Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN GAWAT DARURAT

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KEJANG DEMAM

(FEBRIS KONVULSI)

DISUSUN OLEH : ANA AMALATU SOLIKHAH

NIM ; C1015036

PRODI SARJANA KEPERAWATAN DAN NERS

STIKES BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI

2018
TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38°C). Kondisi yang menyebabkan kejang demam antara lain : infeksi
yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis
(Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009)
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu mencapai >380C). kejang demam dapat terjadi karena proses intracranial maupun
ekstracranial. Kejang demam terjadi pada 2-4 % populasi anak berumur 6 bulan -5 tahun
(Nanda, Diagnosa Keperawatan, 2015-2017, edisi 10)
Kejang demam merupakkan gangguan transien pada anak yang terjadi bersamaan
dengan demam. Keadaan ini merupakan salah satu gangguan neurologic yang paling
sering dijumpai pada anak-anak dan menyerang sekitar 4% anak. Kebanyakan serangan
kejang terjadi setelah usia 6 bulan dan biasanya sebelum usia 3 tahun dengan peningkatan
frekuensi serangan pada anak-anak yang berusia kurang dari 18 bulan. Kejang demam
jarang terjadi setelah usia 5 tahun. (Dona L.Wong,2008)
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai
pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
diatas 38°C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak
adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. Insiden
terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun.
Hampir 8 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam.
Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki dari pada perempuaan. Hal tersebut
disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki (Judha & Rahil, 2011).
Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa kejang demam adalah
kenaikan suhu tubuh yang menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan
potensial listrik serebral yang berlebihan sehinga mengakibatkan renjatan berupa kejang.
B. PENYEBAB
Menurut Lumbantobing,2010 Faktor yang berperan dalam menyebabkan kejang demam:
1. Demam itu sendiri
2. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus terhadap otak).
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau
ensekalopati toksik sepintas.
6. Gabungan semua faktor tersebut di atas.
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu tubuh yang tinggi dan cepat yang disebabkan infeksi diluar susunan
saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut (OMA), bronkhitis, dan lain – lain.

C. TANDA DAN GEJALA


Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam,
berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, klonik, fokal,
atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti, anak tidak
memberi reaksi apapun sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun
dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti oleh hemiparesis
sementara (Hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.
Kejang unilateral yang lama diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang
yang berlangsung lama sering terjadi pada kejang demam yang pertama.
Durasi kejang bervariasi, dapat berlangsung beberapa menit sampai lebih dari 30
menit, tergantung pada jenis kejang demam tersebut. Sedangkan frekuensinya dapat
kurang dari 4 kali dalam 1 tahun sampai lebih dari 2 kali sehari. Pada kejang demam
kompleks, frekuensi dapat sampai lebih dari 4 kali sehari dan kejangnya berlangsung
lebih dari 30 menit.
Gejalanya berupa:
1. Demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang tejradi secara tiba-
tiba)
2. Pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-
anak yang mengalami kejang demam)
3. Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung
selama 10-20 detik)
4. Gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya
berlangsung selama 1-2 menit)
5. Lidah atau pipinya tergigit
6. Gigi atau rahangnya terkatup rapat
7. Inkontinensia (mengompol)
8. Gangguan pernafasan
9. Apneu (henti nafas)
10. Kulitnya kebiruan
11. Setelah mengalami kejang, biasanya akan kembali sadar dalam waktu beberapa
menit atau tertidur selama 1 jam atau lebih
12. Terjadi amnesia (tidak ingat apa yang telah terjadi)-sakit kepala
13. Mengantuk
14. Linglung (sementara dan sifatnya ringan)
D. PATOFISIOLOGI
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi di pecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid
dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit
lainya kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi ion kalium dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi natrium rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat
perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran di perlukan energi dan bantuan enzim NA-K
ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan konsentrasi
ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme,
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri
karena penyakit atau keturunan.Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.Oleh karena itu kenaikan suhu
tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan
listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi
kejang. Kejang demam yang berlangsung lama biasanya disertai apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi
hiposemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi,
artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang
disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak
meningkat (Judha & Rahil, 2011).
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis media
akut, bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang
dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh melalui hematogen
maupun limfogen. Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus
dengan menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuh mengalami
bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di hipotalamus akan merangsang
kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan
kontraksi otot. Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan
disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin. Pengeluaran
mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron .
Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion natrium, ion
kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa inilah yang diduga
dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang.
Serangan cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan kesadaran, otot
ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma sehingga anak beresiko
terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh penutupan lidah dan spasma bronkus
(Price, 2005).

E. PATHWAYS
Sel host inflamasi

Pusat thermoregulator

Meningkatkan thermostas

Perubahan fisiologi dan tingkah laku

Proses peradangan Suhu meningkat

Demam hipertermi Evaporasi (keringat )

Mengubah keseimbangan ganguan pemenuhan cairan


Membrane sel neuron
Dehidrasi
Melepaskan muatan listrik
Yang besar
Volume cairan kurang
dari kebutuhan tubuh
Keajang

Cemas

Kurang pengetahuan
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektro encephalograft (EEG)
Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai prognostik. EEG abnormal
tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang
demam yang berulang dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak lagi
dianjurkan untuk pasien kejang demam yang sederhana. Pemeriksaan laboratorium
rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi.
2. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya meningitis,
terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi yang masih kecil
seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga harus dilakukan lumbal pungsi pada
bayi yang berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur kurang
dari 18 bulan.
3. Darah
a. Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
b. BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
4. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi,
pendarahan penyebab kejang.
5. Skull Ray :Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
6. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka
(di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.
G. PENATALAKSANAAN
Menurut, Judha & Rahil (2011)
1. Pengobatan
a. Pengobatan fase akut
Obat yang paling cepat menghentikan kejang demam adalah diazepam yang
diberikan melalui interavena atau indra vectal.
Dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis IV (perlahan-lahan).
Bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosis yang sama setelah 20
menit.
b. Turunkan panas
Anti piretika : parasetamol / salisilat 10 mg/kg/dosis.
Kompres air PAM / Os
c. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebro spiral dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama,
walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada
kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila aga gejala meningitis atau
bila kejang demam berlangsung lama.
d. Pengobatan profilaksis
Pengobatan ini ada dalam cara : profilaksis intermitten / saat demam dan
profilaksis terus menerus dengan antikanulsa setiap hari. Untuk profilaksis
intermitten diberikan diazepim secara oral dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/hgBB/hari.
e. Penanganan sportif
1) Bebaskan jalan napas
2) Beri zat asam
3) Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit
4) Pertahankan tekanan darah
2. Pencegahan
a. Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana. Beri diazepam
dan antipiretika pada penyakit-penyakit yang disertai demam.
b. Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata
Dapat digunakan :
– Fero barbital : 5-7 mg/kg/24 jam dibagi 3 dosis
– Fenitorri : 2-8 mg/kg/24 jam dibagi 2-3 dosis
– Klonazepam : (indikasi khusus)
Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), menyatakan bahwa
penatalaksanaan yang dilakukan saat pasien dirumah sakit antara lain:
1. Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara perlahan
dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg dosisnya 0,5-
0,75 mg/kg BB, diatas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis ratarata yang diberikan adalah
0,3 mg/kg BB/ kali pemberian dengan maksimal dosis pemberian 5 mg pada anak
kurang dari 5 tahun dan maksimal 10 mg pada anak yang berumur lebih dari 5
tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg persuntikan. Setelah pemberian
pertama diberikan masih timbul kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi
diazepam secara intravena dengan dosis yang sama. Apabila masih kejang maka
ditunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis
yang sama secara intramuskuler.
2. Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi miring,
pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik dapat dilakukan
intubasi endotrakeal atau trakeostomi.
3. Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
4. Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan dalam
pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena pemantauan intake
dan output cairan selama 24 jam perlu dilakukan, karena pada penderita yang
beresiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat
memperberat penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan
peningkatan intraklanial juga pemberian cairan yang mengandung natrium perlu
dihindari.
5. Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan metode konduksi
yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu tubuh) ke benda yang
mempunyai derajat yang lebih rendah (kain kompres). Kompres diletakkan pada
jaringan penghantar panas yang banyak seperti kelenjar limfe di ketiak, leher,
lipatan paha, serta area pembuluh darah yang besar seperti di leher. Tindakan ini
dapat dikombinasikan dengan pemberian antipiretik seperti prometazon 4- 6
mg/kg BB/hari (terbagi dalam 3 kali pemberian).
6. Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan obat-
obatan untuk mengurang edema otak seperti dektametason 0,5-1 ampul setiap 6
jam sampai keadaan membaik.Posisi kepala hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari
anggota tubuh yang lain dengan craa menaikan tempat tidur bagian kepala lebih
tinggi kurang kebih 15° (posisi tubuh pada garis lurus)
7. Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca pemberian
diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan dosis awal 30 mg pada
neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan1tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun
keatas dengan tehnik pemberian intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan
fenobarbital dengan dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi dalam 2 kali
pemberian) hari berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang terbagi dalam 2 kali
pemberian.
8. Pengobatan penyebab. Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah
kenaikan suhu tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran pernapasan, tonsil
maka pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent, pemeriksaan penunjang
lain untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi
sangat perlu dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memilih jenis antibiotik
yang cocok diberikan pada pasien anak dengan kejang demam.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi pada kejang demam anak menurut Garna & Nataprawira (2005)
1. Epilepsi
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya
serangan yang bersifat spontan dan berkala. Bangkitan kejang yang terjadi pada
epilepsi kejang akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf
pusat.
2. Kerusakan jaringan otak Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang
aktif sewaktu kejang melepaskan glutamat yang mengikat resptor M Metyl D
Asparate (MMDA) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang
merusak sel neuoran secara irreversible.
3. Retardasi mental Dapat terjadi karena defisit neurologis pada demam neonatus.
4. Aspirasi Lidah jatuh kebelakang yang mengakibatkan obstruksi jalan napas. 5.
Asfiksia Keadaan dimana bayi saat lahir tidak dapat bernafas secra spontan atau
teratur.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien dengan kejang demam menurut Greenberg (1980 :
122 – 128), Paula Krisanty (2008 : 223) :
1. Riwayat Kesehatan :
a. Saat terjadinya demam : keluhan sakit kepala, sering menangis, muntah atau
diare, nyeri batuk, sulit mengeluarkan dahak, sulit makan, tidak tidur
nyenyak. Tanyakan intake atau output cairan, suhu tubuh meningkat, obat
yang dikonsumsi
b. Adanya riwayat kejang demam pada pasien dan keluarga
c. Adanya riwayat infeksi seperti saluran pernafasan atis, OMA, pneumonia,
gastroenteriks, Faringiks, brontrope, umoria, morbilivarisela dan campak.
d. Adanya riwayat trauma kepala

2. Pengkajian fisik
Pada kasus kejang demam yang biasanya dikaji adalah :
A : Airway ( jalan nafas ) karena pada kasus kejang demam Inpuls-inpuls radang
dihantarkan ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu
tubuh Hipotalamus menginterpretasikan impuls menjadi demam Demam yang
terlalu tinggi merangsang kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan , sehingga
jaringan otak tidak dapat lagi mengkoordinasi persyarafan-persyarafan pada
anggota gerak tubuh. wajah yang membiru, lengan dan kakinya tesentak-sentak tak
terkendali selama beberapa waktu. Gejala ini hanya berlangsung beberapa detik,
tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat membahayakan keselamatan anak balita.
Akibat langsung yang timbul apabila terjadi kejang demam adalah gerakan mulut
dan lidah tidak terkontrol. Lidah dapat seketika tergigit, dan atau berbalik arah lalu
menyumbat saluran pernapasan.
Tindakan yang dilakukan :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
Evaluasi :
- Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
- Jalan nafas bersih dari sumbatan
- RR dalam batas normal
- Suara nafas vesikuler

B : Breathing (pola nafas) karena pada kejang yang berlangsung lama


misalnya lebih 15 menit biasanya disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan O2 dan
energi meningkat untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan
menimbulkan terjadinya asidosis.
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan
kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan
ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi
melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga
berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
Evaluasi :
- RR dalam batas normal
- Tidak terjadi asfiksia
- Tidak terjadi hipoxia
C : Circulation karena gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia
sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis
diotak hingga terjadi epilepsi.
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan
kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan
ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi
melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga
berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
Evaluasi :
- Tidak terjadi gangguan peredaran darah
- Tidak terjadi hipoxia
- Tidak terjadi kejang
- RR dalam batas normal

Selain ABC, yang biasa dikaji antara lain :


a. Tanda-tanda vital
b. Status hidrasi
c. Aktivitas yang masih dapat dilakukan
d. Adanya peningkatan : suhu tubuh, nadi, dan pernafasan, kulit teraba hangat
e. Ditemukan adanya anoreksia, mual, muntah dan penurunan berat badan
f. Adanya kelemahan dan keletihan
g. Adanya kejang
h. Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan adanya peningkatan kalium,
jumlah cairan cerebrospiral meningkat dan berwarna kuning

3. Riwayat Psikososial atau Perkembangan


a. Tingkat perkembangan anak terganggu
b. Adanya kekerasan penggunaan obat – obatan seperti obat penurun panas
c. Akibat hospitalisasi
d. Penerimaan klien dan keluarga terhadap penyakit
e. Hubungan dengan teman sebaya
4. Pengetahuan keluarga
a. Tingkatkan pengetahuan keluarga yang kurang
b. Keluarga kurang mengetahui tanda dan gejala kejang demam
c. Ketidakmampuan keluarga dalam mengontrol suhu tubuh
d. Keterbatasan menerima keadaan penyakitnya
5. Pemeriksaan Penunjang (yang dilakukan) :
a. Fungsi lumbal
b. Laboratorium : pemeriksaan darah rutin, kultur urin dan kultur darah
c. Bila perlu : CT-scan dan EEG

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doengoes, dkk (1999 : 876), Angram (1999 : 629 – 630), carpenito
(2000 : 132) dan Krisanty P., dkk (2008 : 224) diagnosa yang mungkin muncul pada
pasien dengan kejang demam :
1. Resiko terhadap cidera b.d aktivitas kejang
2. Defisit volume cairan bd kondisi demam
3. Hipertermia bd efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus
4. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif bd reduksi aliran darah ke otak
5. Kurang pengetahuan orang tua tentang kondisi, prognosis, penatalaksanaan dan
kebutuhan pengobatan bd kurangnya informasi

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. DX 1 : Resiko terhadap cidera b.d aktivitas kejang
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama poroses keperawatan
diharapkan resiko cidera dapat di hindari, dengan kriteria hasil :
NOC : Pengendalian Resiko
a. Pengetahuan tentang resiko
b. Monitor lingkungan yang dapat menjadi resiko
c. Monitor kemasan personal
d. Kembangkan strategi efektif pengendalian resiko
e. Penggunaan sumber daya masyarakat untuk pengendalian resiko
Indkator skala :
1 = tidak adekuat
2 = sedikit adekuat
3 = kadang-kadang adekuat
4 = adekuat
5 = sangat adekuat
NIC : mencegah jatuh
a. Identifikasi faktor kognitif atau psikis dari pasien yang dapat menjadiakn
potensial jatuh dalam setiap keadaan
b. Identifikasi karakteristik dari lingkungan yang dapat menjadikan potensial
jatuh
c. monitor cara berjalan, keseimbangan dan tingkat kelelahan dengan ambulasi
d. instruksikan pada pasien untuk memanggil asisten kalau mau bergerak
2. DX 2 : defisit volume cairan bd kondisi demam
Tujuan : devisit volume cairan teratasi, dengan kriteria hasil :
a. Turgor kulit membaik
b. Membran mukosa lembab
c. Fontanel rata
d. Nadi normal sesuai usia
e. Intake dan output seimbang

3. DX 3 : Hipertermi b.d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan suhu dalam rentang norma
NOC : Themoregulation
a. Suhu tubuh dalam rentang normal
b. Nadi dan RR dalam rentang normal
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak warna kulit dan tidak pusing
Indicator skala
1 : ekstrem
2 : berat
3 : sedang
4 : ringan
5 : tidak ada gangguan
NIC : Temperatur regulation
a. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
b. Rencanakan monitor suhu secara kontinyu
c. Monitor tanda –tanda hipertensi
d. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
e. Monitor nadi dan RR
4. DX 4 : Perfusi jaringan cerebral tidakefektif berhubungan dengan reduksi aliran
darah ke otak
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan suplai darah ke otak dapat kembali normal , dengan kriteria hasil :
NOC : status sirkulasi
a. TD sistolik dbn
b. TD diastole dbn
c. Kekuatan nadi dbn
d. Tekanan vena sentral dbn
e. Rata- rata TD dbn

Indicator skala :
1 = Ekstrem
2 = Berat
3 = Sedang
4 = Ringan
5 = tidak terganggu
NIC : monitor TTV:
a. monitor TD, nadi, suhu, respirasi rate
b. catat adanya fluktuasi TD
c. monitor jumlah dan irama jantung
d. monitor bunyi jantung
e. monitor TD pada saat klien berbarning, duduk, berdiri
NIC II : status neurologia
a. monitor tingkat kesadran
b. monitor tingkat orientasi
c. monitor status TTV
d. monitor GCS
5. DX 5 : Kurang pengetahuan orang tua tentang kondisi, prognosis, penatalaksanaan
dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan keluarga mengerti tentang kondisi
pasien
NOC : knowledge ; diease proses
a. Keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit kondisi prognosis dan
program pengobatan
b. Keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
c. Keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/ tim
kesehatan lainya

Indicator skala :
1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan

NIC : Teaching : diease process


a. Berikan penilaian tentang penyakit pengetahuan pasien tentang proses
penyakit yang spesifik
b. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan
dengan anatomi fisiologi dengan cara yang tepat
c. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan
cara yang tepat
DAFTAR PUSTAKA

Krisanty P,. Dkk (2008), Asuhan Keperawatan Gawat darurat, Trans info Media, Jakarta
Betz Cecily L, Sowden Linda A. ( 2002 ). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC

Sacharin Rosa M. ( 2002 ). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa : Maulanya R.F. Jakarta
: EGC

Ngastiyah ( 2003 ). Peerawatan Anak Sakit. Jakarta :EGC

Arjatmo ( 2004 ). Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta : Gaya barub

Arjatmo ( 2006 ). Kejang Pada Anak. WWW.Pediatrik.com/knal.php 4 november 2014.

Anda mungkin juga menyukai