Anda di halaman 1dari 11

TUGAS ESSAY

MATA KULIAH TEORI ARSITEKTUR LANJUT


DA 187102
Vina Alfia Nikmatul Azizah – 08111970010007

IDENTIFIKASI TEORI ARSITEKTUR DENGAN


ANALISIS REKAM JEJAK DAN KARYA ARSITEKTUR ARSITEK TERKENAL

Mata kuliah arsitektur lanjut pada jenjang Pendidikan Profesi Arsitek membahas
mengenai pengetahuan teori-teori arsitektur dari arsitek lokal (Indonesia) dan global (di luar
Indonesia), beserta seluruh aspek-aspeknya. Dalam hal ini mahasiswa diminta untuk
melakukan analisis dan pembahasan yang komprehensif untuk dapat memahami fenomena
yang ada dalam praktek arsitektur lokal dan global yang mempengaruhi teori-teori arsitektur.
Diskusi menekankan cara kritis untuk memahami semua aspek teori-teori arsitektur lokal dan
dan global.

Kegiatan yang dilakukan para Arsitek profesional dalam kehidupan sehari-hari akan
melibatkan dirinya dengan serangkaian kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas
Perancangan (Design Activity). Kegiatan Perancangan Arsitektur pada dasarnya merupakan
muara, pengikat dan sekaligus kegiatan utama yang selalu dilakukan oleh para profesional
yang memilih profesinya sebagai arsitek/perancang bangunan. Tentu saja dalam
melakukan/menjalankan kegiatan ‘perancangan arsitektur’ para arsitek pada tahap
sebelumnya telah lebih dahulu dibekali oleh pengetahuan dan pemahaman yang memadai
tentang kaidah-kaidah dasar kegiatan perancangan, seperti Teori Arsitektur (The Architectural
Theory) dan Metoda Perancangan Arsitektur (The Architectural Design Methods).

Teori Arsitektur

Teori adalah ungkapan umum tentang apakah arsitektur, apa yang harus di capai oleh
arsitektur, dan bagaimana cara paling baik untuk merancang. Teori berguna bagi arsitek pada
berbagai tahap ddalam proses meranacang, seperti saat arsitek di hadapkan di dalam
berbagai pilihan dalam merancang, maka teori dapat membantu sang arsitek dalam
memutuskannya.
Teori di dalam arsitektur tidak seteliti dan setepat teori di dalam ilmu pengetahuan
alam. Satu ciri penting dari teori ilmiah yang tidak terdapat dalam arsitektur ialah pembuktian
yang terperinci. Agar teori dapat di terima di dalam arsitektur, teori harus ditunjang dengan
fakta yang jelas, dan terperinci. Didalam arsitektur, desain arsitektur sebagian besar lebih
merupakan kegiatan merumuskan daripada kegiatan menguraikan.

Teori di dalam arsitektur merupakan sebuah hipotesa, harapan dan dugaan dugaan apa
yang terjadi bila semua unsur yang menjadikan bangunan dikumpulkan dalam suatu cara,
tempat dan waktu tertentu. Arsitektur lebih merupakan kegiatan terpadu yang
mempengaruhi masa depan daripada menjelaskan peristiwa- peristiwa terkucil di masa
lampau. Arsitektur tidak memiliki teori yang seksama karena bangunan-bangunan dan para
pemakainya terlalu rumit untuk dapat dikenal dan di ramalkan.

Teori tentang apakah sebenarnya arsitektur itu meliputi identifikasi variable-variable


penting seperti, ruang, struktur atau proses-proses di dalam masarakat, dengan pengertian
demikan bangunan-bangunan seharusnya dilihat atau memiliki nilai. Bruno Zevi
menganjurkan suatu teori arsitektur dimana ruang merupakan unsur pokok untuk memahami
ruang, mengetahui bagaimana melihatanya merupakan kunci untuk mengerti bangunan.

Analisis Aspek Teori

Analisis teori yang dianut oleh arsitek dimulai dengan menganalisis langgam yang ia
gunakan. Dalam menganalisis langgam yang dianut oleh seorang arsitek, dilakukan analisis
visual dari sudut pandang pengamat sebelum mengoreksinya dengan pendapat sang arsitek.
Hanya dengan mengamati wujud, sosok dan program dari arsitektur (tanpa melihat sudut
pandang perancang/arsitek), dapat ditarik kata kunci yang kemudian saling disandingkan dan
dicari kesamaan atau polanya. Kesamaan inilah yang kemudian yang ‘mungkin’ merupakan
karakteristik sebuah langgam yang dianut oleh sang arsitek.

Langgam sangat berkaitan erat dengan ideologi. Ideologi yang berkembang dalam dunia
arsitektur dapat dikelompokkan dalam tiga yaitu: Klasik, Modern dan Post Modern. Sehingga,
dengan mengetahui karakteristik ideologi sebuah arsitektur, kita dapat mengerucutkan
hipotesis langgam yang mungkin dianut oleh arsitek yang diamati.
Teori tidak mempersoalkan cara memandang bangunan atau menafsirkannya, tapi
tujuan yang harus di atasi sang arsitek. Tujuan bagi arsitektur pada umumnya mempunyai dua
bentuk, yakni pernyataan umum tentang tugas arsitektur (tujuan umum) dan pernyataan
tentang hubungan yang diinginkan antara arsitektur dengan fenomena yang ada (hubungan
antara lingkungan dengan fenomena) yang dapat diidentifikasi melalui konsep arsitektur dan
latar belakang sang arsitek.

Kegiatan perancangan arsitektur (the architectural design) terkait erat dengan apa yang
disebut dengan metoda merancang, yang banyak dikupas oleh pakar arsitektur, antara lain
Broadbent. Dalam bukunya, Design in Architecture, diungkapkan hal-hal mendasar yang
dilakukan dalam proses/kegiatan perancangan arsitektur yang menjadi pegangan atau acuan
para arsitek di lapangan. Di dalam arsitektur, terdapat pendekatan (approaches) yang
dipergunakan dalam kegiatan merancang, yaitu: (a) Pendekatan atas dasar Perilaku Manusia
(Human Behaviour), (b) Pendekatan secara Sistemis dan Menyeluruh, (b) Pendekatan
Perancangan dengan Aspek Intuitif dan Kreatif, dsb.

Khusus untuk pendekatan bentuk, Broadbent mengungkapkan pendekatan dalam


empat kategori, yaitu: (a) Pendekatan Pragmatik (Pragmatic Approach), pendekatan
perancangan bentuk melalui tahap coba-coba (trial and error); (b) Pendekatan Ikonik (Iconic
Approach): yaitu pendekatan merancang bentuk melalui tradisi, empirik dan kebiasaan yang
dilakukan berdasarkan kesepakatan sosial. Pendekatan Ikonik ini kemudian dikembangkan
sebagai pendekatan Tipologis; (c) Pendekatan Analogik (Analogic Approach): yaitu
pendekatan perancangan bentuk dengan melihat analogi alam atau gejala/fenomena
alamiah; dan (d) Pendekatan Kanonik/Geometrik (Canonic Approach): yaitu pendekatan
perancangan bentuk melalui kaidah-kaidah: geometric, matematis, keteraturan (orders),
modul, dsb. Pendekatan Kanonik pada saat sekarang ini berkembang menjadi pendekatan
Sintaksis yaitu bahasa bentuk.

Teori bagaimana seorang arsitek melakukan perancangan berkaitan dengan


menentukan metode yang tepat. Metode ini biasanya akan mengarahkan proses desain yang
akan memenuhi tujuan tertentu. Terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan proses
desain dan metode dalam berarsitektur, yakni: (1) Staffing, salah satu keterikatan tersebut
menyangkut hubungan antar pribadi dan kelompok didalam proses merancang. Apakah
proses merancang merupakan tindakan pribadi atau merupakan hasil berdiskusi di dalam
suatu kelompok. (2) Procedures, Tata cara di dalam perancangan memiiki dua bias yaitu:
induktif dan deduktif. Tatacara induktif di mulai dengan perincian. Sedangkan deduktif di
mulai dengan suatu gagasan menyeluruh mengenai bangunan dan membiarkan detail
berkembang dari tema pokok itu. (3) Priorites among Various Asects of the Problem, masalah
di dalam arsitektur pada umumnya rumit, mencakup masalah teknis, social, estetika, ekologi
atau politis. Beberapa teori arsitektur menetapkan prioritas diantara urusan-urusan yang di
perlukan.

Studi Kasus

Dalam menganalisa aspek-aspek teori yang digunakan oleh arsitek, penulis mengambil
studi kasus arsitek Bali, yakni Yoka Sara.

Yoka Sara, memiliki nama lengkap Anak Agung Yoka Sara, adalah sosok seniman dan
arsitek modern asal Bali yang telah berbagi pengalaman kreatifnya ke dunia internasional,
seperti Prancis, Malaysia, Tiongkok, dll. Terlahir dari keluarga seniman dan besar di
lingkungan seni dan arsitektur Bali kasta tinggi membuat proyek-proyek Yoka memberikan
kosa kata baru untuk dunia arsitektur. Ia memecahkan belenggu teknik arsitektur yang kaku
menjadi seni pertunjukan yang mengalir dan ekspresif. Selain sebagai arsitek terkemuka, ia
juga terkenal sebagai seniman yang sering menggalang acara seni seperti Sprites Art and
Creative Biennale.

Dirinya sempat menggambil kuliah di perguruan tinggi Udayana pada tahun 1983 dan
kemudian berhenti pada tahun 1989 dikarenakan Yoka Sara bekerja sambil kuliah, pada tahun
tersebut. Yoka Sara dan temannya memiliki studio sendiri dan tanggung jawabnya terhadap
proyek pada saat itu cukup besar sehingga mengharuskannya untuk berhenti kuliah, seiring
perjalanan waktu ia mencatat sejarah sendiri secara mandiri lewat biro arsitek Yoka Sara
International.

Yoka sara international merupakan biro konsultan yang didirikan oleh Yoka Sara terletak
di Jalan Durian No.16 Dangin Puri Kauh, Denpasar, Bali. Ia telah memenangkan penghargaan
BCI Asia & Schott Design Award atas karyanya, The Sungai Villas & Spa di Prerenan, Bali pada
tahun 2006.
Analisis aspek teori yang pertama dilakukan dengan menganalisis langgam dari arsitek
Yoka Sara. Dalam hal ini penulis melakukan pengamatan dari foto, gambar maupun video
proyek tanpa mencari tahu maksud dari sang arsitek. Pada awalnya, penulis hanya melakukan
scanning dengan meihat karya-karya beliau secara cepat dan menerka-nerka pola yang
tergambar pada karya-karya tersebut. Dari metode tersebut tergambar di benak penulis
bahwa karya-karya Yoka Sara memiliki keterikatan kuat dengan unsur-unsur alam dengan
menggunakan ekspresi material dan memunculkan warna-warna alam dan banyaknya
penggunaan material transparan yang bertujuan untuk memberikan kesan terbuka. Selain itu,
bentuk yang dihadirkan sedikit abstrak dan mengkini, memiliki ritme pada beberapa
penghadiran elemennya namun secara makro berbentuk asimetris dan kompleks dengan
konstruksi yang berteknologi.

Setelah men-scanning secara visual, kemudian penulis mencari informasi-informasi


umum terkait karya-karya tersebut seperti nama karya tersebut, waktu pembangunan dan
lokasi dimana karya tersebut dibangun. Dari info yang didapat, karya-karya Yoka Sara
mayoritas berlokasi di Bali, sehingga kemudian penulis menyandingkan dengan apa yang
penulis lihat, yakni unsur-unsur alam yang digunakan terkait dengan unsur tradisional daerah,
khususnya Bali itu sendiri dengan penggunaan material kayu, batu dan bambu yang memang
banyak terdapat di Bali. Penulis melihat adanya campuran antara unsur tradisional dari
penggunaan material-material alam daerah Bali dan unsur seni dengan pemilihan bentuk-
bentuk yang abstrak dengan teknik konstruksi menggunakan teknologi modern.

Penggabungan material alam yang tradisional dan teknologi modern yang mengkini ini
melahirkan satu kata kunci yakni Postmodernism. “Post-modernisme adalah campuran
antara macam-macam tradisi dan masa lalu. Ciri khas karya-karyanya adalah makna ganda,
ironi, banyaknya pilihan, konflik, dan terpecahnya berbagai tradisi, karena heterogenitas
sangat memadai bagi pluralisme.” (Charles Jenks)

Adanya unsur tradisional Bali yang diambil pada bentuk arsitektur yang mengkini
membuat analisis ini berlanjut dengan pengamatan mengenai klasikisme pada arsitektur
purnamodern. Terdapat 5 tingkatan klasikisme berdasarkan derajat keklasikannya, yakni
Fundamentalist Classicism - unsur klasik pada bangunan-bangunannya sudah lebih jauh
ditinggalkan, yang tersisa adalah unsur modernism. Namun bagaimanapun juga, aturan
tradisional masih diterapkan dalam penyusunan bangunannya; Ironic Classicism - terletak di
antara gaya klasik dan modern, sehingga mencerminkan kebudayaan yang heterogen pula.
Elemen klasik atau tradisional banyak diterapkan pada tampak bangunan walaupun tidak
sepenuhnya memiliki fungsionalisasi tertentu, melainkan hanya sebagai kepura- puraan
belaka, meski ada sedikit kegunaannya; Latent Classicism - Terdapat banyak penonjolan aspek
modern dalam hal pemilihan warna, bahan, tekstur, proporsi (dalam wujud bangunan banyak
mengambil tradisi modern), sedangkan aspek tradisional hanya diterapkan pada aturan-
aturannya; Modern Traditionalism - lebih cenderung dapat membuka diri terhadap
kebudayaan lama sekaligus teknologi modern dan estetika, dimana merupakan gabungan
antara tradisional dan modern; Canonic Classicism - lebih menonjolkan wujud bangunan
klasik, sementara unsur modernnya lebih tampak pada bahan bangunan, maupun aturan
dalam membangun. (Robert A M Stern)

Dilihat dari adanya unsur modifikasi yang tetap taat asas kedaerahan Bali namun
dengan bentukan yang mengkini; penghadiran ekspresi bahan /material yang sangat
menonjolkan material alami yang tradisional dan didukung dengan sistem konstruksi yang
modern, serta tekstur dan warna yang mendukung unsur alam dari material bangunan
memunculkan satu kesimpulan bahwa Yoka menggunakan langgam postmodern dengan
aliran klasikisme Modern Tradisionalism. Menurut definisi Robert Stern tentang kategori
padanannya Modern Tradisionalism, karakternya sangat pluralistik dan eklektik,
mengintegrasikan juga estetika modernis (Stern, 1990). Akibatnya, arsitektur Klasik Post-
Modern menampilkan contradiction atau double coding yang lebih kuat, kombinasi kontras
yang lebih kuat antara 'lama' dan 'baru', bila dibandingkan dengan kategori sebelumnya.

Hasil analisis dievaluasi dengan melanjutkan pada analisis mengenai konsep dari sang
arsitek. “Sebenarnya, dalam setiap karya saya, saya berangkat dari sebuah konsep, yaitu
harmonisasi. Harmoni dalam masing-masing karya tersebut didasarkan pada ajaran Hindu
yaitu Tri Hita Karana (hubungan harmonis antara Tuhan, manusia dan alam). Saya lebih
mementingkan konsep Tri Hita Karana dalam hal filosofi bangunannya dan bukan hanya pada
arsitekturnya," (Yoka Sara diadaptasi dari hasil wawancara dengan Casa Indonesia). Tri Hita
Karana pada hakikatnya adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan
mengabdi pada sesama manusia, serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan.
(I Made Purana, 2016).
“Saya menekankan pada kombinasi arsitektur tradisional dan modern. Jadi, pada
bangunan terkemuka dusun Gerenceng terletak sebuah tempat suci, paviliun utara dan
lumbung padi yang hampir memasuki usia 100 tahun tidak diubah dengan sengaja. Saya baru
saja membuat beberapa restorasi pada beberapa bagian yang rusak. Ini mencerminkan
bahwa kami tetap melestarikan karya-karya para pendahulu kami,"

Dalam hal ini terlihat Yoka Sara mengambil dan mempertahankan asas-asas tradisional
Bali sebagai konsep merancangnya. Dalam karyanya Banjar Grenceng, beliau tetap
mempertahankan filosofi banjar sesuai fungsinya yakni sebagai Aula pertemuan desa atau
bale. Pada karya beliau yang lain, Wastraku villa misalnya, penggunaan material kayu tidak
dapar sembarang diletakan. Apabila kayu tersebut berasal dari akar, maka harus ‘diletakan
dibawah’, misalnya digunakan sebagai lantai. Sehingga konsep harmonisasi antara alam,
manusia dan Tuhan memang menjadi pegangan beliau dalam berarsitektur serta menjadi
keunikan tersendiri pada karya-karyanya.

Dalam aktivitas merancangnya, Yoka Sara menghabiskan banyak waktu untuk


melakukan brainstorming. Pada tahap ini, sering kali beliau melakukan photo/video mapping
yakni dengan melakukan sketsa kasar pada foto atau video yang diambilnya pada proses
analisis lahan. Dengan melakukan photo mapping, memudahkan beliau dalam
mengidentifikasi skala dan proporsi rancangan yang akan dibuat. Sketsanya tidak hanya
dibuat dalam satu tahap, tapi beberapa tahap yang semakin lama semakin halus dan
mendetail sehingga transformasinya sangat terlihat. Uniknya lagi, sketsa ini ‘tidak harus’
beliau gambar diatas kertas, bahkan dengan media modul lantai beliau memetakan jalur
matahari pada perencanaan keterbukaan ruang dan pada saat yang sama mengatur aliran
udara alami pada proyek Ngo Eng Gwie House di Surakarta dengan lahan yang berukuran
persegi 20x20 m.

Dari latar belakangnya yang seorang seniman, beliau juga banyak melakukan studi
maket dengan material-material sehari-hari. Seperti contohnya dalam memetakan sirkulasi
untuk sculpture mural art space dengan bahan maket dari kartu nama. Contoh lainnya dengan
menggunakan material sekumpulan tusuk gigi dan helaian daun disusunnya menjadi maket
miniatur untuk Diamond Beach Hotel. Penggunaan material sederhana ini selain digunakan
untuk memvisuaisasikan ide secara 3 dimensi juga digunakan beliau untuk memahami
karakteristik material yang akan digunnakan pada karya rancangnya.
Analisis lebih dalam dilakukan penulis untuk merumuskan aspek-aspek teori yang Yoka
Sara rumuskan dalam proses desainnya. Studi kasus yang diambil adalah proyek Restorasi
Banjar Gerenceng. Banjar Gerenceng adalah tempat pertemuan tradisional Dusun Gerenceng
dalam latar belakang padat penduduk di daerah perkotaan. Terletak tepat di Jalan Sutomo,
dusun ini adalah salah satu gerbang masuk kota Denpasar. Oleh karena itu, dengan tidak ada
ruang kosong yang tersedia dan kendaraan yang melintas sepanjang waktu, bekas daerah
agraria sekarang telah menjadi ruang kota yang ramai.

Keadaan seperti itu membutuhkan gerakan revitalisasi pada fungsi bale banjar untuk
menanggapi kondisi saat ini. Masalah lain adalah umur bangunan fisik yang sudah sangat tua
dan harus diperbaharui agar kegiatan yang berlangsung di dalamnya dapat ditampung dengan
baik, aman dan nyaman. Hal yang menarik dari renovasi ini adalah pelestarian tempat tinggal
Dewi Sri (dalam bentuk jineng atau lumbung padi) yang mewakili komunitas agraris.

Pekerjaan renovasi dimulai dengan melakukan studi mendalam tentang kondisi masa
lalu, sekarang dan masa depan. Dengan latar belakangnya yang hidup kental dengan tradisi
Bali, beliau memasukan filosofi-filosofi banjar bali pada rancangan ini. Ide ini
diimplementasikan ke dalam rencana arsitektur utama pada ruang bale banjar dan lumbung
padi. Menurutnya, bangunan bale banjar yang beliau buat difokuskan pada arsitektur
sederhana, namun tetap mencerminkan kesatuan masyarakatnya. Yoka Sara beranggapan
bahwa gaya arsitektur bangunan di setiap daerah berbeda. Di Denpasar, gaya arsitekturnya
lebih sederhana dan to the point. Berbeda dengan di Gianyar yang memiliki lebih banyak
relief. Beliau mengadopsi gaya arsitektur bebadungan yang memiliki beberapa elemen
arsitektur yang berhirarki seperti palih kekarangan, palih sebitan, dan palih tiasan.

Gaya Bebadungan ini diimplementasikan dengan perancangan aula utama yang dibuat
dalam atap berjenjang yang didukung oleh empat pilar ukuran besar. Atapnya yang
berjenjang menyerupai lotus dengan titik tengah (puncak) yang disebut menur yang terbuat
dari tembaga. Bahan yang digunakan di atap adalah yang tidak biasa diterapkan pada
bangunan tradisional, yaitu struktur kayu di dua tingkat melingkar dan kemudian di
dindingnya ditutupi dengan kaca di dua tingkatan. Atap yang unik dan artistik didukung oleh
empat balok yang dihiasi dengan ornamen dengan pola dan detail bertumpuk sehingga
mereka membentuk formasi yang elegan dengan kekokohannya yang mencerminkan
kebesaran. Sementara itu, di bagian selatan ditempatkan jineng atau lumbung padi yang
merupakan bagian dari bangunan agraria dari ruang sekitarnya yang sangat urban.

Penggambaran ini beliau visualisasikan dengan metode photomapping. Sketsa awal


photomapping kemudian disempurnakan dengan sketsa kasar pada kertas. Sketsa kasar
tersebut kemudian dievaluasi dan disaring dengan fiosofi-filosofi banjar badung yang beliau
gunakan. Setelah tahap transformasi bentuk menggunakan filosofi selesai, proyek
divisualisasikan secara 3 dimensi menggunakan tools software SketchUp yang terskala
dengan akurat.

Dari aspek-aspek yang telah diidentifikasi ditambah dengan sudut pandang sang arsitek
dalam mendesain, dapat dirumuskan teori yang dianut arsitek dalam proses rancangnya. Yoka
Sara merasakan sebuah jalinan konstelasi positif saat beliau berkomunikasi dengan klien dan
melihat lokasi. Menurutnya, setiap keputusan harus melibatkan pertimbangan hati, rasa atau
jiwa. Sehingga architecture is the soul (of the client) dapat menjadi kata kunci untuk
merumuskan teorinya. Jiwa pengguna yang dimaksud adalah setiap orang memiliki karakter
yang berbeda-beda, berada di lokasi yang berbeda-beda dan memiliki kepercayaan dan tradisi
yang berbeda-beda pula.

Hal ini terkait dengan tujuan dan keinginan dari sang arsitek yang menggunakan
pendekatan Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia, alam dan tuhan. Dalam kasus Restorasi
Banjar Gerenceng misalnya, Yoka sara menghubungkan keterkaitan antara aktivitas dan
kondisi masyarakat setempat, lokasi yang padat di perkotaan, dan gaya bebadungan yang
kental akan filosofi agama hindu sehingga hasil rancangannya dapat mencirikan pendekatan
yang beliau gunakan.

Kesimpulan

Analisis perumusan teori dari arsitek dapat dilakukan melalui aspek-aspek yang saling
berhubungan. Pada mata kuliah teori yang diberikan pada jenjang sarjana, dijelaskan bahwa
teori memiliki 3 pokok bahasan dalam disiplin ilmu arsitektur menurut yakni theory in
architecture, theory about architecture dan theory of architecture.

Dalam perumusan theory in (What is architecture?) identifikasi dapat dilakukan dengan


menganalisis karakter personal dari sang arsitek. Mulai dari latar belakang kehidupannya,
jenjang karirnya, pendidikannya, hingga pada langgam yang ia gunakan. Beberapa aspek ini
berpengaruh terhadap sudut tinjau dan pemahaman sang arsitek mengenai arsitektur dan
dalam proses berarsitektur

Theory about (What Architecture should do?) diidentifikasi dengan analisis konsep dan
pendekatan yang dianut sang arsitek dalam proses merancang. Konsep dan pendekatan dapat
menggambarkan keinginan dan tujuan sang arsitek dalam berarsitektur. Selain itu, konsep
juga dapat memperlihatkan bagaimana sang arsitek merespon/menanggapi kondisi yang ada
dengan cara yang ‘khusus’ sehingga dapat dinilai apakah arsitektur itu dapat berfungsi dan
diterima oleh pengguna sesuai dengan tujuan sang arsitek.

Sedangkan theory of (How best to design?) diidentifikasi dengan melakukan analisis


metode dan proses rancang yang dilakukan sang arsitek pada karyanya. Metode rancang
dapat menggambarkan bagaimana ‘cara yang baik’ bagi sang arsitek dalam berarsitektur. Kata
tanya ‘bagaimana dan mengapa’ yang menjadi acuan dalam pengidentifikasian metode
rancang dari sang arsitek. Bagaimana para arsitek mengembangkan prinsip-prinsip dan meng
gunakan pengetahuan, teknik dan gambar – gambar dalam proses desain dan produksi
bangunan. Issue pokok di sini bukan prinsip – prinsip umum yang memandu disain, tetapi
bagaimana dan mengapa arsitek mendesain, menggunakan media serta mengapa di antara
arsitek bisa terjadi keaneka keragaman historis maupun budaya.
DAFTAR PUSTAKA

Broadbent. 1980. Design In Architecture. John and Willey, Publisher Co., New York.

Attoe, Wayne O dalam Catanese, (): Introduction to Architecture: Theory, Criticism and
History of Architecture (chapter 2). Snyder

Jencks, Charles, dkk. (2006): Theories and Manifestoes of Contemporary Architecture

Benaya R., Raisa. 2017. Kisah Yoka Sara: Maestro Seni dan Arsitektur dari Bali. Majalah
Casa Indonesia. https://www.casaindonesia.com/article/read/2/2017/191/Kisah-Yoka-Sara-
Maestro-Seni-dan-Arsitektur-dari-Bali

Robert AM Stern dalam kuliah Kiwari. Nur Endah Nuffida S. 2017. Stern, R.A.M. 1990.
What the Classical can do for the Modern, New Classicism.

Metu Jfa. 2011. The New Architectural Classicism in Northern Cyprus. researchgate.net.
https://www.researchgate.net/publication/265242465_THE_NEW_ARCHITECTURAL_CLASSI
CISM_IN_NORTHERN_CYPRUS_THE_NEW_ARCHITECTURAL_CLASSICISM_IN_NORTHERN_CY
PRUS.

PT Bale Legend. 2019. Portfolio Yoka Sara International (Selected Works)

Jalan Dharma. 2015. Makalah Tata Susila Tri Hita Karana. https://hindualukta.
blogspot.com/2015/10/makalah-tata-susila-tri-hita-karana.html

Purana, I Made. 2016. Pelaksanaan Tri Hita Karana Dalam Kehidupan Umat Hindu.
Jurnal Kajian Pendidikan Widya Accarya FKIP Universitas Dwijendra.

Narasi. 2019. Maestro Arsitektur Bali. Youtube. https://www.youtube.com


/watch?v=VBGTQdMahTI

Akun media sosial arsitek Yoka Sara:

LinkedIn: https://id.linkedin.com/in/yoka-sara-6749b539

Instagram: https://www.instagram.com/yoka_sara

Blog: http://yokasara.blogspot.com/; https://gerenceng.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai