IMUNOLOGI IKAN
KELOMPOK IV
Stefanno. M. A. Rijoly
C151140401
Oleh:
Stefanno. M. A. Rijoly
C151140401
ILMU AKUAKULTUR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
I. PENDAHULUAN
∑ 𝑠𝑒𝑙 ℎ𝑖𝑎𝑙𝑖𝑛/𝑔𝑟𝑎𝑛𝑢𝑙
𝐷𝐻𝐶 = × 100%
∑ 𝑠𝑒𝑙 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖
3.1 Hasil
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada praktikum gambaran
darah krustasea (udang) diperoleh data nilai THC, DHC dan aktifitas
phenoloksidase (PO), serta nilai THC dari moluska (kijing) sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil perhitungan gambaran darah dan sistem imun non spesifik dari
Kijing dan Udang.
Udang
THC Kijing
Kelompok DHC (%) PO (OD: Lisozim
(sel/mm3) THC (sel/mm3)
Hyalin Granulosit 490 nm) (cm)
1 1.70 x 102 7.90 x 103 70 30 0,084 0
2 7.00 x 102 8.30 x 103 70 30 0,120 0
3 9.50 x 102 2.00 x 104 70 30 0,074 0
4 3.20 x 102 1.66 x 104 66 34 0,100 0
5 1.85 x 103 8.60 x 103 83 17 0,142 0
Blanko 0,084
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa nilai THC udang tertinggi yaitu dari
kelompok 3 sebesar 2,00x104 sel/mm3 dan terendah pada kelompok 1 sebesar
7,90x103 sel/mm3. Perhitungan DHC untuk nilai hialin tertinggi terdapat pada
kelompok 5 sebesar 83% dan terendah pada kelompok 4 sebesar 66%. Sedangkan
perhitungan DHC untuk nilai granular tertinggi terdapat pada kelompok 4 sebesar
34% dan terendah pada kelompok 5 sebesar 17%. Nilai PO tertinggi terdapat
kelompok 5 sebesar 0,142 sedangkan nilai PO terendah terdapat pada kelompok 3
yaitu sebesar 0,074. Pada praktikum ini tidak menunjukan adanya aktifitas dari
lisozim pada udang. Jumlah THC tertinggi untuk kijing terdapat pada kelompok 5
sebesar 1,85x103 sel/mm3 dan terendah pada kelompok 1 sebesar 1,70x102
sel/mm3.
3.2 Pembahasan
Sistem peredaran darah pada krustasea dan moluska disebut dengan sistem
peredaran terbuka. Dengan sistem ini, krustasea dan moluska tidak memiliki arteri
atau vena untuk mengalirkan darahnya. Darah yang mengandung oksigen
dipompa oleh jantung ke seluruh tubuh. Darah krustasea dan moluska tidak
mengandung hemoglobin, melainkan hemosianin yang mempunyai daya ikat
dengan oksigen sangat rendah (Lukito, 2007).
Sistem pertahanan tubuh non spesifik udang L. vannamei terhadap aplikasi
ditunjukkan oleh gambaran hematositnya yaitu jumlah total hemosit dan aktivitas
fagositosis. Hemosit merupakan salah satu bentuk pertahanan tubuh secara selular.
Hemosit mampu mematikan agen penyebab infeksi melalui sintesis dan
eksositosis molekul bioaktif protein mikrobisidal (Smith et al., 2003). Faktor-
faktor immunoreaktif seperti peroxinextin, peptida antibakteri dan clotting
components disimpan dalam hemosit, sehingga peningkatan jumlah hemosit
merupakan ukuran kemampuan suatu zat untuk menstimulasi sistem pertahanan
tubuh udang (Ridlo dan Pramesti 2009).
Mekanisme pertahanan pada krustasea sebagian besar bergantung pada sel-
sel darah dan proses hemolim. Darah krustasea tidak mengandung haemoglobin,
sehingga darahnya tidak berwarna merah. Peran haemoglobin digantikan oleh
haemosianin yaitu suatu protein mengandung Cu yang berfungsi untuk transport
oksigen dan sebagai buffer dalam darah krustasea (Maynard, 1960 dalam
Syahailatua, 2009). Hemosit memainkan peranan penting pada pertahanan tubuh
krustasea yaitu dapat menghilangkan partikel asing yang masuk ketubuh udang,
meliputi tahap-tahap pengenalan, fagositosis, melanisasi, sitotoksis dan
komunikasi sel (Johansson et al. 2000 dalam Syahailatua, 2009).
Pada krustasea ada tiga tipe sirkulasi hemosit. Tipe ini didasarkan pada
keberadaan sitoplasma granula yaitu hialin, semi granular (setengah berisi butir
kecil) dan sel granular (berisi butir kecil) masing-masing memiliki morfologi dan
fisiologi tertentu. Hialin berukuran 6-13 μm merupakan sel dengan perbandingan
inti lebih tinggi dari sitoplasma dan memiliki sedikit granul submikron. Semi
granular berukuran 10-20 μm merupakan sel dengan perbandingan inti lebih
rendah dari sitoplasma dan memiliki granul sub micron dan micron serta adany
agranul. Semi granular memperlihatkan kapasitas mengenali dan merespons
partikel unsure atau molekul asing (Syahailatua 2009) atau dikenal sebagai
selaktif dalam enkapsulasi (Syahailatua 2009).
Sel semi granular merupakan sel dengan jumlah inti sel yang lebih rendah
dibandingkan sitoplasmanya. Sel semi granular berperan dalam enkapsulasi,
sitotoksis dan melepaskan system proPO (Johansson et al. 2000 dalam
Syahailatua, 2009). Persentase sel semi granular pada krustasea normal berkisar
pada 13-49%.
Sel Granular merupakan sel dengan perbandingan inti sel lebih rendah dari
sitoplasma. Sel ini berfungsi dalam menyimpan dan melepaskan system proPO
maupun sebagai sitotoksis bersama-sama dengan sel semi granular (Johansson et
al. 2000 dalam Syahailatua, 2009). Nilai granular tertinggi saat praktikum
terdapat pada kelompok 4 yaitu 34% sedangkan granular terendah terdapat pada
kelompok 2 yaitu 17%. Sedangkan persentase sel granular pada krustasea normal
berkisar 6-42%. Hal ini berarti kandungan hialin dan granular pada praktikum
masih memenuhi kriteria. Persentase sel granular meningkat dapat menyebabkan
penurunan sel hialin sehingga berimplikasi dengan peningkatan sel-sel granulosit.
Dalam hal ini sel-sel hialin dan semi granular merupakan bakal atau prekusor dari
sel-sel granulosit. Dengan demikian sel-sel granulosit yang terbentuk pada
dasarnya merupakan sel-sel matang dari kedua jenis sel lainnya. Peningkatan sel
granular dalam praktimum ini menyebabkan kemampuan sel ini untuk melepaskan
system proPO juga meningkat (Syahailatua, 2009).
Phenoloxidase merupakan enzim yang berperan dalam proses melanisasi.
Enzim ini dihasilkan melalui sistem proPO yang dapat diaktifkan oleh adanya
imunostimulan. Meningkatnya aktifitas phenoloxidase akan meningkatkan
kemampuan udang untuk lebih mengenal partikel asing yang masuk misalnya
bakteri kemudian dilakukannya fagositosis. Meningkatnya fagositosis akan
meningkatkan daya tahan udang, sehingga menghambat atau mengurangi bakteri
dalam tubuh udang. Glukan, LPS, bakteri dan non-self agents lainnya diketahui
dapat merangsang aktifitas prophenoloxidase (proPO) dan reaksi melanisasi.
Aktifnya proPO akan merangsang aktifnya phenoloxidase untuk memanfaatkan
senyawa phenolic sehingga terbentuknya quinones yang pada akhirnya
terbentuknya melanin (Smith et al., 2003). Selain itu pula dengan aktifnya
phenoloxidase maka menyebabkan pula aktifitas dan agen immunoactive lainnya,
misalnya peroxinectine dan reactive oxygen species (Holmbland dan Söderhäll,
1999).
Beberapa studi menunjukkan bahwa hemolim krustasea mampu untuk
menghambat pertumbuhan bakteri karena adanya protein antibakterial yang
disebut dengan peptide. Aktifitas antibakterial ini terdapat dalam sel granular dan
semi granular (Smith et al., 2003).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, gambaran darah dan sistem imun non spesifik
pada krustasea dan moluska dapat menunjukan kesehatan kijing dan krustasea.
Jika komponen darah pada kijing dan krustasea tidak berada pada jumlah yang
normal, maka dapat diduga bahwa kijing dan krustasea tersebut sedang terserang
penyakit, seperti anemia atau pun stres.
4.2 Saran
Sebaiknya dilakukan praktikum hewan uji untuk tiap kelompok berbeda
supaya kita dapat mengetahui nilai THC dan sistem imun non spesifik dari tiap
kelompok krustasea maupun moluska.
DAFTAR PUSTAKA
Blaxhall, Daishley KW. 1973. Routine haematological methods for use with fish
blood. J Fish Biol 5: 577-581.
Holmblad T., and K. Söderhäll. 1999. Cell adhesion molecules and antioxidative
enzymes in a crustacean, possible role in immunity. Aquaculture 172:111-
123.
Liu CH, Chen JC. 2004. Effect of ammonia on the immune response of white
shrimp Litopenaeus vannamei and its susceptibility to Vibrio alginolyticus.
Fish Shellfish Immunol 16: 321-334.
Lukito, A dan S. Prayogo. 2007. Panduan Lengkap Krustasea Air Tawar. Penebar
Swadaya. Depok. 215 hal.
Prasetyo AE, Dwi HY, Purwanto. 2008. Efektifitas pengaruh pemberian ekstrak
bawang putih untuk pengobatan ikan lele (Clarias sp.) yang terinfeksi
bakteri Aeromona shydrophila . PKM Penulisan Ilmiah, Institut Pertanian
Bogor.
Ridlo A, Pramesti R. 2009. Aplikasi Ekstrak Rumput Laut Sebagai Agen
Imunostimulan Sistem Pertahanan Non Spesifik Pada Udang
(Litopennaeus vannamei). Ilmu Kelautan. September 2009. Vol. 14 (3):
133-137
Smith V J., J H. Brown, & C. Hauton, 2003, Immunostimulation in Crustaceans:
Does it Really Protect Against Infection. Fish & Shellfish Immunology 15 :
71–90.
Söderhäll K., and L. Cerenius. 1998. Role of prophenoloxidas-activating system
in invertebrate immunity. Current Opinion in Immunology 10:23-28.
Syahailatua, D.Y. 2009. Seleksi Bakteri Probiotik sebagai Stimulator Sistem Imun
pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) [Thesis]. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 58 p.