Kebijakan Pertanian
Setiap orang yang terlibat dalam proses pembuatan maupun analisis kebijakan
pertanian harus memiliki pemahaman atau pemikiran yang jelas dalam mengevaluasi sebuah
keputusan. Apa dasarnya sebuah alternatif kebijakan dikatakan lebih baik dari alternatif
kebijakan lainnya? Bagaimana sebuah kebijakan dikatakan memadai? Apakah efisiensi
ekonomi merupakan satu-satunya hal yang harus dipertimbangkan? Untuk menghasilkan
sebuah kebijakan yang rasional kita harus memiliki cara yang jelas dan logis dalam menilai
berbagai pilihan alternatif kebijakan. Idealnya, setiap orang yang terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan memiliki pendekatan yang sama, sehingga kalaupun ada perbedaan,
seyogyanya perbedaan tersebut terbatas pada perbedaan pandangan semata, bukan pada
pendekatan dalam memecahkan masalah. Tulisan ini membahas kerangka umum proses
analisis kebijakan pertanian.
Pemahaman yang baik tentang kerangka analisis kebijakan pertanian amat dibutuhkan
oleh para pembuat kebijakan dan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat, untuk
memahami konsekuensi dari berbagai kebijakan. Kejelasan dari berbagai definisi yang
digunakan amat penting dalam melakukan analisis kebijakan. Apa yang dimaksud dengan
istilah “Kerangka Analisis (framework) Kebijakan Pertanian?”. Sebuah framework adalah
pendekatan atau metode yang tersusun baik dan konsisten dalam rangka menghasilkan
pemikiran-pemikiran yang jelas. Sebuah framework dirancang sedemikian rupa agar mampu
menelaah berbagai hubungan yang terjadi dalam sebuah sistem perekonomian. Meskipun
sebuah analisis ekonomi yang baik akan menarik bagi para ekonom, tapi di lain bisa
membuat pihak bukan ekonom menjadi frustasi. Namun demikian, tetap relevan bagi semua
orang karena hal itu menyangkut berbagai macam hubungan dan keterkaitan yang terjadi
dalam sebuah perekonomian misalnya mengapa aktivitas yang dilakukan oleh satu kelompok
masyarakat mempengaruhi kelompok lainnya. Masalah pertanian berhubungan dengan
masalah produksi dan konsumsi dari berbagai komoditas, sebagai hasil dari sebuah usahatani
atau usaha peternakan. Sebuah kebijakan adalah sebuah intervensi pemerintah, dimaksudkan
untuk merubah perilaku produsen dan konsumen. Analisis merupakan evaluasi dari berbagai
keputusan pemerintah yang merubah perekonomian. Oleh karena itu, sebuah framework
1
Dirangkum dari Sembiring (2011) hanya untuk kepentingan Perkuliahan Politik Pertanian di Program Studi
Agribisnis UNTIRTA
1
analisis kebijakan pertanian dapat diartikan sebagai sebuah sistem untuk menganalisis
kebijakan publik yang mempengaruhi produsen, pedagang, dan konsumen dari berbagai
produk pertanian baik tanaman, ikan, maupun ternak.
Gambar 1. Kerangka Analisis Kebijakan Timbergen (Ellis, 1992 dalam Widodo, 2017)
2
kendala-kendala yang terdapat dalam model. Tujuan kebijakan lebih dari satu,
memungkinkan timbulnya persoalan karena ada trade off diantara tujuan kebijakan.
Secara umum tujuan kebijakan pemerintah dapat dibagi kedalam tiga tujuan utama
yaitu efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan ketahanan (security) (Ellis, 1992 dan
Sembiring, 2011). Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka
adanya mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang
menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi. Pemerataan diartikan sebagai
distribusi pendapatan diantara kelompok masyarakat atau wilayah yang menjadi target
pembuat kebijakan. Biasanya, pemerataan yang lebih baik akan dicapai melalui distribusi
pendapatan yang lebih baik atau lebih merata. Namun, karena kebijakan adalah aktivitas
pemerintah, maka para penentu kebijakanlah (secara tidak langsung juga voters dalam sebuah
sistem demokrasi) yang menentukan definisi pemerataan itu. Ketahanan (pangan) akan
meningkat apabila stabilitas politik maupun ekonomi memungkinkan produsen maupun
konsumen meminimumkan adjustment costs. Ketahanan pangan diartikan sebagai
ketersediaan pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau. Di dalam kerangka ini,
setiap tujuan yang ingin dicapai oleh intervesi pemerintah akan terkait dengan paling tidak
salah satu dari ketika tujuan dasar yang telah disebutkan di atas yaitu efisiensi, pemerataan,
dan ketahanan.
Beberapa ahli bahwa mengemukakan kebijakan pertanian memiliki tujuan lebih
spesifik. Norton (2004) mengemukakan bahwa kebijakan pertanian bertujuan untuk: (1)
memenuhi kebutuhan nutrisi dan kebutuhan pangan lainnya di daerah pedesaan dan
perkotaan, dan (2) meningkatkan daya beli (purchasing power) rumah tangga pedesaan
melalui harga riil produk pertanian yang dihasilkan. Peningkatan daya beli rumah tangga
pedesaan akan menghasilkan efek permintaan multiplier terhadap produk non pertanian.
Sedangkan menurut Ellis (1992), tujuan kebijakan pertanian relatif berbeda dan beragam,
antara lain untuk tujuan : (1) stabilitas sosial dan politik, (2) integrasi perekonomian nasional,
(3) meningkatkan ketahanan pangan, (4) meningkatkan penerimaan dari ekspor, (5)
mencegah kekurangan gizi, (6) pertumbuhan ekonomi, dan (7) kesempatan kerja dan lain
sebagainya. Skope intervensi kebijakan pertanian dapat di tingkat lokal (meningkatkan
pendapatan petani miskin), propinsi atau nasional.
Trade-offs antar tujuan akan terjadi ketika salah satu tujuan bisa dicapai hanya dengan
mengorbankan tujuan lainnya. Yakni, mencapai tujuan yang satu, mengorbankan tujuan
lainnya. Apabila terjadi trade-offs, maka pembuat kebijakan harus memberikan bobot atas
setiap tujuan yang saling bertentangan itu, dengan menentukan berapa manfaat yang bisa
3
diraih dari suatu tujuan dibandingkan dengan kerugian yang harus diderita oleh tujuan
lainnya. Pembuat kebijakan, yang seringkali bukan seorang ekonom, berkewajiban untuk
melakukan penilaian (value judgement) untuk menentukan bobot bagi setiap tujuan. Para
pejabat pemerintah (pembuat kebijakan) inilah yang akhirnya akan bertanggungjawab atas
akuntabilitas kebijakan yang dibuatnya. Segalanya akan menjadi mudah, baik bagi analis
kebijakan maupun pembuat kebijakan, bila tidak terjadi trade-offs. Namun, keadaan ini
umumnya jarang terjadi. Hasil yang diharapkan adalah tercapainya keadaan yang lebih baik
sesuai dengan keterbatasan sumberdaya. Namun, biasanya trade-offs selalu saja terjadi.
Singkatnya, para analis bertugas melakukan evaluasi atas kebijakan, sementara
pembuat kebijakan mengambil keputusan dengan menentukan bobot atas setiap tujuan
kebijakan. Seluruh bobot yang diberikan kepada setiap tujuan bila dijumlahkan harus sama
dengan satu (misalnya, pengambil kebijakan memberikan bobot 0,6 untuk efisiensi, 0,3 untuk
pemerataan, dan 0,1 untuk ketahanan).
4
Kendala yang terkait lingkungan politik yaitu pertimbangan keamanan nasional, stabilitas
pemerintahan menjalankan tugas kekuasaan, dan persaingan diantara pemegang kekuasaan.
Kendala yang sifatnya di luar kendali pemerintah, seperti harga internasional dan curah hujan
yang tidak cukup, dimana pemerintah perlu menciptakan varitas tanaman yang sesuai, harga
beras internasional, dan harga bahan bakar minyak dunia. Dengan kata lain, kendala –
kendala di dalam kebijakan ekonomi ada yang dapat dan tidak dapat dipengaruhi oleh
pemerintah.
5
kelompok, produsen, pedagang, dan konsumen, dengan dampak yang berbeda karena dampak
tersebut bersifat spesifik pada wilayah dimana investasi itu terjadi.
6
yang bersifat nasional ini. Ada tiga kategori kebijakan makroekonomi yang mempengaruhi
sektor pertanian yaitu kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan nilai tukar, dan kebijakan
harga faktor domestik, sumberdaya alam, dan tataguna lahan.
Kebijakan fiskal dan moneter merupakan inti dari kebijakan makroekonomi, karena
secara bersama-sama mereka mempengaruhi tingkat kegiatan ekonomi dan tingkat inflasi
dalam perekonomian nasional, yang diukur melalui peningkatan indeks harga konsumen dan
indeks harga produsen. Kebijakan moneter diartikan sebagai pengendalian pemerintah dalam
pasokan (supply) uang dan kemudian permintaan agregat. Bila supply uang meningkat lebih
tinggi dari pertumbuhan agregat barang dan jasa, maka akan timbul tekanan inflasi.
Kebijakan fiskal berhubungan dengan keseimbangan antara kebijakan pajak pemerintah yang
meningkatkan pendapatan pemerintah dan kebijakan belanja publik yang menggunakan
pendapatan tersebut. Apabila belanja pemerintah lebih besar dari pendapatannya, maka
pemerintah mengalami fiskal defisit. Keadaan ini akan menimbulkan inflasi bila defisit
tersebut ditutup dengan menambah supply uang.
Kebijakan nilai tukar secara langsung berpengaruh terhadap harga output dan biaya
produksi pertanian. Nilai tukar adalah nilai konversi mata uang domestik terhadap mata uang
asing. Sebagian besar komoditas pertanian diperdagangkan secara internasional dan sebagian
besar negara mengimpor atau mengekspor sebagian dari kebutuhan atau hasil produk
komoditas pertanian mereka. Untuk produk-produk yang diperdagangkan secara
internasional, harga dunia akan sama dengan harga dalam negeri apabila tidak ada hambatan
perdagangan. Dengan sendirinya, nilai tukar secara langsung mempengaruhi harga produk
pertanian karena harga domestik (dinilai dalam mata uang dalam negeri) produk yang
diperdagangkan sama dengan harga dunia (dinilai dalam mata uang asing) dikalikan dengan
nilai tukarnya (rasio antara mata uang dalam negeri dengan mata uang asing).
Kebijakan harga faktor domestik secara langsung mempengaruhi biaya produksi
pertanian. Faktor domestik utama terdiri atas lahan, tenaga kerja dan modal. Biaya lahan dan
tenaga kerja biasanya merupakan porsi terbesar dari biaya produksi pertanian di negara
berkembang. Pemerintah seringkali menerapkan kebijakan makroekonomi yang
mempengaruhi nilai sewa lahan, upah tenaga kerja, atau tingkat bunga yang berlaku diseluruh
wilayah negara tersebut. Kebijakan faktor dometik lainnya seperti upah minimum atau
tingkat bunga maksimum, lebih mempengaruhi salah satu sektor dibanding sektor lainnya.
Beberapa negara melaksanakan kebijakan khusus dalam upaya mengendalikan penggunaan
lahan atau pengendalian ekploitasi sumberdaya alam, seperti air dan bahan mineral.
Kebijakan makro tersebut bisa juga mempengaruhi biaya produksi pertanian.
7
Kebijakan Investasi Publik yang Mempengaruhi Pertanian
Kategori ketiga dari kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian adalah
investasi publik dalam bentuk barang-barang modal pada infrastruktur, sumberdaya manusia,
dan penelitian dan pengembangan teknologi. Investasi publik dalam bentuk infrastruktur bisa
meningkatkan pendapatan produsen pertanian atau menurunkan biaya produksi. Yang
dimaksud dengan infrastruktur adalah barang modal penting, seperti jalan, pelabuhan, dan
jaringan irigasi yang amat sulit dibangun oleh sektor swasta. Barang modal tersebut dikenal
sebagai “barang-barang publik”, yang biayanya bersumber dari anggaran pemerintah.
Investasi dalam bentuk infrastruktur sifatnya spesifik wilayah serta manfaatnya sebagian
besar akan dinikmati oleh produsen dan konsumen diwilayah tersebut. Kebijakan investasi
publik amat rumit karena infrastruktur tersebut harus dipelihara dan diperbaharui dari waktu
ke waktu.
Investasi publik dalam sumberdaya manusia termasuk didalamnya berbagai jenis
pengeluaran pemerintah untuk meningkatkan tingkat keakhlian atau keterampilan serta
kondisi kesehatan produsen dan konsumen. Investasi dalam bentuk sekolah-sekolah formal,
pusat-pusat pelatihan dan penyuluhan, fasilitas kesehatan masyarakat, pendidikan gizi
masyarakat, klinik dan rumah sakit merupakan contoh-contoh investasi publik yang dapat
meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia sektor pertanian. Investasi-investasi seperti ini
amat menentukan dalam pembangunan jangka panjang, tetapi hasilnya memang baru akan
terlihat dalam waktu yang lama.
Investasi publik dalam bentuk penelitian dan pengembangan teknologi merupakan
contoh lain dari barang-barang publik yang secara langsung memberikan manfaat bagi
produsen dan konsumen pertanian. Negara-negara yang mengalami pertumbuhan sektor
pertanian yang tinggi biasanya melakukan investasi yang besar di bidang riset budidaya
pertanian untuk mengdopsi teknologi yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga riset
internasional, seperti penggunaan benih unggul baik untuk tanaman pangan maupun tanaman
tahunan. Benih-benih unggul ini seringkali memerlukan penggunaan teknologi baru,
pengaturan air yang lebih baik, dan penggunaan input yang lebih banyak. Untuk beberapa
komoditas, terobosan teknologi yang dibiayai oleh dana publik, biasanya lebih pada teknologi
pengolahan dibanding teknologi usahatani atau budi daya.
8
tujuan kebijakan, sedangkan irrelevant variable mengindikasikan pengaruh (effects) dari
suatu kebijakan ekonomi. Perbedaan target dan irrelevant variable tergantung dari sifat alami
permasalahan kebijakan dan pertimbangan pemerintahan. Dalam kasus pendapatan sebagai
target variabel maka konsumsi sebagai irrelevant variabel, pada kasus lain, kebijakan
meningkatkan standar hidup masyarakat sebagai target variabel, maka pendapatan sebagai
variabel irrelevant.
Ellis (1992) mengemukakan perubahan skecil dalam kebijakan akan berdampak kepada
kegiatan perekonomian lainnya, seperti kenaikan harga pangan akan menyebabkan perubahan
di pasar komoditi, dan berdampak signifikan terhadap variabel makroekonomi seperti
pengeluaran konsumen, upah, inflasi dan nilai tukar. Colman dan Young (1989) dalam Ellis
(1992) mengemukakan dampak suatu kebijakan dapat diklassifikasikan dalam menjelaskan
analisis kebijakan pertanian. Terdapat tujuh kategori pengaruh kebijakan yang diidentifikasi
yaitu (1) price effects, (2) production effects, (3) consumption effects, (4) trade or balance
payment effects, (5) budget effects, (6) income distribution effects, dan (7) social welfare
effects.
Tujuan utama analisis kebijakan yaitu kesejahteraan sosial. Dalam terminologi ekonomi
kesejahteraan, kesejahteraan sosial adalah total volume dari barang dan jasa yang dikonsumsi
oleh masyarakat. Peningkatan kesejahteraan sosial selalu mengarah kepada konsumsi
material dan sisi permintaan akhir dalam perekonomian.
9
yang dipilih. Kebijakan perlu diimplementasikan dengan baik sehingga tujuan kebijakan
tercapai. Outcome suatu kebijakan perlu diukur, selanjutnya dilakukan evaluasi. Evaluasi
suatu kebijakan akan membantu mengetahui kekuatan dan kelemahan kebijakan, selanjutnya
menindaklanjuti kebijakan tersebut. Pada Gambar 2 ditunjukkan keterkaitan antara
formulasi dengan implementasi kebijakan. Pemilihan kebijakan yang tepat akan
menghasilkan implementasi kebijakan yang baik, sebaliknya kesalahan dalam memilih
kebijakan akan menghasilkan implementasi yang salah.
Sadoulet dan de Janvry (1991) mengemukakan bahwa suatu paket kebijakan dapat
diterapkan dan berkelanjutan melalui uji kelayakan politis, efisiensi dan kesejahteraan yang
seringkali bersifat trade off. Strategi yang dilakukan menurunkan trade off adalah: (1)
meningkatkan fleksibilitas ekonomi, (2) meningkatkan derajad ekonomi, (3) melakukan
pendekatan kepada publik, dan (4) memberikan kompensasi.
10
Simatupang (2003) membagi proses analisis kebijakan menjadi delapan tahapan; 1)
perumusan isu kebijakan, 2) prakiraan masa depan, 3) analisis opsi kebijakan, 4)komunikasi
opsi kebijakan, 5) advokasi kebijakan, 6) monitoring implementasi kebijakan, 6) evaluasi
dampak kebijakan dan 7) analisis kelanjutan kebijakan (Gambar 3). Kedelapan tahapan
tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat sekuensial. Siklus proses kebijakan tersebut
bersifat dinamis dan melingkar dalam arti secara reguler dimonitor, dievaluasi dan
disempurnakan sehingga kebijakan semakin efisien dan efektif dalam mencapai tujuannya.
11
REFERENSI
Hakcrow, H.G., R.G.F. Spite and J.E.A. Smith. 1994. Food and Agricultural Policy:
Economics and Politics. Second Edition. McGraw-Hill Inc, New York.
Norton, R.D. 2004. Agricultural Development Policy. Concepts and Experience. John Wiley
& Sons Inc, River Street, Hoboken.
Sembiring, SA. 2011. Analisis Ekonomi Terhadap Instruksi Presiden Tentang Kebijakan
Perberasan Nasional Tahun 2005-2008. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Simatupang, P. 2003. Analisis Kebijakan: Konsep dasar dan Prosedur Pelaksanaan. Analisis
Kebijakan Pertanian, 1(1), pp 1 – 21.
Tomek, W.G. and K.L. Robinson. 1990. Agricultural Product Price. Third Edition. Cornell
University Press, London.
Widodo, S., 2017. A critical review of Indonesia’s agrarian reform policy’. Journal of
Regional and City Planning, 8(3), pp.204-218.
12