TIROTOKSIKOSIS
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS PRESENTASI KEPANITERAAN DI
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
Disusun oleh
Elok Yana Permatasari
Preseptor :
Eddy Harjadi, dr., Sp.PD
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2019
Definisi
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar
dalam sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar
tiroid yang hiperaktif. Manifestasi klinisnya disebabkan ikatan T3 dengan reseptor
T3-inti yang makin penuh. Rangsang oleh TSH atau TSH-like substance (TSI,
TSAb), autonomi intrinsik kelenjar menyebabkan tiroid meningkat, terlihat dari
radioactive neck-uptake naik. Sebaliknya, pada destruksi kelenjar misalnya karena
radang, inflamasi, radiasi, akan terjadi kerusakan sel hinngga hormon yang tersimpan
dalam folikel keluar masuk dalam darah. Dapat pula karena pasien mengonsumsi
hormon tiroid berlebihan. Dalam hal ini justru radioactive neck-uptake turun.
Toksikosis tanpa hipertiroidisme biasanya self-limiting disease.
Epidemiologi Tirotoksikosis
70% tirotoksikosis karena penyakit Graves, sisanya karena gondok multinoduler
toksik (morbus Plummer) dan adenoma toksik (morbus Goetsch). Ciri morbus graves
ialah hipertiroidisme, oftalmopati dan struma difus.
Etiologi tirotoksikosis
Sampai sekarang masih dilihat sebagai penyakit autoimun dengan penyebab
yang tidak diketahui. ada prediposisi familial yang kuat → 15% pasien mempunyai
sanak keluarga dekat dengan penyakit yang sama; 50% sanak kelaurga dari pasien
mempunyai circulating thyroid autoantibodies.
Diusulkan bahwa ada faktor lingkungan yang juga berperan, seperti stress,
merokok, infeksi, dan paparan iodin. Keadaan postpartum, yang berkaitan dengan
peningkatan fungsi imun, juga mungkin dapat memicu pembentukan Graves’ disease
pada wanita yang rawan secara genetik.
Hipertiroidisme primer Tirotoksikosis tanpa Hipertiroidisme sekunder
hipertiroidisme
Diagnosis
Manifestasi klinis yang khas seperti pembesaran tiroid difusa yang disertai
dengan bruit, oftalmolopati, dan dermopati pada penyakit Graves umumnya mudah
ditemukan, sehingga mudah dalam menegakkan diagnosis. Namun pada kasus-kasus
yang subklinis dan orang usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat
untuk membantu menetapkan diagnosis.
Pada penyakit Graves, hormon tiroid yang tidak terikat (free T4 ) akan
meningkat disertai dengan penurunan Thyroid Stimulating Hormon (TSH). Pada 2
sampai 5% dari pasien hanya T3 yang meningkat (T3 toksikosis). Bila TSH
subnormal dan FT4 normal perlu diperiksa FT3 untuk membedakan T3 toksikosis
dari hipertiroidisme subklinis. Pemeriksaan auto antibodi tiroid membantu untuk
membedakan penyakit Graves dengan penyebab hipertiroidisme lainnya.
Pathogenesis
Pada Graves’ disease, limfosit T disensitisasi terhadap antigen dalam kelenjar
tiroid dan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen-antigen
ini. Salah satu dari antibodi ini dapat merangsang reseptor TSH pada membrane sel
tiroid dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan fungsi dari
sel tiroid. Antibodi ini disebut dengan thyroid-stimulating antibody (TSAb) atau TSI.
Adanya antibodi dalam darah berkorelasi positif dengan penyakit aktif dari penyakit
ini namun tidak jelas apa yang mencetuskan episode akut dari penyakit ini. Beberapa
faktor yang mendorong respon imun pada penyakit Graves adalah kehamilan
(terutama masa postpartum), kelebihan iodida, interferon alfa, infeksi bakterial atau
viral, dan stress psikologis.
Patogenesis oftalmologi mungkin melibatkan limfosit sitotoksik dan antibodi
sitotoksik yang tersensitisasi oleh antigen yang ada pada fibroblast orbita, otot orbita,
dan jaringan tiroid. Sitokin yang berasal dari limfosit tersensitisasi ini dapat
menyebabkan peradangan fibroblas orbita dan miositis orbita yang akan berakibat
pada pembengkakan otot-otot orbita, proptosis bola mata, dan diplopia. Akibat lain
yang terlihat adalah kemerahan, kongesti, dan edema konjungtiva beserta periorbita.
Komplikasi
Krisis tirotoksikosis (“thyroid storm”) merupakan eksaserbasi akut dari semua
gejalan dan tanda tirotoksikosis, seringkali membahayakan jiwa. Terkadang, thyroid
storm dapat muncul dalam bentuk ringan, hanya dengan reaksi febril yang tidak
terjelaskan setelah operasi tiroid pada pasien yang pre operasinya tidak dipersiapkan
dengan baik. Lebih sering, thyroid storm muncul dalam bentuk parah setelah operasi,
terapi radioaktif iodine, atau parturisi pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak
terkontrol baik, atau selama penyakit parah (diabetes tidak terkontrol, trauma, infeksi
akut, reaksi obat parah, infarksi miokardial).
Manifestasi klinis dari thyroid storm adalah hipermetabolisme yang signifikan
dan respon adrenergik yang berlebihan. Demam berkisar antara 38-41oC dan
berhubungan dengan flushing dan berkeringat. Takikardia signifikan, seringkali
dengan atrial fibrilasi dan pulse pressure tinggi; terkadang terjadi gagal jantung.
Gejala CNS meliputi agitasi, gelisah, delirium, coma. Gejala GI meliputi mual,
muntah, diare, dan jaundice. Akibat fatalnya adalah gagal jantung dan syok.
Teori yang berkaitan dengan thyroid storm adalah dengan adanya peningkatan
binding sites untuk katekolamin, infeksi akut atau stress operasi dapat memicu
pelepasan banyak katekolamin, dan dihubungkan dengan tingginya level free T4 dan
T3, mempresipitasi kondisi akut tersebut.
Penatalaksanaan
3 Metode yang tersedia: terapi obat anti tiroid, pembedahan, dan terapi
radioaktif iodine. Selain itu ada juga terapi simptomatik.
a. Terapi simptomatik
Β-adrenergic blocker harus diberikan pada pasien usia lanjut dengan
symptomatic tirotoksikosis and kepada pasien tirotoksikosis lainnya dengan
HR istirahat melebihi 90 bpm atau adanya penyakit kardiovaskular.
d. Terapi pembedahan
Tiroidektomi subtotal atau total merupakan pilihan terapi bagi pasien
dengan ukuran kelenjar yang sangat besar atau multinodular goiter, pasien
yang alergi atau tidak taat berobat terhadap obat antitiroid, pasien yang
menolak terapi radioiodine, dan untuk wanita hamil dengan severe Graves’
disease yang alergi terhadap obat antitiroid. Pasien dipersiapkan dengan obat
anti tiroid sampai eutiroid (sekitar 6 minggu). Lalu 2 minggu sebelum operasi,
pasien dapat diberikan saturated solution of potassium iodide, 5 tetes 2 kali
sehari. Regimen ini dianggap dapat menurunkan vaskularisasi kelenjar dan
untuk memudahkan operasi.
Alasan pemilihan: kompresi simptomatik atau goiter besar (≥80g);
uptake radioactive iodine yang relatfi rendah; saat malignansi tiroid dicurigai;
nodule besar nonfunctioning, photoprnic, atau hypofunctioning; wanita yang
merencanakan kehamilan < 4-6 bulan; bila TRAb tinggi; pasien dengan
moderate samapi severe active Graves ophtalmopathy.
Kontraindikasi: penyakit kardiopulmonari, end-stage cancer.
e. Terapi komplikasi
Harus digunakan terapi multimodal untuk pasien dengan thyrpid
storm, termasuk beta-adrenergic blockade, terapi obat antitiroid, inorganic
iodide, terapi kortikosteroid, pendinginan agresif dengan acetaminiphen dan
selimut pendingin, resusitasi volume, support respiratorum dan monitoring di
ICU.
Secara umum, perjalan Graves’ disease yang diobati dengan obat antitiroid
merupakan remisi dan eksaserbasi selama periode yang panjang, kecuali bila kelenjar
dihancurkan dengan operasi atau radioaktif iodine. Meski beberapa pasien eutiroid
selama periode yang lama setelah pengobatan obat antitiroid, setidaknya 25% akan
mengalami hipotiroidisme. Karena itu, follow-up seumur hidup di indikasikan untuk
semua pasien dengan Graves’ disease.
DAFTAR PUSTAKA