Anda di halaman 1dari 21

PRESENTASI

TIROTOKSIKOSIS
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS PRESENTASI KEPANITERAAN DI
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

Disusun oleh
Elok Yana Permatasari

Preseptor :
Eddy Harjadi, dr., Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2019
Definisi
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar
dalam sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar
tiroid yang hiperaktif. Manifestasi klinisnya disebabkan ikatan T3 dengan reseptor
T3-inti yang makin penuh. Rangsang oleh TSH atau TSH-like substance (TSI,
TSAb), autonomi intrinsik kelenjar menyebabkan tiroid meningkat, terlihat dari
radioactive neck-uptake naik. Sebaliknya, pada destruksi kelenjar misalnya karena
radang, inflamasi, radiasi, akan terjadi kerusakan sel hinngga hormon yang tersimpan
dalam folikel keluar masuk dalam darah. Dapat pula karena pasien mengonsumsi
hormon tiroid berlebihan. Dalam hal ini justru radioactive neck-uptake turun.
Toksikosis tanpa hipertiroidisme biasanya self-limiting disease.

Epidemiologi Tirotoksikosis
70% tirotoksikosis karena penyakit Graves, sisanya karena gondok multinoduler
toksik (morbus Plummer) dan adenoma toksik (morbus Goetsch). Ciri morbus graves
ialah hipertiroidisme, oftalmopati dan struma difus.

Etiologi tirotoksikosis
Sampai sekarang masih dilihat sebagai penyakit autoimun dengan penyebab
yang tidak diketahui. ada prediposisi familial yang kuat → 15% pasien mempunyai
sanak keluarga dekat dengan penyakit yang sama; 50% sanak kelaurga dari pasien
mempunyai circulating thyroid autoantibodies.
Diusulkan bahwa ada faktor lingkungan yang juga berperan, seperti stress,
merokok, infeksi, dan paparan iodin. Keadaan postpartum, yang berkaitan dengan
peningkatan fungsi imun, juga mungkin dapat memicu pembentukan Graves’ disease
pada wanita yang rawan secara genetik.
Hipertiroidisme primer Tirotoksikosis tanpa Hipertiroidisme sekunder
hipertiroidisme

Penyakit graves Hormon tiroid berlebih TSH-secreting tumor


gondok multinodular (tirotoksikosis faktisia) chGH secreting tumor
toksik
Tiroiditas subakut (viral Tirotoksikosis gestasi
Adenoma toksik atau De Quervain) (trimester pertama)

Obat: yodium lebih, litium Silent thyrooiditis Resistensi hormon tiroid

Ca tiroid Destruksi kelenjar:


amiodaron, radiasi,
Struma ovarii (ektopik)
adenoma, infark
Mutasi TSH-r

Tanda dan Gejala Tirotoksikosis


 Pada individu muda, manifestasi yang biasa terjadi yaitu palpitasi, rasa cemas,
mudah lelah, hiperkinesia, diare, berkeringat berlebih, intoleransi udara panas,
dan preferensi udara dingin. Seringkali ada penurunan berat badan signifikan
tanpa penurunan nafsu makan. Pembesaran tiroid, tanda mata tirotoksik, dan
takikardia ringan biasa terjadi. Kelemahan otot dan hilang otot dapat sangat
parah sampai pasien tidak dapat bangun dari kursi tanpa bantuan.
 Pada anak-anak, terjadi pertubuhan yang cepat dengan percepatan maturasi
tulang.
 Pada pasien di atas 60 tahun, manifestasi kardiovaskular dan myopatik
mendominasi; keluhan yang paling sering adalah palpitasi, dyspnea on
exertion, termor, rasa cemas, dan penurunan berat badan.
 Pada perempuan premenopause, cenderung terjadi oligomenore dan amenore.
Dispnea, palpitasi, dan pada pasien lanjut, angina pektoris atau kegagalan
jantung dapat terjadi.
 Secara umum, gejala neurologik mendominasi gambaran klinis pada individu
yang lebih muda, sementara gejala kardiovaskuler dan miopati menonjol pada
pasien yang lebih tua, dimana gambaran klinis dapat menjadi sulit untuk
ditemukan. Pasien seperti ini biasanya datang dengan keluhan lelah atau berat
badan berkurang (apathetic thyrotoxicosis).
Biasanya pasien tampak cemas, gelisah, dan tampak tidak nyaman. Kulit hangat
dan lembab dengan tekstur seperti beludru dan eritema palparis muncul. Pemisahan
kuku dari jaringan kuku (kuku Plummer) biasa terjadi. Rambut tampak normal dan
bersinar. Tremor halus pada jari dan lidah, bersama dengan hiperrefleksia adalah ciri
yang sering terjadi. Tanda okuler meliputi pandangan membelalak dengan fisura
palpebra yang melebar, pengejapan mata yang jarang, kelelahan kelopak mata, dan
kegagalan untuk mengernyitkan alis pada pandangan ke atas. Tanda-tanda ini
dihasilkan oleh stimulasi berlebih simpatik dan biasanya berkurang jika tirotoksikosis
dikoreksi. Tanda-tanda tersebut harus dibedakan dari oftalmopati infiltrative yang
khas pada penyakit Graves.
Temuan kardiovaskuler meliputi tekanan denyut yang melebar, sinus takikardia,
atrial aritmia (terutama fibrilasi atrial), murmur sistolik, peningkatan intensitas bunyi
pertama apical, pembesaran jantung, atau gagal jantung yang nyata. Suatu bunyi yang
bolak-balik dan dengan nada tinggi dapat didengar di daerah pulmonik dan dapat
menstimulasi friksi gesekan pericardial (goresan Means-Lerman).
Manifestasi penyakit Graves yang mudah dibedakan adalah struma hiperfungsi
difusa, oftalmologi, dan dermopati yang dapat timbul dengan berbagai macam
kombinasi dan frekuensi. Struma difusa toksik dapat asimetrik dan lobuler. Adanya
bruit pada kelenjar biasanya menandai bahwa pasien menderita tirotoksikosis. Bising
vena dan hembusan aliran karotis harus dibedakan dengan tiroid bruit yang asli.
Pembesaran lobus piramidal tiroid dapat dipalpasi.
Tanda klinis yang dikaitkan dengan oftalmopati pada penyakit Graves dapat
dibagi dalam dua komponen: spastic dan mekanis. Yang disebut pertama termasuk
mata melotot atau kelelahan kelopak mata. Komponen mekanis meliputi proptosis
dengan derajat yang bermacam-macam dengan oftalmoplegia dan okulopati kongestif
yang ditandai oleh kemosis, konjungtivitis, pembengkakan periorbita, dan komplikasi
potensial ulserasi kornea, neuritis optic dan atrofi optik. Jika eksoftalmus berkembang
cepat dan menjadi hal utama dalam penyakit Graves, hal itu disebut progresif, dan,
jika berat, eksoftalmus maligna. Istilah oftalmoplegia eksoftalmik mengacu pada
kelemahan otot okuler yang menyebabkan gangguan pada pandangan melihat ke atas
dan konvergensi dan strabismus dengan derajat diplopia yang bervariasi. Eksoftalmus
dapat unilateral pada saat awal tetapi biasanya berkembang menjadi bilateral.
Tanda mata pada Graves’ disease. Berguna untuk mendeskripsikan derajat
keterlibatan mata, tapi tidak membantu dalam perjalanan penyakit, karena satu kelas
tidak harus berkembang ke kelas selanjutnya. Mnemonic: NO SPECS
Dermopati biasanya terjadi di dorsal tungkai atau kaki dan disebut miksedema
lokal atau pretibial. Hal ini muncul pada pasien dengan riwayat atau sedang
menderita penyakit Graves dan bukan merupakan manifestasi dari hipotiroidisme.
Sekitar setengah dari kasus terjadi selama stadium aktif tirotoksikosis. Daerah yang
terkena biasanya dibatasi dari daerah normal dengan fakta bahwa kulit di daerah
tersebut menebal, memiliki gambaran peau d’orange (kulit jeruk) dan dapat pruritik
atau menjadi hiperpigmentasi. Lesi biasanya diskrit, mengasumsikan konfigurasi
seperti plak atau noduler tetapi pada beberapa keadaan, konfluen. Pembesaran jari
dan ibu jari dengan perubahan tulang yang khas dapat menyertai perubahan dermis
(thyroid acropachy).

Sistem Gejala dan tanda Sistem Gejala dan tanda


Umum Tak tahan hawa panas Psikis dan saraf Labil, iritabel, tremor,
psikosis, nervositas,
Hiperkinesis, capek, BB
paralisis periodik
turun, tumbuh cepat,
dispnea
toleransi obat,
youthfullness

GIT Hiperdefekasi, lapar, Jantung hipertensi, aritmia,


makan banyak, haus, palpitasi, gagal
muntah, disfagia, jantung
splenomegali

Muskular Rasa lemah Darah dan Limfositosis, anemia,


limfatik splenomegali, leher
membesar

Genitourinaria Oligomenore, amenore, Skelet Osteoporosis, epifisis


libido turun, infertil, cepat menutup dan
ginekomastia nyeri tulang

kulit Rambut rontok,


berkeringat, kulit basah,
silky hair, onikolisis

Diagnosis
Manifestasi klinis yang khas seperti pembesaran tiroid difusa yang disertai
dengan bruit, oftalmolopati, dan dermopati pada penyakit Graves umumnya mudah
ditemukan, sehingga mudah dalam menegakkan diagnosis. Namun pada kasus-kasus
yang subklinis dan orang usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat
untuk membantu menetapkan diagnosis.
Pada penyakit Graves, hormon tiroid yang tidak terikat (free T4 ) akan
meningkat disertai dengan penurunan Thyroid Stimulating Hormon (TSH). Pada 2
sampai 5% dari pasien hanya T3 yang meningkat (T3 toksikosis). Bila TSH
subnormal dan FT4 normal perlu diperiksa FT3 untuk membedakan T3 toksikosis
dari hipertiroidisme subklinis. Pemeriksaan auto antibodi tiroid membantu untuk
membedakan penyakit Graves dengan penyebab hipertiroidisme lainnya.
Pathogenesis
Pada Graves’ disease, limfosit T disensitisasi terhadap antigen dalam kelenjar
tiroid dan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen-antigen
ini. Salah satu dari antibodi ini dapat merangsang reseptor TSH pada membrane sel
tiroid dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan fungsi dari
sel tiroid. Antibodi ini disebut dengan thyroid-stimulating antibody (TSAb) atau TSI.
Adanya antibodi dalam darah berkorelasi positif dengan penyakit aktif dari penyakit
ini namun tidak jelas apa yang mencetuskan episode akut dari penyakit ini. Beberapa
faktor yang mendorong respon imun pada penyakit Graves adalah kehamilan
(terutama masa postpartum), kelebihan iodida, interferon alfa, infeksi bakterial atau
viral, dan stress psikologis.
Patogenesis oftalmologi mungkin melibatkan limfosit sitotoksik dan antibodi
sitotoksik yang tersensitisasi oleh antigen yang ada pada fibroblast orbita, otot orbita,
dan jaringan tiroid. Sitokin yang berasal dari limfosit tersensitisasi ini dapat
menyebabkan peradangan fibroblas orbita dan miositis orbita yang akan berakibat
pada pembengkakan otot-otot orbita, proptosis bola mata, dan diplopia. Akibat lain
yang terlihat adalah kemerahan, kongesti, dan edema konjungtiva beserta periorbita.

Patogenesis dermopati tiroid (miksedema pretibial) dan inflamasi


subperiosteal yang jarang pada jari-jari tangan dan kaki (osteopati tiroid) mungkin
juga melibatkan stimulasi sitokin limfosit dari fibroblast pada tempat-tempat ini.
Banyak gejala tirotoksikosis yang mengarah pada adanya keadaan kelebihan
katekolamin seperti takikardia, tremor, berkeringat, atau kelopak mata yang melotot.
Namun kadar epinefrin dalam sirkulasi adalah normal, jadi pada penyakit Graves
tubuh tampak hiperaktif terhadap katekolamin.

Komplikasi
Krisis tirotoksikosis (“thyroid storm”) merupakan eksaserbasi akut dari semua
gejalan dan tanda tirotoksikosis, seringkali membahayakan jiwa. Terkadang, thyroid
storm dapat muncul dalam bentuk ringan, hanya dengan reaksi febril yang tidak
terjelaskan setelah operasi tiroid pada pasien yang pre operasinya tidak dipersiapkan
dengan baik. Lebih sering, thyroid storm muncul dalam bentuk parah setelah operasi,
terapi radioaktif iodine, atau parturisi pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak
terkontrol baik, atau selama penyakit parah (diabetes tidak terkontrol, trauma, infeksi
akut, reaksi obat parah, infarksi miokardial).
Manifestasi klinis dari thyroid storm adalah hipermetabolisme yang signifikan
dan respon adrenergik yang berlebihan. Demam berkisar antara 38-41oC dan
berhubungan dengan flushing dan berkeringat. Takikardia signifikan, seringkali
dengan atrial fibrilasi dan pulse pressure tinggi; terkadang terjadi gagal jantung.
Gejala CNS meliputi agitasi, gelisah, delirium, coma. Gejala GI meliputi mual,
muntah, diare, dan jaundice. Akibat fatalnya adalah gagal jantung dan syok.
Teori yang berkaitan dengan thyroid storm adalah dengan adanya peningkatan
binding sites untuk katekolamin, infeksi akut atau stress operasi dapat memicu
pelepasan banyak katekolamin, dan dihubungkan dengan tingginya level free T4 dan
T3, mempresipitasi kondisi akut tersebut.

Penatalaksanaan
3 Metode yang tersedia: terapi obat anti tiroid, pembedahan, dan terapi
radioaktif iodine. Selain itu ada juga terapi simptomatik.
a. Terapi simptomatik
Β-adrenergic blocker harus diberikan pada pasien usia lanjut dengan
symptomatic tirotoksikosis and kepada pasien tirotoksikosis lainnya dengan
HR istirahat melebihi 90 bpm atau adanya penyakit kardiovaskular.

b. Terapi obat anti tiroid


Obat-obatan anti tiroid berasal dari golongan thionamides.
Propylthiouracil, methimazole, dan carbimazole adalah obat-obatan yang
termasuk dalam golongan ini. Obat anti tiroid dapat digunakan sebagai terapi
utama pada keadaan hipertiroidisme atau sebagai terapi permulaan sebelum
melanjutkan dengan terapi menggunakan iodium radioaktif atau terapi
pembedahan. Efek utama dari obat-obatan ini adalah menghambat kerja dari
enzim peroksidase dalam proses sintesis hormon tiroid.
Secara umum, terapi obat anti tiroid sebagai terapi lini pertama paling
berguna pada pasien usia muda dengan kelnjar yang kecil dan penyakit yang
ringan. Obat diberikan 1-2 tahun, lalu diturunkan bertahap atau dihentikan
untuk melihat apakah pasien sudah mencapai remisi. Remisi, didefinisikan
sebagai fungsi tiroid normal selama 1 tahun setelah penghentian obat anti
tiroid, terjadi pada 20-50% pasien tapi mungkin tidak seumur hidup.
Terapi obat antitorid umumnya diawali dengan dosis yang lebih besar,
lalu saat pasien sudah eutiroid seteLah 4- 12 minggu, terapi maintenance
dapat dilakukan dengan dosis yang lebih rendag. Regimen umum berupa
PTU, 100 mg setiap 8 jam pada awalnya, lalu setelah 4-8 minggu,
menurunkan dosis menjadi 50-200 mg sekali atau 2 kali sehari. Methimazole
mempunyai durasi aksi yang lebih lama dan lebih disenangi, karena
pemberian dosis sekali sehari memperbaiki ketaatan berobat. Regimen
umumnya dimulai dengan 10-20 mg setiap pagi selama 1-2 bulan; dosis ini
lalu dikurangi menjadi 5-10 mg setiap pagi untuk terapi maintenance. Tes
laboratorium yang digunakan pada monitoring di awal pengobatan adalah
serum FT4 dan T3.
Metode alternatif dari terapi menggunakan konsep total block dari
aktivitas tiroid. Pasien diberikan methimazole atau PTU samapi eutiroid
(sekitar 3-6 bulan), but setelah itu dosisnya tidak diturunkan bertahap, tapi T4
ditambahkan dalam dosis sekitar 0.1 mg/d. Pasien lalu berlanjut menerima
kombinasi obat antitiroid dan T4 untuk 12-24 bulan selanjutnya. Pada akhir
waktu tersebut, atau saat ukuran kelenjar kembali ke normal, obat dihentikan.
Terapi kombinasi ini mencegah pterjadinya hipotiroidime karena kelebihan
dosis dari obat antitiroid, tapi frekuensi relaps sama dengan sehabis
pengobatan dengan obat anti tiroid saja, dan metode ini lebih mahalm karena
dibutuhkan 2 obat.
Durasi terapi obat anti troid pada Graves’ diseae biasanya 12-24 bulan.
Remisi yang terpelihara paling mungkin terjadi pada keadaan berikut: (1) bila
ukuran kelenjar tiroid kembali ke normal, (2) bial penyakit dapat dikontrol
dengan dosis obat anti torid yang relatif rendah, dan (3) bila TSAb tidak lagi
terdeteksi di dalam serum pada akhir terapi.
Reaksi terhadap obat antitiroid dapat berupa minor, terutama ruam
(5% pasien) atau mayor, terutama agranulositosis (0.5% pasien). Ruam dapat
diatasi dengan memberikan antihistamin, dan kecuali parah, bukan merupakan
indikasi untuk menghentikan pengobatan. Agranulositosis memerlukan
penghentian segera dari obat antitiroid, pemberian antibiotik yang tepat, dan
merubah ke terapi alternatif, biasanya radioaktif iodine. Agranulositosis
biasnaya ditandai dengan radang tenggorokan parah dan demam. Jadi, semua
pasien yang menerima obat antitiroid diinstruksikan bahwa bila ada radang
tenggorokan atau demam, obat harus segera dihentikan, menghubungi dokter
dan di tes WBC dan differential count nya. Bila WBC normal, obat anti tiroid
dapat diteruskan. Cholestatic jaundice dengan methimaxole, toksisitas
hepatoselular dan vaskulitis dengan PTU, serta arthritis akut dengan kedua
obat merupakan efek samping serius tapi jarang terjadi yang juga
membutuhkan penghentian obat segera.
Alasan pemilihan: pasien dengan kemungkinan tinggi remisi (pasien,
terutama wanita, dengan penyakit ringan, goiter kecil, TSAb negatif atau titer
rendah); pasien usia lanjut dengan angka harapan hidup rendah, atau dengan
komorbiditas yng meningkatkan resiko operasi; pasien dengan moderate
sampai severe active Graves ophtlamopathy.
Kontraindikasi: major adverse reaction terhadap obat antitiroid.

c. Terapi radioaktif iodine


Di USA, terapi ini merupakan terapi yang lebih dipilih untuk
kebanyakan pasien di atau usia 21 tahun. Pada pasien tanpa penyakit jantung,
radioaktif iodine dapat langusng diberikana dengan dosis 80-200 μCi/g
estimasi berat tiroid pada pemeriksaan fisik. Setelah itu, biasanya kelenjar
akan mengecil dan pasien akan eutiroid dalam periode 2-6 bulan.
Pada pasien usia lanjut, dan yang dengan penyakit jantung atau
masalah medis lainnya, tirotoksis parah, kelenjar yang besar (>100g),
diharapkan dapat dicapai keadaan eutiroid sebelum terapi 131I, karena
terkadang akan ada eksaserbasi dari fungsi tiroid dalam minggu-minggu
setelah terpai radioiodine. Untuk itu, pre pengobatan dengan methimazole
daripada PTU lebih disukai, karena PTU mungkin menurunkan kefektifan
terapi radioiodine. Pasoen biasanya diobati dengan methimazole sampai
eutiroid, lalu dihentikan selama 507 hari, lau diberikan terapi radioiodine.
Hipotiroidism, merupakan komplikasi yang tidak dapat dihindari pada
terapi radioiodine (>80% pasien), biasa terjadi pada 6-12 bulan pertama
setelah terapi. Saat terjadi hipotiroidisme, segera diberikan terapi pengganti
dengan T4, 0.05-0.2 mg per hari. Graves’ eye disease yang parah merupakan
kontraindikasi realtif untuk terapi radioiodine.
Alasan pemilihan terapi: wanita yang merencanakan kehamilan di
masa depan (>4-6 bulan setelah terapi radioidine, asal level hormon tiroid
normal), individu dengan komorbiditas yang meningkatkan resiko operasi,
pasien yang lehernya pernah dioperasi atau diradiasi eksternal, pasien dengan
kontraindikasi pemberian obat antitiroid.
Kontraindikasi: kehamilan, laktasi, kanker tiroid, kecurigaan kanker
tiroid, wanita berencana hamil dalam 4-6 bulan.

d. Terapi pembedahan
Tiroidektomi subtotal atau total merupakan pilihan terapi bagi pasien
dengan ukuran kelenjar yang sangat besar atau multinodular goiter, pasien
yang alergi atau tidak taat berobat terhadap obat antitiroid, pasien yang
menolak terapi radioiodine, dan untuk wanita hamil dengan severe Graves’
disease yang alergi terhadap obat antitiroid. Pasien dipersiapkan dengan obat
anti tiroid sampai eutiroid (sekitar 6 minggu). Lalu 2 minggu sebelum operasi,
pasien dapat diberikan saturated solution of potassium iodide, 5 tetes 2 kali
sehari. Regimen ini dianggap dapat menurunkan vaskularisasi kelenjar dan
untuk memudahkan operasi.
Alasan pemilihan: kompresi simptomatik atau goiter besar (≥80g);
uptake radioactive iodine yang relatfi rendah; saat malignansi tiroid dicurigai;
nodule besar nonfunctioning, photoprnic, atau hypofunctioning; wanita yang
merencanakan kehamilan < 4-6 bulan; bila TRAb tinggi; pasien dengan
moderate samapi severe active Graves ophtalmopathy.
Kontraindikasi: penyakit kardiopulmonari, end-stage cancer.

e. Terapi komplikasi
Harus digunakan terapi multimodal untuk pasien dengan thyrpid
storm, termasuk beta-adrenergic blockade, terapi obat antitiroid, inorganic
iodide, terapi kortikosteroid, pendinginan agresif dengan acetaminiphen dan
selimut pendingin, resusitasi volume, support respiratorum dan monitoring di
ICU.

f. Tirotoksikosis dan kehamilan


g. Ophtalmopathy
Untuk mild disease, menjaga kepala pasien elevasi saat malam hari
dan pemberian diuretik dapat mengurangi periorbital edema. Pemberian
prednisone 40mg/d, tapering 10mg setiap 2 minggu, segera setelah terapi
radioiodine melindungi terhadap eksaserbasi opthalmopathy.
Penanganan severe ophtalmopathy karena Graves’ disease mencakup
kerja sama antara endocrinologist dan opthalmologist. Untuk severe acute
inflammatory reactions, high-dose corticosteroid therapy seringkali efektif
(e.g., prednisone 100 mg per hari peroral dalam dosis terbagi selam 7-14 hari,
tapering off 6-12 minggu). Pada kasus yang sangat parah, dimana penglihatan
terancam, surgical orbital decompression mungkin dapat digunakan.
Prognosis

Secara umum, perjalan Graves’ disease yang diobati dengan obat antitiroid
merupakan remisi dan eksaserbasi selama periode yang panjang, kecuali bila kelenjar
dihancurkan dengan operasi atau radioaktif iodine. Meski beberapa pasien eutiroid
selama periode yang lama setelah pengobatan obat antitiroid, setidaknya 25% akan
mengalami hipotiroidisme. Karena itu, follow-up seumur hidup di indikasikan untuk
semua pasien dengan Graves’ disease.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th ed. Hyperthyroidism and


Other Causes of Thyrotoxicosis: Management Guidelines of the American
Thyroid Associationi and American Association of Clinical Endocrinologists.
Bahn RS, Burch HB, Cooper DS, et al. Thyroid 21 (6). 2011
2. Ross, et al. American Thyroid Association Guidelines for Diagnosis and
Management of Hyperthyroidism and other Causes of Thyrotoxicosis.
Thyroid (26). 2016.

Anda mungkin juga menyukai