Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah Operasi Caesar adalah operasi besar pa da bagian perut/ operasi


besar abdominal (Gallagher, Mundy, 2004).Seksio sesarea merupakan suatu
persalinan buatan di mana janin dilahirkan melalui insisi dinding perut dan
dinding rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram.

Operasi Caesar telah menjadi bagian kebudayaan manusia sejak zaman


dahulu, namun dulu operasi Caesar masih banyak kendala diantaranya ialah
kelainan atau gangguan yang menjadi indikasi untuk melakukan pembedahan dan
lamanya persalinan berlangsung. Sekarang dengan kemajuan teknik operasi yang
lebih sempurna, dengan adanya anti biotika, transfusi darah dan anastesi yang
lebih baik. Karena itu kini ada kecenderungan untuk melakukan operasi caesar
dasar yang cukup kuat(Sarwono, 2005).

Ibu yang mengalami operasi caesar dengan adanya luka diperut sehingga
harus dirawat dengan baik untuk mencegah kemungkinan timbulnya infeksi, ibu
juga harus membatasi pergerakan tubuhnya karena ada luka operasi sehingga
proses pemulihan luka pengeluarancairan atau bekuan darah kotor dari rahim ibu
ikut terpengaruh (hamidah 2011 dalam Umarah 2011).

Dewasa ini semakin banyak dokter dan tenaga medis yang menganjurkan
pasien yang baru melahirkan dengan operasi caesar agar segera menggerakan
tubuhnya atau mobilisasi. Dalam membantu jalannya pemulihan ibu pasca operasi
caesar disarankan untuk bisa menjaga kebersihan dan mobilisasi dini. Pada ibu
yang mengalami operasi caesar rasanya sulit untuk melakukan hal 2 tersebut
karena ibu merasa letih dan sakit, penyebab diantaranya ialah perilaku ibu yang
kurang memperhatikan kebersihan,mobilisasi,dan masih menganut kepercayaan
mutih atau mnghindari makanan yang berbau amis misalnya telur dan ikan pada
hal kita tahu telur dan ikan merupakan sumber protein sehinggaakan
mempengaruhi proses pemulihan. Jumlah operasi caesardi dunia ini telah
meningkat tajam dalam 20 tahun terakhir WHO memperkirakan angka persalinan
dengan operasi adalah sekitar 10% sampai 15% dari semua proses persalinan di
Negara-negara berkembang, dibandingkan dengan Amerika sekitar 23% dan
kanada 21% pada tahun 2003. Sedangkan di Inggris angka kejadianya relative
stabil yaitu antara 11-12%, di Italia pada tahun 1980 sebesar 3,2%-14,5%, pada
tahun 1987 meningkat menjadi 17,5%. Di Indonesia terjadi peningkatan operasi
caesardi mana tahun 2003 sebesar 47,22%, tahun 2004 sebesar 45,19%, tahun
2005 sebesar 47,13%, tahun 2006 sebesar 46,87%, tahun 2008 sebesar 53,22%
(Mukaromah, 2012).

Berdasarkan data yang diperoleh di Indonesia terjadi peningkatan angka


bedah caesar disertai kejadian infeksi luka pasca bedah Caesar.Sekitar 90% dari
mordibitas pasca operasi di sebabkan oleh infeksi luka operasi. Di RSUP
dr.Sardjito tahun 2008 kejadian infeksi luka pasca bedah caesar adalah 15%,
sedangkan angka kejadian operasi caesar di provinsi jawa timur pada tahun 2009
berjumlah 3.401 operasi dari 170.000 persalinan atau sekitar 20% dari seluruh
persalinan (Dinkes provinsi jawa Timur, 2009).

Sedangkan di ponorogo pada tahun 2012 terdapat 1881 persalinan dengan


caesar atau sekitar 6,56% dari proses persalinan normal (Dinkes ponorogo, 2012).
3 Pada tahap awal pasca operasi caesar ibu merasa tak ingin bangkit dari tempat
tidur, kembali bergerak secepat mungkin sangat disarankan bagi para ibu
selepasoperasi caesar, operasi dan anastesi dapat menyebabkan akumulasi cairan
yang dapat menyebabkan pneumonia sehingga sangat pentingbagi ibu untuk
bergerak.

Mobilitas meningkatkan fungsi paru-paru, semakin dalam nafas yang


ditarik, semakin meningkat sirkulasi darah. Apabila tidak melakukan mobilitas
akan berdampak pada peningkatan suhu tubuh karena adanya involusi uterus yang
tidak baik, sehingga sisa darah tidak bisa dikeluarkan dan menyebabkan infeksi,
dan salah satu tanda infeksi adalah penigkatan suhu tubuh. Pada hari ke-2 tenaga
medis akan menolong untuk duduk di tempat tidur, duduk dibagian samping
tempat tidur dan mulai berjalan dalam jarak pendek. Pada harike-3 hingga hari ke
10 pasca persalinan banyak ibu yang mengalami masa yang disebut baby blues.

Baby blues dapat terjadi karena faktor stress pada ibu, masa itu ibu
cenderung mudah menangis, Emosi tersebut juga menyebabkan timbulnya
perasaan tidak sanggup, panik dan ketakutan yang sungguh-sungguh. Pada tahap
ini, sebagian wanita di diagnosis mengalami depresi pascapersalinan. Baby
bluesdapat diperburuk oleh kondisi kurang tidur, kelemahan fisik dapat
mengurangi ambang batas stress, pastikan beristirahat dengan cukup, dan jangan
lah ragu untuk menerima bantuan apapun yang ditawarkan ( Gallagher,Mundy,
2004).

Selain itu menjaga kebersihan pada luka insisi, mandi seperti


biasa,pastikan kalau daerah insisi benar-benar kering, sehingga bisa mencegah
terjadinya infeksi, dan dapat mempercepat proses penyembuhan luka. 4 Apabila
kebersihan diri kurang kuman setiap saat dapat masuk melalui luka dan bisa
mengakibatkan infeksi. Jangan mencoba mengangkat barang berat apapun selama
periode ini. Lakukan hubungan seksual setelah ibu merasa siap, mungkin setelah
enam minggu atau lebih.kontrolkan atau mencari bantuan medis untuk merawat
luka insisi, jika daerah insisi menjadi nyeri, merah, bengkak, atau keluar cairan
yang tidak biasa, ibu harus segera mencari pertolongan medis. Minum dan makan
makanan sehat, nutrisi cukup sehingga dapat membantu ibu memulihkan diri
setelah operasi dan dapat menghasilkan cukup asi bagi bayi jika ibu menyusui,
sebagian ibu menjadi terlalu cemas mengenai komposisi makanan mereka setelah
menjalani operasi Caesar, tetapi sebenarnya hal tersebut tidak perlu, jauh lebih
penting untuk rileks dan berkonsentrasi agar kondisi menjadi lebih baik.

Jika ibu sebelumnya telah meminum suplemen vitamin untuk kehamilan, ibu
dapat terus meminum tersebut selama masa menyusui, suplemen zat besi adalah
yang disarankan. Berkonsultasilah pada dokter mengenai hal ini (Gallagher,
Mundy, 2004).

Salah satu hambatan yang sering terjadi pada ibu pasca operasi Caesar
adalah adanya pantang makanan setelah melahirkan. Padahal setelah melahirkan
seorang ibu memerlukan nutrisiyang cukup untuk memulihkan penyembuhan luka,
apabila ibu tidak mengkonsumsi nutrisi yang cukup akan mengakibatkan luka
tidak cepat kering sehingga penyembuhan luka menjadi lama.

Mereka tidak menyadari bahwa tindakannya berpengaruh terhadap lambatnya


pemulihan kesehatan kembali, juga dapat terhambat pertumbuhan 5 bayi
(Kardinan, 2008), dikarenakan kurangnya perilaku ibu dalam pemulihan pasca
operasi caesar.

Cara pemulihan pasca operasi caesar ini terkait denganmobilisasi, stress


aktifitas, dan kebersihan diri, dalam hal ini diperlukan informasi yang lebih
mendalam kepada ibu pasca operasi caesar serta keluarga tentang cara pemulihan
pasca operasi caesar.

Dengan melihat fenomena tersebut maka tenaga kesehatan perlu


memberikan pendidikan kesehatan tentang perilakuibu dalam pemulihan pasca
operasi Caesar. Sehingga pasien dan keluarga setidaknya tahu tentang perilaku
pemulihan pasca operasi caesar.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan seminar


tentang perilaku ibu dalam pemulihan pasca operasi caesar.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan pernyataan


permasalahan sebagai berikut :

“Bagaimana Perilaku Ibu dalam Pemulihan Pasca Operasi caesar di Ruang KRZ
RSUD prof. dr. MA. Hanafiah SM Batu Sangkar”.
Tujuan

Mengetahui Perilaku Ibu dalam Pemulihan Pasca perasi caesar di Ruang

KRZ RSUD prof. dr. MA. Hanafiah SM Batu Sangkar.

Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu


keperawatan maternitas tentang perilaku ibu dalam pemuliham pasca operasi
caesar.

Manfaat praktis

Bagi peneliti

Menambahpengetahuan peneliti tentang perilaku ibu dalam pemulihan


pasca operasi caesar.

Bagi profesi keperawatan

Hasil penelitian dapat dimanfaatkan untuk asuhan keperawatan Maternitas


tentang perilaku ibu dalam pemulihan pasca operasi caesar.

Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian dapat digunakan untuk acuan sebagai dasar untuk


pemulihan pasca operasi caesar.
Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan atau sumber data untuk
melakukan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan perilakuibu dalam
pemulihan pasca operasi caesar.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin lewat insisi

pada abdomen dan uterus (Oxorn, 1996 : 634) Sectio Caesaria adalah suatu cara

melahirkan janin dengan sayatan/ pada dinding perut atau section caesaria adalah

suatu histerektomi untuk melahirkan janji dan dalam rahim (Mochtar, 1998 : 177).

Pre Eklampsi adalah suatu penyakit kehamilan yang disebabkan kehamilan

itu sendiri, pre eklampsia yang teiah lanjut atau pre eklampsia berat menunjukan

gejala trias yaitu hipertensi, oedema, dan proteinuria (Tabel, 1994 : 236).

Masa nifas atau post parfum adalah masa pulih kembali, mulai dan

persalinan selesai sampai dengan pulihnya alat-alat reproduksi sampai keadaan

sebelum hamil, berlangsung 6-8 minggu (Mochtar, 1998 : 115).

B. Etiologi

Indikasi dilakukan sectio caesaria pada ibu adalah disproporsi cepalo

pelvik, placenta previa, tumor jalan lahir, hidromnion, kehamilan gemeli,

sedangkan pada janin adalah janin besar, mal presentasi, letak lintang,

hidrocepalus (Oxorn, 1996 : 634). Penyebab dari pre eklampsi sampai sekarang

belum diketahui, faktor predisposisinya (Taber, 1994) :

1. Nulipara umur belasan tahun.

2. Pasien kurang mampu, dengan pemeriksaan antenatal yang buruk terutama,

dengan diit kurang protein.


3. Mempunyai riwayat pre eklampsia atau eklampsia dalam keluarganya.

4. Mempunyal penyakit vaskuler hipertensi sebelumnya.

C. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis eklampsia dan pre eklampsia menurut Hacker (2001)

adalah :

1. Pre eklampsia ringan

Tekanan darah 140/90 mmHg sampai 160/110 mmHg atau sistolik lebih

dan atau sama dengan pcningkatan 30 mmHg, distolik lebih dan atau sama

dengan peningkatan 15 mmHg, proteinuria kurang dan 5 gram/24jam (+ 1

sampai +2), oedema tangan atau muka.

2. Pre eklampsia berat

Tekanan darah lebih dan 160/110 mmHg, Proteinuria lebih dan 5

gram/24 jam (+ 3 sampai + 4), oedema tangan dan atau muka.

3. Eklampsia

Salah satu gejala di atas disertai kejang.

D. Tipe-tipe Sectio caesaria

Tipe-tipe sectio caesaria menurut Oxorn (1996) adalah :

1. Tipe-tipe segmen bawah : insisi melintang

Insisi melintang segmen bawah uterus merupakan prosedur pilihan

abdomen dibuka dan disingkapkan, lipatan vesika uterina peristoneum yang

terlalu dekat sambungan segmen atas dan bawah uterus di sayat melintang
dilepaskan dan segmen bawah serta ditarik atas tidak menutupi lapangan

pandangan.

2. Tipe-tipe segmen bawah : insisi membujur

Cara membuka abdomen dan menyingkapkan uterus sama seperti pada

insisi melintang. Insisi membujur dibuat dengan skapal dan dilebarkan

dengan gunting tumpul untuk menghindari cedera pada bayi.

3. Sectio caesaria klasik

Insisi longitudinal di garis tengah dibuat dengan skapal ke dalam

dinding anterior uterus dan dilebarkan ke atas serta ke bawah dengan gunting

berujung tumpul.

4. Sectio caesaria ekstranperitoneal

Pembedahan ektraperitonial dikerjakan untuk menghindari perlunya

histerektomi pada kasus-kasus yang mengalami infeksi luas.

E. Komplikasi

1. Komplikasi sectio caesaria adalah

a. Infeksi puerpeural (nifas)

1) Ringan, dengan kenaikan suhu beberapa hari saja

2) Sedang, dengan kertaikan suhu lebih tinggi, disertai dehidrasi, perut

sedikit kembung.

3) Beral, dengan peritonitis dan sepsis, hal ini sering dijumpai pada

partus terlantar, dimana sebelumnya telah terjadi infeksi intrapartal


karena ketuban yang teah pecah terlalu lama, penanganannya adalah

pemberian cairan, elektrolit dan antibiotik yang ada dan tepat.

b. Perdarahan, disebabkan karena

1) Banyak pembuIuh darah terputus dan terbuka.

2) Antonia uteri

3) Perdarahan pada placenta bed.

c. Luka kandung kemih

d. Kemungkinan ruptura uteri spontanea pada kehamilan mendatang.

(Mochtar, 1998 : 121)

2. Komplikasi yang timbul pada pre eklampsia berat (Taber, 1994)

Maternal: solusio plasenta, gagal ginjal, oedema paru, pendarahan otak,

eklampsia. Janin : prematuritas, insufisiensi utero plasenta, retardasi

pertumbuhan intra uterin, kematian janin intro uterin.

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Pre eklampsia

a. Tes kimia darah : ureum, keratin, asam urat, menilai fungsi ginjal,

b. Tes fungsi hati: bilirubin, SGOT

c. Urinalisis : proteinuria merupakan kelainan yang khas pada pasien

dengan pre eklampsia, jika 3+ atau 4+ urine 24 jam mengandung 5 gram

protein atau lebih pre eklampsia dinyatakan berat.


2. Sectio caesaria

a. Hemoglobin

b. Hematokrit

c. Leukosit

d. Golongan darah (Arief Mansjoer, 1999 : 270)

G. Adaptasi Fisiologi dan Psikologi Post Partum

1. Adaptasi fisiologis (Hamilton, 1995: 64-68).

a. Tanda-tanda vital

Suhu 24 jam pertama meningkat < 38 掳 C akibat adanya dehidrasi dan

perubahan hormonal, relaksasi otot, normal kembali dalam 24 jam pertama,

bila kenaikan suhu lebih dari 2 hari maka pada pasien menunjukan adanya

sepsis peurpeural infeksi traktus urinarus, endometriasis, mastitis

pembengkakan payudara pada hari kedua ketiga dapat menyebabkan

peningkatan suhu pasien.

b. Sistem kardiovaskuler

Dapat terjadi bradikardi setelah persalinan, takhikardi bisa terjadi

merefleksikan atau menunjukan adanya kesulitan dalam proses persalinan

alan persalinan lama, pendarahan yang berlebih (hemorogie post partum)

c. Tekanan darah
Tekanan darah normal setelah melahirkan, penambahan sistolik 30 mmHg

atau penambahan diastolik 15 mmHg khususnya bila disertai adanya sakit

kepala atau gangguan penglihatan menunjukan pre ekslampsia.

d. Laktasi

Produk ASI mulai hari ke 4 post partum, pembesaran payudara, putting

susu menonjol, kolostrum berwarna kuning keputihan, areola mamae

berwama hitam dan kembali normal setelah minggu pertama.

e. Sistem gastrointestinal

Pengendalian fungsi defekasi lambat dalam minggu pertama, peristatik

usus terjadi penurunan segera setelah bayi lahir.

f. Sistem muskuloskeletal

Terjadi peregangan dan penekanan otot, oedema ekstremitas bawah akan

berkurang dalam minggu pertama.

g. Sistem perkemihan

Kandung kemih oedema dan sensitifitas menurun sehingga menimbulkan

overdistension.

h. Sistem reproduksi

Terjadi proses involsio uteri dimana terjadi perubahan penebalan alat

genetalia interna dan eksterna yang berangsur-angsur pulih kembali seperti

keadaan sebelum hamil (Wiknjosasro, 2000 : 237)

Macam-macam lochea dan darah nifas adalah :

1) Lochea rubra : berwarna merah pada hari pertama sampai hari kedua

pasca persalinan.
2) Lochea sanguinolenta : berwarna merah kecoklatan pada hari ketiga

sampai hari ketujuh pasca persalinan.

3) Lochea serosa : berwarna merah kekuningan pada hari ketujuh sampai

hari keempat belas pasca persalinan.

4) Lochea alba : berwarna putih setelah dua minggu pasca persalinan.

i. Sistem endokrin

Mengalami perubahan secara tiba-tiba dalam kala IV persalinan. Setelah

plasenta lahir terjadi penurunan estrogen dan progesteron. Prolaktin

menurun pada wanita yang tidak meneteki pada bayinya dan akan

meningkat pada wanita yang meneteki. Menstruasi biasanya setelah 12

minggu post partum pada ibu yang tidak menyusui dan 36 minggu yang

menyusui.

2. Adaptasi psikologis ibu dalam menerima perannya sebagai orang tua.

Setelah melahirkan secara bertahap menurut revarubin (Hamilton, 1995 : 59):

a. Fase taking in

Fase ini terjadi pada hari pertama dan kedua setelah melahirkan. Ibu

membutuhkan perlindungan dan pelayanan, memfokuskan energi pada bayi

yang menyebabkan persepsi penyempitan dan kemampuan menerima

informasi kurang.

b. Fase taking hold

Mulai pada hari ketiga adalah melahirkan. Pada minggu keempat sampai

kelima ibu siap menerima pesan gurunya dalam belajar tentang hal-hal

baru.
c. Ease taking go

Dimulai sekitar minggu kelima setelah melahirkan. Anggota keluarga telah

menyesuaikan diri dengan lahirnya bayi.

H. Proses Penyembuhan Luka

Menurut Robbins dan Kumar (1995) proses penyembuhan luka sebagai

berikut:

1. Hari pertama pasca bedah

Setelah lahir disambung dan dijahit, garis insisi segera terisi bekuan darah.

Permukaan bekuan darah ini mengering menimbulkan suatu kerak yang

menutupi luka.

2. Hari kedua pasca bedah

Timbul aktifitas yang terpisah yaitu reepitelisasi dan pembekuan jembatan

yang terdiri dan jaringan fibrosa yang menghubungkan kedua tepi celah sub

epitalis. Jalur-jalur tipis sel menonjol, dibawah permukaan kerak dan tepi

epitel menuju ke arah sentral. Dalam waktu 48 jam tonjolan ini berhubungan

satu sama lain, dengan demikian luka telah tertutup oleh epitel.

3. Hari ketiga pasca bedah

Respon radang akut mulai berkurang dan neutrofil sebagai besar diganti oleh

makrofag yang membersihkan tepi cabang.

4. Hari kelima pasca bedah

Celah insisi biasanya terdiri dan jaringan granulosa yang kaya akan pembuluh

darah dan langgar. Dapat dijumpai serabut-serabut kolagen disekitarnya.

5. Akhir minggu pertama


Luka telah tertutup dan epidermis dengan ketebalan yang kurang dan normal.

6. Selama minggu kedua

Kerangka fibrin sudah ienyap dan jaringan parut masih tetap berwarna merah

cerah sebagai akibat peningkatan vaskularisasi, reaksi radang hampir hilang

seluruhnya.

7. Akhir minggu kedua

Struktur jaringan dasar parut telah mantap dan terjadi suatu proses yang

panjang (menghasilkan warna jaringan parut yang lebih muda sebagai akibat

tekanan pada pembuluh darah, timbunan kolagen dan peningkatan secara

mantap dan rentang luka) sedang berjalan.


WOC

Kehamilan CPD

Resiko pada ibu, solusio plasenta, eklamsi,


KPD, gagal ginjal, perdarahan otak

Adaptasi fisiologis Adaptasi fisiologis

Taking hold

Kurang Pengetahuan

Menerima Informasi
A. Definisi Infeksi Luka Operasi (CDC)

Infeksi luka pada umumnya ditandai dengan tanda-tanda klasik meliputi

kemerahan (rubor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), peningkatan suhu

(kalor) pada jaringan luka dan demam. Pada akhirnya, luka akan terisi oleh

jaringan nekrotik, neutrofil, bakteri dan cairan plasma yang secara bersama-sama

akan membentuk nanah (pus).5

Pedoman CDC (Center for Disease Control and Prevention) dalam

mencegah terjadinya infeksi luka operasi, yang dipublikasikan pada tahun 1999,

merinci tentang kriteria untuk mendefinisikan ILO. Seperti tercantum pada

Gambar 1, ILO dibedakan menjadi 3, berdasarkan dalamnya infeksi berpenetrasi

pada luka, yaitu insisi dangkal (superficial), insisi dalam dan organ/rongga. Luka

yang mengalami infeksi dalam 30 hari setelah operasi harus diklasifikasikan

sebagai ILO. Namun jika tindakan operasi menyangkut pemasangan implan atau

prostesis, maka jangka waktu (window periode) terjadinya infeksi menjadi lebih

panjang, yaitu 1 tahun.6

Gambar 1. Lapisan Daerah Insisi


B. Epidemiologi

Insidensi terjadinya ILO pasca operasi section caesarean yang dilaporkan

bervariasi, mulai dari 0,3% di Turki sampai 17% di Australia. Dari beberapa

rumah sakit yang dilaporkan oleh National Nosocomial Infections Surveillance

(NNIS), tingkat terjadinya ILO pasca operasi section caesarean berkisar dari

2,8% sampai 6,7%. Di Amerika Serikat, saat ini ada lebih dari 40 juta pasien

rawat inap dan 31 juta pasien rawat jalan yang menjalani operasi, dengan minimal

2% dari pasien, atau sekitar 1,4 juta, mengalami infeksi luka operasi (ILO) dengan

berbagai derajat keparahan.

Dari beberapa studi, dilaporkan ILO rata-rata ditemukan sekitar 10% pada

wanita pasca operasi section caesarean yang tidak mendapatkan terapi antibiotik

profilaksis. Insidensi ILO pasca operasi section caesarean ditemukan lebih tinggi

pada operasi emergensi dibandingkan operasi elektif. Insidensi ILO juga lebih

tinggi pada pasien dengan status sosioekonomi rendah dibandingkan dengan yang

berstatus sosioekonomi tinggi.8

C. Klasifikasi Luka

Risiko terjadinya infeksi bervariasi, tergantung pada lokasi dilakukannya

operasi. Sebagai contoh, tindakan invasif yang menembus daerah tubuh yang

mengandung banyak koloni bakteri, seperti usus, akan lebih rentan untuk

mengalami infeksi. Klasifikasi luka menurut CDC dibagi menjadi 4 kelas

berdasarkan tingkat kontaminasinya, yaitu:3


- Luka bersih

Luka dianggap bersih ketika tindakan operasi tidak masuk ke dalam lumen

tubuh yang mengandung koloni bakteri normal. Tingkat kemungkinan terjadinya

ILO pada kelas ini kurang dari 2%, tergantung pada berbagai variabel klinis.

Kontaminan sering berasal dari lingkungan kamar operasi, tim bedah, dan yang

paling umum adalah kontaminasi dari kulit.

- Luka bersih terkontaminasi

Luka dianggap bersih terkontaminasi ketika prosedur operasi masuk ke

dalam rongga tubuh dengan koloni bakteri, namun prosedur operasi masih dalam

situasi yang dapat dikontrol dan direncanakan (elektif). Tingkat kemungkinan

terjadinya ILO pada kelas ini berkisar dari 4% hingga 10%.

- Luka terkontaminasi

Ketika kontaminasi nyata didapatkan namun tidak ditemukan adanya

tanda-tanda infeksi yang jelas, maka luka dianggap terkontaminasi. Seperti halnya

pada luka bersih terkontaminasi, yang menjadi kontaminan adalah bakteri yang

ada pada daerah operasi itu sendiri. Tingkat kemungkinan terjadinya ILO pada

kelas ini dapat melebihi 20%.

- Luka kotor

Jika tanda-tanda infeksi aktif telah didapatkan secara nyata pada daerah

operasi, maka luka dianggap sebagai luka kotor. Bakteri patogen terlibat dalam

terjadinya proses infeksi pada luka. Tingkat kemungkinan terjadinya ILO pada

kelas ini dapat melebihi 40%.


Menurut klasifikasi luka yang dimodifikasi, luka operasi section caesarean

diklasifikasikan sebagai berikut:7

 Kelas I: jika ketuban tidak pecah atau persalinan tidak memanjang

 Kelas II: jika didapatkan pecah ketuban kurang dari 2 jam

 Kelas III: jika pecah ketuban lebih dari 2 jam

 Kelas IV: jika didapatkan cairan ketuban yang purulen

D. Faktor Risiko ILO

Berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi beragam. Yang

paling sering dikutip dalam literatur termasuk berat badan ibu yang ekstrim (kurus

atau obesitas), partus lama atau ketuban pecah dini, pemeriksaan panggul

berulang, durasi operasi yang lama, insisi kulit vertikal, kategori operasi, prosedur

multipel, manual plasenta, ibu usia muda, kondisi ibu preoperatif, kehilangan

darah yang terkait dengan prosedur operasi, dan tidak diberikannya antibiotik

profilaksis. Penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor ini untuk menentukan

pasien-pasien yang berisiko tinggi dan membutuhkan langkah-langkah

pencegahan yang spesifik.7,8

Analisa mengenai efek gabungan dari faktor intrinsik (endogen) dan faktor

ekstrinsik (eksogen) sangat diperlukan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya

ILO. Faktor intrinsik adalah faktor yang berhubungan dengan pasien, sedangkan

faktor ekstrinsik adalah faktor yang berhubungan dengan manajemen dan

perawatan. Meskipun faktor intrinsik tidak dapat diubah, faktor ini dapat

diidentifikasi dan dikelola.4 Sejumlah faktor potensial, seperti status gizi,


merokok, penggunaan antibiotik dan teknik intraoperatif yang tepat dapat

ditingkatkan guna diperolehnya hasil operasi yang positif.3

Faktor risiko obstetri yang terkait untuk terjadinya ILO adalah lamanya

waktu selaput ketuban pecah sebelum operasi section caesarean. Ketika selaput

ketuban pecah, cairan amnion tidak lagi steril dan dapat berperan sebagai media

pertumbuhan bakteri yang berkontak dengan uterus dan kulit yang diinsisi.

Penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara pecahnya selaput ketuban

yang berkepanjangan dengan peningkatan risiko terjadinya ILO.4

Terjadinya ILO terkait dengan faktor yang berhubungan dengan operasi

yang dapat berisiko infeksi. Centers for Disease Control and Prevention’s (CDC)

mengembangkan National Nosocomial Infection Surveillance System (NNIS) Risk

Index yang secara internasional telah diakui untuk menilai faktor risiko terjadinya

ILO. Faktor risiko terjadinya ILO diberi rentang nilai dari nol sampai tiga poin

untuk ada atau tidak adanya 3 variabel berikut:3,4

- 1 poin jika pasien menjalani operasi yang diklasifikasikan sebagai luka

terkontaminasi atau luka kotor.

- 1 poin jika status fisik pasien berdasarkan penilaian ASA (American Society

of Anesthesiologists) preoperatif adalah kelas III, IV, atau V. Lihat Tabel 1

untuk deskripsi dari ASA Skor.

- 1 poin jika lama operasi melebihi persentil ke-75 berdasarkan waktu operasi

yang ditentukan dari database NNIS (T point). Lihat Tabel 2 untuk lama

operasi dalam jam yang mewakili persentil ke-75 untuk beberapa prosedur

bedah yang umum dilakukan.


ASA skor mencerminkan status kesehatan pasien sebelum operasi.

Klasifikasi luka mencerminkan tingkat kontaminasi luka. Durasi operasi

mencerminkan aspek teknis operasi. Semakin tinggi nilai NNIS Risk Index, maka

semakin tinggi pula kemungkinan untuk terjadinya ILO.4

Tabel 1. Status Fisik ASA3


Kelas Status Fisik
I Pasien normal yang sehat diluar kelainan yang akan dioperasi
II Pasien dengan penyakit sistemik ringan
III Pasien dengan penyakit sistemik berat yang tidak mengancam jiwa
IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam jiwa
V Pasien sekarat yang diperkirakan tidak bertahan hidup dalam 24
jam dengan atau tanpa operasi
E Kasus-kasus emergensi diberi tambahan huruf E di belakang
angka

Tabel 2. T Point Beberapa Prosedur Operasi3


Operasi T Point (jam)
Coronary artery bypass graft 5
Operasi kantong empedu, hati, atau pankreas 4
Kraniotomi 4
Operasi kepala dan leher 4
Operasi kolon 3
Operasi joint prosthesis 3
Operasi vascular 3
Abdominal atau vaginal hysterectomy 2
Ventricular shunt 2
Herniorrhaphy 2
Appendectomy 1
Amputasi anggota gerak 1
Cesarean section 1

Faktor risiko lain yang diduga berperan dalam terjadinya ILO adalah setiap

benda asing yang ada di daerah tubuh yang dioperasi dapat meningkatkan

kemungkinan terjadinya infeksi. Secara umum, penggunaan benang monofilamen

menurunkan risiko terjadinya infeksi dibandingkan penggunaan benang jenis lain.

Jahitan subkutikuler menggunakan benang yang dapat diserap juga menurunkan

risiko infeksi.4

Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM), khususnya DM tipe 2, prevalensinya semakin

meningkat di Amerika, dengan perkiraan sekitar 7%, atau 20 juta orang menderita

penyakit ini, dengan sepertiga dari mereka tidak menyadari bahwa mereka

menderita penyakit DM. Persentase pasien dengan DM yang menjalani operasi

tinggi pada beberapa jenis operasi. Satu studi mencatat bahwa 44% dari

pasien yang menjalani bedah jantung menderita DM, dimana 48% dari penderita

tidak terdiagnosis DM pada saat preoperatif. Diketahui bahwa 25% sampai 30%

pasien yang menjalani operasi CABG (coronary artery bypass graft) menderita

DM. DM merupakan prediktor utama yang menentukan morbiditas dan mortalitas

pasien post operasi CABG, dimana sekitar 35% sampai 50% komplikasi terjadi
pada pasien dengan DM.9 Hasil yang buruk pasca operasi pada pasien dengan DM

diyakini terkait dengan komplikasi yang sudah ada akibat adanya hiperglikemia

kronis, yang meliputi penyakit aterosklerosis pada pembuluh darah

dan autonomik neuropati perifer. Sangat penting untuk melakukan evaluasi

preoperatif pada semua pasien yang akan menjalani operasi agar tidak terjadi

kasus DM yang tidak terdiagnosis dan/atau DM yang tidak terkontrol. Pasien yang

akan menjalani operasi harus dilakukan pemeriksaan kadar gula darah puasa

(GDP) dan juga sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar Hemoglobin A1c

(HbA1c) untuk mengevaluasi apakah pasien memiliki penyakit DM sebelumnya.

Jika hasil dari salah satu atau kedua tes ini menunjukkan adanya diabetes yang

tidak terkontrol (GDP > 110 mg/dL atau HbA1c ≥ 7% ), maka kadar glukosa

pasien harus dikontrol terlebih dahulu sebelum dilakukan operasi.10,11

Hiperglikemia perioperatif

Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar pasien yang menjalani operasi

mayor mengalami keadaan hiperglikemia pada saat perioperatif. Tidak seperti

DM, beberapa ilmuwan masih mempertanyakan apakah hiperglikemia perioperatif

merupakan faktor risiko yang signifikan untuk terjadinya efek samping yang

merugikan pasca operasi. Perioperatif hiperglikemia pada pasien non diabetes

baru-baru ini diketahui sebagai faktor risiko potensial untuk hasil yang merugikan

post operasi besar.12 Namun hal ini masih belum diketahui secara pasti apakah

orang tersebut sebenarnya merupakan penderita diabetes namun tidak terdiagnosis

atau memang orang tersebut bukan penderita diabetes dan mengalami

hiperglikemia perioperatif sebagai respon terhadap stres operasi. Juga tidak


diketahui secara pasti apakah hiperglikemia merupakan penyebab terjadinya hasil

operasi yang buruk ataukah hiperglikemia memperburuk efek samping yang telah

terjadi, karena selama ini kadar glukosa serum sering diukur ketika hasil operasi

yang buruk telah terjadi. Studi lain berusaha untuk mengklarifikasi masalah ini

dengan secara khusus mengamati penderita hiperglikemia perioperatif yang

mengalami infeksi pasca operasi. Para peneliti ini beranggapan bahwa sewaktu

terjadinya peningkatan kadar glukosa serum perioperatif menunjukkan bahwa ini

merupakan faktor risiko terjadinya infeksi pasca operasi atau pertanda

dari suatu proses infeksi. Para penulis mengamati bahwa periode awal pasca

operasi, dimana pasien berada pada fase stres fisiologis terbesar, merupakan

waktu dengan risiko tertinggi untuk terjadinya ILO. Periode waktu ini juga

merupakan periode dimana kadar glukosa serum mencapai kadar tertinggi, baik

pada pasien diabetes maupun pada pasien non-diabetes. Mereka menyimpulkan

bahwa tingkat terjadinya infeksi nosokomial akan lebih tinggi ketika

hiperglikemia ditemukan pada dua hari pertama pasca operasi, terlepas dari

diabetes yang sudah ada sebelumnya.3

Ada dua mekanisme utama yang menempatkan pasien pada keadaan

hiperglikemia akut perioperatif yang berakibat meningkatnya risiko terjadinya

ILO. Mekanisme pertama adalah menurunnya sirkulasi di pembuluh darah, yang

berakibat berkurangnya perfusi jaringan dan terganggunya fungsi sel.13

Mekanisme kedua adalah menurunnya aktivitas dari imunitas seluler dalam fungsi

kemotaksis, fagositosis dan membunuh pada sel polimorfonuklear serta

monosit/makrofag yang telah terbukti terjadi pada kondisi hiperglikemia akut.


Kedua gangguan pertahanan host alami ini meningkatkan risiko terjadinya infeksi

jaringan pada pasien bedah dengan atau tanpa diabetes.14

Mengontrol hiperglikemia perioperatif membutuhkan koordinasi terpadu

oleh bagian anestesi, bedah, keperawatan dan farmasi. Bagian anestesi harus siap

untuk memeriksa GDS pasien preoperatif dan menerapkan terapi insulin sedini

mungkin bila diindikasikan. Dokter bedah harus bersiap untuk melanjutkan

kontrol glukosa darah sampai minimal 48 jam pasca operasi. Staf perawat harus

memantau, mengkalibrasi dan harus mengontrol agar normoglikemia tetap

bertahan selama pasien menjalani rawat inap. Perawat juga perlu memberikan

edukasi kepada pasien mengenai cara mengontrol kadar glukosa ketika pasien

akan dipulangkan, terutama pada pasien yang baru saja diketahui mengalami

hiperglikemia preoperatif. Pengobatan penting untuk pasien diabetes selama fase

perawatan, dengan peran serta apoteker di lini depan dalam upaya ini.3

Kegemukan

Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana indeks massa tubuh

seseorang lebih dari atau sama dengan 30 kg/m2. Telah dilaporkan tingkat

terjadinya infeksi pasca operasi section caesarean lebih besar kemungkinannya

pada wanita dengan obesitas. Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya ILO

yang terbukti sulit untuk ditekan.4 Seringkali tidak ada cukup waktu sebelum

operasi untuk secara signifikan menurunkan tingkat obesitas pasien. Namun,

evaluasi mengenai adanya diabetes dan pengontrolan kadar glukosa serum, akan

meminimalkan risiko terjadinya ILO pada pasien dengan obesitas. Selain itu,

operasi besar sering dipandang sebagai peristiwa yang mengubah hidup dan
mungkin dapat memotivasi pasien agar menerapkan pola makan dan gaya hidup

positif lainnya. Edukasi secara perorangan dan pengaturan diet dari ahli gizi, serta

dukungan dari komunitas yang berusaha untuk menurunkan berat badan juga

menunjukkan efek positif jangka panjang.15

Malnutrisi

Malnutrisi telah lama diidentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya infeksi

nosokomial, termasuk ILO, pada pasien yang menjalani operasi. Pasien yang

kekurangan gizi diketahui memiliki respon imun yang lebih rendah terhadap

infeksi. Pengukuran level albumin serum paling umum digunakan sebagai

penanda untuk mengidentifikasi status gizi seseorang, dengan kisaran normal 3,4 -

5,4 g/dL.3

Ketika pasien didiagnosis dengan malnutrisi, penting untuk

mengidentifikasi etiologi dari keadaan ini. Pada umumnya pasien tua dengan

kekurangan energi-protein disebabkan oleh berbagai alasan, antara lain

kemiskinan dan mobilitas yang terbatas, isolasi sosial dan depresi, kondisi gigi

geligi yang buruk, anoreksia, serta penurunan kognitif dan status fungsional.

Intervensi yang mungkin dilakukan mencakup diskusi terhadap keluarga,

konsultasi dengan ahli gigi, konseling diet dan pelayanan sosial. Tergantung pada

tingkat urgensi operasi, penundaan pembedahan sampai status gizi pasien

membaik mungkin dapat dilakukan. Puasa preoperatif dan postoperatif harus

dilakukan seminimal mungkin pada kelompok pasien ini.16

Merokok
Tak disangka, malnutrisi dan merokok menunjukkan bukti adanya

interaksi. Merokok dikaitkan dengan terhambatnya penyembuhan luka dan

penurunan sirkulasi ke kulit akibat obstruksi mikrovaskuler oleh agregasi platelet

dan menurunnya fungsi hemoglobin. Selain itu, merokok telah diketahui

menurunkan sistem imun dan sistem respirasi. Merokok sebagai faktor risiko pada

host banyak dilaporkan dengan pendapat yang saling bertentangan. Hal ini

mungkin disebabkan oleh karena beberapa studi yang mengevaluasi faktor ini

hanya mempertimbangkan kondisi merokok saat ini yang meningkatkan risiko

terjadiya ILO. Beberapa pasien berhenti merokok segera sebelum operasi, yang

mungkin dilakukan dalam beberapa hari atau minggu sebelum operasi, dan

kemudian menganggap diri mereka sebagai bukan perokok di saat operasi. Hasil

yang bertentangan ini mungkin dikarenakan belum adanya perbedaan yang

signifikan antara kelompok perokok dan bukan perokok.3

Merokok yang mungkin menjadi salah satu faktor risiko yang sudah ada

sebelumnya pada pasien, dapat diintervensi dengan penggunaan penghenti

merokok yang saat ini tersedia seperti patch nikotin atau bupropion hidroklotida.

Setidaknya satu bulan sebelum operasi, pasien harus didorong untuk

menghentikan penggunaan tembakau. Pasien juga harus memperbaiki status gizi

dan status fisik dengan cara mengkonsumsi seperti vitamin A, B, C, D, E dan K

dan suplemen zinc, magnesium, kuprum dan besi.3

Infeksi yang Telah ada di Lokasi Tubuh yang Jauh dari Lokasi Operasi

Tak jarang, pasien memiliki infeksi pada gigi, saluran kemih atau jaringan

longgar pada kulit pada saat dilakukan operasi. Masalah utama yang menjadi
perhatian tentang adanya infeksi yang sudah ada sebelumnya adalah infeksi

tersebut mungkin dapat:3

1. menjadi sumber penyebaran infeksi secara hematogen, menyebabkan infeksi

lambat pada kasus-kasus operasi prostesis persendian atau katup jantung

2. menjadi lokasi yang kontagius untuk terjadinya transfer bakteri

Infeksi yang jauh dari luka operasi dikaitkan dengan peningkatan

kemungkinan terjadinya ILO menjadi 3 - 5 kali lipat. Setiap infeksi yang jauh dari

lokasi operasi harus diidentifikasi dan diterapi sebelum operasi. Tidak jarang

dilakukan ekstraksi gigi multipel preoperatif dalam rangka mengeleminasi infeksi

rongga mulut. Beberapa kasus bedah tertentu, terutama yang berhubungan dengan

pemasangan implan, operasi mungkin ditunda sampai infeksi telah teratasi.2

Kolonisasi Mikroorganisme

Sumber infeksi utama pada sebagian besar kejadian ILO adalah

mikroorganisme endogen yang ada pada pasien itu sendiri. Semua pasien

memiliki koloni bakteri, jamur dan virus sampai dengan 3 juta kuman per

sentimeter persegi kulit. Namun, tidak semua pasien memiliki koloni bakteri,

jamur dan virus dalam jumlah berimbang. Pasien dengan riwayat DM, penyakit

paru obstruktif kronik (PPOK) yang mengharuskan penggunaan steroid jangka

panjang, atau penyakit kronis lainnya yang mengharuskan pasien untuk dilakukan

rawat inap dan/atau penggunaan antibiotik berulang cenderung akan mengalami

kolonisasi bakteri yang lebih berat, terutama dengan bakteri yang resisten

terhadap antibiotik seperti methicillin-resisten Staphylococcus aureus (MRSA).

Setiap luka operasi akan terkontaminasi dengan bakteri selama operasi, tetapi
hanya sebagian kecil yang akan mengalami infeksi. Hal ini dikarenakan sebagian

besar pasien memiliki pertahanan dalam mengendalikan dan mengeleminasi

organisme penyebab infeksi.5

Staphylococcus aureus tercatat ditemukan pada 30% populasi sehat, dan

terutama methicillin-resisten Staphylococcus aureus (MRSA), merupakan

predisposisi pasien berisiko lebih tinggi mengalami ILO.5 Adanya sumber bakteri

endogen yang mungkin bertanggung jawab dalam menimbulkan kemungkinan

terjadinya infeksi 10 kali lipat pada satu dari tiga luka operasi.3

Bagaimanapun intervensi yang dilakukan, kulit pasien tidak akan pernah

steril, namun banyak cara dapat dilakukan untuk menurunkan jumlah bakteri

tersebut. Pasien harus berendam atau mandi dengan larutan antiseptik seperti

chlorhexidine setidaknya satu kali sebelum dilakukan operasi. Rambut di daerah

tubuh yang akan dioperasi harus dibiarkan kecuali diperlukan karena mengganggu

prosedur operasi. Jika rambut harus dihilangkan, maka pengasuh harus

melakukannya dengan gunting segera sebelum operasi. Strategi tambahan yang

digunakan untuk mengurangi migrasi bakteri ke daerah insisi termasuk

penggunaan perekat yang mengandung antiseptik dan/atau yang berbahan dasar

cyanoacrylate yang digunakan pada kulit untuk melumpuhkan flora normal kulit,

termasuk yang tertanam di folikel rambut.6

Hipotermia perioperatif

Penurunan suhu tubuh di bawah 36ºC atau 96,8ºF, merupakan salah satu

faktor risiko yang paling umum untuk terjadinya ILO.17 Setiap satu dari dua

pasien bedah tercatat memiliki suhu tubuh di bawah 36ºC, dan satu dari tiga
pasien bedah memiliki suhu tubuh inti di bawah 35ºC atau 95ºF selama interval

perioperatif. Ketika suhu tubuh 1,5°C di bawah normal, dapat mengakibatkan

terjadinya peningkatan risiko ILO, penurunan tekanan oksigen dalam jaringan,

disfungsi jantung, koagulopati, perubahan metabolisme obat, pemulihan

normotermia yang lambat dan peningkatan mortalitas. Hilangnya panas tubuh

adalah hasil dari kombinasi banyak faktor dan sering terjadi pada saat perioperatif.

Faktor risiko pasien yang terkait meliputi kakeksia atau kesehatan umum yang

buruk, jenis kelamin perempuan, usia ekstrim, jenis anestesi, dan lama operasi.3

Faktor yang turut berkontribusi dalam terjadinya hipotermia antara lain

puasa preoperatif, suhu yang rendah di ruang operasi, penggunaan solusio dingin

pada kulit, meja operasi yang dingin, dan cairan IV yang dingin. Anestesi umum

menyebabkan terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi redistribusi cepat darah

hangat dari pusat tubuh menuju ke daerah ekstremitas yang dingin, penurunan

metabolisme yang memproduksi panas dan hilangnya respon menggigil. Operasi

mayor seperti bedah thorax dan/atau abdominal juga terjadi kehilangan panas

tubuh inti yang besar.3

Cara terbaik untuk mengatasi hipotermia adalah dengan mencegah

terjadinya kehilangan panas. Strategi noninvasif yang terbukti secara efektif dapat

mengatasi hipotermia antara lain dengan menggunakan cairan IV yang

dihangatkan, selimut penghangat, lampu termal, matras air berpenghangat, sistem

penghangat udara dan bantalan konduksi termal.3

E. Pencegahan ILO
Beberapa langkah yang terkait dalam menurunkan kemungkinan terjadinya

ILO berdasarkan pedoman dari NICE (National Institute for Health and Clinical

Excellence), antara lain:18

1. Insisi dinding abdomen

Section caesarean harus dilakukan dengan menggunakan sayatan perut

melintang karena cara ini menimbulkan nyeri pasca operasi yang lebih minimal

dan efek kosmetik yang lebih baik dibandingkan dengan insisi garis tengah. Insisi

melintang menurut Joel Cohen (insisi lurus, 3 cm di atas simfisis pubis, lapis demi

lapis jaringan berikutnya dibuka dan diperluas dengan gunting, bukan pisau)

merupakan pilihan karena terkait dengan waktu operasi yang lebih pendek dan

mengurangi morbiditas demam pasca operasi.18

2. Instrumen untuk insisi kulit

Penggunaan pisau bedah yang berbeda untuk menginsisi kulit dan jaringan

yang lebih dalam tidak dianjurkan karena terbukti tidak menurunkan

kemungkinan terjadinya ILO.18

3. Penutupan dinding perut

Penutupan dinding perut pada insisi garis tengah dilakukan dengan cara

jahitan kontinu menggunakan benang yang lambat diserap karena dengan cara ini

insidensi terjadinya hernia insisional dan wound dehiscence lebih rendah

dibandingkan dengan cara penutupan berlapis.18

4. Penutupan jaringan subkutan


Penutupan jaringan subkutan tidak rutin dilakukan, kecuali pada wanita

yang memiliki tebal lemak subkutan lebih dari 2 cm, karena penutupan jaringan

subkutan tidak menurunkan insidensi terjadinya ILO.18

5. Penggunaan drain superficial

Penggunaan drain superficial tidak boleh digunakan pada operasi section

caesarean. Penggunaan drain superficial terbukti tidak menurunkan kemungkinan

terjadinya ILO.18

6. Pemberian antibiotik

Berikan antibiotik profilaksis sebelum dilakukan insisi kulit pada operasi

section caesarean. Hal ini akan lebih menurunkan risiko terjadinya infeksi

maternal pasca operasi jika dibandingkan bila antibiotik profilaksis diberikan

setelah insisi kulit, dan terbukti tidak menimbulkan adanya efek pada bayi.18

Pemberian antibiotik profilaksis direkomendasikan untuk diberikan pada

semua operasi yang melibatkan organ berongga. Pemberian antibiotik profilaksis

diketahui merupakan faktor protektif yang paling signifikan dalam menurunkan

kejadian ILO pasca operasi section caesarean. Antibiotik harus diberikan sebelum

operasi, idealnya dalam waktu 30 menit dari induksi anestesi. Konsentrasi

antibiotik yang adekuat dalam serum dan jaringan akan menurunkan risiko

berkembangnya bakteri selama periode post operatif. Namun, pemberian

antibiotic profilaksis tidak akan mencegah kontaminasi yang terjadi selama

operasi karena teknik operasi yang buruk.4,8

Dalam praktiknya, ditemukan variasi yang beragam mengenai cara

pemberian antibiotik profilaksis. Classen dkk membuktikan bahwa waktu


diberikannya antibiotik profilaksis sangat penting dalam mencegah ILO pasca

operasi. Antibiotik profilaksis preoperatif sering tidak diberikan pada waktu yang

optimal sehingga konsentrasi obat selama periode operasi tidak menimbulkan

hasil yang efektif. Pedoman yang dipublikasikan dalam Surgical Infection

Prevention Guideline mengusulkan antibiotik profilaksis harus diberikan 60 menit

sebelum dilakukannya insisi dan dihentikan dalam waktu 24 jam setelah operasi.19

Redisinfeksi kulit di sekitar daerah insisi sebelum penutupan kulit telah

dilaporkan dapat mengurangi kejadian ILO pasca operasi. Telah dilaporkan pula

bahwa irigasi dengan larutan antibiotik pada daerah insisi aman untuk dilakukan,

tidak menunjukkan adanya efek samping, dan merupakan metode yang efektif

dalam menurunkan morbiditas infeksi dan ILO pasca bedah section caesarean.8

7. Perawatan luka

Perawatan luka pada operasi section caesarean meliputi:18

 Dressing luka 24 jam setelah operasi

 monitoring adanya demam

 nilai tanda-tanda infeksi pada luka (seperti rasa sakit yang meningkat,

kemerahan atau keluarnya discharge) dan tanda-tanda luka yang tidak

menutup (dehiscence)

 beritahukan pada pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar, nyaman,

dan berbahan katun agar mudah menyerap keringat

 bersihkan luka secara lembut dan keringkan luka setiap hari

 jika diperlukan, rencanakan untuk melepas jahitan


Risiko infeksi berlanjut bahkan setelah pasien keluar dari rumah sakit.

Tenaga medis harus memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya

mengenai cara merawat luka bekas operasi, bagaimana mengenali tanda-tanda

terjadinya ILO dan pentingnya melaporkan gejala tersebut ke dokter bedah

mereka sebagai penyedia perawatan primer.3

F. Prognosis

Dibandingkan dengan pasien yang tidak terinfeksi, pasien dengan ILO

cenderung:20

 dirawat 7 hari lebih lama

 60% lebih mungkin untuk dirawat di ICU

 5 kali lebih mungkin untuk dirawat kembali dalam waktu 30 hari setelah

dipulangkan

 2 kali lebih mungkin untuk meninggal.

Anda mungkin juga menyukai