Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM

IMUNOLOGI IKAN

KELOMPOK IV

Stefanno. M. A. Rijoly
C151140401

MAYOR ILMU AKUAKULTUR


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
m.k. Imunologi Ikan Kelompok : IV
Asisten : 1. Rahman, S.Pi., M.Si
2. Dendi Hidayatullah

GAMBARAN DARAH DAN SISTEM IMUNITAS NON


SPESIFIK PADA MOLUSCA DAN CRUSTACEA

Oleh:
Stefanno. M. A. Rijoly
C151140401

ILMU AKUAKULTUR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Darah dianggap sebagai jaringan khusus yang menjalani sirkulasi, terdiri
dari sel-sel dalam plasma darah. Aliran darah dalam seluruh tubuh menjamin
lingkungan yang tetap, agar semua jaringan sel mampu melaksanakan fungsinya.
Darah merupakan cairan terpenting dalam tubuh makhluk hidup. Darah
merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melihat kelainan
yang terjadi pada organisme tersebut, baik yang terjadi karena penyakit ataupun
kerena keadaan lingkungan. Sehingga dengan mengetahui gambaran darah dapat
mengetahui kondisi kesehatan suatu organisme (Delman and Brown, 1989 dalam
Prasetyo et al, 2008)
Munculnya penyakit pada organisme akuatik umumnya merupakan hasil
interaksi kompleks atau tidak seimbang antara tiga komponen dalam ekosistem
perairan yaitu inang (ikan) yang lemah, patogen yang ganas serta kulitas
lingkungan yang memburuk (Fujaya 2004). Hal tersebut dapat dicegah atau
dikurangi agar tidak menyebar luas salah satunya dengan mengenali parasit pada
organisme tersebut.
Gambaran darah suatu organisme dapat digunakan untuk mengetahui
kondisi kesehatan yang sedang dialami oleh organism tersebut. Dalam budidaya,
diketahuinya faktor kesehatan organisme budidaya sangat penting guna mencapai
suatu target yang diinginkan untuk mencapai suatu keberhasilan. Udang
merupakan hewan invertebrata yang memiliki sistem imun yang primitif
dibandingkan dengan hewan vertebrata (ikan), karena udang tidak memproduksi
antibodi (pertahanan spesifik). Mekanisme pertahanan udang sangat bergantung
pada kekebalan bawaan (innate immunity), sistem pertahanan non-spesifik, yang
terdiri dari komponen seluler dan komponen humoral yang sangat efektif dalam
menangkal serangan patogen. Oleh karena itu, pada praktikum ini dipelajari
tentang gambaran darah dari sampel krustasea (udang) dan moluska (kijing).
1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari metode pengukuran dan
pengamatan beberapa parameter gambaran darah serta aktifitas sistem imun non
spesifik pada udang dalam ruang lingkup budidaya akuakultur.
II. METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari Jumat, 17 April 2015 dan Jumat, 24
April 2015 pukul 08.00-11.00 WIB, bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan,
Depertemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.

2.2 Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah spuit, tabung
ependorf, gelas objek, cover glass, mikroskop, haemositometer, pipet sahli,
tabung Hb-meter, syringe, mikropipet, spektrofotometer, microplate, tabung
mikrohemotokrit, sentrifus, vortex, inkubator, timbangan digital, plastik wrap,
alumunium foil, crystoseal, baki dan kain lap. Sedangkan bahan yang digunakan
adalah udang vaname (Litopennaeus vannamei), ikan nila, anti koagulan (Na-sitrat
3.8%), alkohol, minyak cengkeh, myobacterium, putih telur, larutan PBS, larutan
NBT, larutan hayems, larutan turks, metanol, giemsa, akuades, dan HCl 0.1 N,
agarose.

2.3 Prosedur Kerja


2.3.1 Total Hemosit Kijing
Kijing diambil kemudian disuntik dengan syringe yang sebelumnya telah
dibilas dengan antikoagulan, kemudian darah kijing diambil sebanyak 0,1ml dari
arah anterior ke arah dorsal. Kemudian darah yang sudah ada pada syringe di
kocok supaya homogen, setelah itu masukan ke dalam hemositometer dan amati
di bawah mikroskop.
1
𝑇𝐻𝐶 𝐾𝑖𝑗𝑖𝑛𝑔 = ∑ 𝑠𝑒𝑙 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ ×
0,1
2.3.2 Total Hemosit dan Diferensial Hemosit Udang
Pengamatan total hemosit udang vaname menggunakan metode Blaxhall
dan Daishley (1973) Penghitungan total hemosit udang dilakukan dengan cara
darah udang atau haemolymph diambil sebanyak 0,1 ml dari pangkal kaki renang
pertama dengan menggunakan syringe 1 ml yang sudah berisi 0,3 ml antikoagulan
Na-sitrat 3,8%. Selanjutnya campuran tersebut dihomogenkan dengan cara
menggoyangkan syringe membentuk angka delapan, tetesan pertama dibuang
sedangkan tetesan selanjutnya diteteskan pada haemocytometer dan diamati di
bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali kemudian dihitung jumlah sel per
ml.
Pembuatan preparat ulas dilakukan dengan cara darah diteteskan pada
bagian kanan gelas objek, dan gelas objek lain diletakkan disebelah kiri ditarik
dengan arah membentuk sudut 30° agar darah tersebar. Selanjutnya darah
difiksasi dengan udara dan dilanjutkan dengan fiksasi dengan metanol selama 10
menit. Setelah itu, preparat digenangi dengan larutan giemsa selama 30 menit dan
dicuci dengan akuades serta ditutup dengan cover glass untuk diamati dengan
mikroskop untuk menghitung jumlah DHCnya (hialin dan granulnya).
Rumus untuk menghitung THC udang:
1 1
𝑇𝐻𝐶 = ∑ 𝑠𝑒𝑙 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ × ×
0,1 ∑ 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ
∑ 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ + 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑘𝑜𝑎𝑔𝑢𝑙𝑎𝑛

Rumus untuk menghitung DHC udang:

∑ 𝑠𝑒𝑙 ℎ𝑖𝑎𝑙𝑖𝑛/𝑔𝑟𝑎𝑛𝑢𝑙
𝐷𝐻𝐶 = × 100%
∑ 𝑠𝑒𝑙 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖

2.3.3 Aktifitas Phenoloxidase


Aktivitas Phenoloksidase (PO) hemosit udang diukur menggunakan
metode yang dilakukan Liu dan Chen (2004) berdasarkan formasi dopachrome
yang dihasilkan oleh L-DOPA (L-dihydroxyphenylalanine). Sebanyak 1 mL
campuran hemolim-antikoagulan disentrifuse pada 1.500 rpm selama 10 menit
pada temperatur 4 ˚C. Supernatan dibuang dan pelet disuspensi kembali secara
perlahan dengan menambahkan 1 mL larutan cacodylate-citrate buffer (0,01 M
sodium cacodylate, 0,45 M sodium chloride, 0,10 M trisodium citrate, pH 7) dan
disentrifuse kembali (1.500 rpm selama 10 menit pada temperatur 4 oC).
Supernatan yang terbentuk dibuang dan ditambahkan 200 μL cacodylate-citrate
buffer (0,01 M sodium cacodylate, 0,45 M sodium chloride, 0,10 M trisodium
citrate, pH 7). Suspensi sel sebanyak 100 μL kemudian diinkubasi dengan 50 μL
trypsin (1 mg/mL cacodylate buffer) sebagai aktivator selama 10 menit pada
temperatur 25-26 ˚C. Selanjutnya ditambahkan 50 μL L-DOPA (3 mg/mL
cacodylate buffer), didiamkan selama 5 menit dan ditambahkan 800 μL
cacodylate buffer. Densitas optikal (OD) diukur dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Larutan standar mengandung
100 μL suspensi hemosit, 50 μL cacodylate buffer (pengganti trypsin), dan 50 μL
L-DOPA. Densitas optikal (OD) dari aktivitas PO dinyatakan sebagai formasi
dopachrome dalam 100 μL hemolim.

2.3.4 Uji Lyzosime


Kedalam 15 ml NaH2PO4 0,07M atau Na2HPO4 buffer dilarutkan agarose
1%, pH 6,2. M.leuteus sebanyak 50µg/ml ditambahkan kedalam campuran
kemudian panaskan selama ±10 menit. Kemudian campuran tadi disebar
menggunakan mikropipet secara merata diatas gelas objek. Setelah itu bila agar
pada gelas objek sudah memadat buat lubang sebanyak 4 buah dan masukan
sampel uji kedalam lubang pada agarose menggunakan mikropipet. Masing-
masing lubang diisi sampai penuh oleh sampel uji berturut-turut pbs, darah ikan,
hemolim udang dan putih telur. Selanjutnya gelas objek yang sudah berisi sampel
uji di masukkan kedalam baki yag sudah dialas tissue yang dibasahkan guna
menjaga kelembaban. Kemudian baki dibungkus dengan menggunakan plastik
wrap kemudian inkubasi selama 17 jam. Amati dan hitung diameter zona bening
yang terbentuk
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada praktikum gambaran
darah krustasea (udang) diperoleh data nilai THC, DHC dan aktifitas
phenoloksidase (PO), serta nilai THC dari moluska (kijing) sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil perhitungan gambaran darah dan sistem imun non spesifik dari
Kijing dan Udang.
Udang
THC Kijing
Kelompok DHC (%) PO (OD: Lisozim
(sel/mm3) THC (sel/mm3)
Hyalin Granulosit 490 nm) (cm)
1 1.70 x 102 7.90 x 103 70 30 0,084 0
2 7.00 x 102 8.30 x 103 70 30 0,120 0
3 9.50 x 102 2.00 x 104 70 30 0,074 0
4 3.20 x 102 1.66 x 104 66 34 0,100 0
5 1.85 x 103 8.60 x 103 83 17 0,142 0
Blanko 0,084
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa nilai THC udang tertinggi yaitu dari
kelompok 3 sebesar 2,00x104 sel/mm3 dan terendah pada kelompok 1 sebesar
7,90x103 sel/mm3. Perhitungan DHC untuk nilai hialin tertinggi terdapat pada
kelompok 5 sebesar 83% dan terendah pada kelompok 4 sebesar 66%. Sedangkan
perhitungan DHC untuk nilai granular tertinggi terdapat pada kelompok 4 sebesar
34% dan terendah pada kelompok 5 sebesar 17%. Nilai PO tertinggi terdapat
kelompok 5 sebesar 0,142 sedangkan nilai PO terendah terdapat pada kelompok 3
yaitu sebesar 0,074. Pada praktikum ini tidak menunjukan adanya aktifitas dari
lisozim pada udang. Jumlah THC tertinggi untuk kijing terdapat pada kelompok 5
sebesar 1,85x103 sel/mm3 dan terendah pada kelompok 1 sebesar 1,70x102
sel/mm3.
3.2 Pembahasan
Sistem peredaran darah pada krustasea dan moluska disebut dengan sistem
peredaran terbuka. Dengan sistem ini, krustasea dan moluska tidak memiliki arteri
atau vena untuk mengalirkan darahnya. Darah yang mengandung oksigen
dipompa oleh jantung ke seluruh tubuh. Darah krustasea dan moluska tidak
mengandung hemoglobin, melainkan hemosianin yang mempunyai daya ikat
dengan oksigen sangat rendah (Lukito, 2007).
Sistem pertahanan tubuh non spesifik udang L. vannamei terhadap aplikasi
ditunjukkan oleh gambaran hematositnya yaitu jumlah total hemosit dan aktivitas
fagositosis. Hemosit merupakan salah satu bentuk pertahanan tubuh secara selular.
Hemosit mampu mematikan agen penyebab infeksi melalui sintesis dan
eksositosis molekul bioaktif protein mikrobisidal (Smith et al., 2003). Faktor-
faktor immunoreaktif seperti peroxinextin, peptida antibakteri dan clotting
components disimpan dalam hemosit, sehingga peningkatan jumlah hemosit
merupakan ukuran kemampuan suatu zat untuk menstimulasi sistem pertahanan
tubuh udang (Ridlo dan Pramesti 2009).
Mekanisme pertahanan pada krustasea sebagian besar bergantung pada sel-
sel darah dan proses hemolim. Darah krustasea tidak mengandung haemoglobin,
sehingga darahnya tidak berwarna merah. Peran haemoglobin digantikan oleh
haemosianin yaitu suatu protein mengandung Cu yang berfungsi untuk transport
oksigen dan sebagai buffer dalam darah krustasea (Maynard, 1960 dalam
Syahailatua, 2009). Hemosit memainkan peranan penting pada pertahanan tubuh
krustasea yaitu dapat menghilangkan partikel asing yang masuk ketubuh udang,
meliputi tahap-tahap pengenalan, fagositosis, melanisasi, sitotoksis dan
komunikasi sel (Johansson et al. 2000 dalam Syahailatua, 2009).
Pada krustasea ada tiga tipe sirkulasi hemosit. Tipe ini didasarkan pada
keberadaan sitoplasma granula yaitu hialin, semi granular (setengah berisi butir
kecil) dan sel granular (berisi butir kecil) masing-masing memiliki morfologi dan
fisiologi tertentu. Hialin berukuran 6-13 μm merupakan sel dengan perbandingan
inti lebih tinggi dari sitoplasma dan memiliki sedikit granul submikron. Semi
granular berukuran 10-20 μm merupakan sel dengan perbandingan inti lebih
rendah dari sitoplasma dan memiliki granul sub micron dan micron serta adany
agranul. Semi granular memperlihatkan kapasitas mengenali dan merespons
partikel unsure atau molekul asing (Syahailatua 2009) atau dikenal sebagai
selaktif dalam enkapsulasi (Syahailatua 2009).
Sel semi granular merupakan sel dengan jumlah inti sel yang lebih rendah
dibandingkan sitoplasmanya. Sel semi granular berperan dalam enkapsulasi,
sitotoksis dan melepaskan system proPO (Johansson et al. 2000 dalam
Syahailatua, 2009). Persentase sel semi granular pada krustasea normal berkisar
pada 13-49%.
Sel Granular merupakan sel dengan perbandingan inti sel lebih rendah dari
sitoplasma. Sel ini berfungsi dalam menyimpan dan melepaskan system proPO
maupun sebagai sitotoksis bersama-sama dengan sel semi granular (Johansson et
al. 2000 dalam Syahailatua, 2009). Nilai granular tertinggi saat praktikum
terdapat pada kelompok 4 yaitu 34% sedangkan granular terendah terdapat pada
kelompok 2 yaitu 17%. Sedangkan persentase sel granular pada krustasea normal
berkisar 6-42%. Hal ini berarti kandungan hialin dan granular pada praktikum
masih memenuhi kriteria. Persentase sel granular meningkat dapat menyebabkan
penurunan sel hialin sehingga berimplikasi dengan peningkatan sel-sel granulosit.
Dalam hal ini sel-sel hialin dan semi granular merupakan bakal atau prekusor dari
sel-sel granulosit. Dengan demikian sel-sel granulosit yang terbentuk pada
dasarnya merupakan sel-sel matang dari kedua jenis sel lainnya. Peningkatan sel
granular dalam praktimum ini menyebabkan kemampuan sel ini untuk melepaskan
system proPO juga meningkat (Syahailatua, 2009).
Phenoloxidase merupakan enzim yang berperan dalam proses melanisasi.
Enzim ini dihasilkan melalui sistem proPO yang dapat diaktifkan oleh adanya
imunostimulan. Meningkatnya aktifitas phenoloxidase akan meningkatkan
kemampuan udang untuk lebih mengenal partikel asing yang masuk misalnya
bakteri kemudian dilakukannya fagositosis. Meningkatnya fagositosis akan
meningkatkan daya tahan udang, sehingga menghambat atau mengurangi bakteri
dalam tubuh udang. Glukan, LPS, bakteri dan non-self agents lainnya diketahui
dapat merangsang aktifitas prophenoloxidase (proPO) dan reaksi melanisasi.
Aktifnya proPO akan merangsang aktifnya phenoloxidase untuk memanfaatkan
senyawa phenolic sehingga terbentuknya quinones yang pada akhirnya
terbentuknya melanin (Smith et al., 2003). Selain itu pula dengan aktifnya
phenoloxidase maka menyebabkan pula aktifitas dan agen immunoactive lainnya,
misalnya peroxinectine dan reactive oxygen species (Holmbland dan Söderhäll,
1999).
Beberapa studi menunjukkan bahwa hemolim krustasea mampu untuk
menghambat pertumbuhan bakteri karena adanya protein antibakterial yang
disebut dengan peptide. Aktifitas antibakterial ini terdapat dalam sel granular dan
semi granular (Smith et al., 2003).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, gambaran darah dan sistem imun non spesifik
pada krustasea dan moluska dapat menunjukan kesehatan kijing dan krustasea.
Jika komponen darah pada kijing dan krustasea tidak berada pada jumlah yang
normal, maka dapat diduga bahwa kijing dan krustasea tersebut sedang terserang
penyakit, seperti anemia atau pun stres.

4.2 Saran
Sebaiknya dilakukan praktikum hewan uji untuk tiap kelompok berbeda
supaya kita dapat mengetahui nilai THC dan sistem imun non spesifik dari tiap
kelompok krustasea maupun moluska.
DAFTAR PUSTAKA

Blaxhall, Daishley KW. 1973. Routine haematological methods for use with fish
blood. J Fish Biol 5: 577-581.
Holmblad T., and K. Söderhäll. 1999. Cell adhesion molecules and antioxidative
enzymes in a crustacean, possible role in immunity. Aquaculture 172:111-
123.
Liu CH, Chen JC. 2004. Effect of ammonia on the immune response of white
shrimp Litopenaeus vannamei and its susceptibility to Vibrio alginolyticus.
Fish Shellfish Immunol 16: 321-334.
Lukito, A dan S. Prayogo. 2007. Panduan Lengkap Krustasea Air Tawar. Penebar
Swadaya. Depok. 215 hal.
Prasetyo AE, Dwi HY, Purwanto. 2008. Efektifitas pengaruh pemberian ekstrak
bawang putih untuk pengobatan ikan lele (Clarias sp.) yang terinfeksi
bakteri Aeromona shydrophila . PKM Penulisan Ilmiah, Institut Pertanian
Bogor.
Ridlo A, Pramesti R. 2009. Aplikasi Ekstrak Rumput Laut Sebagai Agen
Imunostimulan Sistem Pertahanan Non Spesifik Pada Udang
(Litopennaeus vannamei). Ilmu Kelautan. September 2009. Vol. 14 (3):
133-137
Smith V J., J H. Brown, & C. Hauton, 2003, Immunostimulation in Crustaceans:
Does it Really Protect Against Infection. Fish & Shellfish Immunology 15 :
71–90.
Söderhäll K., and L. Cerenius. 1998. Role of prophenoloxidas-activating system
in invertebrate immunity. Current Opinion in Immunology 10:23-28.
Syahailatua, D.Y. 2009. Seleksi Bakteri Probiotik sebagai Stimulator Sistem Imun
pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) [Thesis]. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 58 p.

Anda mungkin juga menyukai