Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epilepsi merupakan penyakit pada otak akibat peningkatan kerentanan sel neuron
terhadap kejadian kejang epileptik yang berdampak pada aspek neurobiologis, psikologis,
kognitif dan sosial individu. Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 2014,
epilepsi dapat ditegakkan pada salah satu kondisi berikut : (1) terdapat minimal dua episode
kejang tanpa diprovokasi; (2) terdapat satu episode kejang tanpa diprovokasi.
Secara umum, epilepsi hanya terjadi pada kurang dari sepertiga kasus kejang pada
anak, sementara sisanya merupakan kejang yang dipicu demam, kelainan metabolik, trauma,
infeksi, toksin, maupun psikiatrik.
Serangan epileptik adalah gejala yang timbul secara tiba-tiba dan menghilang secara
tiba-tiba pula. Serangan yang hanya bangkit sekali saja tidak boleh dianggap sebagai
serangan epileptic, tetapi serangan yang timbul secara berkala pada waktu-waktu tertentu
barulah dapat dijuluki serangan epileptik. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah seizure
Konvulsi atau dalam bahasa Inggris convulsion berarti gerakan otot tonik klonik yang
bangkit secara involuntar. Istilah kejang dapat digunakan sebagai sinonim dari konvulsi.
Tetapi baik kejang atau konvulsi tidak boleh digunakan sebagai sinonim dari serangan
epileptik, oleh karena serangan epileptik tidak selamanya bersifat motorik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epilepsi
Definisi
Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi,
yang dirincikan oleh timbulnya serangan paroksismal yang berkala, akibat lepas muatan
listrik neuron-neuron serebral secara eksesif.

Epidemiologi
Sebagian besar epilepsi terjadi pada masa anak-anak, namun banyak anak mengalami
remisi ketika dewasa. Di Amerika Serikat, sebanyak 3 juta orang mengalami epilepsi dan
200.000 kasus baru didiagnosis setiap tahunnya. Angka kejadian epilepsi sedikit lebih tinggi
pada laki-laki dibanding perempuan. Usia <2 tahun adalah kelompok usia dengan insidens
tertinggi.

Faktor Resiko
Beberapa faktor dapat meningkatkan risiko terjadi epilepsi, seperti retardasi mental, palsi
serebral, ayah atau ibu dengan epilepsi, maupun riwayat kejang tanpa demam atau tanpa
diprovokasi sebelumnya.

Klasifikasi
Klasifikasi menurut Commission on classification and terminology of the
international Leauge against Epilepsy:
A. Sawan parsial (fokal, lokal)
A. 1. Sawan parsial sederhana (kesadaran tidak terganggu)
1. Dengan gejala motorik
a. Fokal motorik tidak menjalar
b. Fokal motorik menjalar (epilepsy Jackson)
c. Versif
d. Postural
e. Disertai gangguan fonasi
2. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (halusianasi sederhana)
a. Somatosensoris
b. Visual
c. Auditoris
d. Olfaktoris
e. Gustatoris
f. Vertigo
3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, memberat, piloereksi, dilatasi pupil)
4. Dengan gejala psikik (gangguan fungsi luhur)
a. Disfasia
b. Dismnesia
c. Kognitif
d. Afektif
e. Ilusi
f. Halusinasi kompleks (berstruktur)
A. 2. Sawan Parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1. Awitan (serangan) parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran
a. Dengan gejala parsial sederhana A1-A4
b. Dengan automatisme
2. Dengan penurunan kesadaran sejak awitan
a. Hanya dengan penurunan kesadaran
b. Dengan automatisme
A. 3. Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
1. Sawan parsial sederhana (A) yang berkembang menjadi bangkitan umum
2. Sawan pafsial kompleks (B) yang berkembang menjadi bangkitan umum
3. Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang
menjadi bangkitan umum.
B. Sawan umum (konvulsif atau non-konvulsif)
B.1.1. Sawan lena (absence)
a. Hanya penurunan kesadaran
b. Dengan komponen klonik ringan
c. Dengan komponen atonik
d. Dengan komponen tonik
e. Dengan automatisme
f. Dengan komponen autonom kondisi b hingga f dapat tersendiri atau dalam
kombinasi
B.1.2. Lena tidak khas (atypical absence), dapat disertai
a. Gangguan tonus yang lebih jelas
b. Awitan dan handekan yang tidak mendadak
B.2. Sawan mioklonik, kejang mioklonik sekali atau berulang-ulang
B.3. Sawan klonik
B.4. Sawan Tonik
B.5. Sawan tonik klonik
B.6. Sawan atonik
C. Sawan tidak tergolongkan

Klasifikasi menurut simptomatologi adalah:


1. Epilepsi umum:
a. Petit mal
b. Grand mal
c. Epilepsi mioklonik
- Spasmus infantile
- Epilepsi mioklonik anak-anak
d. Konvulsi febril
2. Epilepsi parsial:
a. Epilepsi fokal dengan gejala tunggal sederhana
- Motorik
- Sensorik
- Autonomik
b. Epilepsi parsial dengan gejala kompleks majemuk
- Automatismus
- Fenomen-fenomen psikik
3. Epilepsi neonatal

Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang
disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membrane neuron bergantung
pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K
dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di
dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl,
sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion
inilah yang menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-badan
neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron berikutnya.
Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara
neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,aspartat dan asetilkolin
sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls
atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di
neuron. Dalam keadaan istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan
berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane
neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion Ca dan
Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi
membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan
listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan
epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti
akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar
sarang epileptic. Selain itu juga system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin
agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain
yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak

Etiologi
1. Idiopatik
2. Factor herediter, ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai
bangkitan kejang seperti sklerosis tuberose, neurofibromatosis, angiomatosis
ensefalotrigeminal, fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
3. Factor genetik; pada kejang demem dan breath holding spells
4. Kelainan congenital otak; atropi, porensefali, agenesis korpus kalosum
5. Gangguan metabolik; hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia
6. Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan
selaputnya,toxoplasmosis
7. Trauma; kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural
8. Neoplasma otak dan selaputnya
9. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
10. Keracunan; timbale (Pb), kapur barus, fenotiazin,air
11. Lain-lain; penyakit darah,gangguan keseimbangan hormone, degenerasi
serebral,dan lain-lain.

Faktor Pencetus
Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa :
a. kuarng tidur
b. stress emosional
c. infeksi
d. obat-obat tertentu
e. alcohol
f. perubahan hormonal
g. terlalu lelah
h. fotosensitif

Diagnosis
1. Anamnesa / Aloanamnesa
Epilepsi umum :
Major : Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan
sekunder. Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan
tonik-tonik. Manifestasi klinik: kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama,
perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal
sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu
didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen
pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu,
mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit
kepala dan sebagainya. Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran
sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang
tonik. otot-otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan
tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga
terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian
disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan
membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 --
3 menit. Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat,
midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis. Kejang
berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai
koma. Kira-kira 45 menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak
diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai
setahun sekali.
Minor :
Elipesi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang
idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada
anak sebelum pubertas (4 5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran
yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali
masih dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola
mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula.
Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit
mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak
akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri : Timbul
pada usia 4 -- 5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal, harus murni dan
hilang kesadaran hanya beberapa detik, mudah ditanggulangi hanya dengan satu
macam obat, Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan
frekuensi 3 per detik.
Bangkitan mioklonus Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan
kepala, fleksi lengan yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian
cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak.
Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik.
Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena
menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau
mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini
(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan
disebut trias Lennox-Gastaut.
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-
laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan
kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma,
infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala
kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang
disertai teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis dan
berkeringat.
Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan
kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang
kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya
dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya
seluruh lengan. Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche
Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).
Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen
pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus
post centralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh,
perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan.
Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan dapat
mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.
Epilepsi lobus temporalis. Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun.
Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini
sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan
bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan
asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi
yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini
dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan psikik berupa halusinasi dan
bangkitan motorik la-zimnya berupa automatisme. Manifestasi klinik ialah
sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran ini
penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan mimpi (twilight state), dalam
keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan automatisme
yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan
automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan automatisme pengecap,
halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan automatisme
penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.
2. Pemerikasaan fisik
- Pada bayi
Pada pemeriksaan diselidiki apakah adanya kelainan bawaan, asimetri pada
badan, ekstrimitas, dicatat besarnya dan bentuk kepala, diukur kelilingnya, keadaan
fontanel. Auskultasi dan transluminasi kepala. Kelainan yang mungkin ditemukan
ialah makrosefali, miktosefali, hidrosefalis. Fontanel akan menonjol bila tekanan
dalam rongga kepala meningkat.
Pada pemeriksaan neurologis harus diperiksa refleks Moro, refleks hisap,
refleks pegang, dan refleks tonik leher.
- Pada anak dan orang dewasa
Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari
adanya tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak putih,
dan adenoma seboseum pada muka pada skelrosi tuberose.
Hemangioma pada muka dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-Weber.
Pada toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio renitis.
Mencari kelainan bawaan, asimetri pada kepala, muka, tubuh,ekstrimitas.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, ureum dalam
darah. Yang memudahkan timbulnya kejang ialah keadaan hipoglikemia, hipokalemia,
hipomagnesemia, hiponatremia, hipernatremia, hiperbilirubinemia, uremia. Penting pula
diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin pula disertai kejang.
Pemeriksaan cairan otak dapat mengungkapkan adanya radang pada otak atau
selaputnya, toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia yang menyerang otak,
metastasis tumor ganas, adanya perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid.
4. Pemeriksaan radiologis
Pada foto rontgen kepala dapat dilihat adanya kelainan-kelainan pada tengkorak.
Klasifikasi abnormal dapat dijumpai pada toksoplasmosis, penyakit inklusi sitomegalik,
sklerosis tuberosa, kraniofaringeoma, meningeoma, oligodendroglioma. Sken tomografik
olahan computer menunjukkan kelainan-kelainan pada tengkorak dan dalam rongga
intrakranium. Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informative
yang dapat dapat memastikan diagnosis epilepsy.Gelombang yang di temukan pada EEG
berupa gelombang runcing,gelombang paku,runcing lambat,paku lambat. Pemeriksaan
tambahan lain adalah pemeriksaan foto polos kepala
5. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik turunnya
kesadaran, misalnya test Bourdon-Wiersma.

Diagnosis Banding
1. Sinkope
Sinkope ialah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan aliran
darah ke dalam otak dan anoksia. Sebabnya adalah tensi darah yang menurun
mendadak, biasanya ketika penderita sedang berdiri. Pada fase permulaan, penderita
menjadi gelisah, tampak pucat, berkeringat, merasa pusing, pandangan mengelam.
Kesadaran menurun secara berangsur, nadi melemah, tekanan darah rendah. Dengan
dibaringkan horizontal penderita segera membaik.
2. Gangguan jantung
Gangguan fungsi dan irama jantung dapat timbul dalam serangan-serangan
yang mungkin timbul dalam serangan-serangan yang mungkin pula mengakibatkan
pingsan. Keadaan ini biasanya terjadi pada penderita-penderita jantung.
3. Gangguan sepintas peredaran darah otak
Gangguan sepintas peredaran darah dalam batang otak dengan macam-macam
sebab dapat mengakibatkan timbulnya serangan pingsan. Pada keadaan ini dijumpai
kelainan-kelainan neurologis seperti diplopia, disartria, ataksia dan lain-lain.
4. Hipoglikemia
Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, palpitasi, tremor, mulut
kering. Kesadaran dapat menurun perlahan-lahan.
5. Keracunan
Keracunan alcohol, obat tidur, penenang, menyebabkan kesadaran menurun.
Pada keadaan ini penurunan kesadaran berlangsung lama yang mungkin pula didapati
pada epilepsi.
6. Serangan hetang dan sianotik (Breath holding spells)
Serangan hetang atau somoron ada dua bentuk yaitu bentuk sianotik dan bentuk
palida. Bentuk sianotik disebabkan oleh henti sementara pernafasan dan bentuk
palida oleh henti jantung sementara.
7. Histeria
Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita 7-15 tahun. Serangan
biasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir karena ingin menarik perhatian.
Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol, atau perubahan pasca serangan
seperti terdapat pada epilepsy. Gerakan-gerakan yang terjadi tidak menyerupai
kejang tonik klonik, tetapi bias menyerupai sindroma hiperventilasi. Timbulnya
serangan sering berhubungan dengan stress.
8. Narkolepsi
Pada narkolepsi terjadi serangan-serangan perasaan mengantuk yang tidak dapat
dikendalikan.
9. Pavor nokturnus, lindur, kekau
Pavor noktornus merupakan gangguan tidur yang paroksismal, yang terjadi bila
terbangun pada tidur tingkat empat. Anak marah-marah, menangis, ketakutan, dan
kadang-kadang disertai halusinasi visual atau auditoris yang berlangsung cepat
disertai meningkatnya frekeuensi jantung dan pernafasan. Setelah itu ia tidur lagi dan
keesokan harinya ia tidak ingat sama sekali apa yang terjadi semalam.. EEG biasanya
normal
10. Paralisis tidur
Biasanya terjadi menjelang tiduratau bangun dan sering didahului halusinasi visual
dan auditoris. Serangan ini sering menakutkan penderita karena ia dapat bernafas,
menggerakan mata, namun tidak dapat bergerak. Sentuhan ringan atau rangsangan
auditoris dapat mengakhiri paralisi tersebut yang biasanya berlangsung hanya
beberapa detik.
11. Migren
Pada migren gejala-gejala juga timbul mendadak dalam serangan-serangan. Pada fase
vasokontriksi dapat timbul nausea, muntah, mulas, gangguan penglihatan, atau gejala-
gejala neurologis sesisi. Biasanya gejala-gejala ini reversible, tetapi pada anak
pulihnya agak lambat.

Tatalaksana
Tatalaksana epilepsy meliputi tiga bidang:
1. Penegakan diagnosis yang mengenai jenis bangkitan, penyebabnya dengan tepat.
2. Terapi
3. Rehabilitasi, sosisalisasi, edukasi

Tujuan pokok terapi epilepsy adalah membebaskan penderita darisernagn epilepsi,


tanpa mengganggu fungsi normal susunan saraf pusat agar penderita dapat menjalani
kehidupannya tanpa gangguan. Terapi dapat dibagi dalam dua golongan:
a. Terapi kausal
Terapi kausal dapat dilakukan pada epilepsy simtomatik yang sebabnya dapat ditemukan,
misalnya:
- Pada infeksi susunan saraf pusat dan selaputnya, diberikan antibiotic atau obat-obat
lain yang dapat memberantas penyebabnya.
- Pada neoplasma dan perdarahan di dalam rongga intrakranium mungkin diperlukan
tindakan operatif.
- Pada gangguan peredaran darah otak pemberian oksigen mungkin dapat membantu
mengatasi keadaan hipoksia yang terjadi.

b. Terapi medikamentosa anti kejang


1. Golongan hidantoin
Fenitoin
Merupakan golongan hidantoin yang sering dipakai. Kerja obat ini antara lain
penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak.
Indikasi: epilepsy umum khususnya grand mal tipe tidur, epilepsi fokal dan dapat juga
untuk epilepsi lobus temporalis.
Dosis: dewasa 300-600 mg / hari, anak 4-8 mg / hari, maks. 300 mg / hari
2. Golongan barbiturat
Fenobarbital
Merupakan golongan baribiturat yang bekerja lama (long acting). Kerjanya
membatasi penjalaran aktivitas serangan dengan menaikkan ambang rangsang.
Indikasi: epilepsi umum khusus epilepsi Grand Mal tipe sadar, epilepsi fokal.
Dosis: dewasa 200 mg / hari, anak 3-5 mg/kgBB/hari
3. Golongan benzodiazepam
Diazepam
Dikenal sebagai obat penenang, tetapi merupakan obat pilihan utama untuk status
epileptik.
Dosis: dewasa 2-10 mg im/iv, dapat diulang setiap 4 jam. Anak > 5 tahun5-10 mg
im/iv, anak 1 bulan-5 tahun 0,2-2 mg im/iv.
4. Golongan suksinimid
Etosuksimid
Indikasi: epilepsi petit mal murni
Dosis: 20-30 mg.kgBB/hari
5. Golongan anti epilepsi lainnya
Sodium valproat
Indikasi: epilepsi petit mal murni, dapat pula untuk epilepsi pada lobus temporalis
yang refarakter, sebagai kombinasi dengan obat lain.
Dosis: anak 20-30 mg?kgBB/hari, dewasa 0,8-1,4 gr/hari dimulai dengan 600
mg/hari.
Asetazolamid
Dikenal sebagai diuretic, tetapi pada pengobatan epilepsi mempunyai cara kerja
menstabilkan keluar masuknya natrium pada sel otak.
Indikasi: dapat dipakai pada epilepsi Petit Mal, dan pada epilepsi Grand Mal dimana
serangannya sering datang bethubungan dengan siklus menstruasi.
Dosis: sehari total 8-30 mg/kgBB
Karbamazepin
Indikasi: Epilepsi lobus temporalis dengan epilepsi Grand Mal
Dosis: Dewasa 800-1200mg/hari

Pencegahan
Hingga saat ini tidak ada cara untuk mencegah epilepsi, karena kebanyakan kasus terjadi
tanpa diketahui penyebabnya.

Prognosis
Pasien epilepsy yang berobat teratur,1/3 akan bebas dari serangnan paling sedikit 2
tahun, dan biasanya lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien
tidak mengalami sawan lagi,dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien
tidak mengalami remisis meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi,
kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik-klonik
dan sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah mengalami relaps
sesudah remisi.

2.1 Kejang
Definisi
Kejang adalah gangguan fungsi otak involunter paroksismal yang disebabkan oleh
bangkitan aktivitas listrik dari neuron-neuron Sistem Saraf Pusat (SSP) yang abnormal dan
berlebihan, yang bermanifestasi sebagai gangguan atau kehilangan kesadaran, aktivitas
motorik abnormal, kelainan perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi otonom,. Beberapa
kejang ditandai oleh gerak abnormal tanpa adanya kehilangan atau gangguan kesadaran.

Klasifikasi
Klasifikasi Internasional kejang epileptik sebagai berikut:
Kejang Parsial
o Parsial Sederhana (Kesadaran Tetap) dengan gejala-gejala motorik,
sensoris, otonom, dan psikis
o Parsial Kompleks (Kesadaran Terganggu)
o Kejang Parsial dengan Generalisasi Sekunder
Kejang Menyeluruh
o Absence (Petit Mal)
o Tonik Klonik (Grand Mal)
o Tonik
o Atonik
o Mioklonik
Kejang yang Tidak Terklasifikasi
o Kejang Neonatal
o Spasme Infantil

Aktivitas kejang pada kejang parsial terbatas pada area-area yang terpisah pada
korteks serebral dan sering dihubungkan dengan abnormalitas struktur dari otak. Sedangkan
aktivitas pada kejang menyeluruh melibatkan bagian-bagian otak secara simultan dan
dihubungkan dengan abnormalitas seluler, biokimia, atau struktural.
KEJANG PARSIAL
Kejang Parsial Sederhana
Aktivitas motorik merupakan gejala yang paling lazim. Gerakan ditandai
dengan gerakan klonik atau tonik yang tidak sinkron, cenderung melibatkan wajah, leher, dan
tungkai. Automatisme tidak terjadi pada kejang parsial sederhana. Aura atau perasaan yang
dialami penderita pada permulaan serangan dapat berupa perasaan tidak enak pada dada dan
nyeri kepala. Rata-rata kejang berlangsung selama 10-22 detik.
Gambaran Elektroensefalogram (EEG) penderita dapat menunjukkan gelombang paku
atau gelombang tajam unilateral atau bilateral, atau gambaran paku multifokal.

Kejang Parsial Kompleks


Kejang parsial kompleks dapat dimulai dengan kejang parsial sederhana, dengan atau
tanpa aura, lalu disertai dengan gangguan kesadaran, atau sebaliknya dapat dimulai
bersamaan dengan berubahnya keadaan kesadaran. Aura dapat berupa perasaan tidak enak
pada epigastrium dan perasaan ketakutan. Kesadaran terganggu pada bayi dan anak sukar
dinilai. Dapat terjadi adanya tatapan kosong singkat atau penghentian aktivitas anak yang
mendadak, hal ini dapat terabaikan oleh orang tua.
Automatisme merupakan tanda kejang parsial kompleks yang lazim pada bayi dan
anak-anak. Semakin tua penderita, maka akan semakin besar frekuensi automatisme.
Automatisme berkembang pasca kehilangan kesadaran dan dapat menetap ke dalam fase
pasca kejang, tetapi automatisme tidak diingat kembali oleh anak. Perilaku automatisme yang
diamati pada bayi termasuk menggigit bibir, mengunyah, menelan, dan ludah berlebihan.
Gerakan ini dapat menggambarkan perilaku bayi normal dan sukar membedakannya dengan
automatisme kejang parsial kompleks. Perilaku automatisme pada anak yang lebih tua dapat
berupa sikap yang setengah-setengah, tidak terkoordinasi dan tidak berencana seperti
memilih dan menarik pakaian atau sprei, mengusap atau memeluk benda, dan berjalan atau
berlari tanpa tujuan, berulang-ulang, dan sering ketakutan.
Penyebaran bangkitan epileptiformis dapat mengakibatkan generalisasi sekunder
dengan konvulsi tonik-klonik. Selama penyebaran bangkitan kejang melalui hemisfer,
pemutaran kepala khusus kontralateral, postur distonik, dan gerakan tonik atau klonik tungkai
dan wajah termasuk kedipan mata dapat ditemukan. Durasi rata-rata kejang selama 1-2 menit.
Gambaran EEG antar-kejang penderita menunjukkan gambaran gelombang tajam atau
paku-paku setempat, dan gambaran paku multifokus merupakan temuan yang sering. Namun,
sekitar 20% bayi dan anak mempunyai gambaran EEG antar-kejang rutin yang normal.
KEJANG MENYELURUH
Kejang Linglung (Absence/Petit Mal)
Kejang petit mal sederhana (khas/tipikal) ditandai dengan penghentian aktivitas
motorik atau bicara mendadak, dengan ekspresi wajah kosong, dan kelopak mata berkedip-
kedip. Kejang ini tidak lazim sebelum umur 5 tahun, lebih lazim pada anak perempuan.
Kejang ini tidak pernah disertai dengan aura, jarang menetap lebih lama dari 30 detik,
dan tidak disertai dengan status pasca kejang. Tanda-tanda ini cenderung membedakan
kejang linglung dengan kejang parsial kompleks. Penderita tidak kehilangan tonus, tetapi
kepala dapat agak terkulai ke depan. Sesudah kejang, penderita melanjutkan aktivitasnya
sebelum kejang tanpa gangguan pasca kejang. Perilaku automatisme seringkali menyertai
kejang linglung sederhana.
Gambaran EEG menunjukkan gelombang paku khas 3/detik dan bangkitan
gelombang menyeluruh.
Kejang linglung kompleks (tidak khas/atipikal) menggabungkan komponen motorik
yang terdiri dari gerakan mioklonik wajah, jari, atau tungkai dan kadang-kadang kehilangan
tonus tubuh. Kejang ini menghasilkan gelombang paku EEG atipikal dan bangkitan
gelombang pada 2-2,5 detik.

Kejang Tonik-Klonik (Grand Mal)


Kejang ini adalah kejang yang sangat umum dan adanya pasca kejang parsial yang
mulainya setempat (generalisasi sekunder) atau terjadi pada tempat semula. Kejang ini dapat
disertai dengan aura yang menujukkan asal tempat bangkitan epileptiform. Penting untuk
menanyakan mengenai adanya aura, karena adanya aura dan tempat asalnya dapat
menunjukkan daerah patologi. Penderita kadang-kadang kehilangan kesadaran dan pada
beberapa kasus mengeluarkan tangis melengking dan menusuk. Mata berputar ke belakang,
seluruh otot tubuh mengalami kontraksi tonik, dan anak dengan cepat menjadi sianosis
bersamaan dengan apneu. Fase klonik kejang ditunjukkan oleh kontraksi klonik ritmik
berselang-seling dengan relaksasi semua kelompok otot. Fase klonik melambat ke arah akhir
kejang, yang biasanya menetap selama beberapa menit, dan penderita sering mendesah ketika
kejang berhenti mendadak. Selama kejang, anak dapat menggigit lidah tetapi jarang muntah.
Kehilangan pengendalian sphincter, terutama kandung kencing, adalah lazim selama kejang
tonik-klonik.
Pasca kejang, anak pada mulanya akan semi-koma dan lalu tertidur selama 30 menit
hingga 2 jam. Jika penderita diperiksa selama kejang atau segera setelah kejang, didapatkan
ataksia trunkus, refleks tendo hiperaktif, klonus dan refleks Babinsky. Fase pasca kejang
sering disertai dengan muntah dan nyeri kepala bifrontal yang berat.
Kejang idiopatik adalah istilah yang dipakai bila penyebab kejang menyeluruh tidak
dapat dipastikan. Banyak faktor yang diketahui mempercepat kejang tonik-klonik
menyeluruh pada anak, termasuk demam ringan yang disertai dengan infeksi, kelelahan
berlebihan atau stres emosi, dan berbagai obat termasuk obat psikotropik, teofilin, dan
metilfenidat.
Gambaran EEG selama fase tonik menunjukkan peningkatan progresif dalam aktivitas
cepat bertegangan rendah yang menyeluruh, yang diikuti dengan bangkitan paku-paku
beramplitudo besar yang menyeluruh. Pada fase klonik, aktivitas beramplitudo besar secara
khas dihentikan oleh gelombang lambat yang membentuk pola gelombang-paku. Gambaran
EEG pasca kejang menunjukkan perlambatan yang menyebar yang perlahan membaik
bersamaan penderita sadar.
Ada banyak varian dari kejang tonik-klonik menyeluruh, termasuk kejang tonik murni
dan kejang klonik murni. Kejang tonik singkat hanya berlangsung beberapa detik dan penting
karena biasanya berhubungan dengan sindrom epileptik spesifik yang mempunyai
penampakan kejang yang beragam, seperti sindrom Lennox-Gastaut.

Kejang Atonik
Kejang atonik biasanya dimulai pada umur 2-5 tahun ditandai dengan hilangnya tonus
otot postural yang mempertahankan sikap tubuh secara tiba-tiba selama 1-2 detik. Kesadaran
sedikit terganggu, tetapi biasanya pasca kejang tidak mengalami kebingungan (confusion).
Kejang yang singkat dapat menyebabkan kepala terjatuh atau gerakan mengangguk,
sementara kejang yang lebih lama dapat menyebabkan penderita terjatuh. Hal ini dapat
menjadi berbahaya, oleh karena risiko dapat terjadinya cedera kepala akibat kepala terbentur.
Gambaran EEG menunjukkan bangkitan singkat gelombang paku menyeluruh yang
langsung diikuti dengan gelombang lambat yang berkorelasi dengan hilangnya tonus otot.
Sama dengan kejang tonik murni, kejang atonik biasanya berhubungan dengan sindrom
epileptik yang diketahui.

Kejang Mioklonik
Gangguan ditandai dengan kejang berulang yang terdiri dari kontraksi otot sebentar,
sering kontraksi otot simetris dengan kehilangan tonus tubuh dan jatuh atau menelungkup ke
depan, yang mempunyai kecenderungan menyebabkan luka pada wajah dan mulut. Ada 5
subkelompok yang dapat dikenali yang menggambarkan spektrum luas epilepsi mioklonik
pada populasi pediatri, yaitu mioklonus benigna pada masa bayi, epilepsi mioklonik khas
masa anak awal, epilepsi mioklonik kompleks, epilepsi mioklonik juvenil, dan epilepsi
mioklonik progresif.
Mioklonus benigna pada masa bayi terdiri dai kelompok gerakan mioklonik yang
terbatas pada leher, badan, dan tungkai. Aktivitas mioklonik ini dapat terancukan dengan
spasme infantil. Namun, gambaran EEG normal pada penderita mioklonus benigna.
Prognosis baik, dengan perkembangan normal dan penghentian mioklonus pada umur 2
tahun.
Epilepsi mioklonik khas masa anak awal dimulai sekitar umur 2,5 tahun, tetapi
kisaran berkisar dari 6 bulan hingga 4 tahun. Frekuensi kejang mioklonik bervariasi; dapat
beberapa kali sehari atau bebas kejang selama beberapa minggu. Beberapa penderita
menderita kejang demam atau kejang afibril tonik-klonik menyeluruh yang mendahului
mulainya epilepsi tonik-klonik. Sekitar setengah dari penderita kadang-kadang menderita
kejang tonik-klonik disamping epilepsi mioklonik. EEG menunjukkan kompleks gelombang
paku cepat 2,5 Hz dan latar belakang irama normal pada kebanyakan kasus. Setidaknya
sepertiga anak mempunyai riwayat epilepsi keluarga positif, yang pada beberapa kasus
menunjukkan etiologi genetik. Hasil jangka panjang relatif baik, retardasi mental terjadi pada
sebagian kecil dan lebih dari 50% penderita bebas kejang beberapa tahun kemudian.
Epilepsi mioklonik kompleks terdiri dari kelompok penyakit yang heterogen dengan
prognosis yang secara seragam buruk. Secara khas, kejang tonik-klonik setempat atau
menyeluruh dimulai pada tahun pertama mendahului mulainya epilepsi mioklonik. Kejang-
kejang menyeluruh sering disertai dengan infeksi saluran pernafasan atas dan demam rendah
serta seringkali berkembang menjadi status epileptikus. Sekitar sepertiga dari penderita ini
mempunyai bukti adanya tanda keterlambatan perkembangan. Riwayat epilepsi keluarga jauh
kurang menonjol pada kelompok ini dibandingkan dengan epilepsi mioklonik khas. Beberapa
anak menunjukkan kombinasi kejang mioklonik dan tonik yang sering, dan bila gelombang
paku lambat antar kejang nyata pada EEG, gangguan kejang diklasifikasikan sebagai sindrom
Lennox-Gastaut. Penderita dengan epilepsi mioklonik kompleks secara rutin mempunyai
gelombang paku lambat antar-kejang dan refrakter terhadap antikonvulsan. Kejang tersebut
menetap, dan frekuensi retardasi mental dan masalah perilaku sekitar 75% dari semua
penderita.
Epilepsi mioklonik juvenil biasanya mulai antara umur 12 dan 16 tahun, dan
merupakan sekitar 15% dari epilepsi. Penderita mengalami jingkatan mioklonik yang sering
pada saat jaga, yang membuat sukar menyisir rambut dan sikat gigi. Karena mioklonus
cenderung mereda pada pagi hari, kebanyakan penderita tidak mencari pertolongan medik
pada stadium ini dan beberapa penderita mengingkari episode ini. Beberapa tahun kemudian,
kejang tonik-klonik menyeluruh di pagi hari berkembang bersama dengan mioklonusnya.
EEG menunjukkan tonjolan dan pola gelombang 4-6/detik tidak teratur, yang diperbesar
dengan rangsangan cahaya. Pemeriksaan neurologis normal dan sebagian besar berespons
secara dramatis terhadap valproat, yang diperlukan seumur hidup. Penghentian obat
mendadak menyebabkan tingginya frekuensi kejang berulang.
Epilepsi mioklonik progresif jarang dan mempunyai prognosis yang buruk. Keadaan
ini meliputi penyakit Lafora, epilepsi mioklonik dengan serabut merah compang-camping
(MERRF), sialosis tipe I, lipofusinosisseroid, penyakit neuropati juvenil Gaucher, dan distrofi
neuroksonal juvenil. Penyakit Lafora ada pada anak berumur antara 10-18 tahun dengan
kejang tonik-klonik menyeluruh. Akhirnya, jingkatan mioklonik muncul, yang menjadi lebih
nyata dan konstan pada perburukan penyakit. Perburukan mental merupakan tanda khas dan
menjadi nyata dalam 1 tahun dari mulainya kejang. Kelainan neurologis, terutama tanda
serebellum dan ekstrapiramidalis, merupakan temuan yang menonjol. EEG menunjukkan
bangkitan gelombang polipaku, terutama pada daerah oksipital dengan perlambatan progresif
dan latar belakang yang kacau.

Kejang yang Tidak Terklasifikasi


Kejang Neonatus
Neonatus menghadapi risiko khusus terserang kejang karena penyakit metabolic,
toksik, structural, dan infeksi lebih mungkin menjadi nampak selama waktu ini daripada pada
periode kehidupan lain kapanpun. Kejang berbeda dengan pada dewasa karena konvulsi
tonik-klonik cenderung tidak terjadi selama umur bulan pertama. Ada setidaknya 5 tipe
kejang ysng dapat dikenali pada bayi baru lahir.
Kejang setempat, terdiri dari kedutan ritmik kelompok otot, terutama tungkai dan
wajah. Kejang ini seringkali terkait dengan lesi struktural juga dengan infeksi dan perdarahan
subaraknoid.
Konvulsi klonus, multifokus serupa dengan kejang klonus setempat tetapi berbeda
dalam hal banyak kelompok otot yang terlibat, seringkali beberapa terjadi secara simultan.
Kejang tonik, ditandai dengan postur tungkai dan badan kaku, kadang-kadang dengan
deviasi mata yang tetap.
Kejang mioklonik, merupakan jingkatan-jingkatan setempat atau menyeluruh tungkai
atau badan sebentar yang cenderung melibatkan kelompok otot distal.
Kejang yang tidak kentara, terdiri dari gerakan mengunyah, salivasi berlebihan, dan
perubahan dalam frekuensi pernapasan termasuk apneu, berkedip, nistagmus, gerakan
bersepeda atau mengayuh pedal, dan perubahan warna.
Kejang neonatus mungkin sukar dikenali secara klinik, dan beberapa perilaku bayi
baru lahir yang sebelumnya dianggap konvulsi dianggap tidak disokong oleh rekaman EEG.
Meskipun demikian, ada beberapa tanda klinik yang membedakan kejang dari aktivitas non-
epileptik pada neonatus. Perubahan otonom seperti takikardi dan peningkatan tekanan darah
adalah lazim pada kejang tetapi tidak terjadi pada kejadian non-epileptik. Gerakan non-
epileptik tersupresi dengan pengendalian halus, tetapi kejang tidak. Fenomena non-epileptik
diperkuat dengan rangsangan sensoris yang tidak berpengaruh pada kejang

Spasme Infantil
Spasme infantil biasanya mulai antara umur 4-8 bulan dan ditandai dengan kontraksi
simetris pada leher, badan, dan tungkai. Ada 3 tipe infantil: fleksor, ekstensor, dan campuran.
Spasme fleksor, terjadi dalam kelompok dan terdiri dari fleksi mendadak leher, lengan
dan kaki pada tungkai.
Spasme ekstensor, menghasilkan ekstensi badandan tungkai dan setidak-tidaknya
bentuk spasme infantil biasa
Spasme infantil campuran, terdiri dari pada beberapa kelompok dan ekstensi pada
kelompok yang lain, adalah spasme infantil yang paling umum.
Kelompok kejang dapat menetap selama beberapa menit dengan interval pendek antar
tiap spasme. Menangis dapat mendahului atau menyertai spasme infantil, menimbulkan
kerancuan dengan kolik pada beberapa kasus. Spasme terjadi selama tidur atau bangun tetapi
mempunyai kecenderungan berkembang saat penderita mengantuk atau segera setelah
bangun.
EEG yang paling lazim dihubungkan dengan spasme infantil dihubungkan dengan
hipsaritmia, yang terdiri dari gambaran tegangan tinggi yang kacau, secara bilateral tidak
sinkron, aktivitas gelombang lambat atau gambaran hipsaritmia.
Kejang pada Tetanus
Tetanus adalah kelainan neurologis, yang ditandai dengan tonus otot yang meningkat
dan spasme, yang disebabkan tetanospasmin, toxin kuat dari Clostridium tetani.
Manifestasi klinis pada tetanus dapat terlokalisasi atau menyeluruh, di mana yang
men`yeluruh lebih umum. Pada manifestasi tetanus menyeluruh, trismus (spasme muskulus
maseter atau rahang terkunci [lockjaw]) merupakan gejala yang ada pada sekitar 50% kasus.
Nyeri kepala, gelisah, iritabilitas merupakan gejala awal, sering disertai oleh kekakuan, sukar
mengunyah, disfagia dan spasme otot leher. Risus sardonikus (senyuman sengit) tetanus
akibat dari spasme otot muka dan mulut yang tidak henti-henti. Bila meluas ke otot-otot
perut, punggung, pinggang dan paha, penderita dapat berpostur lengkung (opistotonus), di
mana hanya punggung kepala dan tumit yang menyentuh tanah. Opistotonus adalah posisi
seimbang akibat dari kontraksi semua otot yang berlawanan, menampakkan kekakuan tetanus
khas seperti papan. Spasme otot-otot laring dan pernapasan dapat menyebabkan obstruksi
saluran pernapasan dan asfiksia. Karena toksin tetanus tidak mengenai saraf sensoris atau
fungsi korteks, penderita tetap sadar dalam nyeri yang sangat. Kejang ini ditandai dengan
kontraksi otot tonik berat, mendadak, dengan tinju menggenggam, lengan fleksi dan adduksi
serta hiperekstensi kaki. Tanpa pengobatan, kisaran kejang dari beberapa detik hingga
beberapa menit lamanya dengan masa berhenti di antaranya, tetapi ketika penyakit menburuk
spasme menjadi bertahan dan melelahkan. Disuria dan retensi urin akibat spasme sphincter
kandung kemih; mengejan pada waktu defekasi dapat terjadi. Demam, kadang-kadang
setinggi 40C, lazim karena banyak energi metabolik dihabiskan oleh otot-otot spastik.
Pengaruh otonom yang utama adalah takikardi, aritmia, hipertensi labil, diaforesis, dan
vasokonstriksi. Keadaan ini mirip dengan keadaan kejang pada epilepsi tonik-klonik
menyeluruh (grand mal) fase tonik, di mana terdapat kontraksi otot tonik pada tubuh,
kontraksi otot dan laring, gangguan respirasi dan adanya sianosis, kontraksi otot rahang, dan
takikardi. Yang membedakan adalah terganggunya kesadaran pada epilepsi, sedangkan pada
tetanus penderita masih sadar. Dan adanya fase klonik dan ictal cry pada epilepsi, juga
adanya kekakuan otot pada tetanus.

2.3 Status Epileptikus


Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung
lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami
kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka
kejadian kira-kira 60.000 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonikumum yang
terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status epileptikus
merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga
kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam
memakan obat antikonvulsan.Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-
2 persen, tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status
epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal
dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua. Dari data epidemiologi menunjukkan
bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada
usia tua Status Epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler,
disfungsi jantung, dementia. Pada Negara miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak
tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.

Etiologi
Penyebab status epileptikus sangat bervariasi tiap individu. Pada orang dewasa,
penyebab utama adalah antiepileptikus potensi rendah (34 %) dan penyakit serebrovaskular
(22%), termasuk akut atau remote stroke dan perdarahan. Penyebab lain status epileptikus
adalah hipoglikemia, hipoksemia, trauma, infeksi (meningitis, ensefalitis, dan abses otak),
alkohol, penyakit metabolik, toksisitas obat, dan tumor.

Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena
penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status
epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan area tertentu dari korteks
(Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori utama lainnya
bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi. Banyak
pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu versi
mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik,
mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks).
Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status
epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan
pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan
anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:4
1. Overt generalized convulsive status epilepticus
2. Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran
penuh.
3 a.Tonik klonik
4 b.Tonik
5 c.Klonik
6 d.Mioklonik
7 Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized
convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.
8 Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved):
a. Simple motor status epilepticus
b. Sensory status epilepticus
c. Aphasic status epilepticus
4. Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)
a. Petit mal status epilepticus
b. Complex partial status epilepticus.

Patofisiologi
Patofisiologi status epileptikus terdiri dari banyak mekanisme dan masih sangat
sedikit diketahui. Beberapa mekanisme tersebut adalah adanya kelebihan proses eksitasi atau
inhibisi yang inefektif pada neurotransmiter, dan adanya ketidak seimbangan aktivitas
reseptor eksitasi atau inhibisi di otak. Neurotransmiter eksitatorik utama yang berperan dalam
kejang adalah glutamat. Faktor faktor apapun yang dapat meningkatkan aktivitas glutamat
akan menyebabkan terjadinya kejang.
Neurotransmiter inhibitorik yang berperan dalam kejang adalah GABA. Antagonis
GABA seperti penisilin dan antibiotik dapat menyebabkan terjadinya kejang. Selain itu,
kejang yang berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi reseptor GABA sehingga mudah
menyebabkan kejang.
Kerusakan CNS dapat terjadi oleh karena ketidakseimbangan hormon dimana terdapat
glutamat yang berlebihan yang akan menyebabkan masuknya kalsium dalam sel neuron dan
akhirnya menyebabkan apoptosis (eksitotoksik). Selain itu, juga dapat disebabkan oleh
GABA dikeluarkan sebagai mekanisme kompensasi terhadap kejang tetapi GABA itu sendiri
menyebabkan terjadinya desensitisasi reseptor, dan efek ini diperparah jika terdapat
hipertermi, hipoksia, atau hipotensi.
Terdapat dua fase dalam status epileptikus yaitu fase pertama ( 0 30 menit) dan fase
kedua (> 30 menit). Pada fase pertama, mekanisme kompensasi masih baik dan menimbulkan
pelepasan adrenalin dan noradrenalin, meningkatnya aliran darah ke otak, meningkatnya
metabolisme, hipertensi, hiperpireksia, hiperventilasi, takikardi, dan asidosis laktat. Pada fase
kedua, mekanisme kompensasi telah gagal mempertahankan sehingga autoregulasi cerebral
gagal dan menimbulkan odem otak, depresi pernafasan, aritmia jantung, hipotensi,
hipoglikemia, hiponatremia, gagal ginjal, rhabdomiolisis, hipertermia, dan DIC.
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase
pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac
output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat
serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat.
Perubahan saraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua,
kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum
kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas
kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan
pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel. Aktivitas kejang yang
berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang
buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh
klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak
berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal
pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,
hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat
efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan
pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium
dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

Manifestasi Klinis
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic)
merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan
kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus). Ini
merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam
mengakibatkan kerusakan.Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial
yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum.Pada status tonik-klonik umum, serangan
berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara
serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-
otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.Pasien menjadi sianosis selama
fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.Adanya takikardi dan peningkatan tekanan
darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum
terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik
dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa
diikuti fase klonik.Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran
dari Lenox-Gestaut Syndrome.

Status Epileptikus Mioklonik


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.Tipe dari
status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.

Status Epileptikus Absens


Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa.
Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi
(dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupaislow motion movie dan
mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum
primer atau kejang absens pada masa anak-anak.Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz
monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.Respon terhadap status epileptikus
Benzodiazepin intravena didapati.

Status Epileptikus Non Konvulsif


Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena
gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor
atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,delusional, cepat marah,
halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave
discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari
pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin
menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi
tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada
hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses
destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai
dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.

Status Epileptikus Parsial Kompleks


Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk
mencegah pemulihan diantara episode.Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan
keadaan kebingungan yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus
temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa
yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan
harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada
makalah ini diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini
pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin
yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan
Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-
aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-
Barbiturat.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang
mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di
bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil
menghentikan kejang sebanyak 65 persen.

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan
karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan
terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi
Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan
depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan Benzodiazepin.
Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg
dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping
termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen
glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik
yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan
purple glove syndrome. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin,
karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.
Status Epileptikus Refrakter
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun
dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup
banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia
persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik
dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi
dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama.
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan
Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan
medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton.
Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat
ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus


Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubu
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA
(Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg
IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernickes encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang
tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg
per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan
Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat
diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung

1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature

2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100
mg per menit

Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena
hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam;
kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti.
Pertahankan tekanan darah stabil.
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg
per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nia Kania, dr., SpA., MKes,Kejang pada Anak, Disampaikan pada acara Siang Klinik
Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12 Februari 2007.
2. Penatalaksanaan status epileptikus, Available at : http://owthey.blogspot.com/ diakses 1
April 2011.
3. Darto Saharso,Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya
4. Huff, Steven. Status Epilepticus. Available from: http://emedicine.medscape.com/ diakses 3
April 2011
5. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The treatment of
convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000; 83:415-19.
6. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am
2001;48:683-94.
10. Abrutyn E. 2005. Tetanus. Dalam Dennis L. Kasper et al (Eds.), Harrisons Principles of
Internal Medicine 16th Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.
11. Arnon, Stephen S. 1996. Tetanus. Dalam Behrman et al (Eds.), Ilmu Kesehatan Anak. Editor
Bahasa Indonesia: Prof Dr. dr. A. Samik Wahab. Jakarta:EGC.
12. Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta:EGC.
13. Haslam, Robert H.A. 1996. Kejang-kejang pada Masa Anak. Dalam Behrman et al (Eds.),
Ilmu Kesehatan Anak. Editor Bahasa Indonesia: Prof Dr. dr. A. Samik Wahab. Jakarta:EGC.
14. Lowenstein, Daniel H. 2005. Seizures and Epilepsy. Dalam Dennis L. Kasper et al (Eds.),
Harrisons Principles of Internal Medicine 16th Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.
15. Lumbantobing, S.M. 2006. Epilepsi (ayan). Jakarta:Balai Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai