri
tapi keadaan semakin buruk dan tata kelola lingkungan semakin lama semakin menurun sebab
tambang adalah industri skala besar dan berdampak panjang, efeknya akan dirasakan oleh
generasi-generasi mendatang.

Anda mungkin juga menyukai