Anda di halaman 1dari 6

Dasar Teori

Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat terlarut
(solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan dinyatakan dalam jumlah
maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut pada kesetimbangan. Larutan hasil disebut
larutan jenuh. Zat-zat tertentu dapat larut dengan perbandingan apapun terhadap suatu pelarut.
Contohnya adalah etanol di dalam air. Sifat ini lebih dalam bahasa Inggris lebih tepatnya disebut
miscible. Pelarut umumnya merupakan suatu cairan yang dapat berupa zat murni ataupun
campuran. Zat yang terlarut, dapat berupa gas, cairan lain, atau padat. Kelarutan bervariasi dari
selalu larut seperti etanol dalam air, hingga sulit terlarut, seperti perak klorida dalam air. Istilah
"tak larut" (insoluble) sering diterapkan pada senyawa yang sulit larut, walaupun sebenarnya
hanya ada sangat sedikit kasus yang benar-benar tidak ada bahan yang terlarut. Dalam beberapa
kondisi, titik kesetimbangan kelarutan dapat dilampaui untuk menghasilkan suatu larutan yang
disebut lewat jenuh (supersaturated) yang metastabil (Tungandi, 2009).

Larutan adalah campuran yang bersifat homogen antara molekul, atom ataupun ion dari
dua zat atau lebih. Disebut campuran karena susunannya atau komposisinya dapat berubah.
Disebut homogen karena susunanya begitu seragam sehingga tidak dapat diamati adanya bagian-
bagian yang berlainan, bahkan dengan mikroskop optis sekalipun (Tungandi, 2009).

Kelarutan suatu senyawa bergantung pada sifat fisika dan kimia zat terlarut dan pelarut, juga
bergantung pada faktor temperatur, tekanan, pH larutan dan untuk jumlah yang lebih kecil,
bergantung pada hal terbaginya zat terlarut. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa kelarutan
suatu zat (dalam hal ini obat) dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah pH. Banyak
obat-obat penting yang termasuk ke dalam kelompok asam lemah dan basa lemah. Obat-obat ini
bereaksi dengan asam lemah dan basa kuat serta dalam jarak pH tertentu berada sebagai ion yang
biasanya larut dalam air (Martin,dkk, 1990).

Bahan-bahan obat berupa senyawa organik yang bersifat asam lemah atau basa lemah,
dengan demikian faktor pH sangat mempengaruhi kelarutannya.Untuk obat-obat yang bersifat
asam lemah, pada asam lemah, pada pH yang absolut rendah zat tersebut peraktis tidak
mengalami ionisasi. Kelarutan obat dalam bentuk ini sering disebut sebagai kelarutan intrinsik.
Jika pH dinaikan, maka kelarutannyapun akan meningkat, karena selain membentuk larutan
jenuh obat dalam bentuk molekul yang tidak terionkan( kelarutan intrinsik ) juga terlarut obat
yang terbentuk ion (Zulkarnain, dkk.2008 ).

Bentuk terion suatu zat lebih mudah larut dalam pelarut air daripada
bentuk tak terion. Kelarutan obat yang bersifat asam lemah sebagai fungsi pH
dalam larutan dapat dinyatakan dengan persamaan Henderson-Hasselbalch
(Martin dkk, 1993) :
pH = pKa + log o
o
s-s
s
........................................................... (2)
dengan S = konsentrasi zat terlarut total
So = konsentrasi zat yang tak terionkan
Kelarutan basa lemah akan turun dengan naiknya pH sedangkan asam
lemah akan meningkat kelarutannya dengan naiknya pH.

PEMBAHASAN

PEMBAHASAN

Praktikum yang dilaksanakan bertjuan untuk mengetahui pengaruh Ph larutan terhadap


kelarutan bahan obat yang bersifat asam lemah. Adapun bahan yang diuji pada praktikum ini adalah
asam benzoat.

Sebelum uji pengaruh pH dilaksanakan, hal pertama yang dilakukan adalah membuat larutan
dapar sitrat. “Dapar adalah senyawa-senyawa atau campuran senyawa yang dapat meniadakan
perubahan pH terhadap penambahan sedikit asam atau basa. Peniadaan perubahan Ph tersebut dikenal
sebagai aksi dapar. Bila kedalam air larutan natrium klorida ditambahkan sedikit asam atau basa kuat,
pH larutan akan berubah. Sistem semacam ini dikatakan tidak beraksi dapar” (Martin, 1990). Pada
praktikum ini, untuk membuat larutan dapar sitrat dilakukan dengan cara sejumlah asam sitrat dan
NaOH dilarutkan dalam aquadest pada Beaker glass yang berbeda, kemudian kedua larutan tersebut
dicampur menjadi satu lalu ditambah aquadest sampai volume larutan dapar sitrat menjadi 200 ml.

Namun, dalam praktikum ini terjadi sedikit penyimpangan hasil, dimana saat pembuatan larutan
dapar dengan pH 4,0 dan 5,0 hasilnya tidak sesuai pada Indikator Universal. Saat pH larutan dapar yang
seharusnya mempunyai pH 4,0 diuji dengan indikator universal, hasil pH yang diperoleh adalah 3,5.
sedangkan larutan dapar sitrat dengan pH yang seharusnya 5,0 setelah diuji diperoleh pH 3,0. Diduga hal
ini disebabkan kurang akuratnya penimbangan dikarenakan timbangan skala mg yang digunakan sangat
sensitif, juga kemungkinan disebabkan jumlah aquadest yang tidak sesuai, dimana saat penambahan
aquadest sampai volume 200 ml dilakukan dalam beaker glass sehingga volume yang diperoleh tidak
akurat. Larutan dapar pH 7 tidak mengalami perubahan kemungkinan dikarenakan jumlah bahan yang
digunakan sudah sesuai. Oleh karena hal tersebut dalam praktikum ini kelarutan Asam benzoat diuji
pada larutan dapar sitrat dengan pH 3,0 , 3,5 , dan 7,0.

Untuk melakukan pengamatan kelarutan asam benzoat yang dipengaruhi pH, dilakukan dengan
menimbang 0,1 mg sampel yakni asam bensoat sebanyak tiga kali, kemudian masing – masing sampel
yang telah ditimbang dimasukkan dalam Erlenmeyer yang berbeda yakni pada Erlenmeyer 1, Erlenmeyer
2, dan Erlenmeyer 3. Selanjutnya pada Erlenmeyer 1 ditambah larutan buffer sitrat dengan pH 3,0, pada
Erlenmeyer 2 ditambah larutan buffer sitrat dengan pH 3,5, dan pada Erlenmeyer 3 ditambah larutan
buffer sitrat dengan pH 7,0. Tujuan dari perbedaan wadah tersebut adalah agar dapat membedakan
kelarutan asam benzoat pada pH yang telah ditentukan. Setelah itu, masing – masing asam benzoat yang
telah ditambahkan buffer sitrat diaduk secara konstan selama 20 menit, tujuan pengadukan adalah
untuk mempercepat reaksi.
Setelah dilakukan pengadukan, selanjutnya ketiga campuran tersebut disaring dengan corong
Buchner yang bertujuan untuk memisahkan sisa – sisa asam benzoat yang tidak larut. Selesai
penyaringan, sisa asam benzoat dikeringkan di dalam oven pada suhu 100°C selama 15 menit, tujuannya
adalah agar tidak terdapat sisa larutan dapar yang melekat pada sampel.

Selesai pengeringan, ketiga sampel yang telah kering ditimbang pada timbangan berskala mg
untuk memperoleh bobot akhir. Setelah diperoleh bobot akhir, dilakukan perhitungan untuk
memperoleh bobot yang tersisa pada tiap – tiap pH dengan menggunakan rumus :

Bobot sisa (tiap – tiap pH) = bobot akhir – kertas saring kosong

Setelah dilakukan perhitungan pada ketiga sampel, didapatkan hasil yang tertera pada tabel
data di bagian hasil laporan ini. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk memperoleh persentase
terlarut pada tiap – tiap pH dengan menggunakan rumus :

% terlarut (tiap – tiap pH) = (bobot awal – bobot sisa) x 100 %


Bobot awal

Hasil yang diperoleh tertera pada tabel data di bagian hasil laporan ini.

Dari data tersebut dibuat grafik sebagai berikut

Dari grafik tersebut dapat diketahui semakin tinggi pH maka persentase zat terlarut akan
semakin meningkat. Pada Ph 3, 0.1 gram sampel dapat larut sebanyak 70,9%, Pada Ph 3,5 sampel dapat
larut sebanyak 72.2%, dan Pada Ph 7 sampel dapat larut sebanyak 94,1%. Dimana terjadi peningkatan
persentase kelarutan yang drastis antara pada pH 3.5 dan 7,0

Namun, hasil yang diperoleh tersebut tidaklah akurat, hal ini dikarenakan beberapa faktor yakni :

1. Pada proses penimbangan awal, yakni pada penimbangan kertas saring dan bahan uji, hasil
penimbangan belum bisa diperoleh secara akurat dikarenakan timbangan skala mg yang
digunakan sangat sensitif terhadap beban, bahkan udara sekalipun.
2. Pada proses penyaringan, terdapat sisa sampel yang masih menempel pada beaker glass dan
batang pengaduk, juga terdapat sampel yang jatuh ke dalam corong Buchner sehingga hasil
penyaringan yang didapat tidak murni.
3. Pada saat penimbangan (setelah dikeringkan), kemungkinan masih terdapat kandungan air
dalam sampel sehingga hasil penimbangan belum akurat.

Faktor – faktor tersebut terjadi dikarenakan praktikan kurang teliti dalam bekerja serta kekurangan
waktu karena terbatasnya alat.

Efektivitas benzoat sebagai pengawet sangat dipengaruhi oleh pH dimana semakin rendah pH
maka benzoat akan semakin efektif berperan sebagai antimikroba karena semakin banyaknya asam yang
tidak terdisosiasi. Semakin banyak asam yang tidak terdisosiasi (tidak bermuatan) tersebut maka akan
membuat benzoate menjadi semakin mudah terlarut dalam lipid dari membran sel mikroba yang
bersifat permeabel terhadap molekul benzoat tersebut. Ketika molekul asam benzoat masuk kedalam
sel mikroba tersebut, maka molekul asam benzoat akan terdisosiasi dan menghasilkan sejumlah ion
hidrogen (H+) yang menyebabkan penurunan pH pada sel mikroba tersebut, dan sebagai akibatnya
aktivitas metabolisme sel akan terganggu dan akhirnya sel mikroba dalam bahan pangan tersebut akan
mati (Zentimer, 2007)

Pengaruh pH Pada Disosiasi Asam Benzoat

pH Asam yang tidak terdisosiasi (%)

3 93,5

4 59,3

5 12,8

6 1,44

7 0,144
(Cahyadi, 2006)

Terdisosiasi maksudnya adalah suatu proses ketika senyawa ionik (kompleks atau garam)
terpisah menjadi partikel, ion, atau radikal yang lebih kecil. Jika dilihat pada tabel “Pengaruh pH Pada
Disosiasi Asam Benzoat”, maka dapat diketahui apabila semakin tinggi pH maka persentase asam
benzoat yang tidak terdisosiasi semakin kecil, yang berarti kelarutan asam benzoat akan semakin
meningkat.

Oleh karena itu, dalam praktikum ini diperoleh hasil dimana persentasi kelarutan asam benzoat
pada larutan buffer sitrat pH 7,0 lebih tinggi dibanding ph 3,5, dan kelarutan pada pH 3,5 lebih tinggi
dibanding pH 3,0.

KESIMPULAN

Dari praktikum yang telah dilaksanakan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan adalah pH, dimana semakin tinggi pH maka
persentase asam benzoat yang terlarut akan semakin meningkat.
2. Asam benzoat merupakan senyawa yang bersifat asam lemah dimana kelarutannya amat
rendah. Dengan adanya peningkatan pH, maka senyawa tersebut akan lebih mudah larut.
3. Dalam praktikum ini, hasil yang diperoleh belumlah akurat yang disebabkan oleh beberapa
faktor yakni :
a. Pada proses penimbangan awal, yakni pada penimbangan kertas saring dan bahan uji,
hasil penimbangan belum bisa diperoleh secara akurat dikarenakan timbangan skala mg
yang digunakan sangat sensitif terhadap beban, bahkan udara sekalipun.
b. Pada proses penyaringan, terdapat sisa sampel yang masih menempel pada beaker glass
dan batang pengaduk, juga terdapat sampel yang jatuh ke dalam corong Buchner
sehingga hasil penyaringan yang didapat tidak murni.
c. Pada saat penimbangan (setelah dikeringkan), kemungkinan masih terdapat kandungan
air dalam sampel sehingga hasil penimbangan belum akurat.
d. Praktikan kurang teliti dalam melakukan percobaan
e. Waktu percobaan kurang dikarenakan keterbatasan alat
DAFTAR PUSTAKA

Cahyadi, S. (2006). Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta : PT Bumi
Aksara

Martin, Alfred, dkk. 1990.Farmasi Fisik. Dasar-Dasar Farmasi Fisik Dalam Ilmu Farmasetik.
Jakarta: UI-Press

Martin, Alfred, dkk. 1993. Farmasi Fisik, jilid I Edisi III. Jakarta: UI-Press.

Satriady, Aditya. 2013. LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FISIKA EKSPERIMEN IB.


Padjadjaran : Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Padjadjaran

Tungadi, Robert. 2009.Penuntun Praktikum Farmasi Fisika. Gorontalo : Jurusan Farmasi


Universitas Negeri Gorontalo.

Zentimer, S. 2007. Pengaruh Konsentrasi Natrium Benzoat dan Lama Penyimpanan Terhadap
Mutu Minuman Sari Buah Sirsak (Annona muricata L) Berkarbonasi. Sumatra Utara :
Departemen Teknologi Pertanian Universitas Sumatra Utara.

Zulkarnain, Abdul Karim., dkk. 2008. Pengaruh Penambahan Tween 80 dan Polietilen Glikol
400 Terhadap Absorpsi Piroksikam Melalui Lumen usus in situ. Yogyakarta : Fakultas Farmasi
Universitas Gajah Mada.

Anda mungkin juga menyukai