Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

APPEDISITIS

Oleh

Gilang Purnama Alam

09310111

Pembimbing :

dr. Asep Hermana, Sp.B

dr. Irwan Adenin, Sp.B

BAGIAN BEDAH
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD 45 KUNINGAN TAHUN 2013

1
BAB I

PENDAHULUAN

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sajum
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Kawin
Pendidikan terakhir : SD
Pekerjaan : Pedagang Sayur Keliling
Agama : Islam
Alamat : Talaga – Majalengka
Tanggal masuk : 3 Desember 2013

II. ANAMNESA

Keluhan Utama

Nyeri perut kanan bawah

Riwayat Penyakit Sekarang

Os datang ke IGD RSUD 45 Kuningan tanggal 3 Desember 2013 dengan


keluhan nyeri perut kanan bawah sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Os menceritakan pada awalnya nyeri dirasakan di ulu hati, kemudian
berpindah diperut kanan bawah lalu nyeri dirasakan hampir diseluruh bagian
perut. Nyeri dirasakan terus menerus dan seperti di tusuk-tusuk, os juga mengeluh
semakin lama nyeri terasa semakin berat.

2
Pasien juga mengeluh tidak nafsu makan, mual dan muntah disangkal oleh Os.
Os mengalami demam sejak nyeri perut terasa, demam dirasakan terus-menerus
sepanjang hari.
Os menyangkal ada keluhan saat BAB dan BAK. Os juga menyangkal pernah
terjatuh atau terbentur bagian perut sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita keluhan seperti Os.

Riwayat Penyakit Sebelumnya

Os tidak pernah mengalami keluahan yg serupa.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Kesadaran umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Compos mentis

A. Tanda Vital
 Tekanan darah : 140/90 mmHg
 HR : 100 x/menit
 RR : 26 x/menit
 Suhu : 37,5 C

B. Pemeriksaan Fisik Umum

a. Kepala-leher
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : Pembesaran KGB (-)

3
b. Thorax
Inspeksi : Bentuk dada simetris, tidak tampak jejas (-)
Palpasi : Gerakan dinding dada simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, suara tambahan (-)

c. Abdomen
Inspeksi : Datar, darm contour (-), steifung (-)
Auskultasi : BU (+) Normal
Palpasi : Defans muskular (+), nyeri tekan McBurney (+), hepar
dan lien tidak teraba, ginjal tidak teraba.

d. Ekstremitas
Atas : deformitas -/-, edema -/-, akral hangat
Bawah : deformitas -/-, edema -/-, akral hangat

Status Lokalis

Regio Kanan Bawah

Inspeksi : Distensi (+), darm contour (-), steifung (-), jejas (-)
Auskultasi : BU (+) Normal
Palpasi : Defans muskular (+), nyeri tekan McBurney (+), nyeri
lepas (+), Nyeri alih (+).

Pemeriksaan Tambahan : Psoas Test (-). Obturator Test (+)

4
IV. USULAN PEMERIKSAAN
- Laboratorium darah lengkap
- EKG
- Foto thorax
- USG

Hasil pemeriksaan darah rutin

 Hb : 14,9
 Leukosit : 11.300
 LED : 5
 Trombosit : 233.000
 Glukosa sewaktu : 164
 Ureum : 41
 Kreatinin : 1,01

V. DIAGNOSA BANDING
 Akut abdomen e.c Appendisitis Perforasi
 Colitis
 Urolitiasis

VI. DIAGNOSA KERJA


Akut abdomen e.c Appendisitis Perforasi

VII. PENATALAKSANAAN
Laparotomi Explorasi dan Appendiktomy

VIII. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : ad bonam
 Quo ad fungsionam : ad bonam

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI
a. Anatomi Apendiks
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, appendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya.
Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendicitis pada usia itu.
Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoappendiks penggantungnya.

Dasar usus buntu cukup konstan dan terletak di dinding posteromedial dari
sekum sekitar 2,5 cm di bawah katup ileocecal. Ini juga di mana taeniae yang
menyatu.

6
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch
(analog dengan Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. Appendiks
adalah suatu struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada
bagian awal dari sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada
Ileocaecal junction terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal
appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi).

Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan


sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik appendicitis
ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang
sekum), pelvic (panggul, subcaecal (di bawah sekum), preileal (di depan usus
halus), dan postileal (di belakang usus halus).Appendiks divaskularisasi oleh
arteri apendikularis yang merupakan cabang dari bagian bawah arteri ileocolica.
Arteri appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi penyumbatan pada arteri ini,
maka appendiks mengalami ganggren.

7
b. Fisiologi Appendik
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis.

Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu


mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi
enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika
dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.

B. DEFINISI
Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks
vermiformis,dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling
sering. Appendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini
dikenal dan digunakan dimasyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus
buntu sebenarnya adalah s e k u m . Sampai saat ini belum diketahui secara pasti
apa fungsi appendiks sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering sekali
menimbulkan masalah kesehatan.

C. ETIOLOGI
Appendisitis adalah peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan
dinding organ tersebut. Patogenesis utamanya diduga disebabkan oleh fekalit
(feses keras yang terutama disebabkan oleh serat).

Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen


appendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Di samping
hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor appendiks, dan cacing ascariasis dapat
pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
appendisitis adalah erosi mukosa appendiks akibat parasait seperti E. Histolytica.

8
Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks,
diantaranya:

1. Faktor Obstruksi
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith
merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak
dengan Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix.
Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa
Appendix, barium yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian,
gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik,
baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,
Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis
juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles,
chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat pada
pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar
yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor
carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200
tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam
terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis
adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.

2. Faktor bakteri
Penyebab lain yang diduga menimbulkan appendisitis adalah ulserasi mukosa
appendiks oleh parasit E. Histolytica. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin atau
cairan mucosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari appendiks, hal ini akan semakin
meningkatkan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan tekanan intra mucosa juga
semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding
appendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus atau nanah pada
dinding appendiks. Infeksi enterogen merupakan faktor primer pada appendisitis akut.
Adanya fekolith dalam lumen appendiks yang telah terinfeksi dapat memperburuk dan
meperberat infeksi karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen appendiks

9
3. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa
kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari
negara yang pola makannya banyak serat. Namun, sekarang terjadinya sebaliknya.
Bangsa kulit putih justru merubah kebiasaan makannya ke pola makan tinggi serat.
Negara berkembang yang dulu mempunyai kebiasaan makan tinggi serat, kini beralih ke
pola makan rendah serat, sehingga memiliki resiko.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan-makanan


rendah serat dan pengaruh konstipasi terehadap timbulnya appendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya appendisitis akut.

D. PATOFISIOLOGI
Secara patogenesis faktor penting terjadinya appendisitis adalah adanya
obstruksi lumen appendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Obstruksi
lumen appendiks merupakan faktor penyebab dominan pada appendisitis akut.
Peradangan pada appendiks berawal di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh
lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam. Obstruksi pada bagian yang
lebih proksimal dari lumen menyebabkan stasis bagian distal appendiks, sehingga
mukus yang terbentuk secara terus menerus akan terakumulasi. Selanjutnya akan
menyebabkan tekanan intraluminal meningkat, kondisi ini akan memacu proses
translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah kuman didalam lumen
appendiks. Selanjutnya terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan udem.
Kondisi ini memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa dan
menyebabkan ulserasi mukosa appendiks maka terjadi keaaan yang disebut
appendisitis fokal.
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan
meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang

10
akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-
samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium.

Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari
pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan
tekanan organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat
menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat.
Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata.
Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada
regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ.
Obstruksi yang terus menerus menyebabkan tekanan intraluminer semakin
tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Keadaan ini akan
menyebabkan udem bertambah berat, terjadi iskemia, dan invasi bakteri semakin
berat sehingga terjadi pnumpukan nanah pada dinding appendiks atau disebut
dengan appendisitis akut supuratif. Pada keadaan yang lebih lanjut, dimana
tekanan intraluminer semakin tinggi, udem menjadi lebih hebat, terjadi gangguan
sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadi gangren. Gangren biasanya di
tengah-tengah appendiks dan berbentuk ellipsoid, keadaan ini disebut appendisitis
gangrenosa. Bila tekanan terus meningkat, maka akan terjadi perforasi yang
mengakibatkan cairan mukosa appendiks akan tercurah ke rongga peritoneum dan
terjadilah peritonitis local.
Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup
appendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikular. Apabila terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu rongga
yang berisi nanah di sekitar appendiks disebut abses periapendikular.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan serangan berulang di perut kanan
bawah disebut dengan appendisitis rekurens. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih


panjang, dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya

11
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh
darah.

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi


mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,
uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila
proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).

E. KLASIFIKASI
Klasifikasi appendisitis menurut klinikopatologis:

1) Appendisitis akut

Appendisitis akut adalah keadaan akut abdomen yang memerlukan


pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk jika telah
terjadi perforasi, maka komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umum,
terjadinya abses, dan komplikasi pasca operasi seperti fistula dan infeksi
luka operasi (Jaffe & Berger, 2005).

Klasifikasi appendisitis akut:

a. Appendisitis akut simple : peradangan baru terjadi di mukosa dan sub


mukosa. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilicus, mual,
muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Appendisitis
hiperemia dan tidak ada eksudat serosa.
b. Appendisitis supuratif : Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti, nyeri tekan tekan, nyeri lepas di titik MC Burney, defans
muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif

12
c. Appendisitis akut Gangrenosa: didapatkan tanda-tanda supuratif,
appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding
appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.

Jika appendisitis akut berlangsung lebih dari 48 jam maka keadaan dapat
berubah menjadi sembuh, infiltrat, abses, perforasi, kronik.

a) Appendisitis infiltrate

Appendisitis infiltrate adalah proses radang appendiks yang penyebarannya


dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya

b) Appendisitis abses

Appendisitis abses terjadi bila massa local yang terbentuk berisi nanah.

c) Appendisitis perforasi

Appendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren yang


menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum

d) Appendisitis kronik

Appendisitis kronik adalah nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu atau
terjadi secara menahun . Appendisitis kronik sangat jarang terjadi. Prevalensi
hanya 1-5 %. Diagnosis appendisitis kronik sulit ditegakkan. Terdapat riwayat
nyeri perut kanan bawah yang biasa terjadi secara berulang. Pemeriksaan fisik
hampir sama dengan appendisitis akut. Walaupun ada beberapa kriteria yg
berbeda. Pada pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi terkadang
menggambarkan hasil yang normal. Setelah dilakukan apendektomi, gejala akan
menghilang pada 82-93% pasien.

Patologi anatomi digunakkan untuk menegakkan appendisitis kronik karena


diagnosis sebelum operasi sangat sulit ditetapkan. Ciri Appendisitis kronik adalah
fibrosis menyeluruh dinding appendiks, sumbatan parsial atau total lumen

13
appendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel
inflamasi kronik.

F. MANIFESTASI
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
terjadinya peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, baik disertai maupun tidak didisertia dengan rangsang peritoneum lokal.
Gejala klasik appendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya, nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney.2

14
Disini, nyeri diatas lebih tajam dan lebih jelas letaknya yang merupakan
nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat
konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu
dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat
perngsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau
batuk.

Bila appendiks terletak retrosekal retroperitoneal. Tanda nyeri perut kanan


bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena
appendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau
nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang
dari dorsal.

Jika appendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan


frekuensi kencing akibat rangsangan appendiks terhadap dinding kandung kemih.
Radang pada appendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan gejala
dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat dan
pengosongan rektum mendasi lebih cepat serta berulang. 2

15
Gejala appendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya, anak sering
hanya menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa
melukiskan rasa nyerinya. Beberpa jam kemudian, anak akan muntah sehingga
menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, appendisitis
sering baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90% appendisitis
baru diketahui setelah terjadi perforasi.

Pada beberapa keadaan, appendisitis agak sulit di diagnosis sehingga tiadak


ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia
lanjut, gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah perforasi.

Pada kehamilan, keluhan utama appendisitis adalah nyeri perut, mual, dan
muntah. Hal ini perlu dicermati karena pada kehamilan trisemester pertama
sering juga terjadi maul dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan appendiks
terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah
tetapi lebih di regio lumbal kanan.

G. PEMERIKSAAN FISIK
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5-38,50C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi atau Bila terdapat perbedaan suhu aksilar
dan rektal sampai 10C. Pada inspeksi perut, tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan
pada perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikular.

Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniodorsal oleh uterus, keluhan nyeri


pada appendisitis sewaktu hamil trisemester II dan III akan bergeser ke kanan
sampai ke pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trisemester I tidak berbeda
dengan pada orang tidak hamil karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri
berasal dari uterus atau appendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan
berpindah sesuai dengan pergeseran uterus, terbukti proses bukan berasal dari
appendiks.

16
Peristaltis usus sering normal teapi juga dapat menghilang akibat adanya
ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh appendisitis
perforata.

Tanda kunci diagnosis appendisitis yaitu bila terdapat nyeri tekan kuadran
kanan bawah atau pada titik Mc.Burney. Saat melakukan penekanan yang
perlahan dan dalam pada titk Mc. Burney kemudian secara tiba – tiba dilepaskan,
akan dirasakan nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah, disebut dengan
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) (+).

Rovsing sign (+) apabila dilakukan penekanan abdomen kiri bawah dan
nyeri dirasakan pada abdomen kanan bawah. Hal ini terjadi karena tekanan
marangsang peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakkan peritoneum
sekitar appendiks yang meradang (somatic pain) 10.
Blumberg (+) apabila dilakukan pelepasan penekanan abdomen kiri bawah
dan nyeri dirasakan pada abdomen kanan bawah

17
Defans muscular (+) merupakan nyeri tekan seluruh lapangan abdomen
yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
Pada pemeriksaan perkusi di bagian abdomen didapatkan nyeri ketok (+).
Auskultasi memperlihatkan peristaltik yang normal, peristaltik (-) pada ileus
paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
appendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi
peristaltik.

Rectal toucher colok dubur, jika appendiks terletak di pelvis, maka tanda
klinik sangat sedikit, sehingga harus dilakukan pemeriksaan rektal, menemukan
nyeri dan bengkak pada kanan pemeeriksaan.

18
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien
dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada
hambatan pada pinggul / pangkal paha kanan.

Dasar anatomi dari tes psoas.


Appendiks yang mengalami
peradangan kontak dengan otot
psoas yang meregang saat
dilakukan manuver
(pemeriksaan).
Tes Obturator. Nyeri
pada rotasi kedalam secara
pasif saat paha pasien difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah
kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda bintang),
menghasilkan rotasi femur kedalam.

19
Dasar Anatomi dari tes
obturator : Peradangan
appendiks dipelvis yang kontak
denhgan otot obturator internus
yang meregang saat dilakukan
manuver.

Baldwin’s test: Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri
di flank saat tungkai kanannya ditekuk.

20
Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pemeriksaan darah digunakan untuk melihat tanda infeksi, seperti
peningkatan sel darah putih. Pemeriksaan darah mungkin juga menunjukkan
dehidrasi atau ketidakseimbangan air dan eletrolit.

Urinalisis digunakan untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih.


Pemeriksaan kehamilan juga di perlukaan bila ada kecurigaan terhadap
kehamilan.

Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya


didapatkan pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering
disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah
putih normal tidak ditemukan shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis
Appendicitis acuta harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah
putih lebih dari 18.000/ mm3 pada Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung
jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan
terjadinya perforasi Appendix dengan atau tanpa abscess.

21
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang
disintesis oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam
serum mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.

Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung


leukosit ≥ 11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%,
dan spesifisitas 90.7%.

2. Radiologi
Foto polos abdomen tidak menunjukkan bukti usus buntu.. Jikaair
fluid level terlihat di perut bagian bawah, bagaimanapun, peritonitis lokal
harus dicurigai. Ultrasonografi dan CT Scan nilai diagnostik, dan
memberikan informasi yang berguna untuk menentukan perlu atau tidak
adalah appendektomi diperlukan.

a. Ultrasonography
Karena ini adalah pemeriksaan minimal invasif sehingga mudah untuk
dijalankan dan dapat diulang, pemeriksaan ini penting dalam mendiagnosis
appendisitis akut. Appendiks yang normal biasanya tidak tergambarkan
dengan ultrasonografi. Ketika appendiks mengalami peradangan dan
membesar, sehingga dapat divisualisasikan gambaran dari appendisitis
termasuk hipertrofi dari dinding appendik, gangguan struktur lapisan
normal, kerusakan dinding, dan cairan purulen atau fecaliths dalam
lumen appendiks. Dalam appendiks catarrhal, dinding appendiks
menunjukkan tiga lapisan, sementara struktur lapisan ini menjadi tidak jelas
dalam appendiks phlegmonous. Tidak ada struktur lapisan digambarkan
dalam appendisitis gangrenosa lebih lanjut. Periappendiceal, akumulasi
cairan menunjukkan bentuk abses sekunder pada perforasi. Sebuah echo
periappendiceal yang tinggi menunjukkan agregasi dari omentum dan
jaringan lain yang telah dipengaruhi oleh peradangan. Jika beberapa dari
temuan ini dtemukani, operasi diindikasikan.

22
b. Apendikografi
Pemeriksaan apendikografi tidak mempunyai peran diagnosis dalam kasus
appendisitis. Kontra indikasi dari pemeriksaan ini pada pasien dengan peritonitis
dan curiga perforasi. Nonfilling appendiks merupakan tanda nonspesifik karena
appendiks yang tidak terisi kontras dapat terjadi pada ±10-20% pada orang
normal. Keuntungan dari pemeriksaan ini dapat untuk menegakkan diagnosis
penyakit lain yang menyerupai apendisistis. Kerugian pemeriksaan ini adalah
tingginya hasil nondiagnostik, eksposi radiasi, sensitivitas yang tidak tinggi,
pemeriksaan ini tidak cocok untuk pasien gawat darurat. Pemeriksaan
apendikografi sekarang jarang dilakukan dalam kasus appendisitis pada era
sonografi dan CT scan.

Temuan appendikografi pada appendisitis:

- Non filling appendiks

- Irregularitas nodularitas dari appendiks yang memberikan gambaran edema


mukosa yang disebabkan oleh karena inflamasi akut.

- Efek massa pada sekum serta usus halus yang berdekatan.

23
Gambaran pengisian penuh dengan kontras pada appendiks, appendiks normal.

Dari pemeriksaan menggunakan barium, kriteria diagnosis appendisitis : (1)


non filling appendiks dengan desakan local sekum; (2) pengisian dari appendiks
dengan penekanan local pada sekum ; (3) nonfilling appendiks dengan adanya
massa pelvis (kabur pada kuadran bawah kanan dengan perubahan letak usus
halus akibat desakan); (4) pola mukosa appendiks irregular dengan terhentinya
pengisian.

24
Gambaran foto oblique superior kanan abdomen dengan barium enema
single kontras. Tampak Sekum (C) dan appendix yang mengalami osifikasi dan
kontur yang ireguler (tanda panah).

25
c. Diagnosis

26
I. DIAGNOSA BANDING

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai


diagnosis banding, seperti

 Urolitiasis ureter kanan


Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas adamua batu pada ureter.

27
• Infeksi panggul

Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan appendisitis akut. Suhu


biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah
perut lebih difus.

• Penyakit saluran cerna lainnya

Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah peradangan di perut,


seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung,
kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal,
perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel
appendiks.

J. PENATALAKSANAAN
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah
meradang/appendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi
appendektomi).
Jika peradangan pada Appendix tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan
sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi
nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abscess yang jelas
batasnya.
Urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini
adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan
mengoperasi untuk membuang Appendix yang mungkin gangrene, dari dalam
massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan karena massa
ini telah menjadi lebih terfiksasi, sehingga membuat operasi berbahaya maka
harus menunggu pembentukan abscess yang dapat mudah didrainase.
Tatalaksana Appendicular infiltrat pada anak-anak sampai sekarang masih
kontroversial. Dari hasil penelitian kasus terapi Appendicular infiltrat pada anak-
anak, kebanyakan adalah konservatif yaitu dengan observasi ketat dan antibiotik,
dengan cairan intravena, dan pemasangan NGT bila diperlukan. Konservatif
berlangsung selama ± 6 hari di rumah sakit, lalu direncanakan untuk dilakukan

28
Appendectomy elektif setelah 4-6 minggu kemudian untuk mencegah
kemungkinan risiko rekurensi dan perforasi yang lebih luas.

Dari hasil penelitian komplikasi setelah operasi dengan penanganan


konservatif terlebih dahulu lebih sedikit bila dibandingkan dengan terapi
pembedahan segera seperti cedera pada ileum (Ileal injury), abses intrabdominal,
infeksi karena luka saat operasi. Sehingga terapi non-operatif pada appendicular
infiltrat yang diikuti dengan Appendectomy elektif merupakan metode yang aman
dan efektif. Terapi tersebut sama dengan pada orang dewasa yaitu dengan
konservatif terlebih dahulu yang diikuti dengan appendectomy elektif. Hal ini
dikarenakan untuk mencegah komplikasi post operasi dan risiko dari prosedur
pembedahan yang besar (extensive).

Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka
operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada
periapendikular infiltrat :
1. Total bed rest
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu
sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi
abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8
minggu kemudian.
4. Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja.
5. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam gejala akan mereda.
6. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus
dipertimbangkan appendiktomy.
7. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya
pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak
juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera
dibuka dan didrainase.
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana
nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara

29
ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik
ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks
dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat
menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan
dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila
pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik sedikit demi
sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal
5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari penderita di RT.

Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :


 LED
 Jumlah leukosit
 Massa
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
1. Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen
2. Pemeriksaan fisik :
o Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh
(diukur rectal dan aksiler)
o Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
o Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada
tetapi lebih kecil dibanding semula.
o Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
1. Bila LED telah menurun kurang dari 40
2. Tidak didapatkan leukositosis
3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah
tidak mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa
o Apakah penderita sudah bed rest total
o Pemakaian antibiotik penderita
o Kemungkinan adanya sebab lain.

30
Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada
perbaikan, operasi tetap dilakukan. Pembedahannya adalah dengan appendiktomi,
yang dapat dicapai melalui insisi Mc Burney.
Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit
peritonitis adalah apendektomi yang dicapai melalui laparotomi.

K. PROGNOSIS
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas dan bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat
terjadi bila appendiks tidak diangkat dan memperburuk prognosis.

31
BAB III

KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermiformis,dan


merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.

Patogenesis utamanya diduga disebabkan oleh fekalit (feses keras yang


terutama disebabkan oleh serat), tetapi masih banyak penyebab lainya.

Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan


morbiditas penyakit ini sangat kecil.

32

Anda mungkin juga menyukai