Anda di halaman 1dari 22

Klasifikasi

Pada tahun 1981, International League Against Epilepsy (ILAE) telah mengemukan
klasifikasi mengenai epilepsi yang berdasarkan observasi secara klinikal dan EEG. Pada
tahun 1989, ILAE mengemukan pula klasifikasi untuk epilepsi dan bangkitan epilepsi.
Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau
terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia, dan situasi yang berhubungan dengan
bangkitan.1,2
 Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :

Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni:
1. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
 Dengan gejala motorik
 Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
 Dengan gejala autonom
 Dengan gejala psikis
2. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
 Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi
penurunan kesadaran
 Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan
3. Parsial yang menjadi umum sekunder
 Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik
 Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
 Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-
konik

Bangkitan Umum
Bangkitan umum dibagi menjadi:
1. Absence / lena / petit mal
2. Klonik
3. Tonik
4. Tonik-klonik /Grand mal
5. Mioklonik
6. Atonik
Tidak Tergolongkan
 Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindroma epilepsi
Berkaitan dengan lokasi kelainan (localized related)
1. Idiopatik (primer)
 Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
 Childhood epilepsy with occipital paroxysm
 Primary reading epilepsy
2. Simtomatik (sekunder)
 Epilepsi parsial kontinua yang kronik pada anak-anak (Kojenikow’s
Syndrome)
 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, epilepsi refleks, stimulasi
fungsi kortikal tinggi, membaca)
 Epilepsi lobus temporal : Onset pada usia kanak-kanak, kejang hilang
selama bebearap tahun dan kembali muncul saat remaja, disertai dengan
riwayat kejang demam, merupakan bangkitan parsial sederhana atau kompleks
dengan atau tanpa generalisasi sekunder, disertai dengan aura (nyeri
epigastrik, rasa takut deja vu, fenomena visual; disertai dengan automatisme
(gerakan berulang), resisten terhadap OAE.
 Epilepsi lobus frontal : Bangkitan parsial sederhana atau kompleks
dengan atau tanpa generalisasi sekunder, aura nonspesifik, ada gangguan
vokalisasi atau bicara, dapat timbul deviasi mata, EEG biasanya normal.
 Epilepsi lobus parietal : Bangkitan parsial sederhana, motor atau
sensori, dengan atau tanpa generalisasi sekunder, disertai dengan parestesia,
lokasi pada wajah, lengan dan tangan; disertai halusinasi dan gangguan
berbahasa
 Epilepsi lobus oksipital
3. Kriptogenik
Epilepsi umum dan berbagai sindroma epilepsi berurutan sesuai dengan
peningkatan usia
1. Idiopatik : Benign neonatal familial convulsions; Benign neonatal
convulsions; Benign myoclonic epilepsy in infancy; Childhood absence
epilepsy; Juvenile absence epilepsy; Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive
petit mal); Epilepsy with grand mal seizures upon awakening; dan Other
generalized idiopathic epilepsies
2. Kriptogenik atau simtomatik berurutan sesuai dengan peningkatan
usia. : West’s syndrome (infantile spasms); Lennox gastaut syndrome;
Epilepsy with myoclonic astatic seizures; dan Epilepsy with myoclonic
absences
3. Simtomatik
 Etiologi non spesifik
 Ensefalopati mioklonik dini
 Ensefalopati pada infantile dini denganburst suppression
 Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas
 Sindrom spesifik
 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau umum
1. Bangkitan umum dan fokal
 bangkitan neonatal
 epilepsi mioklonik berat pada bayi
 epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
 epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
 epilepsi yang tidak terklasifikasikan selain yang di atas
2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
Sindrom khusus: bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
1. Kejang demam
2. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated)
3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut,
atau toksik, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)
Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:2
1. Idiopatik
o Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologik. Diperkirakan
mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik
o Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk disini
adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran
klinik sesuai dengan ensefalopati difus
3. Simtomatik
o Bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/ lesi struktural pada otak
misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik, metabolik, kelainan neurodegeneratif.

Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang
disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada
permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari
ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di
dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl,
sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion
inilah yang menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-badan
neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron berikutnya.
Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik.
Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,aspartat
dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah /gamma amino butyric
acid /(GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi
transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan fisiologik apabila
potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial
listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan
depolarisasi membrane neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan
oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di
otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke
sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.
Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai
patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini
merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan
adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan
pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-
gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata
ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa 4.
Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion
yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion
ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesama neuron. Oleh
berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi
membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat
khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik. Selain
itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya
zat-zat yang penting untuk fungsi otak.1,7-9

Manifestasi Klinis
Epileptic seizure adalah suatu kejadian klinis, sehingga tanda dan gejala yang ada
harus ada pada definisinya. Bentuk seizure yang muncul sangat tergantung pada lokasi onset
di otak, pola propagasinya, maturitas otak , proses penyakit otak yang ada, siklus bangun-
tidur, medikasi dan berbagai faktor lain. Seizure dapat mempengaruhi fungsi sensoris,
motoris, auditoris, kognisi, atau tingkah laku. Manifestasi sensoris dapat berupa
somatosensoris, auditoris, visual, olfaktoris, gustatoris, vestibuler dan juga sensasi internal
yang lebih kompleks yang berupa distorsi persepsi kompleks. Pada definisi terdahulu, hal ini
disebut psychic seizure.
Menurut ILAE Glossary of Descriptive Terminology for Ictal Semiology(Blume 2001) defisit
kognisi saat seizure dapat berupa problema persepsi, atensi, emosi, memori, eksekusi, praxis
atau bicara. Distorsi memori dapat bersifat negative seperti gangguan formasi dan retrieval
memori dan dapat pula bersifat positif seperti deja vu dan forced memory lain
selama seizure. Pada definisi terdahulu ini disebut psychic seizure juga. Status emosi harus
dipertimbangkan juga pada definisi oleh karena manifestasi seizure dapat berupa rasa takut,
rasa puas, cemas, gembira, sedih dan sensasi subyektif lain yang tidak dapat diterangkan
dengan sensasi primer.1,3-5
 Grand mal (kejang tonik-klonik)
o Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder
Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-tonik. Manifestasi
klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak pada ada
tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang.
Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai
dengan letak focus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak,
melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu,
sakit kepala dan sebagainya.
Bangkitan di mulai dengan kehilangan kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti.
Kemudian penderita mengalami kejang tonik yaitu otot-otot berkontraksi sangat hebat,
penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar
dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini
kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan
membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 - 3 menit.
Selain kejang-kejang, terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks
cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan
penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita
bangun, termenung dan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan
dapat setiap jam sampai setahun sekali.

Fitur Kejang parsial sederhana Kejang parsial kompleks


Gangguan Kesadaran Tidak terganggu Terganggu
Terpengaruh
Jangka waktu detik hingga menit Menit
Gejala dan tanda Terganting tempat asal: tidak Tergantung pada tempat asal;
ada postiktal kebingungan terdapat postictal
kebingungan
Usia Semua usia Semua usia
Iktal EEG Setiap epileptiform Unilateral atau bilateral
pembuangan epileptiform
kontralateral; dalam banyak pembuangan, difus atau fokal
kasus, tidak ada kelainan
interiktal
terdeteksi
Tabel 1. Perbedaan antara kejang parsial sederhana dan kompleks

Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui anamnesis
dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila
secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah
dapat ditegakkan

Anamnesis
 Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa
hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala
sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya
serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan
tertentu.1,2
 Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
o Pola / bentuk serangan
o Lama, durasi, frekuensi, interval terpanjang antar bangkitan
o Keadaan saat bangkitan : duduk/ berdiri/ berbaring/ tidur/ berkemih
o Gejala sebelum, selama dan paska serangan
o Faktor pencetus
o Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
o Usia saat serangan terjadinya pertama
o Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
o Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
o Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
o Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
o Riwayat trauma kepala, infeksi, dll.
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
 Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal
atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran
antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.1,2
Pemeriksan Penunjang
 EEG
o Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
genetik atau metabolik. Rekaman EEG sebaiknya dilakukan saat bangun, tidur, dengan
stimulaso fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsy
refleks).
o Indikasi EEG antara lain: membantu menegakkan diagnosis epilepsy;
menentukan prognosis pada kasus tertentu; pertimbangan dalam penghentian OAE;
membantu dalam menentukan letak focus; dan bila ada perubahan bentuk bangkitan dari
bangkitan sebelumnya
o Rekaman EEG dikatakan abnormal :
 Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.
 Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
 Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada orang normal
 Pada Grand Mal didapatkan Fase tonikpada kejang merupakan
karakteristik oleh progresifitas amplitudo tinggi dan frekuensi rendah dengan pengamatan
khusus simultan pada kedua hemisfer kortek, jangkauan maksimum adalah 10 Hz. Kemudian
menjadi lambat dan bergabung menjadi amplitudo paku yang tinggi
secara bilateral dan progresifitasyang tinggi dengan ritme amplitudotinggi aktifitas delta,
melambat, berkembang progresifitas menjadi komplek yang berulang dari amplitudotinggi,
paku dan lambat. Gelombang aktifitas dalam fase klonik. Setelah kejang berhenti EEG
hampir flat selama beberapa saat.
o rekaman interiktal seperti yang saat ini dibuat, di Indonesia dikatakan bahwa
kira-kira 30% penderita epilepsi akan menunjukkan rekaman dalam batas normal.1,2,7
 Brain Imaging
o CT scan dan MRI dapat memperlihatkan struktur jaringan otak,
sedangkan neuroimaging lain memperlihatkan fungsi jaringan otak dan tata kerjanya. Hal ini
sering dilakukan pada penderita kandidat operasi. Untuk beberapa tipe epilepsi
maka neuroimaging mungkin tidak diperlukan.Neuroimaging harus dipertimbangkan apabila
penyebab epileptic seizure adalah sesuatu yang dapat berubah, seperti benign tumor yang
dapat membesardan malformasi vascular yang dapat pecah dan menimbulkan perdarahan.
Pada keadaan iniserial imaging diperlukan untuk mencermati situasi. MRI juga berguna
apabila kausa epileptic seizure itususpected but indefinite, seperti trauma kepala ringan. CT
atau MRI tidak diperlukan pada sindroma epilepsi yang jelas, seperti absence, juvenile
myoclonic epilepsy, atau benign rolandic epilepsy, yang kausanya genetik dan MRI atau CT
scan hampir selalu normal atau tidak berhubungan dengan
epilepsinya. Neuroimaging lainnya:1,2,5
 Single photon emission computed tomography (SPECT) yang
memperlihatkan peta aliran darah di berbagai bagian dari otak
 Positron emission tomography (PET), yang memperlihatkan seberapa
banyak glukosa atau oksigen dimetabolisme di berbagai bagian dari otak.
 Magnetoencephalography (MEG), yang mengukur lapang magnit yang
kecil untuk mempelajari pola elektris otak dengan mengurangi pengaruh tulang tengkorak
dan jaringan lain seperti yang terjadi pada EEG.
 Magnetic resonance spectroscopy (MRS), yang mempelajari signal
yang dipancarkan oleh fosfor misalnya. MRS menggunakan teknologi seperti MRI yang
menggunakan atom hydrogen. MRS dapat digunakan untuk melihat metabolisme di otak.
 Ultrasound yang dapat melihat cairan atau darah di otak bayi yang
baru lahir.
 Pemeriksaan laboratorium
o Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati
dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan
glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar
mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum
dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse”.1,2

Diagnosis Banding
 Sinkope, dapat bersifat kardiogenik, hipovolemik, hipotensi, dll. Sinkope ialah
keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan alirandarah ke dalam otak dan
anoksia. Pada fase permulaan, penderita menjadi gelisah, tampak pucat, berkeringat, merasa
pusing, pandangan mengelam. Kesadaran menurun secara berangsur, nadi melemah, tekanan
darah rendah.
 Hipoglikemia : Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, palpitasi, tremor,
mulut kering.Kesadaran dapat menurun perlahan-lahan.
 Histeria : Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita 7-15 tahun.
Serangan biasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir karena ingin menarik
perhatian.Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol, atau perubahan pasca serangan
seperti terdapat pada epilepsy. Gerakan-gerakan yang terjadi tidak menyerupai kejang
tonik klonik, tetapi bias menyerupai sindroma hiperventilasi.
 Keracunan : Keracunan alcohol, obat tidur, penenang, menyebabkan kesadaran
menurun.Pada keadaan ini penurunan kesadaran berlangsung lama yang mungkin pula di
dapati pada epilepsi.
 Transient Ischemic Attact : Serangan ini dibedakan dari kejang dengan durasi lebih
lama, kurangnya menyebar, dan gejala. Tingkat kesadaran, yang tidak berubah, tidak
membedakan mereka. Ada kehilangan motor atau fungsi sensorik (misalnya, kelemahan
atau mati rasa) dengan serangan iskemik transien, sedangkan gejala positif (misalnya, kejang
atau parestesia menyentak) ciri kejang.
 Imbalance Elektrolit : Manifestasi klinis ketidakseimbangan elektrolit pada susunan
sarf pusat secara umum adalah gangguan fungsional otak, dan tidak berhubungan dengan
perubahan morfologik jaringan otak. Oleh karena itu manifestasi neurologis pada gangguan
elektrolit bersifat reversibel. Kejang sering bersifat tonik klonik walaupun dapat berupa
bangkitan lain. Kejang biasanya terjadi pada pasien kelainan kadar natrium, hipokalemia,
hipomagnesium.
 Viral Encephalitis : Suatu proses inflamasi akut pada otak. Proses ini jarang terbatas
pada otak saja sehingga sering digunakan istilah meningoensefalitis. Tanda utamanya adalah
demam, nyeri kepala, dan perubahan tingkat kesadaran, tanda lainnya fotofobia, bingung, dan
kadang disertai kejang
Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasein
sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang
dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya, antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping/dengan efek
samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kamatian.
Prinsip pemberian terapi farmakologis pada epilepsi adalah sebagai berikut:1,2
1. Obat Anti Epilepsi (OAE) diberikan bila:
o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan (confirmed)
o Terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun
o Setelah pasien dan/atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
o Pasien dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping
2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan
jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahan sampai dosis
efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila
bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi,
maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan
5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat
diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama
6. Pasien dengan bangkitan tunggl direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:1,2
Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
o
Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan, misalnya meningioma,
o
neoplasma otak, AVM, abses otak, dan ensefalitis

Herpes
o
Kerusakan otak
o
Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
o
Riwayat bangkitan simtomatik
o
Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko tinggi seperti JME (Juvenile Myoclonic Epilepsy)
o
Riwayat trauma kepala tertama yang disertai penurunan kesadaran, stroke, infeksi SSP
o
Bangkitan pertama berupa status epileptikus
o

7. Efek samping OAE perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaksi
farmakokinetik antar-OAE.
Obat saraf golongan antikonvulsan atau obat epilepsi terbagi dalam 8 golongan yaitu:5
1. Golongan Hidantoin: Fenitoin, Mefenotoin, Etotoin
2. Golongan Barbiturat seperti Fenobarbital, Primidon.
3. Golongan Oksazolidindion: Trimetadion.
4. Golongan Suksinimid: Etosuksimid, Karbamazepin, Ox Carbazepine
5. Golongan Benzodiazepin: Diazepam, Klonazepam, Nitrazepam,
Levetiracetam
6. Golongan Asam Valproat dan garamnya (Divalproex Na)
7. Golongan Phenyltriazine; Lamotrigine.
8. Golongan Gabapentin dan turunannya (Pregabalin).
9. Lainnya: Fenasemid, Topiramate.

Tipe Bangkitan OAE Lini I OAE Lini II / OAE Lini III /


Tambahan Tambahan
Lena Valproat Etosuksimid Levetiracetam
Lamotrigin Zonisamid
Mioklonik Valproat Topiramat Lamotrigin
Levetiracetam Clobazam
Zonisamid Clonazam
Fenobarbital
Tonik Klonik Valproat Lamotrigin Topiramat
Karbamazepin Okskarbazepin Levetiracetam
Fenitoin Zonisamid
Fenobarbital Pirimidon
Atonik Valproat Lamotrigin Felbamat
Topiramat
Parsial Carbamazepin Valproat Tlagabine
Fenitoin Levetiracetam Vigabatrin
Fenobarbital Zonisamid Felbamat
Okskarbazepin Pregabalin Pirimidon
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Tidak Valproat Lamotrigin Topiramat
terklasifikasikan Levetiracetam
Zonisamid
Tabel 2. Pemilihan OAE pada Pasien Remaja dan dewasa Berdasarkan Bentuk Bangkitan

Bila lebih dari satu jenis obat yang digunakan bersama, kemungkinan saling
mempengaruhi tentu aada. Obat yang sering berinteraksi dapat mengganggu konsentrasi obat
(Meninggikan kadar difenilhidantoin seperti isoniazid, khloramfenikcol, dikumarol,
asetazolmaid; adapula yang menurunkan kadar difenilhidantoin seeprti karbamazepin,
diazepam, klonazepam) dan anti epilepsi dan obat yang diketahui menurunkan kadarnya oelh
obat antiepilepsi (griseolfulvin warfarin, hormon steroid PII kontrasepsi, dan vitamin D
doksisiklin).
Efek samping obat dapat terjadi sehubungan dengan dosis, keadaan yang disebut
suatu intoksikasi. Pada keracunan akut difenilhidantoin berturut-turut dapat terjadi
nystagmus, ataksia, dan bila kadar obat lebih tinggi lagi penurunan kesadaran. Pada
keracunan kronik obat-obat epilepsi dapat terjadi degenerasi sel serebelum, neurophaty
perifer, anemia megaloblastik, dan defisiensi vitamin D.1
Ada dua mekanisme obat epilepsi yang penting yaitu dengan mencegah timbulnya letupan
depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dan dengan mencegah terjadinya letupan
depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi. Obat epilepsi digunakan
terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure). Golongan
obat ini lebih tepat dinamakan antiepilepsi sebab obat ini jarang digunakan untuk gejala
kejang/konvulsi penyakit lain. Pasien perlu berobat secara teratur. Pasien atau keluarganya
dianjurkan untuk membuat catatan tentang datangnya waktu bangkitan epilepsi.1,2

Obat Mekanisme Kerja Ekskresi


Karbamazepin Blok sodium channel pada neuron, bekerja juga pada >95% hati
reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin
Fenitoin Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan >90% hati
kalsium dan klorida dan neurotransmiter yang voltage
dependent
Fenobarbital Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA, menurunkan 75% hati
eksitabilitas glutamat, menurunkan konduktan natrium, 25% ginjal
kalium, dan kalsium
Valproat Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan >95% hati
ambang konduktan kalsium (T) dan kalium
Levetiracetam Tidak diketahui Cairan
tubuh
Gabapentin Modulasi calcium channel tipe N 100% ginjal
Lamotrigin Blok konduktan natrium yang voltage dependent 85% hati
Okskarbazepin Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, 45% hati
modulasi aktivitas calcium channel 45% ginjal
Topiramat Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA- 90% hati
mediated chloride, meodulasi efek reseptor GABAA,
bekerja pada reseptor AMPA
Zonisamid Blok sodium, potassium, calcium channels, inhibisi >90% hati
eksitasi glutamat
Tabel 3. Mekanisme Kerja dan Tempat Ekskresi OAE

Pemeriksaan neurologik disertai EEG perlu dilakukan secara berkala. Di samping itu
perlu berbagai pemeriksaan lain untuk mendeteksi timbulnya efek samping sedini mungkin
yang dapat merugikan, antara lain pemeriksaan darah, kimia darah, maupun kadar obat dalam
darah. Fenitoin dan karbamazepin merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan epilepsi
kecuali terhadap epilepsi petit mal.
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu (tiga hingga lima tahun
tidak mendapat serangan dan EEG normal atau hanya menunjukkan sedikit kelainan non
spesifik), OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Pada anak-anak,
penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas bangkitan,
sedangkan pada dewasa diperlukan waktu yang lebih lama (5 tahun). Dalam hal penghentian
OAE, maka ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum untuk
menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah OAE dihentikan.1,2
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah:
1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah
minimal 2 tahun bebas bangkitan
2. Gambaran EEG “normal”
3. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
4. Bila digunkaan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bukan utama
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan
sebagai berikut :
1. Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi
2. Epilepsi simtomatik
3. Gambaran EEG yang abnormal
4. Semakin lamanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
5. Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita; sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada
epilepsi lena masa anak kecil, 25-75% epilepsi parsial kriptogenik/simtomatik, 85-
95% pada epilepsi mioklonik pada anak
6. Penggunaan lebih dari satu OAE
7. Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setealh memulia terapi
8. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
selama 3-5 tahun, atau lebih dari lima tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan
dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian di evaluasi kembali.1,2

Status Epileptikus

Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan


anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera
mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status
epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of
America (EFA). Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan
Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah diazepam 0.1–0.4
mg/kg, lorazepam 0.05–0.1 mg/kg atau midazolam 0.05–0.2 mg/kg. Ketiga obat ini bekerja
dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada
Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat. Sedangkan obat lini kedua yaitu
phenytoin (PHT) 0.05–0.2 mg/kg, fosphenytoin (fPHT) 15–20 mg/kg PE, valproate (VPA)
15–20 mg/kg, levetiracetam 1000–1500 mg tiap 12 jam.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang
mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di
bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil
menghentikan kejang sebanyak 65 persen.

Nama obat Dosis (mg/kg) Persentase

1. Lorazepam 0,1 65 %
2. Phenobarbitone 15 59 %
3. Diazepam + Fenitoin 0.15 + 18 56 %
4. Fenitoin 18 44 %
Tabel 4. Obat Status Epileptikus Konvulsivus

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam


dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan
akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi
Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan
depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan Benzodiazepin.
Fenitoin diberikan dengan 15 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg
dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping
termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen
glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik
yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis
dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan
fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.1,2,6

Stadium Penatalaksanaan
Stadium I (0-10 menit) · memperbaiki fungsi kardio dan respirasi
· memperbaiki jalan nafas, oksigenasi dan resusitasi bilama
diperlukan
Stadium II (1-60 menit) · pemeriksaan status neurologik
· pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu
· pemeriksaan EKG
· pasang infus
· ambil 50-100cc darah untuk pemeriksaan laboratorium
· pemberian OAE cito : diazepam 10-20 mg iv (kecepatan
pemberian <2-5 mg/menit atau rektal dapat diulang 15 menit
kemudian)
· Beri 50cc glukosa 50% dengan atau tanpa thiamin 250 mg
· Menangani asidosis dengan bikarbonat
Stadium III (0-60/90 menit)· menentukan etiologi
· bila kejang terus berlangsung setelah pemberian
lorazepam/diazepam, beri phenitoin IV 15-20mg/kg dengan
kecepatan kurang lebih 50mg/menit sambil monitoring
tekanan darah.
· Atau dapat pula diberikan Phenobarbital 10mg/kg dengan
kecepatan kurang lebih 10mg/menit (monitoring pernafasan
saat pemberian)
· Terapi vasopresor (dopamin) bila diperlukan.
· Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30-90 menit) · Bila selama 30-60 menit masih kejang, pindah ke ICU
· Beri propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu)
Tabel 5. Penanganan status epileptikus konvulsivus
Dari: Kustiowati E. Consensus epilepsy.h.17.

Dikatakan SE refrakter jika pemberian 2-3 jenis obat gagal mengatasi


bangkitan. Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.
Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang
cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau
hipokalsemia persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan
psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat
tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama.
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan
Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan
medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton.
Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat
ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.1,2,6

Prognosis

Prognosis umumnya baik, 70 – 80% pasien yang mengalami epilepsi akan sembuh, dan
kurang lebih separuh pasien akan bisa lepas obat. Dua puluh sampai tiga puluh
persen mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis dan pengobatan semakin
sulit. Lima persen di antaranya akan tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
Prognosis buruk pada pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi
mental, dan gangguan psikiatri dan neurologic. Penderita epilepsi memiliki tingkat kematian
yg lebih tinggi daripada populasi umum. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang
umum maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai
kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.3

Patofisiologi berdasarkan mekanisme eksitasi. Patofisiologi epilepsi berdasarkan


mekanisme imbalans eksitasi dan inhibisi. Aktivitas kejang sangat dipengaruhi oleh
perubahan eksitabilitas sel-sel saraf dan hubungan antar sel-sel saraf. Kejang dapat dipicu
oleh eksitasi ataupun inhibisi pada sel saraf8-11. Glutamat yang dilepaskan dari terminal
presinaps akan berikatan dengan reseptor glutamat yang disebut reseptor inotropik
glutamat (iGluRs) yang memiliki beberapa sub tipe yaitu NMDA (N-methyl-D-aspartate)
dan non-NMDA (kainate dan amino-3-hydroxy-5-methyl-isoxasole propionic acid atau
AMPA)12,13,14.

Ikatan glutamat dengan reseptor non-NMDA akan menghasilkan neurotransmisi eksitasi


tipe cepat yang disebut excitatory postsynaptic potential (EPSP). Sementara itu, ikatan
glutamat dengan reseptor NMDA akan menghasilkan tipe EPSP yang lebih lambat12.

Patofisiologi berdasarkan mekanisme inhibisi. Neurotransmitter inhibisi primer pada


otak adalah GABA. GABA yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor GABAA dan
menyebabkan masuknya ion Cl- ke dalam sel neuron. Masuknya ion Cl ini akan
meningkatkan muatan negatif dalam neuron postsinaps dan mengakibatkan
hiperpolarisasi, perubahan pada potensial membran ini disebut inhibitory postsinaptic
potential (IPSP). Reseptor GABAB terletak pada terminal presinaptik dan membran
postsinaptik. Jika diaktifkan oleh GABA presinaptik maupun postsinaptik maka reseptor
GABAB akan menyebabkan IPSP. IPSP berperan dalam menurunkan cetusan elektrik sel
saraf. Penurunan komponen sistem GABA-IPSP ini akan mengakibatkan eksitasi dan
mencetuskan epilepsi12-14.
Patofisiologi berdasarkan mekanisme sinkronisasi. Epilepsi dapat diakibatkan oleh
gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi
akibat keterlibatan sejumlah besar neuron yang berdekatan dan menghasilkan cetusan
elektrik yang abnormal. Potensial aksi yang terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan
ke neuron-neuron lain yang berdekatan dan pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik
yang berlebihan dan bersifat berulang12,13.

Patofisiologi berdasarkan mekanisme iktogenesis. Mekanisme iktogenesis terjadi akibat


perubahan plastisitas seluler dan sinaps serta akibat perubahan pada lingkungan ekstraseluler.
Mekanisme iktogenesis diawali dengan adanya sel-sel neuron abnormal yang mempengaruhi
neuron-neuron sekitarnya dan membentuk suatu critical mass, yang bertanggung jawab
dalam mekanisme epilepsi. Sampai saat ini teori tentang iktogenesis ini masih diperdebatkan1

14
. Eksitabilitas merupakan kunci utama padamekanisme iktogenesis, eksitasi dapat berasal
dari neuron individual, lingkungan neuronal atau populasi neuronal. Ketiga penyebab ini
berinteraksi satu sama lain selama satu episode iktal tertentu12,13.

Patofisiologi berdasarkan mekanisme epileptogenesis. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh


suatu sumber diotak yang dinamakan fokus epileptogenik, yang berasal dari sekelompok sel
neuron yang abnormal di otak dan memiliki lepas muatan listrik yang berlebihan sehingga
mengalami hipersinkronisasi11-14.

Patofisiologi berdasarkan mekanisme peralihan interiktal-iktal. Mekanisme yang


memproduksi sinyal, sinkronisitas dan penyebaran aktivitas sel saraf termasuk kedalam teori
transisi interiktal-iktal. Dari berbagai penelitian, mekanisme transisi ini tidak berdiri sendiri
melainkan hasil dari beberapa interaksi mekanisme yang berbeda. Terdapat dua teori
mengenai transisi interiktal-iktal, yaitu mekanisme nonsinaptik dan sinaptik. Pada
nonsinaptik adanya aktivitas iktal-interiktal yang berulang menyebabkan peningkatan kalium
ekstrasel sehingga eksitabilitas neuron meningkat. Aktivitas pompa Na-K sangat berperan
dalam mengatur eksitabilitas neuronal. Hipoksia atau iskemia dapat menyebabkan kegagalan
pompa Na-K sehingga meningkatkan transisi interiktal-iktal. Engelborghs melaporkan bahwa
gangguan sinkronisasi juga berperan penting pada transisi interiktal-iktal12,13.

Teori sinaptik ini menyebutkan bahwa penurunan efektivitas mekanisme inhibisi sinaps
ataupun peningkatan aktivitas eksitasi sinapsdapat mencetuskan epilepsi12,13.

Patofisiologi berdasarkanmekanisme neurokimiawi. Mekanisme epilepsi sangat


dipengaruhi oleh keadaan neurokimia pada sel-sel saraf, misalnya sifat neurotransmiter yang
dilepaskan, ataupun adanya faktor tertentu yang menyebabkan gangguan keseimbangan
neurokimia seperti pemakaian obat-obatan. Selain GABA dan glutamat yang merupakan
neurotransmiter penting dalam epilepsi, terdapat beberapa produk kimiawi lain yang juga ikut
berperan seperti misalnya golongan opioid yang dapat menyebabkan inhibisi interneuron,
ataupun katekolamin yang dapat menurunkan ambang kejang. Selain itu gangguan elektrolit
akibat kegagalan pengaturan pompa ionik juga ikut mencetuskan serangan epilepsi14.
Beberapa zat kimia terbukti dapat memicu terjadinya epilepsi, yaitu alumina hydroxide gel
yang menyebabkan degenerasi neuron, kematian neuron dan penurunan aktivitas
GABAergik, pilokapin yang menyebabkan pembengkakan pada dendrit, soma dan astrosit,
dan pada tahap akhir menyebabkan kematian sel. Asam kainat terbukti dapat menginduksi
kejang dengan cara memacu reseptor EAA (excitatory amino acid)14.

Patofisiologi berdasarkan mekanisme imun. Teori mengenai mekanisme imun masih


jarang diperbincangkan dan masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Teori ini
menyebutkan bahwa reaksi imunologis atau inflamasi menyebabkan berbagai penyakit
neurologis termasuk epilepsi. Reaksi inflamasi pada sistem saraf pusat merupakan akibat dari
aktivasi sistem imun adaptif maupun nonadaptif. Penelitian yang dilakukan pada binatang
percobaan memperlihatkan bahwa selama aktivitas epilepsi terjadi pelepasan mediator
inflamasi oleh mikroglia, astrosit dan neuron12-14
Daftar pustaka

1. Kustiowati E. Consensus epilepsy. Jakarta: PERDOSSI; 2006.


2. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pedoman tatalaksana epilepsi. Cetakan Keempat.
Jakarta: PERDOSSI; 2012.
3. Harsono. Kapita selekta neurologi. Cetakan Ketujuh. Jakarta: Gadjah Mada University
Press; 2009.
4. Ginsberg L. Epilepsi. Dalam : Lecture Notes Neurology. Edisi kedelapan. Jakarta:
Erlangga; 2008.
5. Guberman A, Bruni J. Essentials of clinical epilepsy. Second Edition. United States:
Butterworth-Heinemann; 1999.
6. Ginsberg L. Kedaruratan neurologis. Dalam : Lecture Notes Neurology. Edisi kedelapan.
Jakarta: Erlangga; 2008.
7. Lumbantobing SM. Etiologi dan faal sakitan epilepsi. Dalam: Buku ajar neurologi. Edisi
kedua. FKUI 2007. p. 197-203.
8. Nair D. Epilepsy. In: Disease Management Project. [Online]. 2008 [Cited on 2003
May];Availablefrom URL: http://www.clevelandclinic/medicalpubs/diseasemanagement.
9. Avanzini G, Treiman D, Engel J. Animal model of acquired epilepsies and status epilepticus.
In: Engel J, Pedley T, editors. Epilepsy, a comprehensive text book. 2nd ed. Philadelphia:
Lippincot, Wiiliam and Willkins; 2008. p. 415-44.
10. Vezzani A, Paltola J,Janigro D. Inflammation. In:Engel J, Pedley T, editors. Epilepsy, a
comprehensive text book. 2nd ed. Philadelphia: Lippincot, Wiiliam and Willkins; 2008. p.
267-76.

Anda mungkin juga menyukai