MIKROBIOLOGI TERAPAN
MIKROORGANISME DAN LINGKUNGAN: TANAH
Oleh Kelompok 3:
1. Nurjannah Albaniah (18177011)
2. Indah Dewi Sartika (18177011)
3. Rizaldi Putra Jamal (18177011)
4. Rifana Andri (18177011)
5. Lasmi Lestari (18177043)
6. Sintia Elmanazifa (18177049)
Suhu
0C
Gambar 2. Hubungan Suhu dengan Pertumbuhan Mikroba
Sumber: Willey, et al (2008)
Siklus karbon adalah gerakan unsur karbon melalui batuan bumi dan sedimen,
lingkungan air, lingkungan tanah, dan atmosfer. Sejumlah besar karbon organik dapat
ditemukan baik pada organisme hidup dan bahan organik mati (Daniswara, 2009). Siklus
karbon melibatkan seluruh lingkungan yang ada di alam semesta, meliputi atmosfer,
biosfer, hidrosfer dan geosfer. Karena itu, siklus karbon disebut sebagai siklus biogeokimia.
Pada setiap lingkungan dan antara lingkungan terjadi pertukaran karbon. Karbon berpindah
dari lingkungan atmosfer ke biosfer sebagai gas karbondioksida. Gas karbondioksida
digunakan tumbuhan untuk berfotosintesis. Karbon memasuki lingkungan atmosfer dari
lingkungan bisofer juga sebagai gas karbondioksida. Gas karbondioksida dilepaskan ke
atmosfer dari hasil pernafasan mahluk hidup, hasil pembusukan/fermentasi oleh
bakteri/jamur dan hasil pembakaran senyawa-senyawa organik. Selain petukaran karbon
dari lingkungan atmosfer ke biosfer atau sebaliknya, karbon dipertukarkan dalam
lingkungan bisofer melalui rantai makanan. Pertukaran karbon pun terjadi dari lingkungan
biosfer ke geosfer. Cangkang hewan-hewan lunak pada umumnya mengandung karbonat.
Karbonat kemudian diubah menjadi batu kapur melalui suatu proses yang disebut
sedimentasi. Sedangkan perpindahan karbon dari lingkungan geosfer ke lingkungan
atmosfer terjadi melalui hasil reaksi batu kapur dan erupsi gunung merapi (Prawirohartono,
2001).
Proses ini melibatkan fiksasi karbon dioksida (CO2) menjadi molekul organik, proses
yang disebut fotosintesis. Energi yang digunakan dalam proses ini disimpan dalam bentuk
kimia, seperti yang karbohidrat (gula seperti glukosa). Bahan organik akhirnya teroksidasi,
seperti yang terjadi ketika organisme fotosintesis mati. Melalui proses respirasi, karbon
dikembalikan ke atmosfer dalam bentuk karbon dioksida.
Gambar 3. Siklus Karbon
c. Siklus Nitrogen
Nitrogen adalah unsur nutrisi penting yang dibutuhkan oleh organisme. Semua
organisme membutuhkan nitrogen untuk sintesis protrin, asam mukleat dan senyawa yang
mengandung nitrogen lainnya. Atmosfer mengandung sekitar 80% gas nitrogen (N2)
merupakan jumlah yang cukup tinggi, tetapi kebanyakan hewan dan tumbuhan tidak dapat
rnengkonsumsi N2 dalam bentuk gas. Tumbuhan dapat menyerap nitrogen dalam bentuk
NH4+ dan NO3-. Organisme memperoleh nitrogen dari organisme lain atau dari senyawa
nitrogen anorganik terlarut (nitrat dan amonia) yang ditemukan dalam jumlah terbatas di
tanah dan air.
d. Siklus Fosfor
Siklus fosfor tidak sama seperti nitrogen dan sulfur. Fosfor mengalami sedikit
perubahan dalam keadaan oksidasi di lingkungan, biasanya fosfor ada di lingkungan dan
dimanfaatkan oleh organisme sebagai ion fosfat (PO43-). Siklus fosfor melibatkan
pergerakan fosfor dari bentuk tidak larut ke bentuk yang larut. Tujuannya untuk diambil
oleh organisme dan konversi bentuk fosfor organik menjadi bentuk anorganik melalui
proses yang bergantung pada pH.
Fosfat terlarut tidak ada yang hilang dari atmosfer, tetapi terakumulasi dalam air,
(terutama lautan) dan bentuk-bentuk organik fosfor diendapkan di permukaan tanah setelah
dekomposisi hewan dan tanaman mati. Keaadaan fosfor yang berlimpah dapat menjadi
masalah di lingkungan; misalnya, pupuk pertanian yang kaya akan fosfat dan nitrogen
mudah terlindas dari ladang sehingga hasil tersebut selanjutnya akan mengalir ke sungai
dan danau yang dapat menyebabkan eutrofikasi dan pertumbuhan berlebih
mikroorganisme (terutama ganggang dan cyanobacteria) di perairan yang kaya nutrisi.
d. Air sparging: dengan menambahkan injeksi udara dibawah tekanan ke dalam air
sehingga dapat meningkatkan konsentrasi oksigen dan kecepatan degradasi.
Sementara bioremediasi ex situ dikenal sebagai metode dimana mikroorganisme
diaplikasikan pada tanah atau air terkontaminasi yang telah dipindahkan dari tempat
asalnya. Teknik ex situ terdiri atas:
a. Landfarming: teknik dimana tanah yang terkontaminasi digali dan dipindahkan pada
lahan khusus yang secara periodik diamati sampai polutan terdegradasi.
Selain dari golongan bakteri, mikroba pendegradasi hidrokarbon juga dapat dilakukan
oleh fungi. Fungi pendegradasi hidrokarbon umumnya berasal dari genus Phanerochaete,
Cunninghamella, Penicillium, Candida, Sporobolomyces, Cladosporium. Jamur dari genus
ini mendegradasi hidrokarbon polisiklik aromatik. Jamur Phanerochaete chrysosporium
mampu mendegradasi berbagai senyawa hidrofobik pencemar tanah yang persisten.
Adapun oksidasi dan pelarutan hidrokarbon polisiklik aromatik oleh Phanerochaete
chrysosporium menggunakan enzim lignin peroksidase. Bila terdapat H2O2, enzim lignin
peroksidase yang dihasilkan akan menarik satu elektron dari PAH yang selanjutnya
membentuk senyawa kuinon yang merupakan hasil metabolisme. Cincin benzena yang
sudah terlepas dari PAH selanjutnya dioksidasi menjadi molekul-molekul lain dan
digunakan oleh sel mikroba sebagai sumber energi misalnya CO2.
Jamur dari golongan Deuteromycota (Aspergillus niger, Penicillium glabrum, P.
janthinellum, Zygomycetes (Cunninghamella elegans), Basidiomycetes (Crinipellis
stipitaria) diketahui juga dapat mendegradasi hidrokarbon polisiklik aromatik. Sistem
enzim monooksigenase Sitokrom P-450 pada jamur ini memiliki kemiripan dengan sistem
yang dimiliki mamalia. Adapun langkah-langkahnya yaitu pembentukan monofenol,
difenol, dihidrodiol dan quinon dan terbentuk gugus tambahan yang larut air (misalnya
sulfat, glukuronida, ksilosida, glukosida). Senyawa ini merupakan hasil detoksikasi pada
jamur dan mamalia.
(3) Pencemaran Logam Berat
Persoalan spesifik logam berat di lingkungan terutama akumulasinya sampai pada
rantai makanan dan keberadaannya di alam menyebabkan keracunan terhadap tanah, udara
maupun air. Bahan pencemar senyawa anorganik/mineral misalnya logam-logam berat
seperti merkuri (Hg), kadmium (Cd), Timah hitam (pb), tembaga (Cu), timbal (Pb), dan
garam-garam anorganik. Bahan pencemar berupa logam-logam berat yang masuk ke dalam
tubuh biasanya melalui makanan dan dapat tertimbun dalam organ-organ tubuh. Mikroba
memerlukan logam sebagai fungsi struktural dan katalis serta sebagai donor atau reseptor
elektron dalam metabolisme energi. Kemampuan interaksi mikroba terhadap logam antara
lain :
a) Mengikat ion logam yang ada dilingkungan eksternal pada permukaan sel serta
membawanya ke dalam sel untuk berbagai fungsi sel. Contohnya bakteri Thiobaccilus
sp. Mampu menggunakan Fe dalam aktivasi enzim format dehidrogenase pada
sitokrom.
b) Menggunakan logam sebagai donor atau akseptor elektron dalam metabolisme energi.
c) Mengikat logam sebagai kation pada permukaan sel yang bermuatan negatif dalam
proses yang disebut biosorpsi.
Mikroba mengurangi bahaya pencemaran logam berat dapat dilakukan dengan cara
detoksifikasi, biohidrometakurgi, bioleaching, dan bioakumulasi.
a) Detoksifikasi (biosorpsi)
Pada prinsipnya mengubah ion logam berat yang bersifat toksik menjadi senyawa yang
bersifat tidak toksik. Proses ini umumnya berlangsung dalam kondisi anaerob dan
memanfaatkan senyawa kimia sebagai akseptor elektron.
b) Biohidrometalurgi
Pada prinsipnya mengubah ion logam yang terikat pada suatu senyawa yang tidak
dapat larut dalam air menjadi senyawa yang dapat larut dalam air.
c) Bioleaching
Merupakan aktivitas mikroba untuk melarutkan logam berat dari senyawa yang
mengikatnya dalam bentuk ion bebas. Biasanya mikroba menghasilkan asam dan
senyawa pelarut untuk membebaskan ion logam dari senyawa pengikatnya. Proses ini
biasanya langsung diikuti dengan akumulasi ion logam.
d) Bioakumulasi
Merupakan interaksi mikroba dan ion-ion logam yang berhubungan dengan lintasan
metabolisme.Interaksi mikroba dengan logam di alam adalah imobilisasi logam dari
fase larut menjadi tidak atau sedikit larut sehingga mudah dipisahkan. Adapun contoh
mikroba pendegradasi logam yaitu :
(1) Enterobacter cloacae dan Pseudomonas fluorescens, mampu mengubah Cr (VI)
menjadi Cr (III) dengan bantuan senyawa-senyawa hasil metabolisme, misalnya
hidrogen sulfida, asam askorbat, glutathion, sistein, dll.
(2) Desulfovibrio sp. membentuk senyawa sulfida dengan memanfaatkan hidrogen
sulfida yang dibebaskan untuk mengatasi pencemaran logam Cu.
(3) Desulfuromonas acetoxidans merupakan bakteri anerobik laut yang menggunakan
sulfur dan besi sebagai penerima elektron untuk mengoksidasi molekul organik
dalam endapan yang bisa menghasilkan energi.
(4) Bakteri pereduksi sulfat contohnya Desulfotomaculum sp. Dalam melakukan
reduksi sulfat, bakteri ini menggunakan sulfat sebagai sumber energi yaitu sebagai
akseptor elektron dan menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon.
Karbon tersebut selain berperan sebagai sumber donor elektron dalam
metabolismenya juga merupakan bahan penyusun selnya. Adapun reaksi reduksi
sulfat oleh bakteri ini adalah sebagai berikut.
(5) Bakteri belerang, khususnya Thiobacillus ferroxidans banyak berperan pada
logam-logam dalam bentuk senyawa sulfida untuk menghasilkan senyawa sulfat.
(6) Mikroalga contohnya Spirulina sp., merupakan salah satu jenis alga dengan sel
tunggal yang termasuk dalam kelas Cyanophyceae. Sel Spirulina sp. berbentuk
silindris, memiliki dinding sel tipis. Alga ini mempunyai kemampuan yang tinggi
untuk mengikat ion-ion logam dari larutan dan mengadsorpsi logam berat karena
di dalam alga terdapat gugus fungsi yang dapat melakukan pengikatan dengan ion
logam. Gugus fungsi tersebut terutama gugus karboksil, hidroksil, amina, sulfudril
imadazol, sulfat dan sulfonat yang terdapat dalam dinding sel dalam sitoplasma.
(7) Jamur Saccharomyces cerevisiae dan Candida sp. dapat mengakumulasikan Pb
dari dalam perairan, Citrobacter dan Rhizopus arrhizus memiliki kemampuan
menyerap uranium. Penggunaan jamur mikoriza juga telah diketahui dapat
meningkatkan serapan logam dan menghindarkan tanaman dari keracunan logam
berat.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi Bioremediasi
Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Dengan
demikian mikroorganisme yang berpotensi menghasilkan enzim pendegradasi hidrokarbon
perlu dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan kondisi dan penambahan suplemen
yang sesuai, seperti:
1) Lingkungan
Proses biodegradasi memerlukan tipe tanah yang dapat mendukung kelancaran aliran
nutrient, enzim-enzim mikrobial dan air. Terhentinya aliran tersebut akan mengakibatkan
terbentuknya kondisi anaerob sehingga proses biodegradasi aerobik menjadi tidak efektif.
Karakteristik tanah yang cocok untuk bioremediasi in situ adalah mengandung butiran pasir
ataupun kerikil kasar sehingga dispersi oksigen dan nutrient dapat berlangsung dengan
baik. Kelembaban tanah juga penting untuk menjamin kelancaran sirkulasi nutrien dan
substrat di dalam tanah.
2) Temperatur
Temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokaron adalah 30-40˚C. Ladislao, et.
al. (2007) mengatakan bahwa temperatur yang digunakan pada suhu 38˚C bukan pilihan
yang valid karena tidak sesuai dengan kondisi di Inggris untuk mengontrol mikroorganisme
patogen. Pada temperatur yang rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan
volatilitas alkana rantai pendek yang bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan
meningkat sehingga proses biodegradasi akan terhambat. Suhu sangat berpengaruh
terhadap lokasi tempat dilaksanakannya bioremediasi.
3) Oksigen
Langkah awal katabolisme senyawa hidrokaron oleh bakteri maupun kapang adalah
oksidasi substrat dengan katalis enzim oksidase, dengan demikian tersedianya oksigen
merupakan syarat keberhasilan degradasi hidrokarbon minyak. Ketersediaan oksigen di
tanah tergantung pada (a) kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, (b) tipe tanah
dan (c) kehadiran substrat lain yang juga bereaksi dengan oksigen. Terbatasnya oksigen,
merupakan salah satu faktor pembatas dalam biodegradasi hidrokarbon minyak
4) pH.
Pada tanah umumnya merupakan lingkungan asam, alkali sangat jarang namun ada
yang melaporkan pada pH 11. Penyesuaian pH dari 4,5 menjadi 7,4 dengan penambahan
kapur meningkatkan penguraian minyak menjadi dua kali. Penyesuaian pH dapat merubah
kelarutan, bioavailabilitas, bentuk senyawa kimia polutan, dan makro & mikro nutrien.
Ketersediaan Ca, Mg, Na, K, NH4+, N dan P akan turun, sedangkan penurunan pH
menurunkan ketersediaan NO3- dan Cl- . Cendawan yang lebih dikenal tahan terhadap asam
akan lebih berperan dibandingkan bakteri asam.
5) Kadar H2O dan karakter geologi.
Kadar air dan bentuk poros tanah berpengaruh pada bioremediasi. Nilai aktivitas air
dibutuhkan utk pertumbuhan mikroba berkisar 0.9 - 1.0, umumnya kadar air 50-60%.
Bioremediasi lebih berhasil pada tanah yang poros.
6) Keberadaan zat nutrisi.
Baik pada in situ & ex situ. Bila tanah yang dipergunakan bekas pertanian mungkin
tak perlu ditambah zat nutrisi. Untuk hidrokarbon ditambah nitrogen & fosfor, dapat pula
dengan makro & mikro nutrisi yang lain. Mikroorganisme memerlukan nutrisi sebagai
sumber karbon, energy dan keseimbangan metabolisme sel. Dalam penanganan limbah
minyak bumi biasanya dilakukan penambahan nutrisi antara lain sumber nitrogen dan
fosfor sehingga proses degradasi oleh mikroorganisme berlangsung lebih cepat dan
pertumbuhannya meningkat.
7) Interaksi antar Polusi
Fenomena lain yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam mengoptimalkan
aktivitas mikroorganisme untuk bioremediasi adalah interaksi antara beberapa galur
mikroorganisme di lingkungannya. Salah satu bentuknya adalah kometabolisme.
Kometabolisme merupakan proses transformasi senyawa secara tidak langsung sehingga
tidak ada energy yang dihasilkan.
3. Biomagnifikasi
Adanya aliran energi dalam ekosisitem, menyebabkan terbentuknya siklus nutrisi
dalam bentuk rantai makanan, jaring–jaring makanan dan piramida makanan yang
melibatkan berbagai organisme. Aliran energi maupun siklus nutrisi yang berlangsung
dalam ekosistem dapat menyebabkan masuknya senyawa–senyawa polutan ke dalam rantai
makanan dan sikus. Cara masuknya polutan ke dalam rantai makanan disebut
bioakumulasi, sedangkan kecendrungan polutan untuk menambah kosentrasinya dalam
tingkatan trofik yang lebih tinggi disebut biomagnifikasi.
Biomagnifikasi berkaitan dengan peningkatan konsentrasi suatu zat kimia
(kontaminan) pada setiap tingkat tropik dari rantai makanan (Palar 2004). Biomagnifikasi
merupakan proses dimana pencemar bergerak dari satu tingkat tropik ke tingkat lainnya dan
menunjukkan peningkatan kepekatan dalam makhluk hidup sesuai dengan keadaan tropik
mereka (Connell & Miller, 2006).
Proses biomagnifikasi dapat terjadi bila polutan yang terdapat pada suatu ekosistem
atau lingkungan memiliki sifat – sifat berikut :
a. Bersifat tidak mudah terurai ( long – lived)
b. Mudah berpindah ( mobile )
c. Larut dalam lemak
d. Memiliki aktivitas biologi
Bila polutan bersifat mudah terurai maka polutan tersebut akan segera terdenaturasi
oleh alam sebelum menjadi berbahaya. Bila polutan tersebut tidak mudah berpindah maka
polutan tersebut akan tetap di suatu tempat dan tidak mudah termakan atau masuk ke dalam
tubuh organisme.
Biomagnifikasi polutan terutama polutan berbahaya pada rantai makanan juga
membawa dampak negatif pada manusia dan organisme lain. Dampak yang paling
mengerikan dari biomagnifikasi adalah tragedy Minamata yang terjadi di Jepang. Akibat
limbah pabrik yang dibuang ke laut, maka laut di sekitar teluk minamata tercemar logam
berat. Logam berat yang terdapat di ekosistem teluk masuk ke rantai makanan organisme
laut pada ekosistem tersebut. Biomagnifikasi terjadi pada ekosistem tersebut, kadar logam
berat pada ikan dan organisme predator lainnya menjadi tinggi.
Manusia sebagai konsumen yang menempati tingkatan trofik tertinggi menjadi
organisme yang paling tinggi kandungan konsentrasi logam beratnya. Akibat
biomagnifikasi logam berat pada manusia maka timbullah berbagai penyakit pada
penduduk di sekitar teluk Minamata, yang dikenal sebagai penyakit Minamata, antara lain
berbagai jenis kanker. Bayi-bayi yang dilahirkan pada saat itu juga banyak yang cacat
akibat dari logam berat yang bersifat teratogenik. Selain itu, biomagnifikasi dapat
mempengaruhi dan merusak keseimbangan antara organisme dan ekosistem.
Proses Biomagnifikasi dimulai ketika konsentrasi kontaminan yang tersimpan pada
tubuh produsen lebih tinggi daripada lingkungan sekitar . Produsen dimakan oleh
konsumen, artinya konsumen di atasnya akan mengkonsumsi sejumlah biomassa dari
tingkat trofik di bawahnya. Adapun contoh zat yang mungkin Biomagnified yaitu:
a. Organoklorin: Pestisida dugunakan untuk membunuh hama
b. DDT: Insektisida digunakan untuk membunuh serangga
c. Agen oranye: Herbisida digunakan untuk membunuh pohon di Kamboja selama
perang Vietnam
d. PCB: Bahan kimia dalam transformator listrik, dll
Berdasarkan persistensinya di lingkungan, maka pestisida dapat dikelompokkan atas
dua golongan yaitu kelompok persisten (yang meninggalkan pengaruh terhadap lingkungan
dalam waktu lama) dan non persisten (mudah terdegradasi). Organoklorin merupakan salah
satu golongan pestisida yang persisten. Contoh pestisida organoklorin antara lain:
Dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT), Cyclodienes, Hexachlorocyclohexane (HCH),
endrin, dan endosulfan, sedangkan pestisida kelompok organofosfat adalah pestisida yang
mempunyai pengaruh yang efektif sesaat saja dan cepat terdegradasi di tanah, contohnya:
Disulfoton, Parathion, Diazinon, Azodrin, Gophacide, dan lain-lain (Sudarmo, 1991).
Organoklorin termasuk ke dalam golongan pestisida yang efektif, namun sifatnya
yang persisten di lingkungan memiliki dampak negatif yaitu mengakibatkan terjadinya
bioakumulasi (penimbunan suatu substansi dalam jaringan makhluk hidup karena adanya
akumulasi di lingkungan) dan biomagnifikasi (penimbunan suatu substansi dalam jaringan
makhluk hidup karena rantai makanan). Biomagnifikasi dapat terjadi pada hewan yang
terlibat dalam rantai makanan. Pestisida jenis ini masih digunakan di negara-negara
berkembang, terutama di daerah khatulistiwa. Hal ini dikarenakan harganya yang sangat
murah, keefektifannya, dan persistensinya. Proporsi pestisida yang mencapai target hama,
ditemukan tidak lebih dari 0,3% dari yang diaplikasikan, sedangkan sisanya akan tertinggal
di lingkungan sebagai polutan (Miglioranza dkk., 2002).
Residu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air sungai, air
sumur, maupun di udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat
di dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan.
Pencemaran pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar di
dalam air pengairan, dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Memang di dalam air terjadi
pengenceran, sebahagian ada yang terurai dan sebahagian lagi tetap persisten. Meskipun
konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap mengandung resiko mencemarkan
lingkungan. Sebagian besar pestisida yang jatuh ke tanah yang dituju akan terbawa oleh
aliran air irigasi. Di dalam air, partikel pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton-
mikroplankton.
Oleh karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh
mikroplankton akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan pestisida yang
mengambang di dalam air. Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan dimakan
zooplankton. Dengan demikian pestisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang
dimiliki pestisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi
hingga puluhan mungkin ratusan kali dibanding dengan yang ada di dalam air. Bila
zooplankton zooplankton tersebut dimakan oleh ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di
dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih meningkat lagi. Demikian pula konsentrasi pestisida
di dalam tubuh ikan besar yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang
terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi ikan besar, akan menerima konsentrasi
tertinggi dari pestisida tersebut (Yanuantari, 2011).
Selain Pestisida, juga terdapat polutan lain yaity Hidrokarbon Aromatik Polisiklik
(HAP) atau Polycylic Aromatic Hydrocarbons (PAHs). HAP merupakan polutan di udara,
tanah, dan padatan yang mengendap pada fase cair dan sedimen. Pencemaran utama HAP
terjadi pada proses eksplorasi dan produksi minyak bumi melalui tumpahan minyak bumi
ke lingkungan pada sumur produksi, jaringan pemipaan, tangki pengumpul, hingga proses
transportasi minyak bumi menuju kilang pengolahan. Kebocoran dan pencemaran minyak
bumi di lingkungan disebabkan intensitas penggunaan melebihi batas umur peralatan dan
proses pemeliharaan buruk (Iturbe et al., 2007).
Johnsen et al. (2005) menyatakan HAP adalah kontaminan unik di lingkungan akibat
pembakaran material organik tidak lengkap, seperti kebakaran hutan, pemanas rumah,
transportasi, atau pembakaran sampah. Selain itu, HAP dihasilkan dari aktivitas
vulkanologi, proses industri, gasifikasi, dan insinerasi limbah plastik. Menurut Ahmad
(2012), HAP juga dihasilkan dari pembangkit tenaga listrik, batubara, karbon hitam, aspal,
dan mesin-mesin pembakaran. HAP melalui sumber alami cenderung mempunyai
konsentrasi lebih rendah dari sumber antropogenik.
Sebagian besar HAP bersifat karsinogenik, mutagenik, dan tetratogenik; serta
mempunyai daya bioakumulasi tinggi untuk membahayakan kesehatan manusia sehingga
remediasi menjadi prioritas utama untuk mereduksi HAP pada tanah terkontaminasi minyak
bumi. Pada media tanah, akumulasi HAP dapat menyebabkan biomagnifikasi dalam rantai
makanan manusia karena sangat larut di dalam lemak melalui pemaparan langsung atau
tidak langsung ke dalam sistem pencernaan.
Karena HAP ini sangat berbahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya, maka
harus didegradasi. Biodegradasi adalah proses konversi senyawa organik menjadi
kompleksitas senyawa lebih rendah dalam bentuk molekul kimia anorganik sederhana,
seperti air atau karbon dioksida. Biodegradasi polutan aromatik secara aerob dilakukan oleh
konsorsium metanogen dan bakteri fototrofik dari proses fermentasi, reduksi mangan,
reduksi sulfat, reduksi besi, dan reduksi nitrat, dan sulfat mengurangi bakteri.
Berbagai jenis bakteri telah mampu mendegradasi HAP melalui proses metabolisme
atau kometabolisme. Bakteri pendegradasi HAP berasal dari genus Agmenellum,
Aeromonas, Alcaligenes, Acinetobacter, Bacillus, Berjerinckia, Burkholderia,
Corynebacterium, Cyclotrophicus, Flavobacterium, Micrococcus, Moraxella,
Mycobacterium, Nocardioides, Pseudomonas, Lutibacterium, Rhodococcus, Streptomyces,
Sphingomonas, Stenotrophomonas, Vibrio, dan Paenibacillus. Isolasi bakteri pendegradasi
HAP dari tanah sering ditemukan pada kelompok Sphingomonas dan Mycobacteria.
Hasil akhir metabolisme HAP berupa pertumbuhan mikroorganisme, mineralisasi dan
transformasi dari substrat HAP menjadi bentuk non-mineral. Berbagai mekanisme jalur
proses biodegradasi ditentukan atas kemunculan kontaminan kimia melalui tahap
biodegradasi asimilatif, detoksifikasi intraseluler, dan kometabolisme sehingga
memungkinkan penggunaan senyawa sebagai sumber karbon atau sumber energi.
Penggunaan teknik biologi modern memainkan peranan penting untuk perubahan jalur
biodegradasi dalam mencapai nilai efisiensi HAP tertinggi terhadap penggunaan berbagai
jenis mikroorganisme (Kurniawan, 2018).
C. Pengomposan
1. Pengertian Kompos
Poses biologi untuk mengurai bahan organik menjadi bahan humus oleh
mikroorganisme dikenal sebagai dekomposisi atau pengomposan.Pembuatan kompos
merupakan salah satu contoh nyata tentang peranan mikroorganisme dalam tanah. Kompos
adalah suatu campuran bahan-bahan organik yang kompleks yang dapat digunakan untuk
pemupukan dan memperbaiki tekstur tanah. Kompos ini dapat dibuat dengan cara
menumpukkan daun – daun, ranting – ranting beserta bagian tanaman lainnya dan
mencampurnya dengan beberapa sumber nitrogen dan fosfor yang dibiarkan mengalami
pembususkan (Tarigan, 1988). Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil
conditioner) dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga
mempertahankan dan menambah kesuburan tanah pertanian.
2. Karakteristik dan Sifat Kompos
Karakteristik umum dimiliki kompos antara lain:
a. mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal;
b. menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas;
c. mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah.
Berikut ini diuraikan fungsi kompos dalam memperbaiki kualitas kesuburan fisik,
kimia, dan biologi tanah.
a. Sifat fisika tanah
Kompos memperbaiki struktur tanah yang semula padat menjadi gembur sehingga
mempermudah pengolahan tanah. Tanah berpasir menjadi lebih kompak dan tanah
lempung menjadi lebih gembur. Penyebab kompak dan gemburnya tanah ini adalah
senyawa-senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai serta
miselium atau hifa yang berfungsi sebagai perekat partikel tanah. Dengan struktur
tanah yang baik ini berarti difusi O2 atau aerasi akan lebih banyak sehingga proses
fisiologis di akar akan lancar. Perbaikan agregat tanah menjadi lebih remah akan
mempermudah penyerapan air ke dalam tanah sehingga proses erosi dapat dicegah.
b. Sifat kimia tanah
Kompos merupakan sumber hara makro dan mikromineral secara lengkap meskipun
dalam jumlah yang relatif kecil (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, B, Zn, Mo, dan Si). Dalam
jangka panjang, pemberian kompos dapat memperbaiki pH dan meningkatkan hasil
tanaman pertanian pada tanah-tanah masam. Pada tanah-tanah yang kandungan P-
tersedia rendah, bentuk fosfat organik mempunyai peranan penting dalam penyediaan
hara tanaman karena hampir sebagian besar P yang diperlukan tanaman terdapat pada
senyawa P-organik.
c. Sifat biologi tanah
Kompos banyak mengandung mikroorganisme (fungi, aktinomisetes, bakteri, dan
alga). Dengan ditambahkannya kompos ke dalam tanah tidak hanya jutaan
mikroorganisme yang ditambahkan, akan tetapi mikroorganisme yang ada dalam tanah
juga terpacu untuk berkembang. Aktivitas berbagai mikroorganisme di dalam kompos
menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan, misalnya auksin, giberelin, dan sitokinin
yang memacu pertumbuhan dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah
pencarian makanan lebih luas.
(a) (b)
Gambar 13. (a)Fungi Perombak Selulosa Chaetomium sp.
(b) Fungi perombak lignin Trametes sp.
d. Mesofauna Perombak Bahan Organik
Sebagian invetebrata yang berperan dalam dekomposer merupakan hewan yang
sebagian siklus hidupnya berada di tanah. hewan tersebut meliputi kelas Gastropoda,
Oligochaeta dan Hexapoda. Aktivitas makro mesofauna tanah tertentumenyediakan nutrisi
berupa koloid organik tanah yang dibutuhkan makro-mesofauna tanah lainnya. selain hal
tersesbut aktivitas fauna tanah menyebabkan fraksinai bahan organik yang berukuran kasar
menjadi serpihan yang lebih halus sehingga luas permukaan jenis bahan organik tersebut
lebih besar sehingga kemungkinan mikroba tanah kontak dengan bahan organik terebut
lebih besar. Fauna tanh juga berperan dalam mendistribusikan bahan organik dalam tanah,
meningkatkan kesuburan tanah dan memperbaiki sifat fisik tanah. invetebrata dekomposer
yang penting meliputi cacing tanah dan Collembola.
5. Pengomposan
a. Prinsip pengomposan
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena
perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah. Rasio
C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat (C) dan nitrogen (N). Rasio C/N tanah
berkisar antara 10-12. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama
dengan rasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Namun pada
umumnya bahan organik segar mempunyai rasio C/N tinggi (jerami 50-70; dedaunan
tanaman 50-60; kayu-kayuan >400; dan lain-lain).
Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga
sama dengan C/N tanah (<20). Semakin tinggi rasio C/N bahan organik maka proses
pengomposan atau perombakan bahan semakin lama. Waktu yang dibutuhkan bervariasi
dari satu bulan hingga beberapa tahun tergantung bahan dasar. Proses perombakan bahan
organik terjadi secara biofisiko-kimia, melibatkan aktivitas biologi mikroba dan mesofauna.
Di lingkungan alam terbuka, kompos bisa terjadi dengan sendirinya. Proses
pembusukan terjadi secara alami namun tidak dalam waktu yang singkat, melainkan secara
bertahap. Lewat proses alami, rumput, daun-daunan, dan kotoran hewan serta sampah
lainnya lama kelamaan membusuk karena kerja sama antara mikroorganisme dengan cuaca.
Lamanya proses pembusukan tersebut lebih kurang sekitar 5 minggu hingga 2 bulan.
Namun jika kita ingin waktu yang lebih singkat, 2 minggu, proses tersebut dapat dipercepat
dengan menggunakan bioaktivator perombak bahan organik, seperti Trichoderma sp.
A. Kesimpulan
1. Tanah merupakan lingkungan yang subur dan mengandung berbagai jenis
mikroorganisme. Di dalam tanah, hidup berbagai jasad renik (mikroorganisme) yang
melakukan berbagai kegiatan yang menguntungkan bagi kehidupan makhluk-makhluk
hidup lainnya.
2. Peranan mikroorganisme ayang menguntungkan yaitu berperan dalam siklus
biogeokimia, proses bioremediasi, biomagnifikasi dan pengomposan.
3. Siklus biogeokimia meliputi siklus karbon, siklus sulfur (belerang), siklus nitrogen,
dan siklus posfor.
4. Bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi masalah
lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang
dimaksud adalah khamir, fungi (mycoremediasi), yeast, alga dan bakteri.
Mikroorganisme akan mendegradasi zat pencemar atau polutan menjadi bahan yang
kurang beracun atau tidak beracun.
5. Pengomposan merupakan salah satu metode pengelolaan sampah organik yang
bertujuan mengurangi dan mengubah komposisi sampah menjadi produk yang
bermanfaat. Selama proses pengomposan, sejumlah jasad hidup seperti bakteri dan
jamur, berperan aktif dalam penguraian bahan organik kompleks menjadi lebih
sederhana
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kebaikan makalah ini ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik
Domestik. SNI 19-7030-2004.
Benoît Pharand, Odile Carisse, and Nicole Benhamou. 2002. Cytological Aspects of
Compost- Mediated Induced Resistance Against Fusarium Crown and Root Rot in
Tomato. Biochemistry and Cell Biology Vol. 92, No. 4, 2002 p. 424 – 438.
CIWBM (The California Integrated Waste Management Board). 2003. The Important of
Compost Maturity. Publication #443-03-007, February 2003.
Craig Coker. 200. Composting Industrial and Commercial Organics. Waste Reduction
Partners, Quarterly Meeting.
FFTC (Food and Fertilizer Technology Center). 2003. Making Compost in Three Week.
Soil and fertilizer PT2003 – 40. www.fftc.agnet.org
Kurniawan, Allen, Yanuar Chandra Wirasembada, Indah Mutiara Ningtyas Razaad, Adi
Novriansyah, Mohamad Rafi & Agus Jatnika Effendi. 2018. Hidrokarbon Aromatik
Polisiklik pada Lahan Tercemar Limbah Minyak Bumi: Tinjauan Pertumbuhan
Mikro- Organisme, Proses Metabolisme dan Biodegradasi. Jurnal Ilmu Lingkungan.
Vol. 16. No. 1.
Leslie Coperband. 2002. The Art and Science of Composting, A resource for farmers
and producers. March 29, 2002. Center for Integrated Agricultur System,
University of Wisconsin-Medison.
Myung, Ho Um and Youn Lee. 2005. Quality Control for Commercial Compost in
Korea. National Institute of Agricultural Science and Technology (NIAST) and
Rural Development and Administration (RDA), Suwon – Korea.
Sutedjo, M.M., Kartasapoetra, A.G., dan Sastroatmodjo, RD.S. 1991. Mikrobiologi Tanah.
Jakarta: PT. Melton Putra.