Anda di halaman 1dari 24

SES @186

Gus Dur Tentang Kemerdekaan dan Kedaulatan:

EKONOMI RAKYAT
DAN
KEDAULATAN
EKONOMI
Halaqoh Ekonomi: “Mengurai Konsep Ekonomi Gus Dur”
Forum Pecinta Gus Dur & Kelompok Studi Ekonomi Islam
CIES FEB UB
Malang, 31 Januari 2019

Sri-Edi Swasono
Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa
Guru Besar Universitas Indonesia
Guru Besar Luar Biasa Universitas Islam Negeri/UIN SH Jakarta
Guru Besar Luar Biasa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Ketua Dewan Pertimbangan INSTITUT SENI INDONESIA Surakarta

MAJELIS LUHUR PERSATUAN TAMANSISWA


2019
@SES 186

Gus Dur Tentang Kemerdekaan dan Kedaulatan:


EKONOMI RAKYAT DAN KEDAULATAN EKONOMI
Sri-Edi Swasono

Pengantar: Ruh Nasionalisme Kita


Tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa suatu negara yang
“merdeka” adalah negara yang memiliki kedaulatan dan
menegaskan wilayah keberdaulatannya, artinya negara yang
memiliki sovereignty dan territorial integrity.
Indonesia telah menegaskan keberdaulatannya ketika de
facto Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, yang disu-
sul oleh pengakuan-pengakuan de jure oleh negara-negara lain
terhadap kemerdekaan Indonesia, tak terkecuali diterimanya
Indonesia sebagai anggota PBB.
Dengan Deklarasi Djuanda (1957) yang diresmikan
menjadi UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia, 1)
akhirnya pada tahun 1982 diterima dan ditetapkan oleh konvensi

1) Untuk elaborasi lebih lanjut dapat dilihat http://id.wikipedia.org.


1
hukum laut PBB ke-III tahun 1982 (United Nations Convention
on the Law of the Sea/UNCLOS 1982), yang diratifikasi DPR-RI
dan selanjutnya dituangkan di dalam UU No. 17 tahun 1985
tentang pengesahan UNCLOS 1982, bahwa Indonesia adalah
“Negara Kepulauan”. Kemenangan kita di dalam UNCLOS (1982)
merupakan suatu pernyataan “Negara Maritim” Indonesia, yang
sebenarnya lebih jauh dari itu adalah suatu pengakuan interna-
sional terhadap kedaulatan dan keutuhan teritorial (sovereignty
and territorial integrity) Indonesia, de facto sekaligus de jure
dalam lingkup internasional.
Kemerdekaan dan kedaulatan adalah ruh dari nasional-
isme. Dari sinilah kita menghindari keterjebakan dari ilusi ide-ide
the end of nation-state, the borderless world dan the end of
history yang saat ini berkumandang di kampus-kampus kita.
Tugas kita adalah menjaga kemerdekaan Indonesia dan
sekaligus menjaga keberdaulatan dan keutuhan teritorialnya:
sedumuk bathuk senyari bumi, pecahing dhadha wutahing
ludiro, sun labuhi taker pati.

Butir-Butir Pandangan Gus Dur


Barangkali secara singkat penting untuk diketahui oleh
pemuda-pemudi kita, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama,
bahwa Gus Dur termasuk seorang Presiden yang menganut
pesan-pesan Konstitusi dalam pemikiran keekonomiannya. Saya
menduga Gus Dur menegaskan pandangan konstitusionalnya
untuk mengingatkan agar para ekonom Indonesia menempatkan
diri sebagai constitutional economists yang bertanggungjawab.
Dari catatan yang ada, Gus Dur berpandangan sebagai
berikut:2)

2) Catatan pribadi Gus Sola (KH Solahuddin Wahid).


2
- Indonesia pada 1945 baru merdeka secara politik, tetapi belum
secara ekonomi, ujar Gus Dur dengan kata lain bangsa ini belum
berdaulat secara ekonomi.
- Kebijakan ekonomi selalu pada level elitis, rakyat tidak di-
pikirkan. Kenyataannya perekonomian nasional dari waktu ke waktu
justru semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan, yakni jauh dari
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sesuai Sila ke-5 Pancasila,
pen.), rakyat belum dapat berdaya maju dan berdaulat penuh dalam
ekonomi.
- Mayoritas bangsa ini jika ada pekerjaan hanya cukup untuk
menghidupi secara minimal (subsisten), seperti di sektor pertanian,
perikanan, kehutanan, sektor informal, dan buruh industri. Sedangkan
dalam skala internasional, Indonesia menjadi pasar yang empuk bagi
produk-produk asing, bahkan untuk komoditas pertanian sekalipun. Ini
merupakan fakta yang nyata bahwa kita belum berdaulat secara
ekonomi.
- Solusi yang ditawarkan adalah kebijakan penguatan untuk
ekonomi kerakyatan. Secara historis, wacana ekonomi kerakyatan sudah
ada sejak zaman pra-kemerdekaan. Salah satu pengusung utamanya
adalah Bung Hatta.
- Bung Hatta menulis: “Azas kerakyatan mengandung pengertian
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Segala hukum (recht,
peraturan perundang-undangan) harus bersandar pada perasaan
keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat banyak.
- Penguatan ekonomi kerakyatan menjadi fondasi bagi mewu-
judkan kedaulatan ekonomi. Hal ini karena, karakter utama dari
ekonomi kerakyatan adalah dihilangkannya watak individualistik dan
liberalistik dari jiwa perekonomian Indonesia.
Misi utama dari ekonomi kerakyatan adalah meningkatkan ke-
mandirian ekonomi sosial dan menjadikan rakyat sebagai tuan rumah di
negeri sendiri, sebagai bentuk nyata wujudnya kedaulatan ekonomi.
- Peta jalan (roadmap) kedaulatan ekonomi tidak mungkin lari
dari konstitusi (UUD 1945). Konstitusi itu secara terang mengatur tiga
hal paling mendasar, yakni setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan
yang layak bagi kehidupan (sesuai Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, pen.), fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara (sesuai Pasal 34 UUD
1945, pen.), dan perekonomian disusun berdasarkan atas asas keke-
luargaan, berikut ayat-ayat turunannya (sesuai Pasal 34 ayat 1 UUD 1945,
pen.).
- Dalam rangka memperkuat kedaulatan ekonomi, maka seluruh
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan rakyat banyak
3
tidak boleh dikuasai oleh swasta, apalagi oleh negara lain (sesuai Pasal 33
ayat 2 UUD 1945, pen.), karena hanya di tangan negaralah sumberdaya
ekonomi tersebut dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya ke-
makmuran rakyat (sesuai Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, pen.).
- Itulah sebabnya Gus Dur mengkritik kebijakan ekonomi kaum
teknokrat ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan dan
menyebabkan aspek pemerataan terabaikan, maka angka kemiskinan
meningkat terjadi di mana-mana khususnya di daerah pedesaan dan
masyarakat terpencil.
Oleh karena itu, ketika menjadi Presiden Abdurrahman
Wahid menyetop import dan menggenjot eksport, mengurangi
utang bahkan melakukan moratorium utang, semua itu me-
rupakan langkah nyata menuju kedaulatan ekonomi.

Proklamasi Kemerdekaan adalah Proklamasi Budaya


Proklamasi Kemerdekaan adalah suatu Proklamasi Politik
yang menegaskan bahwa “merdeka” adalah “mandiri”. Dengan
kata lain Proklamasi Kemerdekaan adalah pula Proklamasi
Kemandirian, yang ditegaskan sebagai onafhankelijkheid procla-
matie.
Artinya “pernyataan kemerdekaan” adalah suatu “per-
nyataan budaya”, yaitu pernyataan untuk memangku nilai-nilai
budaya berdaulat, melepaskan diri dari ketergantungan – suatu
kemampuan berbudaya onafhankelijk untuk menolak ketergan-
tungan, menolak perhambaan sebagai “Koelie di Negeri Sendiri”,
sekaligus yang berketeguhan untuk tidak ragu menjadi “Tuan di
Negeri Sendiri”. Kesemuanya merupakan pernyataan budaya
untuk meninggalkan ketertundukan dan melepas underdog
mentality-nya kaum Inlander.
Pernyataan kemerdekaan sebagai pernyataan budaya,
salah satu bentuknya adalah tuntutan untuk merubah diri
sendiri, yang di masa jajahan merupakan kaum Inlander
(Pribumi – kelas terendah) yang berada di bawah kaum

4
European (kulit putih – kelas teratas) dan kaum Vreemde
Oosterlingen (Timur Asing – kelas di tengah), dengan mene-
gaskan kesetaraan nondiskriminatori. Lalu menyadari bahwa
Indonesia Merdeka dalam konstitusinya menegaskan: “…tiap-
tiap warganegara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya…” (Pasal 27 ayat 1 UUD 1945).
Dengan kata lain, égalité sebagai tuntutan peradaban mondial
mulia telah kita kawal sejak awal kemerdekaan, kita ditegaskan di
situ dalam konteks keluhuran emansipasi dan humanisme.
Lagi-lagi terbukti sulit melaksanakan “tuntutan berbudaya
merdeka” di atas, tidak mudah melakukan cultural unlearning
fundamental semacam itu. Seperti kita lihat kita tetap minder
sebagai Inlander, tetap mudah kagum terhadap yang serba
western berikut gebyar-gebyar globalisasi yang menyertainya.
Sebagian terbesar dari kita tetap saja merasa sebagai eine Nation
von Kuli und Kuli unter den Nationen – bangsa kuli dan kulinya
bangsa-bangsa lain. Akibatnya “modernisasi” sering diartikan
sebagai “westernisasi”, bahkan kadang-kadang diartikan sebagai
tuntutan “eksklusivisasi parokhial” yang justru mengutuk
modernisme dan mendekatkan pada puritanisme fundamental
yang suicidal.
Kesadaran-kesadaran berdaulat, mandiri, berharkat-mar-
tabat, berkehidupan cerdas (tidak sekedar berotak cerdas),
tangguh, sakti, digdaya, dan mandraguna, merupakan
“tuntutan budaya” yang harus kita penuhi sebagai bangsa yang
telah berani menyatakan kemerdekaannya. Namun kiranya kita
telah gagal melakukan unlearning, gagal melepas mindset tekuk-
lutut, dan juga lengah menggariskan strategi budaya dalam
pembangunan nasional kita untuk dapat memenuhi “tuntutan
budaya” (dan “tugas budaya”) fundamental ini.

5
Kita bahkan lengah-budaya dengan menerima kembali
liberalisme dan kapitalisme yang justru kita tolak tatkala kita
menyatakan Kemerdekaan. Kita membiarkan pembangunan
nasional hanya mengejar “nilai-tambah ekonomi” yang artinya
hanya mengejar untuk “to have more”, lupa mengejar pula “nilai-
tambah sosial-kultural” agar mampu menjadi “to be more”,
mampu meraih nilai-tambah ketahanan dan kemartabatan
bangsa kita, mampu menjadikan bangsa ini bangsa berbobot,
berkaliber.
Ketika pada tahun 1973 saya menghadap Bung Hatta
menanyakan makna kepada beliau perkataan “mencerdaskan
kehidupan bangsa” yang ada di Pembukaan UUD 1945, saya
makin menyadari bahwa Proklamasi Kemerdekaan adalah Pro-
klamasi Budaya.
Barangkali di sinilah kecemasan nasional akhir-akhir ini
muncul tentang melunturnya nasionalisme. Memang terasakan
para elit kita lengah-budaya, yaitu lengah mengemban budaya
merdeka, budaya berdaulat, dan budaya mandiri, yaitu suatu
kegagalan budaya, yang ujungnya adalah tak mampunya me-
ngemban budaya nasionalistik-patriotik.3)
Kita lengah menjaga kedaulatan ekonomi yang memakan
(ngrikiti) kemerdekaan kita. Kita tidak berdaulat dalam pangan,
bibit, obat dasar, energi, teknologi, pertahanan, tataguna bu-
mi/air/kekayaan alam.

3) Saya dan Kwik Kian Gie sempat menemui Presiden SBY untuk menyampaikan

keprihatinan kami terhadap seorang ekonom di lingkungan Presiden SBY yang


mengatakan “…nasionalisme sudah kuno, masukin saja ke dalam saku…”. Dengan ramah
Presiden SBY menerima keluhan kami. Tetapi entah apa yang terjadi, Pak SBY justru
malah mengangkat ekonom ini pada jabatan tinggi, dan tak lama kemudian ia diangkat
menjadi menteri. Bahkan ada pula menteri yang menginstruksikan kepada deputi-
deputinya agar “…tidak usah ideologi-ideologian, lakukan best practices saja…”, meng-
isyaratkan maraknya paham liberal dan deideologisasi di lingkungan birokrasi negara.
Liberalisme dan liberalisasi terus berjalan mulus.
6
Paradoks Indonesia
Sebelum kita bicara ekonomi rakyat, barangkali perlu
dikemukakan kenyataan paradoksal yang terjadi dalam pere-
konomian Indonesia.4)
Berikut ini adalah pendekatan paradigmatik mengenai
paradoks pembangunan Indonesia dalam bentuk pertanyaan
yang saya kemukakan pada acara tanggal 22 September 2018 itu.
Dari paradoks yang berupa pertanyaan-pertanyaan berikut ini
akan dicoba menarik suatu tuntutan budaya strategis dalam
membangun karakter bangsa, dari segi faktual dan relevansi.
Pertama, mengapa pembangunan yang terjadi di Indo-
nesia ini menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemis-
kinan? Akibatnya pembangunan, sebagai kepanjangan kapi-
talisme global, telah menjadi suatu proses dehumanisasi.
Kedua, mengapa yang terjadi sekadar “pembangunan di
Indonesia” dan bukan “pembangunan Indonesia”? Orang man-
canegara yang membangun Indonesia, menjadi pemegang
konsesi bagi usaha-usaha ekonomi strategis. Sedangkan orang
Indonesia menjadi penonton atau sekadar jongos globalisasi.
Ketiga, mengapa “daulat pasar” dibiarkan begitu ber-
kuasa, sehingga menggusur “daulat rakyat”. Beginilah glo-
balisasi ekonomi yang berdasar ekonomi arus utama
(mainstream economics), berdasar pemujaan pada fundamen-
talisme pasar (market fundamentalism). Tentu disayangkan
ruang-ruang klas kita justru mengajarkan ilmu ekonomi
berdasar fundamentalisme pasar ini. Dari berlakunya “daulat
pasar” terjadilah peminggiran atau marginalisasi rakyat. Rakyat
tidak “terbawaserta” dalam kemajuan pembangunan. Bahkan
setiap detik ibarat terjadi transfer pemilikan (tanah) dari si
lemah dan kecil kepada si kuat dan besar, maka terjadilah
kembali inlanderisasi, minderisasi dan inferiorization (abo-
riginisasi) terhadap rakyat. Ekonomi rakyat ikut terpuruk
dengan terpuruknya rakyat. Lalu akibatnya pembangunan

4) Diangkat dari pertemuan bersama Prabowo Subianto menghadapi 300

Jenderal dan para Intelektual pada tanggal 22 September 2018 di Jakarta yang diadakan
oleh forum Panitia Bersama Persaudaraan Indonesia.
7
menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan
sebagaimana saya kemukakan sebagai pertanyaan pertama di
atas.
Keempat, bukankah seharusnya kita menjadi Tuan di
Negeri Sendiri, menjadi “The Master in our own Homeland, not
just to become the Host”, yang hanya menjadi pelayan kepen-
tingan global dan mancanegara? Lalu mengapa kita tetap men-
jadi Koelie di Negeri Sendiri, mengapa kita hanya sekadar men-
jadi master of ceremony?
Kelima, mengapa kesejahteraan rakyat tidak kunjung
tercapai, kesenjangan antara kaya dan miskin sangat tajam.
Ketidakadilan pendapatan dan pemilikan makin melebar.
Globalisasi ekonomi dengan pasar-bebas dengan persaingan
dan perdagangan bebas bawaannya makin mempertajam
kesenjangan ini. Di sini rasa keadilan terusik, emansipasi dan
toleransi terganggu, kerukunan nasional akan berubah menjadi
konflik nasional, yang akan menggoyahkan kestabilan integrasi
nasional.
Keenam, mengapa kesenjangan antara kaya dan miskin
yang membentukkan kesenjangan frustasi (frustration-gap)
pada pihak si miskin, yaitu gap antara aspirasi imaginer dan
kenyataan faktual yang berkembang oleh dorongan iklan
konsumtif mewah dan makin meluasnya tarikan hidup
melimpah (affluency) yang dicontohkan oleh pihak yang kaya,
menumbuhkan kecemburuan sosial dan keresahan sosial yang
memagut, serta menyayat kedamaian.
Ketujuh, mengapa anak-anak muda kita terbiarkan
kehilangan jati-diri dan kebanggaan nasional sebagai akibat
globalisasi runyam. Lalu di mana kita menempatkan
kebanggaan kita mengenai keindonesiaan. Padahal seharusnya
kita harus mampu memberikan kebanggaan nasional Indonesia
kepada pemuda-pemudi kita.
Kedelapan, mengapa kita tidak secara tegas menyadari
bahwa pembangunan seharusnya mengutamakan ‘daulat
rakyat’, bukan mengutamakan ‘daulat pasar’-nya neoliberalisme
dan kapitalisme. Dengan “daulat-pasar” (market sovereignty)
itu, kita malahan kehilangan kedaulatan nasional: kita tidak
berdaulat dalam pangan, bibit, obat dasar, teknik industri,
ekspor-impor, energi, teknologi, pertahanan, tataguna
bumi/air/kekayaan alam, bahkan kita tidak berdaulat dalam

8
legislasi. Bagaimana ketakberdaulatan dan keterjajahan ini bisa
terjadi?
Kesembilan, kita memang tidak boleh memelihara
xenophobia, namun kita membiarkan bahwa ekonomi asing
mendominasi ekonomi nasional. Mengapa kita begini permisif,
apakah karena kita tidak mengemban kepedulian nasional
meskipun kita telah merdeka, ataukah karena kita masih tetap
servile sebagai Inlander. Dari segi makro ekonomi globalisasi
harus dengan tegar kita hadapi, sambil tetap menyadari bahwa
globalisasi bukanlah ajang penyerahan kedaulatan ke kekuatan-
kekuatan global.
Kesepuluh, kita telah berjuang habis-habisan untuk
mencapai Kemerdekaan Indonesia. Akhirnya kita merdeka dan
berdaulat dan memiliki sepenuhnya national sovereignty and
territorial integrity. Lalu mengapa kita tiba-tiba kendor dalam
kewaspadaan dan membiarkan kedaulatan nasional terjarah,
pengutamaan kepentingan nasional tidak lagi kita pegang teguh,
padahal hakikat nasionalisme adalah mengutamakan
kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggungjawab
global. Bahkan kita yang memperjuangkan onafhankelijkheid
atau ketaktergantungan bangsa sebagai picu memperoleh
kemerdekaan nasional, malahan saat ini kita tidak mandiri dan
banyak tergantung kepada kekuatan asing.5)

Apa Itu Ekonomi Rakyat


Sistem Ekonomi Indonesia berdasar pada Doktrin
Kerakyatan, dengan intinya bahwa “kedaulatan ada di tangan
rakyat”.
Ekonomi Rakyat atau grass-roots economy adalah de-
rivat dari Doktrin Kerakyatan Indonesia. Doktrin Kerakyatan
(sejolinya doktrin Kebangsaan) adalah doktrin berdasarkan
diktum “Tahta untuk Rakyat”. Kedua doktrin Nasional ini meru-
pakan tanggungjawab dari pendidikan tinggi di Indonesia untuk
dijabarkan dalam kurikulum dan silabus-silabus untuk mem-

5) Butir kesepuluh ini tidak saya kemukakan pada acara 22 September 2018 di
atas.
9
buat perkuliahan di ruang-ruang kelas menjadi relevan untuk
meningkatkan pemahaman kita mengenai keindonesiaan.
Ekonomi rakyat adalah wujud dari ekonomi yang ber-
basis kemampuan rakyat (people-based economy) dan ekonomi
yang terpusat pada kepentingan rakyat (people-centered eco-
nomy) yang merupakan inti dari Pasal 33 UUD 1945 6), terutama
Ayat (1) dan Ayat (2)-nya.
Berikut ini akan digambarkan deskripsi maupun peran
strategis dari ekonomi rakyat.
Deskripsi
Istilah “perekonomian ra’jat” dan “ekonomi ra’jat” secara
tertulis pertamakali dikemukakan oleh Bung Hatta dalam
artikelnya berjudul “Pengaroeh Koloniaal Kapitaal di Indonesia”,
dalam majalah Daulat Ra’jat, edisi 20 November 1931.7)
Apa yang dikemukakan oleh Hatta di dalam Daulat
Ra’jat, 20 November 1931 itu senada dengan orientasi kerakyatan

6) Pasal 33 UUD 1945:


(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan (UUD 1945 asli).
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (UUD 1945 asli).
(3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat (UUD 1945
asli).
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional (ayat tambahan/hasil amandemen).
(5) Kententuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang (ayat tambahan/hasil amandemen).
7) Kemudian istilah dan keadaan “ekonomi rakyat” yang tertindas dikemukakan

dan digambarkan oleh Bung Hatta pada artikel-artikelnya berjudul “Pendirian Kita”
(Daulat Ra’jat, 10 September 1932). “Krisis Dunia dan Nasib Ra’jat Indonesia” (Daulat
Ra’jat, 20 September 1932), “Ekonomi Ra’jat” (Daulat Ra’jat, 20 November 1933) dan
yang paling monumental adalah artikelnya yang berjudul “Ekonomi Ra’jat dalam Bahaja”
(Daulat Ra’jat, 10 Juni 1934). Di antara tulisan-tulisan Bung Hatta antara 1931 dan 1934
Bung Hatta menulis banyak mengenai ekonomi rakyat dan kesengsaraan rakyat di bawah
cultuurstelsel sebagai eksploitasi negara (staatsexploitatie).
10
yang kemudian menjiwai kemerdekaan Indonesia untuk
melengserkan “Daulat Tuanku” dan menggantikannya dengan
“Daulat Rakyat”. Perekonomian koloniaal kapitaal (kapitalisme
kolonial) ini bermula dengan perompakan VOC, kemudian pada
diberlakukannya Cultuurstelsel J van den Bosch dan pelaksanaan
UU Agraria 1870 oleh pemerintah kolonial Belanda.8)
Ekonomi rakyat adalah riil dan konkret. Oleh karena itu
lebih tepat apabila kita meninjaunya dari segi kenyataan yang
ada secara sederhana, melalui common sense, yaitu bahwa kita
memiliki pertanian rakyat, perkebunan rakyat, perikanan
rakyat, tambak rakyat, pelayaran rakyat, kerajinan rakyat, in-
dustri rakyat, penggalian rakyat, pertambangan rakyat, per-
tukangan rakyat, bahkan yang teramat penting bagi kehidupan
sehari-hari adalah bahwa kita memiliki dan hidup dari pasar-
pasar rakyat. Kita kenal pula ekonomi rakyat yang berbasis
komoditi seperti kopra rakyat, kopi rakyat, karet rakyat, cengkeh
rakyat, tembakau rakyat, dan seterusnya, yang menjadi pe-
nyangga/sokoguru bagi industri prosesing di atasnya.
Keberadaan ekonomi rakyat justru tidak boleh dilihat dari
segi pemihakan semata-mata, apalagi dari segi caritas-filantropis.
Ekonomi rakyat justru mempunyai peran strategis di dalam
sistem dan struktur ekonomi.
Dengan peran strategisnya ekonomi rakyat memberikan
kontribusi sangat besar terhadap kehidupan ekonomi nasional
daerah dan ekonomi nasional. Tidak hanya terhadap GDP juga
terhadap kemudahan hidup dan nilai-tambah non-ekonomi.

8) Perlu dicatat konsistensi Bung Hatta ketika merumuskan Pasal 33 UUD 1945,

ketiga ayatnya sangat people-based dan people-centered. Tidak heran ketika Bung Hatta
mempimpin Panitia Pemikir Siasat Ekonomi (1947) ekonomi rakyat dan kepentingan
rakyat mendapat prioritas dan kemudian sebagai Perdana Menteri (1949) secara eksplisit
Program Kabinet-nya (butir 4) menegaskan untuk “…Berusaha memperbaiki ekonomi
rakyat…”, dst.
11
Makna Strategis
Makna ekonomi rakyat sebagai strategi pembangunan itu,
antara lain: (1) Dengan rakyat yang secara partisipatori-eman-
sipatori berkesempatan aktif dalam kegiatan ekonomi akan lebih
menjamin nilai-tambah ekonomi optimal yang mereka hasilkan
dapat secara langsung diterima oleh rakyat. Pemerataan akan ter-
jadi seiring dengan pertumbuhan. (2) Memberdayakan rakyat
merupakan tugas nasional untuk meningkatkan produktivitas
rakyat sehingga rakyat lebih secara konkret menjadi aset aktif
pembangunan. Subsidi dan proteksi kepada rakyat untuk mem-
bangun diri dan kehidupan ekonominya merupakan investasi
ekonomi nasional dalam bentuk investasi sumber insani manusia
(human investment), bukan pemborosan atau inefficiency, serta
mendorong tumbuhnya kelas menengah yang berbasis akar
rumput (grass-roots). (3) Pembangunan ekonomi rakyat
meningkatkan daya-beli rakyat yang kemudian akan menjadi
energi rakyat untuk lebih mampu membangun dirinya-sendiri
(self-empowering), sehingga rakyat mampu meraih “nilai-
tambah ekonomi” dan sekaligus “nilai-tambah sosial” (nilai-
tambah kemartabatan). (4) Pembangunan ekonomi rakyat
sebagai pemberdayaan rakyat secara bersama-sama (ber-jemaah)
akan merupakan peningkatan posisi tawar kolektif (collective
bargaining position) untuk lebih mampu mencegah eksploitasi
dan subordinasi ekonomi terhadap rakyat. (5) Dengan rakyat
yang lebih aktif dan lebih produktif dalam kegiatan ekonomi
maka nilai-tambah ekonomi akan sebanyak mungkin terjadi di
dalam-negeri dan untuk kepentingan ekonomi dalam-negeri. (6)
Pembangunan ekonomi rakyat akan lebih menyesuaikan ke-
mampuan rakyat yang ada dengan sumber-sumber dalam-negeri
yang tersedia (endowment factor Indonesia), artinya berdasar
strategi yang hanya menggunakan sumber-sumber lokal
(resources-based) dan terpusat pada rakyat (people-centered).
12
(7) Pembangunan ekonomi rakyat akan lebih menyerap tenaga
kerja. (8) Pembangunan ekonomi rakyat akan bersifat lebih
“cepat menghasilkan” (quick-yielding) dalam suasana ekonomi
yang sesak napas dan langka modal, dst dst. … .
(15) Secara keseluruhannya, butir-butir tersebut di atas
akan lebih menjamin terjadinya pembangunan Indonesia, bukan
sekadar pembangunan di Indonesia. (16) Pembangunan ekonomi
kerakyatan bertumpu pada platform bahwa yang kita bangun
adalah rakyat, bangsa dan negara. Pembangunan pertumbuhan
ekonomi (GNP) adalah derivat dari platform ini, sebagai
pendukung dan fasilitator bagi pembangunan rakyat, bangsa dan
negara. (17) Dalam kenyataan, ekonomi rakyat mampu meng-
hidupi sebagian terbesar dari rakyat Indonesia, di tengah-tengah
pasang-surutnya sektor perekonomian formal-modern, sejak awal
kemerdekaan hingga saat ini. (18) Selama ini, khususnya dalam
masa-masa sulit, ekonomi rakyat memberikan lapangan kerja dan
juga memberi kehidupan murah (low cost economy dan low cost
of living) kepada rakyat, khususnya kepada buruh-buruh
korporasi-korporasi besar berupah rendah. Dengan kata lain
ekonomi rakyat memberi trickle-up effect atau mensubsidi
perekonomian besar. (Proses trickle-down effect neoliberalistik
menjadi ilusif dan delusif). (19) Pendekatan kooperativisme
dalam membangun ekonomi rakyat akan menumbuhkan
kekuatan ekonomi berganda-ganda (sinergisme propagatif).
Wadah ekonomi rakyat yang paling tepat adalah koperasi.
Koperasi merupakan badan usaha ekonomi yang berwatak sosial,
yang menampung perikehidupan kebersamaan dengan saling
bekerjasama tolong-menolong, bergotong-royong alamiah seperti
komunitas semut, baik dalam memproduksi, mengkonsumsi,
mendistribusi maupun dalam mempertahankan diri.

13
Nasionalisme dan Kedaulatan Dikorbankan
Dari penelitian AEPI/Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia,
Salamuddin Daeng, saat ini (16/9/2016) tercatat 9): “…investor
asing menguasai 85% porsi kepemilikan publik pada saham
BUMN. Bagi kaum ekonom liberalis hal ini menunjukkan
keuntungan BUMN memberi daya tarik kepada investor asing.
Yang artinya pemilikan BUMN oleh asing ataukah oleh swasta
tidak lagi dipersoalkan betapa pun bertentangan dengan Pasal 33
ayat 2 bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara”. Penguasaan 85% cabang-cabang produksi strategis
(BUMN) oleh asing ini tidak lagi menjadi kewaspadaan bagi
pemerintahan negara saat ini. Lebih lanjut dapat dikemukakan
betapa kita lengah tentang peranan strategis perbankan sebagai
urat nadi sebagai perekonomian nasional. Bank-Bank BUMN pun
makin meningkat penguasaannya oleh asing. Bank BRI 43,25%
dilepas ke publik dan sebagian besar (81,44%) dibeli oleh asing.
Demikian pula Bank Mandiri 40,00% sahamnya dimiliki oleh
publik dan sebagian dari (79,73%) dimiliki oleh asing.
Demikian pula saat ini modal asing menempati posisi
mayoritas dalam struktur investasi di Indonesia, posisi akhir
tahun 2016 investasi asing mencapai 64,4%, di luar minyak dan
gas, lembaga keuangan non-bank dan investasi yang perizinannya
diberikan instansi lain.
Di Papua, kontrak kaya Freeport seluas 2,6 juta hektar,
HPH 15 juta hektar, HTI 1,5 juta hektar, perkebunan 5,4 juta
hektar, yang berarti meliputi 57% luas daratan Papua, belum
termasuk kontrak kerja Migas, merupakan investasi asing.

9) Lihat Sri-Edi Swasono, Keindonesiaan (Yogyakarta: UST-Press, 2017), hlm.


91-33.
14
Kontrak karya PT Newmont Nusa Tenggara menguasai
50% wilayah Nusa Tenggara Barat. Juga di Nusa Tenggara Barat
terdapat lebih dari 141 izin usaha pertambangan yang beroperasi.
Di Kalimantan Timur diperkirakan seluruh wilayah
daratan seluas 19,8 juta hektar telah dibagikan kepada modal
besar yang mayoritas asing. Izin tambang mineral dan batubara 5
juta hektar, perkebunan 2,4 juta hektar, HPH, HTI, HTR 9,7 juta
hektar, berarti 86% dari luas wilayah daratan Kalimantan Timur
sudah diserahkan kepada kaum pemodal yang mayoritas asing.
Di Madura, luas kontrak Migas melebihi luas pulau
Madura yang diserahkan kepada Petronas, Huski Oil, Santos dan
perusahaan asing lainnya.
Di Provinsi Riau yang seluas 8,9 juta hektar, sebanyak 8,6
juta hektar untuk izin pengelolaan hutan, yang berarti 96,7%
dialokasikan untuk konsesi kekayaan alam, belum termasuk izin
perkebunan dan kontrak kerja Migas.
Sedikitnya 95% kegiatan produksi emas, perak dan
tembaga dikuasai perusahaan AS, yaitu PT Freeport McMoran
dan PT Newmon Corporation.
Sebanyak 85% eksploitasi minyak dan gas dikuasai oleh
asing, 80%-nya dikuasai oleh Chevron sendiri.
Sebanyak 75 sampai 80% eksploitasi batubara dikuasai
oleh perusahaan asing dan perusahaan nasional yang terkait
asing.
Sebanyak 65-70% perkebunan dikuasai asing, 90% dari
itu dikuasai oleh perusahaan raksasa.
Sebanyak 65% perbankan dikuasai asing.
Sementara itu kita mencatat 100% mineral diekspor, 85%
gas diekspor dan 75% hasil perkebunan diekspor dalam bentuk
bahan mentah untuk kebutuhan negara maju.
Sepanjang tahun 2014 nilai defisit pendapatan primer
sebesar USD 27,5 milyar. AEPI mencatat bahwa setiap USD 1

15
milyar investasi asing yang tertanam di Indonesia dalam 1 tahun
(2010-2014) sebanding dengan USD 12 milyar yang ditransfer
kembali ke luar-negeri ke negeri asal sebagai keuntungan…”.

Opportunity Cost yang Terlalu Mahal: Rakyat Kehilang-


an Kesempatan Berpengalaman
Yang lebih mengkhawatirkan lagi ketakberdaulatan dalam
pangan makin mencemaskan, sekaligus predatorik terhadap
kesempatan petani Indonesia untuk berkembang maju dan
produktif. Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS,
Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, selain ponsel, impor barang
konsumsi yang meningkat di Oktober 2017 ini adalah bahan
pangan, seperti gandum, pakan ternak, dan lainnya. 10)
Tercatat harus diimpor 19 bahan pangan sebagai wujud
ketergantungan pangan sebagai berikut: 1. Beras sebesar US$
480,33 juta; 2. Jagung sebesar US$ 179,52 juta; 3. Kedelai sebesar
US$ 816,78 juta; 4. Biji gandum atau mesin sebesar US$ 2,07
miliar; 5. Tepung terigu sebesar US$ 39,31 juta; 6. Gula pasir
sebesar US $ 69,88 juta; 7. Gula tebu sebesar US$ 1,55 miliar; 8.
Daging jenis lembu sebesar US$ 363,56 juta; 9. Jenis lembu
sebesar US$ 444,66 juta; 10. Garam sebesar US$ 65,71 juta; 11.
Mentega sebesar US$ 72,69 juta; 12. Minyak goreng sebesar US$
24,76 juta; 13. Susu sebesar US$ 368,05 juta; 14. Bawang merah
sebesar US$ 1,16 juta; 15. Bawang putih sebesar US$ 355,52 juta;
16. Kelapa sebesar US$ 894,23 ribu; 17. Kelapa sawit sebesar US$
1,08 juta; 18. Lada sebesar US$ 23,27 juta; 19. Kentang sebesar
US$ 14,28 juta; 20. Teh sebesar US$ 26,24 juta; 21. Kopi sebesar
US$ 46,21 juta; 22. Cengkeh sebesar US$ 60,68 juta; 23. Kakao
sebesar US$ 144,74 juta; 24. Cabai segar nihil; 25. Cabai kering

10) Lihat Sri-Edi Swasono, Pancasila di Kampus Kebangsaan Kita (Yogyakarta:

UST-Press, 2018), hlm. 157-158.


16
tumbuh sebesar US$ 30,79 juta; 26. Cabai awet sementara
sebesar US$ 1,23 juta; 27. Tembakau sebesar US$ 368,41 juta; 28.
Singkong sebesar US$ 2,26 juta; 29. Telur unggas sebesar US$
12,13 juta.
Contoh lain yang meremehkan dan melepas kedaulatan
ekonomi nasional kita adalah keputusan Pemerintah tentang
Paket Kebijakan Ekonomi Ke-16 (November 2018). Dalam
kebijakan itu ada 54 bidang usaha yang boleh 100 persen
menggunakan modal asing, yang berarti pembebasan 54 bidang
usaha dari Daftar Negatif Investasi (DNI). Alangkah ngawurnya
bahwa untuk industri yang tidak memerlukan teknologi canggih,
seperti pengupasan dan pembersihan umbi, industri kain rajut
dan renda, warung warnet, pariwisata, budidaya karang hias,
dinyatakan bebas terbuka 100 persen untuk investasi asing. Ini
berarti hak rakyat dalam menggarap sendiri perekonomian
rakyatnya dibiarkan terenggut oleh investor asing.
Kita jadi ingat tulisan Bung Hatta pada 10 Januari 1934 di
majalah Daulat Ra’jat yang berjudul “Ekonomi Rakyat dalam
Bahaya” yang menggambarkan terjadinya Ausschaltungstendenz
(tendensi menyingkirkan) dan Einschaltungstendenz (tendensi
menyusup) oleh investor asing terhadap ekonomi rakyat.
Paket Kebijakan Ekonomi Ke-16 November 2018 ini
adalah perluasan dari Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2006
sebelumnya, yang telah membuka bebas 176 bidang usaha untuk
investasi asing. Ausschaltungstendenz dan Einschaltungstendenz
bukanlah proses predatorik omong-kosong, mewujud dalam
dihilangkannya DNI.
Memang benar, membuka peluang bagi para investor
asing melalui pengapusan DNI belum tentu dapat menghadirkan
minat berinvestasi mereka. Namun dapat tidaknya penghapusan
DNI ini memancing investor asing bukanlah persoalan
esensialnya, melainkan merupakan masalah ketegaan mem-

17
promosikan peluang ekonomi di Indonesia secara murahan, yang
mengabaikan kedaulatan (hak ekonomi-politik) rakyat. Dengan
dorongan dari Pemerintah atau tidak, rakyat kita sebenarnyalah
mampu melakukan usaha sepele-sepele itu. Inilah wujud rutinitas
penggusuran “daulat rakyat” oleh “daulat pasar”.

Ekonomi Rakyat Menggeliat: Dari Konservatisme, ke


Populisme dan ke Lokalisme
Saya kutipkan apa yang kiranya relevan dengan gejala
mulai menggeliatnya ekonomi rakyat kita, di samping sebagian
daripadanya tersingkir dan tergusur.
“The localist revolution … . Localism is thriving because
the national government is dysfunctional while many towns are
reviving…” (David Brooks, The New York Times, 21-22 July,
2018).
Adalah benar yang dia katakan bahwa “keahlian” bu-
kanlah yang ada di dalam “think tanks”, melainkan ada di dalam
mereka yang memiliki “pengetahuan lokal”, yang mampu
merasakan bagaimana berbagai hal-hal bekerja di tempat spesifik
(yang tentunya penuh dengan local specifics dan local wisdoms).
Ekonomi rakyat terselip di dalamnya.
Secara umum dan keseluruhan belum nampak kebang-
kitan menonjol untuk ekonomi rakyat yang meliputi pertanian
rakyat, perkebunan rakyat, tambak rakyat, pelayaran rakyat,
pertambangan rakyat, palawija rakyat, kopra rakyat, kopi rakyat,
tembakau rakyat, karet rakyat, dst dst.
Namun, di kota-kota kita seperti Malang, Surabaya, Solo,
Jogja, Bandung, Padang, Medan, Palembang, Makassar dan pasti
juga di beberapa kota lain yang lebih di pelosok, dari observasi
sepintas telah mengisyaratkan usaha-usaha rakyat tertentu mulai
menggeliat. Yang semula dikenal sebagai usaha tradisional yang
stagnan, ternyata mulai nampak bangkit, seperti usaha kuliner,
18
aneka penganan kemasan, hortikultura kita, hidroponika,
kerajinan rakyat dan lain-lain usaha ekonomi kreatif, bergerak
bottom-up, mencari jalan keluar melepaskan tradisionalisme-
konvensional dan mulai menjadi kekuatan ekonomi lokal. Gerak
dinamis ini memberi kesempatan dan kesempatan berpe-
ngalaman maju. Pionir-pionir lokalis semacam ini, sesuai dengan
istilah David Brooks, merupakan “the crucial power-center at the
tip of the shovel, where actual work is being done”. Entah
darimana new entrepreneurial spirit ini muncul. Ini perlu
menjadi obyek penelitian bagi perguruan-perguruan tinggi di
daerah untuk menegaskan identitas dan eksistensi lokalnya.
Perlu saya angkat di sini pandangan Rajni Kotari (1976)
sebagai titik-tolak retorik-idealistik yang menekankan peran sub-
stansial rakyat dalam kehidupan ekonomi, ia mengatakan perlu-
nya mendesain suatu strategi: “…strategy which not only
produces for the mass of the people but in which the mass of the
people are also producers…” (strategi yang tidak hanya
memprodusir kebutuhan masa rakyat yang banyak, tetapi yang
masa rakyat yang banyak itu adalah produsen-produsennya
sendiri).
Jadi alangkah menyedihkannya bahwa kebutuhan rakyat
kita bukan dipenuhi oleh hasil-hasil produksi rakyat, melainkan
diimpor. Di atas telah saya kemukakan bahwa kita tidak berdaulat
dalam pangan, bibit, obat dasar, teknik industri, ekspor-impor,
energi, teknologi, pertahanan, tataguna bumi/air/kekayaan alam,
bahkan kita tidak berdaulat dalam legislasi. Kita patut sedih salah
mendesain strategi pembangunan yang mengabaikan peran
ekonomi rakyat. Seharusnya rakyat dimampukan dan
diberdayakan serta diberi kesempatan menghasilkan produk-
produk seperti apa yang diimpor saat ini, seperti ada di catatan
kaki di bawah ini.

19
Penutup
Mengabaikan kedaulatan ekonomi adalah mengabaikan
kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara. Pengabdian ini
mengambil berbagai bentuk, baik penjualan maupun peng-
gadaian yang tidak menjaga dengan baik sovereignty dan
territorial integrity Indonesia, yang pada hakikatnya dari
kacamata ekonomi adalah penggusuran “daulat rakyat” oleh
“daulat pasar”. Negara harus tampil, keberadaan pimpinan
nasional tidak boleh lagi lengah apalagi absen.
Beberapa bulan yang lalu di kawasan tertentu dari
sekelompok bisnis tertentu diberlakukan E-Money (E-voucher) di
mana pembayaran di lingkungan eksklusif itu tidak bisa dengan
tunai, harus menggunakan E-Money khusus (eksklusif) dari
kelompok bisnis tertentu itu. Ini adalah suatu penggarisan
territorial imperative, suatu territorial warfare yang secara
terang-terangan merupakan perenggutan kedaulatan negara.
Sayang negara membiarkannya.
Dapat dimengerti keprihatinan Gus Dur di halaman 2 dan
3 makalah ini, betapa para ekonom kita membangkang pesan-
pesan konstitusi.

20
Lampiran

BHINNEKA TUNGGAL IKA – SUKUBANGSA-SUKUBANGSA


(SELURUH INDONESIA, 27 PROVINSI, 1995)
Disusun oleh: Sri Edi Swasono

1. Bali: (4)
Bali, Loloan, Nyama Selam, Trunyan.
2. Bengkulu: (9)
Bengkulu, Enggano, Kaur, Lembak, Muko-Muko, Pekal, Rejang, Serawai,
Suban.
3. D.I. Aceh/NAD: (11)
Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Gayo-Lut, Gayo Lues, Gayo Serbejadi, Kluet,
Simeulu, Singkil, Tamiang.
4. DIY: (1)
Yogyakarta.
5. DKI: (1)
Betawi
6. Irian Jaya: (109)
Aero, Airo Sumaghaghe, Airoran, Ambai, Amberboken, Amungme, Anu, Arfak,
Asmat, Auyu, Ayfat, Baso, `Baudi, Berik, Bgu, Biak, Borto, Buruai, Citak, Damal,
Dani, Dem, Demisa, Demta, Dera, Edopi, Eipomek, Ekagi, Ekari, Emumu, Eritai,
Fau, Foau, Gebe, Gresi, Hattam, Humbold, Hupla, Inanwatan, Irarutu, Isirawa,
Iwur, Jaban, Jair, Kaburi, Kaeti, Kais, Kalabra, Kamberau, Kamoro, Kapauku,
Kapaur, Karon, Kasuweri, Kaygir, Kembrano, Kemtuk, Ketengban, Kimaghama,
Kimyal, Kokoda, Kmnai, Korowai, Kupol, Kurudu, Kwerba, Kwesten, Lani,
Maden, Mairasi, Mandobo, Maniwa, Mansim, Manhuke, Marind Anuim,
Maiyakh, Mey Brat, Mimika, Moire, Mombum, Moni, Mooi, Mosena, Murop,
Muyu, Nduga, Ngnalik, Ngnalum, Nimboran, Palamul, Palata, Pisa, Sailolof,
Samarokena, Sapran, Sawung, Sawuy, Sentani, Silimo, Tabati, Tehid, Timorini,
Uruwai, Waipam, Waipu, Wamesa, Wanggom, Wano, Waris, Waropen, Wodani,
Yahray, Wali, Yapen, Yaqay, Yei.
7. Jambi: (6)
Anak Dalam, Batin, Jambi, Kerinci, Pengkulu, Pindah.
8. Jawa Barat: (5)
Baduy, Banten, Cirebon, Naga, Sunda.
9. Jawa Tengah: (5)
Bagelen, Banyumas, Jawa, Nagarigung, Samin.
10. Jawa Timur: (6)
Bawean, Jawa, Madura, Surabaya, Tengger, Osing.
11. Kalimantan Barat: (71)
Babak, Badat, Barai, Bangau, Bukat, Cempedek, Dalam, Darat, Darok, Desa,
Dusun, Embaloh, Empayuh, Engkarong, Ensanang, Entungau, Galik, Gun, Iban,
Jangkang, Kalis, Kantuk, Kayan, Kayanatan, Kede, Kendayan, Keramai,
Klemantan, Kopak, Koyon, Lara, Limbai, Maloh, Mayau, Mentebak, Menyangka,
21
Menyanya, Merau, Mualang, Muara, Muduh, Muluk, Ngabang, Ngalampa,
Ngamukit, Nganayatn, Panu, Pengkedang, Pompang, Pontianak, Pos, Punti,
Randuk, Ribun, Sambas, Sanggau, Sani, Seberuang, Sekajang, Selayang,
Selimpat, Senangkan, Senunang, Sisang, Sintan, Suhaid, Sungkung, Suruh,
Tabuas, Taman, Tingui.
12. Kalimantan Selatan: (10)
Abai, Bakumpai, Banjar, Beaki, Berangas, Bukit, Dusun Deyah, Harakit,
Pagatan, Pitap.
13. Kalimantan Tengah: (10)
Bantian, Bawo, Lawangan, Maanyan, Ngaju, Ot Danum, Paku, Punan, Siang,
Tamuan.
14. Kalimantan Timur: (29)
Auheng, Baka, Bakung, Basap, Benuaq, Berau, Berusu, Bem, Bulungan, Busang,
Dayak, Huang Tering, Jalan, Kenyah, Kulit, Kutai, Long Gelat, Long Paka,
Modang, Oheng, Pasir, Penihing, Saq, Seputan, Tidung, Timai, Tou, Tukung,
Tunjung.
15. Lampung: (1)
Lampung.
16. Maluku: (51)
Alune, Ambon, Aru, Babar, Bacan, Bajoe, Banda, Buli, Buru, Galela, Gane, Gebe,
Halmahera, Haruku, Jailolo, Kao, Kei, Kisar, Kur, Laloda, Leti, Lumoli, Maba,
Makian, Mange, Mare, Memalu, Moa, Modole, Morotai, Nuaulu, Pagu, Patani,
Pelauw, Rana, Sahu, Sanana, Sawai, Seram, Siboyo, Sula, Tanimbar, Ternate,
Tidore, Tobaru, Tobelo, Togutil, Wai Apu, Wai Loa, Weda, Wemale.
17. Nusa Tenggara Barat: (9)
Bayan, Bima, Dompu, Donggo, Kore, Mata, Mbojo, Sasak, Sumbawa.
18. Nusa Tenggara Timur: (48)
Abui, Alor, Anas, Atanfui, Atoni, Babui, Bajawa, Bakifan, Blagar, Boti, Dawan,
Deing, Ende, Faun, Flores, Hanifeto, Helong, Kabola, Karera, Kawel, Kedang,
Kemak, Kemang, Kolana, Kramang, Krowe Muhang, Kui, Labala, Lamaholot,
Lemma, Lio, Manggarai, Marae, Maung, Mela, Modo, Muhang, Nagekeo, Ngada,
Moenleni, Riung, Rongga, Rote, Sabu, Sikka, Sumba, Tetun.
19. Riau: (12)
Akit, Anak Rawa, Bonai, Hutan, Kuala, Kubu, Laut, Lingga, Petalangan,
Riau, Sakai, Talang Mamak.
20. Sulawesi Selatan: (13)
Abung Bunga Mayang, Bentong, Bugis, Daya, Duri, Luwu, Makassar, Mandar,
Massenrengkulu, Selayar, Toala, Toraja, Towala-wala.
21. Sulawesi Tengah: (25)
Bada, Bajau, Balaesang, Balantak, Banggai, Bungku, Buol, Dampelas, Dondo,
Kaili, Muna, Mekongga, Mori, Napu, Pamona, Pipikoro, Saluan, Sea-sea, Tajio,
To Laki, Toli-Toli, Tomia, Tomini, Wakatobi, Wawoni.
22. Sulawesi Tenggara: (8)
Buton, To Laiwiu, To Landawe, To Mapute, Orang Butung, Orang Lajolo, Orang
Muna, Moronene.

22
23. Sulawesi Utara: (20)
Bantik, Bintauna, Bolaang Itang, Bolaanng Mongondow, Bolaang Uki, Borgo,
Gorontalo, Kaidipang, Minahasa, Mongondow, Polahi, Ponosakan, Ratahan,
Sangir, Talaud, Tombulu, Tonsawang, Tonsea, Tontemboan, Toulour.
24. Sumatra Barat: (2)
Mentawai, Minangkabau.
25. Sumatra Selatan: (29)
Ameng Sewang, Anak Dalam, Bangka, Belitung, Enim, Kayu Agung, Kikim,
Kisam, Komering, Lahat, Lematang, Lintang, KLom, Mapur, Meranjat, Musi
Banyuasin, Musi Rawas,Musi Sekayu, Ogan, Palembang, Pasemah, Pedamaran,
Pegagan, Rambang Senuling, Ranau, Rawas, Saling, Sekak, Semendo.
26. Sumatra Utara: (15)
Angkola, Asahan, Batak, Dairi, Deli, Karo, Langkat, Mandailing, Nias, Pakpak,
Psisir Natal, Siladang, Sumalungun, Toba, Ulu Muara Sipongi.
27. Timor Timur: (2)
Ilimano, Timor Timur.

Referensi Utama:
Melalatoa, M. Junus, Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995).

23

Anda mungkin juga menyukai