Anda di halaman 1dari 5

NAMA : DIMAS BAGAS WAHYU

NPM : 05.2016.1.90363

EXXON VALDES
Kapal, adalah kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut (sungai dsb)[1] seperti
halnya sampan atau perahu yang lebih kecil. Kapal biasanya cukup besar untuk membawa perahu kecil
seperti sekoci. Sedangkan dalam istilah inggris, dipisahkan antara ship yang lebih besar dan boat yang
lebih kecil. Secara kebiasaannya kapal dapat membawa perahu tetapi perahu tidak dapat membawa kapal.
Ukuran sebenarnya di mana sebuah perahu disebut kapal selalu ditetapkan oleh undang-undang dan
peraturan atau kebiasaan setempat.

Berabad-abad kapal digunakan oleh manusia untuk mengarungi sungai atau lautan yang diawali
oleh penemuan perahu. Biasanya manusia pada masa lampau menggunakan kano, rakit ataupun perahu,
semakin besar kebutuhan akan daya muat maka dibuatlah perahu atau rakit yang berukuran lebih besar
yang dinamakan kapal. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan kapal pada masa lampau
menggunakan kayu, bambu ataupun batang-batang papirus seperti yang digunakan bangsa mesir kuno
kemudian digunakan bahan bahan logam seperti besi/baja karena kebutuhan manusia akan kapal yang
kuat. Untuk penggeraknya manusia pada awalnya menggunakan dayung kemudian angin dengan bantuan
layar, mesin uap setelah muncul revolusi Industri dan mesin diesel serta Nuklir. Beberapa penelitian
memunculkan kapal bermesin yang berjalan mengambang di atas air seperti Hovercraft dan Eakroplane.
Serta kapal yang digunakan di dasar lautan yakni kapal selam.

Kapal tanker ialah kapal yang dirancang untuk mengangkut minyak atau produk turunannya.
Jenis utama kapal tanker termasuk tanker minyak, tanker kimia, dan pengangkut LNG.

Di antara berbagai jenis kapal tanker, supertanker dirancang untuk mengangkut minyak sekitar
Tanduk Afrika dan Timur Tengah. Supertanker Knock Nevis adalah pengangkut terbesar di dunia

Di samping mengangkut pipa saluran, kapal tanker juga kendaraan untuk mengangkut minyak
mentah, yang kadang-kadang dapat menimbulkan malapetaka lingkungan akibat tumpahan minyaknya ke
laut. Untuk malapetaka yang terkenal yang diakibatkan oleh kapal tanker, lihat Torrey Canyon, Exxon
Valdez, Amoco Cadiz, Erika, Prestige.

Kapal tanker dapat di kelompokan menurut kapasitasnya ialah :

 ULCC (Ultra Large Crude Carrier), berkapasitas 500.000 ton


 VLCC (Very Large Crude Carrier/Malaccamax), berkapasitas 300.000 ton
 Suezmax, yang dapat melintasi Terusan Suez dalam muatan pnuh, berkapasitas 125.000-
200.000
 Aframax (Average Freight Rate Assessment) berkapasitas 80.000-125.000 ton
 Panamax, yang dapat melintasi pintu di Terusan Panamá, berkapasitas 50.000-79.000 ton.

Exxon valdes merupakan salah satu tragedi terbesar kecelakaan kapal tanker yang sekarang
bernama dong fang ocean sebelumnya bernama Exxon Valdez, Exxon Mediterranean, SeaRiver
Mediterranean, S/R Mediterranean, Mediterranean adalah sebuah kapal tanker milik ExxonMobil yang
terkenal setelah kandas dan menumpahkan minyak mentah sebesar 40.900 - 120,000 m3 (10.800.000 -
32,000,000 US gallon), atau 257.000 - 750.000 barrel di daerah perairan Prince William, Bligh Reef,
Alaska pada 24 Maret 1989, saat itu kapal ini dikemudikan oleh Kapten Joseph Hazelwood menuju Long
Beach, California. Peristiwa ini merupakan tragedi buruk pencemaran laut oleh minyak kedua dalam
sejarah Amerika Serikat dan peringkat ke 54 di dunia.

4 Maret 1989, Sebuah kapal tangker milik ExxonMobil menumpahkan minyak mentah sebesar 11
juta US gallon di daerah perairan Prince William, Bligh Reef, Alaska. Tragedi tumpahan jutaan galon
minyak mentah pada kawasan pantai sepanjang 1.300 mil oleh tanker atau kapal Exxon Valdez pada 24
Maret 1989 di Teluk Prince William, Alaska dan mengakibatkan kerugian dua milyar dollar untuk biaya
pembersihan dan kerusakan lingkungan yang disebabkannya.

Kecelakaan ini adalah kecelakaan yang tergolong human eror, di karenakan kapten yang
mengemudikan kapal dalam keadaan mabuk. Hal ini merupakaan sebagai salah satu bencana lingkungan
paling dahsyat yang disebabkan oleh manusia, bahkan yang membuat kejadian ini menjadi sulit untuk
ditangani adalah lokasi dari Prince William Sound tersebut yang menjadi lokasi tumpanya minyak.
Tempat tersebut hanya dapat diakses dengan helikopter, pesawat, atau perahu, maka dari itu upaya respon
dari pemerintah dan industri sulit dan berat untuk dilakukan karena pajak rencana yang ada untuk respon
cukup tinggi. Daerah tersebut juga merupakan merupakan habitat salmon, berang-berang laut, anjing laut
dan burung laut, dimana habitat tersebut jelas akan menjadi korban dari tumpahnya minyak ini.
Diperkirakan 1 juta unggas bermigrasi dan sepertiga dari berang-berang laut dengan populasi sekitar
2.500 meninggal termasuk anjing laut dan singa laut menjadi korban.

Minyak yang awalnya diekstraksi di ladang minyak Teluk Prudhoe, pada akhirnya menutupi
1.300 mil (2.100 km) dari garis pantai, dan 11.000 mil persegi (28.000 km2) dari laut perairan Prince
William, Bligh Reef,Alaska.

Kasus Exxon Valdes mewakili salah satu insiden kehumasan paling buruk dalam sejarah
korporasi, bukan hanya karena peristiwa itu mendatangkan efek negatif bagi kehidupan ekosistem laut
dan lingkungan hidup serta kesehatan financial dan fisik dari berbagai komunitas sekitar, tetapi
penanganan krisis komunikasi yang buruk di tubuh perusahaan Exxon Valdes itu sendiri. CEO Exxon,
Lawrence Rawl, membentuk tim respon perusahaan. CEO Lawrence Rawl, baru mengeluarkan
pernyataan publik setelah enam hari berlalu setelah kejadian berikut (Arena,2007:112). Kemudian, Ia
baru mengunjungi tempat kecelakaan setelah dua minggu kemudian.

Menurut James E. Lukaswezski anggotan PRSA “Exxon Valdes menjadi sinonim bagi
penanganan keliru dalam respon bencana lingkungan hidup dan komunikasi perusahaan seputar peristiwa
itu”. Penanganan krisis yang tidak maksimal sangat mempengaruhi citra dan reputasi Perusahaan. Exon
Valdes saat melakukan penumpahan minyak menewaskan ribuan burung dan berang-berang, ratusan
anjing laut dan elang dan merusak mata pencaharian banyak nelayan. Meskipun demikian, penanganan
yang dilakukan sangat lamban sehingga mendatangkan kekecewaan masyarakat. Disisi lain Perusahaan
terkesan menghindari tanggung jawab yang semestinya disampaikan oleh Perusahaan kepada
stakeholders atau publik, mereka cendrung tidak transparan untuk mengakui dan meralat kesalahan yang
telah menyebabkan kerugian besar ini. Sekalipun mereka menegaskan bahwa mereka akan bertanggung
jawab.
KRONOLOGIS, Setelah mengetahui adanya kasus minyak Exxon tumpah di laut, Don Cornet
(Alaska Coordinator for Exxon, yang pada akhirnya menjadi Exxon’s Public Relations Manager) segera
mencari informasi sejelas mungkin mengenai hal tersebut dan menyusun beberapa strategi. Salah satu
strategi yang menjadi fokus utama yaitu pada upaya pembersihan lautan atau segera menghilangkan
sekitar 11 juta galon minyak, meskipun hal tersebut mustahil untuk dilakukan.

Pada saat itu, CEO Rawl tidak ada di tempat dan tidak dapat ditemui dimanapun dan akhirnya
diambil alih oleh Frank Iarossi (President of Exxon Shipping). Pada awalnya, ia sempat berpikir bahwa
kesalahan ada pada kapten Hazelwood dengan tuduhan kapten Hazelwood minum/mabuk pada saat
bertugas. Ijin pelayaran kapten Hazelwood ditarik dan diperikasa secara medis untuk mengetes kadar
alkohol dalam tubuhnya. Kapten Hazelwood menyangkal apa yang dituduhkan kepadanya, namun tidak
ada yang bisa membuktikannya. Masalah lain muncul karena sebagian besar awak kapal menyalahkan
perusahaan. Hal ini disebabkan perusahaan mem-PHK beberapa karyawan dengan alasan untuk
memangkas biaya oprasional. Akibat adanya PHK inilah, para karyawan dituntut untuk bekerja lebih
maksimal. Para karyawan sering merasa kelelahan karena kurang tidur dan ada ketakutan terkena PHK
apabila mereka tidak bekerja secara cepat dan maksimal.

Pada awal mula terjadi krisis, Cornet memutuskan untuk menempatkan pusat informasi media di
Valdez. Hal ini mendapat kritikan dari para reporter dan fotografer karena dianggap Valdez minim
fasilitas, kurangnya kelengkapan alat dan kendala akomodasi. Padahal, masyarakat Alaska beserta
pemerintah memerlukan informasi seputar kejadian tersebut sebagai bentuk komunikasi ke publik. Berita
yang diterima akhirnya menjadi simpang siur karena berasal dari berbagai sumber.

Empat hari setelah kejadian, para nelayan dan masyarakat sekitar marah karena dirasa
penanganan tidak membuahkan hasil. Media pun merasa tidak puas dengan respon yang dilakukan oleh
pihak Exxon. Iarossi pun menggelar konfrensi pers tanpa adanya pengarahan sebelumnya. Akhirnya,
konfrensi pers yang digelar tidak membuahkan hasil dan mendapat tanggapan buruk. Brian Dunphy (Juru
Bicara Exxon Shipping) menyatakan bahwa tidak dijelaskan mengenai tingkat kerusakan dan bagaimana
proses pemulihan yang sedang dilakukan, sehingga mendapat tanggapan tidak baik. CEO Rawl pun
menolak untuk turun tangan. CEO Rawl mengatakan bahwa ia merasa tekonologi tidak ada gunanya. Hal
ini semakin memicu amarah media, para pecinta lingkungan dan publik. Exxon tidak mengantisipasi
bagaimana tanggapan atau keprihatinan masyarakat terhadap isu krisis lingkungan, dimana perusahaan
mereka masuk kedalamnya. Selain itu, Exxon juga tidak memiliki antisipasi terhadap masalah tumpahnya
minyak dalam skala besar, atau penanganan untuk pemulihan dan komunikasi kepada publik.

Sepuluh hari setelah kejadian, Exxon merilis iklan yang menunjukkan keprihatinan terhadap apa
yang telah terjadi dan akan berupaya untuk melakukan usaha pemulihan. Dua minggu setelah kejadian,
CEO Rawl datang ke Alaska. Sebulan setelah kejadian, Exxon mendapat peralatan untuk membersihkan
tumpahan minyak secara menyeluruh dalam skala besar. Exxon mengeluarkan iformasi kepada media
bahwa prediksi yang menyatakan bahwa upaya pemulihan membutuhkan waktu jangka panjang dianggap
berlebihan, selain itu, tumpahan minyak tidak hanya berasal dari Exxon namun juga dari beberapa sumber
lainnya. pada tahun 1993, Rawl mengundurkan diri.

Sepuluh tahun kemudian, Exxon membayar ganti rugi kepada para nelayan dan menyatakan
penyesalan sedalam-dalamnya. Meskipun begitu, Exxon menolak jika akibat kejadian tersebut mereka
mengalami kebangkrutan. Pada tahun 2005, keputusan pengadilan ditarik. Meskipun begitu, Exxon tetap
mendaptkan pertentangan dari beberapa organisasi pecinta lingkungan, seperti Greenpeace, MoveOn.org,
the Alaska Coalition dan Sierra Club dengan isu global warming.

Analisis

Sebelum melakukan analisis, penulis menggunakan teori dari Timothy dalam bukunya yang
berjudul Ongoing Crisis Communication: Planning, Managing, and Responding, yang mengatakan bahwa
ada 6 langkah yang harus dilakukan ketika terjadi krisis, yaitu (Coombs, 2007: 63 – 102)

Assesing Crisis Type, Tipe crisis yang dialami oleh Exxon Valdez jika dilihat dari
penyebabnya lebih menunjukkan pada tipe Human-error accident. Human error accident adalah ketika
kesalahan manusia menyebabkan kecelakaan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa krisis
yang dialami Exxon Valdez diakibatkan dari nahkodanya yang bernama Joseph Hazelwood dalam
keadaan mabuk, kemudian menyuruh “Third Mate” untuk mengambil alih kemudinya padahal mereka
sudah dalam keadaaan lelah. Pada akhirnya mereka tidak bisa mengendalikan laju kapal tanki yang
kemudian menabrak gunung es dan menumpahkan sekitar 40 juta liter minyak mentah ke selat Prince
William di Alaska yang kemudian mencemari garis pantai sepanjang 700 km2. Kemudian tipe berikutnya
adalah Organizational Misdeeds, yaitu ketika manajemen mengambil tindakan yang menyebabkan resiko
bagi stakeholders atau melanggar hukum. Bisa dikategorikan ke tipe ini karena tim dari Exxon
mengambil tindakan yang salah, yaitu lambat dalam bertindak, seakan tidak peduli dengan akibat dari
tumpahnya minyak, mengelak dari kesalahan, dll. Sehingga publik menjadi tidak suka terhadap pihak
Exxon

Selecting and Training Crisis Team, CMT (Crisis Management Team) yaitu suatu gorup yang
dibentuk untuk menangani berbagai krisis dan merupakan inti dari penanganan krisis. Exxon Valdez tidak
membuat CMT dalam penanganan kasusnya. Terlihat bahwa kinerja pihak Exxon seperti tidak teratur dan
termanage dengan baik, sehingga kinerjanya menjadi berantakan. Hal tersebut ditunjukkan pada hal
berikut: Larossi selaku presiden Exxon mengadakan konferensi pers tanpa diberikan pengarahan oleh
petugas humas, Brian Dunphy selaku juru bicara Exxon tidak mau memverifikasi kerusakan alam akibat
tumpahan minyak, dll. Apabila keadaan tersebut di manage dengan baik, kemungkinan penanganan
seperti itu dapat dihindari. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan CMT pada suatu
perusahaan itu sangat penting, supaya tidak akan terjadi seperti yang dialami Exxon.

Mass Notification System, Merupakan saat dimana organisasi harus menyampaikan sebuah
pesan kepada masyarakat luas. Seluruh lapisan karyawan maupun lapisan masyarakat harus mendapatkan
informasi dari Exxon, walaupun seburuk apapun informasi itu. Sehingga tidak akan menghasilkan
pertanyaan dan berita simpang siur di sekitar masyarakat. Exxon sudah memberikan klarifikasinya namun
hal tersebut terlalu lama sehingga sudah menimbulkan masalah baru lagi di kalangan masyarakat luas.

Kurang cekatannya pihak perusahaan dalam pembentukan tim krisis, menjadikan kesan buruk
mengenai upaya yang tengah dilakukan perusahaan terhadap bencana yang tengah dihadapi oleh Exxon
Valdez. Kesan yang ditimbulkan oleh perusahaan pun terlihat reaktif terbukti dengan bagaimana
perusahaan memberikan respon yang begitu lambat mengenai krisis yang dihadapi, tidak adanya
keterbukaan dengan masyarakat luas, serta terkesan tidak ingin bertanggung jawab atas apa yang tengah
terjadi. Jatuhnya berpuluh-puluh minyak milik perusahaan Exxon di daerah laut Valdez menyebabkan
banyak isu yang kemudian berkembang. Sayangnya, isu yang dipublikasikan oleh media tersebut tidak
selaras antara satu dengan yang lainnya. Seperti yang telah disebutkan Timothy, pemberi informasi
haruslah seorang yang telah disamakan persepsinya, namun perusahaan Exxon tidak menggunakan jalan
tersebut sehingga informasi yang beredar tidak sama dan keluar dari jalurnya.

Hal pertama yang dilakukan yaitu terlalu fokus terhadap masalah internal, yaitu mengenai kapten
Hazelwood dan PHK karyawan, dimana tindakan ini justru memicu persepsi lain yang beredar
dimasyarakat, mengenai morat-maritnya keadaan internal perusahaan.

Meluasnya isu dari kejadian tersebut dapat diatasi dengan berbagai cara salah satunya dengan
menyamakan persepsi mengenai informasi yang akan disebutkan di media. Sekali lagi Exxon lalai akan
hal ini, sehingga pemberitaan di media malah semakin memojokan perusahaan minyak tersebut.
Pembentukan pengendalian krisis dengan membentuk crisis center merupakan salah satu cara untuk
membantu kepanikan masyarakat luas. Namun sekali lagi Exxon tidak tepat dalam pemilihan strategi,
terlihat dari tempat yang dipilih sukar untuk dijangkau dan malah membuat perusahaan kesulitan sendiri.
Exxon juga tidak melibatkan banyak pihak luar yang memiliki wewenang penuh atas krisis yang mereka
alami, sehingga terkesan bahwa Exxon tidak menganggap hal ini serius.

Pengelolaan krisis yang dilakukan oleh perusahaan Exxon dapat dinilai bahwa tidak terorganisir
dengan baik terbukti dengan isolasi isu yang tidak berhasil mendapatkan solusi terbaik dari turunan
identifikasi dan analisis masalah yang mereka upayakan. Pemilihan strategi yang dilakukan oleh Exxon
sendiri merupakan Strategi Defensif dimana perusahaan memilih untuk membentengi diri terlebih dahulu
dan melakukan pembelaan diri terkait masalah yang tengah terjadi, mengulur waktu begitu lama, terlihat
dari rentang waktu satu minggu setelah bencana pihak perusahaan angkat bicara.

Anda mungkin juga menyukai