Oleh
NURUL HIDAYATI
H1A 010 053
Pembimbing :
dr. Ika Primayanti, M.Kes
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Definisi asma secara lengkap yang menggambarkan konsep inflamasi
sebagai dasar mekanisme terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA (Global
Initiative for Asthma). Asma didefinisikan sebagai penyakit heterogen, biasanya
ditandai dengan inflamasi kronis pada saluran pernapasan. Hal ini didefinisikan
oleh gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak di dada, batuk yang yang
intesditasnya semakin sering dari waktu ke waktu, dan keterbatasan aliran udara
ekspirasi.1
EPIDEMIOLOGI
ISPA HIPERTENSI
GASTRITIS PENY. KULIT INFEKSI
Obstruksi saluran napas ini bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat
membaik spontan atau dengan pengobatan. Penyempitan saluran napas ini
menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas
bronkus terhadap berbagai stimuli. Penyebabnya multifaktor, yang utama adalah
kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel
inflamasi.1,5
Gambar 1. Saluran napas normal dan penderita asma(1)
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas
humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit B
sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi
limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster
differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel limfosit T helper
(CD4) dibedakan menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1 mensekresi interleukin-2 (IL-2),
IL-3, granulocytet monocyte colony stimulating factor (GMCSF), interferon-γ
(IFN-γ) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) sedangkan Th2 mensekresi IL-3, IL-
4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons imun dimulai dengan aktivasi
sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen primer
( primary antigen presenting cells/APC). Skema itu dapat kita lihat pada gambar 2
sebagai berikut (1,8) :
Keterangan :
Predisposisi genetik
Hiperesponsif saluran napas
Atopi
Jenis kelamin
Ras
B. FAKTOR LINGKUNGAN
ETIOLOGI
Asma bronkial merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor
otonom, imunologis, infeksi, endokrin, dan psikologis dalam berbagai tingkat
pada berbagai individu. Pengendalian diameter jalan napas dapat dipandang
sebagai suatu keseimbangan gaya neural dan humoral. Aktivitas
bronkokonstriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom.
Faktor humoral membantu bronkodilatasi termasuk katekolamin endogen yang
bekerja pada reseptor adrenergik-ß yang mengakibatkan terjadinya relaksasi otot
polos bronkus. Asma dapat disebabkan oleh kelainan fungsi reseptor adenilat
siklase adrenergik-ß, dengan penurunan reseptor adrenergik-ß pada leukosit
penderita asma.5
Selain hal-hal tersebut, terdapat beberapa faktor lain yang juga turut
berperan sebagai etiologi penyakit ini, diantaranya yaitu 5 :
Faktor-faktor imunologis
Penderita yang dikategorikan dalam penderita asma ekstrinsik atau
alergik, eksaserbasi terjadi setelah adanya paparan dari faktor lingkungan seperti
debu rumah, serbuksari bunga, dan ketombe. Hal ini seringkali akan
meningkatkan kadar imunoglobulin E ( IgE ) total maupun IgE spesifik pada
penderita terhadap antigen-antigen tersebut. Asma yang tergolong kategori ini,
sering dijumpai pada anak-anak dengan kisaran usia 2 tahun pertama dan pada
orang dewasa (asma yang timbul lambat) yang disebut juga asma intrinsik .
Faktor endokrin
Asma bronkial dapat menjadi lebih buruk pada pasien dengan keadaan
hamil dan menstruasi, terutama pada premenstruasi atau pada wanita yang
menopause. Sedangkan pada anak dengan masa pubertas, keadaan asma
cenderung akan lebih baik. Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor
endokrin pada etiologi dan patogenesis asma bronkial.
Faktor Psikologis
Faktor emosi dapat memicu timbulnya gejala-gejala asma.
Faktor lain
Faktor lain yang juga dapat menjadi pencetus (trigger) terjadinya asma
ialah infeksi saluran napas, faktor fisik (aktivitas fisik yang berlebih), perubahan
cuaca, obat-obatan, dan paparan bahan-bahan di lingkungan kerja.
KLASIFIKASI
DIAGNOSIS
Anamnesis
Umumnya diagnosa asma tidak sulit, terutama bila ditemukan gejala klasik
asma yaitu batuk, sesak napas, dan mengi yang timbul secara tiba-tiba dan dapat
hilang secara spontan/pengobatan. Adanya riwayat asma/riwayat alergi dan faktor
pencetus.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
Diperlukan uji laboratorium darah dan sputum serta uji fungsi fisiologi
paru guna menunjang diagnosis asma bronkial. Eosinofilia di dalam darah dan
sputum akan mengalami peningkatan. Di dalam darah, eosinofilia akan lebih dari
dari 250-400 sel/mm3. Sedangkan pada sputum juga akan dijumpai adanya
eosinofilia, akan tetapi hal ini tidaklah khas pada penderita asma karena beberapa
penyakit anak selain asma mungkin menyebabkan eosinofilia di dalam sputum.
Protein serum dan kadar imunoglobulin biasanya normal pada penderita asma
bronkial, kecuali kadar IgE mungkin bertambah.(8) Uji fisiologi paru bermanfaat
dalam mengevaluasi anak yang diduga menderita asma bronkial. Pada penderita
asma, uji ini bermanfaat untuk menilai tingkat penyumbatan jalan napas dan
gangguan pertukaran gas.5
Penentuan gas dan pH darah arterial merupakan hal yang penting dalam
mengevaluasi penderita asma selama masa eksaserbasi yang memerlukan
perawatan di rumah sakit. Penentuan saturasi oksigen dengan oksimetri secara
teratur akan membantu dalam menentukan keparahan eksaserbasi akut. PCO 2
biasanya rendah selama stadium awal asma akut. Ketika penyumbatan memburuk,
maka PCO2 akan meningkat.5
Pada foto toraks akan tampak corakan paru yang meningkat. Hiperinflasi
terdapat pada serangan akut dan kronik. Atelektasis kadang-kadang dapat
ditemukan. Pada pasien ini hasil foto toraks didapatkan hasil gambaran infiltrat (-)
dan adanya gambaran bronkitis kronis.
DIAGNOSIS BANDING
Beberapa dianosis banding terhadap penyakit asma bronkial ini diantaranya yaitu 5
:
a. Rhinitis alergika
b. Sinusitis
c. Bronkhiolitis
d. Benda asing pada saluran napas
Pada rhinitis alergika, ditemukan adanya penyumbatan hidung secara
bilateral akibat edema basahnya membran mukosa. Selain itu, pada rhenitis
alergika ditemukan bersin-bersin, hidung yang berair, mata yang terasa gatal dan
mengeluarkan air mata yang berlebihan. Sinusitis mempunyai gejala berupa
adanya batuk malam hari, tetapi hal itu jarang karena lebih sering batuk pada
siang hari. Selain itu, juga ditemukan nyeri kepala, nyeri wajah dan bisa
ditemukan nanah dalah meatus media.5
Benda asing pada saluran napas juga dapat menyebabkan sesak pada
penderita. Tetapi diagnosis ini dapat disingkirkan karena pada aloanamnesa dan
pemeriksaan fisik akan ditemukan riwayat dari pasien dengan sengaja atau tidak
memasukkan benda asing ke saluran nafasnya.
KOMPLIKASI
Penyakit asma bila tidak mendapatkan terapi atau penangan secara benar,
bisa menimbulkan komplikasi-komplikasi yang cukup mengkhawatirkan.
Beberapa komplikasi yang bisa terjadi diantaranya yaitu 5 :
Pneumotoraks spontan
Walaupun ini jarang sekali dijumpai, akan tetapi kadang dapat ditemukan
sebagai sebuah fenomena yang cukup menarik.
Pneumomediastinum
Penyakit ini kadang ditemukan pada penderita dengan usia yang cukup
muda. Penyakit ini timbul sebagai suatu proses yang berlangsung secara
alamiah, seperti yang dilaporkan oleh Jamadar yang telah melakukan
penelitian terhadap hewan coba.Pneumomediastinum ini pada umumnya
akan sembuh dengan sendirinya (self-limited disease)
Empisema
Penyakit ini sering ditemukan terjadi di subdural dan paling sering terjadi
pada anak-anak. Pergerakan udara terjadi dengan mengarah ke posterior,
yakni dari pneumomediastinum menuju foramina intervertebralis.
Pneumoperikardium
Penyakit ini jarang ditemukan sebagai komplikasi asma. Akan tetapi bila
terjadi, maka akan lebih sering terjadi pada anak-anak. Hal ini disebabkan
selaput pericardial pada anak-anak cenderung lebih rapuh dibndingkan
dengan orang dewasa. Seperti halnya dengan pneumomediastinum,
pneumoperikardium biasanya ditemui dengan sifat yang benigna.
PENATALAKSANAAN
A. Tatalaksana di pelayanan primer (Puskesmas)
Jika pasien menunjukkan tanda- tanda eksaserbasi akut atau mengancam
jiwa, segera pengobatan dengan SABA, Oksigen dan kortikosteroid sistemik.
Rujuk ke fasilitas yang lebih memadai jika dibutuhkan monitoring yang ketat
dan spesialisasi paru. Eksaserbasi ringan dapat diobati di Puskesmas, tapi
tergantung ketersediaan alat ataupun obat-obatan. 1
Mengobati serangan eksaserbasi di Puskesmas diberikan terapi berulang
short acting bronkodilator inhalasi, kostikosteroid sistemik, dan pemberian
aliran oksigen. Tujuannya adalah agar cepat meringankan obstruksi aliran
udara dan hipoksemia, mengatasi patofisiologi inflamasi yang mendasari dan
mencegah kambuh.1
Dosis kortikosteroid prednisolone pada orang dewasa adalah 1
mg/kgbb/hari dengan dosis maksimal 50 mg/hari dan 1-2 mg/kgbb/hari pada
anak- anak 4-6 tahun dengan dosis maksismal 40 mg/hari. Pemberian selama
5-7 hari.1
Pasien di follow up 2-7 hari kemudian.memberikan penjelasan pada
pasien agar mengendalikan faktor risiko agar tidak terjadi eksaserbasi
berulang.1
Management of asthma exacerbations in primary care (adults, adolescents,
children 6–11 years)
B. Tatalaksana di klinik atau Unit Gawat Darurat
Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan di Unit Gawat Darurat,
langsung dinilai derajat serangannya sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam
panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau
fleak flowmeter) merupakan bagian integral penilaian tatalaksana serangan asma,
bukan hanya evaluasi klinis. Namun, di Indonesia penggunaan alat tersebut belum
memasyarakat.1
Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam serangan yang
berat, langsung berikan nebulisasi ß-agonis dikombinasikan dengan
antikolinergik. Pasien dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis
metabolic, mungkin akan mengalami takifilasis atau refrakter yaitu respons yang
kurang baik terhadap nebulisasi ß-agonis. Pasien seperti ini cukup sekali
dinebulisasi kemudian secepatnya dirawat untuk mendapat obat intravena selain
dibatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.1
Jika pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien
harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Untuk pasien dengan serangan
berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat foto Rontgen thoraks guna
komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum. 1,5
Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD dan/atau
perburukan asma yang cepat.
Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas atau
hilangnya kesadaran.
Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana di ruang rawat inap.
Ancaman henti napas : hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberikan
oksigen (Kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 > 45 mmHg, walaupun
tentu saja gagal napas dapat terjadi dalam kadar PaCO 2 yang lebih tinggi atau
lebih rendah).
Berdasarkan patofisiologinya, maka secara garis besar terapi
farmakokinetika pada penatalaksanaan asma bronkial meliputi :
- Sodium kromoglikat
- Kortikosteroid
- Leukotrien inhibitor
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok
sintesis semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor
leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas).
Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan
menurunkan bronkokontriksi akibat alergen, sulfurdioksida, dan exercise. Selain
bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Saat ini yang beredar
di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor sisteinil). Efek samping jarang
ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi
hati dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton. 5
- Ketotifen
- Magnesium
a. Simpatomimetik
Termasuk di dalam agonis β-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimya agonis β-2
mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator
dari sel mast dan basofil. Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai
efek antiiflamasi walau kecil. Inhalasi agonis β-2 kerja lama yang diberikan
jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor.
Pemberian inhalasi agonis β-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih
baik dibandingkan preparat oral. 5
b. Metilsantin
c. Antikolinergik
4. Mukolitik
Perlu juga dikemukakan bahwa pada bayi dan anak serangan asma
mungkin lebih banyak disebabkan oleh udem mukosa dan sekresi mukus
dibanding dengan bronkospasme. 5
5. Antibiotik
PROGNOSIS
Beberapa studi menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak
berlanjut menjadi asma pada masa anak-anak dan remajanya. Proporsi kelompok
tersebut berkisar antara 45% hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe
studi, dan lamanya pementauan. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis
atopik pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk
terjadinya asma dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka
kemungkinan menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai
dengan 2 dari 3 keadaan berikut yaitu eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing
yang menetap pada keadaan bukan flu.5,7
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Umur : 50 tahun
Pendidikan terahir : SD
Suku : Sasak
Agama : Islam
Riwayat BAK (+), frekuensi tiga kali sehari, warna kuning, nyeri saat berkemih
(-). Riwayat BAB normal, satu kali sehari, BAB berdarah disangkal oleh pasien.
Vital sign
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit, reguler dan kuat angkat
Frekeunsi Nafas : 32 x/menit, reguler
Suhu : 36,5 º C, suhu aksiler
Status Generalis
Kepala-Leher
Kepala:
Ekspresi wajah : normal
Bentuk dan ukuran : normal
Rambut : normal
Edema : (-)
Malar rash : (-)
Parese N. VII : (-)
Nyeri tekan kepala : (-)
Massa : (-)
Mata:
Simetris
Alis normal
Exopthalmus : (-/-)
Nistagmus : (-/-)
Strabismus : (-/-)
Ptosis : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-), hiperemia (-/-)
Sclera : icterus (-/-)
Pupil : isokor Ø 3 mm, bulat, refleks pupil (+/+)
Kornea : normal
Lensa : normal, katarak (-/-)
Pergerakan bola mata ke segala arah normal
Nyeri (-) pada penekanan
Telinga:
Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan
Lubang telinga : normal, secret (-/-)
Nyeri tekan : (-/-)
Peradangan pada telinga : (-)
Pendengaran : kesan normal
Hidung:
Simetris
Deviasi septum : (-/-)
Perdarahan : (-/-)
Secret : (-/-)
Penciuman : kesan normal
Mulut:
Simetris
Bibir : kering (+), sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips
breathing (-)
Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-)
Lidah : glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-),
kemerahan di pinggir (-), tremor (-), lidah kotor (-)
Gigi : karang gigi (+)
Mukosa : normal
Leher:
Deviasi trakea : (+) ke kanan
Kaku kuduk : (-)
Scrofuloderma : (-)
Pembesaran KGB : (-)
Pembesaran kel. thyroid : (-)
Otot SCM : aktif (+), hipertrofi (+)
JVP : 5 + 2 (tidak meningkat)
Thoraks
Inspeksi:
1. Bentuk & ukuran: bentuk dada kiri dan kanan simetris, barrel chest (-),
pergerakan dinding dada simetris, retraksi (+) suprasternal
2. Permukaan dada: papula (-), petechiae (-), purpura (-), ekimpasienis (-), spider
naevi (-), vena kolateral (-), massa (-).
3. Penggunaan otot bantu nafas: SCM aktif, tampak hipertrofi SCM, otot bantu
abdomen aktif dan hipertrofi (+).
4. Iga dan sela iga: pelebaran ICS (-).
5. Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis: cekung, simetris kiri dan kanan
jugularis: tak tampak deviasi
6. Tipe pernapasan: torako-abdominal, frekuensi 32 x/ menit
Palpasi:
Trakea: tidak ada deviasi trakea, iktus kordis teraba di ICS V linea
parasternal sinistra.
Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-).
Gerakan dinding dada: simetris kiri dan kanan.
Fremitus vocal: simetris kiri dan kanan menurun
Perkusi:
Sonor seluruh lapang paru.
Batas paru-hepar à Inspirasi: ICS VI, Ekspirasi: ICS IV; Ekskursi: 2 ICS.
Batas paru-jantung:
Kanan: ICS II linea parasternalis dekstra
Kiri: ICS IV linea mid clavicula sinistra
Auskultasi:
Cor: S1 S2 tunggal regular, Murmur (-), Gallop (-).
Pulmo:
Vesikuler (+) pada seluruh lapang paru .
Rhonki (-/-).
Wheezing (+/+).
Abdomen
Inspeksi:
Bentuk: simetris
Umbilicus: masuk merata
Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), sianpasienis (-), venektasi (-),
ikterik (-), massa (-), vena kolateral (-), caput meducae (-), papula (-),
petekie (-), purpura (-), ekimpasienis (-), spider nevy (-)
Distensi (-)
Ascites (-)
Auskultasi:
Bising usus (+) normal
Metallic sound (-)
Bising aorta (-)
Perkusi:
Timpani pada seluruh lapang abdomen (+)
Nyeri ketok (-)
Nyeri ketok CVA (-/-)
Palpasi:
Nyeri tekan epigastrium (-)
Massa (-)
Hepar/lien/ren: tidak teraba
Tes Undulasi (-), Shifting dullness (-)
Ekstremitas
Inguinal-genitalia-anus : tidak diperiksa
e. Skala fungsional
Skala fungsional pasien yaitu kelas I karena pasien dapat melakukan kegiatan
dengan baik sehari-hari.
3.4 Penatalaksanaan
Managemen berdasarkan diagnosis pasien
- Salbutamol 2,5 mg nebulisasi
- Salbutamol 3 x 1 tablet
- Methilprednisolone tablet 4 mg, 3 x 1 tablet
- Multivitamin, 1x1 tablet
Tujuan Terapi
Mengontrol timbulnya serangan sesak berulang
Konseling
- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita adalah
penyakit asma, penyakit yang tidak menular dan tidak bisa sembuh tapi
hanya bisa dikontrol, dan dapat diturunkan.
- Menjelaskan kepada pasien tentang gejala-gejala pada penyakit asma
dan resiko penyulit yang mungkin terjadi.
- Menganjurkan pasien agar menghindari cuaca dingin dengan memakai
pakaian hangat, dan tidak terpapar langsung oleh debu yaitu dengan
cara menggunakan masker terutama saat berada di sawah.
- Menjelaskan kepada pasien agar tekun meminum obat dan rutin
memeriksakan dirinya di Puskemas, meskipun pasien sudah merasa
sehat.
- Menganjurkan pasien mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan
untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
- Menganjurkan pasien untuk istirahat cukup.
4.1. Tujuan
Mengetahui faktor penyebab/ pencetus utama terjadinya asma
4.2. Metodologi
Metodologi yang dipakai : wawancara dan pengamatan lingkungan tempat
tinggal pasien. Variabel yang dipakai adalah faktor pencetus asma.
Kamar mandi
Halaman belakang
BAB V
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien perempuan berusia 50 tahun datang ke IGD Puskesmas
Gunung Sari (24 Agustus 2015) dengan keluhan sesak yang disertai bunyi “ngik”,
dan batuk berdahak sejak dua hari yang lalu dan memberat hari ini. Nyeri dada
disangkal oleh pasien. Pasien lebih nyaman duduk dan masih dapat berbicara
beberapa penggal kalimat. Pasien menyangkal sering sesak nafas seak kecil.
Pasien mulai sesak nafas sejak usia 20 tahun. Dalam satu bulan terahir pasien dua
kali mengalami serangan sesak. Serangan sesak terahir yaitu dua minggu yang
lalu dan membaik dengan pemberian uap. Sesak dirasakan memberat terutama
saat cuaca dingin dan saat terpapar oleh debu. BAK dan BAB dalam batas normal.
1. Faktor Biologis
Faktor biologis yang paling mendukung terjadinya asma pada pasien ini
adalah adanya riwayat asma yang dimiliki oleh ayah pasien. Salah satu faktor
utama terjadinya asma adalah adanya predisposisi genetik yang biasanya
diturunkan oleh orangtua pasien kepada anaknya. Selain itu, faktor usia juga
mendukung mengarahkan diagnosa karena asma lebih sering terjadi pada masa
anak-anak sampai remaja. Pada pasien ini serangan sesak pertama pada usia
remaja yaitu 20 tahun.
2. Faktor Lingkungan
3. Faktor Perilaku
Faktor perilaku yang menyebabkan terjadinya serangan asma pada pasien
adalah pasien tidak menghindari faktor pencetus yang biasanya mengakibatkan
munculnya serangan yaitu berupa alergen debu di sawah dan cuaca dingin. Pasien
juga tidak langsung pergi ke pelayanan kesehatan untuk berobat namun menunggu
keluhannya memberat dulu.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
6.2. Saran
1. Upaya preventif, promotif, dan kuratif perlu dilakukan untuk menurunkan
kejadian serangan asma.
2. Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan tentang bagaimana cara
diagnosis dan tatalaksana asma
3. Menjalin kerja sama antara keluarga, tokoh masyarakat, kader, dan petugas
kesehatan dalam tatalaksana dan pencegahan serangan asma terutama jika
terkait dengan faktor lingkungan.
4. Koordinasi antara bagian konseling dengan bagian pelayanan kesehatan agar
lebih ditingkatkan terutama dalam melakukan sosialisasi berupa penyuluhan
yang berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS).
DAFTAR PUSTAKA
1. GINA. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. National
Institutes of Health. 2015. Dilihat tanggal 1 September 2015 : diunduh di
www.ginasthma.org.
2. Depkes. You Can Control Your Astma. Infodatin pusat data dan informasi
kementrian kesehatan RI. Dilihat tanggal 1 September 2015 : diunduh di
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-
asma.pdf.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI . 2008.
Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Depkes