Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PEDAHULUAN

CIDERA OTAK SEDANG (COS)

ANATOMI FISIOLOGI

Anatomi fisiologi

a. Otak
Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting karena merupkan pusat dari
semua bagian tubuh. Bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam rongga
tengkorak (kranium) dibungkus oleh selaput otak yang kuat (syaifuddin,
2003).
Serebrum terdiri dari dua hemisfer serebri, korpus kolosum dan korteks
serebri. Masing-masing hemisfer serebri terdiri dari lobus frontalis yang
merupakan area motorik primer yang bertanggung jawab untuk gerakan-
gerakan voluntar, lobur parietalis yang berperanan pada kegiatan memproses
dan mengintegrasi informasi sensorik yang lebih tinggi tingkatnya, lobus
temporalis yang merupakan area sensorik untuk impuls pendengaran dan
lobus oksipitalis yang mengandung korteks penglihatan primer, menerima
informasi penglihatan dan menyadari sensasi warna.
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh duramater
yang menyerupai atap tenda yaitu tentorium, yang memisahkannya dari
bagian posterior serebrum. Fungsi utamanya adalah sebagai pusat refleks
yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tonus
dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan sikap tubuh.
Bagian-bagian batang otak dari bawak ke atas adalah medula oblongata, pons
dan mesensefalon (otak tengah). Medula oblongata merupakan pusat refleks
yang penting untuk jantung, vasokonstriktor, pernafasan, bersin, batuk,
menelan, pengeluaran air liur dan muntah. Pons merupakan mata rantai
penghubung yang penting pada jaras kortikosereberalis yang menyatukan
hemisfer serebri dan serebelum. Mesensefalon merupakan bagian pendek dari
batang otak yang berisi aquedikus sylvius, beberapa traktus serabut saraf
asenden dan desenden dan pusat stimulus saraf pendengaran dan penglihatan.
Diensefalon di bagi empat wilayah yaitu talamus, subtalamus, epitalamus dan
hipotalamus. Talamus merupakan stasiun penerima dan pengintegrasi
subkortikal yang penting. Subtalamus fungsinya belum dapat dimengerti
sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus akan menimbulkan hemibalismus
yang ditandai dengan gerakan kaki atau tangan yang terhempas kuat pada satu
sisi tubuh. Epitalamus berperanan pada beberapa dorongan emosi dasar
seseorang. Hipotalamus berkaitan dengan pengaturan rangsangan dari sistem
susunan saraf otonom perifer yang menyertai ekspresi tingkah dan emosi.
(Sylvia A. Price, 2005).
b. Sirkulasi darah otak
Otak menerima 17 % curah jantung dan menggunakan 20 % konsumsi
oksigen total tubuh manusia untuk metabolisme aerobiknya. Otak diperdarahi
oleh dua pasang arteri yaitu arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Da
dalam rongga kranium, keempat arteri ini saling berhubungan dan
membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus Willisi.(Satyanegara, 2008).
Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteria karotis komunis
kira-kira setinggi rawan tiroidea. Arteri karotis interna masuk ke dalam
tengkorak dan bercabang kira-kira setinggi kiasma optikum, menjadi arteri
serebri anterior dan media. Arteri serebri anterior memberi suplai darah pada
struktur-struktur seperti nukleus kaudatus dan putamen basal ganglia, kapsula
interna, korpus kolosum dan bagian-bagian (terutama medial) lobus frontalis
dan parietalis serebri, termasuk korteks somestetik dan korteks motorik.
Arteri serebri media mensuplai darah untuk lobus temporalis, parietalis dan
frontalis korteks serebri.
Arteria vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang
sama. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum,
setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu
membentuk arteri basilaris, arteri basilaris terus berjalan sampai setinggi otak
tengah, dan di sini bercabang menjadi dua membentuk sepasang arteri serebri
posterior. Cabang-cabang sistem vertebrobasilaris ini jmemperdarahi medula
oblongata, pons, serebelum, otak tengah dan sebagian diensefalon. Arteri
serebri posterior dan cabang-cabangnya memperdarahi sebagian diensefalon,
sebagian lobus oksipitalis dan temporalis, aparatus koklearis dan organ-organ
vestibular. (Sylvia A. Price, 2005).
Darah di dalam jaringan kapiler otak akan dialirkan melalui venula-venula
(yang tidak mempunyai nama) ke vena serta di drainase ke sinus duramatris.
Dari sinus, melalui vena emisaria akan dialirkan ke vena-vena ekstrakranial.
(Satyanegara, 2008).

A. Definisi

Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang
mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany, 2015).
Cedera Kepala sedang adalah suatu trauma yang menyebabkan Kehilangan
kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam dapat
mengalami fraktur tengkorak dengan GCS 9-12.

Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau


penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta
rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Sylvia,2005).
B. Klasifikasi stroke

Cedera kepala Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,


keparahan dan morfologi cidera. ( Arif Mansjoer, 2000 ).

1. Mekanisme: berdasarkan adanya peterasi durameter

a. Trauma tumpul : kecepatan tinggi ( tabrakan otomobil )

Kecepatan rendah ( terjatuh,dipukul )

b. Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)

2. Keparahan cedera

a. Ringan : Skala koma Glasgow ( Glasgow Coma Scale, GCS ) 14-15

b. Sedang : GCS 9-13

c. Berat : GCS 3-8

3. Morfologi

a. Fraktur tulang tengkorak : kranium : linear / stelatum; depresi / non


depresi; terbuka / tertutup, basisi : dengan / tanpa kebocoran cairan
cerebrospinal, dengan / tanpa kelumpuhan nervus VII.

b. Lesi intra cranial : fokal : epidural, subdural, intra cerebral , difusi:


konkusi ringan, konkusi klasik, cidera aksonal difus.

( Arief Mansjoer, 2000 )

D. Etiologi
1) Trauma tumpul
 Kecepatan tinggi : tabrakan motor dan mobil
 Kecepatan rendah : terjatuh atau dipukul
2) Trauma tembus
luka tembus peluru dari cedera tembus lainnya
3) Jatuh dari ketinggian
4) Cedera akibat kekerasan
5) Cedera otak primer
Adanya kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari
trauma. Dapat terjadi memar otak dan laserasi
6) Cedera otak sekunder
Kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia metabolisme,
fisiologi yang timbul setelah trauma.
(Mansjoer, 2003).

E. Patofisiologi

Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak,

cairan serebro-spinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas.

Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen

magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer serebral

dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium Fenomena

otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila

tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser

kekanan pada pasien hipertensi dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO

berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak

dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu

pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan

darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau

hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien sebelumcedera). Kompensasi atas

terbentuknya lessi intrakranial adalah digesernya CSS dan darah vena hingga

batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intracranial akan naik secara

tajam.
Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat

diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan intrakranial meningkat.

Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang meninggikan TIK seperti

batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi

atau pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut

nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan

hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif,

pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya

fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi

lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir kegagalan

otak adalah iskemia. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian

TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri. Edema otak

yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang berakibat

gangguan yang berakibat memperberat edema sehingga merupakan lingkaran

setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus ditindak. Triad klasik nyeri kepala,

edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga pasien. Sisanya hanya dua

gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil, namun

memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih banyak

tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi konsisten

antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala.Penurunan kesadaran adalah ciri

cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu cedera korteks bilateral serta cedar

pada sistem pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian TIK dan

penurunan ADO dapat menurunkan tingkat kesadaran (Sylvia,2005).

F. Manifestasi klinis
1) Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak.
 Trauma kepala tertutup
 Trauma kepala terbuka

2) Trauma pada jaringan otak


 Konkosio : di tandai adanya kehilangan kesadaran sementara tanpa
adanya kerusakan jaringan otak, terjadi edema serebral.
 Kontosio : di tandai oleh adanya perlukaan pada permukaan jaringan
otak yang menyebabkan perdarahan pada area yang terluka, perlukaan
pada permukaan jaringan otak ini dapat terjadi pada sisi yang terkena (
coup) atau pada permukaan sisi yang berlawanan (contra coup).
 Laserasi : ditandai oleh adanya perdarahan ke ruang subaraknoid, ruang
epidural atau subdural.Perdarahan yang berasal dari vena menyebabkan
lambatnya pembentukan hematome, karena rendahnya tekanan.
Laserasi arterial ditandai oleh pembentukan hematome yang cepat
karena tingginya tekanan.
3) Hematom epidural.
 Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater.
 Lokasi tersering temporal dan frontal.
 Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus.
 Katagori talk and die.
 Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang).
 Penurunan kesadaran ringan saat kejadian —– periode Lucid (beberapa
menit – beberapa jam) —- penurunan kesadaran hebat — koma,
deserebrasi, dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek
patologik positip.
4) Hematom subdural.
 Perdarahan antara duramater dan arachnoid.
 Biasanya pecah vena — akut, sub akut, kronis.
 Akut :
- Gejala 24 – 48 jam.
- Sering berhubungan dnegan cidera otak & medulla oblongata.
- PTIK meningkat.
- Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat.
 Sub Akut :
- Berkembang 7 – 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejal TIK
meningkat
- Kesadaran menurun.
 Kronis :
- Ringan , 2 minggu – 3 – 4 bulan.
- Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas.
- Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia.
5) Hematom intrakranial.
 Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih, diikuti oleh kontosio.
 Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi –
deselerasi mendadak.
 Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema lokal.

G.Pemeriksaan penunjang
1) CT-Scan (dengan/ tanpa kontras)
Mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler,
pergeseran jaringan otak.
2) Aniografi Cerebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan, trauma
3) X-Ray
Mengidentifikasi atau mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),
perubahan struktur garis (perdarahan/ edema)
4) AGD (Analisa Gas Darah)
Mendeteksi ventilasi atau masalah pernapsan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan intracranial
5) Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat peningkatan
tekanan intracranial
H. Penatalaksanaan
Pedoman Resusitasi dan penilaian awal

a. Menilai jalan nafas: bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan
dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir, jika
cedera orofasial mengganggu jalan nafas, bila pasien harus diintubasi.
b. Menilai penafasan: tentukan apakah pasien bernafas sepontan atau tidak.
Jika tidak beri oksigen melalui masker oksigen Jika pasien bernafas
spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks,
pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks.Pasang oksimeter nadi,jika
tersedia, dengan tujuan menjaga satutasi oksigen minimum 95%. Jika jalan
nafas pasien tidak terlindungi bahkan terancam atau memperoleh oksigen
yang adekuat ( PaO2 > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi
O2 > 95 % ) atau muntah maka pasien harus diintubasi oleh ahli anestesi.
c. Menilai sirkulasi: Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan
semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus
adanya cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia.
Pasang alur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan
darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah
arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid ( dekstrosa atau
dekstrosa dalam salin ) menimbulkan eksaserbasi edema otak pascacedera
kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia memperburuk cedera
kepala.
d. Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan
harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-
lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak
berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberika intravena perlahan-
lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
e. Menilai tingkat keparahan

1. Cedera kepala sedang ( kelompok resiko sedang )

a. Skor skala koma Glasgow 9-14 ( konfusi, latergi, atau stupor )


b. Konkusi ( tidak terjadi kerusakan struktural )
c. Amnesia pasca-trauma
d. Muntah
e. Tanda kemungkinan fraktur kranium ( tanda Battle, hemotimpanum,
otorea ( keluar cairan dari telinga ) atau rinorea ( keluar cairan dari
hidung )
f. Kejang
Penatalaksanaan Khusus
Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio),
dengan skala koma Glasgow 15 ( sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti
perintah ) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat
dipulangkan untuk observasi dirumah. meskipun terdapat nyeri kepala, mual,
muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang
bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
1) Cedera kepala berat: setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital
keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi
bedah saraf segera ( hematoma intracranial yang berat ). Jika ada indikasi,
harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi.
Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan diunit rawat
intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan
primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak
sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intracranial yang
meningkat.
a. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya, pasien dengan
stupor atau koma ( tidak dapat mengikuti perintah karena derajat
kesadaran menurun ) harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas. Jika
tidak ada bukti tekanan intrakranial meninggi, parameter ventilasi harus
diatur sampai pCO2 40 mmHg dan pO2 90-100 mmHg.
b. Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan
hemodinamik ( hipotensi atau hipertensi ), pemantauan paling baik
dilakukan dengan keteter arteri. Karena autoregulasi sering terganggu
pada cedera kepal akut, maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan
untuk menghindarkan hipotensi ( < 70 mmHg ) hipertensi ( > 130 mmHg
). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan hipertensi
dapat mengeksaserbasi serebri.
c. Pemasangan alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan skor
GCS < 8, bila memungkinkan
d. Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis ( salin normal atau Ringer
laktat ) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air
bebas tambahan dalam salain 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air
(D5W) dalam menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
e. Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100 % lebih tinggi dari normal.
Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal
harus diberikan sesegera mungkin ( biasanya hari ke 2 perawatan )
f. Temperatur badan: demam ( temperature > 101 derajat F )
mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan
asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab ( antibiotik )
diberikan bila perlu.
g. Anti kejang: fenitoin 15-20 mgkg BB bolus intravena, kemudian 300
mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini (
minggu pertama ) dari 14 % menjadi 4 % pada pasien dengan
perdarahan intracranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah
timbulnya epilepsi pascatrauma dikemudian hari. Jika pasien tidak
menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar
fenitoin harus dipantau ketat karean kadar subtrapi sering disebabkan
hipermetabolisme fenitoin.
h. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan
cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia, dan
komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan
terahir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg interavena setiap
4-6 jam selama 48-72 jam ).
i. Profilaksis thrombosis vena dalam: sepatu bot komprensif pneumatic
dipakai pada pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya
thrombosis vena dalam pada ekstremitas bawah dan resiko yang
berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5.000 unit subkutan setiap
12 jam dapat deberikan setelah cedera kepala pasien dengan imobilisasi
lama, bahkan dengan adanya perdarahan intracranial.( Arif Mansjoer,
2000 ).
I. Komplikasi
a. Edema Pulmonalis
Komplikasi paru-paru yang serius pada cedera kepala adalah edema
paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat
dari sindrom distress pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari
cedera otak yang menyebabkan adanya Refleks Cusihing. Peningkatan pada
tekanan darah simtemik terjadi sebagai respons dari system saraf simpatis
pada peningkatan TIK.
b. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut.
Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat. Diazepam
merupakan obat yang paling banyak dipergunakan dan diberikan secara
perlahan melalui intravena.
c. Kebocoran Cairan Serebrospinal
Hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan
fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dari telinga atau hidung.
Hal ini dapat akibat dari fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau
dari fraktur tengkorak basilar bagian petrous dari tulang temporal. (
Hudak,1996 )
J. Pemeriksaan Saraf Kranial
1. Fungsi saraf kranial I (N. Olfaktorius)
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih.
Lakukan pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan
dekatkan bau-bauan seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta
menebak bau tersebut. Lakukan untuk lubang hidung yang satunya.
2. Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
a. Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum
pemeriksaan. Periksa ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak baca
atau menggunakan snellenchart untuk jarak jauh.
b. Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm,
minta untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah
mata dengan mata yang berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda
yang berasal dari arah luar klien dank lien diminta , mengucapkan ya bila
pertama melihat benda tersebut. Ulangi pemeriksaan yang sama dengan
mata yang sebelahnya. Ukur berapa derajat kemampuan klien saat
pertama kali melihat objek. Gunakan opthalmoskop untuk melihat fundus
dan optic disk (warna dan bentuk)
3. Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan Abdusen)
a. Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi
konjungtiva, dan ptosis kelopak mata
b. Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya
perdarahan pupil
c. Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi
cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral
bawah. Minta klien mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan
bolamatanya

4. Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)


a. Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah
maxilla, mandibula dan frontal dengan mengguanakan kapas. Minta
klien mengucapkan ya bila merasakan sentuhan, lakukan kanan dan
kiri.
b. Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau
peniti di ketiga area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan
tumpul.
c. Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan
diketiga area wajah tersebut. Minta klien menyebabkanutkan area mana
yang merasakan sentuhan. Jangan lupa mata klien ditutup sebelum
pemeriksaan.
d. Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan
garputala yang digetarkan dan disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi
dan minta klien mengatakan getaran tersebut terasa atau tidak
e. Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat
lurus ke depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah
mata dan lihat refleks menutup mata.
f. Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi
periksa otot maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan
ototnya, minta klien melakukan gerakan mengunyah dan lihat
kesimetrisan gerakan mandibula.
5. Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)
a. Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan
sentuhkan ke ujung lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi
untuk gula dan asam
b. Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat
kedua alis berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan
kanan dan kiri. Periksa kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta
klien memejampan mata kuat-kuat dan coba untuk membukanya, minta
pula klien utnuk menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari.

6. Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)


a. cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran mengguanakan
weber test dan rhinne test
b. Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien berdiri
tegak, kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu observasi adanya
ayunan tubuh, minta klien menutup mata tanpa mengubah posisi, lihat apakah
klien dapat mempertahankan posisi
7. Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)
a. Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum, normal
bila uvula terletak di tengan dan palatum sedikit terangkat.
b. Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring
menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring.
c. Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menel;an air
sedikit, observasi gerakan meelan dan kesulitan menelan. Periksa
getaran pita suara saat klien berbicara.
8. Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)
a. Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua
bahu secara bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.
b. Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien
menoleh ke kanan dan ke kiri, minta klien mendekatkan telinga ke bahu
kanan dan kiri bergantian tanpa mengangkat bahu lalu observasi
rentang pergerakan sendi
c. Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien
dengan kedua telapak tangan danminta klien mendorong telapak tangan
pemeriksa sekuat-kuatnya ke atas, perhatikan kekuatan daya dorong.
d. Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien
untuk menoleh kesatu sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa,
perhatikan kekuatan daya dorong
9. Fungsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
a. Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah ke kiri dan ke kanan,
observasi kesimetrisan gerakan lidah
Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu
pipi dengan ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah,
dorong kedua pipi dengan kedua jari, observasi kekuatan lidah, ulangi
pemeriksaan sisi yang lain
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

A. Pengkajian (Assesment)

1) Anamnesis
Anamnesis pada Cidera otak sedang meliputi identitas klien, keluhan
utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit
keluarga dan pengkajian psikososial.
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal
dan jam MRS, no register dan diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Sering kali menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan adalahpasien tidak tersadarkan diri, terjadi perdarahan,
tidak dapat berkomonikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
merupakan rangkaian kejadianmulai dari terjadinya trauma sehingga
klien masuk rumah sakit. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala perdarahan
atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau
perubaha pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan didalam
intrakranial. Keluhan perubahan prilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, terjdi letargi, tidak resporsif dan koma.
d. Penyakit Dahulu
Adanya riwayat hiprtensi, riwayat strok sebelumnya, diabetes
meletus, penykit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi
oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian
obat anti hipertensi, anti lepedemia, penghambat beta, dan lainnya.
Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat
kontrasepsi oral. Penyakit riwayat ini dapat mendukung pengkajian
dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk
mengkaji lebih jauh dan untuk memberika tindakan selanjutnya.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Meliputi susunan anggota keluarga khususnya yang kemungkinan
biasa berpengaruh pada kesehatan anggota keluarga yang lain.
B.Pemeriksaan Fisik :
1) pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan secara sistematik
yaitu : inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi
a. Keadaan Umum
Meliputi tanda-tanda vital, BB/TB,
b. Kesadaran
Skala Koma Glasgow ( Glasgow Coma Scale, GCS )
1. Respon membuka mata ( E )
a. Membuka mata dengan spontan ( 4 )
b. Membuka mata dengan perintah ( 3 )
c. Membuka mat dengan rangsangan nyeri ( 2 )
d. Tidak reaksi reaksi apapun ( 1 )
2. Respon motorik ( M )
a. mengikuti perintah ( 6 )
b. melokalisir nyeri ( 5 )
c. menghindar nyeri ( 4 )
d. fleksi abnormal ( 3 )
e. ekstensi abnormal ( 2 )
f. Tidak ada reaksi apapun ( 1 )
3. Respon verbal ( V )
a. orientasi baik dan sesuai ( 5 )
b. disorienasi tempat dan waktu ( 4 )
c. bicara kacau ( 3 )
d. mengerang ( 2 )
e. tidak ada reaksi papaun ( 1 )
2) Pemeriksaan head to toe
1. Kepala dan rambut
Dikaji bentuk kepala, kesemetrisan, keadaan kulit kepala
2. Wajah
Struktur wajah, warna kulit, ekspresi
3. Mata
Bentuk bola mata,ada tidaknya gerakan kelainan pada bola mata
4. Hidung
Kesemetrisan, kebersihan
5. Telinga
Kesemtrisan, kebersihan dan tidaknya kelainan fungsi pendengaran
6. Mulut dan bibir
Kesemetrisan bibir, kelembaban, mukosa, kebersihan mulut.
7. Gigi
Jumlah gigi lengkap atau tidak, kebersihan, ada tidaknya peradangan pada
gusi, ada tidaknya caries.
8. Leher
Posisi trakea ( deviasi trachea ), ada tidaknya pembesaran kelenjar tiroid
atau vena jugularis.
9. Integumen
Meliputi warna, kebersihan, turgor, tekstur kulit, dan kelembaban,
perubahan bentuk dan warna pada kulit.
10. Thorax
Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya suara redup pada perkusi,
kesemetrisan ekspansi dada, ada tidaknya suara ronchi dan whezzing.
11. Abdomen
Ada tidaknya distensi abdomen. Asites, nyeri tekan
12 .Ektremitas atas dan bawah
Kesemetrisannya, ada tidaknya oedema, pergerakan dan tonus otot, serta
kebersihan
C. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan aliran darah sekunder
akibat hipertensi
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh akibat penurunan
asupan oral
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot sekunder akibat
SNH
4. Hambatan mobilisasi fisik berhubungan dengan kelemahan otot-otot
sekunder

D. Intervensi
1) Gangguan perfusi jaringan serebral
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam
diharapkan perfusi jaringan serebral membaik dengan skala sbb:
1. Berat 4. Ringan
2. Besar 5. Tidak ada
3. Sedang
No Outcome 1 2 3 4 5

1 Sakit kepala

2 Kegelisahan

3 Penurunan tingkat kesadaran

4 Refles saraf terganggu

5 Keadaan pingsan

6 Demam

Intervensi :
1. Aktifkan sistem medis darurat
2. Evaluasi setiap pasien yang tidak berespons untuk menentukan
tindakan yang tepat
3. Periksa tanda dan gejala serangan jantung
4. Lakukan tindakan pencegahan untuk mengurangi risiko infeksi saat
memberikan perawatan
5. Pastikan defribilasi cepat yang sesuai
2. Ketidakefektifan pola nafas b.d menurunnya ekspansi paru
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam status
pernafasan baik yang ditunjukkan dengan skala, sebagai berikut:
1. Deviasi berat dari kisaran normal
2. Deviasi yang cukup besar dari kisaran normal
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
5. Tidak ada deviasi ringan dari kisaran normal

Indikator
No. 1 2 3 4 5

1. Frekuensi pernafasan

2. Irama pernafasan

3. Kepatenan jalan nafas

4. Saturasi oksigen

5. Suara auskultasi nafas

Intervensi
1. Penghisapan lendir pada jalan nafas
a. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah tindakan
b. Masukkan nasopharyngeal airway untuk melakukan suction
nasotracheal sesuai kebutuhan

c. Instruksikan kepada pasien untuk menarik nafas sebelum tindakan

2. Menejemen jalan nafas buatan


a. Memberikan OPA
b. Memberikan kelembaban 100% pada udara, oksigen atau gas yang
dihisap
c. Lakukan fisioterapi dada jika diperlukan

3. Terapi oksigen
a. Bersihkan mulut, hidung dan sekresi trakea dengan tepat
b. Pertahankan kepatenan jalan nafas
c. Konsultasi dengan tenaga kesehatan lain mengenai penggunaan
oksigen tambahan.

2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam
diharapkan status nutrisi terpenuhi dengan skala sbb:
Status nutrisi: 1= sangat menyimpang dari rentang normal
2= banyak emnyimpang dari rentang normal
3= cukup menyimpang dari rentang normal
4= sedikit menyimpang dari rentang normal
5= tidak menyimpang dari rentang normal
No Outcome 1 2 3 4 5

1 Asupan gizi

2 Asupan makanan

3 Asupan cairan

4 Energi

5 Rasio berat badan/tinggi bedan

6 Hidrasi

Intervensi:
1. Manajemen nutrisi
a. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan (pasien) untuk
memenuhi kebutuhan gizi
b. Identifikasi adanya alergi atau intoleransi mkanan yang
dimiliki pasien
c. Instruksikan pasien mengenai kebutuhan nutrisi
d. Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat mengkonsumsi
makan
2. Manajemen energi
a. Kaji status fisiologis pasien yang menyebabkan kelelahan
sesuai dengan konteks usia dan perkembangan
b. Anjurkan pasien mengungkapkan perasaan secara verbal
mengenai keterbatasan yang dialami
c. Gunakan instrumen yang valid untuk mengukur kelelahan
d. Pilih intervensi untuk mengurangi kelelahan baik secara
farmakologis maupun non farmakologis dengan tepat
e. Monitor intake/asupan nutrisi untuk emgetahui sumber energi
yang adekuat.
3. Terapi intravena
a. Verifikasi perintah untuk terapi
b. Instruksikan pasien tentang prosedur
c. Jaga teknik aseptik dengan ketat
d. Lakukan prinsip lima benar sebelum memulai infus atau
pemberian pengobatan
e. Monitor tanda vital
3) Hambatan Mobilitas Fisik
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam
diharapkan hambatan mobilitas fisik dapat berkurang yang ditunjukkan
dengan skala nyeri sbb:
Pergerakan: 1= sangat terganggu
2= banyak terganggu
3= cukup terganggu
4= sedikit terganggu
5= tidak terganggu
No Outcome 1 2 3 4 5

1 Cara Berjalan

2 Geraakan Otot

3 Gerakan sendi

4 Berjalan

5 Bergerak dengan mudah

Intervensi :
1. Peningkatan Latihan
a. Lakukan sceening kesehatan sebelum memulai latihan untuk
mengidentifikasi resiko dengan menggunakan skala kesiapan
latihan fisik terstandart
b. Bantu pasien dalam mengekspresikan nilai kepercayaan dan
tujuannya dalam melakukan latihan otot
c. Memberikan informasi tentang jenis latihan yang bisa
dilakukan (ROM Aktif maupun ROM pasif)
d. Intruksikan untuk menggunakan pakaian yang dapat mencegah
kepanasan (pakaian yang ketat)
e. Bantu mengembangkan cara untuk meminimalkan efek
prosedur, emosi, tingkah laku, finansial atau hambatan,
kenyamanan terhadap latihan kekuatan otot
2. Terapi Latihan Ambulasi
a. Berikan pasien untuk mengenakan pakaian yang tidak
mengekam
b. Bantu pasien untuk menggunakan alas kaki yang
mengfaslilitasi pasien untuk berjalan dan mencegah cedera.
c. Bantu pasien untuk duduk disisi tempat tidur untuk
memfalitasi penyesuaian sikap tubuh
d. Konsultasikan pada tim ahli fisik mengenai rencana
ambulasi sesuai kebutuhan
4.hambatan komunikasi verbal
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam
diharapkan gangguan komunikasi verbal dapat diatasi yang
ditunjukkan dengan skala sbb:
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
No Outcome 1 2 3 4 5

1 Menggunakn bahasa lisan

2 Menggunakan bahasa isyarat

3 Menggunakan bahasa non verbal

4 Mengenali pesan yang diterima

5 Menggunakan bahasa tertulis

Intervensi :
1. Terapi validasi
a. Tentukan tagap gangguan kognisi klien (missal, mal orientasi,
bingung waktu, pengulangan gerakanatau vegetasi)
b. Dengarkan pasien dengan menunjukan empati
c. Hindari menggunakan kata kata (prasaan)
d. Hindari bertanya “ mengapa”
e. Gunakan sentuhan yang mendukung(sentuhan lembut pada
bahu, lengan, atau tangan)
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, tutu april. 2014. Sistem Neurobehaviour. Jakarta: Salemba Medeka

Bulechek, Gloria M.; Butcher, Howard K.; Dochterman, Joanne M.; Wagner,
Cheryl M. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC) (Edisi 6).
Elsevier.

Moorhead, Sue; Johnson, Marion; Maas, Meridean L.; Swanson, Elizabeth. 2016.
Nursing Outcomes Classification (NOC) (Edisi 5). Elsevier.

Nurrarif, Amin Huda dan Kusuma Hardi. 2013. Nanda nic-noc jilid 2. Jakarta:
media Action

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses - Proses


Penyakit. Ed.6. EGC. Jakarta

Sylvia A. Price,Lorraine M. Wilson ( 2005 ).Patofisiologi,konsep klinis proses-


proses penyakit. EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai