Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

GANGGUAN PANIK

Oleh:

SYAMSUL AMAR HIDAYAT

201210330311014

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat

menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. Semoga penyusunan referat ini dapat menjadi

wadah pengembangan diri dan kreatifitas, dimana dalam perjalanan akademik yang sedang

ditempuh dalam masa pendidikan kepaniteraan klinik yang dituntut untuk dapat

mengembangkan suatu masalah yang pada akhirnya disusun dalam suatu bacaan ilmiah

(referat), hal ini akan melatih untuk berfikir secara kritis dalam menguraikan suatu persoalan.

Dalam referat ini nantinya akan dibahas mengenai “Gangguan Panik”.

Demikian referat ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khusunya dan

pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk

membantu lebih menyempurnakan referat ini.

Malang, 10 Oktober 2018

Hormat saya

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 4


1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 5


2.1 Definisi ...................................................................................................... 5
2.2 Etiologi ...................................................................................................... 5
2.3 Tanda dan Gejala ....................................................................................... 6
2.4 Kriteria Diagnosis Gangguan Panik .......................................................... 7
2.5 Diagnosis Banding .................................................................................... 9
2.6 Penatalaksanaan ........................................................................................ 10
2.7 Prognosis ................................................................................................... 19

BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 21


3.1. Kesimpulan................................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA 22

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan panik merupakan salah satu di antara beberapa gangguan cemas yang dikenal
dan cukup sering terjadi. Gangguan panik ditandai dengan adanya serangan panik yang tidak
diduga dan spontan yang terdiri atas periode rasa takut intens yang hati-hati dan bervariasi dari
sejumlah serangan sepanjang hari sampai hanya sedikit serangan selama satu tahun.Gangguan
panik sering disertai dengan agorafobia, yaitu rasa takut sendirian di tempat umum seperti
pasar, atau terutama tempat yang sulit keluar dengan cepat saat terjadi gangguan panik.

Studi epidemiologis di negara barat melaporkan angka prevalensi seumur hidup


gangguan panik adalah 1.5 – 5 %, sedangkan serangan panik sebanyak 3-5.6 %. Di Indonesia
belum dilakukan studi epidemiologi yang dapat menggambarkan jumlah pasien dengan
serangan panik, namun para ahli merasakan adanya peningkatan jumlah kasus yang
berdatangan.1,2

Gangguan panik pada perempuan 2/3 lebih banyak daripada laki-laki. Pada umumnya
terjadi pada usia dewasa muda, sekitar 25 tahun, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk
terjadi pada usia berapapun. Sembilan puluh satu persen pasien dengan gangguan panik dan 84
% dengan agorafobia berpontensi mengalami setidaknya satu gangguan psikiatrik lainnya.
Salah satu faktor yang diduga turut berperan dalam timbulnya gangguan panik adalah riwayat
perceraian atau perpisahan yang baru terjadi. Lima belas sampai 30 % mengalami fobia sosial,
2-20 % mengalami fobia spesifik, dan 15-30 % mengalami kecemasan, hingga 30 %
mengalami gangguan obsesif kompulsif. Gangguan panik dapat timbul bersama gangguan
mood, dengan gejala mood secara potensial meningkatkan onset serangan panik. Gangguan
panik juga bisa didiagnosis dengan atau tanpa agoraphobia.. Seringkali komorbiditas yang
terjadi juga adalah hipokondriasis, gangguan kepribadian dan gangguan terkait zat, serta
penyakit somatik seperti PPOK, IBS, migraine, dan meningkatkan frekuensi serangan
jantung.1,2,3

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Gangguan panik merupakan salah satu jenis gangguan cemas kronik yang ditandai oleh
serangan panik parah yang berulang dan tak terduga, frekuensi serangannya bervariasi mulai
dari beberapa kali serangan dalam setahun hingga beberapa serangan dalam sehari. Serangan
panik dapat pula terjadi pada jenis gangguan cemas yang lain, namun hanya pada gangguan
panik, serangan terjadi meskipun tidak terdapat faktor presipitasi yang jelas.

2.2 Etiologi

1. Faktor Biologis

Riset mengenai dasar biologis gangguan panik adalah ditemukannya suatu interpretasi bahwa
gejala gangguan panik terkait dengan abnormalitas struktur dan fungsi otak. Diperoleh data
bahwa pada otak pasien dengan gangguan panik, beberapa neurotransmiter mengalami
gangguan fungsi, yaitu serotonin, GABA (Gama Amino Butyric Acid), dan norepinefrin.

Berdasarkan hipotesis patofisiologi, terjadi disregulasi baik pada sistem perifer maupun
sistem saraf pusat (SSP). Pada beberapa kasus ditemukan peningkatan tonus simpatetik dalam
sistem otonom. Serangan panik merupakan respon terhadap rasa takut yang ditampilkan oleh
fear network yang terlalu sensitif, yaitu amigdala, korteks prefrontal, dan hipokampus.
Terdapat bukti praklinis bahwa melemahnya tranmisi inhibisi lokal GABA di amigdala
basolateral, otak tengah, dan hipotalamus dapat mencetuskan respon fisiologis mirip ansietas.

Faktor biologik lain yang berhubungan adalah zat panikogen yang digunakan terbatas
pada penelitian, misalnya karbon dioksida, natrium laktat, dan bikarbonat. Zat penginduksi
panik neurokimia terutama memengaruhi reseptor adrenergik, serotonergik, GABA di SSP
secara langsung.

Pada studi pencitraan struktur otak, perubahan pada tampilan MRI juga dilaporkan,
yaitu adanya abnormalitas terutama atrofi korteks di lobus temporalis kanan dan kiri pasien.
Pada positron emission tomography (PET), terlihat adanya disregulasi aliran darah otak.
Khususnya gangguan ansietas dan serangan panik disertai vasokonstriksi serebral, yang dapat

5
menimbulkan gejala SSP seperti pusing, yang dicetuskan oleh hiperventilasi dan hipokapnia.
1,2

2. Faktor Genetik

Pada keturunan pertama pasien dengan gangguan panik dengan agorafobia mempunyai risiko
4-8 kali mengalami serangan yang sama. Studi kembar yang telah dilakukan saat ini umumnya
melaporkan bahwa kedua kembar monozigot lebih mudah terkena bersamaan daripada kembar
dizigot.2

3. Faktor Psikososial

Jika ditinjau dari teori psikodinamik, analisis penelitian menyatakan bahwa pola ansietas saat
sosialisasi saat masa kanak, hubungan dengan orang tua yang tidak mendukung, serta perasaan
terperangkap atau terjebak. Pada kebanyakan pasien, rasa marah dan agresivitas sulit
dikendalikan. Pada pasien-pasien dengan gangguan panik, terdapat kesulitan mengendalikan
rasa marah dan fantasi-fantasi yang terkait. Misalnya, pasien mempunyai harapan untuk balas
dendam terhadap orang tertentu.

Menurut teori kelekatan (attachment), pasien-pasien dengan gangguan panik memiliki


gaya kelekatan yang salah. Perpisahan atau kelekatan sering dipandang sebagai hal yang
menakutkan, antara lain kehilangan kebebasan maupun kehilangan rasa aman dan
perlindungan. Kesulitan ini tampak dalam keseharian pasien yang cenderung menghindari
perpisahan, dan pada saat yang bersamaan juga menghindari kelekatan yang terlalu intens.1,2

2.3 Tanda dan Gejala

Gangguan panik terutama ditandai dengan serangan panik yang berulang. Serangan panik
terjadi secara spontan dan tidak terduga, disertai dengan gejala otonomik, terutama sistem
kardiovaskular dan pernapasan. Serangan sering dimulai selama 10 menit, kemudian gejala
meningkat dengan cepat. Serangan cemasnya disertai dengan gejala-gejala yang mirip dengan
gangguan jantung, yaitu rasa nyeri di dada, berdebar-debar, keringat dingin, hingga merasa
seperti tercekik.

6
Kondisi ini dapat berulang hingga membuat individu yang mengalaminya menjadi
sangat khawatir bahwa ia akan mengalami hal tersebut lagi (anticipatory anxiety). Hal in sering
membuat pasien mencari pertolongan ke RS terdekat.

Pernapasan yang cepat dan pendek merupakan salah satu gejala yang sangat jelas
diraskan pasien. Seringkali gejala sistem pernapasan yang tidak stabil adalah spesifik pada
gangguan panik, termasuk sindrom hiperventilasi dan peningkatan variasi pernapasan.
Peningkatan denyut nadi dan pernapasan yang tidak stabil bisa timbul tanpa terjadi serangan
panik. Sebaliknya serangan panik tidak selalu disertai pengukuran objektif dari hiperventilasi
atau disfungsi kardiovaskuler.

Gejala mental yang dirasakan adalah rasa takut yang hebat, ancaman kematian atau
bencana. Pasien bisa merasa bingung dan sulit berkonsentrasi. Tanda fisik yang menyertai
adalah takikardia, palpitasi, dispnoe, dan berkeringat. Serangan dapat berlangsung 20-30
menit, jarang lebih dari 1 jam.

Pada pemeriksaan status mental saat serangan dijumpai ruminasi, kesulitan bicara
(gagap), dan gangguan memori. Depresi, derealisasi, dan depersonalisasi dapat dialami saat
serangan. Fokus perhatian somatik pasien adalah perasaan takut mati karena masalah jantung
atau pernapasan. Pasien sering merasa hampir-hampir menjadi gila.

Apabila disertai dengan agorafobia, maka pasien akan menolak untuk meninggalkan
rumah ke tempat ramai yang sulit untuk keluar. Pemeriksa harus waspada terhadap tendensi
bunuh diri. Gejala penyerta lainnya adalah depresi, obsesi kompulsif, dan pemeriksa harus
waspada terhadap tendensi bunuh diri.1,2

2.4 Kriteria Diagnosis Gangguan Panik

PPDGJ IIIF41.0 Gangguan Panik (Anxietas Paroksismal Episodik)4

Terjadinya beberapa serangan berat ansietas otonomik, yang terjadi dalam periode kira-kira
satu bulan.

a. Pada keadaan-keadaan yang sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya;


b. Tidak terbatas hanya pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga
sebelumnya;

7
c. Adanya keadaan relatif bebas gejala ansietas dalam periode antara serangan-serangan
panik (meskipun lazim terjadi ansietas antipatorik).

DSM-IV-TR Gangguan Panik Tanpa Agorafobia

a. Mengalami (1) dan (2)


(1) Serangan panik berulang yang tidak diduga;
(2) Sedikitnya satu serangan telah diikuti selama 1 bulan (atau lebih) oleh salah satu
atau lebih hal berikut:
i. Kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan;
ii. Khawatir akan akibat atau konsekuensi serangan (cth., hilang kendali,
serangan jantung, menjadi gila);
iii. Perubahan perilaku bermakna terkait serangan.
b. Tidak ada agorafobia;
c. Serangan panik tidak disebabkan langsung oleh efek fisiologis zat (cth.,
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (cth., hipertiroidisme);
d. Serangan panik tidak dapat dimasukkan ke dalam gangguan jiwa lain, seperti fobia
sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pasca trauma, atau
gangguan cemas perpisahan.

DSM-IV-TR Gangguan Panik dengan Agorafobia5

a. Mengalami (1) dan (2)


(1) Serangan panik berulang yang tidak diduga;
(2) Sedikitnya satu serangan telah diikuti selama 1 bulan (atau lebih) oleh salah satu
atau lebih hal berikut:
i. Kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan;
ii. Khawatir akan akibat atau konsekuensi serangan (cth., hilang kendali,
serangan jantung, menjadi gila);
iii. Perubahan perilaku bermakna terkait serangan.
b. Adanya agorafobia;
c. Serangan panik tidak disebabkan langsung oleh efek fisiologis zat (cth.,
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (cth., hipertiroidisme);
d. Serangan panik tidak dapat dimasukkan ke dalam gangguan jiwa lain, seperti fobia
sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pasca trauma, atau
gangguan cemas perpisahan.

8
PPDGJ III – F40.0 Agorafobia4

a. Gejala psikologis, perilaku, atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi
primer dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti waham atau
pikiran obsesif;
b. Ansietas yang timbul harus terbatas pada setidaknya dua dari situasi berikut: banyak
orang/keramaian, bepergian keluar rumah, bepergian sendiri;
c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol (penderita
menjadi “house-bound”)

DSM-IV-TR Agorafobia5

a. Ansietas saat berada di tempat atau situasi yang jalan keluarnya sulit (atau memalukan)
atau tidak ada pertolongan. Rasa takut agorafobik secara khas melibatkan situasi yang
mencakup berada jauh dari rumah sendirian, berada di keramaian atau mengantri,
berada di bawah jembatan, berjalan-jalan dengan bus, kereta atau mobil;
b. Situasi tersebut dihindari, atau dijalani dengan penderitaan yang jelas dengan ansietas
akan mengalami serangan panik atau gejala mirip panik, atau membutuhkan adanya
teman;
c. Ansietas atau penghindaran fobik tidak disebabkan gangguan jiwa lain, seperti fobia
sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pasca trauma, atau
gangguan cemas perpisahan.

2.5 Diagnosis Banding

Diagnosis banding gangguan panik mencakup gangguan medis dan beberapa gangguan jiwa
lain.

Gangguan medis. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa sekitar 91 % pasien


6,7
dengan gangguan panik melaporkan adanya nyeri dada pada psikiater. Bahkan seringkali
datang ke unit gawat darurat dengan gejala mirip keadaan berpotensi fatal, misalnya dokter
berpikir tentang infark miokard. Anamnesis medik lengkap dan pemeriksaan fisik harus
dilakukan. Prosedur laboratorium yang dilakukan mencakup hitung darah lengkap, urinalisis,

9
uji tapis obat, dan EKG. Ketika adanya keadaan yang mengancam jiwa telah disingkirkan,
kecurigaan klinisnya adalah gangguan panik.1

Seringkali pasien dengan gangguan panik tidak mempercayai hasil pemeriksaan


jantung yang adalah normal. Ada suatu kecenderungan untuk ‘doctor shopping’ atau yang
dikenal dengan sebutan gangguan somatoform, seringkali pasien mulai melakukan
pemeriksaan berulang sampai merasa yakin bahwa tidak terjadi apa-apa pada jantungnya.
Seringkali hal ini tidak dapat teratasi jika gangguan panik yang mendasari belum teratasi. 1,6, 7

2.6 Penatalaksanaan

 Tatalaksana Serangan Panik

Serangan panik merupakan salah satu jenis kegawatdaruratan psikiatri. Adapun beberapa
langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi pasien serangan panik yang datang dengan
keluhan nyeri dada, sesak napas, palpitasi, atau nyaris pingsan antara lain:
1. Terapi oksigen
2. Membaringkan pasien dalam posisi Fowler
3. Memonitor tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dan EKG
4. Memeriksa ada tidaknya kelainan lain yang dialami pasien seperti kelainan
kardiopulmoner dan memastikan kalau pasien memang sedang mengalami serangan
panik.
5. Memberikan penjelasan dan motivasi pada pasien kalau semua keluhan yang
dialaminya dapat berkurang jika dia menenangkan diri. Komponen utama dari terapi
pasien serangan panik adalah menjelaskan pada pasien kalau kondisi yang dialaminya
bukanlah disebabkan oleh kondisi medis yang serius dan bukan pula dikarenakan oleh
gangguan mental yang parah, tapi lebih diakibatkan oleh ketidakseimbangan kimiawi
dalam tubuh karena respon sistem simpatik atau fight or flight response. Memberi
keyakinan seperti ini terbukti menjadi plasebo yang signifikan dalam memperbaiki
kondisi pasien.
Dokter dan staf IRD harus mendengarkan keluhan pasien secara efektif namun tetap
menunjukkan empati terhadap kondisi pasien. Harus hati-hati dalam menggunakan
frasa seperti “Penyakit Anda tidak serius” atau “Anda akan baik-baik saja” karena itu
dapat di-misinterpretasi oleh pasien sebagai ketiadaan empati.

10
6. Memberikan injeksi lorazepam 0.5 mg IV untuk menenangkan dan mengurangi impuls
tak terkontrol pasien.

Bila keadaan pasien membaik, lorazepam injeksi dapat diganti dengan lorazepam oral atau
golongan benzodiazepin lain. Terapi ini tidak boleh lebih dari 1 minggu untuk mencegah
ketergantungan. Benzodiazepin digunakan hanya untuk meningkatkan kepercayaan diri pasien.
Setelah serangan panik berlalu, pasien harus dijelaskan mengenai pentingnya terapi jangka
panjang seperti CBT dan penggunaan obat jenis SSRI.3

 Tatalaksana Gangguan Panik

Tatalaksana gangguan panik terdiri atas pemberian farmakoterapi dan psikoterapi. Dari
penelitian didapatkan bahwa bila hanya farmakoterapi saja atau psikoterapi saja, maka angka
kekambuhan akan lebih tinggi dibandingkan dengan bila mendapat gabungan antara
farmakoterapi dan psikoterapi.1,2

Farmakoterapi1,2,3,8

Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk mengatasi gangguan panik, yakni
golongan SSRI (Serotonin Selective Reuptake Inhibitor), trisiklik, dan MAOI (Monoamine
oxidase inhibitor). Sedangkan golongan benzodiazepin hingga saat ini masih dianggap
kontoversial dalam terapi gangguan panik.

1. SSRI
Penggunaan SSRI dan follow up keberhasilannya sebaiknya dimulai dalam rentang 2 minggu
sejak serangan panik terjadi karena SSRI dapat memicu serangan panik pada pemberian awal.
Oleh karena itu dosis SSRI dimulai dari yang terkecil lalu ditingkatkan secara perlahan di setiap
kesempatan follow up berikutnya.
Mekanisme Kerja SSRI
SSRI dipercaya dapat meningkatkan kadar serotonin di ekstraselular dengan cara
menghambat pengambilan kembali serotonin ke dalam sel presinaptik sehingga ada lebih
banyak serotonin di celah sinaptik yang dapat berikatan dengan reseptor sel post-sinaptik. SSRI
memiliki tingkat selektivitas yang cukup baik terhadap transporter monoamin yang lain, seperti
pada transporter noradrenaline dan dopamine, SSRI memiliki afinitas yang lemah terhadap
kedua reseptor tersebut sehingga efek sampingnya lebih sedikit.

11
SSRI merupakan obat psikotropik pertama yang dianggap memiliki desain obat
rasional, karena cara kerjanya benar-benar spesifik pada suatu target biologi tertentu dan
memberikan efek berdasarkan target tersebut. Oleh karena itu SSRI digunakan secara luas di
hampir semua negara sebagai lini pertama pengobatan antipanik.
SSRI dapat diberikan selama 2-4 minggu, dan dosisnya dapat ditingkatkan secara
bertahap tergantung pada kebutuhan. Semua jenis SSRI yang dikenal saat ini memiliki
efektifitas yang baik dalam menangani gangguan panik. Salah satunya, fluoksetin dalam salut
memiliki masa paruh waktu yang panjang sehingga cocok digunakan untuk pasien yang kurang
patuh minum obat. Selain itu waktu paruh yang panjang dapat meminimalisir efek withdrawal
yang dapat terjadi ketika pasien lelah atau tiba-tiba menghentikan penggunaan SSRI.
Contoh Obat Golongan SSRI
Fluoksetin. Fluoksetin secara selektif menghambat reuptake seotonin presinaptik, dengan efek
minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap reuptake norepinefrin atau dopamine.
Paroksetin. Ini merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara kerjanya
berupakan inhibitor selektif yang poten terhadap serotonin neuronal dan memiliki efek yang
lemah terhadap reuptake norepinephrine dan dopamine.
Sertralin. Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi yang lemah
pada reuptake norephinephrine dan dopamine neuronal.
Fluvoksamin. Fluvoksamin merupakan inhibitor selektif yang juga poten pada
reuptake serotonin neuronal serta secara signifikan tidak berikatan pada alfa-adrenergik,
histamine atau reseptor kolinergik sehingga efek sampingnya lebih sedikit dibanding obat-
obatan jenis trisiklik.

Citalopram. Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi selektif


reuptake serotonin pada membran neuronal. Efek samping antikolinergik obat ini lebih sedikit.
Escitalopram. Escitalopram merupakan enantiomer citalopram. Mekanisme kerjanya
mirip dengan citalopram.
Efek Samping SSRI
Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu pertama ketika tubuh mulai mencoba
beradaptasi dengan obat (kecuali efek samping seksual yang timbul pada fase akhir
pengobatan). Biasanya penggunaan SSRI mencapai 6-8 minggu ketika obat mulai mendekat
potensi terapi yang menyeluruh. Adapun beberapa efek samping SSRI antara lain: anhedonia,
insomnia, nyeri kepala, tinitus, apati, retensi urin, perubahan pada perilaku seksual, penurunan

12
berat badan, mual, muntah dan yang ditakutkan adalah efek sampinng keinginan bunuh diri
dan meningkatkan perasaan depresi pada awal pengobatan.

2. Trisiklik/Tricyclic

Golongan trisiklikzat kimia heterosiklik yang awalnya digunakan untuk mengatasi


depersi. Pada awal penemuannya, golongan trisiklik merupakan pilihan pertama untuk terapi
depresi. Meskipun masih dianggap memiliki efektifitas yang tinggi, namun saat ini
penggunaannya mulai digantikan oleh golongan SSRI dan antidepresan lain yang terbaru.1,2
Golongan trisiklik beberapa memiliki kelebihan di antaranya, dosisnya cukup 1x/hari,
rendah resiko ketergantungan, dan tidak perlu ada pantangan makanan. Namun 35%
penggunanya langsung menghentikan pengobatan karena efek samping yang tidak
menyenangkan. Golongan trisiklik harus dimulai dengan dosis kecil untuk menghindari
amphetamine like stimulation. Biasanya pengobatan dengan menggunakan trisiklik
membtuhkan waktu sekitar 8-12 minggu untuk mencapai respon terapi.
Trisiklik masih tetap digunakan dalam terapi terutama untuk depresi atau panik yang
resisten terhadap obat antipanik terbaru. Selain itu golongan trisiklik tidak menyebabkan
ketergantungan sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Hanya saja
kelemahan golongan ini adalah, efek sampingnya biasanya mendahului efek terapi sehingga
banyak pasien yang justru segera menghentikan pengobatan meskipun efek terapinya belum
tercapai.
Mekanisme Kerja Trisiklik
Mekanisme kerja kebanyakan trisiklik menyerupai cara kerja SNRI (serotonin-
norepinephrine reuptake inhibitor) dengan cara memblok transporter serotonin dan
norepinephrine, sehingga terjadi peningkatan neurotransmiter ekstraseluler yang dapat
bereaksi dalam proses neurotransmisi. TCA sama sekali tidak bereaksi terhadap transporter
dopamin sehingga efek samping akibat peningkatan dopamin seperti halusinasi dapat
berkurang.1,3
Selain bereaksi pada reseptor norepinephrine dan serotonin, trisiklik juga bereaksi
sebagai antagonis pada neurotransmiter 5-HT2 (5-HT2A and 5-HT2C), 5-HT6, 5-HT7, α1-
adrenergic, and NMDAreceptors, dan sebagai agonists pada sigma receptors (σ1 and σ2), yang
memberikan kontribusi pada efek terapi dan efek sampingnya. Trisiklik juga dikenal sebagai

13
antihistamin dan antikolinergik kuat karena dapat bereaksi dengan reseptor histamine dan
asetilkolin muskarinik.
Kebanyak trisiklik juga dapat menghambat kanal natrium dan kalsium, sehingga dapat
bekerja seperti obat-obatan sodium channel blocker dan calcium channel blocker. Karena itu
penggunanaan berlebih trisiklik dapat menyebabkan kardiotoksik.
Contoh Obat Trisiklik
Imipramin (tofranil, tofranil-PM). Imipramine menghambat reuptake norepinefrin dan
serotonin pada neuron presinaptik.
Desipramin (Norpramin). Desipramin dapat meningkatkan konsentrasi norepinefrin
pada celah sinaptik SSP dengan cara menghambat reuptake-nya di membran presinaptik. Hal
ini dapat menyebabkan efek desensitasi pada adenyl cyclase, menurunkan regulasi reseptor
beta adrenergik, dan regulasi reseptor serotonin.
Clomipramine (Anafranil). Obat ini berefek langsung pada uptake serotonin
sedangakan pada efeknya uptake norepinephrine terjadi ketika obat ini diubah menjadi
metabolitnya, desmethylclomipramine.
Efek Samping Trisiklik
Ada banyak efek samping yang dapat disebabkan oleh trisiklik yang berkaitan dengan
antimuskarinik-nya. Beberapa di antaranya adalah mulut kering, hidung kering, pandangan
kabur, konstipasi, retensi urin, gangguan memori dan peningkatan temperatur tubuh.
Efek samping lainnya adalah pusing, cemas, anhedonia, bingung, sulit tidur, akathisia,
hipersensitivitas, hipotensi, aritmia serta kadang-kadang rhabdomiolisis.

3. MAO Inhibitor

Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) merupakan salah satu jenis antidepresi


yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan panik. Pada masa lalu golongan ini
digunakan untuk mengatasi gangguan panik dan depresi yang sudah resisten terhadap golongan
trisiklik.
MAO paling efektif digunakan pada gangguan panik yang disertai agoraphobia. Selain
itu MAO juga dapat digunakan untuk mengatasi migraine dan penyakit parkinson karena target
dari obat ini adalah MAO-B yang berperan dalam timbulnya nyeri kepala dan gejala parkinson.
Kelebihan MAO adalah tingkat ketergantungan terhadap obat ini rendah dan efek
antikolinergiknya lebih sedikit dibanding obat golongan trisiklik.
Cara Kerja MAOI

14
MAOI bekerja dengan cara menghambat aktivitas monoamine oxidase, sehingga ini
dapat mencegah pemecahan monoamine neurotransmitter dan meningkatkan avaibilitasnya.
Terdapat 2 jenis monoamine oxidase, MAO-A dan MAO-B. MAO-A berkaitan dengan
deaminasi serotonin, melatonin, epinephrine and norepinephrine. Sedangkan MAO-B
mendeaminasi phenylethylamine dan sisa amina. Dopamine dideaminasi oleh keduanya.
Contoh Obat MAOI
Phenelzine (Nardil). Nardil merupakan obat golongan MAOI yang paling sering digunakan
dalam mengatasi gangguan panik. Hal ini telah dibuktikan melalui superioritas yang jelas
terhadap placebo dalam percobaan double-blind untuk mengatasi gangguan panik. Obat ini
biasanya digunakan untuk pasien yang tidak respon terhadap obat golongan trisklik atau obat
antidepresi golongan kedua.
Tranylcypromine (Parnate). Obat ini juga efektif terhadap gangguan panik karena
berikatan secara ireversibel pada MAO sehingga dapat mengurangi pemecahan monoamin dan
meningkatkan avaibilitas sinaptik.
Efek Samping MAOI
Ketika dikonsumsi peroral, MAOI menghambat katabolisme amine. Sehingga ketika
makanan yang mengandung tiramin dikonsumsi, seseorang dapat menderita krisis hipertensi.
Jika makanan yang mengandung tiptofan dimakan juga, maka hal ini dapat menyebabkan
hiperserotonemia. Jumlah makanan yang dibutuhkan hingga menimbulkan reaksi berbeda-
beda pada tiap individu.
Mekanisme pasti mengapa konsumsi tiramin dapat menyebabkan krisis hipertensi
pada pengguna obat MAOI belum diketahui, tapi diperkirakan tiramin menggantikan
norepinefrin pada penyimpanannya di vesikel, dalam hal ini norepinefrin terdepak oleh tiramin.
Hal ini dapat memicu aliran pengeluaran norepinefrin sehingga dapat menyebabkan krisis
hipertensi. Teori lain menyatakan bahwa proliferasi dan akumulasi katekolamin yang
menyebabkan krisis hipertensi.
Beberapa makanan yang mengandung tiramin antara lain hati, makanan yang
difermentasi dan zat-zat lain yang mengandung levodopa seperti kacang-kacangan. Makanan-
makanan itu harus dihindarkan dari pengguna MAOI.

4. Golongan Benzodiazepin

15
Golongan benzodiazepin merupakan salah satu obat pilihan yang digunakan untuk mengatasi
serangan panik akut. Benzodiazepin digunakan hanya pada 4-6 minggu pertama.
Cara Kerja Benzodiazepin
Benzodiazepin bekerja dengan cara meningkatkan efek neurotransmiter GABA (gamma-
butyric acid), yang berakibat pada inhibisi fungsi eksitasi sehingga dapat menimbulkan
kantuk, menekan kecemasan, anti-kejang, melemaskan otot dan dapat mengakibatkan amnesia.
Ada 3 jenis benzodiazepin yakni yang short acting, intermediate acting dan long acting.
Benzodiazepin short- dan intermediate acting digunakan untuk mengatasi insomnia sedangkan
yang golongan long-acting digunakan untuk mengatasi gangguan panik.1,3
Contoh Obat Benzodiazepin
Lorazepam (Ativan). Lorazepam merupakan suatu hipnotik-sedatif yang memiliki efek onset
singkat dan paruh waktunya tergolong intermediate. Dengan meningkatkan aksi GABA, yang
merupakan inhibitor utama di otak, lorazepam dapat menekan semua kerja SSP, termasuk
sistem limbik dan formasi retikuler.
Clonazepam (Klonopin). Clonazepam menfasilitasi inhibisi GABA dan transmiter
inhibitorik lainnya. Selain itu, obat ini memiliki waktu paru yang relatif panjang sekitar 36 jam.
Alprazolam (Xanax, Xanax XR). Alprazolam merupakan terapi pilihan untuk
manajemen serangan panik. Obat ini dapat terikat pada reseptor-reseptor pada beberapa bagian
otak, termauk sistem limbik dan RES. Meskipun begitu banyak ahli yang tidak menyarankan
penggunaan alprazolam dalam waktu lama karena tingkat ketergantungannya sangat tinggi.
Diazepam (Valium, Diastat, Diazepam Intensol). Diazepam meruapakan salah satu
jenis benzodiazepin yang potensinya rendah. Namun dapat digunakan untuk mengatasi
serangan panik.
Efek Samping Benzodiazepin
Efek samping yang paling sering ditemukan pada benzodiazepin biasanya berkaitan
dengan efek sedasi dan relaksan ototnya. Beberapa di antaranya adalah mengantuk, pusing, dan
penurunan konsentrasi dan kewaspadaan. Kurangnya koordinasi bisa mengakibatkan jatuh dan
kecelakaan, terutama pada orang tua. Akibat lain dari benzodiazepin adalah penurunan
kemampuan menyetir sehingga dapat berakibat pada tingginya angka kecelakaan.
Efek samping lainnya adalah hipotensi dan penekanan pusat pernapasan terutama
pada penggunaan intravena. Beberapa efek samping lain yang dapat timbul pada penggunaan
benzodiazepin adalah mual, muntah, perubahan selera makan, pandangan kabur, bingung,
euforia, depersonalisasi dan mimpi buruk. Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa
benzodiazepin bersifat liver toksik.1,2, 3

16
5. Serotonine-Norepinephrine Reuptake Inhibitors
Ini merupakan salah golongan antipanik terbaru. Cara kerja obat ini adalah mencegah reuptake
inhibitor serotonin-norepinefrin sehingga dapat mengatasi kepanikan.
Venlafaxine (Effexor, Effexor XR). Venlafaxine merupakan salah satu contoh obat
inhibitor reuptake serotonin/norepinephrine selain itu cara kerja obat ini adalah menurunkan
regulasi reseptor beta.

Interaksi Obat

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai interaksi obat yang dapat terjadi.
Obat anti-panik trisiklik (Imipramine/Clomipramine) bila diberikan bersamaan dengan
haloperidol (phenothiazine) dapat mengurangi kecepatan ekskresi dari trisiklik sehingga kadar
dalam plasma meningkat, sebagai akibatnya dapat terjadi potensiasi efek samping
antikolinergik seperti ileus paralitik, disuria, gangguan absorbsi dan lain-lain.
Obat trisiklik/SSRI bila diberikan bersamaan dengan CNS depressant (alkohol, opioid,
benzodiazepine, dll) menyebabkan potensiasi efek sedasi dan penelanan terhadap pusat
pernapasan bahkan dapat terjadi gagal napas.
Obat trisklik/SSRI dan obat simpatomimetik (derivat amfetamin) bila diberikan
bersamaan dapat membahayakan kondisi jantung.
Obat trisiklik/SSRI dan MAOI tidak boleh diberikan bersamaan karena dapat terjadi
Serotonin Malignant Syndrome. Perubahan penggunaan trisiklik/SSRI menjadi MAOI atau
sebaliknya harus menunggu waktu sekitar 2-4 minggu untuk wash out period.
Obat trisiklik bila diberikan bersama SSRI, dapat meningkatkan toksisitas obat
trisiklik.1, 2, 3, 8

Respons dan Durasi Farmakoterapi

Jika pasien gagal memberikan respons terhadap salah satu golongan obat, golongan obat lain
harus dicoba. Data terkini menyokong efektivitas venfalaxine. Kombinasi SSRI atau obat
trisiklik dan benzodiazepin atau SSRI dan litium atau obat trisiklik dapat dicoba. Beberapa
laporan kasus menunjukkan efektivitas karbamazepin, valproat, dan calcium channel blocker
yang mengesankan. Buspiron dapat memiliki peran dalam memperkuat obat lain tetapi
efektivitasnya kecil.

17
Ketika efektif, terapi farmakologis umumnya harus diteruskan selama 8-12 bulan. Data
menunjukkan bahwa gangguan panik adalah gangguan kronis yang mungkin dapat terjadi
seumur hidup dan akan kambuh jika terapi dihentikan mendadak. Studi melaporkan bahwa 30-
90 % yang mengalami keberhasilan terapi mengalami kekambuhan ketika obatnya dihentikan.1,
2

Psikoterapi

 Terapi Relaksasi

Diberikan terhadap hampir semua individu yang mengalami gangguan panik, kecuali yang
bersangkutan menolak. Terapi ini bermanfaat meredakan secara relatif cepat serangan panik
dan menenangkan individu, namun itu dapat dicapai bagi yang telah berlatih setiap hari.
Prinsipnya adalah melatih pernapasan; dengan cara menarik napas dalam dan lambat, lalu
mengeluarkannya dengan lambat; mengendurkan seluruh otot tubuh dan mensugesti pikiran ke
arah konstruktif yang diinginkan akan dicapai. Dalam proses terapi, dokter akan membimbing
individu melakukan ini secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung selama 20-30 menit atau
lebih lama lagi. Setelah itu individu diminta untuk melakukannya sendiri di rumah setiap hari,
sehingga apabila serangan panik muncul kembali, tubuh sudah siap relaksasi.

Selain itu diberikan pula salah satu terapi kognitif perilaku atau psikoterapi dinamik.
Pemilihan jenis ini berdasarkan kondisi pasien saat itu, motivasi individu, kepribadiannya, serta
pertimbangan dokter yang melakukan. Keberhasilan kedua jenis terapi ini bergantung atas
motivasi pasien dan kesediaan bekerja sama dengan terapis.1

 Terapi Kognitif Perilaku/Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)

Pasien diajak untuk merekstrukturisasi kognitif, yaitu membentuk kembali pola perilaku dan
pikiran yang lebih rasional. Terapi biasanya berlangsung 30-45 menit. Pasien kemudian diberi
pekerjaan rumah yang harus dibuat setiap hari, antara lain membuat daftar pengalaman harian
dalam menyikapi berbagai peristiwa yang dialami baik mengecewakan, menyedihkan, atau
menyenangkan. Pekerjaan rumah ini akan dibahas pada kunjungan berikutnya. Biasanya terapi
ini memerlukan 10-15 kali pertemuan, bisa kurang namun dapat pula lebih, bergantung pada
kondisi pasien yang mengalaminya.1, 2

 Psikoterapi Dinamik

18
Pasien diajak untuk lebih memahami diri dan kepribadiannya, bukan hanya dengan tujuan
penghilangan gejala. Pada psikoterapi dinamik, biasanya pasien akan lebih banyak berbicara
dan dokter lebih banyak mendengarkan, kecuali pada individu yang pendiam maka dokter yang
lebih aktif. Terapi ini memerlukan waktu panjang dapat berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun. Diperlukan kesabaran keduabelah pihak dan kerja sama yang baik.2

 Aplikasi Relaksasi

Tujuan aplikasi relaksasi (misalnya Herbert Benson) adalah memberikan pasien rasa kendali
mengenai tingkat ansietas dan relaksasi. Melalui penggunaan teknik standar relaksasi otot dan
membayangkan situasi yang membuat santai, pasien memperlajari teknik yang dapat
membantu mereka melewati serangan panik.1, 2, 8

 Terapi Keluarga

Keluarga pasien dengan gangguan panik dan agorafobia juga mungkin telah dipengaruhi oleh
gangguan anggota keluarga. Terapi keluarga yang ditujukan pada edukasi dan dukungan sering
bermanfaat.1, 2

 Psikoterapi Berorientasi Tilikan

Terapi berfokus membantu pasien mengerti arti ansietas, situasi yang dihindari, serta
kebutuhan untuk menekan impuls, dan keuntungan apabila berhasil.1,2

 Psikoterapi Kombinasi dan Farmakologi

Ketika farmakoterapi efektif menghilangkan gejala primer gangguan panik, psikoterapi


dibutuhkan untuk mengurangi gejala sekunder. Intervensi psikoterapeutik membantu pasien
menghadapi rasa takut keluar rumah. Di samping itu, intervensi terapeutik dibutuhkan untuk
beberapa pasien yang menolak obat dikarenakan stigma ‘sakit jiwa’, sehingga pasien dapat
mengerti dan menghilangkan resistensi terhadap farmakoterapi.1, 2

2.7 Prognosis

Walaupun gangguan panik merupakan penyakit kronis, namun penderita dengan fungsi
premorbid yang baik serta durasi serangan yang singkat bertendensi untuk prognosis yang lebih
baik.

19
Untuk agorafobia, dimana sebagian besar kasusnya dianggap diakibatkan oleh
gangguan panik, sering membaik seiring waktu ketika gangguan paniknya diobati. Untuk
perbaikan agorafobia yang cepat dan sempurna, kadang-kadang diindikasikan terapi perilaku.
Gangguan depresif dan ketergantungan alkohol mempersulit perjalanan gangguan.1, 2

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Gangguan panik adalah salah satu jenis gangguan cemas yang sering terjadi, lebih
banyak pada perempuan daripada laki-laki. Penyebabnya sendiri dapat multifaktorial baik dari
organobiologik, psikososial, bahkan genetik. Gejala fisik yang dapat muncul adalah gejala
yang menyerupai gangguan pada sistem kardiovaskular dan pernapasan, yaitu nyeri dada,
berdebar-debar, keringat dingin, hingga merasa seperti tercekik, nafas cepat dan pendek.
Sementara gejala mental yang dirasakan adalah rasa takut yang hebat dan ancaman kematian.
Gangguan panik dapat timbul bersama gangguan mood, dengan gejala mood secara potensial
meningkatkan onset serangan panik. Gangguan panik juga bisa didiagnosis dengan atau tanpa
agoraphobia.

Pada beberapa kasus didapati pasien sangat meyakini dirinya sakit secara medis dan
memaksa dokter untuk melakukan pemeriksaan penunjang lain, misalnya rekam jantung
(EKG), pemeriksaan lab, dll. Oleh karena itu skrining dan pemeriksaan yang tepat terhadap
gangguan panik sangat dibutuhkan untuk efikasi terapi, efisiensi biaya dan waktu pengobatan.

Tatalaksana yang dapat diberikan adalah kombinasi psikofarmaka dan psikoterapi,


untuk jangka panjang. Kombinasi dua terapi ini memberikan prognosis yang lebih baik dan
tingkat kekambuhan yang lebih rendah dibandingkan hanya dengan salah satu terapi.
Mengingat terdapatnya faktor psikososial, maka sangat penting untuk melakukan edukasi dan
pengarahan terhadap pihak keluarga. Prognosisnya bergantung dari awitan, fungsi premorbid
yang baik, dan durasi serangan.

21
Daftar Pustaka

1. Saddock BJ & Saddock VA. Panic disorder and agoraphobia. In: Kaplan & Sadock's
Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Ed. USA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007. Sec.16.2. p. 588-97.
2. Kusumadewi I, Elvira S. Gangguan panik. Dalam: Buku ajar psikiatri. Edisi ke-2.
Jakarta: FKUI; 2013. h. 258-63.
3. Memon MA. Panic disorder. Updated on March 2011. [Cited on June 2011].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/287913-overview.
4. Departemen Kesehatan RI. PPDGJ III. Cetakan Pertama. 1993.h. 173-4, 178-9.
5. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder. 4th ed. Text rev. Washington DC: APA; copyright 2000.
6. Katerndahl D. Chest Pain and Its Importance in Patients with Panic Disorder:
AnUpdated Literature Review. Primary Care Companion. J Clinical Psychiatry
2008:10(5). Available fromhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2629063/.
7. Katherndahl D. Panic & plaques: Panic disorder and coronary artery disease in
patients with chest pain. Medscape Multispeciality. J Am Board Fam Med.
2004:17(2). Available from http://www.medscape.com/viewarticle/474286_4.
8. Cloos JM. Treatment of panic disorder. Updated on January 2005. [Cited on June
2011]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/497207_1.

22

Anda mungkin juga menyukai