Anda di halaman 1dari 8

Model Von Thunen

Johann Heinrich Von Thunen seorang ekonom dan tuan tanah di Jerman
menulis buku berjudul Der Isolierte Staat in Beziehung auf Land Wirtschaft pada
tahun 1826. Ia mengupas tentang perbedaan sewa tanah (pertimbangan ekonomi).
Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Isolated State in
Relation to Agriculture oleh Peter Hall yang diterbitkan pada tahun 1966 di London.
Dalam modelnya tersebut, Von Thunen membuat asumsi sebagai berikut:

1. Wilayah analisis bersifat terisolir (isolated state) sehingga tidak terdapat


pengaruh pasar dari kota lain.
2. Tipe permukiman adalah padat di pusat wilayah (pusat pasar) dan makin
kurang padat apabila menjauh dari pusat wilayah.
3. Seluruh wilayah model memiliki iklim, tanah, dan topografi yang seragam.
4. Fasilitas pengangkutan adalah primitive (sesuai pada zamannya) dan relative
seragam. Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa.
5. Kecuali perbedaan jarak ke pasar, semua factor alamiah yang memengaruhi
penggunaan tanah adalah seragam dan konstan.

Berdasarkan asumsi di atas Von Thunen membuat kurva hubungan sewa tanah
dengan jarak ke pasar sebagai berikut.

sewa tanah

sewa yang terjadi dari


hasil tawar menawar

0 D = jarak dari pasar

Kurva perbedaan sewa tanah sesuai dengan perbedaan jarak ke pasar.


Dari gambar tersebut terlihat bahwa tingkat sewa tanah adalah paling mahal di
pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Berdasarkan
perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis
produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa tanah. Makin
tinggi kemapuannya untuk membayar sewa tanah, makin besar kemungkinan
kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar. Selain itu, masing-masing jenis
kegiatan/produksi memiliki kurva permintaan atas tanah berupa kurva tak acuh
(indifference curve) yang menggambarkan hubungan antara sewa tanah dan jarak dari
pasar. Kemiringan kurva berbeda antara satu jenis kegiatan/produksi dengan
kegiatan/produksi lainnya. Ada kurva yang menurun tajam, agak tajam, agak landai,
dan landai. Misalnya, ada dua jenis kegiatan A dan B yang masing-masing memiliki
kurva tak acuh dengan kelandaian berbeda seperti berikut:

Sewa tanah

Kurva A

Kurva B

Pasar T D=Jarak dari pasar

Perbedaan kurva sewa tanah untuk kegiatan yang berbeda.

Kurva A menggambarkan kurva permintaan tanah (sewa tanah) untuk kegiatan


A, sedangkan kurva B menggambarkan kurva permintaan tanah (sewa tanah) untuk
kegiatan B. Kegiatan A bersifat tak acuh (indifference) pada kurva permintaan tanah
tersebut. Artinya, bagi mereka adalah sama saja berlokasi di titik mana pun pada
cakupan kurva tersebut, setelah membandingkan antara sewa tanah dengan jauhnya
lokasi ke pasar yang berbanding terbalik. Karena perbeddaan kurva permintaan antar
kegiatan A dengan kegiatan B, maka sampai jarak T akan dimenangkan oleh kegiatan
A, sedangkan setelah titik T dimenangkan oleh kegiatan B. analisis seperti ini dapat
dilanjutkan sampai beberapa macam kegiatan yang menggunakan penggunaan tanah.
Hasilnya adalah satu pola penggunaan tanah berupa diagram cincin yang pada waktu
itu adalah sebagai berikut:

Keterangan :

6 P = Pasar
5 Cincin 1 = Pusat industry/kerajinan
4
3 Cincin 2 = Pertanian intensif (produksi
2
1
susu dan sayur-sayuran)
P
Cincin 3 = Wilayah hutan (untuk
menghasilkan kayu bakar).
Cincin 4 = pertanian ekstensif (dengan
rotasi 6 atau 7 tahun).
Cincin 5 = Wilayah peternakan.
Cincin 6 = Daerah pembuangan sampah.
Diagram cincin dari Von Thunen.

Penggunaan tanah saat ini tidak lagi berkelompok persisi seperti cincin dan isi
masing-masing cincin juga tidak lagi sama seperti dalam diagram Von Thunen.
Namun demikian konsep Von Thunen bahwa sewa tanah sangat memengaruhi jenis
kegiatan yang mengambil tempat pada lokasi tertentu masih tetap berlaku dan hal ini
mendorong terjadinya konsentrasi kegiatan tertentu pada lokasi tertentu. Von Thunen
menggunakan contoh sewa tanah untuk produksi pertanian, tetapi banyak ahli studi
ruang berpendapat bahwa teori itu juga relevan untuk sewa/penggunaan tanah di
perkotaan dengan menambah aspek tertentu, misalnya aspek kenyamanan dan
penggunaan tanah di masa lalu. Penggunaan tanah di perkotaan tidak lagi berbentuk
cincin tetapi tetap terlihat adanya kecenderungan pengelompokan dan untuk
pengguanaan yang sama berupa kantong-kantong, di samping adanya penggunaan
berupa campuran antara berbagai kegiatan. Penggunaan lahan yang berbeda antar
satu kota dengan kota lainnya. Namun, kecenderungan saat ini adalah pusat kota
umumnya didominasi oleh kegiatan perdangan dan jasa, sedikit ke arah luar diisi oleh
kegiatan industry, kerajinan (home industry) bercampur dengan perumahan sedang
dan kumuh. Perumahan elit justru mrngambil lokas lebih kearah luar lagi
(mengutamakan kenyamanan). Industry besar umumnya berada di luar kota karena
banyak pemerintah kota yang melarang industry besar dan yang berpolusi mengambil
lokasi di dalam kota.

Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga tanah tinggi di pusat
kota dan akan makin menurun apabila makin menjauh dari pusat kota; harga tanah
adalah tinggi pada jalan-jalan utama (akses ke luar kota) dan akan makin rendah
apabila menjauh dari jalan utama. Makin tinggi kelas jalan utama itu, makin mahal
sewa tanah di sekitarnya. Jadi, bentuk gambarnya adalah seperti kerucut (segitiga)
jarring laba-laba, di mana puncak kerucut itu adalah pusat kota. Namun perlu dicatat
bahwa akan ada kantong-kantong lokasi yang menyimpang dari ketentuan di atas
karena adanya faktor khusus, seperti faktor keamanan, kenyamanan dan telah adanya
konsentrasi kegiatan tertentu di lokasi tersebut. Untuk lahan pertanian perlu diingat
toeri Ricardo yang mengatakan bahwa sewa tanah terkait dengan tingkat kesuburan
tanah tersebut. Namun pandangan Ricardo ini pun tetap terikat kepada jarak/akses
lahan pertanian itu terhadap pusat kota (wilayah pemasarannya).

Teori Von Thunen yang masih relevan dengan kondisi sekarang.

kelangkaan persediaan sumber daya lahan di daerah perkotaan memicu


berlakunya hukum ekonomi supply and demand semakin langka barang di satu pihak
semakin meningkat permintaan di pihak lain akibatnya harga melambung. Demikian
yang terjadi terhadap lahan yang ada di daerah perkotaan, dimana nilai sewa atau beli
lahan yang letaknya dipusat kegiatan, semakin dekat ke pusat semakin tinggi nilai
sewa atau beli lahan tersebut. Kelangkaan lahan di kota-kota besar seperti untuk
pertokoan misalnya, banyak sekali toko – toko yang terletak di pusat kota biaya sewa
atau beli tanahnya lebih mahal dari biaya sewa atau beli rumah yang jauh dari pusat
perkotaan, bahkan harganya selalau naik, mengikuti perkembangan yang terjadi dari
tahun ketahunnya. Ini mengindikasikan bahwa teori Von Thunen tentang alokasi
lahan untuk kegiatan pertanian juga berlaku di daerah perkotaan. Selain itu teori Von
Thunen juga masih berlaku untuk wilayah pertanian yang jauh dari kota dimana akses
prasarana jalan yang kurang mendukung dan pasar masih bersifat tradisional. Ini
banyak terjadi di wilayah perdesaan daerah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi
dimana wilayah pertanian sangat terisolir sehingga teori sewa lokasi Von Thunen ini
masih sangat relevan.

Teori Von Thunen yang kurang Relevan dengan kondisi sekarang.

Von Thunen menggunakan tanah pertanian sebagai contoh kasusnya. Dia


menggambarkan bahwa perbedaan ongkos transportasi tiap komoditas pertanian dari
tempat produksi ke pasar terdekat mempengaruhi jenis penggunaan tanah yang ada di
suatu daerah. Gambar model Von Thunen di atas dapat dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, menampilkan “isolated area” yang terdiri dari dataran yang “teratur”, kedua
adalah, kondisi yang “telah dimodifikasi” (terdapat sungai yang dapat dilayari).
Semua penggunaan tanah pertanian memaksimalkan produktifitasnya masing-masing,
dimana dalam kasus ini bergantung pada lokasi dari pasar (pusat kota). Model
tersebut, membandingkan hubungan antara biaya produksi, harga pasar dan biaya
transportasi. Kewajiban petani adalah memaksimalkan keuntungan yang didapat dari
harga pasar dikurang biaya transportasi dan biaya produksi. Aktivitas yang paling
produktif seperti berkebun dan produksi susu sapi, atau aktivitas yang memiliki biaya
transportasi tinggi seperti kayu bakar, lokasinya dekat dengan pasar.Model von
Thunen mengenai tanah pertanian ini, dibuat sebelum era industrialisasi, yang
memiliki asumsi dasar sebagai berikut : Kota terletak di tengah antara “daerah
terisolasi” (isolated state). Isolated State dikelilingi oleh hutan belantara. Tanahnya
datar. Tidak terdapat sungai dan pegunungan. Kualitas tanah dan iklim tetap. Petani di
daerah yang terisolasi ini membawa barangnya ke pasar lewat darat dengan
menggunakan gerobak, langsung menuju ke pusat kota. Tidak terdapat jalan
penghubung, petani mencari untung sebesar-besarnya.Tentu saja hubungan di atas
sangat sulit diterapkan pada keadaan saat ini, dimana prasarana transportasi sudah
begitu maju, alat tranportasi sebagai alat angkut hasil pertanian juga banyak dan
murah. Penggunaan teknologi modern dalam bidang pertanian menyebabkan teori
Von Thunen ini sudah kurang relevan dengan kondisi saat ini. Tetapi bagaimanapun
kita harus mengakui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara sistem transportasi
dengan pola penggunaan tanah pertanian regional.

Beberapa kelemahan teori Von Thunen:

1. Merupakan model keseimbangan yang sifatnya parsial, tidak memuat


interelasi antara variabel yang telah di khususkan, perhitungan akan susah
dilakukan bila terjadi perubahan di masa mendatang

2. Tidak memperhatikan faktor non ekonomis yang mempengaruhi produksi

3. Tidak memperhitungkan perbedaan luas perusahaan pertanian atau luas


pasaran yang tak menghasilkan ekonomi berskala produksi atau pasaran yang
bersangkutan sehingga dapat merusak zona tata guna lahan

4. Keterkaitannya pada waktu

5. Keterkaitannya pada wilayah karena :

 Kemajuan di bidang transportasi telah menghemat banyak waktu dan


uang (mengurangi resiko busuk komoditi);2.
 Adanya berbagai bentuk pengawetan, memungkinkan pengiriman
jarak jauh tanpa resiko busuk.

 Negara industri mampu membentuk kelompok produksi sehingga


tidak terpengaruh pada kota

 Antara produksi dan konsumsi telah terbentuk usaha bersama


menyangkut pemasaran (tidak selalu memanfaatkan jasa kota dalam
pemasarannya).
Daftar Putaka

Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Edisi Revisi. Jakarta
: PT. Bumi Aksara.

Adisasmita, Rahardjo. 2004. Teori Lokasi dan Pengembangan Wilayah. Makassar :


LEPHAS

http://www.geografiana.com/dunia/pelajar/von-thunen-teori-lokasi-modern

http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=9&fname=eko105_12.htm

Anda mungkin juga menyukai