Anda di halaman 1dari 6

RAINBOW WARRIOR CASE

Rainbow Warrior adalah salah satu nama untuk seri kapal-kapal laut yang dioperasikan oleh
Greenpeace. Kapal pertama ditenggelamkan oleh dinas rahasia Prancis (DGSE)di pelabuhan
Auckland, Selandia Baru, pada 10 Juli 1985 melalui cara sabotase. Saat itu, para aktivitas
Greenpeace mendapat teror besar-besaran karena menentang percobaan nuklir Prancis yang
dilakukan di Pulau Muroroa, sekitar Polynesia. Kapal yang sekarang menggunakan nama ini mulai
beroperasi sejak 1989.

Rainbow Warrior ini merupakan satu dari tiga buah kapal yang digunakan Greenpeace untuk
menjalankan aksinya menentang perusakan lingkungan saat ini. Dua kapal lainnya, Arctic Sunrise
dan Esperanza beraksi di belahan Bumi utara hingga ke kutub.

Kapal ini adalah kapal pukat ikan yang dibeli Greenpeace empat tahun setelah kapal pertama
tenggelam. Greenpeace lalu memodifikasi kapal buatan tahun 1957 itu menjadi kapal motor-layar,
dan dilengkapi peralatan navigasi dan pelayaran modern serta komunikasi elektronik mutakhir.

Kapal

Kapal layar sepanjang 55,2 meter ini memiliki 3 tiang layar. Pada saat dibentangkan, lebar ketiga
layarnya yang mencapai 650 meter persegi dapat menghasilkan kecepatan antara lima hingga tujuh
knot. Layar digulung dan dibuka menggunakan mesin bertenaga listrik.

Dalam kondisi baik, perpindahan tenaga mesin ke tenaga angin dapat dilakukan hanya dalam
waktu 10 menit sejak kapal berlabuh. Saat mengarungi samudera, mesin digunakan untuk
mengendalikan arah kapal, mendinginkan ruangan penumpang, menjalankan alat navigasi
elektronik, dan koneksi peralatan penerima sinyal satelit.

Di ruang kemudi (bridge) terdapat dua layar radar dan sebuah sistem penentu posisi global (GPS)
membantu menentukan arah. Dua kubah satelit di buritan memungkinkan kru berkomunikasi ke
seluruh belahan Bumi, melalui radio maupun surat elektronik.

Navigasi kapal dapat diaktifkan secara otomatis sehingga tidak perlu khawatir terjadi tabrakan
dengan kapal lain selama di tengah laut. Selain untuk menerima sinyal GPS, penerima satelit
dimanfaatkan untuk menerima dan mengirim data melalui internet.

Bagian kabinnya dapat memuat penumpang hingga 30 orang. Para aktivis Greenpeace
memanfaatkan bekas palka yang dulunya dipakai untuk mendinginkan ikan hasil tangkapan
sebagai ruang workshop. Di tempat itulah, mereka melakukan pertemuan, membuat aneka
perlengkapan, menyablon kain, mengecat papan, dan memperbaiki peralatan sesuai kebutuhan aksi
kampanye.

Dari ruang kantor atau ruang radio, aktivis bisa mengirim laporan, foto, atau video digital, bahkan
saat aksi masih sedang berlangsung. Di samping peralatan standar, ruang radio memiliki fasilitas
penyuntingan video dan foto digital.
Ada beberapa benda unik yang hanya dapat ditemui di kapal ini. Patung kayu berbentuk lumba-
lumba di anjungan kapal misalnya. Patung dari kayu oak itu merupakan sumbangan kelompok
pendukung lingkungan di Jerman. Konon, mereka juga menyelipkan botol berisi pesan masa depan
(time capsule) yang disimpan di dalam rongganya.

Sedangkan di dek kapal terdapat sebuah jangkar tua bercat hitam dan kemudi kayu yang
merupakan saksi bisu kapal Rainbow Warrior pertama yang ditenggelamkan agen rahasia Prancis.
Meskipun tidak dipakai lagi, kedua benda terawat baik menjadi monumen bersejarah di atas kapal.

Di bagian dinding luar ruang kemudi terdapat lukisan motif dua ekor paus membentuk lingkaran
yang saling berhubungan. Gambar ini merupakan simbol keharmonisan alam orang-orang
Kawkiuti di Amerika Utara yang hidupnya tergantung kepada alam. Simbol ini diusulkan para
pendiri Greenpeace saat menolak ujicoba senjata nuklir di Kepulauan Aleutia.

Ramah lingkungan

Perilaku ramah lingkungan benar-benar diterapkan di kapal. Panas yang dihasilkan di ruang mesin
digunakan untuk sistem pemanas udara dan air. Ada juga sistem pengolahan air limbah dan sistem
penyulingan atau desalinisasi air laut.

Di atas kapal, berlaku kebijakan toleransi-nol terhadap sampah. Sampah harus dipilah sebelum
dimasukkan ke tong yang sesuai: kertas, plastik, beling, logam, aluminium, atau sampah organik.

Saat kapal merapat di pelabuhan, sampah diturunkan dan dikirim ke pusat daur ulang. Seorang kru
atau relawan yang ditugasi sebagai garbologis akan memastikan hal itu dilakukan dengan baik.

Nama

Sesuai catatan dalam The Greenpeace Story terbitan Prentice Hall, nama Raibow Warrior
diusulkan oleh Bob Hunter, salah seorang pendiri Greenpeace, yang mendapat inspirasi dari cerita
di buku "Warriors of the Rainbow" karangan William Wiloya dan Vinson Brown yang diterbitkan
Naturegraph pada 1962.

Dalam cerita itu dikisahkan ramalan suku Indian Cree di Amerika Utara, amalan itu menyebutkan
akan datang suatu masa ketika Bumi sekarat akibat keserakahan manusia, kemudian sebuah
kumpulan dari berbagai latar budaya yang meyakini suatu aksi nyata bekerja untuk
menyembuhkan Bumi. Mereka adalah Kesatria Pelangi (Warriors of the Rainbow).

Pemberian nama Rainbow Warrior bersamaan waktunya dengan rintisan Greenpeace sepanjang
perjalanannya di Pasifik Utara pada 1971. Saat itu, ia bergabung sebagai jurnalis dalam sebuah
kapal sewaan yang melakukan aksi menentang percobaan nuklir yang dilakukan Amerika Serikat
di Pulau Amchitka, Kepulauan Aleutia.
Berlayar di Indonesia

April 2006

Dalam patrolinya di sekitar perairan Papua sepanjang Maret hingga April 2006, kapal ini sempat
melakukan aksi protes di depan kapal kargo MV Ardhianto yang sedang memuat kayu lapis dari
pabrik Henrison Iriana di sekitar perairan Papua [1]. Rainbow Warrior berpatroli selama sebulan
di perairan Papua, dan berhasil mendokumentasikan beberapa tempat penampungan kayu, kilang
kayu, dan pengangkutan kayu lapis ke luar negeri. Menurut catatan Greenpeace, 76 persen
permintaan konsumsi kayu Indonesia, pada 2004, dipenuhi dari kayu hasil penebangan merusak
dan tak legal. Angka itu belum mencakup kayu bulat yang diselundupkan ke Cina, Malaysia, dan
negara lain.

Kehadiran kapal Rainbow Warrior ke Papua adalah untuk pertama kalinya meskipun bukan yang
pertama kali ke Indonesia. Rainbow Warrior bertolak ke sana dalam rangka melindungi hutan
surgawi (paradise forest). Februari lalu, para peneliti Conservation International melaporkan
menemukan berbagai spesies langka dan baru dalam hutan alam yang belum pernah terjamah
manusia sebelumnya. Hasil investigasi Greenpeace menyebutkan bahwa hutan surgawi di wilayah
Asia Tenggara hanya tersisa di Papua.

Kapal Rainbow Warrior memang menyempatkan mampir ke Jakarta setelah melakukan


serangkaian patroli di sekitar Papua. Kapal tersebut merapat di Terminal Penumpang Pelabuhan
Tanjung Priuk, Jakarta sejak Kamis, 20 April, hingga Selasa, 25 April 2006.

Kehadiran kapal ini menyedot perhatian publik saat dibuka untuk umum Sabtu dan Minggu 22-23
April. Ratusan orang, tua dan muda, pria dan wanita, dari anak-anak sekolah hingga fotografer
profesional tidak menyia-nyiakan kesempatan mengunjungi kapal bersejarah ini.

November 2007

Pada November 2007, Kapal Rainbow Warrior berlayar ke Indonesia dalam rangka menghadiri
perundingan iklim di Bali. Pada perundingan iklim di Bali nanti, Greenpeace akan menyerukan
agar ada kesepakatan untuk merundingkan mekanisme baru pembiayaan guna mengurangi
deforestasi dengan tajam. Penurunan emisi akibat deforestasi harus melengkapi penurunan emisi
dari pembakaran bahan bakar fosil.

15 November 2007, Kapal Rainbow Warrior memblokir kapal tanker MT Westama, yang tengah
memuat lebih dari 30.000 ton kelapa sawit, ketika akan meninggalkan Pelabuhan Dumai, Riau.
Dengan spanduk bertuliskan Palm Oil Kills Forests and Climate (Kelapa Sawit Membunuh Hutan
dan Iklim), Rainbow Warrior menghalangi MT Westama dalam upaya menghentikan ekspor
kelapa sawit. 16 November, para aktivis berhasil menaiki kapal MT Westama dan memasang
spanduk raksasa.

Kegiatan yang dilakukan Greenpeace ini terkadang menimbulkan polemik, dikarenakan


keberanian aksinya yang seakan 'melawan hukum'.
Akhir Tragis Kapal Greenpeace Penentang Nuklir Prancis

Kapal Greenpeace Rainbow Warrior tenggelam setelah dihajar dua bom. Akibat
penentangannya terhadap ujicoba nuklir Prancis.

Oleh M.F. Mukthi

Rainbow Warrior, kapal milik Greenpeace yang tenggelam akibat menentang ujicoba nuklir
Prancis (Foto: gahetna.nl)

Pada 10 Juli 1985, Kesunyian dermaga Pelabuhan Auckland, Selandia Baru seketika berganti jadi
menakutkan pada pukul 23.45 waktu setempat. Dentuman keras mengagetkan orang-orang di
kapal-kapal yang bersandar maupun yang berada di daratan.

“Suara apa itu? Jelas bukan bagian dari kebisingan rutin kapal. Bahkan, tidak ada suara normal
kapal yang bisa didengar. Generator, yang memasok listrik ke kapal, anehnya sunyi. Gempa bumi
kah?” kata Peter Willcox, kapten kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace yang merupakan salah
satu kapal di dermaga itu, dalam memoarnya yang dimuat dalam Greenpeace Captain: My
Adventures in Protecting the Future of Our Planet.

Garda Terdepan Anti-Nuklir

Rainbow Warrior merupakan kapal Greenpeace, organisasi pemerhati lingkungan yang berasal
dari Kanada, yang dibeli pada 1978. Bekas kapal Sir William Hardy milik Skotlandia itu lalu
direparasi ulang agar berfungsi untuk pekerjaan lingkungan. Untuk menyelaraskan dengan misi
yang diembannya, cat kapal didominasi warna putih dan hijau tua.

Tak lama setelah melakukan pelayaran perdana usai reparasi ulang, Rainbow Warrior langsung
melakukan pelayaran berbahaya dengan mencegat kapal pengangkut sampah nuklir milik Inggris,
Gem, yang mengotori perairan internasional. Selang beberapa waktu kemudian, Rainbow Warrior
berhasil menggagalkan perburuan anjing laut Norwegia di Kepulauan Orkney.
Dua pelayaran berbahaya nan heroik itu membuka ratusan pelayaran Rainbow Warrior berikutnya
dalam menjaga kelestarian bumi. “Greenpeace telah menjadi terkenal karena eksploitasi
keberanian dan aksi dramatisnya, yang semuanya dimaksudkan untuk menarik perhatian pada
penghancuran bumi dan semua mahluk di atasnya yang sistematis oleh industri,” tulis Steven
McFadden dan Ven. Dhyani Ywahoo dalam Legend of the Rainbow Warriors.

Ketika intensitas ujicoba senjata nuklir Amerika Serikat dan Prancis di Pasifik meningkat pada
1970-an, Greenpeace bergabung dalam barisan penentangnya. “Gerakan untuk Pasifik bebas-
nuklir dimulai di Fiji pada 1970 dengan pembentukan komite ATOM (Against Tests on Moruroa)
untuk memprotes pengujian nuklir Prancis. Didukung oleh Konferensi Gereja-Gereja Pasifik,
ATOM menyelenggarakan konferensi pertama untuk Pasifik bebas nuklir di Fiji pada 1975, dan
sebuah konferensi lanjutan penting di Pulau Pohmpein di Mikronesia pada 1978,” tulis Arnold
Leibowitz dalam Embattled Island: Palau’s Struggle for Independence.

Dalam kampanye menentang ujicoba nuklir Prancis di Moruroa itulah Rainbow Warrior menjadi
andalan Greenpeace. Dari turnya ke berbagai tempat, kapal itu kemudian menuju Auckland,
Selandia Baru. Selandia Baru dianggap para aktivis lingkungan sebagai rekan. “Awak kapal
berencana untuk mengumpulkan dukungan dari para simpatisan di Selandia Baru dan kemudian
bergabung dengan armada perdamaian yang akan berlayar ke Atol Moruroa, di mana Prancis
secara terus-menerus menguji bom-bom nuklirnya sejak 1966,” sambung McFadden dan Ywahoo.

Tiba di Pelabuhan Auckland pada 7 Juli 1985, Rainbow Warrior mendapat sambutan meriah.
Realitas itu membuat Prancis gerah. Sudah empat kali Prancis dibuat malu Greenpeace dengan
protes kerasnya atas ujicoba nuklir di Pasifik. Protes kelima yang akan dilakukan Greenpeace,
dengan dukungan yang lebih kuat, oleh karena itu harus digagalkan. “Pada 10 Juli 1985 di
Pelabuhan Auckland, pasukan komando Prancis menanam bahan peledak di bawah lambung kapal,”
tulis Elzbieta Posluszna dalam Environmental and Animal Rights Extremism, Terrorism, and
National Security.

Ledakan pertama,15 menit sebelum pergantian hari ke tanggal 11 Juli, merobek bagian tengah
bawah lambung kapal. Generator Rainbow Warrior langsung tak berfungsi, kapal pun gelap.
Setelah memerintahkan para awak untuk meninggalkan kapal, Kapten Willcox yang hanya
mengenakan handuk langsung menyelamatkan diri ke dermaga. “Kapal sudah tenggelam ke titik
di mana aku harus memanjat dari dek untuk bisa sampai ke dermaga,” kata Willcox dalam
memoarnya.

Willcox kemudian mulai menghitung para awaknya. Davey, rekannya yang datang kemudian,
memberitahu Willcox bahwa Fernando Pereira, fotografer resmi Rainbow Warrior, masih di
dalam kapal. Sang kapten dan Davey langsung ke bagian tertinggi kapal untuk mencoba
menyelamatkan rekan mereka. Namun, situasi membahayakan membuat mereka urung
melanjutkannya.

Ledakan kedua, dekat baling-baling kapal, muncul saat itu. Semua awak Rainbow Warrior makin
bingung. “Kami masih belum tahu tentang apa yang menyebabkan semua kerusakan iru. Tidak ada
kapal lain yang bisa bertabrakan dengan kami. Bahan bakar kapal adalah diesel, yang tidak mudah
meledak. Satu-satunya bahan peledak yang ada di atas adalah tangki oksigen dan asetilena yang
digunakan untuk pengelasan, tetapi itu disimpan jauh di depan dan jauh dari tempat kerusakan
terjadi. Saya benar-benar bingung,” kata Willcox.

Menjelang subuh, Willcox dibawa polisi ke TKP untuk mengidentifikasi jenazah di Rainbow
Warrior yang diambil lima penyelam AL Selandia Baru. Benar saja, jenazah itu merupakan
Fernando Pereira. “Dia berada di kabinnya sekitar 20 detik ketika ledakan kedua terjadi tepat di
bawahnya,” sambung Willcox.

Setelah menjalani interogasi di kantor kepolisian setempat, para awak Rainbow Warrior lalu
dibebaskan. “Fakta bahwa ada dua ledakan –terpisah hanya beberapa menit di dua lokasi berbeda–
mengindikasikan ini adalah upaya disengaja untuk menenggelamkan Rainbow Warrior,” kata
Willcox.

Dua hari kemudian, Kepolisian Selandia Baru menangkap sepasang suami-istri asal Prancis, Alain
Turenge dan Sophie Turenge. Investigasi lebih lanjut menyatakan keduanya adalah Mayor Alain
Mafart dan Kapten Dominique Prieur, perwira militer Prancis yang di-BKO-kan ke Direction
Generale de le Securite Exterieure (DGSE).

Keterilbatan militer Prancis membuat publik marah dan pers mencecar pemerintahan Francois
Mitterand. Laporan yang dirilisnya pada 27 Agustus tetap tak memuaskan permintaan pers akan
kebenaran. Suara pelengseran Mitterand makin kuat. Setelah Menhan Charles Hernu
mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban, pada 22 September PM Prancis Laurent
Fabius buka suara tentang keterlibatan DGSE.

“Perdana Menteri Laurent Fabius mengakui DGSE telah memerintahkan ‘netralisasi’ Rainbow
Warrior dalam apa yang disebut, ‘Operation Satanic’,” tulis John E. Lewis dalam Terrorist Attacks
and Clandestine Wars.

Source :

1. https://historia.id/politik/articles/akhir-tragis-kapal-greenpeace-penentang-nuklir-prancis-
6ljJl
2. https://mediaindonesia.com/read/detail/171106-1985-sabotase-rainbow-warrior
3. https://id.wikipedia.org/wiki/Rainbow_Warrior

Anda mungkin juga menyukai