Korupsi Komunikasi Dalam Dimensi Pesan M cb128c2f PDF
Korupsi Komunikasi Dalam Dimensi Pesan M cb128c2f PDF
Bambang Sukma Wijaya, Korupsi Komunikasi dalam Dimensi Pesan, Media, Konteks2087-8850
dan Perilaku
Abstrak
Dalam komunikasi, hak publik atau khalayak adalah menerima pesan yang disampaikan komunikator
secara utuh sesuai fakta, baik fakta normatif maupun fakta kontemplatif yang mengacu pada kaidah
kebenaran berdasarkan hati nurani dan tanggung jawab moral. Korupsi komunikasi adalah perbuatan
atau peristiwa dalam proses komunikasi yang mengurangi hak publik atau khalayak dalam menerima
pesan secara utuh dan benar sesuai fakta, baik fakta normatif maupun fakta kontemplatif dengan
memanfaatkan kekuasaan, kekuatan atau kewenangan yang dimiliki. Tulisan ini memaparkan dan
membahas berbagai dimensi koruptivitas komunikasi, baik dari dimensi pesan, media, konteks dan
perilaku yang kerap dijumpai di berbagai lingkup aktivitas komunikasi seperti komunikasi politik,
komunikasi pendidikan, komunikasi pemasaran, komunikasi korporat, komunikasi media massa, bahkan
dalam lingkup komunikasi antarpribadi. Untuk menggambarkan koruptivitas suatu komunikasi, maka
penulis menawarkan sebuah rumus Koruptivitas Komunikasi yang terdiri dari unsur-unsur N
(communication Needs) plus P (Power) pangkat O (Opportunity) kurang Ar (Audience right) yang
dikalikan dengan Cs (Conscience) plus R (moral Responsibility).
Abstract
In communication, public or audience right is, receiving the message from communicator as a whole fit
the facts, both normative fact or contemplative facts which refers to the rules of truth based on
conscience and moral responsibility. The corruption of communications is the act or event in the
communication process that reduces the public or audience rights (to receive the message fully and
correctly fit the facts) by leveraging the power or authority possessed. This paper describes and discusses
the various dimensions of the corruptiveness of communication, both the dimensions of message, media,
context and behavior that are often encountered in various spheres of communication activities such as
political communication, educational communication, marketing communications, corporate
communications, mass media communication, even in the sphere of interpersonal communication. To
illustrate the corruptiveness of an act or event of communication, the author offers a formula of the
corruptiveness of communications consisting of the elements: N (communication Needs) plus P (Power)
rank O (Opportunity) minus Ar (Audience rights) is multiplied by Cs (Conscience) plus R (moral
Responsibility).
Sementara itu, Heinzpeter Znoj dalam artikelnya untuk penggunaan pribadi, dan ‘menjual’
berjudul “Deep Corruption in Indonesia: Discourses, pengaruh. Tulisan ini lebih fokus pada salah satu
Practices, Histories”, menyebut istilah systemic bentuk korupsi yang jarang disentuh dalam
corruption untuk jenis korupsi di Indonesia. Znoj literatur maupun wacana publik, yakni korupsi
mendefinisikan systemic corruption sebagai a dalam bidang komunikasi dengan berbagai motif
disciplining and rewarding practice that confirms yang menyertainya.
the bureaucratic hierarchies (dalam Nuijten &
Anders, 2007: 53).
Korupsi dalam Komunikasi
Dalam tulisan ini, korupsi didefinisikan sebagai
tindakan mengurangi atau menghilangkan sebagian Komunikasi pada dasarnya adalah proses
maupun keseluruhan hak publik dengan penyampaian pesan. Pesan tersebut membawa
memanfaatkan kewenangan, kekuasaan dan muatan makna dari pengirim kepada penerima
kesempatan yang diberikan, untuk kepentingan melalui suatu medium tertentu. Makna tersebut
pribadi atau kelompok (Gardiner, 1993; Jain, 2001). ‘dibaca’ oleh penerima kemudian diresponi dalam
Hak publik dapat berupa hak kebenaran, hak bentuk tindakan komunikasi berikutnya. Jadi
kesejahteraan, hak suara, hak politik, hak ekonomi, komunikasi adalah proses berbagi dan menciptakan
hak keadilan, dan hak-hak lainnya baik dalam makna secara simultan melalui interaksi simbolik
konteks kewarganegaraan maupun kemanusiaan. manusia (Seiler & Beall, 2011). Komunikasi
merupakan proses sosial di mana individu-individu
Sementara itu, walaupun secara implisit di menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan
banyak literatur tentang korupsi kebanyakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan
memuat pandangan bahwa korupsi adalah mereka (West & Turner, 2007).
pelanggaran hukum, namun dalam kenyataannya
korupsi tidak selalu berkaitan dengan persoalan Sebagai sebuah proses, komunikasi bersifat
atau pelanggaran hukum. Hal ini disebabkan berkesinambungan, dinamis dan kompleks. Proses
korupsi secara mendasar lebih kepada persoalan penciptaan dan penginterpretasian makna
moralitas (Jain, 2001; Mishra, 2006). Korupsi juga berlangsung terus-menerus. Dalam proses
tidak selalu berkaitan dengan motif ekonomi. tersebut, makna pun dimanfaatkan sesuai
Seorang akademisi yang melakukan tindakan kebutuhan para pelaku komunikasi. Menurut Adler
plagiarism terhadap pekerjaan orang lain tidak & Proctor II (2011), kebutuhan akan komunikasi
melakukan suatu kejahatan atau termotivasi dapat berupa physical needs yang berkaitan dengan
karena ekonomi, namun lebih untuk meningkatkan kesehatan baik badan maupun jiwa, identity needs
status akademisnya, disebabkan dunia akademik yang berkaitan dengan pendefinisian dan
lebih kuat motif ‘status’-nya daripada motif untuk pengungkapan diri untuk membentuk suatu
mencari kekayaan (Neumas, 2005). identitas atau bayangan tertentu di benak orang
lain mengenai siapa diri kita, social needs yang
Dengan demikian ada begitu banyak bentuk berkaitan dengan hubungan dengan orang lain
korupsi, di samping korupsi ekonomi (Clinard, 1990; seperti kesenangan, kasih sayang, persahabatan,
Hodgson & Jiang, 2007) dan hukum, di antaranya pengakuan, pelarian dari tekanan, relaksasi dan
korupsi polisi, korupsi peradilan, korupsi politik, kontrol. Di samping itu, kebutuhan akan
korupsi akademis, dan sebagainya. Begitu pula komunikasi juga dapat didorong oleh practical
motif ekonomi bukan satu-satunya motif korupsi, goals atau instrumental goals, yakni berkomunikasi
ada begitu banyak motif lain seperti motif untuk untuk tujuan praktis tertentu, misalnya membuat
mendapatkan status, kekuasaan, kecanduan orang lain bersikap dan berperilaku seperti yang
narkoba atau judi, kepuasan seksual, dan banyak kita inginkan.
lagi (Mishra, 2006). Myint (2000) menyebut
beberapa contoh korupsi seperti penyuapan, Berangkat dari berbagai kebutuhan yang
pemerasan, penipuan, penggelapan, nepotisme, memotivasi serta tujuan dari komunikasi tersebut,
kronisme, perampokan aset publik dan properti maka pengelolaan makna pun menjadi penting
3
Journal Communication Spectrum, Vol. 3 No. 1 Februari – Juli 2013
5
Journal Communication Spectrum, Vol. 3 No. 1 Februari – Juli 2013
koruptivitas sebuah komunikasi. Begitu pula adalah fakta yang bersifat subyektif dari
semakin besar nilai Ar, Cs dan R, maka semakin komunikator, yang belum tentu dapat dibuktikan
rendah tingkat koruptivitas sebuah komunikasi. secara kasat mata, namun komunikator dapat
Sebagai contoh, seorang selebriti pemilik media merasakannya berdasarkan dialog nuranif yang
yang memiliki kebutuhan komunikatif untuk jujur dan transparan.
mengonstruk identitas tertentu mengenai dirinya Dari definisi di atas, maka dapat dikatakan
sehingga terbentuk citra yang baik, tentu memiliki bahwa dalam komunikasi yang koruptif,
kekuasaan untuk mengatur makna pesan sesuai komunikator selalu menggunakan kekuasaan,
yang diinginkan (diagendakan) pada media kekuatan atau kewenangan yang dimiliki nya, baik
tersebut. Ditunjang oleh besarnya kesempatan kewenangan politik, bisnis, professional, personal
karena tidak adanya regulasi pemerintah yang maupun kewenangan atau kekuasaan lain untuk
mengatur pemanfaatan media untuk kepentingan memenuhi kebutuhan atau mewujudkan tujuan
pribadi pemilik media, maka tingkat koruptivitas komunikasinya. Dalam korupsi komunikasi,
komunikasi selebriti tersebut berpotensi tinggi. komunikator juga selalu mengambil paksa atau
Apalagi jika tanggung jawab moral dan hati sepihak hak-hak publik/ khalayak/ komunikan/
nuraninya kecil dalam menyadari kemungkinan penerima pesan untuk menerima pesan secara
upayanya itu dapat mengurangi hak publik untuk utuh dan benar sesuai fakta. ‘Secara utuh dan
menerima kebenaran dan keutuhan pesan, maka benar’ di sini memberi implikasi makna bahwa
tingkat koruptivitas komunikasinya pun semakin dalam korupsi komunikasi, bisa jadi pesannya
tinggi. memang sengaja tidak diutuhkan atau
Demikian pula di dunia akademik, di mana kebenarannya ditiadakan sebagian maupun
seorang akademisi yang memiliki kekuatan dan seluruhnya, atau, cara penyampaian pesannya yang
kekuasaan intelektual untuk mengatur makna tidak benar, misalnya dalam hal pemanfaatan
pesan, ditunjang terbatasnya pengawasan sehingga media atau penggunaan fasilitas publik untuk
kesempatan terbuka lebar, maka akademisi tujuan komunikasi pribadi atau kelompok.
tersebut berpotensi besar melakukan tindakan Spence, et al (2011) mengatakan bahwa
korupsi komunikasi untuk memenuhi kebutuhan persoalan yang tak dapat dikesampingkan dalam
identitas (pencitraan), instrumental (JJA) maupun perspektif etika adalah standar kebenaran itu
pengakuan sosial atas prestasi dan reputasinya. sendiri yang cenderung relatif. Beda konteks, beda
Tingkat koruptivitas komunikasinya akan meningkat standar dan konsep kebenaran. Konsep kebenaran
jika tanggung jawab moral dan kesadaran dalam periklanan misalnya yang bersifat persuasif,
nuraninya kecil untuk tidak mengurangi hak publik tentu berbeda dengan konsep kebenaran dalam
dalam menerima kebenaran dan keutuhan makna pemberitaan (jurnalistik) yang bersifat informatif.
pesan yang disampaikannya lewat suatu peristiwa Ketika sebuah iklan menyampaikan pesan
komunikasi, misalnya dalam penulisan karya ilmiah produk, kreator harus memanfaatkan waktu dan
atau dalam kegiatan perkuliahan. ruang yang minimal semaksimal mungkin, karena
Dengan demikian, maka dapat didefinisikan semua ruang dan waktu melalui media harus
bahwa korupsi komunikasi adalah perbuatan atau dibayar mahal, sehingga kreator dituntut untuk
peristiwa dalam proses komunikasi yang menyampaikan pesan seefektif, efisien dan
mengurangi hak publik atau khalayak dalam semenarik mungkin. Di sinilah peran komunikasi
menerima pesan secara utuh dan benar sesuai kreatif menjadi amat penting. Tanpa
fakta, baik fakta normatif maupun fakta menghilangkan substansi kebenaran pesan, proses
kontemplatif dengan memanfaatkan kekuasaan, penyampaian pesan dirancang dan dieksekusi
kekuatan atau kewenangan yang dimiliki. ‘Fakta secara kreatif untuk menarik perhatian hingga
normatif’ yang dimaksud dalam definisi tersebut menggerakkan hati khalayak sesuai strategi
adalah fakta obyektif, kasat mata atau dapat komunikasi merek atau produk.
diukur/ dibuktikan, sedangkan ‘fakta kontemplatif’
Bambang Sukma Wijaya, Korupsi Komunikasi dalam Dimensi Pesan, Media, Konteks dan Perilaku
Kreator terkadang menggunakan pendekatan- pesan secara lengkap dan komprehensif sangat
pendekatan absurd yang secara umum diketahui mungkin bahkan suatu keharusan.
dan diakui absurditasnya oleh target khalayak, Itulah mengapa dalam berita ada prinsip cover
namun substansi pesan dalam klaim iklannya harus both sides, untuk menjamin obyektivitas dan bebas
tetap benar (Wijaya, 2012b). Misalnya sebuah dari unsur persuasif. Jika sebuah berita dirancang
minuman ringan yang mengklaim dapat dan disajikan untuk membentuk persepsi tertentu,
menyegarkan, iklannya menggunakan pendekatan terkesan membujuk khalayak untuk melakukan
kreatif seolah-olah setelah meminumnya tanah sesuatu, atau mewakili kepentingan tertentu, maka
yang dipijak berubah menjadi kolam air yang sebuah berita telah “mencuri” konsep kebenaran
menyegarkan tubuh. Tentu saja tanah yang dipijak periklanan dan tentu saja tidak benar. Konsep
sekonyong-konyong berubah menjadi kolam adalah kebenaran haruslah ditempatkan pada konteksnya.
sesuatu yang absurd dan secara umum target
khalayak dewasa yang menonton iklannya dapat Demikian pula dengan konsep keutuhan. Pesan
memafhuminya, karena substansi pesannya yang utuh dalam periklanan adalah pesan yang
bukanlah “tanah berubah kolam”, namun maknanya jelas mewakili benefit atau fakta produk
“minuman yang menyegarkan”. (tidak harus disampaikan secara lengkap, karena
sesungguhnya makna “utuh” tidak sama dengan
Sebetulnya, iklan yang baik dan benar adalah “lengkap”) dan tidak berusaha menipu khalayak
iklan yang pendekatan kreatifnya diolah konsumen, sedangkan pesan yang utuh dalam
berdasarkan consumer (audience) insights (Wijaya, pemberitaan (jurnalistik) adalah pesan yang
2012a). Contoh iklan di atas bisa jadi berdasarkan komprehensif sesuai fakta di lapangan, berimbang,
insights khalayak konsumen yang memaknai tidak tendensius dan tidak ambigu (bias).
kesegaran seperti “nyebur di kolam ketika lagi
gerah-gerah”-nya, sehingga kreatornya pun Pada periklanan, konsep keutuhan dan
mengolah pendekatan kreatif iklan tersebut kebenaran lebih fokus pada substansi pesan
berdasarkan “makna kesegaran dari kacamata (makna konten), sedangkan pada pemberitaan,
khalayak konsumen”. Dalam hal ini, tentu saja, konsep keutuhan dan kebenaran fokus pada
tidak ada tindakan komunikasi yang koruptif, substansi (makna konten) dan situasi (konteks)
sepanjang substansi pesannya benar sesuai fakta pesan. Situasi atau konteks di sini berarti
produk, meskipun pendekatan komunikasi kelengkapan informasi, obyektivitas,
kreatifnya absurd. Kecuali jika fakta produknya keberimbangan, ketidakbiasan dan
bukan minuman menyegarkan, atau misalnya ketidaktendensiusan (bebas kepentingan).
pendekatan komunikasi kreatifnya menggunakan Pada akhirnya, standar keutuhan dan
testimonial, sementara model iklan yang dibayar kebenaran pesan seharusnya dipulangkan kepada
menggunakan kesaksian (testimoni) palsu atau khalayak penerima pesan. Komunikator harus
tidak benar, maka iklan tersebut dapat memiliki empati dan mempraktikkan audience-
dikategorikan sebagai bentuk komunikasi yang centered communication, di mana kacamata nurani
koruptif, karena kebenaran substansi pesannya komunikator dalam perancangan maupun
sengaja ditiadakan. pelaksanaan kegiatan komunikasi harus diarahkan
Berbeda dengan konsep kebenaran dalam kepada dunia kepentingan khalayak (Wijaya, 2011),
pemberitaan (jurnalistik). Fakta dan substansi bukan semata dunia kepentingan komunikator,
pesan berita maupun cara memberitakannya sehingga tidak saja akan menghasilkan komunikasi
haruslah tanpa unsur persuasif, fiktif, apalagi yang efektif, namun juga komunikasi yang tulus,
absurd, karena pertama, berita bukan bertujuan luhur, transparan, bebas dari korupsi.
membujuk atau membentuk persepsi tertentu
sesuai benefit yang ditawarkan suatu produk,
kedua, pemberitaan dalam suatu media tidaklah
dibayar, sehingga peluang untuk menyampaikan
7
Journal Communication Spectrum, Vol. 3 No. 1 Februari – Juli 2013
dapat berasal dari institusi sebagai organisasi di sengaja diciptakan untuk menimbulkan publisitas
mana sekelompok orang bersatu untuk tujuan luas dan efek word-of-mouth tidak merampok hak
bersama. publik untuk membedakan berita dan iklan karena
Dalam praktik jurnalistik atau institusi media, pada “akhir cerita” akan terungkap bahwa “cerita”
korupsi biasanya terjadi dalam bentuk konflik tersebut hanya merupakan bagian dari strategi
kepentingan karena kepentingan-kepentingan kampanye periklanan sebuah produk. Aktivitas
khusus seperti partisipasi politik tertentu (Spence, semacam ini tak dapat dikategorikan sebagai
et al, 2011: 140). Pada agenda setting pemberitaan subliminal ad, karena subliminal ad mengunci hak
misalnya, media secara strategis mengarahkan publik untuk membedakan mana berita dan mana
obyektivitas berita pada sudut pandang yang iklan sehingga menyembunyikan kebenaran fakta
menguntungkan kelompok-kelompok tertentu, yang sebenarnya sampai batas waktu yang tak
sehingga walaupun sekilas tampak obyektif dan terhingga. Dalam perspektif ekonomi media,
berimbang, namun sesungguhnya sangat subyektif fenomena semacam ini dapat terjadi sebagai
dan tendensius. implikasi dari industrialisasi media yang telah
berjalan beberapa dekade dewasa ini.
Perselingkuhan ini menjadikan media
merampas hak publik atau khalayak untuk Tak heran dalam level industri pun media
membedakan mana propaganda atau kampanye melakukan tindakan koruptif, yang melibatkan
dan mana berita. Contoh paling jelas dalam industri tertentu untuk mendukung suatu praktik
pemberitaan keberhasilan sebuah daerah yang yang merusak satu atau beberapa peran dan tujuan
mengarahkan persepsi kepada citra positif kandidat institusional resmi. Dua penyebab potensial korupsi
incumbent tanpa publik sadari. Contoh lain dalam dalam praktik jurnalistik dan media adalah media
pembentukan opini publik melalui pemberitaan concentration dan media conglomeration (Spence,
yang mendiskreditkan lawan-lawan politik secara 2011: 144). Kepemilikan media yang terkonsentrasi
halus melalui liputan suatu peristiwa yang berkaitan dengan monopoli sudut pandang berita,
berpotensi memberi efek citra negatif. sementara konglomerasi berkaitan dengan konflik
kepentingan perusahaan yang bernaung dalam satu
Dalam dunia bisnis pun kerap terjadi melalui payung korporasi dengan media tersebut, terutama
praktik “iklan terselubung” atau subliminal ad. jika perusahaan melakukan praktik-praktik immoral
Berselubung berita atau liputan peristiwa tertentu maupun illegal yang merugikan kepentingan publik
yang dilakukan oleh sebuah media melalui sementara media sejatinya berdiri untuk
jurnalisnya, namun sesungguhnya adalah iklan menyuarakan kepentingan publik sebagai salah
sebuah produk. Media dibayar untuk membuat satu pilar fungsi media.
sebuah berita (Arnold, 2009). Dalam hal ini, kolusi
jurnalistik dan periklanan atau kehumasan dapat
disebut sebagai korupsi media (Spence, et al, 2011: Dimensi Konteks
121). Media “menjual” kepercayaan khalayak Konteks dalam komunikasi dapat dimaknai
terhadap media tersebut akan berita-berita yang sebagai keadaan atau situasi luas di mana
obyektif dan steril dari intervensi kepentingan komunikasi terjadi (Seiler & Beall, 2011: 24).
pihak manapun. Media bahkan dapat diindikasikan Komunikasi tak dapat terjadi dalam ruang hampa.
melakukan “penipuan” terhadap khalayak. Itulah Selalu ada kondisi yang dapat diatur, baik yang
mengapa dalam etika periklanan di dunia mana bersifat formal maupun informal (formal and
pun, subliminal ad tidak dibenarkan (Wijaya, informal setting). Konteks inilah yang memengaruhi
2012b). apa yang akan kita katakan (what-to-say) dan
Agak berbeda jika hal tersebut merupakan bagaimana mengatakannya (how-to-say). Konteks
agenda setting produk dalam bentuk creative juga menentukan tipe komunikasi apa yang akan
brand publicity tanpa melibatkan media dalam digunakan. Dalam hal ini, maka konteks memegang
proses produksi pesannya. Branded story yang peranan penting dalam manajemen makna karena
9
Journal Communication Spectrum, Vol. 3 No. 1 Februari – Juli 2013
setting yang digunakan dapat memengaruhi langsung antara pejabat dan rakyat adalah
persepsi khalayak dalam proses decoding terhadap sandiwara belaka, karena baik “sang rakyat”
makna pesan yang disampaikan. maupun jawaban-jawaban atau pertanyaan yang
Korupsi dalam dimensi konteks dapat terjadi keluar dari mulutnya telah diskenariokan
ketika komunikator memanfaatkan power dan sebelumnya, dengan kata lain semua palsu, hanya
opportunity yang dimilikinya untuk tujuan untuk menciptakan kesan positif di mata publik
pencitraan tertentu, misalnya ketika seorang yang lebih luas, terutama jika diliput oleh media.
kandidat pemimpin politik incumbent melakukan Komunikasi pencitraan semacam ini dapat
kampanye terselubung dengan mengatur (setting) dikategorikan sebagai tindakan koruptif karena
pemberitaan mengenai prestasi yang dicapai di fakta dimanipulasi sedemikian rupa sehingga hak
daerah yang dipimpinnya untuk membangun publik untuk mendapatkan kebenaran pesan jadi
persepsi bahwa dia telah berhasil dan terabaikan.
berpengalaman sehingga layak untuk dipilih
kembali. Dalam hal ini, incumbent tersebut Dimensi Perilaku
memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang
dimilikinya (yang tentu saja tak mungkin dimiliki Perilaku koruptif dalam dimensi perilaku lebih
lawan-lawan politiknya), menggunakan fasilitas sering terjadi berkaitan dengan tindakan immoral
publik berupa dana rakyat untuk membayar media bahkan illegal dari suatu individu, misalnya perilaku
(atas nama kepentingan pemerintah) yang plagiarism dan penyuapan. Sebagaimana telah
sesungguhnya bermuara pada pencitraan dirinya diungkapkan pada bagian awal tulisan ini, korupsi
atau kelompok politiknya, dan karenanya maka tidak semata-mata dimotifi oleh faktor ekonomi,
dapat diindikasikan sebagai tindakan koruptif. namun dapat pula dimotifi oleh faktor status atau
faktor personal lainnya. Seorang akademisi yang
Contoh lain korupsi dalam dimensi konteks melakukan tindakan plagiat dalam proses
pada kegiatan komunikasi korporat. Misalnya pembuatan karya tulisnya demi mendapatkan poin
seorang PR Officer atau Corporate Communication kenaikan Jenjang Jabatan Akademik (JJA), tentu
Manager, untuk menepis isu negatif dari dapat dikategorikan sebagai tindakan koruptif.
pemberitaan media, maka diaturlah liputan media
pada sudut-sudut tertentu dari perusahaan yang Demikian pula dengan pencantuman nama
tidak mencerminkan fakta yang sebenarnya, penulis tanpa kontribusi atau peran kepenulisan
membayar orang-orang tertentu untuk melakukan dalam sebuah artikel ilmiah yang dipublikasikan
testimoni, dan memainkan opini publik untuk merupakan tindakan pembohongan publik yang
membelokkan persepsi masyarakat dari isu utama tentu saja merupakan bagian dari aktivitas
yang sesungguhnya lebih terkait dengan komunikasi yang koruptif. Mengutip sebuah
kepentingan publik. Korupsi konteks komunikasi pernyataan tulisan maupun lisan, atau
juga dapat terjadi ketika perusahaan menggunakan gambar karya orang lain tanpa
memanfaatkan momen-momen positif publik yang mencantumkan sumbernya, juga dapat
tidak ada relevansinya dengan produk atau dikategorikan sebagai korupsi komunikasi. Begitu
kapabilitas suatu perusahaan kemudian sengaja pula dengan seorang mahasiswa yang melakukan
dikaitkan agar khalayak luas memiliki persepsi plagiarism dalam penyusunan tugas karya akhir,
bahwa momen tersebut merupakan andil dari atau bahkan membayar/ menyuap pihak lain untuk
perusahaan tersebut. menyelesaikan karya tersebut atas nama dirinya,
dapat dikategorikan sebagai tindakan koruptif.
Dalam komunikasi pemerintahan, sudah
menjadi rahasia umum bahwa dalam setiap acara Sementara itu, perilaku penyuapan di
yang dihadiri pejabat-pejabat pemerintahan, selalu antaranya adalah memberi imbalan tertentu
ada pengaturan-pengaturan tertentu di lokasi acara kepada seseorang atau suatu pihak untuk
untuk menimbulkan kesan keteraturan. Pada menyampaikan kesaksian palsu, baik melalui media
zaman orde baru, seringkali dialog atau interaksi maupun secara langsung untuk kepentingan
Bambang Sukma Wijaya, Korupsi Komunikasi dalam Dimensi Pesan, Media, Konteks dan Perilaku
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa mengenai diri seseorang untuk memengaruhi
keseluruhan dimensi koruptivitas komunikasi persepsi orang lain, ataupun pencucian kesan
berada dalam proses manajemen makna (impression laundering) yaitu membersihkan kesan
(management of meaning), yang dilakukan untuk dan persepsi buruk mengenai seseorang atau
kepentingan manajemen kesan (impression lembaga melalui komunikasi yang intensif dan
management) yaitu menciptakan citra positif stratejik.
11
Journal Communication Spectrum, Vol. 3 No. 1 Februari – Juli 2013
Hopkins, J. (2001). ‘States, Markets and Nuijten, M. & G. Anders (2007). Corruption and the
Corruption: A Review of Some Recent Secret of Law: A Legal Anthropological
Literature’. Review of International Political Perspective. England: Ashgate
Economy, 9 (3), 574-590 Oxford Dictionary (2012).
Jain, A. K. (2001). ‘Corruption: A Review’. Journal http://www.oxforddictionaries.com/definitio
of Economic Surveys, 15 (1), 71-120. n/english/disinformation, diakses 20 Oktober
Larson, C. U. (2010). Persuasion: Reception and 2012
Responsibility. Boston: Wadsworth Schleifer, B. G. (2009). Corruption of
Merriam-webster Dictionary (2012). Communication, dalam http://realtruth.org,
http://www.merriam- diakses 27 Juni 2012
webster.com/dictionary/disinformation, Seiler, W. J. & M. L. Beall (2011). Communication:
diakses 20 Oktober 2012 Making Connections. USA: Allyn & Bacon
Mishra, A. (2006). ‘The Persistence of Corruption: Spence, E. H., A. Alexandra, A. Quinn, and A. Dunn,
Some Theoretical Perspectives’. World (2011). Media, Markets, and Morals. West
Development, 34 (2), 349-358 Sussex, UK: Wiley-Blackwell
McLuhan, M. (2006). ‘Medium is Message’ dalam West, R. and L. H. Turner (2007). Introducing
Meenakshi Gigi Durham & Douglas M. Kellner Communication Theory: Analysis and
(eds). Media and Cultural Studies: KeyWorks. Application. New York: McGraw-Hill
USA: Blackwell Wijaya, B. S. (2011). ‘Experiential Communication
Miller, S., P. Roberts, and E. Spence (2005). Model in the Organizational Communication:
Corruption and Anti-Corruption: An Applied A Study of Persuasive Technique in Order to
Philosophical Approach. New Jersey: Prentice Gain Audience’s Trust’. Jurnal Komunika, 14
Hall (1), 37-44
Miller, S. (2011). Corruption, dalam Wijaya, B. S. (2012a). ‘The Development of
http://plato.stanford.edu, diakses 27 Juni Hierarchy of Effects Model in Advertising’.
2012 International Research Journal of Business
Milne, S. (2012). Ownership is the Key to the Studies, 5 (1), 73-85
Corruption of the Media, dalam Wijaya, B. S. (2012b). Etika Periklanan. Jakarta: UB
http://www.guardian.co.uk, diakses 27 Juni Press
2012 Wijaya, B. S. (2013). ‘Dimensions of Brand Image: A
Myint, U. (2000). ‘Corruption: Causes, Conceptual Review from the Perspective of
Consequences and Cures’. Asia-Pasific Brand Communication’. European Journal of
Development Journal, 7 (2), 33-58 Business and Management, 5 (31), 55-65
13