Anda di halaman 1dari 15

TUGAS PERPAJAKAN II

“PAJAK BUMI DAN BANGUNAN”

KELOMPOK 3
1. Aprianus (B1031161006)
2. Galuh Puteri Mardatillah (B1031161017)
3. Sulistian Sastra Pratama (B1031161020)
4. Magnalia Restu Khasanah (B1031161021)
5. Nola Nurainiah (B1031161027)

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019
POKOK BAHASAN

A. Dasar Hukum
B. Pengertian
C. Objek Pajak
D. Dikecualikan dari Objek Pajak
E. Subjek Pajak
Menghitung PBB
F. Tahun, Saat, dan Tempat yang Menentukan Pajak Terutang
Tahun Pajak
Saat Terutangnya Pajak
Tempat Terutangnya Pajak
G. Pendaftaran, Penetapan, dan Penagihan
H. Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran
I. Keberatan dan Banding
Keberatan
Banding
J. Pengenaan PBB dalam Hal-Hal Tertentu
Pengenaan PBB atas Perguruan Tinggi Swasta
Pengenaan PBB atas Rumah Sakit Swasta
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

A. DASAR HUKUM
Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dasar hukum lain
adalah Peraturan Bupati dan Peraturan Daerah (Kota/Kabupaten) masing-masing. Pajak
Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) awalnya merupakan pajak pusat
yang kemudian dialihkan menjadi pajak daerah kota/kabupaten. Pengalihan menjadi
pajak daerah dapat dimulai sejak diundangkannya UU PDRD, yaitu per 1 Januari 2010.
Namun Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten) diberikan tenggang waktu paling lambat
harus sudah menerapkan PBB P2 sebagai Pajak Daerah per 1 Januari 2014. Selanjutnya,
masing-masing kota/kabupaten harus menyusun peraturan sebagai dasar pemungutan
PBB P2 tersebut.

B. PENGERTIAN
Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti
besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek. Keadaan subjek tidak ikut
menentukan besarnya pajak.

C. OBJEK PAJAK
Objek Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah Bumi
dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi
atau bada, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,
perhutanan, dan pertambangan.
Item-item yang termasuk dalam pengertian Bangunan adalah jalan lingkungan yang
terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang
merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut, jalan tol, kolam
renang, pagar mewah, tempat olahraga, galangan kapal, dermaga, taman mewah, tempat
penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, serta menara.
D. DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Onjek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan
Pedesaan dan Perkantoran adalah pajak yang:
1. Digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
2. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah,
social, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan;
3. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu
4. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum
dibebani suatu hak;
5. Digunakan oleh perwakilan diplomatic dan konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbale balik;
6. Digunakan olrh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan.

E. SUBJEK PAJAK
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan adalah
orang pribadi atau Badan yang dapat mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas Bangunan. Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan
Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas
Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atas Bangunan.
Hal ini berarti bahwa tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti
kepemilikan. PBB melekat pada pemiliknya meskipun dapat dialihkan kepada
penyewanya atau pihak lain. Jika suatu objek pajak belum diketahui secara pasti siapa
Wajib Pajaknya, maka yang menjadi subjek pajak dapat ditunjuk oleh Dirjen Pajak.
Beberapa ketentuan khusus mengenai siapa yang menjadi subjek pajak diatur sebagai
berikut:
1. Jika suatu objek pajak memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau
bangunan milik orang lain bukan karena sesuatu hak berdasarkan undang-
undang atau bukan karena perjanjian, subjek pajak yang
memanfaatkan/menggunakan bumi dan/atau bangunan ditetapkan sebagai Wajib
Pajak;
2. Suatu subjek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka
orang atau badan yang memanfaatkan/menggunakan objek pajak tersebut
ditetapkan sebagai Wajib Pajak;
3. Subjek pajak yang dalam waktu lama berada di luar wilayah letak objek pajak,
sedangkan untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau
badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai Wajib
Pajak.

Menghitung PBB
Besarnya PBB dihitung dengan cara mengalikan tarif dan dasar pengenaan pajak setelah
dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak

Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak


Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif x (NJOP – NJOPTKP)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan dasar pengenaan pajak adalah:
1. Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak (NJOP) dikurangi nilai jual
objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP).
2. NJOP ditetapkan setiap periode tertentu (misalnya, 3 tahun) kecuali untuk objek
pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan
wilayahnya.
3. Besarnya NJOPTKP ditetapkan paling rendah Rp10.000.000 untuk setiap Wajib
Pajak (selanjutnya ditetapkan oleh masing-masing daerah berdasarkan Perda).
Contoh NJOPTKP Kabupaten X adalah Rp12.000.000, Kabupaten Y adalah
Rp10.000.000.
Tarif PBB P2 ditetapkan paling tinggi adalah 0,3 persen dan dapat ditentukan secara
bervariasi sesuai masing-masing daerah yang dituangkan dalam Peraturan Daerah
(Perda). Contoh Kabupaten X menetapkan tariff PBB secara bergradasi sebagai berikut:
1. Untuk objek pajak dengan NJOP sampai dengan Rp500.000000, tarifnya 0,12
persen;
2. Untuk objek pajak dengan NJOP lebih dari Rp500.000.000 sampai dengan
Rp1.000.000.000 tarifnya 0,14 persen;
3. Untuk objek pajak dengan NJOP lebih dari Rp1.000.000.000, tarifnya 0,24
persen.

Contoh 1 (NJOP sampai dengan Rp500.000.000)


Wajib Pajak A mempunyai tanah dan bangunan yang berlokasi di di Kabupaten X
berupa:
1. Tanah seluas 100 meter persegi dengan harga jual Rp350.000 per meter persegi;
2. Bangunan seluas 80 meter persegi dengan nilai jual Rp740.000 per meter
persegi.

Besarnya NJOPTKP di Kabupaten tersebut adalah Rp12.000.000. Tarif PBB


ditetapkan sebagai berikut: 1) untuk objek pajak dengan NJOP sampai dengan
Rp500.000.000 dikenakan tariff 0,12 persen; 2) untuk objek pajak dengan NJOP lebih
dari Rp500.000.000 sampai dengan Rp1.000.000.000 dikenakan tariff 0,14 persen; 3)
untuk objek pajak dengan NJOP lebih dari Rp1.000.000.000 dikenakan tariff 0,24
persen.

Menentukan NJOP (Berdasarkan Lampiran II PMK Nomor 150/PMK.03/2010):


Objek Pajak Harga Nilai Jual Pengelompokkan NJOP Sesuai NJOP per m2
per m2 Tabel per m2
Tanah Rp350.000 >Rp308.000 s.d. Rp362.000 Rp335.000
Bangunan Rp740.000 > Rp656.000 s.d. Rp744.000 Rp700.000
Menghitung besarnya PBB yang terutang:
 NJOP tanah: 100 x Rp335.000 Rp33.500.000
 NJOP bangunan: 80 x Rp700.000 Rp56.000.000 (+)
Total NJOP tanah dan bangunan Rp89.500.000
 NJOPTKP Rp12.000.000 (-)
Nilai jual objek pajak kena pajak Rp77.500.000
PBB yang terutang: 0.12% x Rp77.500.000 Rp 93.500

(Tarif yang digunakan adalah 0,12 persen sesuai dengan ketentuan: Jika NJOP tidak
lebih dari Rp500.000.000, tarifnya adalah 0,12 persen.)

Contoh 2 (NJOP lebih dari Rp500.000.000 sampai dengan Rp1.000.000.000)


Wajib pajak B mempunyai tanah dan bangunan yang berlokasi di Kabupaten X, berupa:
1. Tanah seluas 500 meter persegi dengan harga jual Rp570.000 per meter persegi,
2. Bangunan seluas 400 meter persegi dengan nilai jual objek pajak Rp1.350.000
per meter persegi.

Besarnya NJOPTKP di Kabupaten tersebut adalah Rp12.000.000. Tarif PBB


ditetapkan sebagai berikut: 1) untuk objek pajak dengan NJOP sampai dengan
Rp500.000.000 dikenakan tariff 0,12 persen; 2) untuk objek pajak dengan NJOP lebih
dari Rp500.000.000 sampai dengan Rp1.000.000.000 dikenakan tariff 0,14 persen; 3)
untuk objek pajak dengan NJOP lebih dari Rp1.000.000.000 dikenakan tariff 0,24
persen.

Menentukan NJOP (berdasarkan Lampiran III PMK Nomor 150/PMK.03/2010):


Objek Pajak Harga Nilai Jual Pengelompokkan NJOP Sesuai NJOP per m2
per m2 Tabel per m2
Tanah Rp570.000 >Rp501.000 s.d. Rp573.000 Rp537.000
Bangunan Rp350.000 > Rp1.034.000 s.d. Rp1.366.000 Rp1.200.000
Menghitung besarnya PBB yang terutang:
 NJOP tanah: 500 x Rp537.000 Rp268.500.000
 NJOP bangunan: 400 x Rp1.200.000 Rp480.000.000 (+)
Total NJOP tanah dan bangunan Rp748.500.000
 NJOPTKP Rp 12.000.000 (-)
Nilai jual objek pajak kena pajak Rp736.500.000
PBB yang terutang: 0,14% x Rp736.500.000 Rp 1.031.100

(Tarif yang digunakan adalah 0,14 persen sesuai dengan ketentuan: Jika NJOP antara
Rp500.000.000 dan Rp1.000.000.000, tarifnya adalah 0,14 persen)

Contoh 3 (NJOP lebih dari Rp1.000.000.000)


Wajib pajak C mempunyai tanah dan bangunan yang berlokasi di Kabupaten X berupa:
1. Tanah seluas 1.000 meter persegi dengan nilai jual objek pajak Rp180.000 per
meter persegi.
2. Bangunan seluas 400 meter persegi dengan nilai jual objek pajak Rp2.400.000
per meter persegi.
3. Taman seluas 200 meter persegi dengan nilai jual Rp1.300.000 per meter
persegi.
4. Pagar sepanjang 300 meter persegi dengan niali jual Rp500.000 per meter
persegi.

Besarnya NJOPTKP di Kabupaten tersebut adalah Rp12.000.000, tariff PBB


ditetapkan sebagai berikut: 1) untuk objek pajak dengan NJOP sampai dengan
Rp500.000.000 dikenakan tariff 0,12 persen; 2) untuk objek pajak dengan NJOP
lebih dari Rp500.000.000 sampai dengan Rp1.000.000.000 dikenakan tariff 0,14
persen; 3) untuk objek pajak dengan NJOp lebih dari Rp1.000.000.000 dikenakan
tariff 0,24 persen.

Menentukan NJOP (berdasar Lampiran III PMK Nomor 150/PMK Nomor


150/PMK.03/2010):
Objek Harga/NIlai Jual Pengelompokkan NJOP Sesuai NJOP per m2
Pajak per m2 Tabel per m2
Tanah Rp180.000 > Rp178.000 s.d. Rp223.000 Rp200.000
Bangunan Rp2.400.000 > Rp2.000.000 s.d. Rp2.400.000 Rp2.200.000
Taman Rp1.300.000 > Rp1.034.000 s.d. Rp1.366.000 Rp1.200.000
Pagar Rp1.500.000 > Rp1.366.000 s.d. Rp1.666.000 Rp1.516.000

Menghitung besarnya PBB yang terutang:


 NJOP tanah: 1.000 x Rp200.000 Rp 200.000.000
 NJOP bangunan: 400 x Rp2.200.000 Rp 880.000.000
 NJOP taman: 200 x Rp1.200.000 Rp 240.000.000
 NJOP pagar: 300 x Rp1.516.000 Rp 454.800.000 (+)
Total NJOP Tanah dan Bangunan Rp1.774.800.000
 NJOPTKP Rp1.774.800.000
Nilai jual objek pajak kena pajak Rp. 12.000.000
PBB yang terutang: 0,24% x Rp1.762.800.000 = Rp4.230.720

(Tarif yang digunakan adalah 0.24 persen sesuai dengan ketentuan: Jika NJOP lebih
dari Rp1.000.000.000 tarifnya adalah 0,14 persen)

F. TAHUN, SAAT, DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK


TERUTANG

Tahun Pajak
Tahun pajak adalah jangka waktu 1 tahun takwin, yaitu dari 1 Januari sampai dengan 31
Desember.

Saat Terutangnya Pajak


Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada
tanggal 1 Januari.
Contoh
Pada 1 Januari 2015, Wajib Pajak A mempunyai objek pajak berupa tanah dan
bangunan dengan NJOP sebesar Rp736.500.000. Pada 10 Maret 2015, bangunan yang ia
beli senilai Rp100.000.000 terbakar, maka PBB yang terutang tahun 2015 tetap
berdasarkan keadaan objek pajak pada 1 Januari 2015, yaitu keadaan sebelum bangunan
tersebut terbakar (dengan NJOP sebesar Rp736.500.000)

Tempat Terutangnya Pajak


Tempat pajak yang terutang adalah di wilayah daerah yang mencakup letak objek pajak.

G. PENDAFTARAN, PENETAPAN, DAN PENAGIHAN


Beberapa hal yang perlu diketahui dalam pendaftaran/pendataan, penetapan, dan
penagihan PBB adalah:
1. Subjek pajak melakukan pendaftaran objek pajak dengan cara mengisi Surat
Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Contoh SPOP terlampir. SPOP selanjutnya
diisi oleh subjek pajak dan dikembalikan ke Kantor/Dinas yang menangani PBB
di wilayah Kabupaten/Kota setempat.
2. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap, tepat waktu, serta ditandatangani
dan disampaikan kepada Kantor/Dinas yang menangani PBB di wilayah
Kabupaten/Kota tempat objek pajak berada, selambat-lambatnya 30 hari setelah
tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak.
3. Berdasarkan SPOP, Kepala Daerah (Bupati/Walikota) menerbitkan Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Contoh SPPT terlampir.
4. SPPT diterbitkan atas dasar SPOP, tetapi untuk membantu Wajib Pajak, SPPT
dapat diterbitkan berdasarkan data objel pajak yang telah ada di Kantor/Dinas
yang menangani PBB di wilayah Kabupaten/Kota.
5. Bupati/Walikota dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)
apabila:
a. SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis oleh
Bupati/Walikota,
b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah
pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan
SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
6. Bupati/Walikota dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPKD)
apabila Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau SKPD tidak atau
kurang bayar setelah jatuh tempo pembayaran.
7. Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang bayar dalam STPD ditambah
sanski administrasi berupa bunga sebesar 2 persen setiap bulan.

Contoh
SPPT tahun pajak 2015 diterima Wajib Pajak pada 1 Mei 2015. Jatuh tempo
pembayarannya adalah 1 Agustus 2015 dengan pajak terutang sebesar
Rp200.000. Wajib Pajak baru membayar pada 1 Desember 2015, maka atas
keterlambatan tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2 persen dari
pajak tertuang dalam SPPT. Besarnya pajak yang harus dibayar pada 1
September 2015 adalah:
Pokok pajak Rp200.000
Denda administrasi: 4 x 2% x Rp200.000 Rp 16.000 (+)
PBB yang harus dibayar Rp216.000

H. TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN


Pembayaran dan penyetoran PBB P2 dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Wajib Pajak melakukan pembayaran pajak yang terutang dengan menggunakan
SPPT, SKPD, atau STPD.
2. Pembayaran pajak terutang dilakukan dengan menggunakan surat setoran pajak
daerah (SSPD).
3. Pembayaran pajak dilakukan sekaligus atau lunas paling lambat pada saat jatuh
tempo pembayaran, yaitu:
a. Paling lambat 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT.
b. Paling lambat 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya SKPD, STPD, Surat
Keputusan Pembetulan, Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding.
4. Pembayaran pajak bias dilakukan di anjungan tunai mandiri (ATM) atau tempat
lain yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota.

I. KEBERATAN DAN BANDING

Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang
ditunjuk atas SPPT dan/atau SKPD dengan cara sebagai berikut:
1. Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai
alasan-alasan yang jelas (mengemukakan data dan bukti bahwa jumlah pajak
yang terutang atau kurang bayar yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau
pejabat yang ditunjuk adalah tidak benar).
2. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal surat,
tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali jika Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaannya.
3. Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
4. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat
keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
5. Dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima,
Bupati/Walikota harus member keputusan atas keberatan yang diajukan.
6. Keputusan tersebut dapat berupa menerima seluruhnya atau menerima sebagian
atau menolak atau menambah besarnya pajak yang terutang.
7. Apabila jangka waktu tersebut sudah lewat, Surat Keberatan dianggap
dikabulkan.

Banding
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota,
dengan tata cars sebagai berikut:
1. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan
alas an yang jelas dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima,
dilampiri salinan surat keputusan keberatan.
2. Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban pembayaran pajak
sampai dengan 1 bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
3. Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2 persen setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan.
4. Imbalan bunga tersebut, dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan atau Keputusan Banding.
5. Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50 persen dari jumlah Pajak
berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.
6. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrative
berupa denda sebesar 50 persen tersebut, tidak dikenakan.
7. Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib pajak
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100 persen dari jumlah Pajak
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran Pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan.

J. PENGENAAN PBB DALAM HAL-HAL TERTENTU


Terdapat perlakuan khusus terhadap pengenaan PBB, khususnya untuk Perguruan
Tinggi Swasta dan Rumah Sakit Swasta. Seiring dengan berjalannya waktu, Perguruan
Tinggi Swasta dan Rumah Sakit Swasta dipandang tidak lagi hanya berfungsi sebagai
lembaga pendidikan dan social saja, tetapi juga lembaga yang mencari laba. Oleh karena
itu, sudah sepantasnya jika PBB dikenakan pula terhadap kedua institusi tersebut.
Pengenaan PBB atas Perguruan Tinggi Swasta
Ketentuan mengenai pengenaan PBB pada TPS diatur dalam Surat Keputusan Direktur
Jenderal Pajak No. SE.10/PJ.6/1995, yang menetapkan bahwa Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT) diterbitkan apabila memenuhi salah satu criteria sebagai berikut:
1. Luas bangunan sama dengan 2000 meter persegi atau lebih.
2. Luas tanah 20.000 meter persegi atau lebih.
3. Jumlah lantai sama dengan 4 (empat) lantai atau lebih.
4. Jumlah mahasiswa sama dengan 3.000 orang atau lebih.
5. Jumlah pungutan dalam 1 tahun lebih atau sama dengan Rp2.000.000.

Apabila suatu TPS memenuhi criteria tersebut, maka dikenakan PBB dengan tariff
50 persen dari ketetapan yang seharusnya dibayar.

Contoh
Universitas Palagan, Yogyakarta menempati tanah seluas 20.000 meter persegi dan
bangunan seluas 2.000 meter persegi masing-masing dengan NJOP Rp200.000 per
meter persegi dan Rp505.000 per meter persegi.
Besarnya PBB dihitung sebagai berikut:
NJOP bumi: 20.000 m2 x Rp200.000 Rp4.000.000.000
NJOP bangunan: 2.000 m2 x Rp505.000 Rp1.010.000.000
NJOP bumi dan bangunan Rp5.010.000.000
NJOPTKP Rp 10.000.000

PBB yang seharusnya terutang:


= 0,3% x Rp5.000.000.000
= Rp15.000.000

PBB yang terutang oleh Universitas Palagan, Yogyakarta:


= 50% x Rp15.000.000
=Rp7.500.000
Apabila suatu PTS mengalami kerugian, maka PTS dapat mengajukan pengurangan
sebesar-besarnya 75 persen dari ketetapan 50 persen tersebut.

Pengenaan PBB atas Rumah Sakit Swasta


PBB yang harus dibayar sebesar 50 persen dari jumlah PBB yang seharusnya terutang
diberlakukan untuk Rumah Sakit Swasta yang merupakan Institusi Pelayanan Sosial
Masyarakat (IPSM), jika memenuhi criteria tersebut:
1. Jumlah tempat tidur untuk pasien yang tidak mampu lebih besar dari 25 persen
dari jumlah semua tempat tidur.
2. Sisa Hasil Usaha (SHU) untuk reinvestasi di dalam rumah sakit bukan untuk
pengembangan di luar rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai