Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA)

I. DEFINISI
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah suatu kondisi
dimana imunoglobulin atau komponen dari sistem komplemen terikat pada
antigen permukaan sel darah merah dan menyebabkan pengrusakan sel
darah merah melalui Sistem Retikulo Endotelial (SRE). Antibodi yang
khas pada AIHA antara lain IgG, IgM atau IgA dan bekerja pada suhu
yang berbeda-beda

Anatomi Fisiologi
Sistem hematologi tersusun atas darah dan tempat penyusun darah
diproduksi, termasuk sumsusm tulang dan nodus limfa. Darah dan organ
khusus yang berbeda dengan organ lain karena berbentuk cairan.
Darah dalanm suspensi dari partikel dalam larutan koloid cair yang
mengandung elektrolit. Peraanannya sebagai medium pertukaran antara
sel-sel yang terfiksasi dalam tubuh dan lingkungan luar serta memiliki
sifat-sifat protektif terhadap organisme sebagai suatu keseluruhan dan
khususnya terhadap darahnya sendiri.
Unsur seluler darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), beberapa jenis
sel darah putih (leukosit), dan pecahan sel yang disebut trombosit.
1. Sumsum tulang
Sumsum tulang menempati bagian dalam tulang spons dan bagian
tengah rongga tulang panjang. Sumsum merupakan 4 % sampai 5 %
berat badan total,sehingga merupakan yang paling besar dalam tubuh.
Sumsum bisa berwarna merah atau kuning. Sumsum merah
merupakan tempat diproduksi sel darah merah aktif dan merupakan
organ hematopoetik (penghasil darah) utama. Sedang sumsum kuning,
tersusun terutama oleh lemak dan tidak aktif dalam produksi elemen
darah
2. Eritrosit
Sel darah merah atau eritrosit dalah merupakan cakram bikonkaf yang
tidak berinti yang kira-kira berdiameter 8 m, tebal bagian tepi 2m pada
bagian tengah tebalnya hanya 1m atau kurang. Karena sel itu lunak
dan lentur maka dalam perjalanannya melalui mikrosirkulasi
konfigurasinya berubah. Stroma bagian luar yang mengandung protein
terdiri dari antigen kelompok A dan B serta faktor Rh yang
menentukan golongan darah seseorang. Komponen utama sel darah
merah adalah protein hemoglobin (Hb) yang mengangkut O2 dan CO2
dan mempertahankan pH normal melalui serangkaian dapar
intraseluler. Molekul-molekul Hb terdiri dari 2 pasang rantai
polipeptida (globin) dan 4 gugus hem, masing-masing mengandung
sebuah atom besi. Konfigurasi ini memungkinkan pertukaran gas yang
sangat sempurna.
Pembentukan hemoglobin terjadi pada sumsum tulang melalui semua
stadium pematangan. Sel darah merah memasuki sirkulasi sebagai
retikulosit dari sumsum tulang. Retikulosit adalah stadium terakhir
dari perkembangan sel darah merah yang belum matang dan
mengandung jala yang terdiri dari serat-serat retikular. Sejumlah kecil
hemoglobin masih dihasilkan selama 24 sampai 48 jam pematangan,
retikulum kemudian larut dan menjadi sel darah merah yang matang.
3. Leukost (sel darah putih ).
Leukosit merupakan unit yang mobil/aktif dari sistem pertahanan
tubuh. Leukosit ini sebagian di bentuk di sumsum tulang (granulosit
dan monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe
(limfosit dan sel-sel plasma). Setelah dibentuk, sel-sel ini diangkut
dalam darah menuju bagian tubuh untuk di gunakan. Manfaat
sesungguhnya dari sel darah putih ialah bahwa kebanyakan di transpor
secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan
serius, jadi menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap
bahan infeksius yang mungkin ada.
Ada 6 macam sel darah putih yang secara normal di temukan dalam
darah. Keenam sel tersebut ialah netrofil polimorfonuklir, eosinofil
polimorfonuklir, basofil polimorfonuklir, monosit, limfosit, dan
kadang-kadang sel plasma. Selain itu terdapat juga sejumlah besar
trombosit, yang merupakan pecahan dari tipe ketujuh sel darah putih
yang dijumpai dalam sumsum tulang, yakni megakariosit. Ketiga tipe
dari sel, yaitu sel polimorfonuklir, seluruhnya mempunyai gambaran
granular, karena alasan itu mereka disrbut granulosit atau dalam
terminologi klinis disebut “poli” karena intinya multipel.
Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme
penyerang terutama dengan cara mencernakannya yaitu melalui
fagositosis. Fungsi utama limfosit dan sel-sel plasma berhubungan
dengan sistem imun.
4. Trombosit
Trombosit merupakan partikel kecil, berdiameter 2 sampai 4 µm, yang
terdapat pada sirkulasi plasma darah. Karena dapat mengalami
disintegrasi cepat dan mudah, jumlahnya selalu berubah antara
150.000 dan 450.000 per mm³ darah, tergantung jumlah yang
dihasilkan, bagaimana digunakan, dan kecepatan kerusakan. Dibentuk
oleh fragmentasi sel raksasa sumsum tulang, yang disebut
megakariosit. Produksi trombosit diatur oleh trombopotein.
Trombosit berperan penting dalam mengotrol pendarahan. Apabila
terjadi pendarahan cedera vascular, trombosit mengumpul pada pada
tempat edera tersebut. Subtansi yang dilepaskan dari granula
trombosit dan sel darah lainnya menyebabkan trombosit menempel
satu sama lain dan membentuk tambalan atau sumbatan, yang
sementara menghentikan pendarahan. Subtansi lain dilepaskan dari
trombosit untuk mengaktifasi factor pembekuan dalam plasma darah.
5. Plasma darah
Apabila elemen seluler diambil dari darah, bagian cairan yang tersisa
dinamakan plasma darah. Plasma darah mengandung ion, protein, dan
zat lain. Apabila plasma dibiarkan membeku, sisa cairan yang
tertinggal dinamakan serum. Serum mempunyai kandungan yang
sama dengan plasma, keuali kandungan fibrinogen dan beberapa
factor pembekuan.
Protein plasma tersusun terutama oleh albumin dan globulin. Globulin
tersusun atas fraksi alfa, beta dan gama yang dapat dilhat dari
laboratorium yang dinamakan elektroforesis protein. Masing-masing
kelompok disusun oleh protein tertentu.
Gama globulin, yang tersusun terutama oleh anti bodi, dinamakan
immunoglobulin. Protein ini dihasilkan oleh limfosit dan sel plasma.
Protein plasma penting dalam fraksi alfa dan beta adalah globulin
transpor dan nfaktor pembekuan yang dibentuk di hati. Globulin
transpor membawa berbagai zat dalam bentuk terikat sepanjang
sirkulasi. Misalnya tiroid terikat globulin, membawa tiroksin, dan
transferin membawa besi. Faktor pembekuan, termasuk fibrinogen,
tetap dalam keadaan tidak aktif dalam plasma darah sampai diaktifasi
pada reaksi pada tahap-tahap pembekuan.
Albumin terutama penting untuk pemeliharaan volume cairan dalam
system vaskuler. Dinding kapiler tidak permeabel terhadap albumin,
sehingga keberadaannya dalam plasma menciptakan gaya onkotik
yang menjaga cairan dalam rongga vaskuler. Albumin, yang
dihasilkan oleh hati, memiliki kapasitas mengikat berbagai zat yang
ada dalam plasma. Dalam hal ini, albumin berfungsi sebagai protein
transpor untuk logam, asam lemak, bilirubin, dan obat-obatan,
diantara zat lainnya.

II. ETIOLOGI
Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh 2 faktor yang berbeda yaitu
faktor intrinsik & faktor ekstrinsik.
a. Faktor Intrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam eritrosit itu
sendiri sel eritrosit. Kelainan karena faktor ini dibagi menjadi tiga
macam yaitu:
Keadaan ini dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
1) Gangguan struktur dinding eritrosit
a) Sferositosis
Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga disebabkan
oleh kelainan membran eritrosit. Kadang-kadang penyakit
ini berlangsung ringan sehingga sukar dikenal. Pada anak
gejala anemianya lebih menyolok daripada dengan
ikterusnya, sedangkan pada orang dewasa sebaliknya. Suatu
infeksi yang ringan saja sudah dapat menimbulkan krisis
aplastik. Kelainan radiologis tulang dapat ditemukan pada
anak yang telah lama menderita kelainan ini. Pada 40-80%
penderita sferositosis ditemukan kolelitiasis.
b) Ovalositosis (eliptositosis)
Pada penyakit ini 50-90% dari eritrositnya berbentuk oval
(lonjong). Dalam keadaan normal bentuk eritrosit ini
ditemukan kira-kira 15-20% saja. Penyakit ini diturunkan
secara dominan menurut hukum mendel. Hemolisis
biasanya tidak seberat sferositosis. Kadang-kadang
ditemukan kelainan radiologis tulang. Splenektomi biasanya
dapat mengurangi proses hemolisis dari penyakit ini.
c) A-beta lipropoteinemia
Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk eritrosit yang
menyebabkan umur eritrosit tersebut menjadi pendek.
Diduga kelainan bentuk eritrosit tersebut disebabkan oleh
kelainan komposisi lemak pada dinding sel.
2) Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah,
misalnya pada panmielopatia tipe fanconi.
Anemia hemolitik oleh karena kekurangan enzim sbb:
a) Definisi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)
b) Defisiensi Glutation reduktas
c) Defisiensi Glutation
d) Defisiensi Piruvatkinase
e) Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)
f) Defisiensi difosfogliserat mutase
g) Defisiensi Heksokinase
h) Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase

3) Hemoglobinopatia
Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari
hemoglobinnya (95%), kemudian pada perkembangan
selanjutnya konsentrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur
satu tahun telah mencapai keadaan yang normal
Sebenarnya terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan
hemoglobin ini, yaitu:
a. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin
(hemoglobin abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-lain
b. Gangguan jumblah (salah satu atau beberapa) rantai globin.
Misal talasemia

b. Faktor Ekstrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
1) Akibat reaksi non imumitas : karena bahan kimia / obat
2) Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh
antibodi yang dibentuk oleh tubuh sendiri.
3) Infeksi, plasmodium, boriella

III. MANIFESTASI KLINIS dan KLASIFIKASI


Manifestasi Klinis
Kadang – kadang Hemolosis terjadi secara tiba- tiba dan berat,
menyebabkan krisis hemolotik, yang menyebakan krisis hemolitik yang di
tandai dengan:
1) Demam
2) Mengigil
3) Nyeri punggung dan lambung
4) Perasaan melayang
5) Penurunan tekanan darah yang berarti
Berdasarkan Tipenya :
a. Anemia hemolitik aotuimun tipe hangat:
Biasanya gejala anemia ini terjadi perlahan-lahan, ikterik, demam, dan
ada yang disertai nyeri abdomen, limpa biasanya membesar, sehingga
bagian perut atas sebelah kiri bisa terasa nyeri atau tidak nyaman dan
juga bisa dijumpai splenomegali pada anemia hemolitik autoimun
tipe hangat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. Pada
AHA paling tebanyak terjadi yakni idiopatik splenomegali
tarjadi pada50-60%, iketrik terjadi pada 40%, hepatomegali 30%
pasien san limfadenopati pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak
disertai pembesaran organ dan limfonodi.
b. Anemia hemolitik aotoimun tipe dingin:
Pada tipe dingin ini sering terjadi aglutinasi pada suhu
dingin.Hemolisis berjalan kronik. Anemia ini biasanya ringan dengan
Hb: 9-12 g/dl. Sering juga terjadi akrosinosis dan splenomegali. Pada
cuaca dingin akan menimbulkan meningkatnya penghancuran sel
darah merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan
kelelahan dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan dan lengan.
Anemia Hemolitik dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (Tabel 1):

Tabel 1. Klasifikasi Anemia Hemolitik Imun


Anemia Hemolitik Auto Omun (AIHA)
A. AIHA tipe hangat
1. Idiopatik
2. Sekunder (karena cll, limfoma, SLE)
B. AIHA tipe dingin
1. Idiopatik
2. Sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus,
keganasan limforetikuler)
C. Paroxysmal Cold hemoglobinuri
1. Idiopatik
2. Sekunder (viral dan sifilis)
D. AIHA Atipik
1. AIHA tes antiglobulin negatif
2. AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin

a. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat


Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi
bereaksi secara optimal pada susu 300C. Kurang lebih 50% pasien
AIHA tipe hangat disertai penyakit lain.
b. Anemia Hemolitik Imun Tipe Dingin
Terjadinya hemolisis diperantai antibody dingin yaitu agkutinin
dingin dan antibody Donath-landstainer. Kelainana ini secara
karekteristik memiliki agglutinin dingin IgM monoklonal. Pada
umumnya agglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat
rendah, dan titer ini akan meningkat pesat pada fase penyembuhan
infeksi. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan sel darah merah
dan terjadi lisis langsung dan fagositosis.
c. Paroxysmal Cold Hemoglobinuri
Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis
terjadi secara massif dan berulang setelah terpapar suhu dingin.
Dahulu penyakit ini sering ditemukan, karena berkaitan dengan
penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim autoantibody Donath-
Landsteiner dan protein komplemen berikatan pada sel darah merah.
Pada saat suhu kembali 370C. terjadilah lisis karena propagasi pada
protein-protein komplemen yang lain.
Patofisiologi anemia hemolitik autoimun ini terjadi melalui aktifasi sistem
komplemen, aktifasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.6
1. Aktifasi sistem komplemen
Sistem komplemen diaktifkan melalui 2 jalur, yaitu jalur klasik dan jalur
alternatif . secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan
menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis
intraveskuler. Hal ini ditandai dengan hemoglobinemia dan
hemoglobinuria.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik
adalah IgM, IgG1,IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin
oleh karena berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel
eritrosit pada suhu dibawah suhu tubuh, sedangkan IgG disebut aglutinin
hangat oleh karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada
suhu tubuh.
a. Aktifasi komponen jalur klasik
Reaksi diawali dengan aktifasi C1 (suatu protein yang dikenal sebagai
recognition unit). C1 berikatan dengan kompleks imun antigen
antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi –reaksi
pada jalur klasik. C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi kompleks
C4b,2b (C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen
C3b dan C3a. C3b mengalami perubaha konformational sehingga
mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan
komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan
membelah menjadi C3d,g dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan
pada membran sel darah merah dan merupakan produk final aktifasi
C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b
(C5 convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a
(anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur
membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul
C5b,C6,C7,C8, dan beberapa C9. Kompleks ini akan menyisip ke
dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga
permeabilitas membran normal akan terganggu, menyebabkan air dan
ion masuk kedalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur.
b. Aktifasi komplemen jalur alternatif
Aktifator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi
akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian
akan melekat pada C3b, dan oleh D faktor B akan dipecah menjadi Ba
dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada
C3b. Ikatan C3bBb lalu akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a
dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi
C5a dan C5b. Selanjutnya C5 akan berperan dalam penghancuran
membran.
2. Aktifasi mekanisme seluler
Jika sel darah disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan
komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak
tejadi aktifasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah tersebut akan
dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini
sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai oleh sel.
Immunoadherence¸terutama yang diperantarai oleh IgG-FcR akan
menyebabkan fagositosis.

IV. PEMERIKSAAN DIADNOSTIK


a. Gambaran penghancuran eritrosit yang meningkat:
1) Bilirubin serum meningkat
2) Urin meningkat, urin kuning pekat
3) Strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam
b. Gambaran peningkatan produksi eritrosit
1) Retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital
2) hiperplasia eritropoesis sum-sum tulang
c. Gambaran rusaknya eritrosit:
1) Morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell,
hipokrom mikrositer, target cell, sickle cell, sferosit.
2) Fragilitas osmosis, otohemolisis
3) Umur eritrosit memendek. pemeriksaan terbaik dengan labeling
crom. persentasi aktifikas crom dapat dilihat dan sebanding
dengan umur eritrosit. semakin cepat penurunan aktifikas Cr
maka semakin pendek umur eritrosit
d. Gambaran darah tepi menunjukkan adanya proses hemolitik berupa
sferositosis, polikromasi maupun poikilositosis, sel eritrosit berinti,
retikulositopeni pada awal anemia.
e. Kadar hemoglobin 3-9 g/dL, jumlah leukosit bervariasi disertai
gambaran sel muda (metamielosit, mielosit dan promielosit), kadang
disertai trombositopeni.
f. Gambaran sumsum tulang menunjukkan hiperplasi sel eritropoitik
normoblastik.
g. Kadar bilirubin indirek meningkat.
h. Pemeriksaan Direct Antiglobulin Test (DAT) atau lebih dikenal
dengan Direct Coomb’s test menunjukkan adanya antibodi
permukaan / komplemen permukaan sel eritrosit. Pada pemeriksaan
ini terjadi reaksi aglutinasi sel eritrosit pasien dengan reagen anti
IgG menunjukkan permukaan sel eritrosit mengandung IgG (DAT
positif).

Untuk menyingkirkan kemungkinan lain dan untuk memastikan diagnosis


yang tepat dapat dilakukan pemeriksaan penunjang. Tentu saja untuk memastikan
bahwa pasien benar-benar anemia pemeriksaan sederhana untuk mengetauinya
yaitu cek darah rutin atau cek darah lengkap. Dimana dari pemeriksaan darah itu
didapatkan parameter anemia yaitu keadaan hemoglobin, hematokrit, dan hitung
eritrosit. Tetapi pemeriksaan darah hanya sejauh mengenai anemia, belum kepada
penyebab yang mendasari terjadinya anemia. Maka dari itu dapat dilakukan
pemeriksaan yang lebih spesifik. Pemeriksaan ini terdiri dari : pemeriksaan
penyaring (screening test), pemeriksaan darah seri anemia, pemeriksaan sumsum
tulang, dan pemeriksaan khusus.
 Pemeriksaan penyaring : pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit
dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta
jenis morfologi anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan
diagnosis lebih lanjut.
 Pemeriksaan darah seri anemia : meliputi hitung leukosit, trombosit,
hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai
automatic hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang
lebih baik.
 Pemeriksaan sumsum tulang : pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis
definitive pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tualng
mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik,
serta pada kelainan hematologic yang dapat mensupresi system eritroid.
 Pemeriksaan khusus hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada
anemia defisiensi besi yang diperiksa seperti serum iron (SI), total iron
binding capacity (TIBC), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin
serum. Anemia megaloblastik yang diperiksa seperti folat serum, vit B12
serum, tes supresi deoksiuridin dann tes Schiling. Anemia hemolitik yang
diperiksa seperti bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin.
 Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti
permeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid. Karena kasus pasien
lebih mengarah pada anemia hemolitik autoimun maka pemeriksaan yang
dapat meyakinkan ke arah tersebut adalah tes Coomb (Direct antiglobulin
test). Tes Coombs bertujuan untuk mendeteksi adanya antibody tidak
lengkap atau komplemen yang terdapat pada permukaan sel darah merah.
Bila sel yang telah diliputi zat anti tidak lengkap (mengalami sensitisasi)
ditambahkan serum Coombs (serum antiglobulin) maka akan terjadi
aglutinasi. Hasil tes Coombs direk positif dijumpai pada Hemolitik
Disease of the Newborn (HDN), anemia hemolitik autoimun, anemia
hemolitik imun karena obat dan reaksi hemolitik pada transfuse darah.
Sedangkan uji antiglobulin indirect digunakan sebagai bagian dari
penapisan antibody rutin pada serum resipien sebelum transfusi dan untuk
mendeteksi antibody golongan darah pada wanita hamil.

V. PENATALAKSANAAN MEDIS
Lebih dari 200 jenis anemia hemolitik ada, dan tiap jenis memerlukan
perawatan khusus. Penderita dengan anemia hemolitik autoimun IgG atau
IgM ringan kadang tidak memerlukan pengobatan spesifik, tetapi kondisi
lain di mana terdapat ancaman jiwa akibat hemolitik yang berat
memerlukan pengobatan yang intensif.
Tujuan pengobatan adalah mengembalikan nilai-nilai hematologis normal,
mengurangi proses hemolitik dan menghilangkan gejala dengan efek
samping minimal.

a. Terapi transfusi
1) Hindari transfusi kecuali jika benar-benar diperlukan, tetapi
mereka mungkin penting bagi pasien dengan angina atau
cardiopulmonary terancam status.
2) Administer dikemas sel darah merah perlahan-lahan untuk
menghindari stres jantung.
3) Iron overload dari transfusi berulang-ulang untuk anemia kronis
(misalnya, talasemia atau kelainan sel sabit) dapat diobati dengan
terapi khelasi. Tinjauan sistematis baru-baru ini dibandingkan
besi lisan chelator deferasirox dengan lisan dan chelator
deferiprone parenteral tradisional agen, deferoxamine.

b. Menghentikan obat
1) Discontinue penisilin dan agen-agen lain yang dapat
menyebabkan hemolisis kekebalan tubuh dan obat oksidan
seperti obat sulfa
2) Obat yang dapat menyebabkan hemolisis kekebalan adalah
sebagai berikut (lihat Referensi untuk daftar lebih lengkap) :
a) Penisilin
b) Sefalotin
c) Ampicillin
d) Methicillin
e) Kina
f) Quinidine
3) Kortikosteroid
Penderita dengan anemia hemolitik autoimun karena IgG
mempunyai respon yang baik terhadap pemberian steroid
dengan dosis 2-10mg/kgBB/hari. Bila proses hemolitik
menurun dengan disertai peningkatan kadar Hb (monitor kadar
Hb dan retikulosit), maka dosis kortikosteroid diturunkan
secara bertahap.
Pemberian kortikosteroid jangak panjang perlu mendapat
pengawasan terhadap efek samping, dengan monitor kadar
elektrolit, peningkatan nafsu makan, kenaikan berat badan,
gangguan tumbuh kembang, serta risiko terhadap infeksi.

c. Splenektomi dapat menjadi pilihan pertama pengobatan dalam


beberapa jenis anemia hemolitik, seperti spherocytosis turun-
temurun. Diimunisasi terhadap infeksi dengan organisme dikemas,
seperti Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae,
sejauh sebelum prosedur mungkin.
1) Dalam kasus lain, seperti di AIHA, splenektomi dianjurkan bila
langkah-langkah lain telah gagal.
2) Splenektomi biasanya tidak dianjurkan dalam gangguan
hemolitik seperti anemia hemolitik agglutinin dingin.
3) Diimunisasi terhadap infeksi dengan organisme dikemas, seperti
Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae, sejauh
sebelum prosedur mungkin.
d. Gammaglobulin intravena
Pemberian gammaglobulin intravena dengan dosis 2g/kgBB pada
penderita anemia hemolitik autoimun dapat diberikan bersama-sama
dengan kortikosteroid.
e. Plasmafaresis untuk pengobatan anemia hemolitik autoimun yang
disebabkan oleh IgG kurang efektif bila dibandingkan dengan
hemolitik yang disebabkan oleh IgM meskipun sifatnya hanya
sementara
f. Penanganan gawat darurat:
Atasi syok, pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, perbaiki
fungsi ginjal. Jika terjadi penurunan hemoglobin berat perlu diberi
diberi transfusi namun dengan pengawasan ketat. Transfusi yang
diberikan berupa washed red cell untuk mengurangi beban antibodi.
Selain itu juga diberi steroid parenteral dosis tinggi atau hiperimun
untuk menekan aktivitas makrofag.
g. Terapi suportif-simptomatik:
Bertujuan untuk menekan proses hemolisis terutama dilimfa dengan
jalan splenektomi (operasi pengangkatan limfa). Selain itu perlu juga
diberi asam folat 0,15-0,3mg/hari untuk mencegah krisis
megaloblastik.
h. Terapi kausal:
Mengobati penyebab dari hemolisis, namun biasanya penyakit ini
idiopatik (tidak diketahui penyebabnya) dan herediter (bawaan)
sehingga sulit untuk ditangani. Pada thalasemia, transplantasi
sumsum tulang bisa dilakukan

1. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
2. Biodata :
Nama :-
Umur : wanita usia 12-35 th)
Jenis kelamin : (sering terjadi pada perempuan)
Alamat :_
Pendidikan : (pengetahuan tentang nutrisi)
Nomo reg :

3. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan dahulu
 Kemungkinan klien pernah terpajan zat-zat kimia atau
mendapatkan pengobatan seperti anti kanker,analgetik dll
 Kemungkinan klien pernah kontak atau terpajan radiasi dengan
kadar ionisasi yang besar
 Kemungkinan klien kurang mengkonsumsi makanan yang
mengandung as. Folat,Fe dan Vit12.
 Kemungkinan klien pernah menderita penyakit-penyakit
infeksi
 Kemungkinan klien pernah mengalami perdarahan hebat
Riwayat kesehatan keluarga
 Penyakit anemia dapat disebabkan olen
kelainan/kegagalan genetik yang berasal dari orang tua
yang sama-sama trait sel sabit
Riwayat kesehatan sekarang
 Klien terlihat keletihan dan lemah
 Muka klien pucat dan klien mengalami palpitasi
 Mengeluh nyeri mulut dan lidah
4. Kebutuhan dasar
 Pola aktivitas sehari-hari
Keletihan,malaise,kelemahan
Kehilangan produktibitas : penurunan semangat untuk bekerja
 Sirkulasi
Palpitasi,takikardia,mur mur sistolik,kulit dan membran mukosa
( konjungtiva,mulut,farink dan bibir) pucat
Sklera : biru atau putih seperti mutiara
Pengisian kapiler melambat atau penurunan aliran darah keperifer dan
vasokonstriksi (kompensasi)
Kuku : mudah patah,berbentuk seperti sendok
Rambut kering,mudah putus,menipis dan tumbuh uban secara prematur
 Eliminasi
Diare dan penurunan haluaran urin
 Integritas ego
Depresi,ansietas,takut dan mudah tersinggung
 Makanan dan cairan
 Penurunan nafsu makan
 Mual dan muntah
 Penurunan BB
 Distensi abdomen dan penurunan bising usus
 Nyeri mulut atau lidah dan kesulitan menelan
 Higiene
Kurang bertenaga dan penampilan tidak rapi
 Neurosensori
 Sakit kepala,pusing,vertigo dan ketidak mampuan berkonsentrasi
 Penurunan penglihatan
 Gelisah dan kelemahan
 Nyeri atau kenyamanan
Nyeri abdomen samar dan sakit kepala
 Pernafasan
Nafas pendek pada istirahat dan aktivitas (takipnea,ortopnea, dan
dispnea)
 Keamanan
Gangguan penglihatan,jatuh,demam dan infeksi
 Seksualitas
 Perubahan aliaran menstruasi ( menoragia/amenore)
 Hilang libido
 Impoten

a. Diagnosa keperawatan
1) Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman oksigen
2) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d nafsu makan
menurun, mual
3) Konstipasi b.d penurunan masukan diet; perubahan proses
pencernaan; efek samping terapi obat.
4) Intoleransi aktifitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen
(pengiriman) dan kebutuhan, kelemahan fisik.
5) Kurang pengetahuan, b/d kurang mengingat, salah interpretasi
informasi, tidak mengenal sumber informasi.
NO Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1. Perubahan perfusi Setelah di lakukan asuhan a. Awasi tanda vital kaji a. Memberikan informasi tentang
jaringan b/d penurunan keperawatan selama 3 X pengisian kapiler, warna derajat/keadekuatan perfusi
komponen seluler yang 24 dapat memenuhi kulit/membrane mukosa, jaringan dan membantu
diperlukan untuk kebutuhan oksigen dengan dasar kuku. menetukan kebutuhan intervensi.
b. Tinggikan kepala tempat b. Meningkatkan ekspansi paru dan
pengiriman oksigen. Kriteria hasil:
tidur sesuai toleransi. memaksimalkan oksigenasi untuk
DS : pusing, lemas,
kebutuhan seluler. Catatan :
menggigil, nyeri punggung
c. Kolaborasi pengawasan kontraindikasi bila ada hipotensi.
dan lambung, serta sesak
c. Mengidentifikasi defisiensi dan
hasil pemeriksaan
nafas dan mudah lelah saat
kebutuhan pengobatan /respons
laboraturium.
beraktivitas.
d. Berikan oksigen terhadap terapi.
DO : - d. Memaksimalkan transport
tambahan sesuai
 Keadaan umum oksigen ke jaringan.
indikasi.
 TD : 120/80 mmHg e. Berikan transufi darah
e. Meningkatkan jumlah sel darah
 Suhu 36,50 C – 370 C sesuai indikasi
merah
 Jumlah Eritrosit 5000 -
9000 sel/mm3
2. Gangguan nutrisi kurang Setelah di lakukan asuhan a. Kaji riwayat nutrisi, a. Mengidentifikasi defisiensi,
dari kebutuhan tubuh b/d keperawatan selama 3 X 24 termasuk makan yang memudahkan intervensi
b. Mengawasi masukkan kalori atau
nafsu makan menurun, jam dapat memenuhi disukai kualitas kekurangan konsumsi
b. Observasi dan catat
mual. kebutuhan nutrisi sesuai makanan
masukkan makanan pasien c. Mengawasi penurunan berat
dengan kebutuhan tubuh
c. Timbang berat badan
badan atau efektivitas intervensi
dengan Kriteria hasil:
setiap hari
nutrisi
d. Menurunkan kelemahan,
DS : mengatakan tidak ada
d. Berikan makan sedikit meningkatkan pemasukkan dan
nafsu makan, mual, dan
dengan frekuensi sering mencegah distensi gaster
muntah
dan atau makan diantara
e. Gejala GI dapat menunjukkan
DO : -
waktu makan
efek anemia (hipoksia) pada
 Keadaan umum membaik e. Observasi dan catat
organ.
 dapat menghabiskan porsi kejadian mual/muntah,
makan yang diberikan flatus dan dan gejala lain f. Membantu dalam rencana diet
 Mengalami peningkatan yang berhubungan untuk memenuhi kebutuhan
f. Kolaborasi pada ahli gizi
BB individual
untuk rencana diet.

3. Konstipasi b.d Setelah di lakukan tindakan a. Observasi warna feses, a. Membantu mengidentifikasi
penurunan masukan diet; asuhan kep selama 3 X 24 konsistensi, frekuensi dan penyebab /factor pemberat dan
perubahan proses jam, membuat/kembali pola jumlah intervensi yang tepat.
b. Awasi intake dan output b. Dapat mengidentifikasi dehidrasi,
pencernaan; efek normal dari fungsi usus
samping terapi obat. dengan Kriteria hasil : (makanan dan cairan). kehilangan berlebihan atau alat
dalam mengidentifikasi defisiensi
DS : lambung nya nyeri diet
c. Dorong masukkan cairan c. Membantu dalam memperbaiki
DO : Urine pekat dan feses
2500-3000 ml/hari dalam konsistensi feses bila konstipasi.
hitam,Auskultasi terdengar
toleransi jantung Akan membantu memperthankan
bunyi usus menurun.
status hidrasi pada diare
 mengatakan lambungnya
d. Serat menahan enzim pencernaan
d. Kolaborasi ahli gizi untuk
tidak nyeri lagi
dan mengabsorpsi air dalam
diet seimbang dengan
 Warna urine normal, dan
alirannya sepanjang traktus
tinggi serat dan bulk.
warna feses normal serta
intestinal dan dengan demikian
konsistensi yang normal
menghasilkan bulk, yang bekerja
 Bunyi usus normal.
sebagai perangsang untuk
defekasi.
e. Mempermudah defekasi bila
e. Berikan pelembek feses,
konstipasi terjadi.
laksatif sesuai indikasi.
Pantau keefektifan.
(kolaborasi).
4. Intoleransi aktifitas b.d Setelah di lakukan tindakan a. Kaji kemampuan ADL a. Mempengaruhi pilihan
ketidakseimbangan asuhan kep selama 3 X 24 pasien. intervensi/bantuan
antara suplai oksigen jam, diharapkan pasien tidak b. Observasi tanda-tanda b. Manifestasi kardiopulmonal dari
(pengiriman) dan lagi mengalami kelemahan vital sebelum dan sesudah upaya jantung dan paru untuk
kebutuhan, kelemahan dengan Kriteria hasil : aktivitas. membawa jumlah oksigen
fisik. DS : mengeluhkan pusing, adekuat ke jaringan
c. Meningkatkan aktivitas secara
lemas, serta sesak nafas dan c. Rencanakan kemajuan
bertahap sampai normal dan
mudah lelah saat aktivitas dengan pasien,
memperbaiki tonus otot/stamina
beraktivitas. termasuk aktivitas yang
tanpa kelemahan. Meingkatkan
DO : -: pasien pandang perlu.
harga diri dan rasa terkontrol.
 dapat beraktivitas dengan Tingkatkan tingkat
normal. aktivitas sesuai toleransi. d. Mendorong pasien melakukan
d. Gunakan teknik
 TD : 120/80 mmHg banyak aktivitas dengan
menghemat energi,
membatasi penyimpangan energi
dan mencegah kelemahan.

5. Kurang pengetahuan b/d Setelah di lakukan tindakan a. Berikan informasi tentang a. Memberikan dasar pengetahuan
kurang mengingat, salah asuhan kep selama 3 X 24 anemia spesifik. sehingga pasien dapat membuat
interpretasi jam, diharapkan pasien tidak Diskusikan kenyataan pilihan yang tepat. Menurunkan
informasi, tidak lagi mengalami kelemahan bahwa terapi tergantung ansietas dan dapat meningkatkan
mengenal sumber dengan Kriteria hasil : pada tipe dan beratnya kerjasama dalam program terapi
informasi. DS : mengatakan bahwa anemia.
awalnya dia mengira kalau b. Tinjau tujuan dan b. Ansietas / ketakutan tentang
dia hanya kelelahan bekerja persiapan untuk ketidaktahuan meningkatkan
dan jadwal makan tidak pemeriksaan diagnostic stress, selanjutnya meningkatkan
teratur, tapi lama kelamaan beban jantung. Pengetahuan
penyakitnya bertamabah menurunkan ansietas.
c. Megetahui seberapa jauh
parah. c. Kaji tingkat pengetahuan
pengalaman dan pengetahuan
DO : - klien dan keluarga tentang
klien dan keluarga tentang
 Pasien menyatakan penyakitn
penyakitnya
pemahamannya proses
d. Berikan penjelasan pada d. Dengan mengetahui penyakit dan
penyakit dan
klien tentang penyakitnya kondisinya sekarang, klien akan
penatalaksanaan penyakit.
dan kondisinya sekarang. tenang dan mengurangi rasa
 Mengidentifikasi factor
cemas
e. Minta klien dan keluarga
penyebab. e. Mengetahui seberapa jauh
mengulangi kembali
 Melakukan tiindakan pemahaman klien dan keluarga
tentang materi yang telah
yang perlu/perubahan pola serta menilai keberhasilan dari
diberikan
hidup. tindakan yang dilakukan
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Mariliynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC


Handayani Wiwik dan Andi Sulistyo. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta : Salemba Medika
Mansjoer Arif, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Ed 3. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. p.
550-552
Moss PAH, Pettit JE, Hoffbrand AV. Kapita selekta hematologi. Edisi 4. Jakarta
:EGC; 2005.h.51-63
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta
: EGC
Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta : Biro Publikasi FK UKRIDA; 2009
Sudoyo W. Aru, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Ed 5. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009. p.1152-1159, 1379-1389.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. EGC. Jakarta
Thomas J, Monaghan T. Buku saku oxford pemeriksaan fisik & keterampilan
praktis. Jakarta: EGC; 2012
PPNI. 2016. Definisi Diagnose Keperawatan Indonesia:Definisi Dan
Indicator Diagnostic Edisi 1. Jakarta DPP PPNI
PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta
DPP PPNI
PPNI. 2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta DPP
PPNI

Anda mungkin juga menyukai