Keadaan sekitar dari kasus kebakaran secara langsung membantu identifikasi korban.
Jika ditemukan tubuh dengan ditutupi oleh jelaga dan tidak begitu parah, jelaganya bisa
dibersihkan terlebih dahulu agar wajah dan gambaran eksternal lainnya dapat terlihat
secara visual. Pakaian dan personal effects, jika tidak terbakar, dapat membantu
identifikasi. Hangus dapat melenyapkan identifikasi gambaran eksternal. Tinggi badan
dan berat badan tidak dapat dijadikan identifikasi yang akurat karena terjadi reduksi
tinggi badan dan berat badan oleh karena kontraksi panas. Sesuai dengan observasi splitz
rambut warna kelabu berubah F). Setelah 10-15 menit pada suhuC (250menjadi pirang
pada suhu 120 F), rambut coklat akan berubah menjadi sedikit kemerahan.
Jika terdapat identifikasi sementara, seperti gigi dan catatan medis harus diperoleh
oleh penyidik. Kegunaan dari catatan ini tergantung dari spesifitas dan keakuratannya.
Salah satu cara untuk mengidentifikasi tubuh yang hangus dilakukan pemeriksaan
radiologi. Jika kecocokan antara informasi antemortem dan postmortem tidak jelas,
ketetapannya masih dapat masih dapat diperkuat oleh ahli patologi dan ahli lainnya yang
terlibat. Jika metode pembanding konvensional tidak jelas, maka gigi dan tulang dapat
digunakan untuk analisa DNA.
Gambaran post-mortem Pemeriksaan luar :
1. Pakaian dari korban diambil dan diperiksa secara teliti untuk mencari
terdapatnya minyak tanah,bensin atau bahan lainnya yang mudah terbakar.
2. Gambaran kulit bisa bervariasi, misalnya :
a. Putih. Pada luka bakar akibat panas radiasi.
b. Melepuh dan merah. Ukuran dan bentuknya bergantung pada ukuran
benda panas. Bentuk luka seperti ini adalah karena bersentuhan
dengan benda panas.
c. Luka merah terpanggang. Merupakan akibat bersentuhan dengan
benda panas dalam waktu yang cukup lama.
d. Kehitaman dan seperti tattoo. Merupakan luka akibat ledakan
tambang batubara. Biasanya ukuran luka sangat luas.
e. Hitam dan berjelaga pada beberapa bagian tubuh, yaitu luka bakar
akibat minyak tanah.
f. Kemerahan dan pembentukan vesikel pada kulit, yaitu akibat terkena
uap panas, misalnya dari air mendidih atau uap panas.
g. Luka basah dan kulit kehilangan sifat elastisnya, yaitu pada luka
bakar akibat uap yang sangat panas.
3. Sikap pugilistik.
Sikap ini mirip sikap defensive dan terdapat pada mayat yang lama
terpapar temperatur tinggi sehingga mayat menjadi kaku. Pada beberapa
kasus temperatur yang sangat tinggi ini bisa mengakibatkan keretakan dan
celah sehingga sangat mirip dengan luka potong..
4. Penentuan jenis kelamin adalah berdasarkan :
a. Adanya uterus atau kelenjar prostat. Kedua jaringan tersebut lebih
tahan terhadap suhu tinggi dibandingkan jaringan tubuh lainnya.
b. Jika yang tertinggal hanya tulang kerangka, maka proses
identifikasinya berdasarkan ukuran dan bentuk tulang pelvis.
Pemeriksaan dalam:
Hematoma dalam kepala (pseudoepidural hematom) hampir
selalu ada jika tulang tengkorak terbakar. Hematoma ini lunak,
berupa bekuan darah berwarna coklat dan sangat rapuh serta
tampak seperti sarang lebah.
Tulang tengkorak sering mengalami fraktur pada kematian
akibat kebakaran. Jaringan otak sangat menyusut walau
bentuknya masih dapat dikenali. Lapisan yang menutupi otak
dan meanings mengalami kongesti.
Jika kematian akibat asfiksia, pada traktus respiratorius bisa
ditemukan partikel karbon. Seluruh traktus respiratorius
bagian atas mengalami kongesti dan dilapisi cairan mukus
yang berbusa.
Inflamasi pleura bisa terjadi dan terdapat efusi ke dalam
rongga pleura
Bilik jantung penuh berisi darah.
Lambung dan duodenum menunjukkan reaksi inflamasi.
Setelah kematian, pada duodenum mungkin terdapat tukak
yang disebut tukak Curling (Curling’s ulcer).
Pada hati terdapat perlemakan.
Pada ginjal terdapat pembengkakan (cloudy swelling),
thrombosis kapiler, bahkan mengalami infark.
Limpa dan kelenjar mengalami kongesti.
I. COLD TRAUMA
Trauma dingin jarang terjadi, biasanya pada negara dingin. Banyak
terjadi pada tentara yang bertempur pada Perang Dunia II. Lokalisasi terutama
pada tangan, kaki, hidung, telinga, pipi. Hawa dingin yang basah lebih
berbahaya daripada yang kering. Cara kematian:
1. Kecelakaan
2. Pembunuhan (infanticide)
Ada 2 jenis jejas akibat suhu dingin :
1. Jejas dingin local
Jejas lokal yang diakibatkan oleh suhu dingin tergantung pada
temperatur, laju pendinginan, lama pemaparan. Terdapat dua keadaan
yang khusus, yaitu:
a. Kaki terendam (trench foot): trench foot mulai dikenal saat terjadi
perang dunia pertama. Keadaan ini sebagai akibat dari pemaparan kaki
secara jangka panjang dengan air dan lumpur pada suhu yang dingin
namun tidak membeku. Perubahan dapat juga terjadi pada bagian lain
dari tubuh kita. Respon awal jaringan terhadap air dingin adalah
vasokontriksi. Vasokonstriksi yang berkepanjangan akan
mengakibatkan kerusakan iskemik pada ototdan saraf. Setelah
beberapa jam kaki terendam, maka terjadi paralisis vasomotor, yang
mengakibatkan dilatasi yang menetap dan kerusakan terhadap
miikrosirkulasi. Jaringan yang bersangkutan akan membengkak
(edema) dan membiru sehingga tidak jarang dapat terjadi blister. Pada
akhirnya dapat terjadi trombosis biasanya setelah beberapa hari
terendam air, dan terjadi gangren.
Gambar 8. Trench Foot
b. Frosbite: frosbite terjadi lebih cepat daripada trench foot, dan terjadi
pada bagian tubuh yang terpapar dengan temperatur beku. Kejadian ini
bukan merupakan hal yang tidak lazim pada negara yang mempunyai
empat suhu udara. Bilamana seseorang terperangkap pada udara dingin
yang membeku (misalnya dalam badai salju) tanpa persiapan, maka
kecelakaan tersebut dapat terjadi. Vasokonstriksi, vasodilatasi dan
oklusi pembuluh darah oleh sel darah yang teraglutinasi dan thrombi,
akan mengakibatkan nekrosis iskemia pada jaringan yang terpapar
hanya dalam beberapa jam saja.
Gambar 12. Deep frosbite pada tangan yang merusak seluruh jaringan
kulit. Terjadi gangren atau kematian jaringan.
2. Jejas dingin menyeluruh (hipotermi)
a. Mekanisme terjadinya jejas: hipotermia generalisata terjadi bilamana
seluruh tubuh terpapar dengan suhu yang rendah.hal ini sering terjadi
pada penderita usia lanjut (lansia) di musim dingin, terutama pada
gelandangan. Pemaparan terhadap suhu dingin akan mengakibatkan
generalized vasocontriction pada kulit, hal ini terjadi sebagai respons
refleks untuk mengkonservasi panas tubuh. Vasokonstriksi organ-
organ dalam terjadi hanya bilamana temperatur “core” menurun.
Setelah beberapa waktu pemaparan, refleks vasokonstriksi pembuluh
darah kulit gagal, sehingga terjadi vasodilatasi yang luas. Vasodilatasi
yang menyeluruh ini mengakibatkan penurunan temperatur “core”,
sehingga terjadi pengumpulan darah (pooling) pada pembuluh darah
perifer. Keadaan ini pada gilirannya akan mengakibatkan volume
plasma efektif menurun, dan terjadi kegagalan sirkulasi.
b. Gambaran klinis: perubahan klinis yang terjadi tergantung pada
temperatur dan lamanya pemaparan terhadap suhu rendah. Bilama
penurunan temperatur secara cepat dan mendadak, maka dapat
mengakibatkan kematian. Kematian pada kasus demikian disebabkan
oleh kegagalan metabolisme selluler sebagai konsekuensi turunnya
temperatur “core”.
c. Pemanfaatan terapi hipotermia: penurunan tingkat metabolisme
seluler/jaringan sebagai akibat dari hipotermi dapat dimanfaatkan
untuk pembedahan di bidang kardiovaskuler dan operasi otak.
Sirkulasi pada organ tersebut dapat dihentikan beberapa menit pada
suhu hipotermia, sehingga dapat dilakukan pembedahan sederhana
seperti operasi aneurisma, valvotomi mitral, penggunaan lemari
pendingin juga penting untuk blood bank (4oC dapat mengawetkan
darah sampai beberapa minggu).
Dix Jay.Chapter 10 : Thermal Injury. Color Atlas of Forensic Pathology. New York: CRC
Press LLC ; 2000. P.116.
Dollnak David, Matshes Evan. Environmental Injury. Forensic Pathology principles and
practice. New York : Elsevier academi press ; 2005.p 239-257.
Dimaio Vincent, Dimaio Dominic. Fire Deaths. Forensic Pathology second edition. Florida :
CRC Press ; 2001.
Mosier Michael, Gibran Nicole. Management of the patient with termal injuries. ACS
Surgery. New york : Decter Intellectual properties ; 2010.
Simpson CK. Injury due to heat, cold and electricity. In: Knight B, editor. Simpson's Forensic
Medicine. 11 ed. New York: Oxford University Press Inc.; 1997. p.143.
Sharkum J, Michael, Ramsay A David. Chapter 4 : Thermal Injury. Forensik Pathology of
trauma. Totowa : Human Press Inc ; 2007.
Spector Jordan, Fernandez Wiliam. Chemical, Thermal and Biological ocular Exposure.
Emergency Medicine Clinic of North America. Philadelphia : Boston University ;
2008.
Wilson Wiliam, Grade Chistoper, Hoyt David. Burn Injury. Critical Care Volume 1. New
York ; Informa Healthycare. 2007.
Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, dkk. 1997. Traumatologi Forensik. Dalam: Ilmu
Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. p52-53