Anda di halaman 1dari 13

Laporan Praktikum ke-3 Hari/Tanggal : Senin/16 Maret 2015

m.k Manajemen Kesehatan Kelompok : IV


Organisme Akuakultur Asisten : Hesti Irissanti

GAMBARAN DARAH CRUSTACEA DAN MOLLUSCA (THC


DAN DHC)

Disusun oleh:
Rinda Ulfah Likandi
C14120011

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Darah adalah cairan yang terdapat dalam tubuh yang memiliki fungsi
sebagai agen pengangkut zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan
oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan bahan kimia hasil metabolisme, dan juga
sebagai pertahanan tubuh terhadap gangguan luar tubuh, seperti virus atau bakteri.
Darah dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat menggambarkan kondisi
kesehatan suatu makhluk hidup, baik hewan atau manusia karena darah membawa
segala hal yang akan disalurkan ke organ dan membawa kembali beberapa dari
sisa metabolisme, seperti CO2 yang merupakan buangan dari sistem respirasi
Penyakit merupakan salah satu faktor penghambat dalam kegiatan
budidaya perikanan karena dapat hasil produksi yang memang merupakan tujuan
utama kegiatan akuakultur. Penyakit pada dasarnya adalah segala sesuatu yang
mengganggu aktivitas fisiologis ikan baik secara langsung ataupun tidak langsung
sehingga mengakibatkan abnormalitas pada ikan (Sachlan 1972 dalam Afrianto
dan Liviawaty 1992). Definisi ikan yang digunakan meliputi ikan, crustase,
moluska, dan komoditas akuakultur lain. Penyakit pada ikan hanya akan terjadi
apabila terdapat reaksi antara agen patogen, lingkungan yang tidak sesuai, dan
inang. Ketidakseimbangan reaksi antar faktor di atas akan memperbesar
kemungkinan terjangkitnya penyakit pada ikan sehingga ketiga faktor tersbut
harus senantiasa dikelola dengan baik. Salah satu komoditas akuakultur yang
rentan adalah crustase (lobster) dan moluska (kijing).
Seringkali para pembudidaya terlambat dalam mengetahui bahwa udang
mereka terserang penyakit. Hal tersebut dikarenakan beberapa penyakit tidak
menunjukkan gejala yang awal. Apabila muncul gejala awal pun sulit menentukan
penyakit yang menyerang karena terdapat banyak kemiripan gejala pada beberapa
jenis penyakit. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kelainan
atau penyakit yaitu dengan analisis histologi jaringan atau histopatologi juga
melalui gambaran darah atau hematologi. Identifikasi keberadaan penyakit dapat
dilakukan secara konvensional dan molekuler. Pemeriksaan penyakit infeksius
dapat dilakukan secara molekuler yang didukung dengan pengetahuan tentang
histopatologis (gambaran melintang jaringan tubuh), gambaran darah, dan
immunologis (konsentrasi antibodi/antigen). Oleh karena itu, pengetahuan akan
gambaran darah sangat penting untuk mempelajari dan menganalisa status atau
kesehatan komoditas akuakultur yang akan memengaruhi kegiatan budidaya.

1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui gambaran darah
yang meliputi pengamatan Total Haemocyte Count (THC) dan Diferensial
Haemocyte Count (DHC) pada lobster air tawar (Cherax sp.) serta pengamatan
Total Haemocyte Count (THC) pada kijing (Perna viridis).
II. METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 9 Maret 2015,
pengamatan dilakukan pada waktu yang sama bertempat di Laboratorium
Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

2.2 Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan adalah syringe, microtube, tisu, kaca preparat, cover
glass, baki, haemasitometer, mikroskop, hand counter, dan alat tulis. Bahan-
bahan yang digunakan adalah lobster air tawar (Cherax sp.), kijing (Perna
viridis), antikoagulan, giemsa, dan methanol.

2.3 Prosedur
2.3.1 Cara Pengambilan Darah
Lobster diletakkan di atas baki, lalu dipegang bagian atas karapas.
Antikoagulan sebanyak 0.1 ml diambil dengan syringe steril lalu digunakan untuk
mengambil sampel darah lobster. Pengambilan darah dilakukan pada bagian
pangkal kaki jalan terakhir di bagian yang lunak. Jarum ditusukkan perlahan
sampai dirasa cukup. Kemudian, ujung syringe ditarik untuk mengambil darah
lobster. Darah lobster berwarna bening namun cenderung lebih kental daripada
air. Setelah dirasa cukup, darah tetap berada di dalam syringe. Darah dan
antikoagulan dihomogenkan dengan menarik dan mendorong ujung syringe. Hal
ini dilakukan untuk menghindari penggumpalan pada darah lobster. Setelah itu
dilakukan pengamatan terhadap THC (total haemocyte count).
Pengambilan darah pada kijing dilakukan dengan meletakkan kijing di atas
baki, lalu dipegang bagian cangkangnya. Syringe steril ditusukkan pada celah
cangkang, setelah itu ujung syringe ditarik untuk menarik darah kijing yang juga
berwarna bening. Jarum ditusukkan perlahan sampai dirasa cukup. Darah tidak
dipindahkan ke tempat lain melainkan tetap di dalam syringe. Setelah itu
dilakukan pengamatan terhadap THC (total haemocyte count) di bawah
mikroskop.
2.3.2 Perhitungan THC Lobster Air Tawar
Darah lobster yang telah terkumpul kemudian diambil dengan syringe
yang sebelumnya telah dibilas dengan antikoagulan sebanyak 0.1 ml, lalu
dihomogenkan selama lima menit. Setelah homogen, tetesan pertama dibuang,
sisa darah yang ada di dalam syringe diteteskan di atas hemasitometer untuk
diamati di bawah mikroskop. Hasil perhitungan kemudian dimasukkan ke dalam
rumus berikut :
1
𝑇𝐻𝐶 = ∑ 𝑠𝑒𝑙 𝑥 𝑥 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟
𝑣𝑜𝑙. 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘

𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ + 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟
𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟 =
𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ

2.3.3 Perhitungan DHC Lobster Air Tawar


Darah lobster diambil kemudian diletakkan satu tetes di salah satu ujung
dari kaca preparat. Kaca preparat yang lain digunakan untuk menarik tetesan
darah lobster di ujung lainnya membentuk sudut 45o. Selanjutnya difiksasi dengan
methanol selama 5-10 menit, lalu dikeringudarakan. Setelah itu, dilakukan
pewarnaan dengan giemsa selama 10-15 menit. Terakhir setelah giemsa kering,
dibilas dengan akuades, dikeringudarakan lalu diamati di bawah mikroskop. Hasil
yang terhitung kemudian dimasukkan ke dalam rumus berikut :
∑ 𝑠𝑒𝑙 ℎ𝑖𝑎𝑙𝑖𝑛
𝐷𝐻𝐶 = 𝑥 100%
∑ 𝑠𝑒𝑙 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖

2.3.4 Perhitungan THC Kijing


Darah dari kijing yang telah terkumpul kemudian diambil dengan syringe,
lalu dihomogenkan selama lima menit. Setelah homogen, tetesan pertama
dibuang, sisa darah yang ada di dalam syringe diteteskan di atas hemasitometer
untuk diamati di bawah mikroskop. Hasil perhitungan kemudian dimasukkan ke
dalam rumus berikut :
1
𝑇𝐻𝐶 = ∑ 𝑠𝑒𝑙 𝑥 𝑥 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟
𝑣𝑜𝑙. 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘
𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ + 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟
𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟 =
𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
Berikut merupakan hasil pengamatan gambaran darah lobster air tawar
(Cherax sp.) dan Kijing (Perna viridis).
Kelompo THC Kijing
THC Lobster (sel/mm3) DHC (%)
k (sel/mm3)
1 1,56 X 103 1,05 X 103 H = 64,08 G = 35,92
2 1,00 X 103 1,57 X 103 H = 62,00 G = 38,00
3 2,52 X 103 0,30 X 103 H = 28,60 G = 71,40
4 0,70 X 103 0,71 X 103 H = 71,43 G = 28,57
5 1,16 X 103 0,60 X 103 H= 64,28 G = 35,71
6 0,96 X 103 1,40 X 103 H = 62,50 G = 37,50
7 7,80 X 103 2,15 X 103 H = 18,00 G = 82,00
8 11,90 X 103 1,95 X 103 H = 62,50 G = 37,50
9 2,02 X 103 0,51 X 103 H = 83,44 G = 16,56
10 0,80 X 103 0,77 X 103 H = 60,00 G = 40.00
11 1,68 X 103 0,43 X 103 H = 59,00 G = 41,00
12 1,88 X 103 3,40 X 103 H = 62,00 G = 38
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai THC lobster tertinggi yaitu
11.9x103 sel/mm3 sementara THC lobster terendah yaitu 0.7x103 sel/mm3. Nilai
THC kijing tertinggi yaitu 3.4x103 sel/mm3 dan yang terendah yaitu 0.3x103
sel/mm3. Nilai DHC sel hialin tertinggi yaitu 83.44% dan terendah 18%. Nilai
DHC sel granular tertinggi yaitu 82% dan terendah yaitu 16.56%.
3.2 Pembahasan
Sistem peredaran darah pada lobster air tawar disebut dengan peredaran
terbuka. Dengan sistem ini lobster air tawar tidak memiliki pembuluh darah baik
vena atau arteri untuk mengalirkan darahnya. Darah dipompa oleh jantung
langsung ke seluruh tubuh. Darah lobster air tawar tidak mengandung hemoglobin
melainkan mengandung hemosianin yang memiliki daya ikat yang rendah
terhadap oksigen (Lukito dan Prayugo 2007). Jika ikan memiliki leukosit sebagai
pertahanan tubuh internal, maka bagian darah lobster air tawar yang berperan
sebagai pertahanan tubuh internal yaitu hemosit. Sistem imun pada crustase
meliputi reaksi selular dan humoral yang berhubungan dengan hemolim. Tidak
seperti ikan, crustase tidak memiliki aktivitas pembentukan antibodi untuk
mempertahankan kekebalan tubuh sehingga peran sistem imun alami sangatlah
vital untuk kehidupan crustase dan moluska. Salah satu parameter yang berkaitan
dengan sistem imun crusrase yaitu total haemocyte count (THC).
Hemosit adalah sel darah udang yang memiliki fungsi sama seperti sel darah
putih pada hewan vertebrata. Hemosit pada udang dapat diklasifikasikan menjadi
3 jenis yaitu sel hialine, semigranular, dan granular (Effendy et al 2004). Sel-sel
hemosit yang terdapat pada crustase memiliki fungsi tersendiri. Sel hialine
berperan dalam proses fagositosis dan aktifitas seperti halnya makrofage pada
ikan dan binatang berdarah panas lainnya. Sel ini memiliki sedikit sekali granula
pada sitoplasmanya (Lio-Po et al 2001 dalam Fariedah 2010).
Sel hialine berperan dalam proses fagositosis antigen yang masuk ke dalam
tubuh crustase saat terjadinya infeksi penyakit. Salah satu komponen yang terlibat
dalam proses ini adalah terbentuknya reactive oxygen species (ROS) seperti anion
superoksida, hidrogen peroksida, oksigen singlet dan hidroksil radikal. Komponen
ROS ini memiliki kemampuan antimikroba dan dapat merusak makromolekul
seperti DNA, karbohidrat, dan protein yang barkaitan erat dengan patogen yang
masuk ke dalam tubuh (Campa-Cordova et al 2002 dalam Fariedah 2010). Semi
granular berfungsi untuk mengenali dan merespons partikel unsur atau molekul
asing atau biasa dikenal sebagai sel aktif dalam proses enkapsulasi dan melakukan
mekanisme proPO. Granular memiliki fungsi untuk mengaktifkan proses
proPO. Perubahan jumlah sel hialin, semi granular, dan granular dalam hemosit
merupakan salah satu parameter peningkatan status kesehatan atau ketahanan
tubuh crustase dan moluska sehingga dapat menjadi acuan untuk menentukan
kesehatan crustase atau moluska.
Meningkatnya sistem imun alami crustase dan moluska dapat dilihat dari
pengingkatan jumlah hemosit. Hemosit berperan dalam proses fagositosis,
enkapsulasi, degranulasi, dan agregasi nodular terhadap antigen serta produksi dan
pelepasan proPO (prophenoloxydase). Apabila jumlah hematosit meningkat, maka
kemampuan dalam fagositosis dan segala tahapan pertahanan tubuh dari antigen
akan bertambah (Febriani et al 2013). Peningkatan nilai hematosit juga membuat
jumlah granular meningkat sehingga merangsang aktivasi pelepasan aktivitas
proPO sehingga crustase dan moluska dapat bertahan dari serangan patogen.
Hasil pengamatan nilai THC lobster yang tertinggi yaitu 11.9x103 sel/mm3
sementara THC lobster terendah yaitu 0.7x103 sel/mm3. Menurut Jussila et al
(1997) nilai THC pada lobster yang sehat kurang lebih berada pada angka
5.6±0.7x106 sel/ml atau 56x105 sel/ml. Sampel darah lobster tertinggi pun masih
berada di bawah nilai normal THC lobster, tetapi masih dinilai normal, sedangkan
nilai THC terendah diduga tidak memproduksi hemosit dalam jumlah besar
sehingga nilai THC sangat rendah di bawah nilai THC lobster normal. Nilai DHC
sel hialin tertinggi yaitu 83.44% dan terendah 18%. Nilai DHC sel granular
tertinggi yaitu 82% dan terendah yaitu 16.56%. Nilai DHC ditentukan oleh dua
jenis sel hemosit yaitu sel hialin dan sel granular. Sel hialin merupakan sel dengan
perbandingan inti sel lebih tinggi dari sitoplasma dan memiliki sedikit granula. Sel
hialin berfungsi untuk melakukan aktivitas fagositik atau sebagai makrofag yang
akan menelan patogen (Johansson et al 2000 dalam Syahailatua 2009). Persentase
sel hialin normal pada lobster berkisar antara 31-81%. Nilai terendah DHC lobster
berada di bawah kisaran normal, begitu pula nilai tertinggi DHC lobster. Kadar
DHC sel hialin yang tinggi dapat dikatakan bahwa tubuh lobster sedang
memproduksi sel hialin dalam jumlah besar. Sementara sebagian besar hasil yang
didapat berada pada kisaran normal sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian
besar lobster berada pada status kesehatan yang baik.
Sel granular yaitu sel yang memiliki perbandingan inti sel lebih rendah
daripada sitoplasma. Sel granular berfungsi dalam menyimpan dan melepaskan
sistem proPO maupun sebagai sitotoksis bersama-sama dengan sel semi granular
(Johansson et al 2000 dalam Syahailatua 2009). Persentase sel granular
meningkat dapat menyebabkan penurunan sel hialin sehingga berimplikasi dengan
peningkatan sel-sel granulosit. Dalam hal ini, sel-sel hialin dan semi granular
merupakan penyusun atau prekusor dari sel-sel granulosit. Dengan demikian sel-
sel granulosit yang terbentuk pada dasarnya merupakan sel-sel matang dari kedua
jenis sel lainnya. Peningkatan sel granular berpotensi menyebabkan kemampuan
sel ini untuk melepaskan sistem proPO juga meningkat (Syahailatua 2009).
Nilai THC kijing tertinggi yaitu 3.4x103 sel/mm3 dan yang terendah yaitu
0.3x103 sel/mm3. Menurut Delaporte et al (2003), nilai THC pada bivalvia adalah
6.4±2.2 x 105 sel/ml. Nilai THC yang berada di atas kisaran nilai tersebut diduga
sedang memproduksi pertahanan tubuh dalam jumlah banyak akibat paparan
patogen. Sementara yang berada tidak jauh di bawah kisaran itu dianggap normal.
Hasil THC kijing secara umum berada di bawah kisaran literatur sehingga diduga
lobster dalam keadaan sehat karena tidak memproduksi hemosit dalam jumlah
besar akibat minimnya infeksi patogen. Bivalvia yang sehat lalu diinfeksi patogen,
akan mengalami peningkatan nilai THC karena dibutuhkan pertahanan tubuh
untuk mengalahkan patogen.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Gambaran darah lobster dan kijing meliputi THC (Total Haemocyte
Count) dan DHC (Diferential Haemocyte Count) memiliki karakteristik dan
fungsi tertentu di mana tiap-tiap komponen dapat memberi informasi mengenai
status kesehatan lobster dan kijing.
4.2 Saran
Praktikum selanjutnya diharapkan dapat menggunakan jenis lobster atau
kijing yang berbeda pada beberapa kelompok dan dibuat dalam ulangan seperti
dalam rancangan percobaan sehingga dapat digunakan sebagai pembanding antar
spesies lobster atau kijing.
DAFTAR PUSTAKA

Afrianto E dan Liviawaty E. 1992. Penyakit dan Hama Ikan. Yogyakarta (ID):
Kanisius
Delaporte M et al. 2003. Effect of a mono-specific algal diet on immune functions
in two bivalve species – Crassostrea gigas and Ruditapes philippinarum.
Journal of Experimental Biology 206.
Effendy S, Alexander R, dan Akbar T. 2004. Peningkatan Haemosit Benur Udang
Windu (Penaeus monodon Fabricus) Pasca Perendaman Ekstrak Ragi Roti
(Saccharomyces cerevisiae) pada Konsentrasi yang Berbeda. Jurnal Sains
dan Teknologi. Vol l4 No.2: 46-53.
Fariedah F. 2010. Pengaruh Imunostimulan Outer Membran Protein (OMP)
Vibrio algynolyticus dan infeksi Vibrio harveyi terhadap DNA
Mitokondria Udang Windu Panaeus monodon Fab. Tesis. Program
Pascasarjana Universitas Brawijaya.
Febriani D, Sukenda, dan Nuryati S. 2013. Kappa-Karragenan sebagai
Immunostimulan untuk Pengendalian Penyakit infectious myonecrosis
(IMN) pada Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei). Jurnal Akuakultur
Indonesia. Vol. 12 No.1
Jussila J et al. 1997. Total and Differential Haemocyte Count in Western Rock
Lobster (Panulirus Cygnus George) Under-Post Harvest Stress. Marine
Freshwater Research.
Lukito A dan Prayugo S. 2007. Lobster Air Tawar. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Syahailatua DY. 2009. Seleksi Bakteri Probiotik sebagai Stimulator Sistem Imun
pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Tesis. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai