Anda di halaman 1dari 57

MAKALAH

MIKROBIOLOGI TERAPAN
MIKROORGANISME DAN LINGKUNGAN: TANAH

Oleh Kelompok 3:
1. Nurjannah Albaniah (18177011)
2. Indah Dewi Sartika (18177011)
3. Rizaldi Putra Jamal (18177011)
4. Rifana Andri (18177011)
5. Lasmi Lestari (18177043)
6. Sintia Elmanazifa (18177049)

Dosen Mata Kuliah:


Dr. Dwi Hilda Putri, M. Biomed.
Dr. Linda Advinda, M. Kes.
Dr. Irdawati, M. Si.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mikrobiologi adalah ilmu yang mempelajari organisme hidup yang berukuran sangat
kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang melainkan dengan bantuan
mikroskop. Organisme yang sangat kecil ini disebut sebagai mikroorganisme, atau kadang-
kadang disebut sebagai mikroba, ataupun jasad renik.
Mikrobiologi penting sekali dan terkait erat dengan kehidupan manusia, karena
mikroba (jasad renik) tersebar merata di seluruh belahan bumi dan ada di mana-mana.
Mikroba ada di udara, ada di air, di tanah, lantai, meja, kulit dan dimana pun. Oleh karena
itu mikroba memiliki korelasi yang erat dan peranan yang penting dengan kehidupan
manusia, yang dapat memberikan pengaruh merugikan maupun menguntungkan.
Mikroorganisme tersebar merata diseluruh permukaan bumi diantaranya adalah pada tanah.
Bila dibandingkan dengan luas bumi secara keseluruhan, maka tanah pada permukaan bumi
hanya merupakan lapisan tipis. Tetapi, lapisan tipis dari tanah ini sangat penting karena
menyediakan berbagai sumber daya yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia dan
makhluk hidup lainnya seperti mikroorganisme.
Mikrobiologi tanah adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang tanah dan
proses mikroorganisme yang ada di dalamnya. Di tanah terdapat milyaran mikroba
misalnya bakteri, fungi, alga, protozoa, dan virus. Tanah merupakan lingkungan hidup yang
amat kompleks. Kotoran dan jasad hewan serta jaringan tumbuhan akan terkubur dalam
tanah. Semuanya memberi konstribusi dalam menyuburkan tanah. Proses penyuburan tanah
ini dibantu oleh mikrobia. Mikroorganisme yang hidup pada tanah dapat ditemukan dalam
dua bentuk yaitu ada yang pathogen ( berbahaya) pada manusia dan hewan dan apathogen
(tidak berbahaya). Tanpa mikrobia, semua jasad tidak akan hancur. Jumlah dan jenis
mikrobia dalam tanah bergantung pada jumlah dan jenis, kelembaban, tingkat aerasi, suhu,
pH, dan pengolahan dapat menambah jumlah mikrobia tanah.
Baik secara langsung maupun tidak langsung, bahan buangan dan jasad dari manusia
dan hewan, serta jaringan tumbuh-tumbuhan di buang atau di kubur dalam tanah. Setelah
beberapa lama, bahan-bahan tersebut akan diuraikan menjadi komponen organik dan
beberapa komponen anorganik tanah, penguraian tersebut dilakukan oleh mikroorganisme
yaitu penguraian bahan organik menjadi substansi yang menyediakan nutrien bagi dunia
tumbuhan. Kemudian Mikroorganisme tanah juga dapat membantu mengatasi masalah
pencemaran lingkungan. Tanpa aktifitas mikroorganisme tersebut segala ativitas di muka
bumi ini lambat laun akan terhambat. Untuk itu, hal inilah yang melatarbelakangi
pembuatan makalah ini yaitu untuk menyajikan apa saja jenis dan bagaimana peranan
mikroorganisme tanah tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka di dapatkan rumusan masalahnya sebagai
berikut.
1. Apa struktur dan komposisi tanah?
2. Apa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba tanah?
3. Bagaimana penggolongan mikroorganisme tanah?
4. Bagaimana sifat-sifat mikroorganisme tanah?
5. Bagaimana peran mikroorganisme terhadap siklus biogeokimia?
6. Bagaimana peran mikroorganisme terhadap bioremediasi?
7. Bagaimana peran mikroorganisme terhadap biomagnifikasi?
8. Bagaimana peran organisme dalam proses pengomposan?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui hal-hal berikut.
1. Struktur dan komposisi tanah
2. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba tanah
3. Penggolongan mikroorganisme tanah
4. Sifat-sifat mikroorganisme tanah
5. Peran mikroorganisme terhadap siklus biogeokimia
6. peran mikroorganisme terhadap bioremediasi
7. peran mikroorganisme terhadap biomagnifikasi
8. Peran organisme dalam proses pengomposan
9. Peran mikroorganisme tanah yang merugikan
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Struktur dan Komposisi Tanah


Hanya ada beberapa lingkungan di bumi ini yang mengandung banyak jenis
mikroorganisme, misalnya seperti lingkungan dalam tanah yang subur. Di dalam tanah,
hidup berbagai jasad renik (mikroorganisme) yang melakukan berbagai kegiatan yang
menguntungkan bagi kehidupan makhluk-makhluk hidup lainnya atau dengan perkataan
lain menjadikan tanah memungkinkan bagi kelanjutan siklus kehidupan makhluk-makhluk
alami. Bakteri, fungi, alga, protozoa dan virus bersama-sama membentuk kumpulan
mikroorganisme yang dapat mencapai jumlah total sampai bermilyar-milyar organisme per
gram tanah. Tanah yang normal telah kita ketahui tersusun dari unsur-unsur padat, cair dan
gas, yang secara luas dapat dibagi dalam 5 kelompok, yaitu :
1. Partikel-partikel mineral, yang dapat berubah-ubah ukuran dan tingkatan hancuran
mekanis dan kimiawinya, dan partikel-partikel ini meliputi kelompok-kelompok batu
kerikil, pasir halus, lempung, dan lumpur.
2. Sisa-sisa tanaman dan binatang, terdiri dari daun-daunan segar yang jatuh, tunggul,
jerami dan bagian-bagian tanaman yang tersisa serta berbagai bangkai binatang dan
serangga, yang kesemuanya membusuk dan hancur menyatu dengan partikel-partikel di
atas. Residu atau sisa-sisa tanaman dapat pula berwujud humus atau bahan-bahan
humus.
3. Sistem-sistem kehidupan, termasuk berbagai kehidupan tanaman lebih tinggi, sejumlah
besar bentuk makhluk/binatang yang hidup dalam tanah seperti berbagai macam
serangga, protozoa, cacing tanah dan binatang mengerat, demikian pula berbagal algae,
fungi aktinomisetes dan bakteri.
4. Air, yang merupakan bentuk-bentuk cairan terdiri dari air bebas dan air higroskopik,
berkandungan berbagai konsentrasi larutan garam-garam anorganik dan campuran-
campuran atau senyawa-senyawa organik tertentu.
5. Berbagai gas, atmosfer tanah terdiri dari karbon dioksida, oksigen, nitrogen dan
sejumlah gas lainnya dalam konsentrasi-konsentrasi yang lebih terbatas.
Unsur-unsur di atas menjadikan tanah yang subur, yang mampu menjamin
berlangsungnya kehidupan berbagai makhluk di bumi. Unsur-unsur tersebut kadang-kadang
ada yang lenyap dikarenakan pengolahan tanah yang salah, pembakaran hutan atau
perbuatan-perbuatan lainnya dari manusia sebagai makhluk tertinggi di bumi.
Tanah terdiri dari dua lapisan utama (Gambar 1). Topsoil atau lapisan tanah atas,
merupakan lapisan tanah yang kaya akan humus (bahan kimia organik), dan subsoil atau
mineral soil, yang terutama terdiri dari bahan anorganik. Tanah menutupi batuan dasar
(bedrock), yang merupakan batuan padat yang mengandung sedikit bahan organik.
Sebagian besar mikroorganisme tanah ditemukan di lapisan tanah atas, karena tanah
tersebut heterogen. Populasi mokrobiologi yang mendiami tanah, bersama dengan berbagai
bentuk binatang dan berbagai jenis tanaman tingkat lebih tinggi membentuk suatu sistem
kehidupan yang tidak terpisahkan dari bahan mineral dan sisa-sisa bahan organik yang ada
dalam tanah.

Gambar 1. Lapisan Tanah dan Distribusi Nutrisi serta Mikroorganisme di dalamnya.

B. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba Tanah


Mikroba tanah mampu berinteraksi dengan lingkungan. Pertumbuhannya dipengaruhi
oleh faktor abiotik dan organisme lain di tanah. Mikroba dapat mempengaruhi karakteristik
fisik tanah. Beberapa faktor lingkungan abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba
di dalam tanah yaitu:
1. Kelembaban dan kandungan oksigen
Kelembaban dan kandungan oksigen tanah sangat terkait. Kelembaban sangat penting
untuk kelangsungan hidup mikroba, mikroba menunjukkan aktivitas metabolisme dan,
jumlah yang lebih rendah serta kurang beragam di tanah kering daripada di tanah
lembab. Tanah yang lembab memiliki kandungan oksigen yang lebih rendah daripada
tanah kering karena oksigen larut dalam air. Ruang di antara partikel tanah biasanya
mengandung air, oksigen, dan organisme aerobik. Namun, di tanah yang tergenang air
semua ruang diisi oleh air, sehingga keanekaragaman mikroba menurun dan hanya bakteri
anaerob yang mendominasi.
2. pH tanah
pH tanah berkisar dari 2 hingga 9. Kebanyakan bakteri tanah memiliki ph optimal
antara 6 dan 8. Jeruk nipis dapat menetralkan tanah asam dan meningkatkan populasi
bakteri. Pupuk yang mengandung garam amonium memiliki dua efek pada tanah: (1)
menyediakan sumber nitrogen untuk tanaman dan (2) ketika dimetabolisme oleh bakteri
tertentu, bakteri melepaskan asam nitrat, yang menurunkan pH tanah dan meningkatkan
populasi jamur.
3. Suhu tanah
Suhu tanah bervariasi secara musiman, kebanyakan organisme tanah adalah mesofil
dan lebih menyukai suhu antara 200C dan 450C. Dengan demikian sebagian besar mikroba
tanah hidup dengan cukup baik di daerah di mana musim dingin dan musim panas tidak
terlalu panjang. Psikrofil hanya tumbuh di lingkungan yang dingin, sebaliknya termofil
tidak dapat bertahan hidup di musim dingin yang pajang. Suhu minimum, maksimum
beberapa bakteri tanah dapat dilihat pada Tabel 1 dan hubungan antara suhu dan
pertumbuhan mikroba dapat dilihat pada Gambar 2.
Tabel 1. Suhu Pertumbuhan Bakteri yang Hidup di Tanah
Mikroba Suhu
Minimum Optimum Maksimum
Bacillus psychrophilus –10 23–24 28–30
Pseudomonas fluorescens 4 25–30 40
Staphylococcus aureus 6.5 30–37 46
Bacillus stearothermophilus 30 60–65 75
Micrococcus cryophilus –4 10 24
Sumber: Willey, et al (2008)

Suhu
0C
Gambar 2. Hubungan Suhu dengan Pertumbuhan Mikroba
Sumber: Willey, et al (2008)

C. Penggolongan Mikroorganisme Tanah


Mikroorganisme dibagi ke dalam dua kelompok besar menurut Winogradsky yaitu
sebagai berikut.
1. Autochthonous. Golongan ini dapat dikatakan sebagai mikroba-mikroba setempat atau
pribumi pada tanah tertentu, selalu hidup dan berkembang di tanah itu dan atau selalu
diperkirakan diketemukan di dalam tanah tersebut.
2. Mikroba zimogenik. Golongan mikroba yang berkembang di bawah pengaruh
perlakuan-perlakuan khusus pada tanah, seperti penambahan bahan-bahan organik,
pemupukan, atau serasi.
3. Mikroba transient (Penetap Sementara) Terdiri dari organisma-organisma yang
diintrodusir ke dalam tanah secara disengaja, seperti dengan inokulasi leguminosa, atau
yang tidak secara disengaja, seperti dalam kasus unsur-unsur penghasil penyakit
tanaman dan hewan, organisma-organisma ini kemungkinan segera mati atau
kemungkinan pula bertahan untuk sementara waktu setelah berada di dalam tanah.
Suatu sistem penggolongan bakteria lainnya yang didasarkan atas kegiatan-kegiatan
fisiologis, juga seringkali dilaksanakan atau diterapkan dalam studi-studi tanah. Sistem ini
menggolongkan bakteria sebagai berikut :
1. Bakteri autotropik atau bakteria fakultatif autotropik, memperoleh karbon terutama
sekali dari CO2 dari atmosfer dan energinya dari oksidasi zat/bahan-bahan anorganik
atau senyawa karbon yang bersahaja.
a. Bakteria yang menggunakan senyawa-senyawa nitrogen yang bersahaja, ammonia dan
nim't, sebagai sumber-sumber energinya.
b. Bakteria yang menggunakan sulfur dan senyawa-senyawa sulfur organik yang
bersahaja, sebagai sumber-sumber energinya.
c. Bakteria yang menggunakan seyawa-seyawa besi (dan mangan) sebagai sumber-
sumber energi.
d. Bakteri yang menggunakan hidrogen sebagai sumber energi.
e. Bakteria yang menggunakan senyawa-senyawa karbon yang bersahaja (CO, CH4)
sebagai sumber-sumber energi.
2. Bakteri heterotropik yang memperoleh karbon dan energi dari senyawa-senyawa
organik.
a. Bakteri pemfiksasi nitrogen, memperoleh nitrogennya dari atmosfer (gascous
atmospheric nitrogen). Bakteri ini terdiri dari bakteri pemfiksasi nitrogen yang
nonsimbiotik (Azotobakter aerobik, Radiobakter, Aerobakter, dan sebagainya) dan
bakteri pemfiksasi nitrogen yang simbiotik atau bemodula pada akarnya (Rhizobium).
b. Bakteri yang memerlukan nitrogen gabungan: Bakteri aerobic (bakteri pembentuk
spora) dan akteri anaerobik.
D. Sifat-sifat Mikroorganisme Tanah
1. Bakteri Autotrof
Bakteri autotrof merupakan bakteri yang tidak berhijau daun yang membentuk zat
karbon, lemak dan protein tanpa memerlukan sinar matahari. Dalam hal pembentukan zat
karbohidrat misalnya, bakteri autotrof mampu memanfaatkan daya kemampuannya (jadi
tanpa memerlukan sinar matahari sebagai sumber energi) untuk mengoksidasikan
membakar zat anorganis, seperti: zat besi, zat belerang, zat nitrogen, zat hidrogen, zat
methan (CH4), zat karbonmonoksida (CO).
Bakteri autotrof dicirikan oleh sifat-sifat fisiologis tertentu yang sangat
membedakannya dari semua bakteri lainnya. Dasar-dasar yang original dalam dan bagi
perkembangan bakteria ini telah diletakkan oleh Winogradsky, yang bertahan hingga
sekarang dengan hanya sedikit modifikasi. Sifat-sifat khas dari organisme-organisme ini
dapat dikemukakan secara ringkas sebagai berikut:
a. Pertumbuhan dan perkembangannya dalam tanah menyukai sekali media mineral yang
elektif, yang bermuatan zat-zat anorganik yang secara khusus mampu mengoksidasi.
b. Eksistensi bakteri-bakteri autotropik ini dihubungkan dengan tersedianya unsur-unsur
anorganik atau senyawa-senyawa sederhana, yang melangsungkan oksidasi sebagai
suatu hasil dari kegiatan-kegiatan hidup organisma.
c. Oksidasi zat/bahan-bahan anorganik demikian menunjang energi sebagai sumber satu-
satunya bagi perkembangan organisma-organisma ini.
d. Bakteri-bakteri autotropik ini tidak memerlukan sesuatu nutrisi, bagi sintesa sel atau
sebagai sumber energy.
e. Bakteri-bakteri autotropik hampir dapat dikatakan tidak berkemampuan membusukkan
zat/bahan-bahan organik dan mengenai hal ini dapat diperiksa dalam
pengembangannya pada bahan campuran atau senyawa-senyawa tertentu.
f. Bakteri-bakteri autotropik menggunakan karbon dioksida sebagai suatu sumber karbon
yang eksklusif yang diasimilasi secara chemosintetis.
2. Aktinomisetes (Actinomycetes)
Aktinomisetes lazim pula di-Indonesiakan menjadi Aktinomisit. bentuk ini secara
taksonomi mempunyai suatu hubungan di antara bakteria genus Mycobacterium dan
Corynebacterium dan cendawan sejati (true fungi). Karakterisasinya pada bentukan dan
suatu miselium uniselluler, susunan hiphae, yang memperlihatkan benar-benar bercabang,
serupa dengan hal itu pada cendawan. Hyphaenya agak panjang dan umumnya dengan
diameter 0.5 0.8µ. Miselium nya berkembang dalam lapisan bawah atau pada permukaan
lapisan bawah, tumbuh menjulang ke udara bagaikan antena. Misselium tersebut memisah
dalam fragmen-fragmen yang pendek sehingga akan tampak bagaikan cabang/batang-
batang pada bakteri serta mirip benar bagaikan bakteria dalam sifat-sifat protoplasmanya.
3. Cendawan Tanah
Dari sekian banyak genus dan species cendawan (fungi) dalam tanah yang paling
umum (baik ditinjau dan jumlah speciesnya maupun dari frekuensi kejadian atau
peristiwanya) yaitu : Zigorhinchus, Mucor, Rhizopus, Penicillium, Aspergillus,
Trichoderma, Fusarium dan Clado sporium. Namun kalau diperhatikan dari sistem
penggolongannya, di dalam tanah terdapat 56 species cendawan yang termasuk 11 genus
dari Phicomisetes, 12 species temasuk 8 genus dari Askomisetes, 197 species temasuk 62
genus dari Cendawan Imperfekti, di luar dari itu masih banyak lagi yang terdapat di dalam
tanah atau di lingkungan di sekitar kita.
4. Ganggang (Algae)
Ganggang banyak tersebar luas di dalam tanah. Sungguhpun demikian, sebagaian
besar dari padanya yang dimunculkan pada lapisan permukaan tanah dan dalam
pertumbuhannya itu dikendalikan oleh kadar kelembaban, ganggang-ganggang ini dapat
diketemukan pula di bawah permukaan dan bahkan pada tanah-tanah yang agak kering.
Semenjak pertumbuhan dan perkembangannya bergantung pula pada pengaruh dari sinar
matahari, bentuk-bentuk yang ada di bawah lapisan tanah harus menempuh kehidupan
heterotrophic atau sebagian besar dari kehidupannya tetap berada di bawah lapisan tanah
dalam keadaan tidak aktif. Ganggang tanah terdiri dari :
a. Myxophyceae, yang berwarna biru kehijauan, beberapa dari speciesnya berkemapuan
memfiksasi nitrogen atmosferik.
b. Chlorophyceae, atau yang berwarna hijau rumput yang perkembangbiakannya melimpah
dalam bahan-bahan asam.
c. Bacillariaceae, yang meliputi diatom-diatom.
5. Protozoa
Protozoa yang merupakan sejenis binatang (organisma) yang uniselluler itu kegiatan
hidupnya dilakukan protoplasma sel tersebut, di dalam sel terdapat nukleus, beberapa
individu memiliki makronukleus dan mikronukleus, nukleolus, mitochondria dan vakuola.
Protozoa dapat bergerak dengan leluasa di dalam tanah dan air, hal mana sehubungan
dengan dimilikinya sejenis rambut yang diberi nama: Ciliata, Flagella, atau pseudopodia,
berdasarkan alat gerak tadi penggolongan Protozoa dibagi menjadi 4 golongan, yaitu :
golongan Rhizopoda atau Sarcodina, golongan Mastigophora atau Flagellata, golongan
Cilliata dan golongan Sporozoa.
6. Virus
Virus tanah bukan berasal dari tanah tetapi sering tersebar ke tanah melalui aktivitas
manusia, seperti penyebaran kotoran ternak. Kelangsungan hidup virus di tanah bervariasi
sesuai dengan kondisi lingkungan dan virus tertentu. Virus tanah dapat menginfeksi
sebagian besar bakteri, dan beberapa hewan serta tanaman.

B. Peranan Mikroba Tanah yang Menguntungkan


1. Siklus Biogeokimia
Siklus biogeokimia merupakan proses organisme siklus nutrisi mengubah unsur-
unsur dari satu bentuk ke bentuk lain melalui proses oksidasi dan reduksi. Siklus
biogeokimia secara umum terdiri dari beberapa siklus yaitu: siklus karbon, nitrogen, sulfur,
fosfor dan beberapa logam.
a. Siklus Karbon
Karbon merupakan bahan dasar penyusun senyawa organik. Di dalam organisme
hidup terdapat 18% karbon. Kemampuan saling mengikat pada atom-atom karbon (C)
merupakan dasar bagi keragaman molekul dan ukuran molekul yang sangat diperlukan
dalam kehidupan. Selain terdapat dalam bahan organik, karbon juga ditemukan
dalam senyawa anorganik, yaitu gas karbondioksida (CO2) dan batuan karbonat (batu kapur
dan koral) dalam bentuk calsium karbonat (CaCO3). Organisme autotrof (tumbuhan)
menangkap CO2 dan mengubahnya menjadi karbohidrat, protein, lipid, dan senyawa
organik lainnya. Bahan organik yang dihasilkan tumbuhan ini merupakan sumber karbon
bagi hewan dan konsumen lainnya. Pada setiap tingkatan trofik rantai makanan, karbon
kembali ke atmosfer atau air sebagai hasil pernapasan (respirasi). Produsen, herbivora, dan
karnivora selalu bernapas dan menghasilkan gas karbondioksida. Setiap tahun, tumbuhan
mengeluarkan sekitar sepertujuh dari keseluruhan CO2 yang terdapat di atmosfer. Meskipun
konsentarasi CO2 di atmosfer hanya sekitar 0,03%, namun karbon mengalami siklus yang
cepat, sebab tumbuhan mempunyai kebutuhan yang tinggi akan gas CO2.

Siklus karbon adalah gerakan unsur karbon melalui batuan bumi dan sedimen,
lingkungan air, lingkungan tanah, dan atmosfer. Sejumlah besar karbon organik dapat
ditemukan baik pada organisme hidup dan bahan organik mati (Daniswara, 2009). Siklus
karbon melibatkan seluruh lingkungan yang ada di alam semesta, meliputi atmosfer,
biosfer, hidrosfer dan geosfer. Karena itu, siklus karbon disebut sebagai siklus biogeokimia.
Pada setiap lingkungan dan antara lingkungan terjadi pertukaran karbon. Karbon berpindah
dari lingkungan atmosfer ke biosfer sebagai gas karbondioksida. Gas karbondioksida
digunakan tumbuhan untuk berfotosintesis. Karbon memasuki lingkungan atmosfer dari
lingkungan bisofer juga sebagai gas karbondioksida. Gas karbondioksida dilepaskan ke
atmosfer dari hasil pernafasan mahluk hidup, hasil pembusukan/fermentasi oleh
bakteri/jamur dan hasil pembakaran senyawa-senyawa organik. Selain petukaran karbon
dari lingkungan atmosfer ke biosfer atau sebaliknya, karbon dipertukarkan dalam
lingkungan bisofer melalui rantai makanan. Pertukaran karbon pun terjadi dari lingkungan
biosfer ke geosfer. Cangkang hewan-hewan lunak pada umumnya mengandung karbonat.
Karbonat kemudian diubah menjadi batu kapur melalui suatu proses yang disebut
sedimentasi. Sedangkan perpindahan karbon dari lingkungan geosfer ke lingkungan
atmosfer terjadi melalui hasil reaksi batu kapur dan erupsi gunung merapi (Prawirohartono,
2001).

Proses ini melibatkan fiksasi karbon dioksida (CO2) menjadi molekul organik, proses
yang disebut fotosintesis. Energi yang digunakan dalam proses ini disimpan dalam bentuk
kimia, seperti yang karbohidrat (gula seperti glukosa). Bahan organik akhirnya teroksidasi,
seperti yang terjadi ketika organisme fotosintesis mati. Melalui proses respirasi, karbon
dikembalikan ke atmosfer dalam bentuk karbon dioksida.
Gambar 3. Siklus Karbon

Gambar 4. Siklus Karbon Secara Sederhana


1) Fotosintesis
Organisme yang menggunakan karbon dioksida sebagai sumber karbon dikenal
sebagai autotrof. Banyak organisme ini juga menggunakan sinar matahari sebagai sumber
energi untuk mereduksi karbon dioksida; karenanya, mereka sering disebut sebagai
fotoautotrof. Proses fiksasi karbon dioksida dilakukan oleh fitoplankton di laut, dengan
tanaman darat (terutama pohon), dan dengan banyak mikroorganisme. Sebagian besar
proses ini dilakukan oleh tumbuhan darat.
Proses ini membutuhkan energi dari sinar matahari, yang disimpan dalam bentuk
energi kimia karbohidrat. Sementara kebanyakan tanaman menghasilkan oksigen dalam
proses-sumber oksigen di atmosfer. Beberapa bakteri yang ada di bumi dapat menghasilkan
produk selain oksigen. Organisme yang melakukan fiksasi karbon dioksida, menggunakan
fotosintesis untuk mensintesis karbohidrat, yang sering disebut sebagai produsen.
2) Respirasi
Respirasi merupakan kebalikan dari fotosintesis. Semua organisme yang
menggunakan oksigen, termasuk manusia, melaksanakan proses ini. Namun, terutama
dekomposisi humus oleh mikroorganisme yang mengembalikan sebagian besar karbon ke
atmosfer. Tergantung pada mikroorganisme tertentu, karbon dalam bentuk baik karbon
dioksida atau metana (CH4).
Energi yang dilepaskan oleh reaksi digunakan oleh organisme (yaitu, konsumen)
untuk melaksanakan proses metabolisme sendiri. CO2 di udara kemudian dimanfaatkan
oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Hasil akhir proses fotosintesis adalah senyawa
organik berupa oksigen dan glukosa. Oksigen yang dihasilkan kemudian digunakan oleh
manusia dan hewan untuk bernafas. Proses pernafasan manusia dan hewan menghasilkan
H2O dan CO2. CO2 tersebut kemudian dimanfaatkan oleh tumbuhan kembali dan begitu
seterusnya. Sedangkan glukosa hasil dari fotosintesis merupakan sumber energi bagi
tumbuhan untuk pertumbuhannya. Kemudian, senyawa organik dari tumbuhan ini
digunakan oleh organisme lainnya (manusia, hewan) melalui rantai makanan.
Beberapa macam bakteri yang tidak mempunyai klorofil dapat mengadakan asimilasi
C dengan menggunakan energi yang berasal dan reaksi-reaksi kimia, misalnya bakteri
sulfur, bakteri nitrat, bakteri nitrit, bakteri besi dan lain-lain. Bakteri-bakteri tersebut
memperoleh energi dari hasil oksidasi senyawa-senyawa tertentu. Bakteri besi memperoleh
energi kimia dengan cara oksidasi Fe2+ (ferro) menjadi Fe3+ (ferri). Bakteri Nitrosomonas
dan Nitrosococcus memperoleh energi dengan cara mengoksidasi NH3, tepatnya amonium
karbonat menjadi asam nitrit.
Sisa tanaman banyak mengandung banyak senyawa kimia yang larut dalam air seperti
gula dan asam amino, serta senyawa lainnya yang tidak larut seperti sellulosa, lignin, dan
hemisellulosa. Sisa tanaman bukan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
mikroba tanah karena didalammnya sangat kekurangan vitamin, asam amino dan zat
penumbuh, juga bentuk fisiknya sukar dihancurkan.
Selama proses pertama dekomposisi beberapa mikroba dapat tumbuh sehingga
bentuk fisik sisa tanaman tersebut lebih terbuka bagi mikroba lainnya. Lebih lama lagi oleh
hewan tanah permukaan bahan tersebut dihancurkan, hingga memepermudah mikroba
hidup dan berkembang di dalamnya. Proses yang kemudian timbul adalah humifikasi, yaitu
proses yang tidak berlangsung sempurna dari perombakan sisa-sisa tanaman sehingga
sebagian bahan organic masih tertinggal didalam tubuh tanah, membentuk benda amorf,
berwarna tua yang disebut humus.
Humus memang senyawa kimia yang tidak diketahui susunanya, tetapi berwarna
cokelat kuning hingga cokelat tua, mempunyai daya gabung besar dengan air. Dari
dalamnya selain akan menghasilkan CO2 juga menghasilkan senyawa lain seperti fosfat,
ammonia, nitrit, nitrat dan sebagainya.
Tarigan (1988) menyatakan bahwa hewan-hewan herbivor dapat memakan tumbuh-
tumbuhan untuk kelangsungan hidupnya. Baik tumbuhan maupun hewan-hewan melakukan
respirasi yang selain menghasilkan energi akan menghasilkan karbondioksida yang
dibebaskan ke atmosfir. Jasad-jasad hidup yang mati akan mengalami proses pembusukan
yang berlangsung karena adanya kegiatan mikroorganisme di dalam tanah. Senyawa-
senyawa organic yang terjadi dlaam tubuh hewan dan tumbuhan yang telah mati. Dapat di
reduksi oleh bakteri anaerob menjadi CH4 (metan) yang meruakan komponen gas alam
dapat juga dihasilkan oleh Methanobacterim, Methanococcus dan beberapa spesies dari
Clostridium.
Jika semua persedian CO2 di atmosfir atau yang terlarut di dalam air terus-menerus
diambil oleh pemakai CO2, maka kehidupan di bumi akan berakhir dalam beberapa
generasi. Tetapi CO2 secara berkesinambungan dioksidasi kembali dan bebas atmosfir.
Peristiwa yang dapat menghasilkan CO2 antara lain adalah pembakaran arang, bahan bakar,
oksidasi biologis, kegiatan gunung berapi, dan lain-lain. Aktivitas biologi tidak saja
mencakup fermentasi yang menghasilkan CO2, tetapi juga metabolism pada bakteria yang
dapat mengoksidasi metan sebagai sumber energi seperti Pseudomonas atau
Methanomonas methanica.
b. Siklus Sulfur
Sulfur terdapat dalam bentuk sulfat anorganik. Sulfur direduksi oleh bakteri menjadi
sulfida dan kadang-kadang terdapat dalam bentuk sulfur dioksida atau hidrogen sulfida.
Hidrogen sulfida ini seringkali mematikan mahluk hidup di perairan dan pada umumnya
dihasilkan dari penguraian bahan organik yang mati. Tumbuhan menyerap sulfur dalam
bentuk sulfat (SO4).
Perpindahan sulfat terjadi melalui proses rantai makanan, lalu semua mahluk hidup
mati dan akan diuraikan komponen organiknya oleh bakteri. Beberapa jenis bakteri terlibat
dalam daur sulfur, antara lain Desulfomaculum dan Desulfibrio yang akan mereduksi sulfat
menjadi sulfida dalam bentuk hidrogen sulfida (H2S). Kemudian H2S digunakan bakteri
fotoautotrof anaerob seperti Chromatium dan melepaskan sulfur dan oksigen. Sulfur di
oksidasi menjadi sulfat oleh bakteri kemolitotrof seperti Thiobacillus.
Belerang tersedia di dalam jumlah yang banyak berbentuk sulfat (batu-batuan) atau
gas SO2 di udara. Tumbuh-tumbuhan dan mikroba dapat lansung mengasimilasikan
senyawa sulfat dan mereduksinya menjadi senyawa-senyawa lain. Organik sulfur dari
tanaman akan dikembalikan lagi ke dalam tanah melalui senyawa protein dengan
menghasilkan H2S di dalam proses dekomposisi bakteri. Kemudian H2S akan dioksidasi
oleh bakteri-S misalnya Thiobacillus berbentuk sulfat. Dalam keadaan anaerobic, maka
bakteri pereduksi sulfat (misal Spirillum) mereduksi senyawa sulfat menjadi H2S kembali,
yang terjadi di dalam tanah atau kawasan yang tergenang air. Siklus sulfur yang terjadi
secara alami dimana-mana, terutama dalam tanah dan pada daerah tergenang air,
merupakan proses berantai yang melibatkan banyak jenis bakteri .
Tarigan (1988) menyatakan proses siklus sulfur adalah sebagai berikut :
a. Reduksi Sulfat
Dalam suasana anaerob, sulfat merupakan suatu akseptor electron pada respirasi
anaerob yang akan mengalami reduksi menjadi hydrogen sulfide, yang merupakan produk
yang bersifat racun. Pengubahan ini disebabkan oleh sekelompok bakteria yang dinamakan
“bakteria pereduksi sulfat” contoh: genus Desulfuvibrio. Bila sebidang tanah digenangi
oleh air dan suasananya anaerob, maka reduksi sulfat akan terjadi. Hydrogen sulfida yang
bersifat racun dapat menumpuk dan menyebabkan matinya tumbuhan dan hewan. Reduksi
sulfat dan hasil produksi hydrogen sulfide dapat juga menyebabkan terjadinya karat pada
pipa-pipa besi dan logam yang terbenam didalam tanah karena hydrogen sulfide merusak
logam sehingga pipa-pipa bocor.
b. Sulfur dan Oksidasi Sulfur
Oksidasi unsur sulfur menjadi sulfat disebabkan karena pengaruh kegiatan yang
dilakukan oleh mikroorganisme. Apabila unsur sulfat mengalami oksidasi maka akan
dihasilkan asam sulfat (H2SO4) yang akan mengurangi pH tanah. Inilah yang menyebabkan
mengapa orang memberi unsur sulfur kepada tanah-tanah yang bersifat terlalu basa untuk
pertumbuhan normal tumbuh-tumbuhan. Unsur sulfat merupakan bentuk umum dari pupuk
belerang, akan tetapi tidak dipakai secara langsung oleh tumbuhan. Setelah terjadi
pengubahan yang dilakukan oleh mikroorganisme maka sulfur itu dapat berguna bagi
tumbuhan. Bakteria belerang merupakan bakteri litotrof, dengan contoh genus Thiobasillus
yang banyak terdapat di tanah.
Transformasi lain dari sulfur adah oksidasi sulfide menjadi asam belerang (sulfuric
acid) biasanya bersifat “merugikan” karena dapat menambah keasaman dalam tanah dan
air. Sulfida bias dijumpau pada tanah dataran-dataran rendah sepanjang daerah pantai,
terutama didaerah bumi yang berhawa panas. Selama tanah digenangi air, tanah tersebut
berada dalam suasana anaerob sehungga sulfide tetap mengalami reduksi. Apabilah tanah
tersebut dikeringkan untuk pembuatan tanah pertanian, maka suasana anaerob dapat
mempercepat oksidasi sulfide dan pembentukan asam belerang yang berlebihan penyebab
tanah turun terlalu rendah sheingga memperngaruhi pertumbuhan tumbuhan.
Gambar 5. Siklus Sulfur

c. Siklus Nitrogen
Nitrogen adalah unsur nutrisi penting yang dibutuhkan oleh organisme. Semua
organisme membutuhkan nitrogen untuk sintesis protrin, asam mukleat dan senyawa yang
mengandung nitrogen lainnya. Atmosfer mengandung sekitar 80% gas nitrogen (N2)
merupakan jumlah yang cukup tinggi, tetapi kebanyakan hewan dan tumbuhan tidak dapat
rnengkonsumsi N2 dalam bentuk gas. Tumbuhan dapat menyerap nitrogen dalam bentuk
NH4+ dan NO3-. Organisme memperoleh nitrogen dari organisme lain atau dari senyawa
nitrogen anorganik terlarut (nitrat dan amonia) yang ditemukan dalam jumlah terbatas di
tanah dan air.

Gambar 6. Siklus Nitrogen (Presscot)


Proses yang terjadi pada siklus nitrogen meliputi fiksasi, amonifikasi, nitrifikasi dan
denitrifikasi. Keempat proses tersebut (Gambar 11) diuraikan lebih rinci sebagai berikut.
1) Fiksasi nitrogen
Fiksasi nitrogen merupakan suatu proses reduksi gas nitrogen (N2) menjadi amonia
(NH3) yang dikatalisis oleh enzim nitrogenase. Dua kelompok mikroba yang terlibat dalam
proses ini ialah:
a) Mikroba nonsimbiotik,
Mikroba nonsimbiotik yaitu mikroba yang hidup bebas dan mandiri di dalam tanah.
Contoh mikroba nonsimbiotik tanah Clostridium pasteurianum dan Azotobacter.
Berdasarkan iklim dan kondisi tanah, jumlah nitrogen yang ditambat melalui proses
simbiotik dapat menjadi 56kg/ha per tahun (Pelczar, 2008)
b) Mikroba simbiotik,
Mikroba simbiotik yaitu mikroogranisme yang bersimbiosis atau hidup pada akar
kacang-kacangan (legum). Contoh: Rhizobium sp. Bakteri tersebut menginfeksi sistem
perakaran sehingga membentuk “benang infeksi” pada rambut-rambut akar tertentu.
Selanjutnya Bakteri masuk ke dalam sel-sel tanaman inang melalui benang terinfeksi
tersebut. Beberapa sel tanaman ini menjadi terinfeksi diikuti dengan pembesaran sel
serta meningkatnya laju pembelahan sel. Hal ini akan menghasilakan nodul pada sistem
perakaran (Gambar 4) (Pelczar, 2008).
2) Amonifikasi
Bakteri di tanah akan menguraikan limbah dan organisme mati serta menyatukan
protein menjadi asam amino penyusunnya, yang kemudian mengalami deaminasi
(penghapusan gugus amino). Gugus amino kemudian dikonversi menjadi amonia (NH3),
suatu proses yang disebut amonifikasi. Pada tanah kering atau basa, NH3 lolos sebagai gas
ke atmosfer, tetapi di tanah lembab NH3 dikonversi menjadi ion amonium (NH4+) yang
dapat diserap atau dioksidasi ke bentuk lain.
3) Nitrifikasi
Dalam nitrifikasi, NH4+ dioksidasi menjadi nitrat (NO3-) melalui dua proses yang
membutuhkan dua genera spesifik dari bakteri autotrofik yaitu Nitrosomonas spp. dan
Nitrobacter sp.. Nitrosomonas spp. mengkoonversi NH4+ menjadi nitrit (NO2-), yang
beracun bagi tanaman. Tetapi nitrosomonas spp. biasanya ditemukan berasosiasi dengan
spesies Nitrobacter sp. yang dengan cepat dapat mengubah nitrit menjadi nitrat (NO3-),
yang larut dan dapat digunakan oleh tanaman. Sifat larut nitrat, berarti ia dapat larut dari
tanah dengan air untuk menumpuk di air tanah, danau dan sungai. Jika dikonversi kembali
menjadi nitrit, dapat menjadi racun bagi tanaman. Hilangnya NO3- dari tanah juga
mengurangi kesuburan tanah.
4) Denitrifikasi
Denitrifikasi merupakan proses oksidasi nitrat (NO3-) menjadi gas nitrogen (N2) oleh
organisme tanah yang tergenang air (bakteri anaerob) melalui respirasi anaerob. Beberapa
bakteri yang dapat berperan dalam proses denitrifikasi ini adalah Pseudomonas sp.,
Bacillus lichenensis, dan Paracoccus sp.. Selanjutnya N2 yang dihasilkan dari proses
denitrifikasi dilepaskan ke atmosfer.
Tabel 2. Jenis mikroorganisme, proses dan senyawa yang terlibat dalam siklus nitrogen

d. Siklus Fosfor
Siklus fosfor tidak sama seperti nitrogen dan sulfur. Fosfor mengalami sedikit
perubahan dalam keadaan oksidasi di lingkungan, biasanya fosfor ada di lingkungan dan
dimanfaatkan oleh organisme sebagai ion fosfat (PO43-). Siklus fosfor melibatkan
pergerakan fosfor dari bentuk tidak larut ke bentuk yang larut. Tujuannya untuk diambil
oleh organisme dan konversi bentuk fosfor organik menjadi bentuk anorganik melalui
proses yang bergantung pada pH.
Fosfat terlarut tidak ada yang hilang dari atmosfer, tetapi terakumulasi dalam air,
(terutama lautan) dan bentuk-bentuk organik fosfor diendapkan di permukaan tanah setelah
dekomposisi hewan dan tanaman mati. Keaadaan fosfor yang berlimpah dapat menjadi
masalah di lingkungan; misalnya, pupuk pertanian yang kaya akan fosfat dan nitrogen
mudah terlindas dari ladang sehingga hasil tersebut selanjutnya akan mengalir ke sungai
dan danau yang dapat menyebabkan eutrofikasi dan pertumbuhan berlebih
mikroorganisme (terutama ganggang dan cyanobacteria) di perairan yang kaya nutrisi.

Gambar 7. Siklus Posfor


2. Bioremediasi
Bioremediasi adalah proses degradasi biologis dari sampah organik pada kondisi
terkontrol menjadi suatu bahan yang tidak berbahaya atau konsentrasinya di bawah batas
yang ditentukan oleh lembaga berwenang. Sedangkan menurut United States
Environmental Protection Agency (dalam Surtikanti, 2011:143), bioremediasi adalah suatu
proses alami untuk membersihkan bahan-bahan kimia berbahaya. Ketika mikroba
mendegradasi bahan berbahaya tersebut,akan dihasilkan air dan gas tidak berbahaya seperti
CO2.
Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan
dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran dan cukup
menarik. Selain hemat biaya, dapat juga dilakukan secara in situ langsung di tempat dan
prosesnya alamiah (Hardiani, dkk. 2011:32). Laju degradasi mikroba terhadap logam berat
tergantung pada beberapa faktor, yaitu aktivitas mikroba, nutrisi, derajat keasaman dan
faktor lingkungan (Hardiani, dkk., 2011:32). Teknologi bioremediasi ada dua jenis, yaitu
ex-situ dan in situ. Ex-situ adalah pengelolaan yang meliputi pemindahan secara fisik
bahan-bahan yang terkontaminasi ke suatu lokasi untuk penanganan lebih lanjut (Vidali
dalam Hardiani, dkk., 2011:32 ). Penggunaan bioreaktor, pengolahan lahan
(landfarming), pengkomposan dan beberapa bentuk perlakuan fase padat lainnya adalah
contoh dari teknologi ex-situ, sedangkan teknologi in situ adalah perlakuan yang langsung
diterapkan pada bahan-bahan kontaminan di lokasi tercemar (Vidali dalam Hardiani, dkk.,
2011:32)
Berdasarkan agen proses biologis serta pelaksanaan rekayasa, bioremediasi dapat
dibagi menjadi dalam Empat kelompok, yaitu:
a. Fitoremediasi;
b. Bioremediasi in situ
c. Bioremediasi ex situ
d. Bioagumentasi
Fitoremediasi merupakan proses teknologi yang menggunakan tumbuhan untuk
memulihkan tanah yang tercemar oleh bahan polutan secara in situ (Surtikanti, 2011:144).
Teknologi ini dapat ditunjang dengan peningkatan perbaikan media tumbuh dan
ketersediaan mikroba tanah untuk meningkatkan efesiensi dalam proses degradasi bahan
polutan. Proses fitoremediasi bermula dari akar tumbuhan yang menyerap bahan polutan
yang terkandung dalam air. Kemudian melalui proses transportasi tumbuhan, air yang
mengandung bahan polutan dialirkan keseluruh tubuh tumbuhan, sehingga air yang menjadi
bersih dari polutan. Tumbuhan ini dapat berperan langsung atau tidak langsung dalam
proses remediasi lingkungan yang tercemar. Tumbuhan yang tumbuh di lokasi yang
tercemar belum tentu berperan aktif dalam penyisihan kontaminan, kemungkinan tumbuhan
tersebut berperan secara tidak langsung. Agen yang berperan aktif dalam biodegradasi
polutan adalah mikroorganisme tertentu, sedangkan tumbuhan dapat berperan memberikan
fasilitas penyediaan akar tumbuhan sebagai media pertumbuhan mikroba tanah sehingga
pertumbuhan lebih cepat berkembang biak (Surtikanti dan Surakusumah, 2011:145).
Ada beberapa kriteria tumbuhan yang dapat digunakan dalam proses fitoremdiasi,
(Youngman dalam Surtikanti, 2011:145), yaitu harus: memiliki kecepatan tumbuh yang
tinggi; hidup pada habitat yang kosmopolitan; mampu mengkonsumsi air dalam jumlah
banyak dan dalam waktu yang singkat; mampu meremediasi lebih dari satu jenis polutan;
mempunyai toleransi tinggi terhadap polutan; dan mudah dipelihara. Contoh tumbuhan
yang dapat digunakan untuk dalam bioremediasi polutan adalah: Salix sp, rumput-rumputan
(Bermuda grass, sorgum), legum (semanggi, alfalfa), berbagai tumbuhan air dan
hiperakumulator untuk logam (bunga matahari, Thlaspi sp).
Dalam proses remediasi, tumbuhan dapat bersifat aktif maupun pasif dalam
mendegradasi bahan polutan. Secara aktif tumbuhan memiliki kemampuan yang berbeda
dalam fitoremediasi. Ada yang melakukan proses transformasi, fitoekstraksi (pengambilan
dan pemulihan dari kontaminan pada biomassa bawah tanah), fitovolatilisasi,
fitodegrradasi, fitostabilisasi (menstabilkan daerah limbah dengan kontrol penyisihan dan
evapotrannspirasi), dan rhizofiltrasi (menyaring logam berat ke sistem akar) (Kelly dalam
Surtikanti, 2011:145). Keenam proses ini dibedakan berdasarkan proses fisik dan biologis.
Sedangkan secara pasif tumbuhan melakukan biofilter, transfer oksigen, menghasilkan
karbon, dan menciptakan kondisi lingkungan (habitat) bagi pertumbuhan mikroba.

Gambar 2.1 Fitoremediasi


a. Fitotransformasi adalah pengambilan kontaminan bahan organik dan nutrien dari
tanah atau air tanah yang kemudian dtransformasikan oleh tumbuhan. Proses
trannsformasi poluttan dalam tumbuhan dapat berubah menjadi nontoksik atau
menjadi lebih toksik. Metabolit hasil transformasi tersebut terakumulasi dalam
tubuh tumbuhan.
b. Fitoekstraksi merupakan penyerapan polutan oleh tanaman air atau tanah dan
kemudian diakumulasi atau disimpan dalam bagian suatu tumbuhan (daun atau
batang). Tanaman tersebut dinamakan hiperakumulator. Setelah polutan
terakumulasi, tumbuhan dapat dipanen dan tumbuhan tersebut tidak boleh
dikonsumsi tetapi harus dimusnahkan dengan insinerator atau ditimbun dalam
landfill.
c. Fitovolatillisasi merupakan proses penyerapan polutan oleh tumbuhan, kemudian
polutan tersebut diubah menjadi bersifat volatile (mudah menguap), setelah itu
ditranspirasikan oleh tumbuhan. Polutan yang dilepaskan oleh tumbuhan keudara
dapat memiliki bentuk senyawa awal polutan, atau dapat juga menjadi senyawa
yang berbeda dari senyawa awal.
d. Fitodegradasi adalah proses penyerapan polutan oleh tumbuhan dan kemudian
polutan tersebut mengalami metabolisme di dalam tumbuhan. Metabolisme polutan
di dalam tumbuhan melibatkan enzim antara lain nitrodictase, laccase,
dehalogenase, dan nitrillase.
e. Fitostabilisasi merupakan proses yang dilakukan oleh tumbuhan untuk
mentransformasikan polutan di dalam tanah menjadi senyawa nontoksik tanpa
menyerap terlebih dahulu polutan tersebut ke dalam tubuh tumbuhan. Hasil
transformasi dari polutan tersebut tetap berada di dalam tanah. Fitostabilisasi dapat
diartikan sebagai penyimpanan tanah dan sedimen yang terkontaminasi dengan
menggunakan vegetasi, dan immobilisasi kontaminan beracun polutan.
Fitostabilisasi biasanya digunakan untuk kontaminan logam pada daerah berlimbah
yang mengandung suatu kontaminan.
f. Sedangkan rhizofiltrasi adalah proses penyerapan polutan oleh tanaman tetapi
biasanya konsep dasar ini berlaku apabila medium yang tercemarnya adalah badan
perairan (Surtikanti, 2011:146-148).
Tumbuhan dapat berperan dalam mempercepat proses remediasi pada lokasi yang
tercemar. Hal ini dapat menjadi dalam berbagai cara, antara lain:
1. Sebagai solar driven-pump dan treat system, yaitu: proses penarikan polutan ke daerah
rhizosfer dengan bantuan sinar matahari.
2. Sebagai biofilter, yaitu: tumbuhan yang dapat mengadsorbsi dan membiodegradasi
kontaminan yang berbeda di udara, air, dan daerah buffer. Proses adsorbsi ini bersifat
menyaring kontaminan.
3. Transfer oksigen dan menurunkan water table. Tumbuhan dengan sistem perakaran
dapat berfungsi sebagai transfer oksigen bagi mikroorganisme dan dapat menurunkan
water table sehingga difusi gas dapat terjadi. Fungsi ini biasanya dilakukan oleh tanaman
apabila kontaminannya bersifat biodegradable.
4. Penghasil sumber karbon dan energi. Tumbuhan dapat berperan sebagai sumber
penghasil karbon dan energi alternatif yaitu dengan cara mengeluarkan eksudat atau
metabolisme oleh akar tumbuhan. Eksudat tersebut dapat digunakan oleh mikroorganisme
tanah sebagai sumber karbon dan alternatif sebelum mikroorganisme tersebut
menggunakan polutan sebagai sumber karbon dan energi.
Surtikanti (2011:148-149), mendeskripsikan jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam
berbagai aplikasi fitoremediasi sebagai berikut:
Tabel. Jenis-jenis tanaman untuk aplikasi fitoremediasi
No Aplikasi Media Kontaminan Jenis
Tanaman
1 Fitoremediasi Tanah, air a. Herbisida Alfalfa,
tanah, b.Aromatik poplar,
landfill (BTEX) willow, aspen,
leachate, air c.Chlorinate gandum
limbah alphatics (TCE)
d.Nutrien
(NO3-, NH4+,
PO43-)
e.Limbah
amunisi (TNT,
RDX)
2 Bioremediasi Tanah, a.Kontaminan Murberry,
rhizosfer sedimen, air organik apel,
limbah pestisida tumbuhan air
b. PAH
3 Fitostabilisasi Tanah a. Logam (Pb, Tanaman
sedimen Cd, Zn, As, Cu, yang memiliki
Cr, Se, U) sistem akar
b. Hydrophobik yang padat.
organik (PAHs, Rumput yang
dioxin, lurans, memiliki serat
pentachlorofen akar yang
ol, DDT, banyak.
dieldrin) Tanaman
yang dapat
melakukan
trenspirasi air
yang lebih
banyak.
4 Fitoekstraksi Tanah, a. Logam metal Bunga
sedimen, (Pb,Cd, Zn, Ni, matahari,
brownfields dan Cu) dandellon,
mustard
5 Rhizofiltrasi Air tanah, a. Logam metal Tanaman air
dan air (Pb,Cd, Zn, Ni,
limbah di dan Cu)
danau atau b.Radioaktif
air sumur (Cs, Sr, dan U)
buatan c.Senyawa
organik
hidrofobik

Merupakan metode dimana mikroorganisme diaplikasikan langsung pada tanah atau


air dengan kerusakan yang minimal. Bioremediasi (in situ bioremidiation) juga terbagi atas:
a. Biostimulasi/Bioventing: dengan penambahan nutrient (N, P) dan aseptor elektron (O2)
pada lingkungan pertumbuhan mikroorganisme untuk menstimulasi pertumbuhannya.
b. Bioaugmentasi: dengan menambahkan organisme dari luar (exogenus microorganism)
pada subpermukaan yang dapat mendegradasi kontaminan spesifik.
c. Sumur Ekstraksi : Untuk mengeluarkan air tanah yang kemudian ditambah nutrisi dan
oksigen dan dimasukkan kembali ke dalam tanah melalui sumur injeksi.

d. Air sparging: dengan menambahkan injeksi udara dibawah tekanan ke dalam air
sehingga dapat meningkatkan konsentrasi oksigen dan kecepatan degradasi.
Sementara bioremediasi ex situ dikenal sebagai metode dimana mikroorganisme
diaplikasikan pada tanah atau air terkontaminasi yang telah dipindahkan dari tempat
asalnya. Teknik ex situ terdiri atas:
a. Landfarming: teknik dimana tanah yang terkontaminasi digali dan dipindahkan pada
lahan khusus yang secara periodik diamati sampai polutan terdegradasi.

b. Composting: teknik yang melakukan kombinasi antara tanah terkontaminasi dengan


tanah yang mengandung pupuk atau senyawa organik yang dapat meningkatkan populasi
mikroorganisme.

c. Biopiles: merupakan tanah tercemar tidak dipindahkan namun diangkat ke permukaan,


ditumpuk, dan diberi perlakuan penambahan air, udara, dan nutrien.
d. Bioreactor: dengan menngunakan aquaeous reaktor pada tanah atau air yang
terkontaminasi.

a. Jenis-jenis Mikroorganisme yang berperan dalam bioremediasi


Bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi masalah
lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang
dimaksud adalah khamir, fungi (mycoremediasi), yeast, alga dan bakteri. Mikroorganisme
akan mendegradasi zat pencemar atau polutan menjadi bahan yang kurang beracun atau
tidak beracun. Polutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu bahan pencemar organik dan
sintetik (buatan).
Berikut ini merupakan beberapa jenis-jenis mikroorganisme yang berperan dalam
mendegradasi polutan minyak bumi dan logam berat menjadi bahan yang tidak beracun.
1) Pencemaran minyak bumi
Bahan utama yang terkandung di dalam minyak bumi adalah hidrokarbon alifatik dan
aromatik. Di dalam minyak bumi terdapat dua macam komponen yang dibagi berdasarkan
kemampuan mikroorganisme menguraikannya, yaitu komponen minyak bumi yang mudah
diuraikan oleh mikroorganisme dan komponen yang sulit didegradasi oleh mikroorganisme.
Beberapa bakteri dan fungi diketahui dapat digunakan untuk mendegradasi minyak
bumi. Beberapa contoh bakteri yang selanjutnya disebut bakteri hidrokarbonuklastik yaitu
bakteri yang dapat menguraikan komponen minyak bumi karena kemampuannya
mengoksidasi hidrokarbon dan menjadikan hidrokarbon sebagai donor elektronnya.
Adapun contoh dari bakteri hidrokarbonuklastik yaitu bakteri dari genus Achromobacter,
Arthrobacter, Acinetobacter, Actinomyces, Aeromonas, Brevibacterium, Flavobacterium,
Moraxella, Klebsiella, Xanthomyces dan Pseudomonas, Bacillus. Beberapa contoh fungi
yang digunakan dalam biodegradasi minyak bumi adalah fungi dari genus Phanerochaete,
Cunninghamella, Penicillium, Candida, Sporobolomyce, Cladosporium, Debaromyces,
Fusarium, Hansenula, Rhodosporidium, Rhodoturula, Torulopsis, Trichoderma,
Trichosporon. Sejumlah bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter
calcoaceticus, Arthrobacter sp., Streptomyces viridans dan lain-lain menghasilkan senyawa
biosurfaktan atau bioemulsi.
Kemampuan bakteri dalam memproduksi biosurfaktan berkaitan dengan keberadaan
enzim regulatori yang berperan dalam sintesis biosurfaktan. Biosurfaktan merupakan
komponen mikroorganisme yang terdiri atas molekul hidrofobik dan hidrofilik, yang
mampu mengikat molekul hidrokarbon tidak larut air dan mampu menurunkan tegangan
permukaan. Selain itu biosurfaktan secara ekstraseluler menyebabkan emulsifikasi
hidrokarbon sehingga mudah untuk didegradasi oleh bakteri. Biosurfaktan meningkatkan
ketersediaan substrat yang tidak larut melalui beberapa mekanisme.
Berikut ini merupakan jenis-jenis bakteri pendegradasi hidrokarbon pada minyak
bumi yaitu:
a) Pseudomonas sp.
Kebanyakan spesies ini tidak bisa hidup pada kondisi asam pada pH 4,5 dan tidak
memerlukan bahan-bahan organik. Bersifat oksidasi negatif atau positif, katalase positif dan
kemoorganotropik. Dapat menggunakan H2 dan CO sebagai sumber energi. Bakteri
Pseudomonas yang umum digunakan sebagai pendegradasi hidrokarbon, antara lain
Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas stutzeri, dan Pseudomonas diminuta.

Gambar 8. Bakteri Pseudomonas aeruginosa


Salah satu faktor yang sering membatasi kemampuan bakteri Pseudomonas dalam
mendegradasi senyawa hidrokarbon adalah sifat kelarutannya yang rendah, sehingga sulit
mencapai sel bakteri. Adapun mekanisme degradasi hidrokarbon di dalam sel bakteri
Pseudomonas yaitu:
(1) Mekanisme degradasi hidrokarbon alifatik.
Pseudomonas menggunakan hidrokarbon untuk pertumbuhannya. Penggunaan
hidrokarbon alifatik jenuh merupakan proses aerobik (menggunakan oksigen). Tanpa
adanya O2, hidrokarbon ini tidak didegradasi. Langkah pendegradasian hidrokarbon
alifatik jenuh oleh Pseudomonas meliputi oksidasi molekuler (O2) sebagai sumber
reaktan dan penggabungan satu atom oksigen ke dalam hidrokarbon teroksidasi.
(2) Mekanisme degradasi hidrokarbon aromatik.
Banyak senyawa ini digunakan sebagai donor elektron secara aerobik oleh bakteri
Pseudomonas. Degradasi senyawa hidrokarbon aromatik disandikan dalam plasmid
atau kromosom oleh gen xy/E. Gen ini berperan dalam produksi enzim katekol 2,3-
dioksigenase. Metabolisme senyawa ini oleh bakteri diawali dengan pembentukan
Protocatechuate atau catechol atau senyawa yang secara struktur berhubungan dengan
senyawa ini. Kedua senyawa ini selanjutnya didegradasi oleh enzim katekol 2,3-
dioksigenase menjadi senyawa yang dapat masuk ke dalam siklus Krebs (siklus asam
sitrat), yaitu suksinat, asetil KoA, dan piruvat.
b) Arthrobacter sp
Pada kultur yang masih muda Arthrobacter berbentuk batang yang tidak teratur 0,8
– 1,2 x 1 – 8 mikrometer. Pada proses pertumbuhan batang segmentasinya berbentuk
cocus kecil dengan diameter 0,6 – 1 mikrometer. Gram positif, tidak berspora, tidak
suka asam, aerobik, kemoorganotropik. Memproduksi sedikit atau tidak sama sekali
asam dan gas yang berasal dari glukosa atau karbohidrat lainnya. Katalase positif,
temperatur optimum 25 – 30oC.

Gambar 9. Arthrobacter sp.


c) Acinetobacter sp.
Bakteri ini memiliki kemampuan untuk menggunakan rantai hidrokarbon sebagai
sumber nutrisi, sehingga mampu meremidiasi tanah yang tercemar oleh minyak. Bakteri
ini bisa menggunakan amonium dan garam nitrit sebagai sumber nitrogen, akan tetapi
tidak memiliki pengaruh yang signifikan. D-glukosa adalah satu-satunya golongan
heksosa yang bisa digunakan oleh bakteri ini, sedangkan pentosa D-ribosa, D-silosa, dan
L-arabinosa juga bisa digunakan sebagai sumber karbon oleh beberapa strain
Gambar 10. Acinetobacter sp
d) Bacillus sp.
Bakteri ini mempunyai kemampuan dalam mendegradasi minyak bumi, dimana
bakteri ini menggunakan minyak bumi sebagai satu-satunya sumber karbon untuk
menghasilkan energi dan pertumbuhannya. Pada konsentrasi yang rendah, bakteri ini dapat
merombak hidrokarbon minyak bumi dengan cepat. Jenis Bacillus sp. yang umumnya
digunakan seperti Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Bacillus laterospor.

Gambar 11. Bacillus cereus

Selain dari golongan bakteri, mikroba pendegradasi hidrokarbon juga dapat dilakukan
oleh fungi. Fungi pendegradasi hidrokarbon umumnya berasal dari genus Phanerochaete,
Cunninghamella, Penicillium, Candida, Sporobolomyces, Cladosporium. Jamur dari genus
ini mendegradasi hidrokarbon polisiklik aromatik. Jamur Phanerochaete chrysosporium
mampu mendegradasi berbagai senyawa hidrofobik pencemar tanah yang persisten.
Adapun oksidasi dan pelarutan hidrokarbon polisiklik aromatik oleh Phanerochaete
chrysosporium menggunakan enzim lignin peroksidase. Bila terdapat H2O2, enzim lignin
peroksidase yang dihasilkan akan menarik satu elektron dari PAH yang selanjutnya
membentuk senyawa kuinon yang merupakan hasil metabolisme. Cincin benzena yang
sudah terlepas dari PAH selanjutnya dioksidasi menjadi molekul-molekul lain dan
digunakan oleh sel mikroba sebagai sumber energi misalnya CO2.
Jamur dari golongan Deuteromycota (Aspergillus niger, Penicillium glabrum, P.
janthinellum, Zygomycetes (Cunninghamella elegans), Basidiomycetes (Crinipellis
stipitaria) diketahui juga dapat mendegradasi hidrokarbon polisiklik aromatik. Sistem
enzim monooksigenase Sitokrom P-450 pada jamur ini memiliki kemiripan dengan sistem
yang dimiliki mamalia. Adapun langkah-langkahnya yaitu pembentukan monofenol,
difenol, dihidrodiol dan quinon dan terbentuk gugus tambahan yang larut air (misalnya
sulfat, glukuronida, ksilosida, glukosida). Senyawa ini merupakan hasil detoksikasi pada
jamur dan mamalia.
(3) Pencemaran Logam Berat
Persoalan spesifik logam berat di lingkungan terutama akumulasinya sampai pada
rantai makanan dan keberadaannya di alam menyebabkan keracunan terhadap tanah, udara
maupun air. Bahan pencemar senyawa anorganik/mineral misalnya logam-logam berat
seperti merkuri (Hg), kadmium (Cd), Timah hitam (pb), tembaga (Cu), timbal (Pb), dan
garam-garam anorganik. Bahan pencemar berupa logam-logam berat yang masuk ke dalam
tubuh biasanya melalui makanan dan dapat tertimbun dalam organ-organ tubuh. Mikroba
memerlukan logam sebagai fungsi struktural dan katalis serta sebagai donor atau reseptor
elektron dalam metabolisme energi. Kemampuan interaksi mikroba terhadap logam antara
lain :
a) Mengikat ion logam yang ada dilingkungan eksternal pada permukaan sel serta
membawanya ke dalam sel untuk berbagai fungsi sel. Contohnya bakteri Thiobaccilus
sp. Mampu menggunakan Fe dalam aktivasi enzim format dehidrogenase pada
sitokrom.
b) Menggunakan logam sebagai donor atau akseptor elektron dalam metabolisme energi.
c) Mengikat logam sebagai kation pada permukaan sel yang bermuatan negatif dalam
proses yang disebut biosorpsi.
Mikroba mengurangi bahaya pencemaran logam berat dapat dilakukan dengan cara
detoksifikasi, biohidrometakurgi, bioleaching, dan bioakumulasi.
a) Detoksifikasi (biosorpsi)
Pada prinsipnya mengubah ion logam berat yang bersifat toksik menjadi senyawa yang
bersifat tidak toksik. Proses ini umumnya berlangsung dalam kondisi anaerob dan
memanfaatkan senyawa kimia sebagai akseptor elektron.
b) Biohidrometalurgi
Pada prinsipnya mengubah ion logam yang terikat pada suatu senyawa yang tidak
dapat larut dalam air menjadi senyawa yang dapat larut dalam air.
c) Bioleaching
Merupakan aktivitas mikroba untuk melarutkan logam berat dari senyawa yang
mengikatnya dalam bentuk ion bebas. Biasanya mikroba menghasilkan asam dan
senyawa pelarut untuk membebaskan ion logam dari senyawa pengikatnya. Proses ini
biasanya langsung diikuti dengan akumulasi ion logam.
d) Bioakumulasi
Merupakan interaksi mikroba dan ion-ion logam yang berhubungan dengan lintasan
metabolisme.Interaksi mikroba dengan logam di alam adalah imobilisasi logam dari
fase larut menjadi tidak atau sedikit larut sehingga mudah dipisahkan. Adapun contoh
mikroba pendegradasi logam yaitu :
(1) Enterobacter cloacae dan Pseudomonas fluorescens, mampu mengubah Cr (VI)
menjadi Cr (III) dengan bantuan senyawa-senyawa hasil metabolisme, misalnya
hidrogen sulfida, asam askorbat, glutathion, sistein, dll.
(2) Desulfovibrio sp. membentuk senyawa sulfida dengan memanfaatkan hidrogen
sulfida yang dibebaskan untuk mengatasi pencemaran logam Cu.
(3) Desulfuromonas acetoxidans merupakan bakteri anerobik laut yang menggunakan
sulfur dan besi sebagai penerima elektron untuk mengoksidasi molekul organik
dalam endapan yang bisa menghasilkan energi.
(4) Bakteri pereduksi sulfat contohnya Desulfotomaculum sp. Dalam melakukan
reduksi sulfat, bakteri ini menggunakan sulfat sebagai sumber energi yaitu sebagai
akseptor elektron dan menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon.
Karbon tersebut selain berperan sebagai sumber donor elektron dalam
metabolismenya juga merupakan bahan penyusun selnya. Adapun reaksi reduksi
sulfat oleh bakteri ini adalah sebagai berikut.
(5) Bakteri belerang, khususnya Thiobacillus ferroxidans banyak berperan pada
logam-logam dalam bentuk senyawa sulfida untuk menghasilkan senyawa sulfat.
(6) Mikroalga contohnya Spirulina sp., merupakan salah satu jenis alga dengan sel
tunggal yang termasuk dalam kelas Cyanophyceae. Sel Spirulina sp. berbentuk
silindris, memiliki dinding sel tipis. Alga ini mempunyai kemampuan yang tinggi
untuk mengikat ion-ion logam dari larutan dan mengadsorpsi logam berat karena
di dalam alga terdapat gugus fungsi yang dapat melakukan pengikatan dengan ion
logam. Gugus fungsi tersebut terutama gugus karboksil, hidroksil, amina, sulfudril
imadazol, sulfat dan sulfonat yang terdapat dalam dinding sel dalam sitoplasma.
(7) Jamur Saccharomyces cerevisiae dan Candida sp. dapat mengakumulasikan Pb
dari dalam perairan, Citrobacter dan Rhizopus arrhizus memiliki kemampuan
menyerap uranium. Penggunaan jamur mikoriza juga telah diketahui dapat
meningkatkan serapan logam dan menghindarkan tanaman dari keracunan logam
berat.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi Bioremediasi
Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Dengan
demikian mikroorganisme yang berpotensi menghasilkan enzim pendegradasi hidrokarbon
perlu dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan kondisi dan penambahan suplemen
yang sesuai, seperti:
1) Lingkungan
Proses biodegradasi memerlukan tipe tanah yang dapat mendukung kelancaran aliran
nutrient, enzim-enzim mikrobial dan air. Terhentinya aliran tersebut akan mengakibatkan
terbentuknya kondisi anaerob sehingga proses biodegradasi aerobik menjadi tidak efektif.
Karakteristik tanah yang cocok untuk bioremediasi in situ adalah mengandung butiran pasir
ataupun kerikil kasar sehingga dispersi oksigen dan nutrient dapat berlangsung dengan
baik. Kelembaban tanah juga penting untuk menjamin kelancaran sirkulasi nutrien dan
substrat di dalam tanah.
2) Temperatur
Temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokaron adalah 30-40˚C. Ladislao, et.
al. (2007) mengatakan bahwa temperatur yang digunakan pada suhu 38˚C bukan pilihan
yang valid karena tidak sesuai dengan kondisi di Inggris untuk mengontrol mikroorganisme
patogen. Pada temperatur yang rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan
volatilitas alkana rantai pendek yang bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan
meningkat sehingga proses biodegradasi akan terhambat. Suhu sangat berpengaruh
terhadap lokasi tempat dilaksanakannya bioremediasi.
3) Oksigen
Langkah awal katabolisme senyawa hidrokaron oleh bakteri maupun kapang adalah
oksidasi substrat dengan katalis enzim oksidase, dengan demikian tersedianya oksigen
merupakan syarat keberhasilan degradasi hidrokarbon minyak. Ketersediaan oksigen di
tanah tergantung pada (a) kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, (b) tipe tanah
dan (c) kehadiran substrat lain yang juga bereaksi dengan oksigen. Terbatasnya oksigen,
merupakan salah satu faktor pembatas dalam biodegradasi hidrokarbon minyak
4) pH.
Pada tanah umumnya merupakan lingkungan asam, alkali sangat jarang namun ada
yang melaporkan pada pH 11. Penyesuaian pH dari 4,5 menjadi 7,4 dengan penambahan
kapur meningkatkan penguraian minyak menjadi dua kali. Penyesuaian pH dapat merubah
kelarutan, bioavailabilitas, bentuk senyawa kimia polutan, dan makro & mikro nutrien.
Ketersediaan Ca, Mg, Na, K, NH4+, N dan P akan turun, sedangkan penurunan pH
menurunkan ketersediaan NO3- dan Cl- . Cendawan yang lebih dikenal tahan terhadap asam
akan lebih berperan dibandingkan bakteri asam.
5) Kadar H2O dan karakter geologi.
Kadar air dan bentuk poros tanah berpengaruh pada bioremediasi. Nilai aktivitas air
dibutuhkan utk pertumbuhan mikroba berkisar 0.9 - 1.0, umumnya kadar air 50-60%.
Bioremediasi lebih berhasil pada tanah yang poros.
6) Keberadaan zat nutrisi.
Baik pada in situ & ex situ. Bila tanah yang dipergunakan bekas pertanian mungkin
tak perlu ditambah zat nutrisi. Untuk hidrokarbon ditambah nitrogen & fosfor, dapat pula
dengan makro & mikro nutrisi yang lain. Mikroorganisme memerlukan nutrisi sebagai
sumber karbon, energy dan keseimbangan metabolisme sel. Dalam penanganan limbah
minyak bumi biasanya dilakukan penambahan nutrisi antara lain sumber nitrogen dan
fosfor sehingga proses degradasi oleh mikroorganisme berlangsung lebih cepat dan
pertumbuhannya meningkat.
7) Interaksi antar Polusi
Fenomena lain yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam mengoptimalkan
aktivitas mikroorganisme untuk bioremediasi adalah interaksi antara beberapa galur
mikroorganisme di lingkungannya. Salah satu bentuknya adalah kometabolisme.
Kometabolisme merupakan proses transformasi senyawa secara tidak langsung sehingga
tidak ada energy yang dihasilkan.
3. Biomagnifikasi
Adanya aliran energi dalam ekosisitem, menyebabkan terbentuknya siklus nutrisi
dalam bentuk rantai makanan, jaring–jaring makanan dan piramida makanan yang
melibatkan berbagai organisme. Aliran energi maupun siklus nutrisi yang berlangsung
dalam ekosistem dapat menyebabkan masuknya senyawa–senyawa polutan ke dalam rantai
makanan dan sikus. Cara masuknya polutan ke dalam rantai makanan disebut
bioakumulasi, sedangkan kecendrungan polutan untuk menambah kosentrasinya dalam
tingkatan trofik yang lebih tinggi disebut biomagnifikasi.
Biomagnifikasi berkaitan dengan peningkatan konsentrasi suatu zat kimia
(kontaminan) pada setiap tingkat tropik dari rantai makanan (Palar 2004). Biomagnifikasi
merupakan proses dimana pencemar bergerak dari satu tingkat tropik ke tingkat lainnya dan
menunjukkan peningkatan kepekatan dalam makhluk hidup sesuai dengan keadaan tropik
mereka (Connell & Miller, 2006).
Proses biomagnifikasi dapat terjadi bila polutan yang terdapat pada suatu ekosistem
atau lingkungan memiliki sifat – sifat berikut :
a. Bersifat tidak mudah terurai ( long – lived)
b. Mudah berpindah ( mobile )
c. Larut dalam lemak
d. Memiliki aktivitas biologi
Bila polutan bersifat mudah terurai maka polutan tersebut akan segera terdenaturasi
oleh alam sebelum menjadi berbahaya. Bila polutan tersebut tidak mudah berpindah maka
polutan tersebut akan tetap di suatu tempat dan tidak mudah termakan atau masuk ke dalam
tubuh organisme.
Biomagnifikasi polutan terutama polutan berbahaya pada rantai makanan juga
membawa dampak negatif pada manusia dan organisme lain. Dampak yang paling
mengerikan dari biomagnifikasi adalah tragedy Minamata yang terjadi di Jepang. Akibat
limbah pabrik yang dibuang ke laut, maka laut di sekitar teluk minamata tercemar logam
berat. Logam berat yang terdapat di ekosistem teluk masuk ke rantai makanan organisme
laut pada ekosistem tersebut. Biomagnifikasi terjadi pada ekosistem tersebut, kadar logam
berat pada ikan dan organisme predator lainnya menjadi tinggi.
Manusia sebagai konsumen yang menempati tingkatan trofik tertinggi menjadi
organisme yang paling tinggi kandungan konsentrasi logam beratnya. Akibat
biomagnifikasi logam berat pada manusia maka timbullah berbagai penyakit pada
penduduk di sekitar teluk Minamata, yang dikenal sebagai penyakit Minamata, antara lain
berbagai jenis kanker. Bayi-bayi yang dilahirkan pada saat itu juga banyak yang cacat
akibat dari logam berat yang bersifat teratogenik. Selain itu, biomagnifikasi dapat
mempengaruhi dan merusak keseimbangan antara organisme dan ekosistem.
Proses Biomagnifikasi dimulai ketika konsentrasi kontaminan yang tersimpan pada
tubuh produsen lebih tinggi daripada lingkungan sekitar . Produsen dimakan oleh
konsumen, artinya konsumen di atasnya akan mengkonsumsi sejumlah biomassa dari
tingkat trofik di bawahnya. Adapun contoh zat yang mungkin Biomagnified yaitu:
a. Organoklorin: Pestisida  dugunakan untuk membunuh hama
b. DDT: Insektisida digunakan untuk membunuh serangga
c. Agen oranye: Herbisida  digunakan untuk membunuh pohon di Kamboja selama
perang Vietnam
d. PCB: Bahan kimia dalam transformator listrik, dll
Berdasarkan persistensinya di lingkungan, maka pestisida dapat dikelompokkan atas
dua golongan yaitu kelompok persisten (yang meninggalkan pengaruh terhadap lingkungan
dalam waktu lama) dan non persisten (mudah terdegradasi). Organoklorin merupakan salah
satu golongan pestisida yang persisten. Contoh pestisida organoklorin antara lain:
Dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT), Cyclodienes, Hexachlorocyclohexane (HCH),
endrin, dan endosulfan, sedangkan pestisida kelompok organofosfat adalah pestisida yang
mempunyai pengaruh yang efektif sesaat saja dan cepat terdegradasi di tanah, contohnya:
Disulfoton, Parathion, Diazinon, Azodrin, Gophacide, dan lain-lain (Sudarmo, 1991).
Organoklorin termasuk ke dalam golongan pestisida yang efektif, namun sifatnya
yang persisten di lingkungan memiliki dampak negatif yaitu mengakibatkan terjadinya
bioakumulasi (penimbunan suatu substansi dalam jaringan makhluk hidup karena adanya
akumulasi di lingkungan) dan biomagnifikasi (penimbunan suatu substansi dalam jaringan
makhluk hidup karena rantai makanan). Biomagnifikasi dapat terjadi pada hewan yang
terlibat dalam rantai makanan. Pestisida jenis ini masih digunakan di negara-negara
berkembang, terutama di daerah khatulistiwa. Hal ini dikarenakan harganya yang sangat
murah, keefektifannya, dan persistensinya. Proporsi pestisida yang mencapai target hama,
ditemukan tidak lebih dari 0,3% dari yang diaplikasikan, sedangkan sisanya akan tertinggal
di lingkungan sebagai polutan (Miglioranza dkk., 2002).
Residu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air sungai, air
sumur, maupun di udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat
di dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan.
Pencemaran pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar di
dalam air pengairan, dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Memang di dalam air terjadi
pengenceran, sebahagian ada yang terurai dan sebahagian lagi tetap persisten. Meskipun
konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap mengandung resiko mencemarkan
lingkungan. Sebagian besar pestisida yang jatuh ke tanah yang dituju akan terbawa oleh
aliran air irigasi. Di dalam air, partikel pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton-
mikroplankton.
Oleh karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh
mikroplankton akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan pestisida yang
mengambang di dalam air. Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan dimakan
zooplankton. Dengan demikian pestisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang
dimiliki pestisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi
hingga puluhan mungkin ratusan kali dibanding dengan yang ada di dalam air. Bila
zooplankton zooplankton tersebut dimakan oleh ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di
dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih meningkat lagi. Demikian pula konsentrasi pestisida
di dalam tubuh ikan besar yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang
terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi ikan besar, akan menerima konsentrasi
tertinggi dari pestisida tersebut (Yanuantari, 2011).
Selain Pestisida, juga terdapat polutan lain yaity Hidrokarbon Aromatik Polisiklik
(HAP) atau Polycylic Aromatic Hydrocarbons (PAHs). HAP merupakan polutan di udara,
tanah, dan padatan yang mengendap pada fase cair dan sedimen. Pencemaran utama HAP
terjadi pada proses eksplorasi dan produksi minyak bumi melalui tumpahan minyak bumi
ke lingkungan pada sumur produksi, jaringan pemipaan, tangki pengumpul, hingga proses
transportasi minyak bumi menuju kilang pengolahan. Kebocoran dan pencemaran minyak
bumi di lingkungan disebabkan intensitas penggunaan melebihi batas umur peralatan dan
proses pemeliharaan buruk (Iturbe et al., 2007).
Johnsen et al. (2005) menyatakan HAP adalah kontaminan unik di lingkungan akibat
pembakaran material organik tidak lengkap, seperti kebakaran hutan, pemanas rumah,
transportasi, atau pembakaran sampah. Selain itu, HAP dihasilkan dari aktivitas
vulkanologi, proses industri, gasifikasi, dan insinerasi limbah plastik. Menurut Ahmad
(2012), HAP juga dihasilkan dari pembangkit tenaga listrik, batubara, karbon hitam, aspal,
dan mesin-mesin pembakaran. HAP melalui sumber alami cenderung mempunyai
konsentrasi lebih rendah dari sumber antropogenik.
Sebagian besar HAP bersifat karsinogenik, mutagenik, dan tetratogenik; serta
mempunyai daya bioakumulasi tinggi untuk membahayakan kesehatan manusia sehingga
remediasi menjadi prioritas utama untuk mereduksi HAP pada tanah terkontaminasi minyak
bumi. Pada media tanah, akumulasi HAP dapat menyebabkan biomagnifikasi dalam rantai
makanan manusia karena sangat larut di dalam lemak melalui pemaparan langsung atau
tidak langsung ke dalam sistem pencernaan.
Karena HAP ini sangat berbahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya, maka
harus didegradasi. Biodegradasi adalah proses konversi senyawa organik menjadi
kompleksitas senyawa lebih rendah dalam bentuk molekul kimia anorganik sederhana,
seperti air atau karbon dioksida. Biodegradasi polutan aromatik secara aerob dilakukan oleh
konsorsium metanogen dan bakteri fototrofik dari proses fermentasi, reduksi mangan,
reduksi sulfat, reduksi besi, dan reduksi nitrat, dan sulfat mengurangi bakteri.
Berbagai jenis bakteri telah mampu mendegradasi HAP melalui proses metabolisme
atau kometabolisme. Bakteri pendegradasi HAP berasal dari genus Agmenellum,
Aeromonas, Alcaligenes, Acinetobacter, Bacillus, Berjerinckia, Burkholderia,
Corynebacterium, Cyclotrophicus, Flavobacterium, Micrococcus, Moraxella,
Mycobacterium, Nocardioides, Pseudomonas, Lutibacterium, Rhodococcus, Streptomyces,
Sphingomonas, Stenotrophomonas, Vibrio, dan Paenibacillus. Isolasi bakteri pendegradasi
HAP dari tanah sering ditemukan pada kelompok Sphingomonas dan Mycobacteria.
Hasil akhir metabolisme HAP berupa pertumbuhan mikroorganisme, mineralisasi dan
transformasi dari substrat HAP menjadi bentuk non-mineral. Berbagai mekanisme jalur
proses biodegradasi ditentukan atas kemunculan kontaminan kimia melalui tahap
biodegradasi asimilatif, detoksifikasi intraseluler, dan kometabolisme sehingga
memungkinkan penggunaan senyawa sebagai sumber karbon atau sumber energi.
Penggunaan teknik biologi modern memainkan peranan penting untuk perubahan jalur
biodegradasi dalam mencapai nilai efisiensi HAP tertinggi terhadap penggunaan berbagai
jenis mikroorganisme (Kurniawan, 2018).
C. Pengomposan
1. Pengertian Kompos
Poses biologi untuk mengurai bahan organik menjadi bahan humus oleh
mikroorganisme dikenal sebagai dekomposisi atau pengomposan.Pembuatan kompos
merupakan salah satu contoh nyata tentang peranan mikroorganisme dalam tanah. Kompos
adalah suatu campuran bahan-bahan organik yang kompleks yang dapat digunakan untuk
pemupukan dan memperbaiki tekstur tanah. Kompos ini dapat dibuat dengan cara
menumpukkan daun – daun, ranting – ranting beserta bagian tanaman lainnya dan
mencampurnya dengan beberapa sumber nitrogen dan fosfor yang dibiarkan mengalami
pembususkan (Tarigan, 1988). Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil
conditioner) dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga
mempertahankan dan menambah kesuburan tanah pertanian.
2. Karakteristik dan Sifat Kompos
Karakteristik umum dimiliki kompos antara lain:
a. mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal;
b. menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas;
c. mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah.
Berikut ini diuraikan fungsi kompos dalam memperbaiki kualitas kesuburan fisik,
kimia, dan biologi tanah.
a. Sifat fisika tanah
Kompos memperbaiki struktur tanah yang semula padat menjadi gembur sehingga
mempermudah pengolahan tanah. Tanah berpasir menjadi lebih kompak dan tanah
lempung menjadi lebih gembur. Penyebab kompak dan gemburnya tanah ini adalah
senyawa-senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai serta
miselium atau hifa yang berfungsi sebagai perekat partikel tanah. Dengan struktur
tanah yang baik ini berarti difusi O2 atau aerasi akan lebih banyak sehingga proses
fisiologis di akar akan lancar. Perbaikan agregat tanah menjadi lebih remah akan
mempermudah penyerapan air ke dalam tanah sehingga proses erosi dapat dicegah.
b. Sifat kimia tanah
Kompos merupakan sumber hara makro dan mikromineral secara lengkap meskipun
dalam jumlah yang relatif kecil (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, B, Zn, Mo, dan Si). Dalam
jangka panjang, pemberian kompos dapat memperbaiki pH dan meningkatkan hasil
tanaman pertanian pada tanah-tanah masam. Pada tanah-tanah yang kandungan P-
tersedia rendah, bentuk fosfat organik mempunyai peranan penting dalam penyediaan
hara tanaman karena hampir sebagian besar P yang diperlukan tanaman terdapat pada
senyawa P-organik.
c. Sifat biologi tanah
Kompos banyak mengandung mikroorganisme (fungi, aktinomisetes, bakteri, dan
alga). Dengan ditambahkannya kompos ke dalam tanah tidak hanya jutaan
mikroorganisme yang ditambahkan, akan tetapi mikroorganisme yang ada dalam tanah
juga terpacu untuk berkembang. Aktivitas berbagai mikroorganisme di dalam kompos
menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan, misalnya auksin, giberelin, dan sitokinin
yang memacu pertumbuhan dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah
pencarian makanan lebih luas.

3. Sumber bahan kompos


a. Sisa tanaman
Kandungan hara beberapa tanaman pertanian ternyata cukup tinggi dan bermanfaat
sebagai sumber energi utama mikroorganisme di dalam tanah. Apabila digunakan sebagai
mulsa, maka ia akan mengontrol kehilangan air melalui evaporasi dari permukaan tanah,
dan pada saat yang sama dapat mencegah erosi tanah. Hara dalam tanaman dapat
dimanfaatkan setelah tanaman mengalami dekomposisi.
Bahan organic tanaman digunakan untuk kompos umumnya terbagi 2 macam, yaitu :
1) Bahan organic yang memiliki kandungan N (nitrogen) tinggi dna Karbon (C) tinggi,
contohnya pupuk kandang, daun legume (gamal, lamtoro, kacang-kacangan) atau
limbah rumah tangga.
2) Bahan organic yang memiliki kandungan N rendah dan C tinggi, contohnya dedaunan
yang gugur, jerami, serbuk gergaji, bagian tanaman tua.
b. Kotoran hewan
Kotoran hewan yang berasal dari usaha tani pertanian antara lain adalah kotoran
ayam, sapi, kerbau, kambing, kuda, dan sebagainya. Komposisi hara pada masing-masing
kotoran hewan berbeda tergantung pada jumlah dan jenis makanannya. Secara umum,
kandungan hara dalam kotoran hewan jauh lebih rendah daripada pupuk kimia sehingga
takaran penggunaannya juga akan lebih tinggi. Namun demikian, hara dalam kotoran
hewan ini ketersediaannya (release) lambat sehingga tidak mudah hilang.
c. Sampah
Sampah didefinisikan sebagai bahan-bahan yang sudah tidak digunakan dan tidak
bermanfaat sehingga disebut bahan buangan. Sampah terdiri atas sampah organik dan
anorganik. Sampah organik terdiri atas sisa sayuran, tanaman, dan sisa makanan yang
mengandung karbon (C) berupa senyawa sederhana maupun kompleks. Selulosa
merupakan salah satu senyawa kompleks yang memerlukan proses dekomposisi relatif lama
namun dapat dipecah oleh enzim selulosa yang dihasilkan oleh bakteri menjadi senyawa
monosakarida, alkohol, CO2, dan asam-asam organik lain.
d. Vermikompos
Vermikompos disebut juga kompos cacing, vermicast atau pupuk kotoran cacing,
yang merupakan hasil akhir dari hasil penguraian bahan organik oleh jenis-jenis cacing
tertentu. Vermikompos merupakan bahan hara, dapat digunakan sebagai pupuk alami atau
soil conditioner(pembenah tanah). Proses pembuatan vermikompos disebut
vermikomposting. Cacing yang digunakan dalam proses pembuatan vermikompos
diantaranya brandling-worms (Eisenia foetida), dan redworms (cacing merah) (Lumbricus
rubellus). Cacing-cacing ini jarang ditemukan di dalam tanah, dan dapat menyesuaikan
dengan kondisi tertentu di dalam pergiliran tanaman. Di luar negeri ”bibit” cacing-cacing
telah diperjualbelikan di toko-toko pertanian. Vermikomposting dalam skala kecil dapat
mendaur ulang sampah dapur menjadi vermikompos yang berkualitas dengan
menggunakan ruang terbatas.
4. Mikroorganisme yang berperan dalam pengomposan
Mikroorganisme tanah merupakan faktor penting dalam ekosistem tanah, karena
berpebgaruh pada siklus dan ketersediaan hara tanaman serta stabilitas struktur tanah.
Mikroorganisme perombak bahan organik di gunakan sebagai strategi untuk mempercepat
proses dekomposi sisa-sisa tanaman yang mengandung lignin dan selulosa, selain itu untuk
meningkatkan biomasssa dan aktivitas mikroba tanah, mencegah penyakit sehingga
pemanfaatannya dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah yang pada gilirannya
merupakan kebutuhan pokok untuk meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah.
a. Mikroorganisme Perombak Bahan Organik
Mikroorganisme perombak bahan organik merupakan aktivator biologis yang tumbuh
alami atau sengaja diberikan untuk mempercepat pengomposan dan meningkatkan mutu
kompos. Beberapa jenis mikroorganisme yang ummum di temukan dalam tumpukan
sampah dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Mikroorganisme yang Umum Berasosiasi dalam Tumpukan Sampah

Beberapa jenis bakteri termasuk beberapa jenis aktinomisetes juga mampu


mendegradasi polimer selulosa, hemiselulosa dan lignin namundengan kemampuan yang
lebih rendah dibandingkan fungi. Bakteri terutama berperan pada degradasi polisakarida
yang lebih sederhana.
b. Bakteri Perombak Bahan Organik
Bakteri perombak bahan organik dapat ditemukan di tempat yang mengandung
senyawa organik berasal dari sisa-sisa tanaman yang telah mati baik di laut maupun di
darat. sebagian bakteri hidup secara aerob dan sebagian anaerob. dalam merombak bahan
organik biasanya bakteri hidup bebas di luar organisme lain, tetapi ada sebagian kecil yang
hidup disaluran pencernaan hewan (mamalia, rayap dll). Bakteri yang berkemampuan
tinggi dalam memutus ikatan rantai C penyuun lignin, selulosa dan hemiselulosa yang
merupakan komponen penyusun bahan organik sisa tanaman, secara alami merombak lebih
lambat dibandingkan dengan senyawa polisakarida yang lebih sederhana (amilum,
disakarida dan monosakarida). Demikian pula proses penguraian senyawa organikyang
banyak mengandung protein (misal daging) secara alami berjalan relatif cepat.
c. Fungi Perombakan Bahan Organik
Fungi pada umumnya mempunyai kemampuan yang lebih baik dibandingkan bakteri
dalam menguraikan sisa-sisa tanaman. Pertumbuhan hifa dari fungi kelas Basidiomycetes
dan Aktinomycetes lebih mudah menembus dinding sel-sel tubula yang merupakan
penyusun utama jaringan kayu. Perombakan komponen polimer pada tumbuhan erat
kaitannya dengan enzim ekstraseluler yang dihasilkan. Beberapa enzim yang terlibat antara
lain; lignin peroksida (LiP), manganese peroksida (MnP) dan lakase. Selain itu fungi juga
menghasilkan zat yang bersifat toksik sehingga mampu menghambat pertumbuhan
organisme pengganggu. salah satu contohnya adalah T. harzianum yang dapat
menggagalkan penetasan telur nematoda Meloidogyne javanica (penyebab bengkak akar).
Penampilan fungi perombak selulosa (selulolitik) pada medium carboxymethyl
cellulose (CMC) agar dan fungi perombak lignin (lignolitik) pada medium lignin guaicol
benomyl agar. enzim selulase sangat aktif memutuskan turunan selulosa dapat larut
(selulosa amorf) seperti CMC menghasilkan selodekstrin (6 C), selobiosa (4 C) dan glukosa
(2 C ). CMC-ase merupakan salah satu komponen kompleks enzim selulase yang
menyerang secara acak bagian dalam struktur selulosa. Aktivitas CMC-ase koloni fungi
selulolitik pada media CMC-agar membentuk zona bening dibawah dan sekitar koloni.
Koloni fungi yang menunjukkan aktivitas degradasi lignin membentuk zona berwarna
merah di bawah dan sekitar koloni karena adanya quinon yang merupakan produk oksidasi
guaicol akibat aktivitas lakase atau peroksidase. Aktivitas enzim secara kualitatif dinilaidari
intensitas warna merah dan semikuantitatif dinilai dari rasio diameter zona bening atau
zona merah terhadap diameter koloni fungi uji dibandingkan fungi reference.

(a) (b)
Gambar 13. (a)Fungi Perombak Selulosa Chaetomium sp.
(b) Fungi perombak lignin Trametes sp.
d. Mesofauna Perombak Bahan Organik
Sebagian invetebrata yang berperan dalam dekomposer merupakan hewan yang
sebagian siklus hidupnya berada di tanah. hewan tersebut meliputi kelas Gastropoda,
Oligochaeta dan Hexapoda. Aktivitas makro mesofauna tanah tertentumenyediakan nutrisi
berupa koloid organik tanah yang dibutuhkan makro-mesofauna tanah lainnya. selain hal
tersesbut aktivitas fauna tanah menyebabkan fraksinai bahan organik yang berukuran kasar
menjadi serpihan yang lebih halus sehingga luas permukaan jenis bahan organik tersebut
lebih besar sehingga kemungkinan mikroba tanah kontak dengan bahan organik terebut
lebih besar. Fauna tanh juga berperan dalam mendistribusikan bahan organik dalam tanah,
meningkatkan kesuburan tanah dan memperbaiki sifat fisik tanah. invetebrata dekomposer
yang penting meliputi cacing tanah dan Collembola.
5. Pengomposan
a. Prinsip pengomposan
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena
perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah. Rasio
C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat (C) dan nitrogen (N). Rasio C/N tanah
berkisar antara 10-12. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama
dengan rasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Namun pada
umumnya bahan organik segar mempunyai rasio C/N tinggi (jerami 50-70; dedaunan
tanaman 50-60; kayu-kayuan >400; dan lain-lain).
Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga
sama dengan C/N tanah (<20). Semakin tinggi rasio C/N bahan organik maka proses
pengomposan atau perombakan bahan semakin lama. Waktu yang dibutuhkan bervariasi
dari satu bulan hingga beberapa tahun tergantung bahan dasar. Proses perombakan bahan
organik terjadi secara biofisiko-kimia, melibatkan aktivitas biologi mikroba dan mesofauna.
Di lingkungan alam terbuka, kompos bisa terjadi dengan sendirinya. Proses
pembusukan terjadi secara alami namun tidak dalam waktu yang singkat, melainkan secara
bertahap. Lewat proses alami, rumput, daun-daunan, dan kotoran hewan serta sampah
lainnya lama kelamaan membusuk karena kerja sama antara mikroorganisme dengan cuaca.
Lamanya proses pembusukan tersebut lebih kurang sekitar 5 minggu hingga 2 bulan.
Namun jika kita ingin waktu yang lebih singkat, 2 minggu, proses tersebut dapat dipercepat
dengan menggunakan bioaktivator perombak bahan organik, seperti Trichoderma sp.

b. Tahapan proses pengomposan


Proses dekomposisi bahan organik dapat dibagi menjadi tiga tahap seperti disajikan
dalam Tabel 1. Pada tahap awal atau dekomposisi intensif berlangsung, dihasilkan suhu
yang cukup tinggi dalam waktu yang relatif pendek dan bahan organik yang mudah
terdekomposisi akan diubah menjadi senyawa lain. Pada tahap pematangan utama dan
pasca pematangan, bahan yang sukar akan terdekomposisi akan terurai dan membentuk
ikatan kompleks lempung-humus. Produk yang dihasilkan adalah kompos matang yang
mempunyai ciri antara lain:
1) tidak berbau;
2) remah;
3) berwarna kehitaman;
4) mengandung hara yang tersedia bagi tanaman; dan
5) kemampuan mengikat air tinggi.
Tabel 4. Tahapan pengomposan
No Tahapan Pematangan Bahan Produk Kategori
Pematangan
1 Tahap dekomposisi Pra-matang/ Kompos segar II
dan sanitasi dekomposisi intensif
2 Tahap konversi Pematangan utama Kompos segar III
3 Tahap sintetik Pasca pematangan Kompos IV & V
matang
Sumber: Sutanto (2002)
c. Cara pembuatan kompos
Cara pembuatan kompos tersebut dapat diringkas sebgai berikut :
1. Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari 5 bagian tumbuh-tumbuhan dan satu bagian
sisa-sisa hewan yang mengandung nitrogen seperti kotoran dan beberapa mineral
2. Fail kompos harus dibuat berlapis-lapis dimana tiap lapisan ditutupi tanah atau jerami
3. Harus sering disiram dan harus dijaga kelembapannya sehingga tidak sampai kering
4. Lapisan-lapisan kompos harus dibalik 2 kali selama dua minggu pertama, agar
aerasinya sempurna untuk mempercepat proses pembusukan dan untuk mengaduk
bagian yang panas dengan bagian bahan kompos yang dingin. Setelah itu lapisan
kompos harus diputarbalikkan sekali dalam sebulan dan akhirnya dapat digunakan
sebgagau pupuk dlam bentuk humus (Tarigan, 1988).
d. Populasi mikroorganisma di dalam kompos
Tabel 5. Populasi mikroba di dalam kompos
Kelompok Jumlah per gr. Kompos Basah
(1) (2)
Mikroorganisme
Bakteri 108 - 109
Aktinomycetes 105 – 106
Jamur 104 – 106
Mikroalgae 104
(1) (2)
Virus -/+
Mikrofauna
Protozoa -/+
Nematoda -/+
Cacing -/+
Serangga -/+

6. Faktor yang mempengaruhi pengomposan


Selain itu, Suriawiria (1996) menyatakan banyak factor, baik biotik atau abiotik
mempengaruhi proses pengomposan, sudah diselediki dan diketahui sejak lama. Beberapa
factor yang harus diketahui di dalam proses pengomposan adalah
a. Pemisahan bahan
Bahan-bahan yang sekiranya lambat atau sukar untuk didegradasi/diurai, harus
dipisahkan/dikeluarkan. Apakah itu berbentuk logam, batu plastic, dan sebagainya. Bahkan
bahan-bahan tertentu yang bersifat toksik serta dapat menghambat pertumbuhan mikroba,
harus benar-benar dibebaskan dari dalam timbunan bahan, antara lain misalnya residu
peptisida.
b. Bentuk bahan
Lebih kecil dan homogeny bentuk bahan proses pengomposan akan lebih cepat dan
baik. Karena denga lebih kecil dan homogeny, lebih luas permukaan bahan yang dapat
dijadikan substrat bagi aktivitas mikroba. Juga pengaruhnya terhadap kelancaran difusi
oksigen yang diperlukan serta pengeluaran CO2 yang dihasilkan.
c. Nutrien
Seperti pula jasad hidup lainnya, untuk aktivitas mikroba di dalam tumpukan sampah
memerlukan sumber nutrient karbohidrat misalnya, antara 20-40% yang digunakan akan
diassimilasikan menjadi komponen sel dan CO2, kalau bandingan sumber nitrogen dan
sumber karbohidrat yang terdapat di dalamnya (C/N-rasio) = 10:1. Berdasarkan kepada
komposisi diatas, maka perhatian harus lebihbditekannkan terhadap C/N-rasio di dalam
bahan, dimana untuk proses pengomposan nilai optimum adalah 25:1, sedang maksimum
10:1.
d. Kadar air bahan
Tergantung kepada bentuk dan jenis bahan, missal kadar optimum di dalam proses
pengomposan mempunyai nilai antara 50-70, terutama selama fase pertama. Kadang-
kadang dalam keadaan tertentu, kadar air bahan bias bernilai sampai 85% missal pada
jerami.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Tanah merupakan lingkungan yang subur dan mengandung berbagai jenis
mikroorganisme. Di dalam tanah, hidup berbagai jasad renik (mikroorganisme) yang
melakukan berbagai kegiatan yang menguntungkan bagi kehidupan makhluk-makhluk
hidup lainnya.
2. Peranan mikroorganisme ayang menguntungkan yaitu berperan dalam siklus
biogeokimia, proses bioremediasi, biomagnifikasi dan pengomposan.
3. Siklus biogeokimia meliputi siklus karbon, siklus sulfur (belerang), siklus nitrogen,
dan siklus posfor.
4. Bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi masalah
lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang
dimaksud adalah khamir, fungi (mycoremediasi), yeast, alga dan bakteri.
Mikroorganisme akan mendegradasi zat pencemar atau polutan menjadi bahan yang
kurang beracun atau tidak beracun.
5. Pengomposan merupakan salah satu metode pengelolaan sampah organik yang
bertujuan mengurangi dan mengubah komposisi sampah menjadi produk yang
bermanfaat. Selama proses pengomposan, sejumlah jasad hidup seperti bakteri dan
jamur, berperan aktif dalam penguraian bahan organik kompleks menjadi lebih
sederhana
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kebaikan makalah ini ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik
Domestik. SNI 19-7030-2004.

Benoît Pharand, Odile Carisse, and Nicole Benhamou. 2002. Cytological Aspects of
Compost- Mediated Induced Resistance Against Fusarium Crown and Root Rot in
Tomato. Biochemistry and Cell Biology Vol. 92, No. 4, 2002 p. 424 – 438.

Black, Jacquelyn G. 2002. Microbiology. John Wiley & Sons, Inc.

Budiyanto, Agus Krisno. 2004. Mikrobiologi Terapan. Malang: Universitas


Muhammadiyah Malang Press.

CIWBM (The California Integrated Waste Management Board). 2003. The Important of
Compost Maturity. Publication #443-03-007, February 2003.

Craig Coker. 200. Composting Industrial and Commercial Organics. Waste Reduction
Partners, Quarterly Meeting.

Crawford. J.H. Composting of Agricultural Waste. in Biotechnology Applications and


Research, Paul N, Cheremisinoff and R. P.Ouellette (ed). p. 68-77.

FFTC (Food and Fertilizer Technology Center). 2003. Bioactivator do Decompose


Agricultural Waste. Soil and fertilizer PT2003 – 23. www.fftc.agnet.org

FFTC (Food and Fertilizer Technology Center). 2003. Making Compost in Three Week.
Soil and fertilizer PT2003 – 40. www.fftc.agnet.org

Kurniawan, Allen, Yanuar Chandra Wirasembada, Indah Mutiara Ningtyas Razaad, Adi
Novriansyah, Mohamad Rafi & Agus Jatnika Effendi. 2018. Hidrokarbon Aromatik
Polisiklik pada Lahan Tercemar Limbah Minyak Bumi: Tinjauan Pertumbuhan
Mikro- Organisme, Proses Metabolisme dan Biodegradasi. Jurnal Ilmu Lingkungan.
Vol. 16. No. 1.

Leslie Coperband. 2002. The Art and Science of Composting, A resource for farmers
and producers. March 29, 2002. Center for Integrated Agricultur System,
University of Wisconsin-Medison.

McKenzie,R.C., S.A. Woods, S. Mathur, L. Hingley, and D. Fujimoto. . Compost


– A Plant Nutritions Source and Its Impact on Soil Borne Desease in Potatoes.

Myung, Ho Um and Youn Lee. 2005. Quality Control for Commercial Compost in
Korea. National Institute of Agricultural Science and Technology (NIAST) and
Rural Development and Administration (RDA), Suwon – Korea.

R. J. Holmer. 2002. Basic Principles for Composting of Biodegradable Household


Waste. Paper presented at the Urban Vegetable Gardening Seminar, Sundayag Sa
Amihanang Min- danao Trade Expo, Cagayan de Oro City, Philiphines, August 30,
2002.

Rangarajan, A. and K. Aram. Impac of compost on Soil Borne Disease Incidence in


Organic Cropping System. final Report for Toward Sustainability Foundation Granf
for Organic Research.

Robert J. Holmer. 2005. Basic Principle for Composting of Biodegradable Household


Wastes. Robin A. K. Szmidt & Andrew W. Dickson. 2001. Use of Compost in
Agriculture. Use of Compost

Sutedjo, M.M., Kartasapoetra, A.G., dan Sastroatmodjo, RD.S. 1991. Mikrobiologi Tanah.
Jakarta: PT. Melton Putra.

Yuantari, MG Catur. 2011. Dampak Pestisida Organoklorin Terhadap Kesehatan Manusia


dan Lingkungan Serta Penanggulangannya. Prosiding Seminar Nasional.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai