EKONOMI RAKYAT
DAN
KEDAULATAN
EKONOMI
Halaqoh Ekonomi: “Mengurai Konsep Ekonomi Gus Dur”
Forum Pecinta Gus Dur & Kelompok Studi Ekonomi Islam
CIES FEB UB
Malang, 31 Januari 2019
Sri-Edi Swasono
Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa
Guru Besar Universitas Indonesia
Guru Besar Luar Biasa Universitas Islam Negeri/UIN SH Jakarta
Guru Besar Luar Biasa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Ketua Dewan Pertimbangan INSTITUT SENI INDONESIA Surakarta
4
European (kulit putih – kelas teratas) dan kaum Vreemde
Oosterlingen (Timur Asing – kelas di tengah), dengan mene-
gaskan kesetaraan nondiskriminatori. Lalu menyadari bahwa
Indonesia Merdeka dalam konstitusinya menegaskan: “…tiap-
tiap warganegara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya…” (Pasal 27 ayat 1 UUD 1945).
Dengan kata lain, égalité sebagai tuntutan peradaban mondial
mulia telah kita kawal sejak awal kemerdekaan, kita ditegaskan di
situ dalam konteks keluhuran emansipasi dan humanisme.
Lagi-lagi terbukti sulit melaksanakan “tuntutan berbudaya
merdeka” di atas, tidak mudah melakukan cultural unlearning
fundamental semacam itu. Seperti kita lihat kita tetap minder
sebagai Inlander, tetap mudah kagum terhadap yang serba
western berikut gebyar-gebyar globalisasi yang menyertainya.
Sebagian terbesar dari kita tetap saja merasa sebagai eine Nation
von Kuli und Kuli unter den Nationen – bangsa kuli dan kulinya
bangsa-bangsa lain. Akibatnya “modernisasi” sering diartikan
sebagai “westernisasi”, bahkan kadang-kadang diartikan sebagai
tuntutan “eksklusivisasi parokhial” yang justru mengutuk
modernisme dan mendekatkan pada puritanisme fundamental
yang suicidal.
Kesadaran-kesadaran berdaulat, mandiri, berharkat-mar-
tabat, berkehidupan cerdas (tidak sekedar berotak cerdas),
tangguh, sakti, digdaya, dan mandraguna, merupakan
“tuntutan budaya” yang harus kita penuhi sebagai bangsa yang
telah berani menyatakan kemerdekaannya. Namun kiranya kita
telah gagal melakukan unlearning, gagal melepas mindset tekuk-
lutut, dan juga lengah menggariskan strategi budaya dalam
pembangunan nasional kita untuk dapat memenuhi “tuntutan
budaya” (dan “tugas budaya”) fundamental ini.
5
Kita bahkan lengah-budaya dengan menerima kembali
liberalisme dan kapitalisme yang justru kita tolak tatkala kita
menyatakan Kemerdekaan. Kita membiarkan pembangunan
nasional hanya mengejar “nilai-tambah ekonomi” yang artinya
hanya mengejar untuk “to have more”, lupa mengejar pula “nilai-
tambah sosial-kultural” agar mampu menjadi “to be more”,
mampu meraih nilai-tambah ketahanan dan kemartabatan
bangsa kita, mampu menjadikan bangsa ini bangsa berbobot,
berkaliber.
Ketika pada tahun 1973 saya menghadap Bung Hatta
menanyakan makna kepada beliau perkataan “mencerdaskan
kehidupan bangsa” yang ada di Pembukaan UUD 1945, saya
makin menyadari bahwa Proklamasi Kemerdekaan adalah Pro-
klamasi Budaya.
Barangkali di sinilah kecemasan nasional akhir-akhir ini
muncul tentang melunturnya nasionalisme. Memang terasakan
para elit kita lengah-budaya, yaitu lengah mengemban budaya
merdeka, budaya berdaulat, dan budaya mandiri, yaitu suatu
kegagalan budaya, yang ujungnya adalah tak mampunya me-
ngemban budaya nasionalistik-patriotik.3)
Kita lengah menjaga kedaulatan ekonomi yang memakan
(ngrikiti) kemerdekaan kita. Kita tidak berdaulat dalam pangan,
bibit, obat dasar, energi, teknologi, pertahanan, tataguna bu-
mi/air/kekayaan alam.
3) Saya dan Kwik Kian Gie sempat menemui Presiden SBY untuk menyampaikan
Jenderal dan para Intelektual pada tanggal 22 September 2018 di Jakarta yang diadakan
oleh forum Panitia Bersama Persaudaraan Indonesia.
7
menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan
sebagaimana saya kemukakan sebagai pertanyaan pertama di
atas.
Keempat, bukankah seharusnya kita menjadi Tuan di
Negeri Sendiri, menjadi “The Master in our own Homeland, not
just to become the Host”, yang hanya menjadi pelayan kepen-
tingan global dan mancanegara? Lalu mengapa kita tetap men-
jadi Koelie di Negeri Sendiri, mengapa kita hanya sekadar men-
jadi master of ceremony?
Kelima, mengapa kesejahteraan rakyat tidak kunjung
tercapai, kesenjangan antara kaya dan miskin sangat tajam.
Ketidakadilan pendapatan dan pemilikan makin melebar.
Globalisasi ekonomi dengan pasar-bebas dengan persaingan
dan perdagangan bebas bawaannya makin mempertajam
kesenjangan ini. Di sini rasa keadilan terusik, emansipasi dan
toleransi terganggu, kerukunan nasional akan berubah menjadi
konflik nasional, yang akan menggoyahkan kestabilan integrasi
nasional.
Keenam, mengapa kesenjangan antara kaya dan miskin
yang membentukkan kesenjangan frustasi (frustration-gap)
pada pihak si miskin, yaitu gap antara aspirasi imaginer dan
kenyataan faktual yang berkembang oleh dorongan iklan
konsumtif mewah dan makin meluasnya tarikan hidup
melimpah (affluency) yang dicontohkan oleh pihak yang kaya,
menumbuhkan kecemburuan sosial dan keresahan sosial yang
memagut, serta menyayat kedamaian.
Ketujuh, mengapa anak-anak muda kita terbiarkan
kehilangan jati-diri dan kebanggaan nasional sebagai akibat
globalisasi runyam. Lalu di mana kita menempatkan
kebanggaan kita mengenai keindonesiaan. Padahal seharusnya
kita harus mampu memberikan kebanggaan nasional Indonesia
kepada pemuda-pemudi kita.
Kedelapan, mengapa kita tidak secara tegas menyadari
bahwa pembangunan seharusnya mengutamakan ‘daulat
rakyat’, bukan mengutamakan ‘daulat pasar’-nya neoliberalisme
dan kapitalisme. Dengan “daulat-pasar” (market sovereignty)
itu, kita malahan kehilangan kedaulatan nasional: kita tidak
berdaulat dalam pangan, bibit, obat dasar, teknik industri,
ekspor-impor, energi, teknologi, pertahanan, tataguna
bumi/air/kekayaan alam, bahkan kita tidak berdaulat dalam
8
legislasi. Bagaimana ketakberdaulatan dan keterjajahan ini bisa
terjadi?
Kesembilan, kita memang tidak boleh memelihara
xenophobia, namun kita membiarkan bahwa ekonomi asing
mendominasi ekonomi nasional. Mengapa kita begini permisif,
apakah karena kita tidak mengemban kepedulian nasional
meskipun kita telah merdeka, ataukah karena kita masih tetap
servile sebagai Inlander. Dari segi makro ekonomi globalisasi
harus dengan tegar kita hadapi, sambil tetap menyadari bahwa
globalisasi bukanlah ajang penyerahan kedaulatan ke kekuatan-
kekuatan global.
Kesepuluh, kita telah berjuang habis-habisan untuk
mencapai Kemerdekaan Indonesia. Akhirnya kita merdeka dan
berdaulat dan memiliki sepenuhnya national sovereignty and
territorial integrity. Lalu mengapa kita tiba-tiba kendor dalam
kewaspadaan dan membiarkan kedaulatan nasional terjarah,
pengutamaan kepentingan nasional tidak lagi kita pegang teguh,
padahal hakikat nasionalisme adalah mengutamakan
kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggungjawab
global. Bahkan kita yang memperjuangkan onafhankelijkheid
atau ketaktergantungan bangsa sebagai picu memperoleh
kemerdekaan nasional, malahan saat ini kita tidak mandiri dan
banyak tergantung kepada kekuatan asing.5)
5) Butir kesepuluh ini tidak saya kemukakan pada acara 22 September 2018 di
atas.
9
buat perkuliahan di ruang-ruang kelas menjadi relevan untuk
meningkatkan pemahaman kita mengenai keindonesiaan.
Ekonomi rakyat adalah wujud dari ekonomi yang ber-
basis kemampuan rakyat (people-based economy) dan ekonomi
yang terpusat pada kepentingan rakyat (people-centered eco-
nomy) yang merupakan inti dari Pasal 33 UUD 1945 6), terutama
Ayat (1) dan Ayat (2)-nya.
Berikut ini akan digambarkan deskripsi maupun peran
strategis dari ekonomi rakyat.
Deskripsi
Istilah “perekonomian ra’jat” dan “ekonomi ra’jat” secara
tertulis pertamakali dikemukakan oleh Bung Hatta dalam
artikelnya berjudul “Pengaroeh Koloniaal Kapitaal di Indonesia”,
dalam majalah Daulat Ra’jat, edisi 20 November 1931.7)
Apa yang dikemukakan oleh Hatta di dalam Daulat
Ra’jat, 20 November 1931 itu senada dengan orientasi kerakyatan
dan digambarkan oleh Bung Hatta pada artikel-artikelnya berjudul “Pendirian Kita”
(Daulat Ra’jat, 10 September 1932). “Krisis Dunia dan Nasib Ra’jat Indonesia” (Daulat
Ra’jat, 20 September 1932), “Ekonomi Ra’jat” (Daulat Ra’jat, 20 November 1933) dan
yang paling monumental adalah artikelnya yang berjudul “Ekonomi Ra’jat dalam Bahaja”
(Daulat Ra’jat, 10 Juni 1934). Di antara tulisan-tulisan Bung Hatta antara 1931 dan 1934
Bung Hatta menulis banyak mengenai ekonomi rakyat dan kesengsaraan rakyat di bawah
cultuurstelsel sebagai eksploitasi negara (staatsexploitatie).
10
yang kemudian menjiwai kemerdekaan Indonesia untuk
melengserkan “Daulat Tuanku” dan menggantikannya dengan
“Daulat Rakyat”. Perekonomian koloniaal kapitaal (kapitalisme
kolonial) ini bermula dengan perompakan VOC, kemudian pada
diberlakukannya Cultuurstelsel J van den Bosch dan pelaksanaan
UU Agraria 1870 oleh pemerintah kolonial Belanda.8)
Ekonomi rakyat adalah riil dan konkret. Oleh karena itu
lebih tepat apabila kita meninjaunya dari segi kenyataan yang
ada secara sederhana, melalui common sense, yaitu bahwa kita
memiliki pertanian rakyat, perkebunan rakyat, perikanan
rakyat, tambak rakyat, pelayaran rakyat, kerajinan rakyat, in-
dustri rakyat, penggalian rakyat, pertambangan rakyat, per-
tukangan rakyat, bahkan yang teramat penting bagi kehidupan
sehari-hari adalah bahwa kita memiliki dan hidup dari pasar-
pasar rakyat. Kita kenal pula ekonomi rakyat yang berbasis
komoditi seperti kopra rakyat, kopi rakyat, karet rakyat, cengkeh
rakyat, tembakau rakyat, dan seterusnya, yang menjadi pe-
nyangga/sokoguru bagi industri prosesing di atasnya.
Keberadaan ekonomi rakyat justru tidak boleh dilihat dari
segi pemihakan semata-mata, apalagi dari segi caritas-filantropis.
Ekonomi rakyat justru mempunyai peran strategis di dalam
sistem dan struktur ekonomi.
Dengan peran strategisnya ekonomi rakyat memberikan
kontribusi sangat besar terhadap kehidupan ekonomi nasional
daerah dan ekonomi nasional. Tidak hanya terhadap GDP juga
terhadap kemudahan hidup dan nilai-tambah non-ekonomi.
8) Perlu dicatat konsistensi Bung Hatta ketika merumuskan Pasal 33 UUD 1945,
ketiga ayatnya sangat people-based dan people-centered. Tidak heran ketika Bung Hatta
mempimpin Panitia Pemikir Siasat Ekonomi (1947) ekonomi rakyat dan kepentingan
rakyat mendapat prioritas dan kemudian sebagai Perdana Menteri (1949) secara eksplisit
Program Kabinet-nya (butir 4) menegaskan untuk “…Berusaha memperbaiki ekonomi
rakyat…”, dst.
11
Makna Strategis
Makna ekonomi rakyat sebagai strategi pembangunan itu,
antara lain: (1) Dengan rakyat yang secara partisipatori-eman-
sipatori berkesempatan aktif dalam kegiatan ekonomi akan lebih
menjamin nilai-tambah ekonomi optimal yang mereka hasilkan
dapat secara langsung diterima oleh rakyat. Pemerataan akan ter-
jadi seiring dengan pertumbuhan. (2) Memberdayakan rakyat
merupakan tugas nasional untuk meningkatkan produktivitas
rakyat sehingga rakyat lebih secara konkret menjadi aset aktif
pembangunan. Subsidi dan proteksi kepada rakyat untuk mem-
bangun diri dan kehidupan ekonominya merupakan investasi
ekonomi nasional dalam bentuk investasi sumber insani manusia
(human investment), bukan pemborosan atau inefficiency, serta
mendorong tumbuhnya kelas menengah yang berbasis akar
rumput (grass-roots). (3) Pembangunan ekonomi rakyat
meningkatkan daya-beli rakyat yang kemudian akan menjadi
energi rakyat untuk lebih mampu membangun dirinya-sendiri
(self-empowering), sehingga rakyat mampu meraih “nilai-
tambah ekonomi” dan sekaligus “nilai-tambah sosial” (nilai-
tambah kemartabatan). (4) Pembangunan ekonomi rakyat
sebagai pemberdayaan rakyat secara bersama-sama (ber-jemaah)
akan merupakan peningkatan posisi tawar kolektif (collective
bargaining position) untuk lebih mampu mencegah eksploitasi
dan subordinasi ekonomi terhadap rakyat. (5) Dengan rakyat
yang lebih aktif dan lebih produktif dalam kegiatan ekonomi
maka nilai-tambah ekonomi akan sebanyak mungkin terjadi di
dalam-negeri dan untuk kepentingan ekonomi dalam-negeri. (6)
Pembangunan ekonomi rakyat akan lebih menyesuaikan ke-
mampuan rakyat yang ada dengan sumber-sumber dalam-negeri
yang tersedia (endowment factor Indonesia), artinya berdasar
strategi yang hanya menggunakan sumber-sumber lokal
(resources-based) dan terpusat pada rakyat (people-centered).
12
(7) Pembangunan ekonomi rakyat akan lebih menyerap tenaga
kerja. (8) Pembangunan ekonomi rakyat akan bersifat lebih
“cepat menghasilkan” (quick-yielding) dalam suasana ekonomi
yang sesak napas dan langka modal, dst dst. … .
(15) Secara keseluruhannya, butir-butir tersebut di atas
akan lebih menjamin terjadinya pembangunan Indonesia, bukan
sekadar pembangunan di Indonesia. (16) Pembangunan ekonomi
kerakyatan bertumpu pada platform bahwa yang kita bangun
adalah rakyat, bangsa dan negara. Pembangunan pertumbuhan
ekonomi (GNP) adalah derivat dari platform ini, sebagai
pendukung dan fasilitator bagi pembangunan rakyat, bangsa dan
negara. (17) Dalam kenyataan, ekonomi rakyat mampu meng-
hidupi sebagian terbesar dari rakyat Indonesia, di tengah-tengah
pasang-surutnya sektor perekonomian formal-modern, sejak awal
kemerdekaan hingga saat ini. (18) Selama ini, khususnya dalam
masa-masa sulit, ekonomi rakyat memberikan lapangan kerja dan
juga memberi kehidupan murah (low cost economy dan low cost
of living) kepada rakyat, khususnya kepada buruh-buruh
korporasi-korporasi besar berupah rendah. Dengan kata lain
ekonomi rakyat memberi trickle-up effect atau mensubsidi
perekonomian besar. (Proses trickle-down effect neoliberalistik
menjadi ilusif dan delusif). (19) Pendekatan kooperativisme
dalam membangun ekonomi rakyat akan menumbuhkan
kekuatan ekonomi berganda-ganda (sinergisme propagatif).
Wadah ekonomi rakyat yang paling tepat adalah koperasi.
Koperasi merupakan badan usaha ekonomi yang berwatak sosial,
yang menampung perikehidupan kebersamaan dengan saling
bekerjasama tolong-menolong, bergotong-royong alamiah seperti
komunitas semut, baik dalam memproduksi, mengkonsumsi,
mendistribusi maupun dalam mempertahankan diri.
13
Nasionalisme dan Kedaulatan Dikorbankan
Dari penelitian AEPI/Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia,
Salamuddin Daeng, saat ini (16/9/2016) tercatat 9): “…investor
asing menguasai 85% porsi kepemilikan publik pada saham
BUMN. Bagi kaum ekonom liberalis hal ini menunjukkan
keuntungan BUMN memberi daya tarik kepada investor asing.
Yang artinya pemilikan BUMN oleh asing ataukah oleh swasta
tidak lagi dipersoalkan betapa pun bertentangan dengan Pasal 33
ayat 2 bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara”. Penguasaan 85% cabang-cabang produksi strategis
(BUMN) oleh asing ini tidak lagi menjadi kewaspadaan bagi
pemerintahan negara saat ini. Lebih lanjut dapat dikemukakan
betapa kita lengah tentang peranan strategis perbankan sebagai
urat nadi sebagai perekonomian nasional. Bank-Bank BUMN pun
makin meningkat penguasaannya oleh asing. Bank BRI 43,25%
dilepas ke publik dan sebagian besar (81,44%) dibeli oleh asing.
Demikian pula Bank Mandiri 40,00% sahamnya dimiliki oleh
publik dan sebagian dari (79,73%) dimiliki oleh asing.
Demikian pula saat ini modal asing menempati posisi
mayoritas dalam struktur investasi di Indonesia, posisi akhir
tahun 2016 investasi asing mencapai 64,4%, di luar minyak dan
gas, lembaga keuangan non-bank dan investasi yang perizinannya
diberikan instansi lain.
Di Papua, kontrak kaya Freeport seluas 2,6 juta hektar,
HPH 15 juta hektar, HTI 1,5 juta hektar, perkebunan 5,4 juta
hektar, yang berarti meliputi 57% luas daratan Papua, belum
termasuk kontrak kerja Migas, merupakan investasi asing.
15
milyar investasi asing yang tertanam di Indonesia dalam 1 tahun
(2010-2014) sebanding dengan USD 12 milyar yang ditransfer
kembali ke luar-negeri ke negeri asal sebagai keuntungan…”.
17
promosikan peluang ekonomi di Indonesia secara murahan, yang
mengabaikan kedaulatan (hak ekonomi-politik) rakyat. Dengan
dorongan dari Pemerintah atau tidak, rakyat kita sebenarnyalah
mampu melakukan usaha sepele-sepele itu. Inilah wujud rutinitas
penggusuran “daulat rakyat” oleh “daulat pasar”.
19
Penutup
Mengabaikan kedaulatan ekonomi adalah mengabaikan
kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara. Pengabdian ini
mengambil berbagai bentuk, baik penjualan maupun peng-
gadaian yang tidak menjaga dengan baik sovereignty dan
territorial integrity Indonesia, yang pada hakikatnya dari
kacamata ekonomi adalah penggusuran “daulat rakyat” oleh
“daulat pasar”. Negara harus tampil, keberadaan pimpinan
nasional tidak boleh lagi lengah apalagi absen.
Beberapa bulan yang lalu di kawasan tertentu dari
sekelompok bisnis tertentu diberlakukan E-Money (E-voucher) di
mana pembayaran di lingkungan eksklusif itu tidak bisa dengan
tunai, harus menggunakan E-Money khusus (eksklusif) dari
kelompok bisnis tertentu itu. Ini adalah suatu penggarisan
territorial imperative, suatu territorial warfare yang secara
terang-terangan merupakan perenggutan kedaulatan negara.
Sayang negara membiarkannya.
Dapat dimengerti keprihatinan Gus Dur di halaman 2 dan
3 makalah ini, betapa para ekonom kita membangkang pesan-
pesan konstitusi.
20
Lampiran
1. Bali: (4)
Bali, Loloan, Nyama Selam, Trunyan.
2. Bengkulu: (9)
Bengkulu, Enggano, Kaur, Lembak, Muko-Muko, Pekal, Rejang, Serawai,
Suban.
3. D.I. Aceh/NAD: (11)
Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Gayo-Lut, Gayo Lues, Gayo Serbejadi, Kluet,
Simeulu, Singkil, Tamiang.
4. DIY: (1)
Yogyakarta.
5. DKI: (1)
Betawi
6. Irian Jaya: (109)
Aero, Airo Sumaghaghe, Airoran, Ambai, Amberboken, Amungme, Anu, Arfak,
Asmat, Auyu, Ayfat, Baso, `Baudi, Berik, Bgu, Biak, Borto, Buruai, Citak, Damal,
Dani, Dem, Demisa, Demta, Dera, Edopi, Eipomek, Ekagi, Ekari, Emumu, Eritai,
Fau, Foau, Gebe, Gresi, Hattam, Humbold, Hupla, Inanwatan, Irarutu, Isirawa,
Iwur, Jaban, Jair, Kaburi, Kaeti, Kais, Kalabra, Kamberau, Kamoro, Kapauku,
Kapaur, Karon, Kasuweri, Kaygir, Kembrano, Kemtuk, Ketengban, Kimaghama,
Kimyal, Kokoda, Kmnai, Korowai, Kupol, Kurudu, Kwerba, Kwesten, Lani,
Maden, Mairasi, Mandobo, Maniwa, Mansim, Manhuke, Marind Anuim,
Maiyakh, Mey Brat, Mimika, Moire, Mombum, Moni, Mooi, Mosena, Murop,
Muyu, Nduga, Ngnalik, Ngnalum, Nimboran, Palamul, Palata, Pisa, Sailolof,
Samarokena, Sapran, Sawung, Sawuy, Sentani, Silimo, Tabati, Tehid, Timorini,
Uruwai, Waipam, Waipu, Wamesa, Wanggom, Wano, Waris, Waropen, Wodani,
Yahray, Wali, Yapen, Yaqay, Yei.
7. Jambi: (6)
Anak Dalam, Batin, Jambi, Kerinci, Pengkulu, Pindah.
8. Jawa Barat: (5)
Baduy, Banten, Cirebon, Naga, Sunda.
9. Jawa Tengah: (5)
Bagelen, Banyumas, Jawa, Nagarigung, Samin.
10. Jawa Timur: (6)
Bawean, Jawa, Madura, Surabaya, Tengger, Osing.
11. Kalimantan Barat: (71)
Babak, Badat, Barai, Bangau, Bukat, Cempedek, Dalam, Darat, Darok, Desa,
Dusun, Embaloh, Empayuh, Engkarong, Ensanang, Entungau, Galik, Gun, Iban,
Jangkang, Kalis, Kantuk, Kayan, Kayanatan, Kede, Kendayan, Keramai,
Klemantan, Kopak, Koyon, Lara, Limbai, Maloh, Mayau, Mentebak, Menyangka,
21
Menyanya, Merau, Mualang, Muara, Muduh, Muluk, Ngabang, Ngalampa,
Ngamukit, Nganayatn, Panu, Pengkedang, Pompang, Pontianak, Pos, Punti,
Randuk, Ribun, Sambas, Sanggau, Sani, Seberuang, Sekajang, Selayang,
Selimpat, Senangkan, Senunang, Sisang, Sintan, Suhaid, Sungkung, Suruh,
Tabuas, Taman, Tingui.
12. Kalimantan Selatan: (10)
Abai, Bakumpai, Banjar, Beaki, Berangas, Bukit, Dusun Deyah, Harakit,
Pagatan, Pitap.
13. Kalimantan Tengah: (10)
Bantian, Bawo, Lawangan, Maanyan, Ngaju, Ot Danum, Paku, Punan, Siang,
Tamuan.
14. Kalimantan Timur: (29)
Auheng, Baka, Bakung, Basap, Benuaq, Berau, Berusu, Bem, Bulungan, Busang,
Dayak, Huang Tering, Jalan, Kenyah, Kulit, Kutai, Long Gelat, Long Paka,
Modang, Oheng, Pasir, Penihing, Saq, Seputan, Tidung, Timai, Tou, Tukung,
Tunjung.
15. Lampung: (1)
Lampung.
16. Maluku: (51)
Alune, Ambon, Aru, Babar, Bacan, Bajoe, Banda, Buli, Buru, Galela, Gane, Gebe,
Halmahera, Haruku, Jailolo, Kao, Kei, Kisar, Kur, Laloda, Leti, Lumoli, Maba,
Makian, Mange, Mare, Memalu, Moa, Modole, Morotai, Nuaulu, Pagu, Patani,
Pelauw, Rana, Sahu, Sanana, Sawai, Seram, Siboyo, Sula, Tanimbar, Ternate,
Tidore, Tobaru, Tobelo, Togutil, Wai Apu, Wai Loa, Weda, Wemale.
17. Nusa Tenggara Barat: (9)
Bayan, Bima, Dompu, Donggo, Kore, Mata, Mbojo, Sasak, Sumbawa.
18. Nusa Tenggara Timur: (48)
Abui, Alor, Anas, Atanfui, Atoni, Babui, Bajawa, Bakifan, Blagar, Boti, Dawan,
Deing, Ende, Faun, Flores, Hanifeto, Helong, Kabola, Karera, Kawel, Kedang,
Kemak, Kemang, Kolana, Kramang, Krowe Muhang, Kui, Labala, Lamaholot,
Lemma, Lio, Manggarai, Marae, Maung, Mela, Modo, Muhang, Nagekeo, Ngada,
Moenleni, Riung, Rongga, Rote, Sabu, Sikka, Sumba, Tetun.
19. Riau: (12)
Akit, Anak Rawa, Bonai, Hutan, Kuala, Kubu, Laut, Lingga, Petalangan,
Riau, Sakai, Talang Mamak.
20. Sulawesi Selatan: (13)
Abung Bunga Mayang, Bentong, Bugis, Daya, Duri, Luwu, Makassar, Mandar,
Massenrengkulu, Selayar, Toala, Toraja, Towala-wala.
21. Sulawesi Tengah: (25)
Bada, Bajau, Balaesang, Balantak, Banggai, Bungku, Buol, Dampelas, Dondo,
Kaili, Muna, Mekongga, Mori, Napu, Pamona, Pipikoro, Saluan, Sea-sea, Tajio,
To Laki, Toli-Toli, Tomia, Tomini, Wakatobi, Wawoni.
22. Sulawesi Tenggara: (8)
Buton, To Laiwiu, To Landawe, To Mapute, Orang Butung, Orang Lajolo, Orang
Muna, Moronene.
22
23. Sulawesi Utara: (20)
Bantik, Bintauna, Bolaang Itang, Bolaanng Mongondow, Bolaang Uki, Borgo,
Gorontalo, Kaidipang, Minahasa, Mongondow, Polahi, Ponosakan, Ratahan,
Sangir, Talaud, Tombulu, Tonsawang, Tonsea, Tontemboan, Toulour.
24. Sumatra Barat: (2)
Mentawai, Minangkabau.
25. Sumatra Selatan: (29)
Ameng Sewang, Anak Dalam, Bangka, Belitung, Enim, Kayu Agung, Kikim,
Kisam, Komering, Lahat, Lematang, Lintang, KLom, Mapur, Meranjat, Musi
Banyuasin, Musi Rawas,Musi Sekayu, Ogan, Palembang, Pasemah, Pedamaran,
Pegagan, Rambang Senuling, Ranau, Rawas, Saling, Sekak, Semendo.
26. Sumatra Utara: (15)
Angkola, Asahan, Batak, Dairi, Deli, Karo, Langkat, Mandailing, Nias, Pakpak,
Psisir Natal, Siladang, Sumalungun, Toba, Ulu Muara Sipongi.
27. Timor Timur: (2)
Ilimano, Timor Timur.
Referensi Utama:
Melalatoa, M. Junus, Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995).
23