Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Perdarahan postpartum merupakan satu kegawatan obstetrik yang
didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 500 ml setelah persalinan
pervaginam dan lebih dari 1000 ml setelah persalinan sectio caesarea. Kehilangan
darah lebih dari 1000 ml dianggap sebagai masalah yang signifikan menyebabkan
gangguan hemodinamik. Bahkan dengan penanganan yang tepat pun, sekitar 3% dari
persalinan pervaginam bisa mengalami perdarahan postpartum. Di negara
berkembang perdarahan postpartum merupakan penyebab terbanyak kematian ibu
bersalin dan penyebab utama kematian di seluruh dunia (Anderson JM et al, 2007).
Diperkirakan 3% hingga 5% pasien obstetrik mengalami perdarahan
postpartum. Setiap tahun kejadian ini menyebabkan kematian seperempat ibu bersalin
di seluruh dunia dan sebanyak 12% di Amerika Syarikat. Menurut American College
of Obstetricians and Gynecologists, perdarahan postpartum awal didefinisikan
sebagai kehilangan darah sebanyak 1000ml yang disertai gejala dan tanda syok
hipovolemia dalam 24 jam setelah persalinan. Berdasarkan saat terjadinya,
perdarahan postpartum dapat dibagi menjadi perdarahan postpartum primer yang
terjadi sebelum kelahiran hingga 24 jam pertama dan perdarahan postpartum
sekunder yang terjadi setelah 24 jam persalinan (Evenson A et al, 2017).
Angka kematian ibu di Amerika Syarikat diperkirakan 17.3 kematian per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2013. Statistik nasional menyimpulkan kira-kira
11.4% kematian disebabkan oleh perdarahan postpartum. Di negara berkembang,
beberapa negara memiliki angka kematian ibu lebih dari 1000 wanita per 100.000
kelahiran hidup, dan statistik WHO menunjukkan bahwa 60% kematian ibu di negara
berkembang disebabkan oleh perdarahan postpartum, yang menyebabkan lebih dari
100.000 kematian ibu per tahun (Smith JR et al, 2018).
Faktor risiko terjadinya perdarahan postpartum adalah persalinan lama,
multigravida, primipara, ibu obesitas, anemia, janin makrosomia dan riwayat
perdarahan postpartum. Namun begitu, sebanyak 20% perdarahan postpartum terjadi
pada wanita yang tidak mempunyai faktor risiko (Evenson A et al, 2017).

1
Penyebab perdarahan postpartum adalah 4T yang merupakan singkatan dari
tone, trauma, tissue dan thrombin. Penyebab paling sering adalah uterus tidak dapat
berkontraksi dengan baik untuk menghentikan perdarahan dari bekas insersi plasenta
(tone), trauma jalan lahir (trauma), sisa plasenta atau bekuan darah yang menghalangi
kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan gangguan pembekuan darah (thrombin).
Tone merupakan masalah pada 70% kasus yaitu diakibatkan oleh atoni uteri, 20%
disebabkan trauma seperti laserasi serviks, vagina dan perineum. Sementara itu, 10%
kasus lainnya disebabkan oleh faktor tissue yaitu selaput plasenta (kotiledon) atau
sisa plasenta yang tertinggal di dalam uterus dan faktor thrombin yaitu masalah
pembekuan darah sekitar <1% (Anderson JM et al, 2007).
Perdarahan postpartum primer dan sekunder bisa disebabkan oleh karena rest
plasenta. Rest plasenta merupakan tertinggalnya bagian kecil plasenta dalam uterus.
Bagian plasenta yang masih menempel pada dinding uterus dapat menghalangi
kontraksi miometrium yang adekuat sehingga gagal menghentikan perdarahan. Sisa
plasenta bisa diduga bila didapatkan kala 3 yang berlangsung tidak lancar, atau
setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak
lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari
ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir
sudah terjahit (Brahmana IB, 2018).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Rest plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim
yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (early postpartum hemorrhage)
atau perdarahan post partum lambat (late postpartum hemorrhage) yang biasanya
terjadi dalam 8 hingga 14 hari pasca persalinan (Prawirohardjo, 2012) (Fescina R et
al, 2013).
Sisa plasenta seperti kotiledon dan selaput kulit ketuban yang tertinggal di
dalam uterus akan mengganggu kontraksi uterus untuk menjepit pembuluh darah
sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan (Brahmana IB, 2018).

2.2 Anatomi dan Fisiologi


Setelah nidasi trofoblas terdiri dari 2 lapis, yaitu bagian dalam disebut
sitotrofoblas dan bagian luar disebut sinsitiotrofoblas. Sebagian sel trofoblas terus
menembus bagian dalam lapisan endometrium mendekati lapisan basal endometrium
di mana terdapat pembuluh darah spiralis, kemudian terbentuk lacuna yang berisi
plasma ibu (Prawirohardjo, 2010).
Proses invasi trofoblas tahap kedua mencapai bagian miometrium arteri
spiralis terjadi pada kehamilan 14-15 minggu dan saat ini perkembangan plasenta
telah lengkap. Lakuna yang kemudian terbentuk akan menjadi ruang intervili. Sel
trofoblas awal kehamilan disebut sebagai vili primer, kemudian akan berkembang
menjadi sekunder dan tersier pada trimester akhir (Prawirohardjo, 2012).
Darah ibu dan darah janin dipisahkan oleh dinding pembuluh darah janin dan
lapisan korion. Di sini jelas tidak ada percampuran antara darah janin dan darah ibu.
Ada juga sel-sel desidua yang tidak dapat dihancurkan oleh trofoblas dan sel-sel ini
akhirnya membentuk lapisan fibrinoid yang disebut lapisan Nitabuch. Ketika proses
melahirkan, plasenta terlepas dari endometrium pada lapisan Nitabuch ini
(Prawirohardjo, 2012).

3
Vili akan berkembang seperti akar pohon di mana di bagian tengah akan
mengandung pembuluh darah janin. Pokok vili (stem villi) akan berjumlah lebih
kurang 200, tetapi sebagian besar yang di perifer akan menjadi atrofi, sehingga
tinggal 40 - 50 berkelompok sebagai kotiledon (Prawirohardjo, 2012).
Janin dan plasenta dihubungkan dengan tali pusat yang berisi 2 arteri dan satu
vena; vena berisi darah penuh oksigen, sedangkan arteri yang kembali dari janin
berisi darah deoksigenasi. Pada kehamilan aterm arus darah pada tali pusat berkisar
350 ml/menit. Pada bagian ibu di mana arteri spiralis menyemburkan darah, tekanan
relatif rendah yaitu 10 mmHg. Arus darah uteroplasenta pada kehamilan aterm
diperkirakan 500 - 750 ml/menit (Prawirohardjo, 2012).

Gambar 1: Anatomi potongan plasenta yang telah lengkap (diambil dari


Cunningham, 2018)
Plasenta merupakan organ yang berfungsi untuk respirasi, nutrisi, ekskresi dan
produksi hormone. Transfer zat melalui vili terjadi melalui mekanisme difusi
sederhana, transportasi aktif, dan difusi terfasilitasi (Prawirohardjo, 2012).

4
2.3 Etiologi
Faktor penyebab utama perdarahan baik secara primer maupun sekunder
adalah grande multipara, jarak persalinan pendek kurang dari 2 tahun, persalinan
yang dilakukan tindakan, pertolongan kala tiga sebelum waktunya, persalinan dengan
tindakan paksa, pengeluaran plasenta tidak hati- hati. Kelainan dari uterus sendiri,
yaitu anomali dari uterus atau serviks, kelemahan dan tidak efektifitas kontraksi
uterus, kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa,
implantasi dari kornu dan adanya plasenta akreta (Brahmana IB, 2018).
Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus
yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi
yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat
menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta (Brahmana IB, 2018).
Sebab-sebab terjadinya rest plasenta :
1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta.
2. Plasenta melekat erat sampai menembus lapisan miometrium dan lapisan desidua
3. Atonia uteri
4. Kesalahan penanganan kala tiga seperti :
a. Kelahiran bayi yang terlalu cepat mengganggu proses kontraksi dan retraksi
uterus untuk melepaskan plasenta sehingga terjadi sisa plasenta.
b. Melahirkan plasenta sebelum plasenta terlepas dari uterus
c. Peregangan tali pusat tidak terkendali menyebabkan pelepasan plasenta
tidak lengkap.
5. Partus presipitatus mengganggu pemisahan plasenta setelah lahir bayi dimana
terjadi gangguan retraksi dan kontraksi uterus.

5
2.4 Patofisiologi
Kala tiga persalinan bermula setelah kelahiran janin dan melibatkan pelepasan
dan ekspulsi plasenta dan selaputnya dari uterus yang terjadi kurang dari 30 menit.
Setelah bayi dilahirkan, miometrium secara spontan berkontraksi. Sesudah
berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan
lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal
secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran uterus juga mengecil.
Pengecilan mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan
plasenta. Daerah perlekatan plasenta yang mengecil menyebabkan plasenta menebal
untuk mengakomodasi keadaan tersebut tetapi kerana elastisitasnya yang kurang,
plasenta menggumpal (Cunningham F et al, 2018).
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak
dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkan
menyebabkan lapisan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan
plasenta terjadi di tempat itu. Pelepasan plasenta terjadi disebabkan disporposi antara
ukuran plasenta yang tidak berubah dan mengecilnya daerah tempat implantasi
plasenta (Cunningham F et al, 2018).
Pelepasan plasenta ini menyebabkan terjadinya hematoma di antara plasenta
yang sudah terlepas dan lapisan desidua yang tetap melekat di uterus. Selaput
plasenta adalah yang terakhir terlepas dari uterus. Plasenta yang sudah terlepas
diekspulsi dari uterus dibantu oleh kontraksi uterus, peningkatan tekanan abdominal
dan berat plasenta itu sendiri (Cunningham F et al, 2018).
Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara serat - serat otot
miometrium yang saling bersilang. Kontraksi dan serat – serat otot ini menekan
pembuluh darah dan retraksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta
perdarahan berhenti. Proses trombosis membantu terjadinya oklusi pada pembuluh
darah supaya tidak terjadi perdarahan. Mekanisme ini dibantu oleh keadaan
hiperkoagulasi yang terjadi pada perempuan hamil (Cunningham F et al, 2018).

6
Adanya sisa plasenta di antara serat-serat otot ini akan mengganggu kontraksi
dan retraksi otot uterus sehingga pembuluh darah yang berada di antara serat-serat
otot ini tidak terjepit menyebabkan perdarahan yang banyak. Adanya sisa plasenta
atau bekuan darah dalam kavum uteri dapat menyebabkan kontraksi uterus menjadi
tidak maksimal (Brahmana IB, 2018).

Gambar 2: A) Pembuluh darah melalui anyaman serat otot B) pembuluh


darah terjepit oleh retraksi otot uterus yang efektif (diambil dari Hiralal K,
2015)

2.5 Tanda dan Gejala Rest Plasenta


Tanda dan gejala klinik dari rest plasenta yaitu:
a. Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap.
b. Perdarahan pervaginam.
c. Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang.
d. Perdarahan pasca partus sekunder.
e. Perdarahan pasca partus berkepanjangan dan pengeluaran lokia dapat
berbau akibat infeksi rest plasenta.
Gejala klinis rest plasenta adalah terdapat subinvolusi uteri, terjadi perdarahan
sedikit yang berkepanjangan, dapat juga terjadi perdarahan banyak mendadak setelah
berhenti beberapa waktu, perasaan tidak nyaman di perut bagian bawah. Gejala yang
kadang – kadang timbul uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
Sisa plasenta yang masih tertinggal di dalam menyebabkan terjadinya perdarahan.
(Cunningham F et al, 2018).

7
2.6 Diagnosis

Diagnosis pada rest plasenta dapat ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis awal pada pasien sebelum melahirkan untuk mencari penyebab,


faktor predisposisi dan kerentanan pasien pada perdarahan postpartum
termasuk rest plasenta. Ditanyakan mengenai riwayat persalinan sebelum
sama ada lahir normal atau sectio sesaria, riwayat dan keluhan saat hamil
sebelum dan sekarang, riwayat penyakit lain dan sebagainya. Antara
penyebab, faktor predisposisi dan kerentanan pasien yang lain adalah sebagai
berikut:

Plasenta - Plasenta previa


- Abruptio plasenta
abnormal
- Plasenta akreta, inkreta, perkreta
- Kehamilan ektopik
Atoni uteri - Distensi berlebihan uterus disebabkan ukuran fetus yang
besar, gemeli, hydramnion, darah beku yang tertahan
- Induksi
- Abnormalitas persalinan seperti persalinan lama,
persalinan terlalu cepat dan chorioamniotis
- Riwayat atoni uteri sebelumnya
Faktor obstetri - Obesitas
- Riwayat perdarahan postpartum sebelumnya
- Kehamilan awal preterm
- Sindroma sepsis
Kerentanan - Preeclampsia / eclampsia
- Insufisiensi renal kronik
pasien
Sumber: (Fescina R, 2013)

2. Pemeriksaan fisis dapat dilakukan dengan:


a. Palpasi uterus untuk menentukan bagaimana kontraksi uterus dan tinggi
fundus uteri.
b. Memeriksa plasenta apakah lengkap atau tidak
c. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari sisa plasenta dan ketuban,

8
robekan rahim dan plasenta succenturiata
d. Pemeriksaan speculum untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan
varises yang pecah
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengevaluasi sisa plasenta
b. Pemeriksaan laboratorium: bleeding time, hemoglobin, Clot Observation Test
dan lain-lain.
Lakukan pemeriksaan pada plasenta yang telah keluar. Plasenta yang lengkap
dan sehat berwarna merah dan biru, berbentuk datar dan sirkular dengan diameter 2-
4cm dan berat 400-600g (15% dari berat neonatus). Periksa plasenta bagian maternal
dengan memegang dengan tangan supaya plasenta menyebar supaya bagian yang
robek dan berdarah dapat dilihat. Bagian plasenta yang yang berdarah menunjukkan
terdapat sisa plasenta atau kotiledon di dalam uterus. Kotiledon terletak sangat rapat
dan jika didapatkan ruang antara kotiledon menunjukkan terdapat sisa plasenta
tertinggal di dalam uterus (SOGC, 2014).
Periksa plasenta bagian janin dengan menghitung pembuluh darah yang
terdapat pada plasenta. Plasenta yang lengkap dan sehat mempunyai dua arteri dan
satu vena serta lihat tempat masuknya tali pusat ke plasenta yang terletak di bagian
tengah plasenta. Selaput plasenta yang lengkap dan tidak robek berbentuk seperti
kantung. Jika didapatkan plasenta tidak lengkap, ada area yang robek atau terjadi
pengeluaran darah terus menerus melewati ostium uteri eksternum sementara rahim
telah berkontraksi dengan baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit perlu dicurigai
adanya rest plasenta. Lakukan eksplorasi kavum uteri pada tahap ini untuk
mengeluarkan sisa plasenta dengan cara manual atau digital atau kuret dan pemberian
uterotonika (SOGC, 2014).

9
Gambar 3: Plasenta bagian fetal dan plasenta bagian maternal (diambil dari
Fescina R et al, 2013 dan The Society Obstetrics and Gynaecologist of Canada,
2014)

2.7 Pencegahan dan Penatalaksanaan

10
Manajemen aktif kala ti
Oxytocin (Pitocin 10 IU IM atau 10 IU intravena tidak lebih awal dari melahirkan bahu anterior,

Jika telah melakukan manajemen aktif kala tiga, estimasi kehilangan darah ≥ 500ml, perdarahan cepat, nadi meningkat (takikardia), tekanan darah men

Resusitasi
i. Minta pertolongan
ii. Lakukan masase uteri bimanual
iii. Memulakan protocol perdarahan unit
TONE persalinan TRAUMA
iv. Masuk oxytocin 20IU dalam 1L normal
Uterisaline,
lunak,infuse 500ml dalam waktu 10 menit kemudian lanjutkan 250ml per
lembek jam atau inver
Laserasi
v. Pasang 2 IV line berkaliber besar i. Masuk oxytocin 20IU dalam 1L normal saline, infuse 500ml dalam waktu i.10Jahit
menit kemudia
tempat lase
vi. Sediakan O2 dengan sungkup ii. Carboprost (hemabate): 250 mcg IM atau kedalam miometrium tiap 15 ke 90 menit hemato
ii. Drainase (2mg t
vii. Monitor tekanan darah, nadi dan urin output
iii. Methylergonovine (methylergine): 0.2 mg IM tiap 2 ke 4 jam iii. Reposisi inversio
viii. Pertimbangkan pemeriksaan lab seperti crossmatch,
iv. Misoprostol: darah lengkap
800-1000mcg /rectal atau 600-800mcg/sublingual atau oral

Perawatan setelah resusitasi Perdarahan postpartum berat


i. Tranfusi sel darah merah, trombosit dan faktor pembekua
i. Monitor perdarahan lanjut (dianjurkan pengukuran secara kuantitatif) dan tanda-tanda
ii. konsul vital
anestesi, bedah dan intensives
ii. Nilai tanda-tanda anemia (lemas, sesak napas, nyeri dada, masalah laktasi iii. Tangani tekanan darah dengan vasopressor
iii. Dengar pasien dan diskusi bersama tenaga kesehatan mengenai tatalaksana dan pengalaman mereka
iv. Pertimbangkan menangani
uterine kegawatdaruratan
packing, ballon tamponade,emb

Gambar 4: Algoritme tatalaksana perdarahan postpartum (Evensen et al, 2017)

1. Manajemen Aktif Persalinan Kala Tiga

11
Strategi paling efektif sebagai preventif untuk menurunkan risiko terjadinya
perdarahan postpartum yaitu dengan melakukan manajemen aktif persalinan kala tiga.
Dimulai dengan pemberian obat oksitosin (10 IU oksitosin IM atau 10 IU IV/IM
segera setelah lahirnya bayi dan telah memastikan tidak ada bayi kedua, diikuti
dengan peregangan tali pusat terkendali. Cara yang dianjurkan untuk membantu
pengeluaran plasenta adalah metode Brandt-Andrew, yaitu salah satu tangan penolong
memegang tali pusat dekat vulva. Tangan yang lain diletakkan pada dinding perut
diatas simfisis sehingga permukaan palmar jari- jari tangan terletak di anterior uterus,
pada perbatasan segmen bawah dan badan rahim disertai dengan memberikan tekanan
ke arah dorsokranial. Apabila telah tampak tanda-tanda pelepasan plasenta maka
lakukan peregangan terkendali pada tali pusat untuk membantu mengeluarkan
plasenta. Setelah plasenta lahir, segera lakukan masase uterus. Apabila plasenta
belum lahir setelah 10 menit pertama kelahiran bayi, pastikan kandung kemih pasien
sudah dikosongkan menggunakan kateter. Jika plasenta masih belum lahir setelah
pengosongan kandung kemih lanjutkan dengan pemberian obat oksitosin kedua
(SOGC, 2014).

Gambar 5: Peregangan tali pusat terkendali (The Society Obstetrics and


Gynaecologist of Canada, 2014)

Usaha melahirkan plasenta yang tidak tepat dapat menyebabkan tertinggalnya

12
bagian plasenta. Prosedur kala tiga dengan peregangan tali pusat yang berlebihan dan
tekanan fundus pada beberapa kasus dapat menyebabkan inversi uterus (Brahmana
IB, 2018).
Setelah plasenta lahir lakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta untuk
mendeteksi jika adanya bagian plasenta yang tidak lengkap dan lakukan manual
plasenta untuk mengeluarkan sisa plasenta tersebut (SOGC, 2014).
2. Manual Plasenta (SOGC, 2014).
a. Berikan antibiotik dosis tunggal (profilaksis), Ampisilin 2g iv ditambah
metronidazole 500mg iv dan analgesik.
b. Masukan tangan secara obstetric dengan menyusuri kedalam kavum uteri,
sementara tangan yang sebelah lagi menahan fundus uteri untuk mencegah
inversion uteri.
c. Dengan bagian lateral jari-jari tangan dicari insersi pingggir plasenta dan
temukan sisa plasenta.
d. Buka tangan obstetri menjadi seperti memberi salam,jari-jari dirapatkan
e. Tentukan implantasi plasenta ,temukan tepi plasenta yang paling bawah
f. Gerakkan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil menggeser ke kranial
sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan
g. Pegang plasenta dan keluarkan tangan bersama sisa plasenta

Gambar 6: Manual plasenta (The Society Obstetrics and Gynaecologist of


Canada, 2014)

Selain daripada manual plasenta, penanganan bagi sisa plasenta yang


tertinggal juga adalah dengan melakukan tindakan kuretase dan pemberian
methotrexate.

13
3. Manajemen Perdarahan Postpartum
Pada perdarahan postpartum lebih daripada 500 ml, evaluasi perdarahan dan
tanda-tanda vital pasien dengan hati-hati. Nilai suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah
untuk mengenalpasti tanda-tanda syok hipovolemik. Sekiranya tanda-tanda syok
seperti perdarahan, hipotensi dan takikardi dan perubahan kesadaran didapatkan pada
pasien, siap untuk melakukan resusitasi. Pastikan jalur nafas bebas, jamin oksigenasi
dengan pemberian oksigen via sungkup dan pemasangan infus 2 jalur berkaliber
besar. Evaluasi dan monitor tekanan darah, nadi dan output urin. (Anderson JM et al,
2007)
a) Jika ada tanda-tanda syok: (Fescina R et al, 2013)
i. Mulai infus IV menggunakan Natrium Klorida atau Ringer laktat.
ii. Infus 1 liter cairan resusitasi dalam 15-20 menit (secepat mungkin).
iii. Infus 1 liter dalam 30 menit dengan kecepatan 30 ml / menit. Ulangi
jika perlu.
iv. Turunkan kecepatan infus menjadi 3 ml/menit hingga terjadi perbaikan
keadaan
v. Jika perdarahan signifikan, tambahkan 20 IU oksitosin per liter larutan
IV, dan jalankan pada 40 tetes per menit.
vi. Jika akses intravena tidak dapat dilakukan, berikan secara oral jika
bisa minum, atau dengan nasogastric tube 300-500 ml dalam 1 jam.
vii. Periksa kadar hemoglobin dan siapkan transfusi.
Jika ada perdarahan signifikan lebih dari 500 ml dan uterus masih teraba,
massase uterus agar berkontraksi dan berikan oksitosin 10 IU IM atau 20 IU per L
normal saline. Infus 500 ml dalam 10 menit.

b) Lakukan pemeriksaan vagina untuk mencegah adanya sisa plasenta. Jika


tersedia, pertimbangkan ultrasound (Fescina R et al, 2013).
i. Jika leher rahim terbuka, eksplorasi uterus dengan tangan dan
keluarkan semua sisa plasenta.
ii. Jika serviks tidak terbuka, siapkan aspirasi vakum manual untuk
mengosongkan kavum uterus. Jika tidak tersedia, rujuk.

14
c) Jika ada tanda-tanda infeksi, seperti demam atau vaginal discharge berbau
busuk, berikan antibiotik sebagai berikut: (SOGC,2014)
i. Ampisilin 2 g IV setiap 6 jam
ii. Gentamisin 5 mg / kg berat badan IV setiap 24 jam,
iii. Metronidazole 500 mg IV setiap 8 jam. Lanjutkan sampai bebas
demam selama 48 jam.
d) Berikan profilaksis anti-tetanus, jika diperlukan.
e) Jika tidak ada perbaikan dengan terapi di atas, rujuk pasien segera untuk
penilaian dan pengobatan lebih lanjut.
Jika kehilangan darah lebih daripada 1000 ke 1500 ml, lakukan transfusi
darah, perawatan intensif dan penanganan lain yang diperlukan seperti prosedur
tamponade uteri, embolisasi, ligasi dan jahitan kompresi pembuluh darah serta
histerektomi.

2.8 Diagnosis Banding


Berdasarkan penyebab perdarahan postpartum: (Evenson A et al, 2017)
1. Atoni uteri
Atonia uteri merupakan suatu kondisi dimana miometrium tidak dapat
berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat
melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali.
2. Retensio plasenta
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau
melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir.
3. Laserasi jalan lahir
Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang
bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus
diperhatikan yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber
perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptur
uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir yang dapat
menyebabkan pecahnya pembuluh darah vena.
4. Inversio uteri
Inversio uteri merupakan suatu keadaan dimana lapisan dalam uterus

15
(endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat
inkomplit sampai komplit.

2.9 Komplikasi
1. Perdarahan Postpartum sehingga syok hipovolemik
2. Infeksi intrauterin dan sepsis
3. Kematian ibu

BAB III
KESIMPULAN

Rest plasenta adalah satu kegawatdaruratan Obstetrik dan Ginekologi yang


mana bisa mengakibatkan perdarahan postpartum. Diperkirakan sebanyak 10%
kejadian perdarahan postpartum adalah disebabkan oleh faktor tissue yaitu
tertinggalnya kotiledon atau sisa plasenta di dalam uterus.
Pencegahan bisa dilakukan manajemen aktif persalinan kala tiga dimulai
dengan pemberian obat oksitosin segera setelah lahirnya bayi, diikuti dengan

16
peregangan tali pusat yang terkendali dan pengeluaran plasenta menggunakan metode
Brandt-Andrew. Pemeriksaan kelengkapan plasenta dilakukan untuk mendeteksi jika
ada sisa plasenta yang tertinggal di dalam uterus dan jika didapatkan plasenta tidak
lengkap dilakukan manual plasenta.
Penanganan dini harus segera yaitu mengeluarkan sisa plasenta dengan
kuretase dan menangani syok akibat perdarahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Bari S, Trijatmo R, Gulardi H. 2012. Buku Ilmu Kebidanan Sarwono


Prawirohardjo Ed 4. Jakarta : PT Bina Pustaka .p148-154, 524.
2. Anderson JM, Etches D. 2007. Prevention and management of postpartum
hemorrhage. Journal of American Academy of Family Physicians.;75(6)
3. Brahmana IB. 2018. Perdarahan pascapersalinan oleh karena retensi plasenta
pada p4a0 postpartum spontan, janin besar dengan hipertensi dalam
kehamilan.Yogyakarta. Vol 18 No 1 pg 34-40.
4. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, et al. 2018. Williams Obstetrics 25th

17
Edition. New York: McGraw-Hill Education.
5. Evensen A. Anderson JM, Fontaine P. 2017. Postpartum hemorrhage:
prevention and treatment. Journal American Family Physician.;95(7).
6. Fescina R et al. 2013. Guide for the Care of the Most Relevant Obstetric
Emergencies. Latin American Center for Perinatology Women and
Reproductive Health and Latin American Federation of Societies of Obstetrics
and Gynecology. (CLAP/WR. Scientific Publication; 1594-02)
7. Hiralal Konar. 2015. DC Dutta’s Textbook of Obstetrics including
Perinatology and Contraceptions. Eighth Edition. Jaypee Brothers Medical
Publisher (P) Ltd. Pg 32, 33, 474-475.
8. Smith JR, et al. 2018. Postpartum hemorrhage. Diakses tanggal 29 Oktober
2019 di https://emedicine.medscape.com/article/275038-overview
9. The Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada (SOGC). 2014.
Chapter 6: postpartum hemorrhage. Advanced in lobour and risk (ALARM)
international program. 4th ed. The Global Library of Women’s Medicine.

18

Anda mungkin juga menyukai