Anda di halaman 1dari 57

HALAMAN SAMPUL

UPAYA PEMERINTAH DAERAH DALAM MENANGANI KASUS


PERDAGANGAN MANUSIA: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR

SKRIPSI

Oleh

Syifa Hevana Chaerunnisa 1901495686

International Relations Program


International Relation Study Program
Faculty of Humanities
Universitas Bina Nusantara
Jakarta
2019
HALAMAN JUDUL
UPAYA PEMERINTAH DAERAH DALAM MENANGANI KASUS
PERDAGANGAN MANUSIA: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR

SKRIPSI
diajukan sebagai salah satu syarat
untuk gelar kesarjanaan pada
Program Studi Hubungan Internasional
Jenjang Pendidikan Strata-1

Oleh

Syifa Hevana Chaerunnisa 1901495686

International Relations Program


International Relation Study Program
Faculty of Humanities
Universitas Bina Nusantara
Jakarta
2019

ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Universitas Bina Nusantara

Pernyataan Penyusunan Skripsi untuk Sidang Skripsi

Pernyataan Penyusunan Skripsi

Saya, Christine Maria Masniari dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

ANALISIS KEBIJAKAN INDONESIA TERHADAP PENANGANAN


PENGUNGSI BERDASARKAN KONVENSI 1951 MENGENAI STATUS
PENGUNGSI

THE ANALYSIS OF INDONESIA’S POLICY ON REFUGEES TREATMENT


BASED ON THE 1951 CONVENTION RELATING TO THE STATUS OF
REFUGEES

adalah benar hasil karya saya dan belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah,
sebagian atau seluruhnya, atas nama saya atau pihak lain

Christine Maria Masniari

1901507660

Disetujui oleh Dosen Pembimbing

Saya setuju Skripsi diajukan untuk Sidang Skripsi

OK. Mohammad Fajar Ikhsan, B.A(hons)., M.Sc. ___________________

D5866

iii
UNIVERSITAS BINA NUSANTARA

International Relations Program


International Relations Study Program
Faculty of Humanities
Skripsi Sarjana Hubungan Internasional
Semester Genap 2018/2019

UPAYA PEMERINTAH DAERAH DALAM MENANGANI


KASUS PERDAGANGAN MANUSIA: STUDI KASUS DI
KABUPATEN BOGOR

Syifa Hevana Chaerunnisa 1901495686

ABSTRACT

The main focus of this research is to look at the background and efforts of the local
government in handling the case of human trafficking in Bogor Regency. Findings on
this study saw that the local government of Bogor Regency has made various efforts
to prevent human trafficking such as establishment of Task Force for the Prevention
of criminal acts of trafficking, socialization, and other Etc. This research saw that
the efforts made by the local government of Bogor regency have been in accordance
with what is contained in the theory of national security and also human security. In
this study also mentioned various motives, mode, from the perpetrators of human
trafficking as well as the punishment of what will be accepted by the perpetrator in
accordance with Law No. 21 of 2007.

Keywords: Human Trafficking, National Security , Human Security, Criminal, Law,


Local Government.
ABSTRAK

Fokus utama penelitian ini adalah melihat latar belakang dan upaya pemerintah
daerah dalam menangani kasus perdagangan manusia di Kabupaten Bogor. Temuan
pada penelitian ini melihat bahwa pemerintah daerah Kabupaten Bogor telah
melakukan berbagai upaya untuk melakukan pencegahan perdagangan manusia
seperti pembentukan gugus tugas untuk pencegahan tindak pidana perdagangan
orang, sosialisasi, dan lain sebagainya. Penelitian ini melihat bahwa upaya yang di
lakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor telah sesuai dengan apa yang
terkandung di dalam teori Keamanan Nasional dan juga Keamanan Manusia. Dalam
penelitian ini juga disebutkan berbagai motif, modus dari pelaku perdagangan
manusia serta hukuman apa yang akan diterima oleh pelaku sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007.

Kata Kunci: Perdagangan Manusia, Keamanan Nasional, Keamanan Manusia,


Kriminal, Hukum, Pemerintah Daerah.

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik
dan tepat waktu. Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai satu persyaratan untuk
gelar kesarjanaan pada Program Studi Hubungan Internasional Jenjang Pendidikan
Strata-1. Dalam penyusunan Skripsi yang berjudul “Upaya Pemerintah Daerah dalam
Menangani Kasus Perdagangan Manusia: Studi Kasus Kabupaten Bogor”, saya
menyadari bahwa tidak terlepas dari dukungan dan semangat, serta bimbingan dari
beberapa pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Kepada Allah SWT, yang senantiasa memberikah rahmat-Nya dan juga
perlindungan kepada penulis.
2. Kepada kepada kedua orangtua penulis terutama Ibu Dyah Marina Handayani,
yang selalu memberikan dukungan secara moril dan materiil.
3. Prof. Dr. Tirta Nugraha Mursitama, Ph.D., selaku Ketua Jurusan Hubungan
Internasional Bina Nusantara
4. Muhammad Fajar Ikhsan, B.A(hons)., M.Sc., selaku pembimbing utama yang
telah memberikan bimbingan, masukan serta waktunya selama penelitian dan
penulisan skripsi ini
5. Seluruh dosen, dan staf-staf Program Studi Hubungan Internasional
Universitas Bina Nusantara
6. Kepada teman seperjuangan skripsi Hubungan internasional, Evi Yutikasari,
Anisa Permata Harlinda, Safira Ifriani, Arwin, Aliani Andrea, Herning Puspita
Dewi, yang selalu senantiasa membantu penulis dan mengingatkan penulis
jika ada kekurangan dalam pengerjaan skripsi ini dan seluruh teman-teman
yang ada di jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara.
7. Kepada A Leo Valisa yang senantiasa memberikan dukungan tiada henti
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sebaik baiknya.
8. Kepada teman penulis yang selalu mendukung penulis dan mengingatkan
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, Deas Sukma Triaji, Andini
Sandinomo, Mochamad Rizky Fadhillah, Deva Wiguna, Muhammad Satrio
Pinandito, Rengga Brata Arisa Yudha, Raiz, Ardianto Samudro, Agusyah
Putra, Zulfandi Abbas, Naufal Mowandy, Ferry Harsyani, Afriansyah.

v
9. Semua pihak yang tidak tersebutkan namanya satu persatu.

Penyusunan Skripsi ini disusun dengan sebaik-baiknya, namun penulis


menyadari bahwa masih terdapat kekurangan didalamnya. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak.
Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat serta dapat menjadi referensi bagi pembaca
yang membutuhkan.

Jakarta

Penyusun
Syifa Hevana Chaerunnisa

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................................ i


HALAMAN JUDUL .................................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... iii
ABSTRACT ................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xi
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Pengenalan ............................................................................................................. 1
1.2 Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.3 Rumusan Masalah .................................................................................................. 3
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................... 3
1.5 Signifikansi ............................................................................................................ 3
1.6 Tinjauan Pustaka .................................................................................................... 4
1.6.1Operasionalisasi Konsep ................................................................................ 10
1.7 Hipotesis............................................................................................................... 10
1.8 Metode Penelitian................................................................................................. 11
1.8.1Teknik Analisa Data ....................................................................................... 11
1.9 Pembabakan ......................................................................................................... 11
1.10 Kesimpulan ........................................................................................................ 12
BAB 2 SEJARAH DAN KONTEKS ...................................................................... 13
2.1 Pengenalan ........................................................................................................... 13
2.2 Sejarah Perdagangan Manusia ............................................................................. 13
2.3 Sejarah Kabupaten Bogor. ................................................................................... 16
2.4 Gambaran Umum Kabupaten Bogor .................................................................... 17
2.5 Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang ............................ 20
2.6 Kesimpulan .......................................................................................................... 22
BAB 3 PEMBAHASAN ........................................................................................... 25

vii
3.1 Pengenalan ........................................................................................................... 25
3.2 Perdagangan Manusia di Kabupaten Bogor ......................................................... 25
3.3 Upaya Penanganan dan Pencegahan Perdagangan Manusia di Kabupaten ......... 27
3.4 Analisis Upaya Pemerintah Daerah Menggunakan Teori Keamanan .................. 31
3.5 Kesimpulan .......................................................................................................... 33
BAB 4 PENUTUP..................................................................................................... 35
4.1 Pengenalan ........................................................................................................... 35
4.2 Implikasi Penelitian / Kajian ................................................................................ 35
4.2.1 Implikasi Teoritis .......................................................................................... 35
4.2.2 Implikasi Praktikal untuk Kebijakan ............................................................. 35
4.3 Limitasi Kajian dan Keterbatasan dalam Kajian .................................................. 36
4.4 Saran Penelitian .................................................................................................... 36
4.5 Penutup................................................................................................................. 36
REFERENCES ......................................................................................................... 39
LAMPIRAN .............................................................................................................. L1
SURAT SURVEI
RIWAYAT HIDUP

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Operasionalisasi Konsep ............................................................................ 10


Tabel 2.1 Data Kependudukan Kabupaten Bogor...................................................... 19
Tabel 3.1 Data Perdagangan Manusia di Kabupaten Bogor ...................................... 26

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Wilayah Kabupaten Bogor ............................................................. 19

x
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 WAWANCARA ............................................................................... L1

xi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Pengenalan
Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang tentang apa itu
perdagangan manusia seperti bagaimana dapat terjadinya perdagangan manusia ,
jenis-jenis dari perdagangan manusia, serta ciri-ciri dari target perdagangan manusia.
Pada bab ini juga terdapat Literature Review sebagai data pendukunguntuk tulisan
ini.

1.2 Latar Belakang


Perdagangan manusia atau yang biasa dikenal dengan Human Trafficking
merupakan praktik kegiatan jual beli terhadap manusia. Perdagangan manusia dapat
dikatakan sebagai perbudakan modern yang melibatkan kekerasan, penipuan, atau
paksaan untuk mendapatkan beberapa jenis kerja atau tindakan seks komersial.
Setiap tahun jutaan pria, wanita, dan anak-anak diperdagangkan di negara-negara di
seluruh dunia. Diperkirakan perdagangan manusia menghasilkan untung milyaran
dolar per tahun, terbanyak kedua setelah perdagangan narkoba sebagai bentuk
kejahatan transnasional yang paling menguntungkan. Perdagangan manusia adalah
kejahatan tersembunyi karena para korban jarang datang untuk mencari bantuan
karena kendala bahasa, ketakutan terhadap para pedagang, atau takut akan penegakan
hukum (www.dhs.gov, di akses pada 18 Desember 2018).
Pedagang manusia menggunakan kekerasan, penipuan, atau paksaan untuk
memikat korban mereka dan memaksa mereka menjadi pekerja atau eksploitasi
seksual komersial. Mereka mencari orang-orang yang rentan terhadap berbagai
alasan, termasuk kerentanan psikologis atas emosional, kesulitan ekonomi,
kurangnya jaring pengaman sosial, bencana alam, atau ketidakstabilan politik.
Trauma yang disebabkan oleh pelaku trafiking bisa sangat besar sehingga banyak
yang mungkin tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai korban atau meminta
bantuan, bahkan dalam situasi yang sangat umum (www.dhs.gov, di akses pada 18
Desember 2018).
Perdagangan manusia merupakan kejahatan serius dan merupakan
pelanggaran berat bagi Hak Asasi Manusia. Dalam praktiknya perdagangan manusia
memiliki 3 unsur pokok yaitu The Acts (Apa yang dilakukan), The Means

1
2

(Bagaimana praktik ini terjadi), The Purpose (Tujuan dari praktik ini). The Acts
meliputi rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyimpanan atau penerimaan
manusia. The Means meliputi ancaman atau penggunaan kekerasan, pemaksaan,
penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, memberikan bayaran atau
keuntungan lainnya kepada seorang yang ‘mengendalikan’ korban. Sedangkan The
Purpose meliputi eksploitasi, yang dimana kegiatan eksploitasi tersebut terbagi
menjadi beberapa hal seperti pekerja seks komersial, perbudakan, kerja paksa,
eksploitasi seksual, dan juga pengambilan organ dalam (tubuh) manusia(UNODC).
Di Indonesia, perdagangan manusia adalah masalah yang mendesak. Dengan
lebih dari 32 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan di negara kepulauan
yang luas ini, ribuan orang Indonesia setiap tahun berakhir dalam kondisi kerja yang
mengindikasikan perdagangan manusia. Dan begitu seorang korban perdagangan
manusia kembali ke rumah, siksaan terjadi karena terjebak dalam perbudakan
modern terlalu sering diikuti dengan perjuangan pribadi yang menakutkan untuk
menyatukan kembali kehidupan mereka(Nexus Human Trafficking, 2017).
Seringkali, para korban perdagangan manusia tidak tahu layanan apa yang
menjadi hak mereka dan bagaimana mengaksesnya. Mereka yang menerima bantuan
dari pemerintah atau masyarakat sipil tidak selalu menerima bantuan yang
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing atau secara memadai guna
mendukung upaya mereka untuk berintegrasi.Orang Indonesia terperangkap sebagai
korban perdagangan di banyak negara di dunia.Korban dari perdagangan orang
(Indonesia) termasuk pria, wanita dan anak-anak yang di eksploitasi secara seksual
atau untuk kerja. Layanan dan dukungan reintegrasi perlu disesuaikan dengan
pengalaman dan kebutuhan bantuan masing-masing individu yang unik dan
spesifik(Nexus Human Trafficking, 2017).
Orang Indonesia di perdagangkan di dalam negeri atau dieksploitasi di luar
negeri, di negara-negara tetangga dan negara lainnya termasuk Timur Tengah, Afrika
dan Amerika Latin. Karena terbatasnya pemahaman tentang perdagangan manusia di
antara banyak praktisi dan pejabat pemerintah, banyak korban perdagangan manusia
tidak teridentifikasi.korban seringkali tidak teridentifikasi karena polisi dan penyedia
layanan sering tidak mengakui bahwa laki-laki dapat di perdagangkan atau bahwa
korban dapat di perdagangkan untuk kerja. Korban sendiri seringkali tidak
mengetahui bahwa pengalaman mereka tentang eksploitasi sementara sebagai
3

pekerja migran termasuk kedalam kejahatan perdagangan manusia dan kerja


paksa(Nexus Human Trafficking, 2017).
Menurut Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana
kabupaten Bogor, angka perdagangan manusia di kabupaten Bogor terus naik di
setiap tahunnya. Kenaikan dari jumlah perdagangan manusia menghasilkan dua arti,
yang pertama adanya peningkatan dalam kasus perdagangan manusia di kabupaten
Bogor dan yang kedua adanya kesadaran dari masyarakat untuk melapor tentang
perdagangan manusia. Korban perdagangan manusia di kabupaten Bogor didominasi
oleh perempuan dan anak. Korban sering kali terperangkap dalam kehidupan yang
sama sekali tidak mereka inginkan dan penuh dengan penderitaan, seperti dipaksa
untuk bekerja sebagai pelayan restoran, pekerja rumah tangga, pekerja pabrik dengan
tujuan kerja paksa, perkawinan ilegal, adopsi, perbudakan seksual, pengemis,
eksploitasi pornografi dan sebagainya,

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membentuk satu rumusan masalah
“Bagaimana upaya pemerintah daerah dalam mengatasi perdagangan manusia di
kabupaten Bogor?”

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengekplorasi kemudian
menganalisis upaya dari pemerintahdaerah yang dilakukan untuk memberantas
kejahatan kriminal perdagangan manusia. Penelitian ini dikhususkan pada kabupaten
Bogor.

1.5 Signifikansi
Signifikansi penulis dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu
signifikansi secara teoritis dan signifikansi secara praktis. Secara teoritis, penelitian
ini akan memberikan analisis lebih lanjut tentang keterkaitan antara gender dan
perdagangan manusia dalam pengembangan ilmu Hubungan Internasional dengan
menggunakan teori keamanan nasional dan kemanan manusia. Secara praktis,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi mahasiswa
Hubungan Internasional dan masyarakat serta menjadi sumber informasi berkaitan
dengan gender dan perdagangan manusia.
4

1.6 Tinjauan Pustaka


Dalam bagian tinjauan pustaka ini, terdapat beberapa penelitiaan yang
berkaitan dengan kasus yang dipaparkan penulis dalam penelitian ini. Yang pertama,
berdasarkan jurnal yang berjudul “Perdagangan Orang (Trafficking) sebagai
Pelanggaran Hak Asasi Manusia” karya Riswan Munthe di jelaskan bahwasanya
perdagangan manusia yang terjadi di Indonesia, merupakan jenis kejahatan yang
dilakukan oleh para kelompok atau sindikat yang sudah terorganisir yang meliputi
nasional sampai dengan internasional(Munthe).
Jenis kejahatan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, yakni hak
yang melekat dalam diri setiap manusia meliputi secara kodrati, meliputi hak untuk
hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan,
hak berkomunikasi, hak keamanan, dan kesejahteraan yang oleh karena itu tidak
boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Maka untuk memberantas kejahatan itu
perlu dilakukan pencegahan dalam perdagangan orang tersebut agar tindakan
perdagangan orang seperti penjualan anak, prostitusi anak, penyelundupan manusia,
migran dan diskriminasi serta perdagangan wanita dan pelacuran(Munthe).
Kedua, menurut jurnal yang di karang oleh Rizka Ari Satriani dan Dr. Tamsil
Muis dengan judul “Studi Tentang Perdagangan Manusia (Human Trafficking) Pada
Remaja Putri Jenjang Sekolah Menengah di Kota Surabaya” Pihak yang terlibat
dalam Kasus perdagangan manusia adalah calo perdagangan manusia (mucikari),
perantara (teman calo atau teman korban), penghulu bayaran, pembeli (pelanggan),
oknum pemerintahan yang tidak bertanggungjawab (pembuat surat dokumentasi
yang memalsukan dokumen korban)(Muis, 2013).
Hal-hal yang mempengaruhi terjadinya perdagangan manusia (human
trafficking) adalah faktor internal dan eksternal. Faktor Internal meliputi keinginan
diri sendiri (hedonisme dan konsumerisme), kemiskinan (keadaan perekonomian
dalam keluarga), ketidakharmonisan keluarga (adanya KDRT), lemahnya iman dan
kontrol diri. Sedangkan untuk faktor eksternal meliputi pendidikan yang rendah,
pergaulan bebas, pengaruh jejaring sosial atau media massa, permintaan trafficker
Unsur dalam perdagangan manusia yaitu adanya perekrutan yang dilakukan secara
langsung oleh calo yang menggunakan cara menipu korbannya dengan modus
operansinya berupa iming-iming dari calo kepada korban mengenai gaji yang besar
dan pekerjaan yang mudah(Muis, 2013).
5

Ketiga, dalam jurnal yang berjudul “Strategi Penanganan Trafficking di


Indonesia” hasil karya H. Darwinsyah Minin usaha penanganan tindak pidana
perdagangan orang atau trafficking memerlukan suatu strategi yang terstruktur,
terukur dan kerjasama lintas program serta lintas sektoral antara pemerintah
(Penegak Hukum) dan masyarakat. Sinergisasi peran pemerintah secara formal
dengan masyarakat sebagai stakeholdership dalam mencegah tindak pidana
trafficking merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar. Peran masyarakat
memberi informasi awal kepada aparat penegak hukum dalam hal terdapat indikasi
akan terjadi trafficking atau tindak kekerasan terhadap wanita, anak dan bayi di
lingkungannya, menjadi kunci utama dalam memerangi kejahatan secara umum.
Pengawasan oleh Polisi maupun Bea Cukai di setiap pelabuhan laut, darat dan udara
merupakan tindak lanjut untuk mempersepit ruang gerak sindikat trafficking
memasukan maupun mengirim orang ke luar dari wilayah Indonesia(Minin, 2011).
Di sisi lain keberhasilan melawan kejahatan transnasional ini, juga ditentukan
oleh peran aktif aparat imigrasi dan instansi terkait lainnya yang ternyata belum
optimal melakukan tugas-tugas selektif di dalam pemrosesan sampai dengan
penerbitan surat exit-permit (akta kenal lahir-KTP-Pasport, dll) dari orang yang
masuk dan yang akan ke luar negeri. Agar kepercayaan diri korban trafficking dapat
pulih kembali dari trauma kekerasan maupun penganiayaan yang dialaminya pada
masa lalu, kiranya Pemerintah Daerah menyediakan anggaran untuk membangun
atau menyediakan Pusat Rehabilitasi Mental bagi Korban trafficking. Pusat
Rehabilitasi ini dapat berfungsi sebagai transito dalam proses resosialisasi atau
reintegrasi,sekaligus tempat pelatihan bagi korban agar memiliki kemampuan dan
ketrampilan untuk modal kerja(Minin, 2011).
Keempaat, tulisan yang di karang oleh Antik Bintari dan Nina Djustiana
dengan judul “Upaya Penanganan Korban dan Pencegahan Tindak Perdagangan
Orang (Human Trafficking) di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat” yang di
dalamnya di jelaskan trafficking di Indonesia mulai bergulir awal tahun 2000,
khususnya dipicu oleh munculnya kasus-kasus penyiksaan para perempuan Indonesia
yang bekerja di luar negeri, baik sebagai pekerja rumah tangga (PRT) maupun yang
terjerumus dalam pelacuran. Sebelumnya trafficking hanya dipahami terjadi dalam
konteks pelacuran. Jabar adalah provinsi terpadat dan rumah bagi 16% dari
penduduk Indonesia(Djustiana, 2015).
6

Setiap tahun, puluhan ribu perempuan, laki-laki, anak perempuan, dan anak
laki-laki dari Jabar bermigrasi untuk mencari pekerjaan ke luar daerah dan ke luar
negeri. Hal ini tentunya memiliki implikasi positif dan negatif, meski pada akhirnya
kecenderungan implikasi negatif inilah menjadi lebih dominan seperti misalnya
terjadinya tindak pidana trafficking. Jabar sendiri merupakan daerah pengiriman
utama buruh migran internasional khususnya terjadi dari Kabupaten Indramayu.
Banyak dari mereka yang mengalami perlakuanperlakuan tidak adil dan kejahatan
yang dilakukan oleh banyaknya perantara yang terlibat dalam proses migrasi
(misalnya para calo, PJTKI, dan agen-agen penempatan di luar negeri) juga oleh para
majikan mereka di negara tujuan(Djustiana, 2015).
Kelima, tulisan yang dibuat oleh Putri Utami dengan judul “Upaya
Pemerintah Indonesia Dalam Mengatasi Human Trafficking di Batam” tulisan
tersebut menjelaskan bahwa dalam menangani kejahatan Perdagangan Manusia di
Batam, telah ada beberapa upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Upaya
internal, antara lain, yang dibagi menjadi upaya lokal dan nasional, serta upaya
eksternal. Berdasarkan upaya ini, banyak yang belum menyadari dan
mengimplementasikan kebijakan ini. Kebijakan ini sebenarnya telah mengatur
strategi dan penanganan korban anggaran tentang trafficking termasuk manusia
tentangpencegahan untuk memberikan layanan kepada para korban, tetapi dengan
upaya yang tidak memadai menyebabkan pelayanan di antara lembaga-lembaga yang
bertanggung jawab untuk menangani ini tidak berjalan dengan baik. Ini menunjukkan
belumbefektifnya kebijakan pemerintah dalam penanganan dan pencegahan
perdagangan manusia(Utami, 2016).
Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya memenuhi standar minimum
penghapusan perdagangan, tetapi Pemerintah sedang melakukan upaya signifikan
untuk mematuhinya. Pemerintah harus menghukum perdagangan orang 199 orang,
mengembalikan 5.668 Warga Negara Indonesia yang diidentifikasi sebagai korban
perdagangan orang di luar negeri, serta memberikan perlindungan sementara dan
menyediakan layanan untuk lebih dari 441 korban perdagangan orang. Koordinasi
antar lembaga pemerintah yang tidak memadai telah menghambat implementasi
strategi anti-perdagangan orang secara nasional. Korupsi yang merajalela di antara
tindakan keras penegakan hukumnya telah menghambat perdagangan orang dan
memungkinkan pelaku memiliki kekebalan hukum dalam melakukan
kejahatan(Utami, 2016).
7

Seiring dengan meningkatnya pekerja migran yang dimulai sejak tahun 1980-
andiduga terjadi juga peningkatan kasus perdagangan melalui wilayah perbatasan.
Namun demikian, bagaimana perkembangan kasus-kasus perdagangan melalui
wilayah perbatasan hingga saat ini, menurun atau sulit diprediksi karena kurangnya
data dan informasi tentang perdagangan. Namun, fenomena ini masih berlanjut dan
pelaku mengeksploitasi pengelolaan imigrasi kawasan perbatasan lebih mudah
karena ‘fasilitas’ dan ‘praktik’ manipulasi identitas yang sudah berlangsung lama.
Mempertimbangkan kompleksitas masalah perdagangan, perlu ditangani
melalui kebijakan yang komprehensif, ini berarti kebijakan yang telah dilakukan oleh
lembaga atau lembaga tertentu tidak boleh bertentangan dengan penanganan yang
dilakukan oleh lembaga lain. Begitu juga perlunya kerja sama bilateral atau
multilateral untuk mengatasi perbedaan kepentingan dan pendekatan dalam
menangani masalah perdagangan(Utami, 2016).
Keenam, tulisan oleh Maslihati Nur Hidayati yang berjudul “Upaya
Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Hukum Internasional
dan Hukum Positif Indonesia” menjelaskan bahwa di Indonesia, perdagangan orang
telah berlangsung lama. Namun, karena kurangnya undang-undang komprehensif
untuk penegakan hukum dan ditambah dengan kurangnya kepekaan pejabat
pemerintah serta kesadaran publik, kejahatan ini terus menjadi masalah dan
tantangan utama yang dihadapi oleh Pemerintah dan masyarakat. Sejak tahun
2005International of Migration (IOM) telah mengidentifikasi dan membantu para
korban perdagangan orang di Indonesia sebanyak 3.339 orang. Di mana hampir 90%
korban adalah perempuan, dan lebih dari 25% adalah anak-anak(Hidayati, 2012).
Indonesia tidak hanya diakui sebagai pengirim, tetapi juga negara transit dan
tujuan bagi para korban. Hal ini terjadi karena fakta bahwa beberapa daerah di
negara tersebut dikenal sebagai daerah tempat para korban perdagangan manusia
berasal. Sementara daerah lain adalah tempat di mana korban dieksploitasi atau
memperdagangkan jalan mereka ke tujuan akhir. Perempuan dan anak-anak adalah
yang paling rentan terhadap kejahatan ini. Mereka berdagang tidak hanya di dalam
negeri tetapi juga di luar negeri, termasuk ke Malaysia, Arab Saudi, dan
Jepang.Indonesia berada di bawah pengawasan komunitas internasional ketika
Pemerintah AS dalam laporan tahunannya tentang orang-orang perdagangan
menempatkan Indonesia pada Tingkat III, yaitu menunjuk sebagai negara-negara
yang tidak memenuhi standar minimum dalam menekan perdagangan orang dan
8

negara-negara yang tidak menerapkan langkah-langkah signifikan untuk menanggapi


masalah ini(Hidayati, 2012).
Pada tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Perdagangan Perempuan dan Anak, dengan tujuan utama untuk mempromosikan dan
atau mendorong Undang-undang yang berkaitan dengan perdagangan orang,
khususnya melibatkan perempuan dan anak-anak. Maka dari itu, perdagangan orang
di Indonesia menjadi isu yang sangat penting untuk dibahas, mengingat banyak
warga negara Indonesia yang menjadi objek perdagangan sendiri sehingga perlu
upaya bersama dari semua pihak, terutama pemerintah(Hidayati, 2012).

1.6 Kerangka Pemikiran


Dalam membantu penulis menjawab pernyataan masalah, penulis
menggunakan teori keamanan nasional serta keamanan manusia karena sesuai
dengan masalah dalam penelitian ini. Jelas terlihat hubungan antara permasalahan ini
dengan keamanan nasional serta keamanan manusia, dimana permasalahan ini dapat
diatasi dengan menggunakan adanya keamanan nasional dan juga keamanan
manusia.
Di dalam jurnalnya Letjen TNI Bambang Darmono berpendapat bahwa
keamanan nasional dapat diartikan sebagai kondisi atau keadaan yang bersifat
nasional dan menggambarkan terbebasnya negara, masyarakat dan warga negara dari
segala bentuk ancaman atau tindakan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun
faktor internal. Untuk mewujudkan keadaan tesebut harus ada aktivitas yang
dilakukan oleh pemerintahan Indonesia. Aktivitas tersebut adalah fungsi dari
keamanan nasional, maka dari itu keamanan nasional tidak hanya sebagai kondisi
namun juga sebagai fungsi(Darmono, 2010).
Keamanan nasional sebagai fungsi yang dimana artinya memberikan
perlindungan keamanan kepada segenap bangsa dan seluruh tumpah darahIndonesia
mencakup perlindungan keamanan negara, perlindungan keamanan publik
(masyarakat), perlindungan keamanan warga negara dari segala bentuk ancaman dan
atau tindakan baik yang dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal. Rujukan
daari konsep keamanan nasional dapat disimpulkan sebagai alenia ke-4 dai
pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Dalam konteks ini
9

keamanan nasional dapat dikatakan sebagai amanat konstitusi sehingga tidak ada
pilihan lain bagi negara kecuali wajib untuk melaksanakannya(Darmono, 2010).
Dalam kasus ini, gagasan human security memang tampak lebih jelas dalam
laporan UNDP tentang Laporan Pembangunan Manusia Program Pembangunan
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1994. Dalam laporan tersebut UNDP
menyatakan “The concept of security must change-from an exclusive stress on
national security to a much greater stress on people security, from security through
armaments to security through human development, from territorial to food,
employment and environmental security” Ada tujuh komponen human security
menurut UNDP (2004) yang pemenuhannya harus menjadi tanggung jawab
pemerintah masing-masing negara. Ketujuh komponen tersebut adalah; Keamanan
ekonomi (economic security), keamanan pangan (food security), keamanan kesehatan
(health security), keamanan lingkungan (environment security), keamanan pribadi
(personal security), keselamatan masyarakat (community security), dan keamanan
Keamanan politik (political security). Ketujuh komponen di atas dapat disimplifikasi
menjadi dua komponen utama, yaitu freedom from fear(bebas dari ketakutan) dan
freedom from want (bebas dari ketidakmampuan untuk dimiliki)(UNDP, 1994)
UNDP (1994) merinci tujuh komponen keamanan manusia yang harus
diwaspadai, 1) Economic Security: bebas dari kemiskinan dan jaminan pemenuhan
kebutuhan hidup. 2) Food Security: kemudahan akses ke kebutuhan pangan. 3)
Health Security: Kemudahan mendapatkan perawatan kesehatan dan perlindungan
dari penyakit. 4) Environment Security: perlindungan dari polusi udara dan polusi
lingkungan, dan akses ke air dan Udara bersih. 5) Personal Security: keselamatan
dari ancaman fisik yang disebabkan oleh perang , kekerasan dalam rumah tangga,
kriminalitas penggunaan obat-obatan terlarang, dan bahkan kecelakaan lalu lintas.
6)Community Security: keberlanjutan identitas budaya dan tradisi budaya. 7)
Political Security:perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan kebebasan dari
tekanan politik(UNDP, 1994)
Human secutity dianggap penting dalam studi keamanan kontemporer.
Semakin banyak masalah kemanusiaan yang muncul ke permukaan saat ini.
Masalah-masalah ini mulai dari pengungsi karena konflik fisik dan kekerasan,
penjualan anak-anak dan perempuan, masalah makanan, terorisme, perdagangan
senjata ilegal, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya. Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) menekankan perubahan konsep dan fokus keamanan dari keamanan
10

yang berfokus pada keamanan negara menjadi keamanan masyarakat, dari keamanan
melalui kekuatan militer ke keamanan melalui pengembangan masyarakat, dari
keamanan regional ke keamanan manusia berkenaan dengan keamanan, pangan,
pekerjaan dan jaminan lingkungan. Maka dari itu di dalam jurnalnya Anne
Hammerstad berpendapat “Security is about attaining the social, political,
environmental and economicconditions conducive to a life in freedom and dignity for
the individual”(Hammerstad, 2000)
Setelah melihat tingginya tingkat korban dari perdagangan manusia di
Indonesia hal ini mendorong penulis untuk melihatupaya dari pemerintah daerah
kota/kabupaten Bogor untuk mengatasi terjadinya perdagangan manusia. Penulis
ingin menganalisis hal tersebut melalui konsep national security dan human
securitysetelah membaca beberapa tinjauan literatur. Penulis melihat banyak
indikator yang berkaitan erat dengan penerapan konsep national security dan human
security

1.6.1 Operasionalisasi Konsep


Tabel 1.1 Operasionalisasi Konsep
Konsep Variabel Indikator
Keamanan Nasional Dilakukan antar aktor Seluruh lapisan elemen
dan Keamanan Mewujudkan terjaganya masyarakat
Manusia (human kemanan nasional dan Dukungan dan
security) keamanan manusia partisipasi dari setiap
warga negara untuk
mewujudkan keamanan
nasional dan keamanan
manusia

1.7 Hipotesis
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka yang sudah dilakukan, maka
hipotesis penulis adalah guna mengatasi perdagangan manusia di kabupaten Bogor
tentunya perlu ada upaya dari pemerintah daerah, untuk mewujudkan hal tersebut
tentu diperlukan dukungan dan partisipasi dari seluruh elemen masyarakat kabupaten
11

Bogor. Pemerintah berupaya dengan melakukan sosialisasi serta penyuluhan kepada


masyarakat.

1.8 Metode Penelitian


Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif, menurut
definisi dari Ranjit Kumar metode kualitatif adalah suatu pendekatan yang tidak
memiliki tujuan atau struktur atau dapat dikatakan sebagai metodologi terbuka.
Tujuan utama penelitian adalah untuk menjelaskan masalah, situasi dan fenomena.
Menurut Kumar, menganalisis data dengan metode kualitatif adalah isi dari
tanggapan, cerita, narasi atau data observasi untuk mengidentifikasi tema penjelasan
dan sifat dari terjemahan dan cerita(Kumar, 2011)
Penulis akan melakukan teknik pengumpulan data dengan menggunakan data
primer dan juga data sekunder. Data primer adalah datayang dikumpulkan oleh
penulis dengan teknik wawancara. Dalam melakukan pengumpulan data primer
penulis berencana melakukan wawancara dengan Dinas Pemberdayaan Perlindungan
Perempuan Anak Pengendalian Penduduk Keluarga Berencanan dan Unit PPA Polres
Bogor. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh penulis melalui
penelitian dari dokumen yang sudah ada sebelumnya seperti jurnal, buku, artikel.

1.8.1 Teknik Analisa Data


Penelitian ini akan dianalisis secara eksplanatif. Menurut penelitian
Ranjit Kumar, eksplanatif yaitu mencoba untuk menjelaskan serta menguraikan
pada alasan adanya hubungan antara dua aspek dari fenomena. Penelitian ini
menjelaskan mengapa dan bagaimana daya tarik antara dua situasi
tersebut.(Kumar, 2011)

1.9 Pembabakan
Penulis akan membagi ke dalam empat bagian sebagai berikut:

BAB 1 Memberikan gambaran tentang latar belakang, rumusan masalah,


tujuan penelitian, signifikansi, tinjauan pustaka, kerangka
pemikiran, hipotesis, metodologi penelitian dan pembabakan.
12

BAB 2 Menjelaskan sejarah dan konteks dari pemerintah daerah


kabupatenBogor dalam mengatasi Perdagangan Manusia

BAB 3 Membahas dan menganalisis upaya pemerintah daerah kabupaten


Bogor melalui perspektif national security dan human security.
BAB 4 Memberikan pemaparan terkait kesimpulan serta rekomendasi.

1.10 Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari bab ini terdapat banyak sekali kasus perdagangan
manusia yang terjadi di Indonesia. Masalah-masalah utama yang menjadi factor
pendorong dari terjadinya perdagangan manusia ialah ekonomi, social, dan juga
budaya. Dimana kebanyakan korban berasal dari keluarga yang kurang mampu, serta
kurangnya pengetahuan dari korban tentang apa itu perdagangan manusia.
BAB 2
SEJARAH DAN KONTEKS

2.1 Pengenalan
Bab ini akan menjelaskan bagaimana sejarah perdagangan manusia dimulai di
dunia dan juga perdagangan manusia di Indonesia selain itu dijelaskan pula sejarah
dari Kabupaten Bogor. Kemudian, akan di jelaskan juga demografi dari Kabupaten
Bogor dan juga Undang-Undang dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

2.2 Sejarah Perdagangan Manusia


Kesepakatan internasional tentang apa yang disebut "perdagangan manusia"
sangat baru. Kenyataannya, baru pada akhir 1990-an Negara memulai tugas untuk
memisahkan perdagangan dari praktik-praktik lain yang lazimnya dikaitkan
dengannya seperti memfasilitasi migrasi tidak teratur. Definisi perdagangan manusia
yang disetujui pertama kali dimasukkan ke dalam Protokol 2000 untuk Mencegah,
Menekan, dan Menghukum Perdagangan Orang, Khususnya Perempuan dan Anak-
anak, melengkapi Konvensi PBB tentang Kejahatan Terorganisir Transnasional
(Protokol Perdagangan). Definisi itu sejak itu telah dimasukkan ke dalam banyak
instrumen hukum dan kebijakan lainnya serta hukum nasional(UNHR, 2014).
Perdagangan manusia memang bukan penemuan baru dalam sejarah alam
semesta; bahkan banyak negara yang dianggap sebagai negara maju pada awalnya
berutang banyak kepada orang-orang di negara-negara "paling tidak maju" yang
dipaksa bekerja di perkebunan atau pabrik. Perbudakan telah menjadi tanda gelap
bagi sejarah, yang juga telah dicatat dalam kitab suci. Sejarah telah mencatat
beberapa perang yang disebabkan oleh masalah perbudakan, seperti yang memicu
perang saudara berabad-abad yang lalu.Masalah-masalah ini juga dibahas dalam
berbagai komunitas internasional yang diadakan oleh PBB, dan umumnya terkait
dengan kegiatan kejahatan terorganisir. Perhatian utama tentang perdagangan
manusia telah membuat negara-negara di dunia sepakat untuk menandatangani
konvensi PBB melawan Protokol Kejahatan Terorganisir Transnasional, dan
Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama

13
14

Wanita dan Anak-anak, A / 55/383 dan diberi wewenang oleh General Board pada 2
November 2000(Harkrisnowo, 2003).
Berdasarkan informasi yang diterbitkan oleh Departemen Kehakiman AS dan
PBBpublikasi, data kasar yang ditemukan mengenai perdagangan manusia adalah
700 ribu hingga 4 juta orang diperdagangkan di dunia (dibeli, dijual, dikirim, dan
dipaksa untuk bekerja atas kemauan mereka), sebagian besar orang yang
diperdagangkan berasal dari negara berkembangyang memiliki pertumbuhan
ekonomi yang lebih rendah, untuk dibawa ke negara-negara maju, sebagian besar
korbannya adalah perempuan dan anak-anak, para korban terpikat oleh mimpi-mimpi
yang menjanjikan akan kehidupan yang lebih baik, pekerjaan bergaji lebih baik yang
ditawarkan oleh pedagang.Mirip dengan kondisi perdagangan manusia di dunia,
untuk Indonesia, informasi yang diambil dari media massa dan studi yang dilakukan
oleh universitas dan LSM menunjukkan bahwa sebagian besar korban perdagangan
manusia adalah perempuan dan anak-anak. Berbagai penelitian menemukan bahwa
perlakuan tidak adil terhadap wanita dan anak-anak adalah berkelanjutanancaman
terhadap perempuan di dunia, terutama di negara-negara berkembang(Harkrisnowo,
2003).
Masalahnya sekarang semakin serius karena perdagangan perempuan dan
anak-anak terjadi di seluruh dunia. Pada dasarnya, ada dua masalah utama mengenai
perdagangan manusia - terutama perdagangan perempuan dan anak-anak, yaitu
pembangunan sosial perempuan dan anak-anak dan masalah ekonomi (misal Tingkat
ekonomi sosial negara yang rendah) terutama di negara-negara berkembang. Perilaku
terhadap perempuan dan anak-anak pada dasarnya terikat pada masalah konstruksi
sosial di masyarakat setempat mengenai perempuan dan anak-anak. Dalam rentang
yang lebih luas, berbagai peristiwa baru-baru ini telah membuktikan bahwa
diskriminasi terhadap perempuan tidak hanya terjadi dalam novel atau cerita waktu,
tetapi juga terjadi di Indonesia(Harkrisnowo, 2003).
Diakui secara luas bahwa Indonesia adalah komunitas patriarkal, demikian
juga dengan sebagian besar negara di dunia. Patriarkal adalah struktur komunitas di
mana pria mengambil kendali, dalam persepsi sebagai struktur yang merendahkan
wanita, yang dapat dilihat dengan jelas baik dalam kebijakan pemerintah atau
perilaku masyarakat. Ambil contoh sederhana, rumusan tentang peran istri dalam
hukum perkawinan, kecenderungan untuk membayar upah perempuan di bawah upah
laki-laki, dan kecenderungan berpikir bahwa anak laki-laki harus mendapatkan lebih
15

banyak pendidikan daripada anak perempuan, mereka tercermin bahwa perempuan


ditempatkan sebagai bawahan laki-laki(Harkrisnowo, 2003).
Di mana saja di dunia, termasuk di Indonesia, peran bawahan perempuan bagi
laki-laki telah membawa sejumlah konsekuensi yang menurunkan peran mereka
dalam masyarakat. Ketika mereka masih di bawah asuhan orang tua, anak perempuan
adalah milik ayah mereka, jadi semua keputusan ada di tangan ayah. Ketika mereka
bertambah dewasa, saudara-saudara mereka menggantikan posisi ayah. Ketika
mereka memasuki tingkat pernikahan, mas kawin dipandang sebagai pamoli atau
sarana untuk membeli wanita itu dan membawanya ke keluarga suaminya,oleh
karena itu ia dianggap sebagai milik suami. Menempatkan peran anak perempuan
lebih rendah daripada peran anak laki-laki dalam keluarga telah menyebabkan
pembunuhan bayi perempuan yang baru lahir, seperti yang dilaporkan dari berbagai
sumber(Harkrisnowo, 2003).
Dalam kondisi yang dibangun oleh konstruksi sosial politik ini, fenomena
perdagangan manusia telah membentuk adegan korban yang dialami oleh perempuan
(dan anak-anak).Isu terakhir terkait dengan kondisi ekonomi di Indonesia sebagai
salah satu negara berkembang. Populasi mayoritas dalam tingkat pendidikan rendah,
telah menempatkan tembok untuk pekerjaan bergaji tinggi. Di pedesaan, pertanian
harus memberi jalan kepada pabrik-pabrik telah membuat para petani kehilangan
pekerjaan, mirip dengan para nelayan karena ukuran perahu dan pukat yang tidak
seimbang di lautan, telah membuat para nelayan tidak terlihat. Dalam kondisi
ekonomi yang lemah, konstruksi publik pada akhirnya juga menempatkan
perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan bagi laki-laki(Harkrisnowo,
2003).
Kurangnya lapangan kerja karena pertumbuhan ekonomi minimum di daerah
pedesaan telah meningkatkan jumlah kehidupan perkotaan, salah satu faktor yang
memicu tingginya urbanisasi adalah persepsi kota sebagai tempat di mana ada
banyak pekerjaan yang tersedia di sana.Akibatnya, banyak upaya telah dilakukan
untuk merekrut perempuan (terutama perempuan muda dan anak perempuan) dari
pedesaan ke kota. Bahkan pada awalnya upaya itu memang menawarkan pekerjaan
hukum kepada mereka, tetapi industri seks, yang akhir-akhir ini menjamur di kota-
kota dan tempat-tempat lain di negara ini, meningkatkan pasokan perempuan,
terutama tempat-tempat pencairan dana(Harkrisnowo, 2003).
16

Kondisi ini tidak hanya terjadi di tingkat kota dan desa, tetapi juga telah
mencapai tingkat transnasional. Kondisi pahit ini dialami oleh perempuan yang
bekerja sebagai pekerja rumah tangga di luar negeri, yang diungkapkan oleh media
massa, hanya sebagian kecil dari penderitaan mereka karena kondisi mereka sebagai
perempuan. Hal ini memperdalam kekhawatiran ketika diketahui bahwa mereka
dikirim ke luar negeri untuk menjadi pekerja seks komersial tanpa pengakuan mereka
ketika mereka melamar pekerjaan tersebut. Yang terakhir inilah yang disebut sebagai
kegiatan perdagangan manusia. Sayangnya, tidak ada data yang komprehensif dan
akurat tentang kegiatan ini di Indonesia, terutama karena kesulitan untuk mendeteksi
fenomena ini yang benar-benar dilakukan secara tersamar(Harkrisnowo, 2003).

2.3 Sejarah Kabupaten Bogor.


Dalam hal sejarah, Kabupaten Bogor adalah salah satu daerah yang menjadi
pusat kerajaan tertua di Indonesia. Catatan Dinasti Sung di Cina dan prasasti yang
ditemukan di Pertempuran Sungai Ciaruteun dengan Sungai Cisadane, menunjukkan
bahwa setidaknya pada paruh awal abad ke-5 masehi terdapat sebuah bentuk
pemerintahan di wilayah ini. Sejarah lama Dinasti Sung mencatat 430, 433, 434, 437
dan 452 kerajaan Holotan mengirim utusan ke Cina. Sejarawan Prof. Dr Slamet
Muljana dalam bukunya dari “Holotan to Jayakarta” menyimpulkan bahwa Holotan
adalah transliterasi Cina dari kata Aruteun, dan kerajaan Aruteun adalah salah satu
kerajaan Hindu tertua di Jawa. Prasasti Ciaruteun merupakan bukti sejarah
pengalihan kekuasaan dari KerajaanAruteun ke kerajaan Tarumanagara di bawah raja
Purnawarman, sekitar akhir sabad ke-5.(Pemerintah Kabupaten Bogor, n.d.)
Prasasti lainnya yang berasal dari Purnawarman adalah prasasti Kebon kopi
di Kecamatan Cibungbulang, dalam prasasti jambu di bukit Koleangkak (Kabupaten
pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang), dan prasasti Lebak (di tengah sungai
Cidanghiyang, Propinsi Banten). Pada abad ke-6 dan 7, Kerajaan Tarumanagara
merupakan penguasa tunggal di wilayah Jawa Barat. Setelah Tarumanagara, dalam
beberapa abad berikutnya kerajaan yang terkenal yang telah muncul di tanah
Pasundan (Jawa Barat) adalah Sunda, Pajajaran, Galuh, dan Kawali. Segala sesuatu
tidak terpisahkan dari keberadaan wilayah Bogor dan sekitarnya. Sejarah awal
berdirinya Kabupaten Bogor, ditetapkan pada tanggal 3 Juni, yang terinspirasi dari
tarikh peresmian raja terkenal Pajajaran yaitu Sri Baduga Maharaja yang digelar pada
17

tanggal 3 Juni 1482 selama sembilan hari disebut upacara “Kedabhakti”(Pemerintah


Kabupaten Bogor, n.d.)
Nama Bogor menurut berbagai pendapat bahwa kata Bogor berasal dari kata
“Buitenzorg” nama resmi penjajah Belanda. Pendapat lain berasal dari kata “Bahai”
yang berarti sapi, yang kebetulan menjadi patung sapi di Kebun Raya Bogor.
Sedangkan pendapat ketiga menyatakan bahwa Bogor berasal dari kata “Bokor”
yang berarti tunggul pohon palem (kawung). Dalam versi lain menyebutkan nama
Bogor telah muncul dalam sebuah dokumen tertanggal 7 April 1952, ditulis “Hoofd
van de Negorij Bogor” yang berarti lebih atau kurang kepala desa Bogor, yang
menurut informasi selanjutnya bahwa desa Bogor terletak di dalam Lokasi Kebun
Raya Bogor yang mulai dibangun pada tahun 1817. Asal-usul masyarakat Kabupaten
Bogor, asal mula penggabungan sembilan kelompok penyelesaian oleh Gubernur
Jenderal Baron Van Inhof pada tahun 1745, sehingga menjadi sebuah unit
masyarakat yang berkembang menjadi periode selanjutnya. Unit komunitas ini
merupakan inti dari komunitas Kabupaten Bogor(Pemerintah Kabupaten Bogor,
n.d.).

2.4 Gambaran Umum Kabupaten Bogor


Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298.838,31 Ha. Secara geografis terletak di
antara 6° 18 '0 "- 6°47' 10" Lintang Selatan dan 106° 23 '45 "- 107° 13' 30" Bujur
Timur, dengan berbagai jenis morfologi tanah, dari dataran yang relatif rendah di
utara hingga Dataran Tinggi Selatan, data yang rendah sekitar 29,28% berada pada
ketinggian 15 - 100 meter di atas permukaan laut (DPL), kategori ekologi hilir.
Dataran bergelombang sekitar 43,62% berada di ketinggian 100 - 500 meter DPL,
adalah kategori ekologis utama. Sekitar 19,53% dari daerah pegunungan berada pada
ketinggian 500-1.000 meter di atas kategori ekologi atas. Area penggunaan tinggi
sekitar 8,43% berada di ketinggian 1.000 - 2.000 meter di atas, merupakan kategori
ekologis di hulu dan0,22% pada ketinggian 2.000 – 2.500 meter adalah kategori
hulu(Pemerintah Kabupaten Bogor, n.d.)
Batas-batas Kabupaten Bogor adalah sebagai berikut:
1. Sebelah utara, berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang
Selatan, Kota Depok, Kabupaten / kota Bekasi
2. Bagian barat, berbatasan dengan Kabupaten Lebak
18

3. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur


dan Kabupaten Purwakarta
4. Bagian selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur
5. Batas tengah berbatasan dengan kota Bogor.
Selain itu, kondisi morfologis Kabupaten Bogor sebagian besar adalah
dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi
oleh hasil letusan gunung berapi, yang terdiri dari andesit, tufa dan basal. Batu
gabungan termasuk dalam sifat air relatif jenis batuan di mana kemampuan untuk
meresap air hujan besar. Jenis batuan pelapukan ini relatif rentan terhadap
pergerakan tanah ketika mendapat siraman hujan yang tinggi. Selanjutnya, jenis
tanah penutup yang didominasi oleh material vulkanik yang longgar agak sensitif dan
sangat sensitif terhadap erosi, seperti Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan
Andosol. Karena itu, beberapa daerah rawan longsor(Pemerintah Kabupaten Bogor,
n.d.).
Klimatologi, wilayah Kabupaten Bogor mencakup iklim tropis yang sangat
basah di selatan dan iklim tropis basah di utara, dengan rata-rata tahunan 2.500 - 5,00
mm / tahun, kecuali di wilayah utara dan sebagian kecil wilayah timur Hujan kurang
dari 2.500mm/tahun. Suhu rata-rata di Kabupaten Bogor adalah 20 º-30 º C, dengan
suhu rata-rata tahunan 25 º. Kelembaban udara 70% dan kecepatan angin rendah,
dengan rata-rata 1,2 m / detik. Sedangkan untuk hidrologis, Kabupaten Bogor dibagi
menjadi 7 (tujuh) DAS (Daerah Aliran Sungai) yaitu: (1) DAS Cidurian; (2) DAS
Cimanceuri; (3) DAS Cisadane; (4) DAS Ciliwung; (5) Sub DAS Kali Bekasi; (6)
Sub DAS Cipamingkis; dan (7) DAS Cibeet. Ada juga 32 jaringan irigasi
pemerintah, 794 jaringan irigasi pedesaan, 93 situ dan 96 mata air(Pemerintah
Kabupaten Bogor, n.d.)
Peningkatan populasi yang terjadi setiap tahun adalah masalah global, banyak
populasi bisa menjadi potensi besar untuk pembangunan, tetapi juga bukan jaminan
keberhasilan pembangunan. Berdasarkan proyeksi Kabupaten Bogor, jumlah
penduduk Kabupaten Bogor pada 2015 adalah 5.459.668 orang, terdiri dari
2.792.907 jiwa pria dan 2.666.761 jiwa wanita. Dengan tingkat pertumbuhan
populasi rata-rata menurun sebesar 2,41%.Ukuran populasi di Kabupaten Bogor
penting untuk dipertimbangkan oleh Pemerintah dalam membuat kebijakan, sehingga
dalam pengelolaan semua sumber daya yang ada, potensi populasi yang besar ini
dapat digali dan dimanfaatkan(Pemerintah Kabupaten Bogor, n.d.).
19

Tabel 2.1 Data Kependudukan Kabupaten Bogor


No. Indikator 2014 2015
1. Jumlah Penduduk (jiwa) 5.331.149 5.459.668
2. Laju Pertumbuhan penduduk (%) 2,48% 2,41%
3. Jumlah Penduduk Miskin (ribu 485,90 495,20
jiwa)
4. Jumlah Pengangguran Terbuka 177.222 172.255
5. Persentase Penduduk Miskin (%) 9,11% 9,07%
6. Tingkat Partisipasi Angkatan 61,86% 60,14%
Kerja (TPAK) (%)

Gambar 2.1 Peta Wilayah Kabupaten Bogor


(Gambar ini diambil dari situs resmi Kabupaten Bogor)
Letak Geografis
Koordinat : 6º18' 6º47'10 LS dan 106º23'45- 107º 13'30 BT
Luas Wilayah : ± 298.838,31 Ha
Batas Administrasi :
 Utara : Kab. Tangerang Kab / Kota Bekasi, Kota Depok
 Timur : Kab. Cianjur dan Kab. Karawang
 Selatan : Kab. Sukabumi dan Cianjur
20

 Barat : Kab. Lebak ( Prov. Banten)


 Tengah : Kota Bogor

Untuk segi perekonomian Partisipasi masyarakat, khususnya dunia, telah


mampu mendorong perkembangan pembangunan ekonomi di Kabupaten Bogor.
Dengan keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi, memberikan dukungan dan
dorongan untuk pengembangan di berbagai sektor lainnya. Hal ini juga menjadi
kesempatan untuk perluasan kesempatan kerja yang juga berkontribusi untuk
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah. Hal ini dapat
dilihat dari pengurangan jumlah penduduk miskin dan peningkatan pendapatan per
kapita dari tahun ke tahun(Pemerintah Kabupaten Bogor, n.d.).
Prioritas perekonomian Kabupaten Bogor pada sektor industri atau jasa,
sedangkan sisanya mengutamakan pada sektor pertanian. Untuk itu Pemerintah
Daerah perlu menjamin agar seluruh masyarakat Kabupaten Bogor telah mendapat
informasi yang cukup tentang aktivitas perekonomian yang ada. Selanjutnya kendala
yang dihadapi dalam pengembangan sektor perekonomian Kabupaten Bogor adalah
infrastruktur yang belum memadai, rendahnya produktivitas, input yang terbatas dan
kebijakan Pemerintah yang kurang mendukung. Dalam menanggulangi kendala
tersebut kebijakan prioritas yang diperlukan adalah kebijakan investasi dan
penguatan kelembagaan, peningkatan infrastruktur dan penataan tata guna lahan,
peningkatan kualitas SDM dan kemitraan pemerintah dan swasta(Dominica, 2017).

2.5 Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang


Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sudah diatur dalam Undang-
Undang nomor 21 Tahun 2007 yang dimana di dalamnya terdiri dari 6 Bab dan 58
pasal. Perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi (Leaflet Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007).
21

Unsur dasar perdagangan manusia meliputi proses, cara, dan tujuan. Dalam
prosesnya biasanya pelaku perdagangan manusia memindahkan korban jauh dari
komunitasnya dengan merekrut, mengangkut, mengirim, memindahkan atau
menerima korban. Cara yang dilakukan menggunakan ancaman, kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan/posisi rentan, atau
jeratan hutang untuk mendapat kendali atas diri korban sehingga dapat memaksa
korban. Tujuan dari perdagangan manusia adalah mengeksploitasi atau menyebabkan
korban tereksploitasi untuk keuntungan finansial dari pelaku, eksploitasi disini dapat
berarti membuat korban bekerja dalam prostitusi, mengurung korban dengan
kekerasan fisik atau psikologis (kerja paksa), menempatkan korban dalam situasi
jeratan hutang atau bahkan perbudakan. Dalam beberapa kasus, eksploitasi dapat
juga berarti pemanfaatkan atau transpalansi organ tubuh(Leaflet Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007).
Berbagai modus operandi dilakukan oleh pelaku perdagangan manusia,
berbagai cara yang dikakukan perdagangan manusia yaitu; pengiriman tenaga kerja,
duta seni budaya, perkawinan pesanan, pengangkatan anak (adopsi), pemalsuan
dokumen seperti kartu keluarga/kartu tanda penduduk dan juga surat-surat lain,
menggunakan perusahaan Non Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta
(PPTKIS), menggunakan visa pelajar ke negara tertentu, melaksanakan pelatihan di
tempat kerja, memindahkan dari suatu daerah/negara ke daerah/negara lainnya secara
illegal, penjeratan hutang, kerja paksa, dan penculikan(Leaflet Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007).
Siapapun bisa menjadi pelaku kejahatan manusia, bisanya pelaku dari
perdagangan manusia terdiri dari germo/mucikari/mami/papi, orang terdekat seperti
orangtua/paman/bibi/tante/tetangga/kenalan di kampong, sponsor/calo, pegawai atau
pemilik perusahaan, oknum aparat pemerintah, oknum guru, sindikat perdagangan
orang. Hukuman bagi pelaku atau orang yang membantu pihak lain dalam
melakukan perdagangan manusia adalah ancaman hukuman penjara bagi pelaku
TPPO minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun dan di denda sebesar minimal
Rp.120.000.000,00 dan maksimal Rp.600.000.000,00. Hukuman penjara dab debda
ini dapat bertambah bilamana mengakibatkan timbulnya penyakit yang
membahayakan jiwa atau bahkan kematian bagi korban(Leaflet Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007).
22

Untuk individu yang rentan menjadi korban dari perdagangan manusia adalah
orang miskin, orang dengan pola hidup yang konsumtif, orang yang tidak memiliki
keterampilan, orang yang berpendidikan rendah, orang yang buta aksara, orang yang
memimpikan gaji atau upah tinggi dengan bekerja di luar daerah/negeri tanpa
informasi yang jelas, korban dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan
juga orang yang telah kehilangan anggota keluarganya. Korban dari perdagangan
manusia memiliki hak seperti; layanan pengaduan, layanan rehabilitasi kesehatan,
layanan rehabilitasi sosial, layanan bantuan hukum, dan juga pemulangan kembali
kepada keluarga(Leaflet Waspdai Perdagangan Orang).
Penyebab terjadinya perdagangan manusia meliputi kemiskinan, tingkat
pendidikan masyarakat yang rendah, buta aksara, terbatasnya lapangan pekerjaan,
tingkat pengangguran yang tinggi, tidak memiliki keteramoilan, konflik atau bencana
alam, kurangnya informasi tentang kota atau negara tujuan korban bekerja, terlalu
percaya kepada agen/perekrut/calo, dan ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan
perempuan. Pencegahan dan penanganan dari perdagangan manusia meliputi;
pencegahan tindak pidana perdagangan orang yang bertujuan mencegah sedini
mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana
perdagangan orang, pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat kebijakan,
program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan
dan penanganan masalah perdagangan manusia (Leaflet Waspdai Perdagangan
Orang).

2.6 Kesimpulan
Dalam bab ini dapat diketahui bahwa perdagangan manusia sudah ada sejak
dahulu kala dimulai dari zaman perbudakan. Indonesia merupakan negara yang
sangat luas dan memiliki penduduk yang sangat banyak, jika dilihat kembali banyak
sekali kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia. Dilihat dari
gambaran umum Kabupaten Bogor yang memiliki banyak sekali kecamatan
Kabupaten Bogor memiliki penduduk sebanyak 5.459.668 jiwa dengan laju
pertumbuhan penduduk sekitar 2,41% (data tahun 2015) dengan jumlah penduduk
yang banyak dan juga tingkat pengangguran serta banyaknya penduduk miskin
menjadikan Kabupaten Bogor memiliki kasus perdagangan manusia. Pencegahan
perdagangan manusia dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah,
23

masyarakat dan juga keluarga . Dalam rangka melindungi korban dari TPPO diatur
dalam Undang-Undang No.21 tahun 2007 juga telah diatur hak dari korban
perdagangan manusia.
24
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Pengenalan
Bab ini akan menjelaskan analisis terhadap upaya pemerintah daerah Kabupaten
Bogor menangani kasus perdagangan manusia menggunakan teori keamanan
nasional dan juga keamanan manusia. Dalam bab ini akan dijelaskan tentang
bagaimana garis besar upaya dari pemerintah, pihak kepolisian daerah ,siapa saja
yang terlibat dalam upaya pencegahan perdagangan manusia di Kabupaten Bogor. Di
bab ini pula penulis akan melakukan analisa dari upaya pemerintah daerah
Kabupaten Bogor dengan menggunakan teori keamanan nasional dan juga keamanan
manusia.

3.2 Perdagangan Manusia di Kabupaten Bogor


Perdagangan manusia atau yang bisa juga disebut dengan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO) sudah diatur di undang-undang nomor 21 tahun 2007.
Untuk tindak pidana perdagangan orang secara umum dijelaskan pada pasal 1 dari
undang-undang nomor 21 tahun 2007 yang berbunyi “Perdagangan Orang adalah
tindakan perekrutan,pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegangkendali atas orang lain tersebut,
baik yang dilakukan di dalamnegara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi
atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan Ibu Maya
selaku bagian perlindungan wanita dari DP3AP2KB (Dinas Pemberdayaan
Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana)
Kabupaten Bogor dan penyidik dari unit Perlindungan Perempuan Anak Polres
Kabupaten Bogor Bapak Dodi Romansyah menyatakan bahwa kasus perdagangan
manusia yang sering terjadi di Kabupaten Bogor ialah prostitusi.
Kasus perdagangan manusia di Kabupaten Bogor dari tahun 2016 hingga
2018 sudah ada sebanyak 21 korban yang ditangani, yang kebanyakan merupakan
korban dari prostutusi. Di tahun 2017 Kabupaten Bogor menjadi salah satu tempat
transit untuk penyaluran dari perdagangan manusia, hal tersebut di buktikan dengan

25
26

terungkapnya 5 korban yang berasal dari Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara
Barat. Data-data tersebut dapat di lihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Data Perdagangan Manusia di Kabupaten Bogor


Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018
Kec. Cigombong = 1 Kec. Ulau Ende NTT = 1 Kec. Tamansari = 1
Kec. Cijeruk = 1 Kec. Moyohilir NTB = 1 Kec. Bogor Selatan Kota
Bogor = 2
Kec. Citeureup = 1 Kec. Lopo NTB = 1 Kec. Caringin = 2
Kec. Cibinong = 2 Kec. Empang NTB = 1 Kec. Cigombong = 1
Kec. Maronge NTB = 1
Kec. Leuwiliang = 1 Kec. Cisarua = 3 Kec. Citeureup = 1
Kec. Ciomas = 4
Kec. Tamansari = 2
Kec. Cibinong = 1
Kec. Citeureup = 2
Kec. Pamijahan = 1
(Tabel berikut merupakan data kasus TPPO yang ditangani P2TP2A Kb. Bogor
Tahun 2016-2018)
Merajuk kepada undang-undang nomor 21 tahun 2007 Kabupaten Bogor
mengambil langkah untuk menangani kasus perdagangan manusia di wilayahnya.
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati nomor 350/107/Kpts/Per-UU/2017 tentang
Pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang Tingkat Kabupaten Bogor yang di tetapkan di Cibinong pada
tanggal 18 Januari 2017, bupati memutuskan untuk:
1. Membentuk gugus tugas pencegahan dan penanganan korban tindak pidana
perdagangan orang tingkat Kabupaten Bogor, dengan susunan gugus tugas
sebagaimana Tercantum dalam Lampiran Keputusan.
2. Gugus tugas sebagaimana dimaksud dalam Diktum kesatu mempunyai tugas
mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana
perdagangan orang di Kabupaten Bogor sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
27

3. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Diktum kedua,


gugus tugas mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Memberikan saran pertimbanfan kepada bupati mengenai pencegahan
bagi korban tindak pidana perdagangan orang;
b. Menyusun rencana aksi daerah pencegahan dan penanganan tindak
pidana perdagangan orang sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. Pengoordinasian upaya pencegahan dan penanganan korban
perdagangan orang;
d. Pelaksanaan advokasi, sosialisasi, pelatihan dan kerjasama;
e. Pemantauan perkembangan pelaksanaan penegakan hukum;
f. Pelaksanaan evaluasi pelaporan.
4. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Diktum
kedua dan Diktum ketiga, gugus tugas sebagaimana dimaksud dalam Diktum
kesatu wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan kepada bupati melalui
sekertaris daerah setiap 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu apabila dianggap
perlu.
5. Ketentuan-ketentuan lain yang belum cukup diatur dalam keputusan ini,
sepanang mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh ketua
gugus tugas.
6. Segala biaya yang timbul akibat ditetapkannya keputusan ini dibebankan
kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah Kabupaten Bogor.
7. Pada saat keputusan ini mulai perlaku, maka keputusan bupati nomor
350/32/Kpts/Per-UU/2012 tentang pembentukan gugus tugas pencegahan dan
penanganan korban tindak pidana perdagangan orang, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
8. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

3.3 Upaya Penanganan dan Pencegahan Perdagangan Manusia di Kabupaten


Bogor
Penulis telah melakukan serangkaian wawancara dengan beberapa
narasumber dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian
Penduduk Keluarga Berencana (DP3AP2KB) dan juga Unit Perlindungan
Perempuan Anak Polres Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil dari wawancara
28

penulis dengan Ibu Maya selaku petugas perlindungan dan pemberdayaan perempuan
dari DP3AP2KB Kabupaten Bogor upaya yang telah dilakukan oleh DP3AP2KB
Kabupaten Bogor berupa Sosialisasi tentang PP-TPPO ( Pencegahan Penanganan
Tindak Pidana Perdagangan Orang), Membentuk gugus perlindungan perlindungan
perempuan & anak terhadap kecamatan dan satgas perlindungan perempuan & anak,
Melaksanakan rapat kordinasi PP- TPPO ( Pencegahan Penanganan Tindak Pidana
Perdagangan Orang), Menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) PP-TPPO (
Pencegahan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang)(Maya, 2019).
Dalam menanggapi kasus perdagangan manusia DP3AP2KB Kabupaten
Bogor akan melakukan koordinasi bersama gusus tugas PP TPPO ( Pencegahan
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang) Kabupaten Bogor dalam upaya
pemulangan korban dari daerah di mana korban ditemukan sampai kepada
keluarganya jikalau DP3AP2KB Kabupaten Bogor mendapat laporan telah
ditemukan korban yang berasal dari Kabupaten Bogor di daerah lain. Untuk kasus
perdagangan manusia yang sering terjadi di Kabupaten Bogor ialah kasus
perdagangan manusia yang di pekerjakan sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial)
yang di iming-imingi akan di pekerjakan di rumah makan atau restaurant.(Maya,
2019).
Menurut Ibu Maya masyarakat Kabupaten Bogor harus aktif dalam
berpartisipasi untuk berupaya melakukan pencegahan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (TPPO). Masyarakat harus berupaya melakukan pencegahan terhadap
kemungkinan terjadinya kasus perdagangan orang dengan cara menyebarluaskan
informasi tentang perdagangan manusia serta lebih waspada jika mendapatkan
informasi atau lowongan pekerjaan.Pemerintah kabupaten bogor melalui
DP3AP2KB telah berupaya melaksanakan kegiatan-kegiatan sosialisai tentang
pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan dengan sasaran masyarakat ,
perangkat / aparat desa , forum anak(Maya, 2019).
Dalam menjalankan tugas pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(TPPO) DP3AP2KB Kabupaten Bogor tidak bekerja sendirian, akan tetapi juga
dibantu oleh dinas-dinas lain terkait seperti Dinas Sosial Kabupaten Bogor dan juga
Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. Dinas Sosial berfungsi untuk memulihkan
kondisi psikologi (rehabilitasi) korban serta memberikan keterampilan kepada
korban yang dapat digunakan setelah korban di kembalikan kepada keluarganya.
Sedangkan untuk Dinas Kesehatan berfungsi untuk memberikan fasilitas kesehatan
29

apabila korban mendapatkan kekerasan fisik atau mendapat penyakit pasca terjadinya
perdagangan manusia yang dialaminya(Maya, 2019)
Narasumber kedua penulis ialah Briptu Dodi Romansyah selaku penyidik dari
Unit Perlindungan Perempuan Anak Polres Kabupaten Bogor. Menurutnya TPPO
merupakan tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran dengan tujuan
eksploitasi seperti yang tertera pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Suatu
kasus dapat dikatakan sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) jikalau
terjadi tindak eksploitasi pada tubuh korban untuk mendapatkan keuntungan secara
finansial bagi pelaku TPPO baik itu dengan atau tanpa persetujuan dari korban TPPO
tersebut(Romansyah, 2019)
Modus yang dilakukan oleh pelaku biasanya membujuk korban untuk kerja
yang sebelumnya diberitahu akan dipekerjakan sebagai terapis, dan lain sebagainya.
Segala bentuk eksploitasi yang meliputi organ tubuh korban, mengeksploitasi secara
seksual merupakan suatu tindak pelacuran dan juga pencabulan. Dalam menetapkan
kasus TPPO di perlukan bukti yang kuat seperti uang, alat kontrasepsi, telepon
genggam. Seperti yang terjadi beberapa bulan lalu terdapat kasus TPPO yang dialami
oleh warga Kabupaten Bogor kasus tersebut dialami oleh 2 anak dibawah umur yang
dimana keduanya dijual kepada lelaki hidung belang di salah satu hotel di kawasan
Jakarta. Pelaku pun memasang tarif yang berbeda kepada setiap korbannya, korban
pertama dibanderol Rp.30.000.000,00 rupiah sedangkan korban kedua dibanderol
dengan harga Rp.20.000.000,00 dengan motif mau sama mau atau dapat dikatakan
dengan persetujuan korban(Romansyah, 2019)
Untuk kasus perdagangan manusia di kabupaten sendiri Unit PPA Polres
Bogor mencatat lebih kurangnya terdapat 10 kasus dari tahun 2016 hingga 2019.
Perbedaan data antara Polres Kabupaten Bogor dan juga DP3AP2KB Kabupaten
Bogor dapat berbeda dikarenakan ada beberapa kasus perdagangan orang yang
diselesaikan dengan cara kekeluargaan da nada pula yang lanjut hingga ke jalur
hukum. Hukuman yang diterima oleh pelaku berupa penahanan seperti yang tertera
pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan tergantung pasal-pasal yang
disanggakan dan vonis dari hakim. Namun, apabila pelaku masih dibawah umur
hukuman yang diberikan ialah setengah dari hukuman yang diterima oleh pelaku
30

dengan usia dewasa. Untuk pelaku dibawah umur sudah ada yang terungkap dengan
kasus prostitusi 2 orang anak dibawah umur yang dijual seharga Rp.30.000.000,00
dan Rp.20.000.000,00(Romansyah, 2019)
Sedangkan untuk daerah yang sering terjadinya TPPO ada di daerah Kota
Wisata, Cileungsi, Kabupaten Bogor. Kasus lainnya adalah penculikan seorang anak
di daerah Ciawi, yang dimana anak tersebut dijadikan pengemis dan hasil dari
kegiatan mengemis tersebut diserahkan kepada pelaku penculikan dalam hal ini
korban di eksploitasi tenaga serta fisiknya. Untuk kasus warga negara asing (WNA)
Polres Kabupaten Bogor belum pernah menangani serta mengungkap kasusnya
dikarenakan kendala dari operasional, jarak, personil, dan sulitnya mendapatkan
informasi dari luar negeri namun apabila mendapatkan kasus tersebut Polres
Kabupaten Bogor akan berkoordinasi dengan Mabes Polri serta pemerintah pusat
guna menindak lanjuti kasus TPPO tersebut(Romansyah, 2019)
Upaya pencegahan perdagangan manusia yang dilakukan oleh Polres
Kabupaten Bogor berupa sosialisasi yang bekerjasama dengan Dinas Sosial,
DP3AP2KB, serta dinas terkait dan juga perangkat desa guna memberikan informasi
kepada warga tentang bahaya dari perdagangan manusia. Ketika sudah terjadi kasus
perdagangan manusia maka Polres Kabupaten Bogor melakukan Penyelidikan yang
dilakukan dengan cara penyamaran, pembuntutan, wawancara, serta analisis data dan
dokumen. Setelah dilakukan penyidikan Polres Kabupaten Bogor melakukan
penyidikan dengan cara penetepan tersangka, barang bukti, penahanann, serta
ancaman pidana diatas 5 tahun. Jikalau korban tertangkap lebih dari satu kali korban
akan di rehabilitasi di Kementerian Sosial di Cijantung untuk mendapatkan
keterampilan kerja untuk bekal setelah masa rehabilitasi. Dalam pencegahan
perdagangan manusia ada tujuh kementerian dan lembaga tinggi diantaranya
Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kepolisian RI,
Kejaksaan RI, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BNP2TKI). Selain ketujuh lembaga tersebut masyarakat pun perlu turut
aktif dalam pencegahan perdagangan manusia(Romansyah, 2019)
31

3.4 Analisis Upaya Pemerintah Daerah Menggunakan Teori Keamanan


Nasional dan Keamanan Manusia
Dalam menganalisa penulisan ini, penulis menggunakan dua teori yang
berkaitan dengan kasus perdagangan manusia yaitu teori Keamanan nasional dan
juga teori Keamanan Manusia. Teori Keamanan Nasional menyatakan bahwa
Keamanan Nasional sebagai fungsi yang dimana artinya memberikan perlindungan
keamanan kepada segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia mencakup
perlindungan keamanan negara, perlindungan keamanan publik (masyarakat),
perlindungan keamanan warga negara dari segala bentuk ancaman dan atau tindakan
baik yang dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal. Rujukan daari konsep
keamanan nasional dapat disimpulkan sebagai alenia ke-4 dai pembukaan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Dalam konteks ini keamanan nasional dapat
dikatakan sebagai amanat konstitusi sehingga tidak ada pilihan lain bagi negara
kecuali wajib untuk melaksanakannya(Darmono, 2010)
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Bogor tentunya
selaras dengan apa yang di utarakan oleh teori Keamanan Nasional yang menyatakan
bahwa negara memberikan perlindungan penuh kepada seluruh masyarakat yang
mencakup perlindungan keamanan warga negara dari segala bentuk ancaman baik itu
dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Pemerintah Kabupaten Bogor
melakukan banyak upaya untuk mencegah terjadinya perdagangan manusia guna
melindungi keamanan bagi warga Kabupaten Bogor. Upaya tersebut diantaranya
mengutus dinas-dinas terkait seperti Dinas Perlindungan Pemberdayaan Perempuan
Anak Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana (DP3AP2KB), Dinas Sosial, serta
Dinas Kesehatan untuk membantu mensosialisasikan dan juga memberikan
pemulihan terhadap korban perdagangan manusia. Selain itu pemerintah daerah
Kabupaten Bogor pun membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan
Perdagangan Orang. Selain itu Polres Kabupaten Bogor pun turut membantu guna
mewujudkan pencegahan dalam penanganan perdagangan manusia di Kabupaten
Bogor dengan cara bersosialisasi ke desa-desa yang ada dan jika kasus perdagangan
manusia telah terjadi Polres Kabupaten Bogor melalui unit Perlindungan Perempuan
Anak melakukan penyelidikan dan juga penyidikan yang dimanan nantinya dari
kedua upaya tersebut pelaku dari perdagangan manusia mendapatkan efek jera.
Upaya-upaya tersebut tidak lepas dari fungsi pemerintah daerah untuk melindungi
keamanan masyarakat Kabupaten Bogor.
32

Teori lain yang digunakan penulis adalah teori Keamanan Manusia, menurut
UNDPkonsep keamanan harus berubah - dari tekanan eksklusif pada keamanan
nasional ke tekanan yang jauh lebih besar pada keamanan rakyat, dari keamanan
melalui persenjataan ke keamanan melalui pengembangan manusia, dari teritorial ke
pangan, pekerjaan dan keamanan lingkungan, yang dimana di dalamnya ada tujuh
komponen human security menurut UNDP yang pemenuhannya harus menjadi
tanggung jawab pemerintah masing-masing negara. Ketujuh komponen tersebut
adalah; Keamanan ekonomi (economic security), keamanan pangan (food security),
keamanan kesehatan (health security), keamanan lingkungan (environment security),
keamanan pribadi (personal security), keselamatan masyarakat (community security),
dan keamanan Keamanan politik (political security). Ketujuh komponen di atas dapat
disimplifikasi menjadi dua komponen utama, yaitu freedom from fear(bebas dari
ketakutan) dan freedom from want (bebas dari ketidakmampuan untuk
dimiliki)(UNDP, 1994)
Jika dilihat dari teori Keamanan Manusia, upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintah daerah Kabupaten Bogor sejalan dengan apa yang di ungkapkan oleh
teori Keamanan Manusia. Pemerintah daerah Kabupaten Bogor bekerjasama dengan
Polres Kabupaten Bogor berupaya untuk memberikan ketujuh komponen yang ditulis
oleh UNDP. Untuk menciptakan keamanan lingkungan, pemerintah daerah dan juga
Polres Kabupaten Bogor melakukan pengawasan serta sosialisasi tentang bahaya dari
perdagangan manusia guna menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif.
Selain itu dari aspek kesehatan serta keselamatan masyarakat korban dari
perdagangan manusia diberikan kesempatan untuk rehabilitasi di Dinas Sosial
sebelum dikembalikan kepada keluarganya selain dilakukan rehabilitasi korban dari
perdagangan manusia juga mendapatkan banyak keterempalan yang dapat mereka
gunakan untuk bekerja setelah mereka kembali kepada keluarganya. Apabila korban
terjangkit penyakit pasca terjadinya perdagangan manusia maka korban diberikan
pelayanan kesehatan oleh Dinas Kesehatan untuk mendapatkan kelayakan serta
keamanan bagi kesehatannya, selain rehabilitasi dan juga kesehatan korban pun
mendapat perlindungan hukum. Dengan upaya-upaya tersebut tentunya untuk
memenuhi komponen keamanan manusia Keamanan ekonomi, keamanan pangan,
keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan pribadi, keselamatan
masyarakat.
33

3.5 Kesimpulan
Dari apa yang sudah dijelaskan dalam bab ini, dapat di simpulkan bahwa
upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor yang
bekerjasama dengan Polres Kabupaten Bogor telah memenuhi kriteria dari teori
Keamanan Nasional dan Keamanan Manusia. Upaya yang dilakukan untuk
mencegah perdagangan manusia berupa pembentukan Gugus Tugas Pencegahan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, sosialisasi ke desa-desa dengan mengundang
aparat desa, dan juga memberikan penyuluhan kepada masyarakat Kabupaten Bogor.
Jika tindakan perdagangan manusia sudah terjadi maka pemerintah daerah
Kabupaten Bogor dan juga Polres Kabupaten Bogor berupaya dengan cara
memberikan rehabilitasi kepada korban, dan juga memproses pelaku secara hukum
yang berlaku.
34
BAB 4
PENUTUP

4.1 Pengenalan
Dalam bab ini, akan menjelaskan bagaimana penelitian ini memiliki implikasi
secara teoritis dan praktis untuk kebijakan dalam menangani masalah perdagangan
manusia di Kabupaten Bogor. Selanjutnya, selama penelitian ini tentunya ada
limitasi kajian dan keterbatasan penulis dalam melakukan penelitian. Bagian
berikutnya adalah saran penelitian untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan
dengan penelitian ini dan kemudian menyimpulkan dengan ringkasan sebagai
keseluruhan ringkasan dari bab 1 sampai bab 3.

4.2 Implikasi Penelitian / Kajian


Dalam implikasi penelitian terdapat dua bagian, yaitu implikasi teoritis dan
implikasi praktikal untuk kebijakan.

4.2.1 Implikasi Teoritis


Menurut teori penelitian ini yaitu, Keamanan Nasional dan Keamanan
Manusiauntuk dapat melihat upaya-upaya pemerintah daerah Kabupaten Bogor
dalam menangani kasus perdagangan manusia melalui variable yang
terkandung di dalam dua teori tersebut, dapat dikatakan bahwa upaya
pemerintah daerah Kabupaten Bogor seperti pembentukan gugus tugas
pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang,
pemberian sosialisasi, bekerjasama dengan dinas terkait beserta polres
kabupaten bogor membuktikan bahwa upaya yang dilakukan telah sesuai
dengan konsep dari teori Keamanan Nasional dan juga Keamanan Manusia.

4.2.2 Implikasi Praktikal untuk Kebijakan


Jika kita melihat analisis pada Bab 3, penelitian ini dapat menjadi
panduan dalam melakukan upaya untuk melindungi masyarakat dari
perdagangan manusia sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh teori
keamanan nasional dan juga keamanan manusia. Ada beberapa konsep
keamanan nasional dan juga keamanan manusia yang menjadi acuan dalam

35
36

menentukan upaya apa yang tepat dilakukan oleh pemerintah daerah


Kabupaten Bogor untuk mengatasi perdagangan manusia sesuai dengan teori
keamanan nasional dan juga keamanan manusia.

4.3 Limitasi Kajian dan Keterbatasan dalam Kajian


Selama pengerjaan kajian ini penulis tidak memiliki limitasi kajian
dikarenakan jarak yang dekat, serta mudahnya mendapatkan informasi serta data dari
instansi terkait. Keterbatasan yang dialami hanyalah kurangnya sumber sekunder
seperti literasi tentang Kabupaten Bogor serta tidak adanya kasus perdagangan
manusia secara internasional di Kabupaten Bogor.

4.4 Saran Penelitian


Dalam bagian ini, penulis ingin memberikan saran dan rekomendasi untuk
penelitian di kemudian hari yang menganalisis upaya pemerintah daerah dalam
menangani kasus perdagangan manusia. Peneliti berharap bahwa dalam penelitian
selanjutnya mendapatkan data yang lebih banyak lagi sehingga hasil yang di dapat
lebih tepat dan bervariasi. Untuk mendapatkan data yang valid, penulis menyarankan
agar membandingkan antara data primer dengan data sekunder sehingga hasil yang
dicapai sesuai dengan harapan.

4.5 Penutup
Dari apa yang telah dijelaskan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
pemerintah daerah Kabupaten Bogor telah berupaya secara maksimal untuk
mencegah dan mengurangi perdagangan manusia akan tetapi hasil yang dicapai
belum maksimal. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor
telah mencakup segala aspek yang diungkapkan oleh teori Keamanan Nasional dan
juga Keamanan Manusia. Dalam teori Keamanan Nasional dikatakan bahwa
Keamanan Nasional merupakan kondisi atau keadaan yang bersifat nasional dan
menggambarkan terbebasnya negara, masyarakat dan warga negara dari segala
bentuk ancaman atau tindakan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun faktor
internal. Untuk mewujudkan keadaan tesebut harus ada aktivitas yang dilakukan oleh
pemerintahan Indonesia. Aktivitas tersebut adalah fungsi dari keamanan nasional,
maka dari itu keamanan nasional tidak hanya sebagai kondisi namun juga sebagai
fungsi.
37

Dalam mejalankan konsep dari teori Keamanan Nasional pemerintah daerah


Kabupaten Bogor dan Polres Kabupaten Bogor melakukan upaya yang telah
disebutkan diatas guna menciptakan rasa aman untuk masyarakat Kabupaten Bogor.
Teori Keamanan Nasional dapat dikatakan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah
Kabupaten Bogor dan Polres Kabupaten Bogor untuk melakukan upaya pencegahan
dari perdagangan manusia yang marak terjadi di Indonesia. Sedangkan dalam konsep
teori Keamanan Manusia, ada tujuh komponen human security menurut UNDP yang
pemenuhannya harus menjadi tanggung jawab pemerintah masing-masing negara.
Ketujuh komponen tersebut adalah; Keamanan ekonomi (economic security),
keamanan pangan (food security), keamanan kesehatan (health security), keamanan
lingkungan (environment security), keamanan pribadi (personal security),
keselamatan masyarakat (community security), dan keamanan Keamanan politik
(political security). Ketujuh komponen di atas dapat disimplifikasi menjadi dua
komponen utama, yaitu freedom from fear(bebas dari ketakutan) dan freedom from
want (bebas dari ketidakmampuan untuk dimiliki).
Untuk memenuhi komponen dari teori Keamanan Manusia, pemerintah
daerah Kabupaten Bogor dan juga Polres Bogor melakukan upaya seperti yang telah
disebutkan diatas dan juga melakukan pemulihan (rehabilitasi) kepada korban, tidak
hanya pemulihan (rehabilitasi) pemerintah Kabupaten Bogor menugaskan dinas
sosial untuk memberikan keterampilan agar dapat digunakan pasca korban
dikembalikan kepada keluarganya, hal ini diharapkan korban dapat memajukan
perekonomian keluarga. Tidak hanya diberikan keterampilan, jikalau korban
menderita penyakit setelah menjadi korban dari perdagangan manusia pemerintah
Kabupaten Bogor menugaskan Dinas Kesehatan untuk melakukan pemeriksaan,
pengobatan serta perawatan kepada korban. Terlihat sudah dari upaya yang diberikan
oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor dan Polres Kabupaten Bogor memenuhi
komponen dari apa yang dikatakan oleh teori Keamanan Manusia.
38
REFERENCES

Darmono, B. (2010). Konsep Dan Sistem Keamanan Nasional Indonesia. Jurnal Ketahanan
Nasional XV(1), 27-28.

Djustiana, A. B. (2015). Upaya Penanganan Korban dan Pencegahan Tindak Perdagangan


Orang (Human Trafficking) di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Jurnal Ilmu
Pemerintahan, CosmoGov Vol.1 No.1, 125-148.

Dominica, R. (2017, November 2). Analisis Sektor Perekonomian Kabupaten Bogor.


Retrieved from Kementerian PPN/BAPPENAS:
https://hub.satudata.bappenas.go.id/dataset/analisis-sektor-perekonomian-di-
kabupaten-bogor diakses pada 10 Juni 2019

Hammerstad, A. (2000). Whose Security?: UNHCR, Refugee Protection and State Security
After the Cold War. SAGE Publications Vol: 31(4), 391-403.

Harkrisnowo, D. H. (2003). Indonesian Country Report: Human Trafficking.

Hidayati, M. N. (2012). Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang Melalui


Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri
Pranata Sosial Vol. 1 No. 3, 163-175.

Homeland Security. (n.d.). What Is Human Trafficking? Retrieved from Blue Campaign:
https://www.dhs.gov/blue-campaign/what-human-trafficking diakses pada 9
Janauari 2019

Kumar, R. (2011). Research Methodology a step-by-step For Beginners. Chennai: Sage


Publications.

Maya. (2019, July 3). Petugas Unit PPA DP3AP2KB Kabupaten Bogor. (S. H. Chaerunnisa,
Interviewer)

Minin, H. D. (2011). Strategi Penanganan Trafficking di Indonesia. Kanun Jurnal Ilmu Hukum
, 22-31.

Muis, R. A. (2013). Studi Tentang Perdagangan Manusia (Human Trafficking) Pada Remaja
Putri Jenjang Sekolah Menengah di Kota Surabaya. Jurnal BK UNESA Volume. 4
Nomor. 1, 68-77.

Munthe, R. (n.d.). Perdagangan Orang (Trafficking) sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, 184-192.

Najemy, L. B. (2010). South Africa's Approach to the Global uman Trafficking Crisis: An
Analysis of the Proposed Legislation and the Prospects of Implementation.
Washington University Global Studies Law Review Vol.9 Issue.1, 175-176.

Nexus Human Trafficking. (2017, June 16). Human Trafficking In Indonesia: The Difficult
Road Home. Retrieved from Nexus Institute:
https://nexusinstitute.net/2017/06/16/human-trafficking-in-indonesia-the-difficult-
road-home/ diakses pada 9 Januari 2019

39
40

Pemerintah Kabupaten Bogor. (n.d.). Kependudukan . Retrieved from Pemerintah


Kabupaten Bogor:
http://bogorkab.go.id/index.php/page/detail/17/kependudukan#.XSIZw_5S_IU
diakses pada 8 Juni 2019

Pemerintah Kabupaten Bogor. (n.d.). Letak Geografis. Retrieved from Pemerintah


Kabupaten Bogor: http://bogorkab.go.id/index.php/page/detail/5/letak-
geografis#.XRbKSv5S_IU diakses pada 8 Juni 2019

Pemerintah Kabupaten Bogor. (n.d.). Perekonomian . Retrieved from Pemerintah


Kabupaten Bogor: http://bogorkab.go.id/index.php/page/detail/13/perekonomian
diakses pada 8 Juni 2019

Pemerintah Kabupaten Bogor. (n.d.). Sejarah Kabupaten Bogor. Retrieved from Pemerintah
Kabupaten Bogor: http://bogorkab.go.id/index.php/page/detail/1/sejarah-
kabupaten-bogor diakses pada 7 Juni 2019

Romansyah, D. (2019, July 3). Penyidik Unit PPA Polres Kabupaten Bogor. (S. H.
Chaerunnisa, Interviewer)

UNDP, U. N. (1994). Human Development Report. Oxford: Oxford Press.

UNHR. (2014). Human Rights and Human Trafficking. New York and Geneva: United
Nations.

UNODC. (n.d.). Human Trafficking . Retrieved from What is Human Trafficking?:


https://www.unodc.org/unodc/en/human-trafficking/what-is-human-
trafficking.html diakses pada 9 Januari 2019

Utami, P. (2016). Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Mengatasi Human Trafficking di


Batam . eJournal Ilmu Hubungan Internasional , 1258-1270.

Sumber Lain

Leaflet Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang (BPPPKB Kab. Bogor, P2TP2A Wanoja Mitandang, Unit PPA Polres
Bogor)

Leaflet Waspdai Perdagangan Orang (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan


Perlindungan Anak Republik Indonesia, Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan
Anak, Kependudukan, dan Keluarga Berencana)

Surat Keputusan Bupati Bogor Nomor: 350/107/Kpts/Per-UU/2017 Tentang Pembentukan


Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Tingkat Kabupaten Bogor.
LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 WAWANCARA
Transkrip Wawancara

Nama Narasumber : Ibu Maya

Tanggal : Rabu, 03 Juli 2019

Tempat : DP3AP2KB Kabupaten Bogor

Pertanyaan : Apa saja upaya yang telah dilakukan oleh DP3AP2KB Kabupaten
Bogor untuk menangani perdagangan manusia di Kabupaten Bogor?

Jawaban : Sosialisasi tentang PP-TPPO ( Pencegahan Penanganan Tindak


Pidana Perdagangan Orang), Membentuk gugus perlindungan perlindungan
perempuan & anak terhadap kecamatan dan satgas perlindungan perempuan & anak,
Melaksanakan rapat kordinasi PP- TPPO ( Pencegahan Penanganan Tindak Pidana
Perdagangan Orang), Menyusun rencana aksi daerah (RAD) PP-TPPO ( Pencegahan
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang).

Pertanyaan : Bagaimana DP3AP2KB Kabupaten Bogor menanggapi kasus


perdagangan manusia di Kabupaten Bogor?

Jawaban : DP3AP2KB jika mendapat laporan telah ditemukan korban yang


berasal dari kabupaten bogor di daerah lain. Akan melakukan kordinasi bersama
gusus tugas PP TPPO (Pencegahan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang)
kabupaten bogor dalam upaya pemulangan korban dari daerah di mana korban
ditemukan sampai kepada keluarganya.

Pertanyaan : Kasus perdagangan manusia seperti apa yang sering terjadi di


Kabupaten Bogor?

Jawaban : Yang sering terjadi adalah kasus perdagangan orang yang di


perkerjakan sebagai PSK dengan dasar akan di kerjakan di Restoran

Pertanyaan : Bagaimana Masyarakat harus bertindak?

L1
L2

Jawaban : Masyarakat harus berupaya melakukan pencegahan terhadap


kemungkinan terjadinya kasus perdagangan orang .Pemerintah kabupaten bogor
melalui DP3AP2KB telah berupaya melaksanakan kegiatan-kegiatan sosialisai
tentang pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan dengan sasaran
masyarakat , perangkat / aparat desa , forum anak.

Pertanyaan : Apakah ada instansi atau lembaga lain yang membantu DP3AP2KB
untuk menangani kasus perdagangan manusia?

Jawaban : Dalam menjalankan tugas pencegahan Tindak Pidana Perdagangan


Orang (TPPO) DP3AP2KB Kabupaten Bogor tidak bekerja sendirian, akan tetapi
juga dibantu oleh dinas-dinas lain terkait seperti Dinas Sosial Kabupaten Bogor dan
juga Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. Dinas Sosial berfungsi untuk memulihkan
kondisi psikologi (rehabilitasi) korban serta memberikan keterampilan kepada
korban yang dapat digunakan setelah korban di kembalikan kepada keluarganya.
Sedangkan untuk Dinas Kesehatan berfungsi untuk memberikan fasilitas kesehatan
apabila korban mendapatkan kekerasan fisik atau mendapat penyakit pasca terjadinya
perdagangan manusia yang dialaminya
L3

Transkrip Wawancara

Nama Narasumber : Briptu Dodi Romansyah

Tanggal : Rabu, 03 Juli 2019

Tempat : Unit PPA Polres Kabupaten Bogor

Pertanyaan : Menurut Bapak, apakah pengertian dari perdagangan manusia?

Jawaban : Perdagangan Manusia atau biasa disebut TPPO merupakan tindakan


perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan hutang atau memberi bayaran dengan tujuan eksploitasi seperti yang
tertera pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Suatu kasus dapat dikatakan
sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) jikalau terjadi tindak eksploitasi
pada tubuh korban untuk mendapatkan keuntungan secara finansial bagi pelaku
TPPO baik itu dengan atau tanpa persetujuan dari korban TPPO tersebut

Pertanyaan :Adakah kasus perdagangan manusia di Kabupaten Bogor?

Jawaban : Ada

Pertanyaan : Sudah ada berapa kasus perdagangan manusia di Kabupaten bogor?

Jawaban : Kurang lebih da sekitar 10 nkasus dari tahjun 2019 hingga saat ini

Pertanyaan : Kasus perdagangan manusia seperti apa yang sering terjadi di


Kabupaten Bogor?

Jawaban : Kasus yang sering terjadi di Kabupaten Bogor adalah Prostitusi

Pertanyaan : Bagaimana suatu kasus dapat dikatakan sebagai kasus dari tindak
pidana perdagangan orang?

Jawaban : Suatu kasus dapat dikatakan sebagai Tindak Pidana Perdagangan


Orang (TPPO) jikalau terjadi tindak eksploitasi pada tubuh korban untuk
mendapatkan keuntungan secara finansial bagi pelaku TPPO baik itu dengan atau
tanpa persetujuan dari korban TPPO tersebut

Pertanyaan : Biasanya apa saja modus yang dilakukan oleh pelaku untuk menjerat
korban?

Jawaban : Modus yang dilakukan oleh pelaku biasanya membujuk korban


untuk kerja yang sebelumnya diberitahu akan dipekerjakan sebagai terapis, dan lain
sebagainya. Segala bentuk eksploitasi yang meliputi organ tubuh korban,
L4

mengeksploitasi secara seksual merupakan suatu tindak pelacuran dan juga


pencabulan

Pertanyaan : Bagaimana cara menetapkan kasus TPPO?

Jawaban : Dalam menetapkan kasus TPPO di perlukan bukti yang kuat seperti
uang, alat kontrasepsi, telepon genggam.

Pertanyaan : Adakah kasus perdagangan manusia di Kabupaten Bogor yang


terjadi baru-baru ini?

Jawaban : Ada, beberapa bulan lalu terdapat kasus TPPO yang dialami oleh
warga Kabupaten Bogor kasus tersebut dialami oleh 2 anak dibawah umur yang
dimana keduanya dijual kepada lelaki hidung belang di salah satu hotel di kawasan
Jakarta. Pelaku pun memasang tarif yang berbeda kepada setiap korbannya, korban
pertama dibanderol Rp.30.000.000,00 rupiah sedangkan korban kedua dibanderol
dengan harga Rp.20.000.000,00 dengan motif mau sama mau atau dapat dikatakan
dengan persetujuan korban

Pertanyaan : Hukuman apa yang akan diberikan kepada pelaku dari perdagangan
manusia?

Jawaban : Hukuman yang diterima oleh pelaku berupa penahanan seperti yang
tertera pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan tergantung pasal-pasal yang
disanggakan dan vonis dari hakim. Jika pelaku masih dibawah umur hukuman yang
diberikan ialah setengah dari hukuman yang diterima oleh pelaku dengan usia
dewasa

Pertanyaan : Adakah kasus yang terungkap dan pelakunya adalah anak dibawah
umur?

Jawaban : Untuk pelaku dibawah umur sudah ada yang terungkap dengan kasus
prostitusi 2 orang anak dibawah umur yang dijual seharga Rp.30.000.000,00 dan
Rp.20.000.000,00

Pertanyaan : Sejauh ini daerah mana (di Kabupaten Bogor) yang sering terjadi
transaksi perdagangan manusia?

Jawaban : Untuk daerah yang sering terjadinya TPPO ada di daerah Kota
Wisata, Cileungsi, Kabupaten Bogor.

Pertanyaan : Adakah kasus perdagangan manusia selain prostitusi di Kabupaten


Bogor?

Jawaban : Ada, Kasus lainnya adalah penculikan seorang anak di daerah Ciawi,
yang dimana anak tersebut dijadikan pengemis dan hasil dari kegiatan mengemis
tersebut diserahkan kepada pelaku penculikan dalam hal ini korban di eksploitasi
tenaga serta fisiknya
L5

Pertanyaan : Adakah kasus perdagangan manusia di Kabupaten Bogor yang


melibatkan WNA?

Jawaban : Untuk kasus warga negara asing (WNA) Polres Kabupaten Bogor
belum pernah menangani serta mengungkap kasusnya dikarenakan kendala dari
operasional, jarak, personil, dan sulitnya mendapatkan informasi dari luar negeri
namun apabila mendapatkan kasus tersebut Polres Kabupaten Bogor akan
berkoordinasi dengan Mabes Polri serta pemerintah pusat guna menindak lanjuti
kasus TPPO tersebut

Pertanyaan : Bagaimana upaya untuk mengatasi dan menangani perdagangan


manusia di Kabupaten Bogor?

Jawaban : Upaya pencegahan perdagangan manusia yang dilakukan oleh Polres


Kabupaten Bogor berupa sosialisasi yang bekerjasama dengan Dinas Sosial,
DP3AP2KB, serta dinas terkait dan juga perangkat desa guna memberikan informasi
kepada warga tentang bahaya dari perdagangan manusia. Ketika sudah terjadi kasus
perdagangan manusia maka Polres Kabupaten Bogor melakukan Penyelidikan yang
dilakukan dengan cara penyamaran, pembuntutan, wawancara, serta analisis data dan
dokumen. Setelah dilakukan penyidikan Polres Kabupaten Bogor melakukan
penyidikan dengan cara penetepan tersangka, barang bukti, penahanann, serta
ancaman pidana diatas 5 tahun.

Pertanyaan : Siapa sajakah yang harus aktif dalam melakukan pencegahan


terhadap perdagangan manusia?

Jawaban : Dalam pencegahan perdagangan manusia ada tujuh kementerian dan


lembaga tinggi diantaranya Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
Sosial, Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Selain ketujuh lembaga tersebut
masyarakat pun perlu turut aktif dalam pencegahan perdagangan manusia

Anda mungkin juga menyukai