Anda di halaman 1dari 44

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

LAPORAN KASUS INDIVIDU


“ASMA BRONKIALE EKSASERBASI AKUT”

Oleh

NURUL HIDAYATI
H1A 010 053

Pembimbing :
dr. Ika Primayanti, M.Kes

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK


MADYA
BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
PUSKESMAS GUNUNG SARI
2015
BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi


kronis pada saluran pernapasan. Hal ini didefinisikan oleh gejala pernapasan
seperti mengi, sesak napas, sesak di dada, batuk yang yang intesditasnya semakin
sering dari waktu ke waktu, dan keterbatasan aliran udara ekspirasi.1

Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat


kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun
belakangan ini obat –obatan asma banyak dikembangkan. National Health
Interview Survey di Amerika Serikat memperkirakan bahwa setidaknya 7,5 juta
orang penduduk negeri itu mengidap brochitis kronik, lebih dari 2 juta menderita
emfisema dan setidaknya 6.5 juta orang menderita salah satu bentuk asma. Laoran
kesehatan organisasi dunia (WHO) dalam World Health Report 2000
menyebutkan, lima penyakit paru utama merupakan 17,4 % dari seluruh kematian
di dunia, masing- masing terdiri dari infeksi paru 7,2%, PPOK 4,8%, Tuberkulosis
3,0 %, kanker paru/trakea/ bronkus 2,1 % dan Asma 0,3 %.2

Berdasarkan data World Helath Organization (WHO), hingga saat ini


jumlah pasien asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan
diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun
2025. Di dunia, penyakit asma termasuk 5 besar penyebab kematian, yaitu
mencapai 17,4%. Sedangkan di Indonesia, penyakit ini masuk dalam sepuluh
besar penyebab kesakitan dan kematian. Diperkirakan prevalensi asma di
Indonesia mencapai 5% dari seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5
juta pasien yang menderita asma di Indonesia. Di Provinsi NTB pada tahun 2014
jumlah kasus asma dilaporkan sebanyak 45.867. Berdasarkan gambaran tersebut,
terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu
mendapat perhatian serius.2
Di Indonesia sendiri, prevalensi nasional terjadinya asma sebesar 4,0%
(berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala). Sebanyak 9 provinsi yang
mempunai prevalensi asma terbanyak diatas prevalensi nasional, antara lain
adalah Nagroe Aceh Darussalam pada urutan pertama, diikuti oleh Jawa Barat,
NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo
dan Papua Barat.3

Saat ini penyakit Asma menunjukkan prevalensi yang tinggi. Berdasarkan


data 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Gunung Sari, penderita asma di
Puskesmas Gunung Sari, menempati peringkat 12 dengan jumlah pasien 1349
pada tahun 2012 dan 2013, dan peringkat 14 dengan jumlah pasien 1268 pada
tahun 2014. Tahun 2015, asma menempati peringkat 10 yaitu pada bulan Maret
dengan jumlah pasien 115, Juni dengan jumlah pasien 138 dan Juli jumlah pasien
115. Jumlah ini dapat saja lebih besar mengingat Asma merupakan penyakit
underdiagnose. Buruknya kualitas udara dan berubahnya pola hidup masyarakat
diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya penderita asma.4

Selain itu asma menempati urutan ketiga penyakit tidak menular


puskesmas Gunung sari setelah kecelakaan lalu lintas dan hipertensi pada bulan
Juli 2015 dengan jumlah kasus baru laki-laki dan perempuan 24 orang.4

Pada penyakit ini, akan dijumpai peningkatan kepekaan saluran napas


yang memicu terjadinya periode mengi yang berulang, sesak napas dan batuk
yang seringkali terjadi pada waktu malam hari. Gejala-gejala ini berhubungan
dengan luasnya inflamasi, hal ini bisa menyebabkan obstruksi saluran napas
dengan derajat yang bervariasi dan bersifat reversible, baik secara spontan
maupun dengan pengobatan.(1,8) Hal tersebut bisa diperberat jika ditemukan
adanya infeksi pada saluran napas yang bisa menyebabkan terjadinya eksaserbasi
asma, baik pada anak-anak maupun dewasa.

Terlambatnya penanganan terhadap penderita asma dapat menimbulkan


dampak yang cukup fatal, bahkan bisa berujung pada kematian. Hasil studi
penelitian yang dilakukan oleh Sears MD, menyebutkan bahwa terjadi
peningkatan angka kematian pada orang muda yang diakibatkan penyakit asma
antara tahun 1970-an hingga tahun 1980-an.5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Definisi asma secara lengkap yang menggambarkan konsep inflamasi
sebagai dasar mekanisme terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA (Global
Initiative for Asthma). Asma didefinisikan sebagai penyakit heterogen, biasanya
ditandai dengan inflamasi kronis pada saluran pernapasan. Hal ini didefinisikan
oleh gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak di dada, batuk yang yang
intesditasnya semakin sering dari waktu ke waktu, dan keterbatasan aliran udara
ekspirasi.1

EPIDEMIOLOGI

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di


Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT)
1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan
(morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT
1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti)
ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi
paru 2/ 1000.6
Berdasarkan data 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Gunung Sari,
penderita asma di Puskesmas Gunung Sari, menempati peringkat 12 dengan
jumlah pasien 1349 pada tahun 2012 dan 2013, dan peringkat 14 dengan jumlah
pasien 1268 pada tahun 2014. Tahun 2015, asma menempati peringkat 10 yaitu
pada bulan Maret dengan jumlah pasien 115, Juni dengan jumlah pasien 138 dan
Juli jumlah pasien 115. Jumlah ini dapat saja lebih besar mengingat Asma
merupakan penyakit underdiagnose. Buruknya kualitas udara dan berubahnya pola
hidup masyarakat diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya penderita asma.4

Selain itu asma menempati urutan ketiga penyakit tidak menular


puskesmas Gunung sari setelah kecelakaan lalu lintas dan hipertensi pada bulan
Juli 2015 dengan jumlah kasus baru laki-laki dan perempuan 24 orang.4
GRAFIK 10 PENYAKIT TERBANYAK POLI DEWASA
BULAN JULI 2015

ISPA HIPERTENSI
GASTRITIS PENY. KULIT INFEKSI

41 PENY. PD SISTEM OTOT DIABETES MELITUS


38 23 DAN JARINGAN IKAT
148 LAIN
46
97 PENYAKIT LAIN NYA PENY. KULIT ALERGI
69 41 95
PENY. ISPA LAINNYA DIARE
66

Berdasarkan data jumlah 10 kunjungan terbanyak di poli dewasa, Asma sebanyak


41 orang. pada grafik di bawah Asma tergolong ke dalam penyakit lainnya.
PATOFISOLOGI

A. Obstruksi Saluran Respiratorik


Inflamasi saluran respiratorik yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi : obstruksi saluran respiratorik
yang menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali secara spontan
atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala
khas pada asma, yakni berupa batuk, sesak, wheezing dan disertai hiperaktivitas
saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin
disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator
inflamasi.1,5

Obstruksi saluran napas ini bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat
membaik spontan atau dengan pengobatan. Penyempitan saluran napas ini
menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas
bronkus terhadap berbagai stimuli. Penyebabnya multifaktor, yang utama adalah
kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel
inflamasi.1,5
Gambar 1. Saluran napas normal dan penderita asma(1)

Adapun beberapa mekanisme yang bisa menyebabkan terjadinya


inflamasi pada saluran napas, diantaranya yaitu 1 :

 Mekanisme limfosit T - IgE

Setelah APC (Antigen Presenting Cells) mempresentasikan alergen /


antigen kepada sel limfosit T dengan bantuan major histocompatibility (MHC) kls
II, limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian
berdiferensiasi dan berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan produknya akan
mempengaruhi dan mengontrol limfosit B dalam memproduksi imunoglobulin.
Interaksi alergen pada limfosit B dengan limfosit T spesifik-alergen akan
menyebabkan limfosit B memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh
alergen yang sama akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E
spesifik akan berikatan dengan sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel
mast, basofil, eosinofil, makrofag dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel
tersebut maka sel akan teraktivasi dan berdegranulasi mengeluarkan mediator
yang berperan pada reaksi inflamasi.1

 Mekanisme limfosit T – nonIgE

Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5,


IL-9, IL-13 dan granulocyte monocyte colony stimulating factor (GMCSF).
Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga terjadi
proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil, mengeluarkan berbagai
protein toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu
penyebab hiperesponsivitas saluran napas (airway hyperresponsiveness / AHR).1

 Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas

Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas
humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit B
sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi
limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster
differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel limfosit T helper
(CD4) dibedakan menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1 mensekresi interleukin-2 (IL-2),
IL-3, granulocytet monocyte colony stimulating factor (GMCSF), interferon-γ
(IFN-γ) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) sedangkan Th2 mensekresi IL-3, IL-
4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons imun dimulai dengan aktivasi
sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen primer
( primary antigen presenting cells/APC). Skema itu dapat kita lihat pada gambar 2
sebagai berikut (1,8) :

Keterangan :

MHC = major histocompatibility


Ig = imunoglobulin
AHR = airway hiperresponsiveness
eos= eosinofil,
Bas = basofil
Gambar 2. Mekanisme imunologi pada asma

B. Hiperreaktivitas Saluran Respiratorik


Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan
patofisiologi yang secara klinik paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme
yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas
ini belum diketahui tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos
saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang
menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran napas
terutama peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran napas selama
kontraksi berlangsung.1

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratorik, sel goblet


kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik
dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratorik pada asma memperlihatkan
perubahan struktur saluran respiratorik yang bervariasi yang dapat menyebabkan
penebalan dinding saluran respiratorik. Selama ini, asma diyakini merupakan
obstruksi saluran respiratorik yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien,
reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri
setelah diterapi dengan inhalasi kortikosteroid.(12) Hiperreaktivitas bronkus secara
klinis sering diperiksa dengan memberikan stimulus aerosol histamin atau
metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif kemudian dilakukan
pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau FEV 1). Provokasi/stimulus lain
seperti latihan fisik, hiperventilasi, udara kering dan aerosol garam hipertonik,
adenosis tidak mempunyai efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti
histamin dan metakolin), akan tetapi dapat merangsang pelepasan mediator dari
sel mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran respiratorik. Dikatakan
hiperaktif bila dengan cara histamin didapatkan penurunan FEV 1 20% pada
konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.1
FAKTOR RISIKO

Adapun beberapa faktor yang bisa menimbulkan terjadinya penyakit asma


diantaranya yaitu 5 :

A. FAKTOR PEJAMU (Host)

 Predisposisi genetik
 Hiperesponsif saluran napas
 Atopi
 Jenis kelamin
 Ras
B. FAKTOR LINGKUNGAN

Faktor yang mempengaruhi kerentanan terbentuk asma pada individu yang


terpajan dengan faktor predisposisi.

 Alergen dalam rumah


 Tungau debu rumah
 Alergen pada hewan
 Alergen kecoa
 Jamur
 Alergen luar
 Tepung sari
 Jamur
 Pajanan pekerjaan
 Asap rokok
 Perokok pasif
 Perokok aktif
 Polusi udara
 Polutan luar rumah (outdoor pollutants)
 Polutan dalam rumah (indoor pollutants)
 Infeksi saluran napas
 Higiene
 Infeksi parasit
 Status sosial ekonomi
 Diet dan obat – obatan
 Obesitas

ETIOLOGI
Asma bronkial merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor
otonom, imunologis, infeksi, endokrin, dan psikologis dalam berbagai tingkat
pada berbagai individu. Pengendalian diameter jalan napas dapat dipandang
sebagai suatu keseimbangan gaya neural dan humoral. Aktivitas
bronkokonstriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom.
Faktor humoral membantu bronkodilatasi termasuk katekolamin endogen yang
bekerja pada reseptor adrenergik-ß yang mengakibatkan terjadinya relaksasi otot
polos bronkus. Asma dapat disebabkan oleh kelainan fungsi reseptor adenilat
siklase adrenergik-ß, dengan penurunan reseptor adrenergik-ß pada leukosit
penderita asma.5

Selain hal-hal tersebut, terdapat beberapa faktor lain yang juga turut
berperan sebagai etiologi penyakit ini, diantaranya yaitu 5 :

 Faktor-faktor imunologis
Penderita yang dikategorikan dalam penderita asma ekstrinsik atau
alergik, eksaserbasi terjadi setelah adanya paparan dari faktor lingkungan seperti
debu rumah, serbuksari bunga, dan ketombe. Hal ini seringkali akan
meningkatkan kadar imunoglobulin E ( IgE ) total maupun IgE spesifik pada
penderita terhadap antigen-antigen tersebut. Asma yang tergolong kategori ini,
sering dijumpai pada anak-anak dengan kisaran usia 2 tahun pertama dan pada
orang dewasa (asma yang timbul lambat) yang disebut juga asma intrinsik .

 Faktor endokrin
Asma bronkial dapat menjadi lebih buruk pada pasien dengan keadaan
hamil dan menstruasi, terutama pada premenstruasi atau pada wanita yang
menopause. Sedangkan pada anak dengan masa pubertas, keadaan asma
cenderung akan lebih baik. Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor
endokrin pada etiologi dan patogenesis asma bronkial.

 Faktor Psikologis
Faktor emosi dapat memicu timbulnya gejala-gejala asma.

 Faktor lain
Faktor lain yang juga dapat menjadi pencetus (trigger) terjadinya asma
ialah infeksi saluran napas, faktor fisik (aktivitas fisik yang berlebih), perubahan
cuaca, obat-obatan, dan paparan bahan-bahan di lingkungan kerja.

KLASIFIKASI

DIAGNOSIS

Anamnesis
Umumnya diagnosa asma tidak sulit, terutama bila ditemukan gejala klasik
asma yaitu batuk, sesak napas, dan mengi yang timbul secara tiba-tiba dan dapat
hilang secara spontan/pengobatan. Adanya riwayat asma/riwayat alergi dan faktor
pencetus.

Pemeriksaan Fisik

Dalam keadaan serangan, tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi


pernapasan dan denyut nadi meningkat. Mengi (wheezing) sering terdengar tanpa
stetoskop. Bunyi pernapasan mungkin melemah dengan ekspirasi memanjang

Pemeriksaan Penunjang

Diperlukan uji laboratorium darah dan sputum serta uji fungsi fisiologi
paru guna menunjang diagnosis asma bronkial. Eosinofilia di dalam darah dan
sputum akan mengalami peningkatan. Di dalam darah, eosinofilia akan lebih dari
dari 250-400 sel/mm3. Sedangkan pada sputum juga akan dijumpai adanya
eosinofilia, akan tetapi hal ini tidaklah khas pada penderita asma karena beberapa
penyakit anak selain asma mungkin menyebabkan eosinofilia di dalam sputum.
Protein serum dan kadar imunoglobulin biasanya normal pada penderita asma
bronkial, kecuali kadar IgE mungkin bertambah.(8) Uji fisiologi paru bermanfaat
dalam mengevaluasi anak yang diduga menderita asma bronkial. Pada penderita
asma, uji ini bermanfaat untuk menilai tingkat penyumbatan jalan napas dan
gangguan pertukaran gas.5

Penentuan gas dan pH darah arterial merupakan hal yang penting dalam
mengevaluasi penderita asma selama masa eksaserbasi yang memerlukan
perawatan di rumah sakit. Penentuan saturasi oksigen dengan oksimetri secara
teratur akan membantu dalam menentukan keparahan eksaserbasi akut. PCO 2
biasanya rendah selama stadium awal asma akut. Ketika penyumbatan memburuk,
maka PCO2 akan meningkat.5

Pada foto toraks akan tampak corakan paru yang meningkat. Hiperinflasi
terdapat pada serangan akut dan kronik. Atelektasis kadang-kadang dapat
ditemukan. Pada pasien ini hasil foto toraks didapatkan hasil gambaran infiltrat (-)
dan adanya gambaran bronkitis kronis.

DIAGNOSIS BANDING

Beberapa dianosis banding terhadap penyakit asma bronkial ini diantaranya yaitu 5
:

a. Rhinitis alergika

b. Sinusitis
c. Bronkhiolitis
d. Benda asing pada saluran napas
Pada rhinitis alergika, ditemukan adanya penyumbatan hidung secara
bilateral akibat edema basahnya membran mukosa. Selain itu, pada rhenitis
alergika ditemukan bersin-bersin, hidung yang berair, mata yang terasa gatal dan
mengeluarkan air mata yang berlebihan. Sinusitis mempunyai gejala berupa
adanya batuk malam hari, tetapi hal itu jarang karena lebih sering batuk pada
siang hari. Selain itu, juga ditemukan nyeri kepala, nyeri wajah dan bisa
ditemukan nanah dalah meatus media.5

Pada bronkhiolitis, ditemukan adanya demam, batuk serta wheezing atau


mengi sedangkan pada auskulasi akan ditemukan suara ronkhi. (8) Hal ini mirip
dengan asma bronkial, tetapi pada asma wheezing akan timbul secara periodik
atau episode. Selain itu, asma dicetuskan oleh adanya alergen baik dari
lingkungan maupun yang nonspesifik sedangkan pada bronkholitis tidak
demikian.

Benda asing pada saluran napas juga dapat menyebabkan sesak pada
penderita. Tetapi diagnosis ini dapat disingkirkan karena pada aloanamnesa dan
pemeriksaan fisik akan ditemukan riwayat dari pasien dengan sengaja atau tidak
memasukkan benda asing ke saluran nafasnya.

KOMPLIKASI
Penyakit asma bila tidak mendapatkan terapi atau penangan secara benar,
bisa menimbulkan komplikasi-komplikasi yang cukup mengkhawatirkan.
Beberapa komplikasi yang bisa terjadi diantaranya yaitu 5 :

 Pneumotoraks spontan
Walaupun ini jarang sekali dijumpai, akan tetapi kadang dapat ditemukan
sebagai sebuah fenomena yang cukup menarik.

 Pneumomediastinum
Penyakit ini kadang ditemukan pada penderita dengan usia yang cukup
muda. Penyakit ini timbul sebagai suatu proses yang berlangsung secara
alamiah, seperti yang dilaporkan oleh Jamadar yang telah melakukan
penelitian terhadap hewan coba.Pneumomediastinum ini pada umumnya
akan sembuh dengan sendirinya (self-limited disease)

 Empisema
Penyakit ini sering ditemukan terjadi di subdural dan paling sering terjadi
pada anak-anak. Pergerakan udara terjadi dengan mengarah ke posterior,
yakni dari pneumomediastinum menuju foramina intervertebralis.

 Pneumoperikardium
Penyakit ini jarang ditemukan sebagai komplikasi asma. Akan tetapi bila
terjadi, maka akan lebih sering terjadi pada anak-anak. Hal ini disebabkan
selaput pericardial pada anak-anak cenderung lebih rapuh dibndingkan
dengan orang dewasa. Seperti halnya dengan pneumomediastinum,
pneumoperikardium biasanya ditemui dengan sifat yang benigna.

 Perdarahan pada subarakhnoid


Kasus ini bisa ditemui pada pasien status asmatikus dengan perawatan
yang menggunakan ventilator. Pasien dengan keadaan seperti ini rentan
terhadap timbulnya peningkatan tekanan parsial karbondioksida, sehingga
dapat menyebabkan vasodilatasi di pembuluh darah serebral dan
meningkatnya tekanan intrakranial. Keadaan ini dapat diperparah dengan
adanya batuk-batuk pada pasien sehingga terjadi peningkatan tekanan
intrathoraks. Terapi ventilasi diyakini menjadi pencetus terjadinya edema
serebral dan terbatasnya aliran darah vena pada serebral.

PENATALAKSANAAN
A. Tatalaksana di pelayanan primer (Puskesmas)
Jika pasien menunjukkan tanda- tanda eksaserbasi akut atau mengancam
jiwa, segera pengobatan dengan SABA, Oksigen dan kortikosteroid sistemik.
Rujuk ke fasilitas yang lebih memadai jika dibutuhkan monitoring yang ketat
dan spesialisasi paru. Eksaserbasi ringan dapat diobati di Puskesmas, tapi
tergantung ketersediaan alat ataupun obat-obatan. 1
Mengobati serangan eksaserbasi di Puskesmas diberikan terapi berulang
short acting bronkodilator inhalasi, kostikosteroid sistemik, dan pemberian
aliran oksigen. Tujuannya adalah agar cepat meringankan obstruksi aliran
udara dan hipoksemia, mengatasi patofisiologi inflamasi yang mendasari dan
mencegah kambuh.1
Dosis kortikosteroid prednisolone pada orang dewasa adalah 1
mg/kgbb/hari dengan dosis maksimal 50 mg/hari dan 1-2 mg/kgbb/hari pada
anak- anak 4-6 tahun dengan dosis maksismal 40 mg/hari. Pemberian selama
5-7 hari.1
Pasien di follow up 2-7 hari kemudian.memberikan penjelasan pada
pasien agar mengendalikan faktor risiko agar tidak terjadi eksaserbasi
berulang.1
Management of asthma exacerbations in primary care (adults, adolescents,
children 6–11 years)
B. Tatalaksana di klinik atau Unit Gawat Darurat
Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan di Unit Gawat Darurat,
langsung dinilai derajat serangannya sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam
panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau
fleak flowmeter) merupakan bagian integral penilaian tatalaksana serangan asma,
bukan hanya evaluasi klinis. Namun, di Indonesia penggunaan alat tersebut belum
memasyarakat.1

Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian ß-agonis dengan


penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang
dua kali dengan selang waktu 20 menit. Pada pemberian ketiga, nebulisasi
ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus dapat berfungsi
sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat
secara klinis dapat dilakukan dengan cepat dan jelas. 1

Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam serangan yang
berat, langsung berikan nebulisasi ß-agonis dikombinasikan dengan
antikolinergik. Pasien dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis
metabolic, mungkin akan mengalami takifilasis atau refrakter yaitu respons yang
kurang baik terhadap nebulisasi ß-agonis. Pasien seperti ini cukup sekali
dinebulisasi kemudian secepatnya dirawat untuk mendapat obat intravena selain
dibatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.1

 Serangan Asma Ringan


Apabila keadaan pasien dengan sekali pemberian nebulisasi telah
menunjukkan respons yang baik (complete response), berarti serangannya
tergolong ringan. Pasien diobservasi selama 1 jam, jika tetap baik, maka pasien
dapat dipulangkan. Pasien dibekali dengan obat ß-agonis (obat hirup atau oral)
yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat
ditambahkan steroid oral, namun hanya diberikan untuk jangka waktu yang
pendek (3-5 hari).1

 Serangan Asma Sedang


Jika dengan pemberian nebulisasi dua kali, pasien hanya menunjukkan
respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang.
Pada serangan asma sedang, diberikan steroid sistemik (oral) metilprednisolon
dengan dosis 0,5-1 mg/kg/BB/hari selama 3-5 hari. Steroid lain yang dapat
diberikan selain metilprednisolon adalah prednison.1

 Serangan Asma Berat


Bila dengan nebulisasi tiga kali berturut-turut pasien tidak menunjukkan
respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada maka pasien
harus dirawat di ruang rawat inap. Bila sejak awal dinilai sebagai serangan berat,
maka nebulisasi pertama kali langsung ß-agonis dengan penambahan
antikolinergik. Oksigen 2-4 liter/menit diberikan sejak awal, termasuk saat
nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto thoraks. 1

Jika pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien
harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Untuk pasien dengan serangan
berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat foto Rontgen thoraks guna
komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum. 1,5

Management of asthma exacerbations in acute care facility, e.g. emergency


department
C. Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari
Pemberian oksigen tetap diteruskan dengan diberikan nebulisasi ß-agonis
+ antikolinergik tiap 2 jam. Kemudian berikan steroid sistemik oral berupa
metilprednisolon atau prednisone. Pemberian steroid ini dilanjutkan sampai 3-5
hari. Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali
obat seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari klinik/ UGD. Bila
dalam 12 jam responnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke ruang rawat
inap dengan tatalaksana serangan asma berat. 1

D. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap


Pada penatalaksaan di ruang inap, ada beberapa hal yang dilakukan, yaitu:

 Pemberian oksigen diteruskan


 Jika ada dehidrasi dan asidosis, maka diatasi dengan pemberian cairan
intravena dan dikoreksi asidosisnya.
 Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. Dosis steroid intravena
0,5-1 mg/kg/BB/hari.
 Nebulisasi ß-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam,
jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian
dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
 Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis :
 Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya,
diberi aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan
dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam
20-30 menit.
 Jika pasien telah mendapat amonofilin (kurang dari 8
jam), dosis diberikan separuhnya.
 Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-
20 mcg/ml.
 Selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar
0,5-1 mg/kgBB/jam.
 Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24
jam dan steroid serta aminofilin diganti pemberial peroral.
 Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat ß-agonis (hirup atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama
24-48 jam. Steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan
dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.
E. Kriteria Rawat di Ruang Rawat Intensif
Kriteria pasien yang memerlukan perawatan di ICU adalah 5 :

 Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD dan/atau
perburukan asma yang cepat.
 Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas atau
hilangnya kesadaran.
 Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana di ruang rawat inap.
 Ancaman henti napas : hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberikan
oksigen (Kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 > 45 mmHg, walaupun
tentu saja gagal napas dapat terjadi dalam kadar PaCO 2 yang lebih tinggi atau
lebih rendah).
Berdasarkan patofisiologinya, maka secara garis besar terapi
farmakokinetika pada penatalaksanaan asma bronkial meliputi :

1. Mencegah ikatan alergen dengan Ig E

a. Menghindari alergen, tampaknya sederhana, tetapi seringkali sukar dilakukan

b. Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin


ditingkatkan diharapkan tubuh membentuk IgG (blocking antibody) yang akan
mencegah ikatan alergen dengan IgE pada sel mast.

c. Antibodi monoklonal, merupakan agen yang berasal dari DNA rekombinan


yang menghambat pengikatan IgE pada reseptor IgE afinitas tinggi yang terdapat
pada sel mast dan basofil, sehingga mengakibatkan penurunan pelepasan
mediator-mediator alergi. Contoh sediaan ini adalah Xolair dengan merk dagang
Omalizumab.
2. Mencegah pelepasan mediator dan meredam inflamasi saluran napas

- Sodium kromoglikat

Sodium kromoglikat salah satu kerjanya mencegah degranulasi sel mast


merupakan obat untuk mencegah serangan asma terutama bila diberikan secara
teratur. Bila diberikan sebelum kegiatan jasmani dapat mencegah EIA (exercise
induced asthma). Mekanisme yang pasti dari natrium kromolin belum
sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid,
menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai
IgE yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu
(makrofag, eosinofil, monosit); selain kemungkinan menghambat saluran kalsium
pada sel target.5

- Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan mediasi jangka panjang yang paling efektif


untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid
menghasilkan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi
gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan. Kortikosteroid memiliki peran
penting dalam penatalaksanaan asma dikarenakan kemampuannya dalam
menurunkan proses inflamasi. Ia terbukti memperbaiki fungsi paru dan
menurunkan simptom, dan menurunkan frekuensi serangan. 5

- Leukotrien inhibitor

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok
sintesis semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor
leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas).
Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan
menurunkan bronkokontriksi akibat alergen, sulfurdioksida, dan exercise. Selain
bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Saat ini yang beredar
di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor sisteinil). Efek samping jarang
ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi
hati dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton. 5

- Ketotifen

Ketotifen berperan memperkuat dinding sel mast sehingga mencegah


keluarnya mediator dilaporkan dapat merupakan obat pencegahan per oral yang
dapat diberikan 2 kali sehari. 5

- Magnesium

Magnesium mungkin menurunkan neutrofil yang berhubungan dengan


respons inflamasi pada asma dan juga menstabilkan membran sel mast serta
menghambat ion kalsium sebagai antagonis kompetitif. Mekanisme bronkodilatasi
tidak diketahui,mungkin dengan menghambat kanal kalsium otot polos jalan
napas serta menghalangi mediasi kalsium pada kontraksi otot. Magnesium juga
menurunkan pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction setelah stimulasi
parasimpatis.5

3. Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator

a. Simpatomimetik

- Agonis β-2 kerja singkat (short acting β-2 agonist)

Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol dan


prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai onset yang cepat.
Mekanisme kerja agonis β-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas,
meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah
dan modulasi pelepasan mediator dari sel mast.(8)

- Agonis β-2 kerja lama (long acting β-2 agonist)

Termasuk di dalam agonis β-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimya agonis β-2
mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator
dari sel mast dan basofil. Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai
efek antiiflamasi walau kecil. Inhalasi agonis β-2 kerja lama yang diberikan
jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor.
Pemberian inhalasi agonis β-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih
baik dibandingkan preparat oral. 5

b. Metilsantin

Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah


dibandingkan agonis β-2 kerja singkat. Aminofilin kerja singkat dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi untuk mengatasi gejala walaupun disadari
onsetnya lebih lama daripada agonis β-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak
menambah efek bronkodilatasi agonis β-2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi
mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernapasan
dan mempertahankan respons terhadap agonis β-2 kerja singkat diantara
pemberian satu dengan berikutnya.5

Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana metilsantin,


tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin
kerja singkat sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi
teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam
serum.5

c. Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek


pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga
menghambat refleks bronkokontriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodiltasi
tidak seefektif agonis β-2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60
menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe
cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium
bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai
efek meningkatkan bronkodilatasi agonis β-2 kerja singkat pada serangan asma,
memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara
bermakna. Oleh karena itu disarankan menggunakan kombinasi inhalasi
antikolinergik dan agonis β-2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi awal
serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis
β-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat
diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita
yang menunjukkan efek samping dengan agonis β-2 kerja singkat seperti inhalasi
seperti takikardia, aritmia, dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di mulut
dan rasa pahit. 5

4. Mukolitik

Perlu juga dikemukakan bahwa pada bayi dan anak serangan asma
mungkin lebih banyak disebabkan oleh udem mukosa dan sekresi mukus
dibanding dengan bronkospasme. 5

5. Antibiotik

Tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri


(pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen
dan demam. Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri
gram positif, dan bakteri atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri
gram negatif (penyakit gangguan pernapasan kronik) dan bahkan anaerob seperti
sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).5

PROGNOSIS
Beberapa studi menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak
berlanjut menjadi asma pada masa anak-anak dan remajanya. Proporsi kelompok
tersebut berkisar antara 45% hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe
studi, dan lamanya pementauan. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis
atopik pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk
terjadinya asma dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka
kemungkinan menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai
dengan 2 dari 3 keadaan berikut yaitu eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing
yang menetap pada keadaan bukan flu.5,7

BAB III

LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien

Nama pasien : Ny. S

Umur : 50 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan terahir : SD

Alamat : Sesela Cengok, Gunung sari

Suku : Sasak

Agama : Islam

Masuk UGD : 24 Agustus 2015

3.2 Anamnesis ( 24/8/2015)

Keluhan utama : Sesak nafas

Riwayat penyakit sekarang : pasien datang ke UGD Puskesmas Gunung sari


diantar anaknya dengan keluhan sesak yang disertai bunyi “ngik”,dan batuk
berdahak. Nyeri dada disangkal oleh pasien. Keluhan sesak dirasakan sejak dua
hari yang lalu dan memberat hari ini. Pasien lebih nyaman duduk dan masih dapat
berbicara beberapa penggal kalimat. Pasien menyangkal sering sesak nafas sejak
kecil. Pasien mulai sesak nafas sejak usia 20 tahun. Dalam satu bulan terahir
pasien dua kali mengalami serangan sesak. Serangan sesak terahir yaitu dua
minggu yang lalu dan membaik dengan pemberian uap. Sesak dirasakan
memberat terutama saat cuaca dingin dan saat terpapar oleh debu.

Riwayat BAK (+), frekuensi tiga kali sehari, warna kuning, nyeri saat berkemih
(-). Riwayat BAB normal, satu kali sehari, BAB berdarah disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat penyakit jantung (-), hipertensi (-), DM (-), riwayat operasi (-), bronkitis
(-).
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat asma pada ayah pasien (+), penyakit jantung (-), hipertensi (-), DM (-),
riwayat operasi (-), bronkitis (-).
Riwayat Pengobatan

Pasien mengkonsumsi obat-obatan dari puskesmas yaitu salbutamol,


methilprednisolon dan vitamin B kompleks.

Riwayat Ekonomi dan Lingkungan:


 Pasien memiliki 5 orang anak:
I. Perempuan, 30 tahun, sudah menikah
II. Perempuan , 28, sudah menikah
III. Laki- laki, 27 tahun, sudah menikah
IV. Perempuan, 25 tahun, belum menikah
V. Laki- laki 17 tahun, belum menikah dan masih sekolah SMA
 Pasien tinggal di rumah bersama suaminya (Tn. F, 58 tahun, Petani), anak
ketiga dan anak kelimanya.
 Pasien mengaku tidak pernah merokok atau mengkonsumsi alkohol
 Pasien merupakan keluarga dengan ekonomi menengah ke kebawah.
Pasien bekerja sebagai petani.
 Untuk air minum, pasien menggunakan air sumur yang dibuat di dekat
rumahnya. Pasien mengaku memasak terlebih dahulu air yang diminum
 Untuk mencuci pakaian, pasien juga menggunakan air sumur tersebut
 Pasien menggunakan kamar mandi yang terletak tidak jauh dari
rumahnya sebagai fasilitas MCK di rumahnya.
 Untuk memasak, keluarga pasien menggunakan kompor gas. Pasien
memasak di dapur yang terletak dekat dengan dari bangunan rumah tempat
tinggal pasien.

3.1 Pemeriksaan Fisik


Keadaaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
Status gizi :
Berat Badan : 45 kg
Tinggi Badan : 150 cm
Status Gizi : normal

Vital sign
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit, reguler dan kuat angkat
Frekeunsi Nafas : 32 x/menit, reguler
Suhu : 36,5 º C, suhu aksiler

Status Generalis
Kepala-Leher
Kepala:
Ekspresi wajah : normal
Bentuk dan ukuran : normal
Rambut : normal
Edema : (-)
Malar rash : (-)
Parese N. VII : (-)
Nyeri tekan kepala : (-)
Massa : (-)

Mata:
Simetris
Alis normal
Exopthalmus : (-/-)
Nistagmus : (-/-)
Strabismus : (-/-)
Ptosis : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-), hiperemia (-/-)
Sclera : icterus (-/-)
Pupil : isokor Ø 3 mm, bulat, refleks pupil (+/+)
Kornea : normal
Lensa : normal, katarak (-/-)
Pergerakan bola mata ke segala arah normal
Nyeri (-) pada penekanan

Telinga:
Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan
Lubang telinga : normal, secret (-/-)
Nyeri tekan : (-/-)
Peradangan pada telinga : (-)
Pendengaran : kesan normal
Hidung:
Simetris
Deviasi septum : (-/-)
Perdarahan : (-/-)
Secret : (-/-)
Penciuman : kesan normal
Mulut:
Simetris
Bibir : kering (+), sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips
breathing (-)
Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-)
Lidah : glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-),
kemerahan di pinggir (-), tremor (-), lidah kotor (-)
Gigi : karang gigi (+)
Mukosa : normal
Leher:
Deviasi trakea : (+) ke kanan
Kaku kuduk : (-)
Scrofuloderma : (-)
Pembesaran KGB : (-)
Pembesaran kel. thyroid : (-)
Otot SCM : aktif (+), hipertrofi (+)
JVP : 5 + 2 (tidak meningkat)

Thoraks
Inspeksi:
1. Bentuk & ukuran: bentuk dada kiri dan kanan simetris, barrel chest (-),
pergerakan dinding dada simetris, retraksi (+) suprasternal
2. Permukaan dada: papula (-), petechiae (-), purpura (-), ekimpasienis (-), spider
naevi (-), vena kolateral (-), massa (-).
3. Penggunaan otot bantu nafas: SCM aktif, tampak hipertrofi SCM, otot bantu
abdomen aktif dan hipertrofi (+).
4. Iga dan sela iga: pelebaran ICS (-).
5. Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis: cekung, simetris kiri dan kanan
jugularis: tak tampak deviasi
6. Tipe pernapasan: torako-abdominal, frekuensi 32 x/ menit

Palpasi:
 Trakea: tidak ada deviasi trakea, iktus kordis teraba di ICS V linea
parasternal sinistra.
 Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-).
 Gerakan dinding dada: simetris kiri dan kanan.
 Fremitus vocal: simetris kiri dan kanan menurun
Perkusi:
 Sonor seluruh lapang paru.
 Batas paru-hepar à Inspirasi: ICS VI, Ekspirasi: ICS IV; Ekskursi: 2 ICS.
 Batas paru-jantung:
 Kanan: ICS II linea parasternalis dekstra
 Kiri: ICS IV linea mid clavicula sinistra
Auskultasi:
 Cor: S1 S2 tunggal regular, Murmur (-), Gallop (-).
 Pulmo:
 Vesikuler (+) pada seluruh lapang paru .
 Rhonki (-/-).
 Wheezing (+/+).

Abdomen
Inspeksi:
 Bentuk: simetris
 Umbilicus: masuk merata
 Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), sianpasienis (-), venektasi (-),
ikterik (-), massa (-), vena kolateral (-), caput meducae (-), papula (-),
petekie (-), purpura (-), ekimpasienis (-), spider nevy (-)
 Distensi (-)
 Ascites (-)
Auskultasi:
 Bising usus (+) normal
 Metallic sound (-)
 Bising aorta (-)
Perkusi:
 Timpani pada seluruh lapang abdomen (+)
 Nyeri ketok (-)
 Nyeri ketok CVA (-/-)
Palpasi:
 Nyeri tekan epigastrium (-)
 Massa (-)
 Hepar/lien/ren: tidak teraba
 Tes Undulasi (-), Shifting dullness (-)

Ekstremitas
Inguinal-genitalia-anus : tidak diperiksa

3.2 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dievaluasi.

3.3 Diagnosis Holistik


a. Aspek personal
Pasien datang dengan sesak nafas sejak dua hari yang lalu dan semakin
memberat sejak hari ini. Sesak dirasakan memberat terutama saat cuaca dingin
dan saat terpapar oleh debu.
b. Aspek klinik
Asma bronkiale
c. Aspek risiko internal
Pasien bekerja sebagai petani di sawah dan sering terpapar oleh debu. Pasien
juga jarang berolah raga dan susah makan.
d. Aspek keluarga
Kurangnya pengetahuan keluarga mengenai asma dan cara pencegahannya.
Pasien tinggal bersama dua anaknya, suami, menantu dan cucunya. Tinggal
bersama menantu yang cerewet membuat pasien lebih nyaman di sawah di
banding di rumah.

e. Skala fungsional
Skala fungsional pasien yaitu kelas I karena pasien dapat melakukan kegiatan
dengan baik sehari-hari.

3.4 Penatalaksanaan
 Managemen berdasarkan diagnosis pasien
- Salbutamol 2,5 mg nebulisasi
- Salbutamol 3 x 1 tablet
- Methilprednisolone tablet 4 mg, 3 x 1 tablet
- Multivitamin, 1x1 tablet

 Tujuan Terapi
Mengontrol timbulnya serangan sesak berulang
 Konseling
- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita adalah
penyakit asma, penyakit yang tidak menular dan tidak bisa sembuh tapi
hanya bisa dikontrol, dan dapat diturunkan.
- Menjelaskan kepada pasien tentang gejala-gejala pada penyakit asma
dan resiko penyulit yang mungkin terjadi.
- Menganjurkan pasien agar menghindari cuaca dingin dengan memakai
pakaian hangat, dan tidak terpapar langsung oleh debu yaitu dengan
cara menggunakan masker terutama saat berada di sawah.
- Menjelaskan kepada pasien agar tekun meminum obat dan rutin
memeriksakan dirinya di Puskemas, meskipun pasien sudah merasa
sehat.
- Menganjurkan pasien mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan
untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
- Menganjurkan pasien untuk istirahat cukup.

3.5 Prognosis pasien


- Ad vitam : bonam
- Ad functionam : bonam
- Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB IV
PENELUSURAN (HOME VISIT)

4.1. Tujuan
Mengetahui faktor penyebab/ pencetus utama terjadinya asma

4.2. Metodologi
Metodologi yang dipakai : wawancara dan pengamatan lingkungan tempat
tinggal pasien. Variabel yang dipakai adalah faktor pencetus asma.

4.3. Hasil Penelusuran


Pasien tinggal di rumah bersama suaminya yang bekerja sebagai petani
serta 2 orang anak, 1 orang menantu, dan 1 cucu. Pasien merupakan keluarga
dengan ekonomi menengah ke kebawah. Pasien dan suami bekerja sebagai petani.
Pemasukan keuangan didapatkan sebagai petani tidak menentu.
Rumah yang dihuni merupakan rumah pribadi. Rumah saat ini terdiri dari
3 kamar tidur, 1 ruang keluarga, 1 ruang tamu, 1 dapur, dan 1 kamar mandi. Luas
rumah pasien ± 8 x 9 meter. Rumah pasien berbatasan dengan kebun disebelah
barat, dan rumah tetangga di sebelah utara dan selatan, dan sebelah timur
berbatasan dengan gang. Rumah pasien tidak berhimpit langsung dengan rumah
tetangganya. Ventilasi pada tiap kamar kurang banyak, jendela rumah jarang
dibuka, langit-langit di ruang keluarga dan kamar tidur sudah ditutup flapon,
kamar mandi dan dapur langit-langit berupa atap yang terbuat dari genteng. Lantai
rumah pasien sebagian menggunakan keramik dan sebagian menggunakan semen.
Untuk air minum, pasien menggunakan air sumur yang dibuat di dekat
rumahnya. Pasien mengaku memasak terlebih dahulu air yang diminum. Untuk
mencuci pakaian, pasien juga menggunakan air sumur tersebut. Pasien
menggunakan kamar mandi yang terletak tidak jauh dari rumahnya sebagai
fasilitas MCK di rumahnya. Untuk memasak, keluarga pasien menggunakan
kompor gas. Pasien memasak di dapur yang terletak terpisah dari bangunan rumah
tempat tinggal pasien.
Gambaran Keadaan Rumah Pasien
Kamar tidur Dapur

Kamar mandi

Halaman belakang
BAB V
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien perempuan berusia 50 tahun datang ke IGD Puskesmas
Gunung Sari (24 Agustus 2015) dengan keluhan sesak yang disertai bunyi “ngik”,
dan batuk berdahak sejak dua hari yang lalu dan memberat hari ini. Nyeri dada
disangkal oleh pasien. Pasien lebih nyaman duduk dan masih dapat berbicara
beberapa penggal kalimat. Pasien menyangkal sering sesak nafas seak kecil.
Pasien mulai sesak nafas sejak usia 20 tahun. Dalam satu bulan terahir pasien dua
kali mengalami serangan sesak. Serangan sesak terahir yaitu dua minggu yang
lalu dan membaik dengan pemberian uap. Sesak dirasakan memberat terutama
saat cuaca dingin dan saat terpapar oleh debu. BAK dan BAB dalam batas normal.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi napas pasien 32 x/menit,


wheezing (+/+) dan terdapat retraksi supraternal. Berdasarkan gejala dan tanda
tersebut maka pasien masuk dalam klasifikasi penyakit asma bronkiale
eksaserbasi akut.
Suatu penyakit dapat terjadi oleh karena adanya ketidakseimbangan faktor-
faktor utama yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Paradigma
hidup sehat yang diperkenalkan oleh H. L. Blum mencakup 4 faktor yaitu faktor
genetik/biologis (keturunan), perilaku (gaya hidup) individu atau masyarakat,
faktor lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik) dan faktor pelayanan kesehatan
(jenis, cakupan dan kualitasnya). Berdasarkan hasil penulusuran kasus di atas, jika
dilihat dari segi konsep kesehatan masyarakat, maka ada beberapa faktor yang
menjadi faktor resiko terjadinya penyakit asma, yaitu :

1. Faktor Biologis
Faktor biologis yang paling mendukung terjadinya asma pada pasien ini
adalah adanya riwayat asma yang dimiliki oleh ayah pasien. Salah satu faktor
utama terjadinya asma adalah adanya predisposisi genetik yang biasanya
diturunkan oleh orangtua pasien kepada anaknya. Selain itu, faktor usia juga
mendukung mengarahkan diagnosa karena asma lebih sering terjadi pada masa
anak-anak sampai remaja. Pada pasien ini serangan sesak pertama pada usia
remaja yaitu 20 tahun.

2. Faktor Lingkungan

Dalam kasus ini, lingkungan pasien pasien yang mendukung terjadinya


serangan asma yang dialaminya adalah sering terpapar dengan alergen debu di
sawah dan selain itu pasien juga alergi terhadap dingin.

3. Faktor Perilaku
Faktor perilaku yang menyebabkan terjadinya serangan asma pada pasien
adalah pasien tidak menghindari faktor pencetus yang biasanya mengakibatkan
munculnya serangan yaitu berupa alergen debu di sawah dan cuaca dingin. Pasien
juga tidak langsung pergi ke pelayanan kesehatan untuk berobat namun menunggu
keluhannya memberat dulu.

4. Faktor Pelayanan Kesehatan


Salah satu cara untuk mengidentifikasi penyebab perrmasalahan yang
terdapat di pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kesehatan di Puskesmas
Gunung Sari yakni dengan menggunakan diagram Ishikawa (fishbone diagram,
cause and effect diagram atau 5M) yang mencakup lima hal yakni material (bahan
baku), machine, method, manpower dan measurement. Dari aspek-aspek tersebut,
permasalahan yang bisa di identifikasi adalah:
a. Material
Ketersediaan alat untuk pemeriksaan awal yang membantu penegakan
diagnosis cukup memadai, yaitu dengan adanya stetoskop dapat mengetahui
adanya suara napas tambahana berupa wheezing..
b. Machine
Pasien asma membutuhkan O2 nasal kanul/sungkup dan alat nebulisasi
sebagai penatalaksanaan awal. Keterbatasan alat membuat pasien harus
menunggu pasien yang lain karena membutuhkan perawatan yang sama
seperti penggunaan nebulisasi yang jumlahnya hanya 1 buah dan digunakan
oleh semua pasien.
c. Method dan Manpower
Tidak pernah dilakukan training/pelatihan khusus untuk manajemen asma,
khususnya petugas kesehatan di IGD serta kurangnya informasi mengenai
penanganan penyakit asma.

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Asma menempati peringkat ke –empat belas dalam data 10 penyakit


terbanyak puskesmas Gunungsari tahun 2014, yang artinya asma tidak termasuk
dalam 10 penyakit perbanyak. Namun asma memiliki peringkat ketiga dalam data
penyakit tidak menular tahun 2014 di puskesmas Gunungsari.

Penyebab terjadinya asma pada pasien ini berkaitan dengan empat


determinan kesehatan, yaitu faktor biologis/genetik, lingkungan, perilaku, dan
faktor pelayanan kesehatan masyarakat. Namun faktor yang paling berperan
dalam kasus ini adalah faktor genetik dan lingkungan yaitu pasien memiliki
riwayat keturuan asma yang didapatkan dari ayah pasien serta lingkungan pasien
yang berpengaruh untuk terjadinya serangan asma pada pasien.

6.2. Saran
1. Upaya preventif, promotif, dan kuratif perlu dilakukan untuk menurunkan
kejadian serangan asma.
2. Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan tentang bagaimana cara
diagnosis dan tatalaksana asma
3. Menjalin kerja sama antara keluarga, tokoh masyarakat, kader, dan petugas
kesehatan dalam tatalaksana dan pencegahan serangan asma terutama jika
terkait dengan faktor lingkungan.
4. Koordinasi antara bagian konseling dengan bagian pelayanan kesehatan agar
lebih ditingkatkan terutama dalam melakukan sosialisasi berupa penyuluhan
yang berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS).

DAFTAR PUSTAKA
1. GINA. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. National
Institutes of Health. 2015. Dilihat tanggal 1 September 2015 : diunduh di
www.ginasthma.org.
2. Depkes. You Can Control Your Astma. Infodatin pusat data dan informasi
kementrian kesehatan RI. Dilihat tanggal 1 September 2015 : diunduh di
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-
asma.pdf.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI . 2008.
Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Depkes

4. Tim Penyusun, 2014. Data 10 penyakit terbanyak puskesmas Gunungsari


tahun 2014 : Puskesmas Gunungsari..

5. Neri M, Spanevello, A Chronic bronchial asthma from challenge to


treatment: epidemiology and social impact. Thorax 2000;55;57-58
6. Hudoyo, Ahmad. Penatalaksanaan Asma & PPOK Pada Orang Dewasa
berdasar Pedoman GINA (Global Initiative for Asthma) & GOLD (Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Dept Pulmonologi &
Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI/SMF Paru RS. Persahabatan : Jakarta
Timur. Dilihat tanggal 1 September 2015 : diunduh di
http://www.rspondokindah.co.id/public/files/events/Dr.Ahu_SIMPOS_RS
PI_10_05_2014.pdf.
7. Sudoyo, A.W., et al. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai