PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bintang merupakan benda langit yang memancarkan cahaya. Terdapat bintang semu
dan bintang nyata. Bintang semu adalah bintang yang tidak menghasilkan cahaya sendiri,
tetapi memantulkan cahaya yang diterima dari bintang lain. Bintang nyata adalah bintang
yang menghasilkan cahaya sendiri. Secara umum sebutan bintang adalah objek luar angkasa
yang menghasilkan cahaya sendiri (bintang nyata).Menurut ilmu astronomi, definisi bintang
adalah: Semua benda masif (bermassa antara 0,08 hingga 200 massa matahari) yang sedang
dan pernah melangsungkan pembangkitan energi melalui reaksi fusi nuklir.
Oleh sebab itu bintang katai putih dan bintang neutron yang sudah tidak
memancarkan cahaya atau energi tetap disebut sebagai bintang. Bintang terdekat dengan
Bumi adalah Matahari pada jarak sekitar 149,680,000 kilometer, diikuti oleh Proxima
Centauri dalam rasi bintang Centaurus berjarak sekitar empat tahun cahaya.
1
pengukuran yang dilakukan Ptolemaeus dan Hipparchus. Pengukuran langsung jarak bintang
61 Cygni dilakukan pada 1838 oleh Friedrich Bessel menggunakan teknik paralaks.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana proses pengukuran jarak bintang?
b. Bagaimana skala magnitudo dalam cahaya bintang?
c. Bagaimana warna dan indeks warna dalam cahaya bintang?
d. Bagaimana luminusity dalam cahaya bintang?
3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mendeskripsikan proses pengukuran jarak bintang
b. Untuk mendeskripsikan skala magnitudo dalam cahaya bintang
c. Untuk mendeskripsikan warna dan indeks warna dalam cahaya bintang
d. Untuk mendeskripsikan luminusity dalam cahaya bintang
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ada 3 satuan jarak yang sering digunakan untuk menyatakan jarak antar benda-benda langit,
yaitu:
3
Paralaks adalah perbedaan latar belakang yang tampak ketika sebuah benda yang
diam dilihat dari dua tempat yang berbeda. Kita bisa mengamati bagaimana paralaks terjadi
dengan cara yang sederhana. Acungkan jari telunjuk pada jarak tertentu (misal 30 cm) di
depan mata kita. Kemudian amati jari tersebut dengan satu mata saja secara bergantian antara
mata kanan dan mata kiri. Jari kita yang diam akan tampak berpindah tempat karena arah
pandang dari mata kanan berbeda dengan mata kiri sehingga terjadi perubahan pemandangan
latar belakangnya. “Perpindahan” itulah yang menunjukkan adanya paralaks.
Paralaks pada bintang baru bisa diamati untuk pertama kalinya pada tahun 1837 oleh
Friedrich Bessel, seiring dengan teknologi teleskop untuk astronomi yang berkembang pesat
(sejak Galileo menggunakan teleskopnya untuk mengamati benda langit pada tahun 1609).
Bintang yang ia amati adalah 61 Cygni (sebuah bintang di rasi Cygnus/angsa) yang memiliki
paralaks 0,29″. Ternyata paralaks pada bintang memang ada, namun dengan nilai yang sangat
kecil. Hanya keterbatasan instrumenlah yang membuat orang-orang sebelum Bessel tidak
mampu mengamatinya. Karena paralaks adalah salah satu bukti untuk model alam semesta
heliosentris (yang dipopulerkan kembali oleh Copernicus pada tahun 1543), maka penemuan
paralaks ini menjadikan model tersebut semakin kuat kedudukannya dibandingkan dengan
model geosentris Ptolemy yang banyak dipakai masyarakat sejak tahun 100 SM.
Paralaks bintang dapat diartikan sebagai pergeseran suatu bintang yang timbul karena
gerakan bumi mengelilingi matahari. Secara numerik paralaks bintang adalah sudut yang
membentuk jarak 1 SA. Semakin jauh letak bintang, lintasan ellipsnya makin kecil,
paralaksnya juga makin kecil.
4
Dengan menggunakan geometri segitiga, yaitu hubungan antara sebuah sudut dan dua buah
sisi, maka dapat dituliskan persamaan:
atau kita dapat mendefinisikan paralaks bintang melalui rumus dasar trigonometri, yaitu:
karena nilai p sangat kecil (besar sudutnya adalah dalam satuan detik), maka nilai tan p p
(dibulatkan menjadi p).
Jarak d dihitung dalam SA dan sudut p dihitung dalam radian. Apabila kita gunakan
detik busur sebagai satuan dari sudut paralaks (p), maka kita akan peroleh d adalah 206.265
SA atau 3,09 · 1013 km. Jarak sebesar ini kemudian didefinisikan sebagai 1 pc (parsec,
parsek), yaitu jarak bintang yang mempunyai paralaks 1 detik busur. Metode paralaks
trigonometri ini hanya bisa digunakan untuk mendapatkan jarak bintang-bintang terdekat
(untuk jarak ratusan parsec).
Pada kenyataannya, paralaks bintang yang paling besar adalah 0,76″ yang dimiliki
oleh bintang terdekat dari tata surya, yaitu bintang Proxima Centauri di rasi Centaurus yang
berjarak 1,31 pc. Sudut sebesar ini akan sama dengan sebuah tongkat sepanjang 1 meter yang
diamati dari jarak 270 kilometer. Sementara bintang 61 Cygni memiliki paralaks 0,29″ dan
jarak 1,36 TC atau sama dengan 3,45 pc.
Sekitar tahun 150 SM, seorang astronom Yunani bernama Hipparchus membuat
sistem klasifikasi kecemerlangan bintang yang pertama. Saat itu, ia mengelompokkan
kecemerlangan bintang menjadi enam kategori dalam bentuk yang kurang lebih seperti ini:
5
paling terang, terang, tidak begitu terang, tidak begitu redup, redup dan paling redup. Hal
tersebut dilakukannya dengan membuat katalog bintang yang pertama. Sistem tersebut
kemudian berkembang dengan penambahan angka sebagai penentu kecemerlangan. Yang
paling terang memiliki nilai 1, berikutnya 2, 3, hingga yang paling redup bernilai 6.
Klasifikasi inilah yang kemudian dikenal sebagai sistem magnitudo. Skala dalam sistem
magnitudo ini terbalik sejak pertama kali dibuat. Semakin terang sebuah bintang,
magnitudonya semakin kecil. Dan sebaliknya semakin redup bintang, magnitudonya semakin
besar.
Seiring dengan semakin majunya teknologi teleskop, magnitudo untuk bintang paling
redup yang dapat kita amati semakin besar. Contohnya, Hubble Space Telescope memiliki
kemampuan untuk mengamati objek dengan magnitudo 31. Tetapi walaupun bukan lagi nilai
terbesar, magnitudo 6 tetap menjadi nilai penting hingga kini karena inilah batas magnitudo
bintang yang paling redup yang dapat diamati dengan mata telanjang. Tentunya dengan
syarat langit, lingkungan, dan kondisi mata yang masih bagus.
Sama seperti perkembangan yang terjadi pada magnitudo besar, magnitudo kecil juga
mengalami ekspansi seiring dengan semakin majunya teknologi detektor. Dalam kelompok
magnitudo 1 kemudian diketahui terdapat beberapa bintang tampak lebih terang dari yang
lainnya sehingga muncullah magnitudo 0. Bahkan magnitudo negatif juga diperlukan untuk
objek langit yang lebih terang lagi. Kini diketahui bahwa bintang paling terang di langit
6
malam adalah Sirius, dengan magnitudo -1,47. Magnitudo Venus dapat mencapai -4,89,
Bulan purnama -12,92, dan magnitudo Matahari mencapai -26,74.
Magnitudo yang kita bicarakan di atas disebut juga dengan magnitudo semu, karena
menunjukkan kecemerlangan bintang yang dilihat dari Bumi, tidak peduli seberapa jauh
jaraknya. Jadi, sebuah bintang bisa terlihat terang karena jaraknya dekat atau jaraknya jauh
tapi berukuran besar. Sebaliknya, sebuah bintang bisa terlihat redup karena jaraknya jauh atau
jaraknya dekat tapi berukuran kecil. Sistem ini membuat kecemerlangan bintang yang kita
lihat bukan kecemerlangan bintang yang sesungguhnya. Untuk mengoreksinya, faktor jarak
itu harus dihilangkan. Maka muncullah sistem magnitudo mutlak.
Magnitudo mutlak adalah magnitudo bintang jika bintang tersebut berada pada jarak
10 parsec. Nilainya dapat ditentukan apabila magnitudo semu dan jarak bintang diketahui.
Dengan “menempatkan” bintang-bintang pada jarak yang sama, kita bisa tahu bintang mana
yang benar-benar terang. Sebagai perbandingan, Matahari, yang memiliki magnitudo semu -
26,74, hanya memiliki magnitudo mutlak 4,75. Jauh lebih redup daripada Betelgeuse yang
memiliki magnitudo semu 0,58 tetapi memiliki magnitudo mutlak -6,05 (135.000 kali lebih
terang dari Matahari).
Pengukuran magnitudo berdasarkan keadaan yang tampak dari Bumi seperti di atas
adalah magnitudo semu (m). Magnitudo mutlak (M) adalah perbandingan nilai terang bintang
yang sesungguhnya. Seperti yang Anda ketahui, jarak antara bintang yang satu dan bintang
yang lain dengan Bumi tidaklah sama. Akibatnya, bintang terang sekalipun akan nampak
7
redup bila jaraknya sangat jauh. Oleh karena itu, dibuatlah perhitungan magnitudo mutlak,
yaitu tingkat kecemerlangan bintang apabila bintang itu diletakkan hingga berjarak 10 parsec
dari Bumi. Dengan mengingat persamaan radiasi E = L / 4πr2 , dengan E adalah energi
radiasi, L adalah luminositas (daya) dan r jarak, maka perhitungan jarak bintang, magnitudo
semu dan magnitudo mutlak (absolut) adalah:
Perlu diingat jarak dalam persamaan modulus di atas (d) harus dinyatakan dalam
satuan parsec. Satu parsec ialah jarak suatu bintang yang mempunyai sudut paralaks satu
detik busur, yang sebanding dengan 3,26 tahun cahaya (TC) atau 206.265 satuan astronomi
(SA). Jika yang ditanyakan ialah jarak, maka rumus diatas dapat dibalik menjadi:
Jika magnitudo absolut dan magnitudo semunya diketahui, jaraknya dapat dihitung.
Kuantitas m – M dikenal sebagai modulus jarak. Adapun hubungan antara magnitudo mutlak
dan luminositas (daya) bintang, L dapat diterapkan berdasarkan rumus Pogson.
Misalkan magnitudo semu matahari tampak dari Bumi, m = -26,83, maka magnitudo
mutlak matahari, M ialah:
8
Berikut ini adalah tabel skala magnitudo tampak beberapa benda langit:
9
susunan garis spectrumnya (Copeland, 2001). Dari hasil klasifikasi bintang yang dilakukan
oleh Secchi, Edward Charles Pickering ditahun 1880 memulai penyelidikan spektrum bintang
secara fotografi bertempat diobservatorium Harvard. Dengan menggunakan prisma obyektif
(Pickering, 1890) para astronom di Harvard meng-klasifikasikan bintang 16 berdasarkan kuat
garis-garis serapan pada deret Balmer dari hydrogen netral (H I), memperluas penggolongan
dan menanamkan kembali penggolongan dengan huruf A, B, C dan seterusnya hingga P,
dimana bintang kelas A memiliki garis serapan atom hydrogen paling kuat, B terkuat
berikutnya dan seterusnya. Asisten-asisten Pickering, Williamina Fleming, Annie Jump
Cannon, Antonia Maury dan Henrietta Swan Leavitt, memulai sebuah proyek skala besar
pengklasifikasian spectrum bintang. Antara tahun 1911 sampai 1949, 400.000 bintang telah
didaftarkan ke dalam katalog Henry Draper. Para ‘gadis’ Jarvard ini, khususnya Cannon dan
Maury, kemudian menyadari adanya sebuah keteraturan dalam semua garis-garis spectral
(tidak hanya hydrogen) jika penggolongan bintang-bintang tersebut diurutkan menjadi O, B,
A, F, G, K, M. kelas lainnya dihilangkan karena ditemukan bahwa beberapa diantaranya
sebenarnya merupakan kelas yang sama. Pada awalnya urutan pola spektrum ini diduga
karena perbedaan susunan kimia atmosfer bintang. Namun, kemudian disadari bahwa urutan
tersebut sebenarnya merupakan urutan temperatur permukaan bintang, setelah pada tahun
1925, Cecilia Payne-Gaposchkin berhasil membuktikan hubungan tersebut. Berikut ini adalah
daftar klasifikasi bintang yang dikenal dengan klasifikasi Hardvard atau klasifikasi bintang
berdasarkan spektrum. Kelas bintang ini dimulai dari yang paling panas hingga yang paling
dingin dengan massa, radius dan luminositas dalam satuan Matahari.
1) Kelas O
Bintang kelas O adalah bintang yang paling panas, temperatur permukaannya lebih
dari 25.000 Kelvin. Bintang deret utama kelas O merupakan bintang yang tampak paling biru,
walaupun sebenarnya kebanyakan energinya dipancarkan pada panjang gelombang ungu dan
ultraungu. Dalam pola spektrumnya garis-garis serapan terkuat berasal dari atom Helium
yang terionisasi 1 kali (He II) dan karbon yang terionisasi dua kali (C III). Garis-garis serapan
dari ion lain juga terlihat, di antaranya yang berasal dari ion-ion oksigen, nitrogen, dan
10
silikon. Garis-garis Balmer Hidrogen (hidrogen netral) tidak tampak karena hampir seluruh
atom hidrogen berada dalam keadaan terionisasi. Bintang deret utama kelas O sebenarnya
adalah bintang paling jarang di antara bintang deret utama lainnya (perbandingannya kira-
kira 1 bintang kelas O di antara 32.000 bintang deret utama). Namun karena paling terang,
maka tidak terlalu sulit untuk menemukannya (Walborn & Fitzpatrick., 1990). Bintang kelas
O bersinar dengan energi 1 juta kali energi yang dihasilkan Matahari. Karena begitu masif,
bintang kelas O membakar bahan bakar hidrogennya dengan sangat cepat, sehingga
merupakan jenis bintang yang pertama kali 18 meninggalkan deret utama (lihat Diagram
Hertzsprung Russell). Contoh dari bintang kelas O ini adalah Zeta Puppis.
2) Kelas B
Bintang kelas B adalah bintang yang cukup panas dengan temperatur permukaan
antara 10.000 hingga 20.000 Kelvin dan berwarna putih-biru (Habets & Heintze, 1981).
Dalam pola spektrumnya garis-garis serapan terkuat berasal dari atom Helium yang netral.
Garis-garis Balmer untuk Hidrogen (hidrogen netral) nampak lebih kuat dibandingkan
bintang kelas O. Bintang kelas O dan B memiliki umur yang sangat pendek, sehingga tidak
sempat bergerak jauh dari daerah dimana mereka dibentuk, dan karena itu cenderung
berkumpul bersama dalam sebuah asosiasi OB. Dari seluruh populasi bintang deret utama
terdapat sekitar 0,13 % bintang kelas B. Contoh dari bintang kelas B yaitu Rigel dan Spica.
3) Kelas A
Bintang kelas A memiliki temperatur permukaan antara 7.600 hingga 11.500 Kelvin
dan berwarna putih (Habets & Heintze, 1981). Karena tidak terlalu panas maka atom-atom
hidrogen di dalam atmosfernya berada dalam keadaan netral sehingga garis-garis Balmer
akan terlihat paling kuat pada kelas ini. Beberapa garis serapan logam terionisasi, seperti
magnesium, silikon, besi dan kalsium yang terionisasi satu kali (Mg II, Si II, Fe II dan Ca II)
juga tampak dalam 19 pola spektrumnya. Bintang kelas A kira-kira hanya 0.63% dari seluruh
populasi bintang deret utama. Contoh dari bintang kelas C yaitu Vega dan Sirius.
4) Kelas F
Bintang kelas F memiliki temperatur permukaan 6000 hingga 7500 Kelvin, berwarna
putih-kuning (Habets & Heintze, 1981). Spektrumnya memiliki pola garis-garis Balmer yang
lebih lemah daripada bintang kelas A. Beberapa garis serapan logam terionisasi, seperti Fe II
dan Ca II dan logam netral seperti besi netral (Fe I) mulai tampak. Bintang kelas F kira-kira
11
3,1% dari seluruh populasi bintang deret utama. Contoh dari bintang kelas F yaitu Canopus
dan Procyon.
5) Kelas G
Bintang kelas G mungkin adalah yang paling banyak dipelajari karena Matahari
adalah bintang kelas ini. Bintang kelas G memiliki temperatur permukaan antara 5300 hingga
6000 Kelvin dan berwarna kuning (Habets & Heintze, 1981). Garis-garis Balmer pada
bintang kelas ini lebih lemah daripada bintang kelas F, tetapi garis-garis ion logam dan logam
netral semakin menguat. Profil spektrum paling terkenal dari kelas ini adalah profil garis-
garis Fraunhofer. Bintang kelas G adalah sekitar 8% dari seluruh populasi bintang deret
utama. Contoh dari bintang kelas G yaitu Contoh : Matahari, Capella dan Alpha Centauri A.
6) Kelas K
Bintang kelas K berwarna jingga memiliki temperatur sedikit lebih dingin daripada
bintang sekelas Matahari, yaitu antara 3900 hingga 5200 Kelvin (Habets & Heintze, 1981).
Alpha Centauri B adalah bintang deret utama kelas ini. Beberapa bintang kelas K adalah
raksasa dan maharaksasa, seperti misalnya Arcturus. Bintang kelas K memiliki garis-garis
Balmer yang sangat lemah. Garis-garis logam netral tampak lebih kuat daripada bintang kelas
G. Garis-garis molekul Titanium Oksida (TiO) mulai tampak. Bintang kelas K adalah sekitar
13% dari seluruh populasi bintang deret utama. Contoh dari bintang kelas K yaitu Alpha
Centauri B, Arcturus dan Aldebaran.
7) Kelas M
Bintang kelas M adalah bintang dengan populasi paling banyak. Bintang ini berwarna
merah dengan temperatur permukaan lebih rendah daripada 3500 Kelvin. Semua katai merah
adalah bintang kelas ini. Proxima Centauri adalah salah satu contoh bintang deret utama kelas
M. Kebanyakan bintang yang berada dalam fase raksasa dan maharaksasa, seperti Antares
dan Betelgeuse merupakan kelas ini. Garis-garis serapan di dalam spektrum bintang kelas M
terutama berasal dari logam netral. Garis-garis Balmer hampir tidak tampak. Garis-garis
molekul Titanium Oksida (TiO) sangat jelas terlihat. Bintang kelas M adalah sekitar 78% dari
seluruh populasi bintang deret utama. Contoh dari bintang kelas M yaitu: Proxima Centauri,
Antares, Betelgeuse.
Ejnar Hertzsprung di Denmark dan Henry Russell di Princeton University (Amerika
Serikat) pada awal 1900-an membuat diagram yang memetakan hubungan magnitudo dan
12
kelas spektrum bintang. Diagram ini menggunakan dasar hubungan magnitudo mutlak yang
dikenal dengan diagram H-R (Riswanto & Suseno, 2015).
D. Luminositas Bintang
Luminositas bintang adalah jumlah cahaya dan bentuk energi radiasi lainnya yang
dipancarkan oleh bintang per satuan waktu. Luminositas bintang diukur dalam
satuan daya (watt). Luminositas bintang ditentukan oleh ukuran jari-jari dan suhu
permukaannya. Dengan menganggap bahwa sebuah bintang adalah benda hitam sempurna,
maka luminositasnya adalah:
Namun banyak bintang yang memancarkan cahaya dengan fluks (jumlah energi yang
dipancarkan per satuan luas) yang tidak seragam di seluruh permukaannya.
Bintang Vega yang berputar sangat cepat, misalnya, memiliki fluks energi yang lebih tinggi
pada kutub-kutubnya dibandingkan dengan ekuatornya. Noda-noda di permukaan bintang
yang memiliki suhu dan luminositas yang lebih rendah dari rata-rata disebut dengan bintik
bintang. Bintang katai yang kecil, seperti matahari kita, umumnya memiliki permukaan yang
cukup mulus dengan hanya sedikit bintik bintang. Bintang-bintang raksasa yang lebih besar
memiliki bintik bintang yang lebih besar dan lebih kelihatan, dan bintang-bintang ini juga
menunjukkan penggelapan pinggiran yang lebih kuat. Penggelapan pinggiran adalah
penurunan tingkat kecerahan cahaya pada cakram bintang mendekati daerah
pinggirannya. Bintang-bintang suar katai merah seperti UV Ceti dapat memiliki bintik
bintang yang menonjol di permukaannya.
13
BAB III
PENUTUP
14
DAFTAR PUSTAKA
Kerrod, R. (2005). Bengkel Ilmu Astronomi. (S. Peusangan, Penerj.) Jakarta: Erlangga.
Lyall, F. &. (2009). "Chapter 7: The Moon and Other Celestial Bodies". . New York: A.
Treatise Ashgate Publishing .
Riswanto, & Suseno. (2015). Dasar-Dasar Astronomi dan Fisika Kebumian. Metro: Lembaga
Penelitian UM Metro Press.
Roekhan, A. R. (2012). Seri Pengetahuan Alam Bintang. Surabaya: Tim Pengetahuan Alam.
Stott, C. T. (2006). Bintang dan Planet. (T. Kemal, Penerj.) Surabaya: Erlangga.
Tjasyono HK, B. (2013). Ilmu Kebumian dan Antariksa. Bndung: Remaja Rosdakarya.
15