Anda di halaman 1dari 30

BAB 2

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Suatu gangguan fungsional kronik dan banyak jenisnya dan ditandai oleh
serangan yang berulang (Price A. Sylvia, 2005).
Gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi tepat otak yang di
karakteristik oleh kejang berulang – ulang, keadaan ini dapat dihubungkan
dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot
atau gerakan dan gangguan berlaku, alam perasaan, sensasi, persepsi, sehingga
epilepsi bukan suatu penyakit tetapi gejala. (Brunner & Suddarth, 2001).
2.2 Etiologi
a. Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak adalah epilepsi idiopatik
b. Faktor herediter; adalah beberapa penyakit yang bersifat herediter yang
disertai bangkitan kejang seperti sklerotis tuberosa, neurofibromatosis,
angiomatosis ensefalotrigeminal. Fenilketonuria, hipoparatiroidisme,
hipoglikimia.
c. Faktor genetic; pada kejang deman dan breath holding spells
d. Kelainan congenital otak; atrofi, porensefasi, agenesis, korpus kalosum
e. Gangguanmetabolic;hipoglikimia,hipokalsemia,hiponatremia,hipernatr
emia

f. Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan
selaputnya toksolakmosis

g. Trauma; kontosio serebri, hematoma subraknoid, hematema subdural

h. Neoplasma otakadan selaputnya

i. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen

j. Keracunan; timbal(Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air

k. Lain-lain; penyakit darah , gangguan keseimbangan hormon, degenerasi


serebral, dan lain-lain

3
2.3 Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi ialah faktor yang mempermudah terjadinya serangan,
yaitu:
a. Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang
mengejutkan air panas
b. Faktor sintemis: demam, penyakit infeksi, otot-otot tertentu misalnya
golongan fenotiazin, klorpropamid, hipoglikimia, kelelehan fisik
c. faktor mental: stress, gangguan emosi
2.4 Klasifikasi Epilepsi
a. Berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi)
1. Serangan Persial
a) Serangan persial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala sensorik
- Dengan gejala otonom
- Dengan gejala psikis
b) Serangan persial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan persial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan
c) Serangan umum sederhana
- Persial sederhana menjadi tonik – tonik
- Persial kompleks menjadi tonik – tonik
2. Serangan Umum
a. Absans (Lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik – Klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap)

4
Klasifikasi ILAE tahun 1981 diatas ini lebih mudah digunakan
untuk para klinisi karena hanya ada dua kategori utama yaitu :
- Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus
yang terlokalisir di otak.
- Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang
lebih luas pada kedua belahan otak.
b. Klasifikasi menurut Sindroma Epilepsi
1. Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik
- Epilepsi Rolandik Benigna (Childhood epilepsi with centro
tempora spike)
- Epilepsi pada anak dengan paroksimal oksipital.
b. Simptomatik
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parientalis
- Lobus oksipitalis
2. Umum
a. Idiopatik
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi absans pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi mioklonik pada remaja
b. Simptomatik
- Sindroma west (spasmus infantile)
- Sindroma lennox Gastaut
3. Berkaitan dengan lokasi dengan epilepsi umum (campuran idanz)
- Serangan neonatal

5
4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat – obatan
- Eklampsia
- Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (reflex epilepsi)
2.5 Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya
saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui implus
listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotrasmiter.
Dalam keadaan normal lalu lintas implus antar neuron berlangsung
dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu lintas antar
neuron menjadi kacau kalau dikarenakan breaking system pada otak terganggu
maka neuron – neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotrasmiter yang
berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah
- Glutamat yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter.
- GABA (Gama Aminobytiric Acid) yang bersifat sebagai brain’s
inbitory neurotransmitter.

Golongan neurotransmitter lain yang bersifat eksitatonik aspartat dan


astelin kolin sedangkan yang bersifat inhinitonik lainnya adalah noradrenalin,
dopamine serotonin (5 – HT) dan peptide. Neurotrasmiter ini hubungannya
dengan epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.
Epileptik seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transisi
impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah
apapun yang disebut sinkronisasi dari implus. Sinkronisasi ini dapat mengenai
pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau
bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda
dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang
secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis – jenis serangan
epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu :
- Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya
kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada
penderita epilepsi ternyata mengandung konsentrasi GABA yang
rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini
dalam bentuk inhibisi potensial post sinapatik.

6
- Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga
terjadi pelepasan impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini
ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamate di otak. Pada
penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamate pada
berbagai tempat di otak.
- Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi
untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada
tiga kejadian yang saling berkaitan :
- Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsik dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
- Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.
- Perlu sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal
bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai Fokus
epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari
sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersamaan dan
serentak dalam waktu saat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,
stroke, kelainan herediter dan lain – lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat
terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan
akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hiperkarnia,
hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain – lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya ekspolarisasi impuls dari
fokus epileptogenesis, mula – mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemister
sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk
bersama – sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.
Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibinisi di korteks serebri,
thalamus dan ganglia basalis yang secara intermitan menghambat discharge
epileptiknya, pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan diri polispike
menjadi spike and ware yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu
dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron (karena
kehabisan glukosa dan timbulnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi
dapat berhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.
Pada keadaan tertentu (hipoglukemia otak, hipoksia otak, acidosis
metabolik) depolarisasi impuls dapat berjalan terus sehingga menimbulkan
aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.

7
2.6 Manifestasi Klinis
a. Kejang Parsial Simplek
Dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan muatan ini
tetap terbatas di daerah tersebut.
Penderita mengalami sensasi gerakan atau kelainan psikis yang
abnormal, tergantung pada daerah otak yang terkena.
Jika terjadi di bagian otak yang mengendalikan gerakan otot lengan
kanan akan bergoyang dan mengalami sentakan : jika terjadi pada lobus
temporalis anterior sebelah dalam, maka penderita akan mencium bau yang
sempat menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan. Pada penderita
yang mengalami kelainan psikis bisa mengalami de ja vu (merasa pernah
mengalami keadaan sekarang di masa yang lalu).
b. Kejang Jacksonian
Gejalanya dimulai pada satu bagian tubuh tertentu (misalnya tangan
atau kaki) dan kemudian menjalar ke anggota gerak, sejalan dengan
penyebaran aktivitas listrik ditolak.
c. Kejang Parsial (Psikomotor) kompleks
Dimulai dengan hilangnya kontak penderita dengan lingkungan
sekitarnya selama 1 – 2 menit. Penderita menjadi goyah, menggerakkan
lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan,
mengeluarkan suara – suara yang tak berarti, tidak mampu memahami apa
yang orang lain katakana dan menolak bantuan.
Kebingungan berlangsung selama beberapa menit dan diikuti dengan
penyembuhan total.
d. Kejang Konvulsif
Biasanya dimulai dengan kelainan listrik pada daerah otak yang
terbatas. Muatan listrik ini segera menyebar ke daerah otak lainnya dan
menyebabkan seluruh daerah mengalami kelainan fungsi.
e. Epilepsi Primer Generalisata
Ditandai dengan muatan listrik abnormal di daerah otak yang luas, yang
sejak awal menyebabkan penyebaran kelainan fungsi. Pada kedua jenis
epilepsi ini terjadi kejang sebagai reaksi tubuh terhadap muatan yang
abnormal. Pada kejang konvulsif, terjadi penurunan kesadaran sementara
kejang otot yang hebat dan sentakan – sentakan di seluruh tubuh, kepala
berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat – kuat dan hilangnya
pengendalian kandung kemih. Sesudahnya penderita bisa mengalami sakit
kepala, linglung. Sementara dan merasa sangat lelah, biasanya penderita
tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama kejang.

8
f. Kejang Petit Mal
Dimulai pada masa kanak – kanak, biasanya sebelum usia 5
tahun.Tidak terjadi kejang dan gejala dramatis lainnya dari grand mal.
Penderita hanya menatap, kelopak makanya bergetar atau otak wajahnya
berkedut – kedut selama 10 – 30 detik. Penderita tidak memberikan respon
terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh, pingsan maupun menyentak –
nyentak.
g. Status Epiletikus
Merupakan kejang – kejang paling serius, dimana kejang terjadi terus
menerus, tidak berhenti. Konstraksi otot sangat kuat, tidak mampu bernapas
sebagaimana mestinya dan muatan listrik didalam ototannya menyebar luas.
Jika tidak segera ditangani, bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang
menetap dan penderita bisa meninggal.
 Gejala kejang berdasarkan sisi otak yang terkena :
Sisi otak yang terkena dan gejalanya :
1. Lobus frontalis : kedutan pada otak tertentu
2. Lobus oksipitalis : Halusinasi kilauan cahaya
3. Lobus parientalis : Mati suri atau kesemutan di bagian tubuh tertentu
4. Lobus temporalis : Halunisasi gambaran atau perilaku relaktif yang
kompleks misalnya jalan berputar – putar
5. Lobus temporalis : Gerakan mengunyah anterior
6. Lobus temporior anterior sebelah : Halunisasi bau, baik yang
menyenangkan dalam maupun yang tidak menyenangkan.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


a. EEG (elektroense falogram)
Merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik di dalam otak.
Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki resiko.
Elektroda ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik di
dalam otak. Sebelah terdiagnosis, biasanya dilakukan pemeriksaan lainnya
untuk menentukan penyebab yang bisa diobati.
Pemeriksaan daerah rutin dilakukan untuk :
- Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah.
- Menilai fungsi hati dan ginjal.

9
- Menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menimbulkan adanya infeksi)
b. EKG (Elektrokardiogram)
Dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung sebagai
akibat dari tidak adekuatnya aliran darah ke otak, yang bisa menyebabkan
seseorang mengalami pingsan.
c. Pemeriksaan CT Scan dan MRI
Dilakuakn untuk menilai adanya tumor atau kanker otak, stroke,
jaringan parut dan kerusakan karena cedera kepala.
d. Fungsi lumbal untuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
2.8 Diagnosis Banding
Sinkop, gangguan jantung, gangguna sepintas peredaran darah otak,
hipoglikemia, keracunan, breath holding spells, hysteria, narkolepsi, pavor
nokturnus, paralysis tidur, migren
2.9 Penatalaksanaan
Jika penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium
yang abnormal, maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu jika
keadaan tersebut sudah teratasi, maka terjadinya kejangnya sendiri tidak
memerlukan pengobatan. Jika penyebabnya tidak dapat disembuhkan atau
dikendalikan secara total, maka diperlukan obat anti kejang untuk mencegah
kejang lanjutan. Sekitar sepertiga penderita mengalami kejang kambuhan,
sisanya biasa hanya mengalami kejang kambuhan. Status epileptikus
merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti kejang diberikan dalam dosis
tinggi secara intervena.
Obat anti kejang sangat efektif, tapi juga bisa menimbulkan efek
samping. Salah satu diantaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada
anak – anak menyebabkan hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara
rutin untuk mengetahui fungsi ginjal, hati dan sel – sel darah.
Obat anti kejang diminum berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian
obat lain berlawanan dengan obat anti kejang harus seizin dan sepengetahuan
dokter karena bisa mengubah jumlah obat anti kejang di dalam darah.
Keluarga penderita hendaknya dilatih untuk membantu penderita jika
terjadi serangan epilepsi. Langkah yang penting adalah menjaga agar penderita
tidak terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan
memasang bantal di bawah kepala penderita.
Jika penderita tidak sadarkan diri, sebaiknya posisinya dibaringkan
agar lebih mudah bernafas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar
– benar sadar dan bisa bergerak secara normal.

10
Jika ditemukan kelainan otak yang terbatas, biasanya dilakukan
pembedahan untuk mengangkat serat – serat saraf yang menghubungkan kedua
sel otak (korpus kalosum).
Pembedahan dilakukan jika obat tidak berhasil mengobati epilepsi atau
efek sampingnya tidak dapat ditoleransi.
 Obat – obatan yang digunakan untuk mengobati kejang
Penatalaksanaan status epileptikus
a) Lima menit pertama
1. Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu
serangan berikutnya.
2. Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan
jalan nafas, intubasi bila perlu bantuan bentilasi.
3. Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.
4. Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah, kimia
darah, hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).
b) Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml
glukosa 50% bolas intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%)
disertai 100 mg tiamin intravena.
c) Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan
5 mg/menit sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5
menit, dapat diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat
fenitoin.
d) Menit ke 20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit
pada dewasa dan 1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan
darah selama pemberian.
e) Menit setelah 60 menit
Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka
berikan fenitoin tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika
status menetap, berikan 20 mg/kg fenobarbital intravena dengan
kecepatan 60 mg/menit. Bila apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi).
Jika status menetap, anestasia umum dengan pentobarbiatal, midazolam
atau propofal.

11
Perawatan pasien yang mengalami kejang :
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu (pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang
memerlukan waktu untuk mengamankan, mencari tempat yang aman
dan pribadi
b) Pasien di lantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan
untuk mencegah cedera dari membentur permukaan yang keras.
c) Lepaskan pakaian yang ketat
d) Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang.
e) Jika pasien di tempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat
tidur.
f) Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan
diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
g) Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme
untuk memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah
dapat terjadi karena tindakan ini.
h) Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena
kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
i) Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala
fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan
pengeluaran salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika
perlu untuk membersihkan secret
j) Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah
aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode
ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi
selama atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun
harus diorientasikan terhadap lingkungan
2.10 Prognosis
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan terbebas serangan paling
sedikit 2 tahun dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat
dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatkan telah menglami
remisi. Diperkirakan 30 % pasien tidak akan menglami remisi meskipun
minum obat teratur.
Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering
didapat pada sawan tonik-klonik dan sawan paarsial kompleks. Demikian pula
usia muda lebih mudah menglami relaps sesudah remisi.

12
2.11 Konsep Askep Epilepsi
I. Pengkajian
Data fokus yang perlu dikaji
a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan
pengkajian
2) Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang diderita pasien
saat masuk RS (apa yang terjadi selama serangan )
3) Riwayat kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan seperti ini terjadi,
pada usia berapa serangan pertama terjadi, frekuensi serangan, adakah
faktor presipitasi seperti demam, kurang tidur emosi, riwayat sakit
kepala berat, pernah menderita cidera otak, operasi atau makan obat-
obat tertentu/alkoholik)
4) Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang sama
diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain
baik bersifat genetik maupun tidak
5) Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah laku, emosi
apakah disertai aktifitas atonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar,
adakah aura yang mendahului serangan baik sensori, auditorik,
olfaktorik
b. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
2) Pemeriksaan Persistem
a) Sistem Persepsi dan Sensori
Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala,
otot-otot sakit, adakah halusinasi dan ilusi, yang disertai vertigo,
bibir dan muka berubah warna, mata dan kepala menyimpang
pada satu posisi, berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau
sifatnya berubah pada satu posisi/keduanya
b) Sistem Persyarafan
 Selama serangan: Penurunan kesadaran/pingsan?
Kehilangan kesadaran / lena? Disertai komponen motorik
seperti kejang tonik, klonik, mioklonik, atonik, berapa
lama gerakan tersebut? Apakah pasien jatuh kelanta.
 Proses Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit
kepala, gangguan bicara, hemiplegi sementara, ingatkah
pasien apa yang terjadi sebelum selama dan sesudah

13
serangan, adakah perubahan tingkat kesadaran, evaluasi
kemungkinan terjadi cidera selama kejang (memer, luka
gores)
c) Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan (nafas
yang dalam)
d) Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan denyut jantung
e) Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi inkontinensia feses,
nausea
f) Sistem Integumen: adakah memar, luka gores
g) Sistem Reproduksi
h) Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin
c. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pemahaman pasien dan keluarga mengenai program pengobatan
pasien, keamanan lingkungan sekitar
2) Pola Aktivitas dan Latihan
Pemahaman klien tentang aktivitas yang aman untuk pasien
(minimal resiko cidera pada saat serangan)
3) Pola Nutrisi Metabolisme
Pasca serangan biasanya pasien mengalami nansea
4) Pola Eliminasi
Saat serangan dapat terjadi inkontinensia urin dan atau feses
5) Pola Tidur dan Istirahat
Salah satu faktor presipitasi adalah kurangnya istirahat/tidur
6) Pola kognitif dan Perseptual
Adakah gangguan orientasi, pasien merasa dirinya berubah
7) Persepsi diri atau konsep diri
Pentingnya pemahaman dengan berobat teratur dapat terbebas
dari sawan
8) Pola toleransi dan koping stress
Adakah stress dan gangguan emosi
9) Pola sexual reproduksi

14
10) Pola hubungan dan peran
11) Pola nilai dan kenyakinan
2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko cedera b/d kelemahan keseimbangan, keterbatasan
kognitik/perubahan kesadaran.
2. Pola napas tidak efektif b/d kerusakan neuromukuler, obstruasi
trakeobronkial.
3. Gangguan harga diri b/d stisma.
4. Kurang pengetahuan b/d kurang kekurangan informasi.
3. Intervensi Keperawatan
Dx. I. :Resiko cedera b/d kelemahan kesulitan keseimbangan
keterbatasan kognitif/perubahan kesadaran.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kita dapat
mengungkapkan pemahaman faktor dan menunjang
kemungkinan trauma.
Hasil :Perubahan gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko dan
melindungi diri dari cedera.
Intervensi :
1) Gali bersama – sama pasien brbagai stimulus yang dapat menjadi
pencetus kejang.
R/: Alkohol berbagai obat dan stimulasi lain (kurang tidur, lampu yang
terlalu terang, menonton TV yang terlalu lama) dapat meningkatkan
aktivitas otak yang selanjutnya meningkatkan resiko kesadarannnya
kejang.
2) Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang
terpasang dengan posisi tempat tidur yang rendah.
R/ : Mengurangi trauma saat kejang terjadi selama pasien berada di
tempat tidur.
3) Anjurkan pasien untuk merokok selama dapat diawasi.
R/ : Mungkin dapat menyebabkan robekan jika rokok tersebut terjatuh.
Secara tidak disengaja selama fase aura (aktivitas kejang yang
terjadi).
4) Evaluasi ketahanan untuk berikan pandangan pada kepala.

15
R/ : Penggunaan penutup kepala (semacam helm) dapat memberikan
pandangan tambahan terhadap seseorang yang mengalami kejang
terus menerus/kejang berat.
5) Tanggalah bersama klien dalam waktu beberapa lama selama/setelah
kejang.
R/ : Meningkatkan keamanan pasien.
6) Kolaborisasi.
Berikan obat sesuai indikasi (obat anti epilepsi) meliputi karboma zepam,
klorozepam.
Dx. II.: Pola napas tidak efektif b/d kerusakan neuromuskuler, obstruksi
frakeabrokal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
menunjukkan pola napas yang efektif.
Hasil : Klien dapat mempertahankan pola pernapasan efektif dengan
jalan napas paten.
Intervensi :
1) Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala
selama serangan kejang.
R/ : Meningkatkan darah (drainase) secret, mencegah udara jatuh dan
menyambut jalan napas.
2) Tanggalkan pakaian pada daerah leher /dada dan abdomen.
R/: Untuk memfasilitasi usaha bernapas/ekspresi dada.
3) Masukkan spodel lidah/jalan napas buatan atau gulungan benda lunak
sesuai indikasi.
R/ : Jika memasukkannya di awal untuk membuka rahang, alat ini dapat
mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan
pengisapan lendir/memberi sokongan terhadap pernapasan jika
diperlukan.
4) Lakukan pengisapan sesuai indikasi.
R/: Menurunkan resiko aspirusi/astiksia.
5) Kolaborasi : Berikan tambahan O2/ventilasi manual sesuai kebutuhan
pada fase posktal.
R/ : Dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi
yang menurun/O2 sekunder terhadap spasme vesikuler selama
serangan kejang.

16
Dx. III.: Gangguan harga diri b/d stiqma.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
mengidentifikasi perasaan dan metode untuk koping dan persepsi
negatif pada diri sendiri.
Hasil :
- Pengungkapan tentang perubahan gaya hidup.
- Takut penolakan/perasaan negatif tentang tubuh.
Intervensi :
1) Diskusikan perasaan pasien mengenai diagnostik. Persepsi diri terhadap
penanganan yang dilakukannya, anjurkan untuk mengungkapkan/
mengekspresikan wajahnya.
R/:Reaksi yang ada bervariasi diantara individu dan
pengetahuan/pengalaman awal dengan keadaan penyakitnya.
2) Identifikasi/antisipasi kemungkinan reaksi organ pada keadaan penyakit,
anjurkan pasien untuk tidak merahasiakan masalahnya.
R/ : Memberikan kesempatan untuk berespon pada proses pemecahan
masalah dengan memberikan tindakan kontrol terhadap situasi yang
dihadapi.
3) Tentukan sikap/kecakapan orang terdekat. Bantu ia menyadari perasaan
tersebut adalah normal sedangkan merasa bersalah.
R/ : Pandangan negatif dari orang terdekat dapat berpengaruh terhadap
perasaan kemampuan harga diri pasien dengan mengurangi dengan
terima dari orang terdekat tersebut yang mempunyai resiko membatasi
penanganan yang optimal.
4) Tekankan pentingnya staf/orang terdekat untuk tetap dalam keadaan
tenang selama kejang.
R/ : Ansietas dari pemberi asuhan adalah menjalar dan bila sampai pada
pasien dapat meningkatkan persepsi negatif terhadap keadaan
lingkungan/diri sendiri.
5) Kolaborasi
Rujuk pasien atau orang terdekat pada kelompok penyokong, yayasan
epilepsi dsb.
R/ : Memberikan kesempatan untuk mendapatkan invervasi dukungan dan
ide – ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai
pengalaman yang sama.

17
Dx. IV.: Kurang pengetahuan b/d kurangnya informasi.
Intervensi :
1) Jelasakan kembali mengenai/prosnesis penyakit dan perlunya
pengobatan/penanganan dalam jangka waktu yang lama sesuai indikasi.
R/ : Memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi
dan keadaan penyakit yang ada sebagai sesuatu yang dapat ditangani
dalam cara hidup yang normal.
2) Tinjau kembali obat – obat yang didapat penting sekali memakan obat
sesuai petunjuk dengan tidak menghentikan pengobatan tanpa
pengawasan dokter, termasuk petunjuk untuk pengurangan dosis.
R/: Tak adanya pemahaman terhadap obat – obat yang dapat merupakan
penyebab dari kejang yang terus menerus tanpa henti.
3) Berikan petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum obat bersamaan
dengan waktu makan jika memungkinkan.
R/ : Dapat menurunkan iritasi lambung, mual/muntah.
4) Berikan informasi tentang interaksi obat yang potensial dan pentingnya
untuk memberi tahu pemberi perawatan yang lain dari pemberian obat
tersebut.
R/ : Pengetahuan mengenai penggunaan obat anti konuvisan menemukan
resiko obat yang diresepkan yang dapat berinteraksi selanjutnya
mengubah ambang slekang/memilki efek berapeutik.
5) Bicarakan kembali kemungkinan efek dari perubahan hormonal.
R/ :Gangguan kadar hormonal yang terjadi selama menstruasi dan
kehamilan dapat meningkatkan resiko kejang.
6) Tinjau kembali pentingnya keberhasilan mulut dan perawatan gigi yang
teratur.
R/ : Menurunkan resiko infeksi mulut dan hyperplasia dari gusi.

18
BAB 3
3.1 Pengertian
Cerebral Parcy adalah keadaan kerusakan jaringan otak yang tidak
progresif, yang bisa terjadi pada waktu muda (sejak dilahirkan) serta
merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinik menunjukan
kelainan dalam sikap dan pergerakan disertai kelainan neurologis berupa
kelumpuhan spastic, gangguan ganglia basal dan sereblum, serta kelainan
mental. (Ngastiyah,201)
Cerebral Palcy : suatu gangguan non spesifik yang disebabkan oleh
abnormalitas system mayor piramida (motorik korteks, basal ganglia dan otak
kecil) yang di tandai dengan kerusakan pergerakan dan postur pada serangan
awal. (Suriadi& Rita Yuliani.49)
3.2 Etiologi
Penyebab Cerebral Palcy dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu prenatal.
Prenatal dan pascanatal
a. Pranatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada
janin, misalnya oleh Lues, toxoplasmosis, rubella dan penyakit infeksi
sitomegalitik. Kelainan menyolok biasanya gangguan pergerakan dan
retyardasi mental. Selain itu anoxia dalam kandungan, terkena radiasi sinar X
dan keracunan kehamilan dapat mimbulkan cerebral palcy.
b. Periperal
- Anoxia/hipoksia
- Perdarahan otak
- Prematuritas
- Ikterus
- Meningiritis purulenta
c. Pasca natal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan
dapat menyebabkan cerebral palcy, misalnya pada meningitis, ensefalitis, dan
luka parut pada otak pasca operasi. (Ngastiyah,201)
3.3 Patofisiologi
- Adanya malformasi pada otak, penyumbatan pada vaskuler, atropi, hilangnya
neuron dan degenerasi laminar akan menimbulkan narrowe gyri, saluran sulci
dan berat otak rendah.Anoxia merupakan penyebab yang berarti dengan

19
kerusakan otak, atau sekunder dari penyebab mekanisme yang lain. Cerebral
palcy dapat dikaitkan dengan premature yaitu spastic diplegia yang
disebabkan oleh hypoxic infarction atau hemmorage dalam ventrikel.
- Type athetoid/dyskenetik disebabkan oleh kernicterus dan penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, adanya pigmen berdeposit dalam basal ganglia dan
beberapa saraf nuclei cranial. Selain itu juga dapat terjadi bila basal ganglia
mengalami injury yang ditandai dengan tidak terkontrol, pergerakan yang
tidak disadari dan lambat.
- Type Cerebral Palcy hemiparatik, karena trauma pada kortek atau CVA pada
arteri cerebral tengah. Cerebral hypoplasia : hypogli-ceria neonatal dapat
dihubungkan dengan ataxia cerebral palcy.
- Spastic Cerebral Palcy yang paling sering dan melibatkan kerusakan pada
motor kortex yang ditandai dengan ketegangan otot dan hiperesponsif. Reflex
tendon yang dalam akan meningkatkan dan menstimulasi yang dapat
menyebabkan pergerakan sentakan yang tiba-tiba pada sedikit atau semua
ekstremitas.
- Ataxic cerebral palcy adanya injuri dari serebrum yang mana mengatur
koordinasi, keseimbangan dan kinestik akan tampak pergerakan yang tidak
koordinasi pada ekstremitas atas bila anak memegang atau mengapai benda.
Adanya pergerakan berulang dan cepat namun minimal.
- Rigid/tremor/atonik cerebral palcy ditandai dengan kekakuan pada kedua otot
fleksor dan ekstensor. Type ini mempunyai prognosis yang buruk karena ada
deformitas multiple yang terkait kurangnya pergerakan aktif. (Suriadi & Rita
Yuliani, hal.50)
Cerebral Palcy dibagi menjadi 4 kelompok yaitu :
1. Tipe Spastik ( 50% dari semua kasus cerebral palcy) dengan cirri-ciri
otot-otot menjadi kaku, kekakuan yang terjadi dapat berupa :
Quardriplegi (kedua lengan dan kedua tungkai), diplegi (kedua
tungkai), hemiplegi ( lengan dan tungkai pada salah satu sisi tubuh ).
2. Tipe Diskinetik (Koreoathethoid,20% dan semua kasus cerebral palsy),
dengan cirri-ciri otot-otot lengan dan badan secara spontan bergerak
perlahan, menggeliat dan tak terkendali tetapi bisa juga timbul gerakan
ksar dan mengejang.
3. Tipe Ataksik (10 % dari semua kasus cerebral palcy) resiko terkena
cerebral palcy meningkat tajam seiring dengan berat badan lahir rendah,
dilaporkan bahwa bayi dengan berat badan lahir rendah < 1000 gram
mempunyai resiko tinggi 40 kali lipat dibandingkan dengan bayi
dengan berat badan lahir normal. Angkah kejadian cerebral palcy
spastic diplegi dihubungkan dengan bayi dengan berat badan rendah.

20
Cerebral palcy tipe spastic diplegi merupakan tipe yang paling sering
ditemukan.
4. Tipe Campuran (20% dari semua kasus cerebral palsy) resiko terkena
cerebral palcy meningkat tajam seiring dengan berat badan lahir rendah,
dilaporkan bahwa bayi dengan berat badan lahir rendah < 1000 gram
mempunyai resiko tinggi 40 kali lipat dibandingkan dengan bayi
dengan berat badan lahir normal. Angka kejadian cerebral palsy spastic
diplegi dihugungkan dengan bayi dengan berat badan rendah.Cerebral
palcy tipe Spastic Diplegi merupakan tipe yang paling sering
ditemukan.
3.4 Manifestasi Klinis
a. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dengan reflek yang disertai dengan
klonus dan reflex babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap
dan tidak menghilang, meskipun penderita dalam keadaan tidur.
Peninggian tonus itu tidak sama derajatnya pada suatu gabungan otok
karena itu tampak sikap yang khas dengan kecenderungan terjadi kontraktor
misalnya lengan dalam aduksi.
Feksi pada sendi siku dan pergelangan tangan delam posisi dan jari-jari
dalam fleksi sehingga ibu jari melintang ditelapak tangan.
b. Tonus otot yang berubah
Bayi pada golngan ini pada usia bulan pertama tampak flaksid (lemas)
dan berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada
flower motor neuron bila bayi dibiarkan berbaring tampak flaksid dan sikapnya
seperti kodok terlentang tetapi bila dirangsang atau mulai diperiksa otot
tonusnya berubah menjadi spatis.
c. Koreo-Atetosis
Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan yang
terjadi dengan sendirinya.
d. Ataksia
Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya
flaksid dan menunjukan perkembangan motorik yang lambat.
e. Gangguan Pendengaran
Gangguan berupa kelainan neurogen terutama presepsi nada tinggi
sehingga sulit menangkap kata-kata.

21
f. Gangguan Bicara
Disebabkan oleh kelainan atau gangguan pendengaran atau retardasi
mental. Gerakan yang terjadi dnegan sendirinya di bibir dan lidah
menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit
membentuk kata-kata dan sering anak tampak berliur.
g. Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konverjen dan kelainan
retraksi. (Ngastiyah, 203-204)
3.5 Komplikasi
a. Kontraktur
b. Retardasi Mental
c. Konstipasi (Suriadi & Rita Yuliani, 50)
3.6 Pemeriksaan Diagnostik
a. EEG : dilakukan pada pasien yang kejang atau pada golongan
hemiparesis baik yang disertai kejang maupun yang tidak.
b. Foto rontgen kepala
c. Pemeriksaan reflex
d. CT Scan
e. Fungsi lumbal untuk menyingkirkan kemungkian penyebab suatu proses
degeneratife.
f. Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis
serebral palcy ditegakkan.
3.7 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medik
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simptonatik. Pada keadaan ini
perlu kerjasama yang baik dan merupakan “satu tim” antara dokter anak,
neurology, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikolog,
fisiotrapi, occupational therapist, pekerja sosial, guru sekolah luar bisa
dan orang tua pasien.
- Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut
membantu program latihan dirumah. Untuk mencegah konraktur perlu
diperhatikan posisi pasien pada waktu istirahat atau tidur. Bagi pasien yang

22
berat dianjurkan untuk sementara tinggal di pusat latihan. Fisioterapi ini
dilakukan sepanjang pasien hidup.
- Tindakan Bedah
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk
dilakukan pembedahan otot tendon atau tulang untuk reposisi kelainan
tersebut.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Tindakan yang dapat dilakukan ialah :
- Mengobservasi dengan cermat bayi-bayi baru lahir yang berisiko, (baca
status bayi secara cermat mengenai riwayat kehamilan). Jika dijumpai
adanya kejang atau sikap bayi yang tidak biasa pada neonates segera
memberitahukan dokter agar dapat dilakukan penanganan semestinya.
- Jika telah diketahui bayi lahir dengan resiko terjadi gangguan pda otak
walaupun selama di ruang perawatan tidak terjadi kelainan agar dipesankan
pada orang tua jika melihat sikap bayi yang tidak normal supaya segera
dibawa konsultasi ke dokter.
c. Penatalaksanaan Terapeutik
1. Terapi Fisik
· Brances (alat penokong)
· Splint (pembalut)
· Casting (pemasangan gibs)
· Alat-alat : Kursi roda atau yang lainnya
· Terapi kerja : menulis, makan, minum, dll
· Terapi bicara
· Pendidikan khusus
· Terapi social
· Terapi psikolog
2. Terapi Medikal
· Diazepam untuk anak > 6 bln. dosis 0,12-0,8 mg/KG
BB/hari/oral ( dibagi dalam 6-8 jam)
· Baclofen untuk 2-7 tahun.dosis 10-40 mg/hari/oral. (dibagi
dalam 3-4 dosis) dosis dimulai 2.5-5 mg/oral 3 x / hari
dinaikan 5-15 mg /hari.

23
Untuk 8-11 tahun, dosis 10-60 mg/hari/oral dibagi dalam 3-4
dosis. Dosis dimulai 2.5-5 mg/oral 3x/hari, kemudian dinaikan
15 mg/hari, max 80 mg/hari.
Untuk >12 tahun, dosis 20-80 mg/hari/oral/3x/hari, di bagi
dalam 3-4 dosis. Dosis dimulai 5 mg/oral/3x/hari, kemudian
dinaikan 15 mg/hari, max 80 mg/hari.
· Dantroleng
Dosis dimuali dari 25 mg/hari, max 40 mg/hari
· Botolinum Toxin (Botox)
Menghambat pelebaran acetylcholine dari presinaptik pada
pertemuan otot dan saraf. Kombinasinya melemahkan dan
menguatkan otot yang berlawanan kerja.
· Baclofen Intratekal.
Indikasi : membantu penderita dalam mengatasi kekakuan otot
yang sangat mengganggu fungsi normal tubuh.

3.8 Konsep Dasar Askep


1. Pengkajian
1.1 Biodata
a. Identitas Klien
· Nama
· Umur
· Tempat/tgl.lahir
· Agama
· Pendidikan
· Tanggal MRS
· Tanggal pengkajian
· Diagnosa medic
· Rencana terapi
b. Identitas orang tua
c. Ayah
d. ibu

24
1.2 Keluhan utama
1.3 Riwayat keluarga
· Riwayat obstetric (riwayat antenatal, natal, post natal)
· Riwayat penyakit sekarang
· Riwayat penyakit masa lalu
· Riwayat kesehatan keluarga
1.4 Riwayat imunisasi
(BCG ; DPT I, II, III ; Poko I,II,III ; campak; hepatitis )
1.5 Riwayat tumbuh kembang
(Pemeriksaan fisik : BB, TB, LL)
· Sosial
· Kognitif
· Motorik halus
· Motorik kasar
1.6 Riwayat nutrisi
· Pemberian Asi : Pertama kali disusui, cara pemberian, lama
pemberian.
· Pemberian susu formula : alas an pemberian, jumlah pemberian,
dana cara pemberian.
· Pemberian makanan tambahan
· Pola perubahan nutrisi saat ini
1.7 Riwayat psikosial
1.8 Riwayat spiritual
1.9 Reaksi Hospitalisasi
Pemahaman orang tua tentang sakit dan rawat inap, pemahaman
anak tentang sakit dan rawat inap
1.10 Data dasar pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : perasaan tidak enak malaise
Tanda : Atasksim masalah berjalan, kelemahan, keterbatasan
dalam rentang gerak.

25
b. Makanan dan Cairan
Gejala : kesulitan melan
Tanda : Muntah, turgor kulit jelek, mukosa kering
c. Neurosensori
Gejala : Sakit, kejang /kaku, gangguan penglihatan, hilangnya
koordinasi gerakan
Tanda : Penurunan keseimbangan, intention tremor
d. Hygiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.
1.11 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum pasien
b. Tanda-tanda vital
c. Pengukuran antropometri
d. Sistem pencernaan
Muntah, kesulitan menelan
e. Sistem indra
Gangguan penglihatan dan pendengaran
f. Sistem persyaratan
Perkembangan terlambat, perkembangan pergerakan kurang,
refleksi bayi yang persisten, ataxic, kurangnya tonus otot, hilangnya
koordinasi gerakan.
g. Sistem muskuluskeletal
Spastisitas, tonus otot berubah, koreo atetosis, postur tubuh
abnormal, gaya jalan seperti posisi gunting, lutut bertemu lutut.
1.12 Pemeriksaan Tingkat Perkembangan
a. Usia 0-6 tahun :
Dengan menggunakan DOST
· Motorik kasar : kemampuan untuk melakukan gerakatn
menurun karena terjadi penurunan tonus otot.
· Motorik halus : keterlambatan perkembangan motorik halus
akibat hilangnya koordinasi.

26
· Bahasa : gangguan bicara akibat gerakan yang terjadi dengan
sendirinya di bibir dan lidah sehingga anak sulit membentuk
kata-kata.
· Personal sosial : gangguan dalam berinteraksi dengan orang
lain (menarik diri).
b. Usia 6 tahun keatas
· Perkembangan kognitif : gangguan proses berpikir atau daya
ingat
· Perkembangan psikososial : gangguan dalam berinteraksi
dengan orang lain (manarik diri).
II. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan iskemia jaringan
otak.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan spasme otot
3. Resiko injury berhubungan dengan kejang
4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan neuromuskuler
5. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
gangguan neuromuskuler.
III. Intervensi Keperawatan
Diagnosa I
Goal : anak akan menunjukan perfusi jaringan yang adekuat
Objektif :setelah dilakukan tindakan perawatan diharapkan tingkat
kesadaran baik, TTV stabil.
Intervensi :
1) Pantau dan catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan
dengan keadaan normalnya atau standar.
R/ : Mengetahui tingkat kesadaran, peningkatan tekanan intra cranial dan
mengetahui lokal, luas dan kemajuan resolusi kerusakan sistem saraf
pusat.
2) Pantau tanda-tanda vital
R/ : Variasi perubahan TTV mungkin terjadi oleh karena tekanan atau
trauma serebral pada daerah vasomotor otak.
3) Latakan dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi anotmi
(netral)

27
R/ : Menurunkan tekanan arteri dan meningkatkan sirkulasi atau perfusi
cerebral
4) Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang,
batasi pengunjung atau aktivitas pasien sesuai indikasi, berikan
kesempatan untuk istirahat.
R/ : Aktivitas atau stimulus yang kontinu dapat meningkatkan tekanan
intracranial, istirahat yang cukup dan ketenangan dapat memberikan
kenyamanan.
5) Kolaborasi
· Berikan cairan IV sesuai indikasi, batasi pemasukan cairan
R/ : Meminimalkan fluktusi dalam vaskuler dan tekanan intrakranial
· Berikan O2 seuai indikasi
R/ : Terjadinya asidosis dapat menghambat masuknya O2 pada tingkat sel
yang memperburuk atau meningkatkan iskemia serebral.
Diagnosa II
Goal : Anak akan menunjukan kemampuan pergerakan yang maksimum
dan tidak mengalami kontraktur.
Objektif : Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan :
· Peningkatan kekuatan/control otot
· Rentang gerak dalam batas normal
· Mampu melakukan aktivitas dalam batas normal
Intervensi :
1) Kaji pergerakan sendi-sendi dan tonus otot anak serta kemampuan
secara fungsional
R/ : Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat memberikan informasi
mengenai pemulihan. Bantu dalam pemilihan intervensi.
2) Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang,miring) dan sebagainya
dan jika memungkinkan bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi
bagain yang terganggu.
R/ : Menurunkan resiko terjadinya trauma/iskemia jaringan darah yang
terkena mengalami pertukaran/sirkulasi yang lebih jelek dan
menurunkan sensasi yang lebih besar menimbulkan kerusakan pada
kulit atau dekubitus.

28
3) Mulailah melakukan latihan gerak aktif dan pasif pada semua
ekstremitas. Anjurkan melakukan latihan seperti latihan
quadrisep/glukal, meremas bola karet, melebarkan jari-jari tangan dan
kaki.
R/ : Meningkatkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi dan membantu
mencegah kontraktur
4) Kolaborasi
· Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan
resistef dan ambulasi pasien.
R/ : Program yang khusus dapat dikembangkan untuk menigkatkan
kebutuhan yang berarti/menjaga kekurangan tersebut dalam
keseimbangan, koordinasi dan kekuatan.
· Berikan obat relaksan otot, antispasmodic sesuai indikasi,
seperti baklofen dan trolen.
R/ : Mungkin diperlukan untuk menghilangkan spastisitas pada ekstremitas
yang terganggu.
Diagnosa III
Goal : Anak akan menunjukkan keadaan aman dan terbebas dari injury
Objektif : Setelah dilakukan tindakan perawatan diharapkan pergerakan
anak terkontrol dan dalam keadaan aman, anak tidak kejang.
Intervensi
1) Pantau adanya kejang/kedutan pada tangan, kaki dan mulut atau otot
wajah yang lain
R/ : Mencerminkan adanya iritasi SSP secara umum yang memerlukan
evaluasi segera dan intervensi yang mungkin untuk mencegah
komplikasi.
2) Berikan keamanan pada anak dengan memberikan bantalan pada
penghalang tempat tidur, pertahankan penghalang tempat tidur tetap
terpasang dan hindari anak dari benda-benda yang membahayakan
misalnya dapat terjatuh.
R/ : Melindungi anak jika terjadi kejang
3) Bila anak kejang : pasang alat pengaman di mulut
R/ : Agar lidah tidak tergigit
Catatan : memasukan alat pengaman hanya jika rahangnya relaksasi,
jangan dipaksa memasukkan ketika giginya mengatup dan
jaringan lunak akan rusak

29
4) Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi seperti fenitoin (dilatin), diazepam
(valium), fenobarbital (luminal)
R/ : Merupakan indikasi untuk penanganan dan pencegahan kejang
Diagnosa IV
Goal : Anak akan menunjukkan peningkatan komunikasi
Objektif : Setelah dilakukan tindakan perawatan :
· Anak mampu memberikan respon terhadap komunikasi
· Anak mampu berkomunikasi
Intervensi
1) Kaji respon anak terhadap komunikasi
R/ : Membantu untuk menentukan daerah atau derajat kerusakan serebral yang
terjadi dan kesulitan anak dalam beberapa atau seluruh tanpa proses
komunikasi
2) Mintalah anak untuk mengikuti perintah sederhana (seperti : “buka mata”,
tunjuk ke pintu”) ulangi dengan kata atau kalimat yang sederhana
R/ : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik (afasia sensorik)
3) Berikan metode komunikasi alternatif seperti menulis di papan tulis,
gambar. Berikan petunjuk visua; (gerakan tangan, gambar-gambar, daftar
kebutuhan).
R/ : Memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan keadaan/defisit
yang mendasarinya.
4) Latih anak dalam penggunaan bibir, mulut dan lidah
R/ : Mencegah terjadinya kekakuan otot
5) Anjurkan pengunjung atau orang terdekat mempertahankan usahanya
untuk berkomunikasi dengan baik.
R/ : Mengurangi isolasi sosial dan meningkatkan penciptaan komuniksi yang
efektif
6) Kolaborasi
Konsultasi dengan atau rujuk ahli terapi wicara
R/ : Pengkajian secara individual kemampuan bicara dan sensori, motorik
dan kognitif berfungsi mengidentifikasi kekurangan atau kebutuhan
terapi.

30
Diagnosa V
Goal : Meningkatkan tumbuh kembang anak dalam tingkat yang optimal
Objektif :Setelah dilakukan tindakan perawatan diharapkan anak akan
mengekspresikan cara belajar dan ikut berpartisipasi dengan anak lain
dalam melakukan aktifitas.
Intervensi
1) Kaji tingkat tumbuh kembang anak dalam tingkat yang optimal
R/ : Membantu untuk menentukan daerah atau kerusakan serebral yang
mempengaruhi seluruh proses tumbuh kembang anak.
2) Ajarkan untuk intervensi awal dengan terapi reaksi dan aktivitas
sekolah
R/ : Mengurangi isolasi diri dan meningkatkan penciptaan tumbuh kembang
anak yang efektif melalui proses bermain.
3) Berikan aktifitas yang sesuai, manarik dan dapat dilakukan oleh anak,
R/ : Mengurangki altifitas yang berlebihan yang dapat menyebabkan
perubahan tonus otot dan aktivitas yang dapat merangsang anak
bermain
4) Anjurkan orang tua untuk selalu mengantar anak ke rumah sakit untuk
deteksi tumbuh kembang oleh spesialis
R/ : Deteksi dini tumbuh kembang anak dan untuk menentukan kerusakan
daeah cerebral
5) Rangsang anak agar dapat berkembang dan bermain sesuai usianya
R/ : Penciptaan tumbuh kembang anak yang ektif melalui proses bermain.
IV. Implementasi
Sesuai intervensi keperawatan
V. Evaluasi
SOAP

31
Pendidikan Pasien/Orang Tua
Ajarkan bagaimana untuk mencegah kerusakan kulit bilamana ada pemasangan alat
bantu atau penyokong.
Jelaskkan pentingnyaa menstimulasi anak dengan terapi barmain ynag sesuai
indikasi dan sosialisasi dengan orang lain.
Berikan informasi pada orang tua/keluarga tentang perkembangan anak, prognosis,
rencana keperawatan dan berikan jawaban yang jujur bila mereka menanyakan.
Pasien cerebral palcy dididik sesuai dengan tingkat intelektualnya di sekolah luar
biasa.
Mereka sebaiknya diperlakukan sama seperti anak yang normal seperti pulang ke
rumah dengan kendaraan bersama-bersama sehingmereka tidak merasa diasingkan
dan hidup dalam suasana normal
Lakukan tindakan proteksi pada anak sesuai dengan toleransi kemampuannya

32

Anda mungkin juga menyukai