Anda di halaman 1dari 25

PROPOSAL PENELITIAN

EFEK VARIASI TEMPERATUR SEBELUM LEACHING TERHADAP


KANDUNGAN UNSUR SILIKA YANG DIEKSTRAK DARI LUMPUR
TELUK KENDARI MENGGUNAKAN XRF (X-RAY FLUORESCENCE)

OLEH :

FERLYASARI
A1K116015

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Lumpur pada teluk kendari merupakan salah satu penghasil sumber
silika yang melimpah di alam, selain pasir dan abu sekam padi. Hal ini
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Munasti, 2019) menyatakan
bahwa kandungan unsur silika yang diperoleh pada lumpur teluk kendari
adalah sebesar 61,952% Sedangkan menurut (Aristianto, 2006) kandungan
silika yang terdapat pada Lumpur Lapindo mencapai 53,03% dan merupakan
elemen yang paling banyak dibandingkan senyawa-senyawa lainnya
(Aristianto, 2006). Selanjutnya, penelitian kandungan senyawa pada Lumpur
Sidoarjo seperti Al2O3, SiO2, K2O, CaO, TiO2, MnO, dan Fe2O3, hasil
ekstraksi Lumpur Sidoarjo diperoleh kandungan unsur silika yang dapat
digunakan sebagai inhibitor korosi dengan penambahan volume inhibitor 6 ml
diperoleh efisiensi unsur silika sebesar 97,67% (Mustopa et al., 2013)
Berdasarkan perkembangan teknologi dewasa ini menuntut
pemenuhan industri diberbagai bidang dalam ketersediaan jumlah yang
besar. Salah satunya adalah Penggunaan silika, di dunia perindustrian
pemakaian silika dengan kadar kemurnian yang tinggi saat ini cukup pesat,
seperti dalam industri ban, karet, gelas, semen, beton, keramik, tekstil, kertas,
kosmetik, elektronik, cat, film, pasta gigi, bahan pembuat kaca, gelas dan
piranti semikonduktor (Byantech, 2011).
Faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan proses pemurnian
silika yang tinggi atau ekstraksi yaitu meliputi suhu, konsentrasi larutan
pelarut, waktu ekstraksi, dan pengadukan (Adziimaa et al., 2013). Hal ini
berdasarkan penelitian yang talah dilakukan tentang kandungan unsur silika
dengan menggunakan sekam padi, semakin tinggi temperatur pembakaran
menyebabkan semakin tinggi kemurnian silika yang diperoleh, pembakaran
dengan temperatur 1100°C, diperoleh silika dengan kemurnian tertinggi yaitu
73,7% (Coniwanti et.al., 2008). Sedangkan penelitian pada kalsinasi silika
dengan variasi temperatur yang semakin meningkat yaitu 3000C, 4000C,
8000C, 10000C dan 12000C diperoleh kenaikan silika yang semakin tinggi
secara b erurutan yaitu 85,60%, 89,843%, 89,903%, 95,204%, 95,485%
dan 96,354%.
Proses pemurnian silika dapat pula dilakukan dengan metode kimia,
fisika, biologi, atau gabungan antara ketiga metode tersebut. Selain itu juga
proses pemurnian silika dapat dilakukan dengan proses leaching asam,
dimana proses ini menggunakan asam organik dan asam anorganik (Ming
Tsai, et al., 2012 dalam Sumarno et al., 2015). Menurut Adjiantoro et al.,
(2016), pelarut yang dapat digunakan untuk menghasilkan kadar kemurnian
silika (SiO2) yang tinggi ialah larutan HCl. Penelitian tentang Pasir kuarsa
berukuran nano atau serbuk dapat dengan mudah untuk disintesis atau
dimurnikan dalam larutan HCl (Pramudono et al., 2008). Hal ini didukung
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh (Munasti et al., 2019) bahwa
pada konsentrasi HCL 6 M memberikan hasil kandungan silika yang
maksimum dengan persentase sebesar 64, 588%.
Metode yang biasa digunakan untuk mengetahui kandungan suatu
unsur adalah menggunakan alat XRF. XRF sering menjadi teknik yang dipilih
dalam menentukan unsur utama dalam batuan, pasir maupun lumpur (Na, Mg,
Al, Si, P, K, Ca, Ti, Mn dan Fe) dengan nilai ketidakpastian relatif antara 0,2
sampai 0,4 % (Pottos and Webb, 1992). Berdasarkan penelitian menggunakan
XRF hasil yang diperoleh dalam persentase senyawa SiO2 setelah pemurnian
lebih tinggi dari sebelum dilakukan pemurnian, dimana konsentrasi silika
tertinggi dari hasil karakterisasi XRF terdapat pada sampel yang digiling
selama 5 jam dengan kadar kemurnian silika yaitu 99,90% (Li et al., 2005).
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Efek Variasi Temperatur sebelum Leaching Terhadap
Kandungan Unsur Silika yang Diekstrak dari Lumpur Teluk Kendari
Menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence).
2. Pembatasan Masalah
Agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, maka perlu
dijelaskan istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai
berikut:
a. Kandungan unsur adalah persentase banyaknya unsur silika yang terdapat
dalam lumpur.
b. Lumpur yang dimaksud adalah lumpur yang diambil teluk kendari yang
berwarna kehitam-hitaman.
c. Silika adalah material terbesar yang terdapat pada pasir dan lumpur.
d. Variasi Temperatur adalah proses sintering atau pemanasan sampel
sebelum proses pemurnian pada temperatur 3000C, 5000C, 7000C dan
9000C dengan menggunakan tanur listrik.
e. Leaching adalah proses pemisahan atau pemurnian silika.
XRF ((X-Ray Fluorescence) adalah alat untuk mengetahui kandungan unsur
yang terdapat dalam lumpur
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, yang menjadi rumusan
masalah adalah bagaimana efek variasi temperatur sebelum leaching terhadap
kandungan unsur silika yang diekstrak dari lumpur teluk kendari
menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence).
4. Tujuan Penelitian
Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana efek
variasi temperatur sebelum leaching terhadap kandungan unsur silika yang
diekstrak dari lumpur teluk kendari menggunakan XRF (X-Ray
Fluorescence).
5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
a. Dapat memberikan informasi tentang kandungan unsur silika yang
terdapat dalam lumpur teluk kendari.
b. Dapat mengetahui efek variasi temperatur sebelum leaching terhadap
kandungan unsur silika yang diekstrak dari lumpur teluk kendari
menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Silika
Silika memiliki sifat kimia yaitu tidak larut dalam air, tahan terhadap
zat kimia serta memiliki ekspansi termal rendah dan memiliki titik lebur yang
tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan refraktori (bahan tahan
api), bahan keramik, adsorben dan pendukung katalis yang baik (Benvenutti
and Yoshitaka, 1998). Silika adalah senyawa hasil polimerisasi asam silikat,
yang tersusun dari rantai satuan SiO4 tetrahedral dengan formula umum SiO2.
Silika sebagai senyawa yang terdapat di alam berstruktur kristalin, sedangkan
sebagai senyawa sintetis adalah amorf. Secara sintetis senyawa silika dapat
dibuat dari larutan silikat atau dari pereaksi silikan. Silika merupakan
material yang menarik, walaupun memiliki kekuatan mekanik dan stabilitas
termal yang tinggi (Sulastri, 2010).

Gambar 2.1.1 Bubuk Micro Silika Fume/Silika Berpori


(Sumber : indonesian alibaba.com)

Bentuk umum silika, SiO2 adalah quartz (kuarsa) yang terdapat pada sebagian
besar batu-batuan sedimen alam dari batuan metamorfik, pasir juga
merupakan bentuk lain dari silika (Afriani, 2012). Silika berupa padatan yang
meleleh pada kira-kira 1600°C dan mendidih pada 2230°C. Semua modifikasi
kristalin silika berupa senyawa polimerik tiga dimensi dengan jaringan ikatan
kovalen Si-O membentuk suatu molekul raksasa, jaringan ini mengandung
spesies “penghubung” tetrahedral SiO4, dengan tiap atom Si diikat oleh empat
atom O dan tiap atom O diikat oleh dua atom Si (Rapierna, 2012).
Dikenal dua macam silika, yaitu amorf dan kristal. Silika amorf
bervariasi dalam derajat hidrasinya, sedang silika kristal terdiri dari bermacam
jenis kwarsa, tridmit, dan kristobalit yang merupakan akibat dari modifikasi
temperatur dari rendah ke tinggi yang merubah simetri Kristal dan
kerapatannya (Handoyo, 1996) Silika mempunyai kelebihan tersendiri
dibanding bahan yang lain, karena secara kimia bersifat inert hidrofobik dan
transparan. Selain itu juga menunjukkan kekuatan mekanik dan stabilitas
termal yang tinggi dan tidak mengembang dalam pelarut organik (Bhatia,
2000). Silika biasanya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dengan berbagai
ukuran tergantung aplikasi yang dibutuhkan seperti dalam industri ban, karet,
gelas, semen, beton, keramik, tekstil, kertas, kosmetik, elektronik, cat, film,
pasta gigi, dan lain-lain. Selain pemanfaatan diatas, silika juga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan penjerap logam berat berupa silika gel, membran,
dan bead. Silika memiliki sifat fisik dan sifat kimia, yaitu :

1. Sifat fisik Silika mempunyai rumus molekul SiO2 dan berwarna putih. Titik
leleh silika adalah 1610°C, sedangkan titik didihnya 2320°C, silika tidak
larut dalam air dingin, air panas maupun alkohol tetapi dapat larut dalam
HF (Handoyo, 1996).
2. Sifat kimia :
a. Silika bersifat stabil terhadap hidrogen kecuali fluorin dan juga
inert terhadap semua asam kecuali HF, reaksi dengan HF akan
menghasilkan asam silikon heksafluorid.
b. Basa pekat misalnya NaOH dalam kondisi panas secara perlahan
dapat mengubah silika menjadi silikat yang larut dalam air (Handoyo,
1996).

Silika (SiO2) murni terdapat dalam dua bentuk yaitu kuarsa dan
kristobalt. Silikon selalu terikat secara tetrahedral pada empat atom
oksigen, namun ikatannya mempunyai sifat cukup ionik. Dalam kristobalt,
atom-atom silikat ditempatkan seperti halnya atom-atom karbon dalam
intan, dengan atom-atom oksigen berada di tengah dari setiap pasangan.
Dalam kuarsa terdapat heliks dan hal ini dapat dengan mudah dikenali dan
dipisahkan secara mekanik. Silika relatif tidak reaktif terhadap Cl2, H2,
asam-asam dan sebagian besar logam pada suhu 25°C, walaupun pada suhu
yang agak tinggi. Namun, dapat diserang oleh F2, HF aqua, hidroksida
alkali dan leburan karbonat (Cotton, 2007).

Gambar 2.1.1 Struktur Tetrahedral


Silika
(Sumber: Pakpahan, 2016).
2. Proses Sintering

Sintering adalah proses pemadatan dari sekumpulan serbuk pada


temperatur tinggi, mendekati titik leburnya, sehingga terjadi perubahan
struktur mikro seperti pengurangan jumlah dan ukuran pori, pertumbuhan
butir (grain growth), peningkatan densitas, dan penyusutan volume. Sintering
merupakan tahapan pembuatan keramik yang sangat penting dan menentukan
sifat-sifat keramik yang dihasilkan. Pada keramik yang sedang dibentuk atau
dicetak, masih dalam kondisi yang rapuh, keadaan yang demikian disebut
green body.

Butiran-butiran green body masih belum saling mengikat satu dengan


yang lainnya baik secara kimia maupun fisika, sehingga butiran tersebut
mudah terlepas antara satu dengan yang lainnya. Supaya terjadi ikatan yang
kuat perlu dilakukan suatu proses pembakaran pada suhu tertentu tergantung
dari jenis materialnya. Sehingga setelah proses pembakaran butiran-butiran
tersebut akan saling menyatu dan mengikat dengan kuat baik secara kimia
maupun fisika. Faktor yang menentukan proses dan mekanisme sintering
antara lain jenis bahan, komposisi, bahan pengotor dan ukuran partikel. Proses
sintering dapat berlangsung apabila adanya transfer materi diantara butiran
(proses difus) dan adanya sumber energi yang dapat mengaktifkan transfer
materi yang berguna dalam menggerakkan butiran hingga terjadi kontak dan
ikatan yang sempurna. Proses difus tersebut akan memberikan efek terhadap
perubahan sifat fisis bahan setelah sintering, diantaranya densitas, porositas,
serta penyusutan dan pembesaran butiran (Kiswanto, 2011).

Proses sintering fase padat terbagi menjadi tiga padatan, yaitu:

1. Tahap awal, pada tahap awal ini terbentuk ikatan atomik. Kontak antar
partikel membentuk leher yang tumbuh menjadi batas butir antar partikel.
Pertumbuhan akan menjadi semakin cepat dengan adanya kenaikan suhu
sintering. Pada tahap ini penyusutan juga terjadi akibat permukaan
porositas menjadi halus. Penyusutan yang tidak merata menyebabkan
keretakan pada sampel.
2. Tahap menengah, pada tahap kedua terjadi desifikasi dan pertumbuhan
partikel yaitu butir kecil larut dan bergabung dengan butir besar.
Akomodasi bentuk butir menghasilkan pemadatan yang lebih baik. Pada
tahap ini juga berlangsung penghilangan porositas. Akibat pergeseran
batas butir, porositas mulai saling berhubungan dan membentuk silinder
di sisi butir.
3. Tahap akhir, fenomena desifikasi dan pertumbuhan butir terus
berlangsung dengan laju yang lebih rendah dari sebelumnya. Demikian
juga dengan proses penghilangan porositas, pergeseran batas butir terus
berlanjut. Apabila pergeseran batas butir lebih lambat daripada porositas,
maka porositas akan muncul di permukaan dan saling berhubungan
(Puspitasari, 2013).
4. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses perpindahan suatu zat atau solut dari


larutan asal atau padatan ke dalam pelarut tertentu. Ekstraksi juga dapat
dikatakan sebagai proses pemisahan yang berdasarkan perbedaan
kemampuan melarutnya komponen-komponen yang ada dalam campuran (Aji
et., al 2017).

Proses pemisahan secara ekstraksi terdiri dari tiga langkah dasar yaitu :

a. Penambahan sejumlah massa pelarut untuk dikontakkan dengan sampel,


biasanya melalui proses difusi.
b. Zat terlarut akan terpisah dari sampel dan larut oleh pelarut membentuk
fase ekstrak.
c. Pemisahan fase ekstrak dengan sampel
(Wilson, 2000).
Pemisahan zat-zat terlarut antara dua cairan yang tidak saling
mencampur antara lain menggunakan alat corong pisah. Ada suatu jenis
pemisahan lainnya dimana pada satu fase dapat berulang-ulang
dikontakkan dengan fase yang lain, misalnya ekstraksi berulang-ulang
suatu larutan dalam pelarut air dan pelarut organik, dalam hal ini
digunakan suatu alat yaitu ekstraktor sokhlet. Metode sokhlet merupakan
metode ekstraksi dari padatan dengan pelarut cair secara kontinue.Alatnya
dinamakan sokhlet (ekstraktor sokhlet) yang digunakan untuk ekstraksi
kontinue dari sejumlah kecil bahan. Istilah-istilah berikut ini umumnya
digunakan dalam teknik ekstraksi:
a) Bahan ekstraksi : Campuran bahan yang akan diekstraksi.
b) Ekstraktan (cairan penarik) : Pelarut yang digunakan untuk
mengekstraksi
c) Pelarut (media ekstraksi) : Cairan yang digunakan untuk
melangsungkan ekstraksi .
d) Ekstrak : Bahan yang dipisahkan dari bahan ekstraksi.
e) Larutan ekstrak : Pelarut setelah proses pengambilan ekstrak.
f) Rafinat (residu ekstraksi) : Bahan ekstraksi setelah diambil
ekstraknya.
g) Ekstraktor : Alat ekstraksi.
(Wibawa, 2012).
a. Leaching (Ekstraksi Padat-Cair)
Ekstraksi padat-cair atau leaching merupakan proses pemisahan suatu
zat terlarut yang terdapat dalam suatu padatan dengan mengontakkan padatan
tersebut dengan pelarut (solvent) sehingga padatan dan pelarut bercampur dan
kemudian zat terlarut terpisah dari padatan karena larut dalam pelarut. Pada
ekstraksi padat cair terdapat dua fase yaitu fase overflow (ekstrak) dan fase
underflow (rafinat/ampas).
Pemilihan pelarut diperlukan dalam proses ekstraksi, karena pelarut
yang digunakan harus dapat memisahkan atau mengekstrak substansi yang
diinginkan tanpa melarutkan zat-zat lainnya yang tidak diinginkan. Proses
yang terjadi didalam ekstraksi padat-cair (leaching) ini biasanya disebut
dengan difusi.
Pada ekstraksi padat-cair, komponen yang dapat larut dipisahkan dari
bahan padat dengan bantuan pelarut (ekstraktan). Pada ekstraksi ini, ketika
bahan ekstraksi dicampur dengan pelarut maka pelarut akan bereaksi dengan
bahan padat dan membentuk larutan ekstrak. Larutan ekstrak dengan
konsentrasi yang tinggi terbentuk di bagian dalam bahan ekstraksi. Dengan
cara difusi akan terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan tersebut
dengan larutan di luar bahan padat. Syarat yang harus dipenuhi untuk
mencapai kecepatan ekstraksi yang tinggi pada ekstraksi padat-cair adalah
sebagai berikut:
a. Karena perpindahan massa berlangsung pada bidang kontak antara fase
padat dan fase cair, maka bahan itu perlu memiliki permukaan yang
seluas mungkin.
b. Kecepatan alir pelarut sedapat mungkin besar dibandingkan dengan laju
alir bahan ekstraksi.
c. Suhu yang lebih tinggi (viskositas pelarut lebih rendah, kelarutan ekstrak
lebih besar) pada umumnya menguntungkan kecepatan ekstraksi.
Dalam proses ekstraksi padat-cair diperlukan kontak yang sangat lama
antara pelarut dan padatan. Proses ini paling banyak ditemui di dalam usaha
untuk mengisolasi suatu substansi yang terkandung di dalam suatu bahan
alam sehingga yang berperan penting dalam menentukan sempurnanya proses
ekstraksi ini adalah sifat-sifat bahan alam tersebut dan juga bahan yang akan
diekstraksi. Tingkat ekstraksi bahan ditentukan oleh ukuran partikel bahan
tersebut. Bahan yang diekstrak sebaiknya berukuran seragam untuk
mempermudah kontak antara bahan dan pelarut sehingga ekstraksi
berlangsung dengan baik (Sudarmadji et., al 1996).
Leaching dalam hidrometalurgi adalah poses pembebasan logam dari
bijih dengan proses pelarutan kimia, dan penyebab proses ektraksi
hidrometalurgi. Tujuan utama leaching adalah untuk membebaskan sejumlah
logam secara selektif. Unit operasi ini adalah salah satu metode yang relatif
baik dalam proses pemurnian bijih, terutama untuk pemurnian bijih dengan
kualitas tinggi. Sebaliknya untuk penanganan bijih dengan kualitas rendah
akan membutuhkan biaya yang sangat mahal, terutama larutan yang
dihasilkan ekstraksi akan mengandung sedikit logam yang terekstraksi pada
suatu bijih dan yang paling banyak terkandung pada larutan hasil ekstraksi
adalah kontaminan. Leaching lebih dekat dihubungkan pada ekstraksi pelarut,
yang mengandung larutan dari liquid yang saling bercampur (Castro &
Capote, 2006).

5. X-Ray Fluorosence (XRF)


X-Ray Fluorescence (XRF) merupakan teknik analisa non-destruktif
yang digunakan untuk identifikasi serta penentuan konsentrasi elemen yang
ada pada padatan, bubuk ataupun sample cair. XRF mampu mengukur elemen
dari berilium (Be) hingga Uranium pada level trace element, bahkan di bawah
level ppm. Secara umum, XRF spektrometer mengukur panjang gelombang
komponen material secara individu dari emisi flourosensi yang dihasilkan
sampel saat diradiasi dengan sinar-X (Panalytical, 2009). Metode XRF secara
luas digunakan untuk menentukan komposisi unsure suatu material. Karena
metode ini cepat dan tidak merusak sampel, metode ini dipilih untuk aplikasi
di lapangan dan industri untuk kontrol material. Tergantung pada
penggunaannya, XRF dapat dihasilkan tidak hanya oleh sinar-X tetapi juga
sumber eksitasi primer yang lain seperti partikel alfa, proton atau sumber
elektron dengan energi yang tinggi (Jamaluddin, 2016).
Apabila terjadi eksitasi sinar-X primer yang berasal dari tabung X ray
atau sumber radioaktif mengenai sampel, sinar-X dapat diabsorpsi atau
dihamburkan oleh material. Proses dimana sinar-X diabsorpsi oleh atom
dengan mentransfer energinya pada elektron yang terdapat pada kulit yang
lebih dalam disebut efek fotolistrik. Selama proses ini, bila sinar-X primer
memiliki cukup energi, elektron pindah dari kulit yang di dalam sehigga
menimbulkan kekosongan. Kekosongan ini menghasilkan keadaan atom yang
tidak stabil. Apabila atom kembali pada keadaan stabil, elektron dari kulit
luar pindah ke kulit yang lebih dalam dan proses ini menghasilkan energy
sinar-X yang tertentu dan berbeda antara dua energi ikatan pada kulit tersebut.
Emisi sinar-X dihasilkan dari proses yang disebut X Ray Fluorescence
(XRF). Proses deteksi dan analisa emisi sinar-X disebut analisa XRF.
Pada umumnya kulit K dan L terlibat pada deteksi XRF. Sehingga
sering terdapat istilah Kα dan Kβ serta Lα dan Lβ pada XRF. Jenis spectrum
X ray dari sampel yang diradiasi akan menggambarkan puncak-puncak pada
intensitas yang berbeda. Energi pada XRF adalah karakteristik level energi
dari lintasan electron tiap elemen. Level energi berbeda untuk setiap elemen.
Dengan analisis energi pada spektrm XRF yang diemisikan oleh sebuah zat,
dapat ditentukan elemen yang ada pada unsur dan konsentrsai tiap zat.
Informasi ini dibutuhkan untuk mengidentifikasi suatu unsur.
Berdasarkan karakteristik sinar yang dipancarkan, elemen kimia dapat
diidentifikasi dengan menggunakan WDXRF (wavelength dispersive XRF)
dan EDXRF (Energy Dispersive XRF). WDXRF (wavelength dispersive
XRF) dispersi sinar-X didapat dari difraksi dengan menggunakan analyzer
yang berupa cristal yang berperan sebagai grid. Kisi kristal yang spesifik
memilih panjang gelombang yang sesuai dengan hokum bragg. Sedangkan
EDXRF (Energy Dispersive XRF) bekerja tanpa menggunakan kristal, namun
menggunakan software yang mengatur seluruh radiasi dari sampel ke
detektor. Radiasi emisi dari sample yang dikenai sinar-X akan langsung
ditangkap oleh detektor. Detektor menangkap foton – foton tersebut dan
dikonversikan menjadi impuls elektrik. Amplitudo dari impuls elektrik
tersebut bersesuaian dengan energi dari foton-foton yang diterima detektor.
Impuls kemudian menuju sebuah perangkat yang dinamakan MCA
(MultiChannel Analyzer) yang akan memproses impuls tersebut. Sehingga
akan terbaca dalam memori komputer sebagai channel. Channel tersebut yang
akan memberikan nilai spesifik terhadap sampel yang dianalisa.
Pada XRF jenis ini, membutuhkan biaya yang relatif rendah, namun
keakuratan berkurang (Gosseau, 2009). Analisis menggunakan XRF
dilakukan berdasarkan identifikasi dan pencacahan X-Ray yang terjadi akibat
efek fotolistrik. Efek fotolistrik terjadi karena electron dalam atom pada
sampel terkena sinar berenergi tinggi (X-Ray). Berikut adalah penjelasan
prinsip kerja XRF berdasarkan efek fotolistrik.

Gambar 2.4.1 (1) Elektron Tereksitasi Keluar (2) Pengisian Kekosongan


Elektron (3) Pelepasan Energi (4) Proses analisis data
(Sumantry, T, 2002)

1. X-Ray ditembakkan pada sampel, jika selama proses penembakan X-


Ray mempunyai energi yang cukup maka elektron akan terlempar
(tereksitasi) dari kulitnya yang lebih dalam yaitu kulit K dan
menciptakan vacancy atau kekosongan pada kulitnya, ditunjukkan
pada gambar 1. 2.
2. Kekosongan tersebut mengakibatkan kondisi yang tidak stabil pada
atom. Untuk menstabilkan kondisi maka elektron dari dari tingkat
energi yang lebih tinggi misalnya dari kulit L dan M akan berpindah
menempati kekosongan tersebut, seperti yang ditunjukkan pada
gambar 2. Pada proses perpindahan tersebut, energi dibebaskan karena
adanya perpindahan dari kulit yang memiliki energi lebih tinggi (L/M)
kedalam kulit yang memiliki energi paling rendah (K). Emisi yang
dikeluarkan oleh setiap material memiliki karakteristik khusus.
3. Proses tersebut memberikan karakteristik dari X-Ray, yang energinya
berasal dari perbedaan energi ikatan antar kulit yang berhubungan.
X ray yang dihasilkan dari proses ini disebut X-Ray Fluorescence atau
XRF (Gambar 3).
4. Proses untuk mendeteksi dan menganalisa X-Ray yang dihasilkan
disebut X-Ray Fluorescence Analysis. Penggunaan spektrum X-Ray
pada saat penyinaran suatu material akan didapatkan multiple peak
(puncak ganda karena adanya K dan K ) pada intensitas yang berbeda.
Model yang lain yaitu alfa, beta, atau gamma dibuat untuk menandai
X-Ray yang berasal dari elektron transisi dari kulit yang lebih tinggi. K
dihasilkan dari transisi elektron dari kulit L ke kulit K dan X-Ray K
dihasilkan dari transisi elektron dari kulit M menuju kulit K, seperti
gambar berikut:

Gambar 2.4.2 Terbentuknya K-alpha dan K-Beta


(Sumantry, T., 2002)

Teknik analisis X-Ray Fluoresence (XRF) menggunakan peralatan


spektrometer yang dipancarkan oleh sampel dari penyinaran sinar-X.
Sinar-X yang dianalisis berupa sinar-X karakteristik yang dihasilkan dari
tabung sinarX, sedangkan sampel yang dianalisis dapat berupa sampel
padat pejal dan serbuk. Dasar analisis alat X-Ray Fluoresence (XRF)
adalah pencacahan sinar-X yang dipancarkan oleh suatu unsur akibat
pengisian kembali kekosongan elektron pada orbital yang lebih dekat
dengan inti atom (kulit K) oleh elektron yang terletak pada orbital yang
lebih luar. Kekosongan electron ini terjadi karena eksitasi elektron.
Pengisian elektron pada orbital K akan menghasilkan spektrum sinar-X
deret K, pengisian elektron pada orbital berikutnya menghasilkan
spektrum sinar-X deret L, deret M, deret N dan seterusnya (Sumantry,
2002).
Spektrum sinar-X yang dihasilkan selama proses di atas
menunjukkan puncak (peak) karakteristik yang merupakan landasan dari
uji kualitatif untuk unsur-unsur yang ada pada sampel. Sinar-X
karakteristik diberi tanda sebagai K, L, M, N dan seterusnya untuk
menunjukkan dari kulit mana unsur itu berasal. Penunjukkan alpha (α),
beta (β) dan gamma (γ) dibuat untuk memberi tanda sinar- X itu berasal
dari transisi elektron dari kulit yang lebih tinggi. Oleh karena itu, Kα
adalah sinar-X yang dihasilkan dari transisi elektron kulit L ke kulit K
(Sumantry, 2002).

Gambar 2.4.3 Prinsip kerja alat X-Ray Fluoresence (XRF)


(Sumantry, T., 2002)

Masrukan dkk. (2007: 3) menyatakan bahwa unsur yang dapat


dianalisis adalah unsur yang mempunyai nomor atom rendah seperti unsur
karbon (C) sampai dengan unsur yang mempunyai nomor atom tinggi
seperti uranium (U). Unsur C mempunyai sinar-X transisi ke kulit K
sebesar 0,28 keV sedangkan sinar-X karakteristik dari kulit L pada atom U
sebesar 13,61 keV (Masrukan & Rosika, 2008: 3). Oleh karena energi
setiap atom terdiri dari energi pada kulit atom K, L, M dan seterusnya
maka energi yang diambil untuk analisis adalah energy sinar-X yang
dihasilkan oleh salah satu kulit atom tersebut. Pada pengoperasian alat
X Ray Fluoresence (XRF) diperoleh bahwa rentang energy sinar-X pada
peralatan adalah 5 – 50 keV. Oleh karena itu, untuk menganalisis atom U
harus diambil pada energi kulit L (13,61 keV) karena energi kulit K sangat
besar (97,13 keV) dan berada di luar kemampuan alat. Analisis
menggunakan alat X-Ray Fluoresence (XRF) akan menghasilkan suatu
spektrum yang menunjukkan kandungan unsur-unsur pada tingkat energy
tertentu sesuai dengan orbital yang mengalami kekosongan electron dan
pengisian elektron dari orbital selanjutnya seperti yang ditunjukkan pada
gambar dibawah (Masrukan & Rosika, 2008).

Gambar 2.4.4 Kandungan unsur-unsur pada tingkat energi tertentu


(Sumantry, T., 2002)
Data hasil pengukuran XRF berupa sumber spektrum dua dimensi dengan
sumbu-x adalah energi (keV) sedangkan sumbu-y adalah cacahan/ intensitas sinar-
x yang dipancarkan oleh setiap unsur. Setiap unsure menghasilkan spektrum
dengan energi yang spesifik. Energi yang dibutuhkan untuk mengeluarkan inti
elektron dan juga energi yang dipancarkan oleh transisi merupakan karakteristik
dari setiap unsur. Transisi dari kulit electron L yang mengisi kulit K menghasilkan
transisi, sedangkan kulit elektron M yang mengisi kulit K menghasilkan transisi.
XRF sangat cocok untuk menentukan unsur seperti Si, Al, Mg, Ca, Fe, K, Na, Ti,
S, dan P dalam batuan siliciclastik dan juga untuk unsur metal seperti Pb, Zn, Cd,
dan Mn (Tucker & Hardy, 1991).
BAB III
METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan berupa penelitian eksperimental
laboratorium.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2019 - Januari 2020,
bertempat di kendari sulawesi tenggara, dengan tahapan sebagai berikut.
a. Pengambilan sampel lumpur dilakukan di hutan mangrove teluk Kendari
depan Same Hotel, dengan titik koordinat 3,970610 LS dan 122,530720
BT. Preparasi sampel lumpur (proses pencucian dan penjemuran sampel)
dilakukan di lapangan terbuka sekitaran Laboratorium Pengembangan
Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan ilmu Pendidikan
Universitas Halu Oleo.
b. Pengayakan sampel dilakukan di Laboratorium Pengembangan Jurusan
Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan ilmu Pendidikan Universitas
Halu Oleo.
c. Sintering sampel dilakukan di Laboratorium Nano Teknologi Kimia
FMIPA Universitas Halu Oleo.
d. Proses leaching, pengadukan dan pengeringan sampel dilakukan di
Laboratorium Nano Teknologi Kimia FMIPA Universitas Halu Oleo..
e. Proses pengujian sampel dilakukan Ranomeeto, pada PT. Surveyor
Indonesia Kendari Sulawesi Tenggara.
3. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 3.3.1 berikut.
Tabel 3.3.1 Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian
No. Alat dan Spesifikasi Fungsi
Bahan
1. Lumpur 50 gram Sebagai sampel penelitian
2. HCL 37% 6M Untuk memurnikan lumpur
3. Aquades 5 Liter Untuk mencuci dan
membersihkan lumpur dari
kotoran
4. Alkohol 70% Untuk membersihkan ayakan,
mortar dan alat lain yang
digunakan dalam penelitian
5. Saringan Luas 50 cm2 Untuk meyaring kotoran-kotoran
yang bercampur pada lumpur
6. Kertas Whatman No. 41 Untuk menyaring endapan dan
saring menyaring lumpur setelah dicuci
menggunakan aquades
7. Mortar Untuk menumbuk /menggerus
sampel menjadi serbuk
8. Ayakan 60 mesh Untuk menyaring sampel yang
telah di gerus
9. Neraca AD-6000 Untuk menimbang massa sampel
Digital
10. Tanur listrik CARBOLITE Untuk sintering atau pemanasan
ELF 11/14B (0- sampel
1100)0C
11. Stopwatch Untuk mengukur lama waktu
yang diperlukan pada saat
sintering sampel
12. Oven Bio concept Sebagai alat untuk mengeringkan
inkubutor froilabo sampel
13. Plastik Sebagai tempat sampel
sampel
14. Kertas label Untuk melabeli sampel
15. Magnetic MS200 Untuk mengaduk bahan yang
stirer dicampurkan
16. Kaos tangan 1 Dos Untuk melapisi tangan agar tidak
bersentuhan langsung dengan
sampel
17. gelas dan 400 ml Sebagai wadah tempat sampel
labu ukur
18. Cawan Petri Untuk menaruh sampel pada saat
di panaskan pada tanur dan
dikeringkan pada oven

4. Prosedur Penelitian

Gambar 3.4.1 Diagram Alir Penelitian


Berikut ini penjelasan terkait diagram alir prosedur kerja yang
dilakukan pada penelitian ini :
a. Proses Persiapan Sampel Lumpur
Lumpur terlebih terlebih dahulu dicuci menggunakan air hingga
bersih, lalu disaring menggunakan saringan untuk memisahkan dari
kotoran-kotoran yang bercampur, setelah itu di cuci kembali menggunakan
aquades kemudian disaring kembali untuk memisahkan aquades yang telah
tercampur pada lumpur selama 3 jam. Selanjutnya lumpur dikeringkan
pada terik matahari selama 24 jam. Setelah kering sampel di gerus
menggunankan mortar. Kemudian sampel diayak dengan ayakan yang
berukuran 60 mesh. Setelah diperoleh sampel ukuran 60 mesh lalu
menimbang sampel dengan massa 10 gram untuk masing-masing variasi
temperatur, kemudian sintering sampel dengan menggunakan tanur listrik
pada variasi temperatur 3000C, 5000C, 7000C dan 9000C selama 1 jam.
b. Proses Laeaching
Sampel tanpa sintering dan sampel yang telah di sintering dengan
variasi temperatur 3000C, 5000C, 7000C dan 9000C. masing-masing
dicampurkan dengan HCL 150 ml + 10 gram sampel. Kemudian diaduk
menggunakan magnetic stirer dan dipanaskan selama 5 jam dengan
temperatur 1000C. Setelah itu, endapan dari hasil pengadukan dipisahkan
dari fitrat lalu disaring dengan menggunakan kertas saring, kemudian
dicuci dengan menggunakan aquades sampai Ph air netral. Selanjutnya
sampel tersebut dikeringkan dalam oven selama 4 jam pada temperatur
1000C.
c. Proses Pengujian Sampel menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence)
Sampel yang telah kering untuk masing-masing variasi temperatur
3000C, 5000C, 7000C dan 9000C dan sampel tanpa temperatur, Selanjutnya
dimasukkan kedalam kertas label kemudian melabeli masing-masing
kertas sampel. Setelah itu melakukan pengujian kandungan unsur pada
sampel dengan menggunakan alat XRF (X-Ray Fluorescence). Pada
analisis XRF sampel yang berbentuk serbuk yang ada dalam kertas sampel
dibuka dengan terlebih dahulu melapisi tangan menggunakan kaos tangan
kemudian diletakkan pada bolder yang terbuat dari aluminium dengan
lubang ditengahnya menggunakan kaca. Serbuk dipadatkan dan
diusahakan tidak meluruh atau jatuh bila dimiringkan, agar pada saat
dijalankan keadaan sampel tidak berubah walaupun sudutnya dinaikkan.
Setelah sampel siap, sampel dimasukkan dalam spektrometer dan alat siap
dioperasikan dengan terlebih dahulu mengatur posisi alat dengan tahapan
sebagai berikut.
1) Stabilizer dijalankan, kemudian mengatur tegangan dan arus biasanya
40 kV dan 40 mA).
2) Posisi sudut awal dan akhir yang akan diamati.
3) Waktu pengukuran dalam setiap step.
4) Data masuk ke komputer yang terkoneksi dengan alat spektrometer.
Pengukuran XRF untuk sampel akan dilakukan pada kondisi yang
sama dengan menggunakan komputer, keluaran spektrometer akan
terekam dalam CPU yang telah diset bersamaan dengan proses
pengambilan data. Data yang terekam berupa intensitas (I) dan energi
unsur (E), data ini langsung dikoneksikan oleh alat dalam bentuk
angka sehingga data keluarannya berupa konsentrasi unsur.

5. Analisis Data
Analisis kandungan unsur silika dari ekstraksi lumpur teluk kendari
dengan variasi temperatur dan konsentrasi HCL 6 M menggunakan XRF
dengan menganalisis informasi langsung menggunakan Tabel 3.5.1 berikut.
Tabel 3.5.1 Analisis XRF Kandungan Unsur Silika Lumpur Teluk Kendari
Kandungan Variasi Temperatur Silika (%)
Silika Tanpa
Unsur/
Temperatur 3000C 5000C 7000C 9000C
Senyawa
SiO2 .... .... .... .... ....
DAFTAR PUSTAKA

Arifiani, N. 2012. Sintesis Membran Kitosan-Silika Serta Aplikasinya Dalam


Proses Filtrasi Air Sadah. Skripsi S-1. Semarang : Jurusan Kimia,
FMIPA, UNNES.
Bhatia, R.B., and C.J. Brinker. 2000. Aqueous Sol Gel Process For Protein
Encapsulation. Chem.Mater. 12 : 2434-2441.
Gosseau, D. (2009). Introduction To Xrf Spectroscopy. Diakses dari
http://users.skynet.be/. Pada tanggal 12 Januari 2018 jam 13.13 WIB.
Handoyo, K. 1996. Kimia Anorganik. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Jamaluddin et., al (2016). Analisis Kandungan Logam Oksida Menggunakan
Metode Xrf (X-Ray Flourescence) Jurnal Geofisika FMIPA Universitas
Hasanuddin. Diakses dari http://repository. unhas.ac.id /handle/
123456789/ 17783. Pada tanggal 30 januari 2018 jam 12.48 WIB.
Masrukan, & Rosika. (2008). Perbandingan Hasil Analisis Bahan Bakar U-Zr
Dengan Menggunakan Teknik Xrf Dan SSA. Jurnal BATAN. (Volume 14
nomor 1 tahun 2008). Hlm 3.
Pnalytical, B. V. (2009). X-ray Fluorescence Spectrometry. Diakses dari
http://www.panalytical.com/index. Pada tanggal 12 Januari 2018 jam
13.07 WIB.
Rapierna, A. 2012. Sintesis Dan Pemanfaatan Membran Kitosan-Silika Sebagai
Membran Pemisah Ion Logam Zn2+ dan Fe2+. Tugas Akhir II. Semarang :
Jurusan Kimia, FMIPA, UNNES.
Sumantry, T. (2002). Aplikasi Xrf Untuk Identifikasi Lempung Pada Kegiatan
Penyimpanan Lestari Limbah Radioaktif. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Pengelolaan Limbah VII. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-
BATAN. ISSN 1410- 6086.
Tucker, M. & Hardy R. (1991). Techniques In Sedimentology. Edited By Maurice
Tucker. Blackwell Scientific Pub: London.
Puspitasari D, “Analisis Sifat Mekanik Dan Foto Mikroskopis Keramik Berbahan
Dasar Lempung Bersisik (Scaly Clay) Formasi Karangsambung
Kebumen”Skripsi. fisika FMIPA universitas negeri semarang. 2013.
Kiswanto H. Optimasi Sifat-Sifat Mekanik Genteng Press Dengan Bahan Aditif
Silica Dan Dolomite. Skripsi. fisika fakultas MIPA UNNES.
Ardana, S. K. “Sintesis Silika-Kitosan Bead untuk Menurunkan Kadar Ion Cd(II)
dan Ni(II) dalam Larutan” Skripsi. Semarang: Universitas Negeri
Semarang, 2013.
Sulastri, S dan Susila. K. 2010. “Berbagai Macam Silika: Sintesis, Karakteristik
dan Pemanfaatan”. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan
MIPA.
Aji, A., Bahri, Syamsul., dan Tantalia. 2017. Pengaruh Waktu Ekstraksi Dan
Konsentrasi Hcl Untuk Pembuatan Pektin Dari Kulit Jeruk Bali (Citrus
Maxima). Jurnal Teknologi Kimia Unimal. Aceh: Universitas
Malikussaleh.
Wibawa, Indra. 2012. Ekstraksi Cair-Cair. Lampung: Teknik Kimia Universitas.
Lampung.
Wilson I. D, Michael C, Colin F P, Edward R A. 2000. “Encyclopedia of
Separation Science”. Academic Press. 118-119.
Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian.145 Liberti. Yogyakarta.
Castro, M. D. L., and Capote F. P. 2006. “Techniques and Instrumentation in
Analytical Chemistry”. Analytical Applications of Ultrasound. 26, 99-
137.

Anda mungkin juga menyukai