Modul-modul
Pelatihan
facilitator
komunitas basis
Orang muda katolik
Oleh
Drs.Philips Tangdilintin,MM
0
Dipersembahkan
1
DAFTAR ISI
2
BAGIAN KETIGA: LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran-1. Positive Thinking & Feeling
Lampiran-2. Bagaimana Menjadi Pendengar Aktif
Lampiran-3. Komunikasi Asertif
Lampiran-4. Sikap-Sikap Dasar Seorang Pembina OMK
Lampiran-5. Profil Pembina sebagai Facilitator
Lampiran-6. Komunitas Basis Gerejani: Strategi Hidup Menggereja
Lampiran-7. Strategi Keterlibatan
Lampiran-8. Konsep Strategi Pembinaan Mahasiswa/OMK
Lampiran-9. Lembar Kerja Rencana Aksi.
Why Me?
Ucapan Terimakasih
3
AKU ORANG KRISTEN – PENGIKUT KRISTUS
DOA
Ya Tuhan,
Jadikanlah aku muridMu yang sejati,
Menjadi pengikutMu dengan kesungguhan iman,
dan bukan dengan kenyamanan.
(Disadur dari St. Andrew Firgojechim Lharam, Vasco, April 2006)
oleh M.Yumartana, SJ
4
BAGIAN PERTAMA
Penyiapan pelatihan
5
PENGANTAR
Pelatihan berdurasi 5 (lima) hari ini diberi identitas “GaRang”, singkatan dari
Garam dan Terang. Nama ini mulai digunakan di Wisma Kinasih Bogor (Juni 2009),
dalam pelatihan tingkat regional Wilayah Barat yang kemudian diberi identitas sebagai
Pelatihan “GaRang-1”. “GaRang-2” berlangsung di Kupang (Juli 2009) untuk wilayah
NTT-NTB, dan “GaRang-3” di Malino (Agustus) untuk wilayah SuMalIrja. Nama
“GaRang” mengandung 2 (dua) pesan. Sebagai saripati dari Injil Mt 5:13-16, identitas
ini mengingatkan panggilan dasar para trainees untuk selalu menjadi Garam dan
Terang khususnya di kalangan mahasiswa/orangmuda katolik. Camkanlah apa yang
terjadi kalau Garam itu menjadi tawar (dibuang dan diinjak orang!) atau Terang itu
ditutup dengan gantang (mati!). Garam mencerminkan sikap rendah-hati: “larut” dan
menyatu dengan yang digarami hingga tidak kelihatan, tapi memberi rasa dan
mengawetkan! Terang mencerminkan watak berani tampil memimpin, memberi arah
dan solusi dalam ‘kegelapan’. Sebagai satu kata sifat, ‘Garang’ diharapkan menjadi
peringatan kepada para alumni untuk tidak jatuh dalam mentalitas 3 L (lunak-loyo-
leled) dan selalu berusaha tampil dengan watak 4 T: Tangguh (tahan-banting, berdaya-
juang, militan), Tanggon (berani ambil-risiko), Trengginas (lincah, cekatan, disiplin,
tangkas, cerdik), dan Tatas (bekerja sampai tuntas, tidak setengah-setengah). Karena
itu, model pelatihan ini mengintegrasikan keempat aspek pelatihan (afektif-kognitif-
konatif-motorik) dalam suatu pola proses yang terpusat dan semi-spartan, dengan
latihan-latihan fisik-mental-spiritual yang ‘keras’ yang direfleksikan-diinternalisasikan.
Buku Panduan (2) ini memuat 20 sessions ‘siap-saji’ (tentu perlu penyesuaian
dengan sikon setempat: ‘muatan lokal’) yang diolah dari topik-topik materi ‘Pelatihan
Pembina/Facilitator Komunitas Basis OMK’ dalam Buku Panduan (1). Topik-topik itu
sendiri merupakan pengembangan atas paket yang disiapkan penulis pada Lokakarya
di Wisma Tanah Air, Jakarta akhir 2007, dan mengalami proses penyempurnaan dalam
3 Pelatihan Regional. Maksudnya untuk membantu atau memberi referensi bagi para
Pemandu (SC) dan Narasumber, terutama yang tidak punya cukup waktu untuk
mengolah sendiri topik-topik materi tsb. Karena disiapkan khusus dalam Pola Poses
untuk Paket Pelatihan Pendamping/Facilitator (5 hari), maka tidak diperkenankan:
Mencuplik salah satu (atau lebih) topik dalam paket ini untuk di(salah)gunakan
sebagai bahan pembinaan umum bagi kelompok/komunitas OMK.
Menyunat atau membonsai paket ini menjadi pelatihan 2-3 hari untuk “proyek”,
apalagi kalau di buat di hotel (bertentangan dengan hakekat ‘pelatihan’!).
Buku Panduan ini dibagi dalam tiga bagian: Bagian I “Memahami Seluk-Beluk
Pelatihan” ini; Bagian II “Modul-Modul Pelatihan” 5 hari dengan 20 sessions dalam pola
proses yang spiral-konsentris; dan Bagian III “Lampiran-Lampiran” yang disiapkan
sebagai sumber/referensi bagi SC dalam mengarahkan, meluruskan, melengkapi atau
mengoreksi hasil-hasil dari proses. Latihan-latihan fisik-mental-spiritual yang diberikan
sesuai dinamika proses tidak dicantumkan di sini. Perlu diingat, kualitas output
ditentukan oleh kualitas input (peserta, materi/exercises), kualitas process (presentasi-
partisipasi-interaksi) panitia-peserta-peserta, dan kualitas para trainers (SC-OC).
6
PROFIL IDEAL
Sosok pembina yang hendak dihasilkan melalui Pelatihan ini:
Catatan:
o Rumusan profil-ideal adalah kualitas-kualitas yang mencakup keempat aspek
pelatihan/kaderisasi: Afektif (Sikap, termasuk sikap iman/spiritualitas), Kognitif
(wawasan/pengetahuan), Konatif (kehendak, kemauan, tekad, komitmen) dan
Motorik/Kinestetik (skills, kecakapan & keterampilan praktis). Dengan pembekalan
yang terpadu dalam dinamika proses materi pelatihan yang spiral-konsentris, didukung
disiplin dan pelatihan fisik-mental-spiritual, para trainees diharapkan memiliki
kompetensi-dasar sebagai Pendamping dan Facilitator Komunitas Basis. Tetapi profil
yang begitu ideal tersebut pasti tidak dapat ‘terbentuk’ dalam satu pelatihan 5 (lima)
hari. Oleh karena itu berbagai bentuk Post-care dan On-going Formation harus menjadi
bagian integral dari perencanaan pelatihan dan kaderisasi kita.
o Steering Committee (SC) berfungsi-utama sebagai Facilitator atau Pemandu Proses yang
berciri partisipatif-dialogis-eksperiensial. Karena itu ceramah monologis atau ‘kuliah’,
harus dihindari oleh setiap SC. Pendekatan dan metode yang digunakan oleh SC, baik
sebagai team maupun perorangan, akan menjadi MODEL bagi para peserta dalam
karya mereka di tengah Komunitas Basis Mhs/OMK setelah pelatihan. Kalau mereka di-
ceramahi, mereka juga akan cenderung menceramahi OMK di komunitas mereka!
7
KRITERIA PESERTA
Pelatihan ini hendak menghasilkan para Pembina atau Pendamping dan Facilitator/
Pemandu-kegiatan Komunitas Basis Mahasiswa (KBM) dengan kualitas sebagaimana
dirumuskan dalam ‘Profil Ideal’. Mereka harus mampu meningkatkan atau mereformasi
KMK-KMK menuju kualitas KBM (tanpa mengubah nama KMK ybs) sebagai Strategi Hidup
Menggereja C21 seperti dicanangkan SAGKI 2000 dan 2005. Atau membentuk KBM baru
(apapun namanya) dimana belum ada wadah pembinaan mahasiswa. Mereka harus
mampu memotivasi dan menghimpun mahasiswa Katolik dalam Komunitas, dan mengisi
pertemuan-pertemuan rutin Komunitas dengan kegiatan terprogram yang berbobot-bina.
Karena itu diharapkan peserta Pelatihan ini adalah “orang-orang pilihan terbaik”
dari Tim Pembina Mahasiswa/OMK, dengan melibatkan Komunitas Mahasiswa (KMK) atau
wadah OMK bersangkutan. Calon peserta yang direkrut dan diutus ke Pelatihan ini
hendaknya memenuhi kriteria-kriteria berikut:
1. Usia minimal 23 tahun, maksimal 30 tahun, sedapat mungkin belum menikah: young
adults (orang ‘dewasa-muda’: sudah matang dari sisi mental-emosional-sosial-
spiritual) yang sudah berada di semester-semester akhir sudah merampungkan studi.
2. Memiliki wibawa/pengaruh di kalangan Mahasiswa Katolik, khususnya KMK-nya
(atau wadah lain yang ada). Diutamakan aktivis mantan Ketua/Pengurus/
Fungsionaris KMK atau organisasi OMK yang berhasil pada periode kepengurusannya.
3. Memiliki bakat sebagai Fasilitator/Pemandu proses dalam Kegiatan-bina
4. Sikap dan perilakunya layak dijadikan teladan (Role Model) bagi mahasiswa/OMK
5. Siap-sedia dan sanggup mengikuti seluruh Pelatihan secara penuh, dari awal sampai
akhir (tidak diperkenankan terlambat atau pamit lebih awal).
6. Siap dipulangkan bila Panitia menilai ybs tidak mampu meneruskan proses pelatihan.
Perlu dipertimbangkan acuan dalam proses produksi, yang harus di-supply dengan
bahan baku terbaik, karena prinsip “Garbage in, garbage out” (kalau sampah yang masuk,
sampah juga yang keluar) – meskipun kita tidak punya orang muda berkualitas “sampah” !
Latihan selama (hanya) 5 hari tidak mungkin “menyunglap” seseorang yang memang tak
punya dasar (talenta) sebagai facilitator proses, menjadi facilitator andal.
8
FORM DATA & ANGKET PESERTA
6. Pendidikan/Kampus/Smstr :
7. Pekerjaan :
8. Status : Menikah – Bujangan – Rohaniwan/ti – Biarawan/ti
(coret yang tidak benar)
9. Alamat Lengkap :
o Tlp/HP :
o E-mail :
4. Hambatan-hambatan mental dan hal-hal negatif dalam Diri-ku yang ingin kuubah:
(……………………………………………………..)
9
RANCANGAN MATERI & PROSES
PELATIHAN PENDAMPING/FACILITATOR KOMUNITAS BASIS OMK
10
H-5 06.30 Misa Pagi: TINDAKAN Kreatif yg R.Doa;
Menyelamatkan (Lk 5:17-26) ½ Lingk
08.00 MENDESAIN Bahan Pembinaan Kerja Klp Bebas
10.30 PRAKTEK & Evaluasi P’binaan Simulasi/Evals T’gantung Klp
16.00 PEMBINAAN Mhs&Dunia Maya Inf/Latihan Aula; ½ Lingk
19.00 M’BANGUN/M’KEMBANGKAN Diskusi kasus/Inf Idem
KOMUNITAS BASIS OMK
21.30 Ibadat Malam: Api Unggun Alam T’buka
Keterangan
PIC : Person In Charge, Penanggungjawab; AP : Aktivitas Pribadi
SC/OC : Steering Committee (Pengarah); Organizing Committee (Pelaksana)
NS : Narasumber. DK: Dinamika Kelompok
CATATAN PENTING
1. Tim SC dari setiap Pelatihan model ini harus terdiri dari sekurang-kurangnya 1 orang Tim
Nasional dan 3-4 Tim Regional / Lokal / Keuskupan.
2. Setiap anggota SC harus membaca dan memahami alur keseluruhan proses, baru
melihat/menyiapkan sesi yang menjadi tugasnya, dalam alur proses (lih rumusan tujuan
/sasaran!) supaya dinamika terjaga. Jadi baca modul dulu, kalau dianggap ada materi
/metode yang lebih berbobot, lebih menjamin pencapaian tujuan dan tetap menjaga
alur proses, silahkan gunakan atau padukan dengan materi di modul. Setiap anggota
SC siap mendukung/menambahkan/mengoreksi dengan cara arif (Teamwork!).
3. Ibadat pagi/malam dan Misa menjadi bagian integral proses, maka SC ambil alih,
terutama bagian renungan (pagi/malam) dan khotbah (Misa) yang harus selalu
‘memahkotai’ alur proses yang sudah dilalui, atau ‘mendasari’ alur proses berikutnya.
4. Latihan2 khusus/semi-spartan (mental) untuk mengatasi berbagai kelemahan /mental-
block dan memfasilitasi self-change harus seiring dengan dinamika pelatihan. Porsi ini
harus dipercayakan kepada figur yang memahami dinamika psikologis-mental-spiritual
dan punya wibawa. Setiap siang after lunch dapat digunakan untuk itu.
5. Peserta akan membuat Refleksi Pribadi atas setiap session dalam buku tulis “ diary”,
yang diperiksa dan diberi komentar/bimbingan [cura personalis] oleh SC.
6. Memulai Pelatihan on-time amat penting untuk memberi pendidikan (nilai) Disiplin,
serentak menjaga keutuhan setiap unit proses. OC memegang peran vital untuk itu.
11
ACARA HARIAN
12
MEMAHAMI SELUK-BELUK PELATIHAN
POLA PELATIHAN
Pelatihan ini pada hakekatnya adalah bagian dari proses kaderisasi. Dalam
pembinaan orangmuda terdapat dua fungsi yang memungkinkan hidupnya kegiatan-
bina: penggerak/pengurus komunitas dan pembina/pendamping atau facilitator
kegiatan-bina. Keduanya perlu dilatih atau di”kader”kan secara khusus. Sebagaimana
jelas dari nama dan rumusan profil ideal output-nya serta rancangan materi dan proses,
Pelatihan ini ditujukan untuk fungsi kedua, yakni calon Pendamping/Facilitator.
Istilah “kader” sendiri terdapat dalam hampir semua bahasa, a.l: quadrum
(Latin: square), quadro (Italia: frame), cadre (Perancis, Inggris: backbone of an organization),
kader (Jerman, Belanda: groep activisten). Semua menunjuk pada ‘sekelompok orang
pilihan yang dilatih secara khusus untuk memenuhi tuntutan kualitas khusus sebagai
tulang punggung organisasi’, seperti dirumuskan dalam kamus Webster:
“A nucleus or core group especially of trained personnel able to assume control and to train others”
“The assumption of the cadre model is that this small core of ultra-committed people are capable of
recreating the organization’s structure and ideological direction even if the current organizational
form has been destroyed and all other members have been killed or imprisoned”
Ada 5 ciri khusus kader yang dapat ditarik dari rumusan ini:
1. Kelompok kecil orang-orang pilihan yang terlatih/dilatih secara khusus
2. Menjadi inti, tulang-punggung atau jantung-hati (core) organisasi
3. Memiliki kemampuan mengendalikan dan melatih orang/anggota lain
4. Memiliki komitmen luar-biasa (ultra-committed) pada organisasinya
5. Mampu ‘mencipta-kembali’ struktur dan arah ideologis organisasi kendati sudah
(di)rusak(kan) dan semua semua anggota lain sudah terbunuh atau dipenjarakan
Kelima ciri ini mengisyaratkan satu hal: kader tidak dilahirkan, melainkan “dijadikan”
melalui suatu proses yang luar-dari-biasa pula. Kualitas luar-biasa hanya bisa
dihasilkan melalui proses yang luar-biasa pula. Para kader pada hakekatnya adalah
orang-orang pilihan yang disiapkan menjadi pelopor dan penggerak perubahan sosial.
Karena itu mereka sendiri harus lebih dulu berubah: the essence of change is self-
change, hakekat perubahan adalah pengubahan-diri. Hanya orang yang siap-sedia
mengubah-diri akan punya kewibawaan dan kemampuan mengemban misi
perubahan-sosial. Mem-fasilitasi pengubahan-diri dalam kebersamaan menuju profil-
ideal hasil pelatihan itulah tugas-utama SC dan OC pelatihan.
Pelatihan ini menganut “Pola Proses” yang terpusat (centralized) dengan materi
disajikan dalam rangkaian proses yang spiral-konsentris dengan metode-metode
dialogis-eksperiensial, dipadukan dengan latihan-latihan fisik-mental-spiritual semi-
spartan. Bukan Pola-Produk yang menekankan aspek kognitif dan mengutamakan
pengetahuan dengan mengejar kuantitas materi/bahan, sehingga dipenuhi ceramah-
ceramah monologis. Mengelola proses pengubahan-diri (mind-set, belief, behavior)
melalui latihan-latihan semi-spartan yang keras-menantang serentak reflektif,
merupakan karakteristik dari suatu kaderisasi. Camkanlah beberapa analogi berikut:
13
Anak-anak yang dibesarkan dengan fasilitas serba ada dan pemanjaan, tidak
akan kuat menghadapi tantangan hidup
Anak sekolah yang tak pernah berlatih memecahkan soal-soal sulit, tak akan
pernah cerdas dan berprestasi
Body builder yang hanya angkat beban ringan tidak akan mencapai bentuk tubuh
yang kekar dengan otot-otot yang kuat
Kesebelasan sepak bola yang latihannya asal-asalan oleh pelatih yang tak pernah
jadi pesepakbola, tidak akan pernah jadi tim, apalagi jadi pemenang
Atlit yang latihannya terlalu ringan dan mudah, tidak akan pernah jadi juara
Para kader katolik adalah atleta Christi, atlet-atlet Kristus yang harus memenangkan
perlombaan. Karena itu mereka harus ‘ditempa’ untuk bersemangat “magis”, semangat
“lebih”, sehingga dalam karyanya selalu berusaha mengerjakan sesuatu beyond the call
of duty, melampaui tuntutan tugas. Meninggalkan sikap minimalis, yang sekedar
memenuhi tuntutan minimal tugas, asal-jadi, asal jalan, dan asal-asalan lainnya. Seperti
tuntutan Yesus dalam Mt 5:38-48, khususnya ayat 41: “... siapapun yang memaksa
engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil”; bahkan harus
terus berjuang untuk mengaktualisasikan panggilan sebagai Citra Allah, ayat 48:
“Karena itu, haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu sempurna adanya”.
Untuk itu para kader harus dilatih dengan keras, militan, spartan, tentu dalam kadar
yang tepat. Di sinilah mutlak perlu kehadiran para trainers yang benar-benar kompeten
dan memiliki kepekaan-rohani untuk ‘membaca’ dinamika peserta, baik personal
maupun komunal. Para trainers dalam pelatihan ini terdiri dari dua unit kerja, Steering
Committee (SC) & Organizing Committee (OC). Maka, memilih Team Trainers yang
kompeten dan memantapkan kesiapan panitia adalah tahapan penting dalam pelatihan
ini. Setiap unit panitia harus tahu betul-betul apa tugas unit mereka dan apa tugas
lintas-unit. Untuk itulah sangat dianjurkan membaca dan menyempurnakan rumusan-
rumusan Job Description SC-OC dan Sekretariat dalam “Buku Panduan (1) Pelatihan &
Kaderisasi Orang Muda Katolik” hal 48-52.
Pengarah sebagai Facilitator, bukan Penceramah
Panduan ini menganut prinsip dasar pembinaan OMK, yakni menganggap dan
menempatkan peserta sebagai subyek atau pelaku utama dalam proses pembinaan
(=pengubahan) diri mereka. Para pemandu proses (SC) harus menempatkan diri
sebagai stimulator yang merangsang keterlibatan dan peran-aktif seluruh peserta, dan
facilitator yang ‘membantu memudahkan/menggelindingkan proses’, baik dalam
setiap unit kegiatan maupun dalam seluruh pelatihan. Karena itu, penyajian materi
pelatihan dalam buku panduan ini diusahakan bervariasi dalam:
Metode/teknik penyajian, agar peserta melihat berbagai kemungkinan kreatif
dalam metode dan teknik-teknik penyajian materi pembinaan yang berciri
dialogis-partisipatif. Meluaskan wawasan metodologis dan merangsang
kreativitas pendekatan harus berjalan seiring dalam suatu proses pelatihan,
14
karena “Pembina akan memerlakukan OMK sebagaimana mereka diperlakukan
dalam pelatihan”.
Pemilihan tempat dan pengaturan formasi peserta. Perubahan tempat dan
formasi tidak hanya penting untuk mencegah kebosanan, melainkan terutama
untuk memberi sugesti pada pengubahan-diri dan pola-pikir (mind-set). Ini
dikenal sebagai “rangsangan periferal”: merekayasa perubahan lingkungan
untuk merangsang pengubahan-diri dan penyerapan (internalisasi) materi.
Penggunaan musik, baik instrumental maupun vokal, entah didengarkan atau
dinyanyikan; semua harus dipilih sesuai dengan maksud-tujuan dan tempatnya
dalam unit proses pelatihan/pembinaan.
MENYIAPKAN PESERTA
Sebagaimana ditegaskan dalam Buku Panduan (1) hal 48-54, kualitas output
suatu pelatihan ditentukan pertama-tama oleh kualitas input, dhi peserta. Kita tak
dapat menyunglap peserta yang ‘salah pilih’ menjadi ‘orang pilihan’ hanya lewat
pelatihan 5 hari! Karena itu SC/OC perlu merumuskan kriteria-kriteria rekrutmen dan
seleksi yang jelas-tegas. Proses ini sudah harus berjalan selambat-lambatnya tiga (3)
bulan sebelum pelatihan, supaya kita punya cukup waktu untuk mulai menyiapkan
peserta secara optimal. Lex McKee, Master Trainer & Creative Director of Buzan Centres,
dalam bukunya “The Accelerated Trainer” bahkan menganjurkan agar tiga (3) bulan
sebelum pelatihan – yakni setelah mereka setuju mengikuti pelatihan – minat, harapan
dan perhatian calon peserta sudah harus digugah. Misalnya dengan menganjurkan
mereka membaca (atau mengirimi mereka) buku tertentu, menugaskan mereka memer-
hatikan kondisi OMK di paroki/lingkungan/kampus mereka, mengirim kuesioner
untuk diisi, dan memberi akses (alamat, telepon, HP, e-mail) untuk berkomunikasi
dengan panitia. Belajar dari ilmu pemasaran, minat dan antusiasme calon peserta
dibangun dalam empat tahap kunci: tertarik – berminat – berhasrat – bertindak.
Semakin dekat hari pelatihan, kontak untuk penyiapan peserta harus semakin
intens. Dasar pikirannya, kata McKee, adalah ungkapan Inggeris “Out of sight, out of
mind”, jauh di mata, jauh di hati/pikiran. Karena jarak fisik masih memisahkan kita
dengan calon peserta, tugas kita adalah menarik mereka sedekat mungkin dalam hati
dan pikiran: out of sight, near of mind. Dua (2) minggu sebelum hari H, sebaiknya kita
sudah mengirimi mereka materi-materi yang diperlukan untuk meningkatkan kesiapan
mental peserta. Misalnya skema dan agenda pelatihan, dengan surat pengantar yang
sugestif. Sementara itu, SC dan OC sudah harus “mengenal” setiap peserta lewat
biodata dan foto yang diminta ketika mendaftarkan diri. Dengan cara-cara demikian,
kita membuat mereka ‘merindukan’ hari-hari pelatihan dan siap mengikutinya dengan
lebih PD. Dan tiga (3) hari sebelum hari H, SC dan OC sudah harus benar-benar siap
dalam segala segi untuk menyambut peserta, termasuk menyiapkan poster-poster
selamat datang yang kreatif di samping spanduk ‘resmi’. Semuanya harus mengarah
pada penciptaan suasana dan harapan positif di hati dan pikiran peserta. Itu kalau kita
ingin outcome (hasil) yang optimal dan output (keluaran) yang maksimal dari pelatihan.
15
RANGSANGAN PERIFERAL
Pelatihan sebenarnya sudah mulai ketika peserta memasuki (gerbang) arena
pelatihan. Semua hal yang mereka lihat atau dengar pada menit-menit pertama akan
menentukan sikap awal mereka: “love at the first sight” alias ketertarikan dan cinta pada
pandangan pertama, atau justru kejengkelan, misalnya atas cara kita menyapa dan
melayani mereka. Perasaan senang dan lega karena merasa diterima, dinantikan dan
dihargai akan mendorong keterbukaan. Sebaliknya kejengkelan dan kekecewaan
karena ketidaksiapan kita menyambut mereka, akan menghasilkan resistensi atau
penolakan. Karena itu, kita perlu menciptakan “rangsangan periferal” dengan berbagai
upaya, media dan sarana yang “ramah hati” serentak “ramah otak” untuk memberi
stimulus (rangsangan) visual-auditoris-motoris pada indera-indera mereka. Mulai dari
saat kedatangan, selama hari-hari pelatihan hingga saat pulang. Tanpa upaya itu,
pelatihan akan berjalan monoton tanpa dinamika, dan membosankan peserta. Di atas
semua itu, mereka akan terinspirasi untuk mengadopsi atau mengembangkan
kreativitas serupa dalam pembinaan OMK mereka selepas pelatihan.
Sambutan Selamat Datang
Salah satu hal paling menarik dari pergaulan dengan orang-orang muda adalah
bahwa kita akan menjumpai banyak orang muda kreatif yang bangga bila diberi
kesempatan mengaktualisasikan bakat. Salah satu yang kita butuhkan adalah
kreativitas membuat gambar-gambar karikaturis untuk keperluan poster. Di samping
spanduk “Selamat Datang Peserta Pelatihan Pembina OMK …” di gerbang pusat
pelatihan, kita perlu menyambut mereka untuk “membangun jembatan ke hati tiap
peserta”. Menyapa dan menyalami setiap peserta sambil menyebut namanya dengan
hangat akan langsung menumbuhkan harga-diri, PD sekaligus respek terhadap panitia.
Penyambutan yang ‘ramah-hati’ akan berlanjut ke ‘ramah-otak’ bila kita menempatkan
beberapa poster karikaturis yang lucu serentak merangsang pemikiran mereka di
tempat-tempat strategis yang akan dilewati ke ruang pertemuan, ruang tidur dan ruang
makan. Bila memungkinkan, poster-poster ini dapat diganti setiap hari atau setiap dua
hari. Maka ada baiknya ‘Karikaturis kreatif’ bergabung dalam OC/Sekretariat Pelatihan
supaya setiap saat bisa membahasa-poster-kan gagasan-gagasan kunci dari SC.
Poster Tematis Harian
Rangsangan periferal seperti itu harus berkelanjutan pada setiap hari pelatihan,
dengan berbagai media dan cara kreatif. Dinamika proses pelatihan perlu diiringi dan
ditunjang dengan berbagai rangsangan visual-auditoris-motoris untuk mendinamisasi
pengubahan/pengembangan intelektual-emosional-spiritual peserta. Misalnya
membuat poster-poster dengan kalimat-kalimat kunci atau kata-kata bijak yang pas
dengan tema/topik setiap hari. Atau membuka kesempatan berekspresi kritis-kreatif
terhadap proses pelatihan melalui “mading” (majalah dinding). Setiap pagi pada saat
para peserta masuk ruang doa atau ruang pertemuan, mereka sudah disapa dan diajak
berefleksi oleh poster-poster atau kalimat-kalimat refleksif-persuasif yang menantang.
Untuk ‘memaksa’ mereka memerhatikan / membaca poster dan mading itu, perlu
16
diadakan ‘test kepekaan dan daya-tanggap lingkungan’ secara cepat dan spontan pada
saat-saat tak terduga. Misalnya, sebelum session atau antar session, SC yang bertugas
mengajukan pertanyaan langsung pada salah satu peserta: “Poster apa saja yang Anda
lihat hari ini?” Atau: “Kalimat bijak apa yang Anda temukan hari ini? Apa artinya bagi
Anda? Apa yang Anda petik dari semua ini bagi tugas-pembinaan Anda nanti”?
Perubahan Tempat & Formasi Peserta
Sebagaimana dijelaskan dalam buku “Pembinaan Generasi Muda dengan proses
manajerial VOSRAM: Visi-Orientasi-Strategi-Rencana Aksi-Metode” (Kanisius 2008, hal
143-148), pengaturan formasi tempat duduk dalam pembinaan sangat menentukan
suasana hati dan kesiapan pikiran peserta. Oleh karena itu modul-modul pelatihan
dalam buku panduan ini selalu menganjurkan perubahan formasi sesuai dengan
kebutuhan tema yang akan dibahas. Anda dapat membayangkan bila sepanjang lima
hari pelatihan peserta selalu kembali ke tempat yang sama setiap session. Pasti akan
sangat membosankan. Tetapi perlu diingat: perubahan tempat dan formasi peserta
bukan sekedar untuk mencegah kebosanan, melainkan untuk memberi sugesti positif
pada pengubahan-diri (self change), pengubahan pola pikir (mind-set) yang akan
melahirkan perubahan perilaku dan kebiasaan (habits, habitus) baru. Formasi lingkaran,
misalnya, akan menciptakan suasana dan rasa kesetaraan, selanjutnya memberi sugesti
dan PD untuk berperan-aktif. Karena itu dianjurkan untuk menghindari ‘formasi
hirarkis’, kecuali bila diperlukan untuk pengarahan, instruksi atau brainwashing.
Para konsultan bisnis dan manajemen akhir-akhir ini, misalnya, sangat
menganjurkan perubahan berkala (misalnya seminggu sekali) dalam pengaturan ruang
kerja pimpinan maupun karyawan perusahaan atau instansi. Perubahan suasana
lingkungan kerja akan menjadi sugesti positif untuk perubahan pola-pikir, pola-
perilaku, pola-tindakan dan pola-hubungan sedemikian rupa sehingga menjadi
kebiasaan (=habitus) baru dalam suatu instansi atau organisasi. Apabila perubahan
posisi meja-kursi dst di-seiring-kan dengan berbagai rangsangan periferal lainnya
seperti foto-foto, kata-kata bijak, lukisan, motto, atau visi-misi instansi/organisasi,
dapat dipastikan sugestinya akan lebih kuat.
Dalam pelatihan bahkan pembinaan OMK pada umumnya, kreativitas untuk
merangsang change lebih dibutuhkan lagi. Pada saat-saat berat, misalnya session siang
hari di saat peserta lelah dan mengantuk, berbagai rangsangan motoris (gerak) dapat
digunakan. Misalnya, melekatkan ‘hadiah-hadiah kecil’ (sebungkus manisan/gula-
gula, ballpoint, uang 5000-an) di kursi-kursi tertentu secara acak, atau di kursi depan
yang sering dihindari peserta. Tentu OC membuatnya sebelum para peserta memasuki
ruangan. Dengan gaya sugestif (pikirkan cara yang cocok dengan diri Anda dan
peserta), mereka diminta untuk ‘mencari hadiah keberuntungan yang tersembunyi di
salah satu tempat sekitar Anda’. Permainan kecil semacam ini akan menghidupkan
suasana, mengusir kebosanan dan menggugah kreativitas mereka dalam pembinaan.
17
MENGATUR GELOMBANG OTAK UNTUK PEMBELAJARAN
Mengapa orang bijak menasehatkan untuk tidak mengambil keputusan
(penting) pada saat kita sedang berada dalam kondisi emosional yang tinggi (marah,
sedih, tegang)? Mengapa orang dianjurkan untuk mengambil waktu ‘nyepi’ dalam
ketenangan bahkan retret sebelum mengambil keputusan yang menentukan hidupnya?
Mengapa pendidikan, pengajaran, pelatihan kita tidak banyak membawa perubahan,
bahkan lebih banyak mengalami kegagalan? Mengapa banyak orang (beragama) begitu
mudah diprovokasi untuk saling membenci bahkan saling membantai? Salah satu
jawaban pamungkas baru dikemukakan para ahli sejak 1960-an: “pemahaman kita
mengenai fungsi otak (kiri-kanan) dan cara mengakses / mengatur gelombang otak”.
Otak Kiri dan Otak Kanan
Teori tentang belahan otak kiri dan kanan dengan kekhasan peran masing-
masing merupakan hasil penelitian Roger Sperry dkk di tahun1960an, yang membawa
mereka meraih hadiah Nobel melalui karya “Dual Brain” dan “Hemispheric
Specialization”. Banyak ilmuan peneliti kemudian mengkaji dan mengembangkan teori
ini. Para ahli itu berpendapat bahwa kedua belahan otak (hemisfer) manusia memiliki
karakter yang berbeda, dan seharusnya dikembangkan secara berimbang. Otak kiri
untuk berpikir analitis dan logis, dan membantu kita memahami matematika, logika,
angka serta urutan-urutan linier. Otak kanan untuk berpikir integratif dan spasial, dan
meliputi berbagai kemampuan kreatif-imajinatif seperti melukis, bermusik, ‘melamun’.
Sayangnya, pendidikan formal kita pada umumnya masih berat sebelah dengan terlalu
menekankan peran otak kiri, dan melalaikan pengembangan peran otak kanan. Padahal
kemampuan seseorang sangat tergantung pada pengembangan dan penggunaan kedua
belahan otaknya secara optimal.
18
Dengan memerhatikan pembagian fungsi kedua belahan otak seperti diatas,
kiranya kita dimudahkan untuk memahami berbagai konflik horizontal akhir-akhir ini.
Kedua belahan otak kita, yang seharusnya senantiasa dalam kondisi ‘bi-lateral’
(keduanya berfungsi secara berimbang) seringkali justru dikondisikan ‘lateral’
(berfungsi sebelah, biasanya otak kiri) oleh para pihak yang punya kepentingan politik,
ekonomi dst. Dominasi otak kiri dirangsang dengan berbagai provokasi yang
menajamkan perbedaan SARA. Akibatnya kita hidup saling berprasangka dan saling
mencurigai yang bermuara pada konflik. Dan provokasi semacam itu tidak sulit,
mengingat pendidikan formal kita memang terlalu menekankan belahan otak kiri, dan
praktis menelantarkan pembangkitan otak kanan. Oleh karena itu, pelatihan kita –
bahkan pembinaan pada umumnya – harus melatih penggunaan kedua belahan otak
secara berimbang dengan lebih banyak melatih fungsi otak kanan: mengasah
kreativitas, menajamkan intuisi dan cita-rasa, melatih imajinasi, melihat persamaan dan
hal-hal positif dalam diri sendiri dan orang lain/sesama/kelompok lain,
mengembangkan kemampuan berpikir logis serentak holistik dalam memecahkan
masalah. Pada kesempatan lain, perlu teknik-teknik khusus untuk men-delete berbagai
ciri negatif mentalitas OMK kita seperti minder (rendah diri, tidak PD), takut
berpendapat, takut-salah, dst sebagai dampak dari ‘salah asuhan’ dalam keluarga,
sekolah, lingkungan.
Pikiran (12%), “Perasaan” (88%)
Robert Galvin, Chairman Motorola, menyebut manusia sebagai ‘produk hi-tech
tercanggih’. Erbe Sentanu, penulis buku best-seller “Quantum Ikhlas, Teknologi Aktivasi
Hati – The Power of Positive Feeling” kemudian menganalogikan manusia dengan
computer. Manusia disebut sebagai “computer hayati”. Hardware-nya adalah otak,
software-nya adalah pikiran dan perasaan, Operating System-nya adalah hati nurani yang
melekat di jantung. Pikiran dapat dibedakan atas ‘pikiran sadar’ (conscious mind) dan
‘pikiran bawah sadar’ (subconscious mind). Umumnya manusia hanya memanfaatkan
pikiran sadar, yang biasa kita dengar dalam istilah “menggunakan otak”. Padahal
kekuatannya cuma 12%. Kekuatan yang 88% justru muncul dalam bentuk “perasaan”,
yang sering kita dengar dalam ucapan “menggunakan hati”. Erbe nampaknya amat
memahami buku best seller “THE SECRET” tentang “the power of positive thinking” yang
sangat berpengaruh itu. Candice B.Pert dalam bukunya “Molecules of Emotion” bahkan
menerangkan bahwa aktivitas perasaan atau pikiran bawah sadar (subconscious mind)
bukan saja terjadi di otak, melainkan di seluruh sel tubuh manusia. Jadi, ketika kita
menggunakan “hati” (perasaan), sebenarnya kita sedang memanfaatkan seluruh
potensi kecerdasan di tubuh kita! Sayangnya sejak kecil kita diindoktrinasi untuk selalu
“pakai otak” dan “jangan hanyut dalam perasan”. Oprah Winfrey, ratu Talk Show yang
mampu mengubah begitu banyak warga Amerika (bahkan dunia) dengan menggugah
kepekaan perasaan penontonnya di Oprah Winfrey Show, mengatakan:
“Manusia dibimbing oleh kekuatan yang lebih tinggi yang lebih berupa PERASAAN
ketimbang pikiran. Dan, ketika Anda memahami kekuatan perasaan itu, Anda tahu pasti
bahwa kekuatan itu datang dari Tuhan”.
19
Pikiran bawah sadar juga, menurut Sentanu, menyimpan hal-hal berikut:
1. Memory, yaitu ingatan kita dari kecil sampai sekarang
2. Self-image, yaitu citra diri yang terbentuk dalam proses perkembangan kita
3. Personality, yaitu kepribadian yang dicirikan oleh watak kita
4. Habits, yaitu kebiasaan-kebiasaan kita
Ketika seorang anak kecil ditakut-takuti dengan “hantu yang gentayangan dalam
kegelapan”, atau “setan yang gentayangan di kuburan” informasi salah itu akan
tersimpan dalam memory-nya yang membentuk “keyakinan” (beliefs) bahwa ‘memang
ada hantu gentayangan di malam hari’. Keyakinan negatif itu tersimpan dalam pikiran
bawah-sadar menjadikan seorang anak ‘merasa takut pada kegelapan’. Ketika berjalan
di waktu malam apalagi melewati kuburan, keyakinan itu muncul ke permukaan
menjadi pikiran sadar (thought) ‘pasti ada hantu atau setan gentayangan disini’.
Mulutnya lalu komat-kamit mengucapkan pikiran itu, menjadi kata-kata yang tersirat
bahkan terucap (words) atau omongan pada diri-sendiri: ‘self talk’. Perasaan takutnya
semakin dominan, mengalahkan pikiran sehat, lalu mengambil tindakan (action):
langkah seribu! Ketika proses ini berlangsung berkali-kali, dia menjadi kebiasaan
(habits, habitus). Proses ini berlangsung sama untuk keyakinan positif. Selanjutnya
kebiasaan itu akan menjadi nilai (value) yang menentukan sikap-dasar seseorang ketika
menghadapi setiap kejadian atau masalah. Perangkat nilai-nilai (value system) itulah
yang menentukan nasib (destiny) kita. Mahatma Gandhi merumuskannya demikian:
Your beliefs become your thoughts
Your thoughts become your words
Your words become your actions
Your actions become your habits
Your habits become your values
Your values become your destiny
MENTAL BLOCK
Dari uraian diatas menjadi jelas bahwa ciri-ciri negatif mentalitas kita,
khususnya orang muda kita, sebenarnya berakar pada keyakinan-negatif yang
tertanam sejak kecil bahkan sejak jabang bayi masih berada dalam kandungan.
Sedemikian kuatnya negtive-beliefs itu tertanam sehingga Konrad Lorenz memberi
istilah ‘Imprint’ pada proses itu.
Manusia, yang diciptakan se-Citra dengan Allah dan seharusnya terlahir sebagai
the winner (sang pemenang), kemudian berkembang menjadi the loser (si pecundang)
karena sejak kecil di-install dengan program-program yang salah. Pernahkah Anda
merenungkan bagaimana Anda ‘dibentuk’ oleh Sang Pencipta dalam rahim sang ibu?
Ketika terjadi pembuahan, hanya ada 1 (satu) sel-sperma dari pancaran 250.000.000 sel-
sperma yang berhasil membuahi sel-telur. Bayangkan: 250 juta sel sperma dari si Calon
Ayah berlomba menuju sel-telur si Calon Ibu, tapi hanya satu yang memenangkan
perlombaan dengan membuahi sel telur itu! Artinya, kita diciptakan sebagai the winner
20
dari satu sel sperma yang memenangkan perlombaan dengan meninggalkan
249.999.999 sel-sperma yang lain! Dan kemenangan itu diraih melalui perlombaan yang
amat fair dan positif. Tidak ada kericuhan dan kecurangan, semata mengandalkan
keunggulan diri! Dari misteri biologis dan refleksi biblis-theologis diatas, ditegaskan
satu hal: setiap orang dari kita diciptakan sebagai the winner, ‘amat baik adanya’, positif.
Soalnya, mengapa citra-diri kita lebih banyak negatif dan kepribadian kita sering buruk
dan kerdil? Karena jauh lebih banyak program SALAH yang ter-install ke dalam
memory lalu menjadi beliefs kita: dalam keluarga, di sekolah, dari lingkungan sosial.
Menurut penelitian, 70% program yang masuk itu adalah program yang negatif, salah,
dalam berbagai bentuk. Antara lain, lagi-lagi hasil penelitian: 40:1. Maksudnya, setiap
hari seorang anak mendengar sekitar 40 kata negatif “jangan”, “tidak”, “tidak boleh”,
“awas” (dari orangtua/keluarga, lingkungan, sekolah, agama) berbanding 1 kata positif
“ya”. Hasilnya adalah pribadi the loser alias pecundang yang serba ragu, tidak PD, takut
melangkah, takut mengambil risiko karena takut salah.
Semua itu membentuk “mental block” atau halangan mental, yang menjadi
hambatan utama pengembangan diri dan penghalang menuju keberhasilan! Karena
yang menjadi beliefs dan self-talk setiap saat adalah “saya tidak boleh”, “saya tidak bisa
…”, “saya kurang mampu”, “sebenarnya bisa tapi sulit” dst. Pribadi semacam itu pasti
akan sulit bersikap apalagi mengambil keputusan dan bertindak positif. Dan manakala
mengalami kegagalan, akan mencari penyebab kegagalannya di luar dirinya, mis:
karena orangtua saya tidak memberi fasilitas,
karena saya tidak punya relasi orang dalam,
karena agama saya minoritas,
karena orang-orang dewasa tidak memberi kesempatan,
Mind-set seperti itu jelas menempatkan diri sebagai ‘korban’ dan mencerminkan
kekerdilan kepribadian. Kebiasaan menyalahkan oranglain dan keadaan di luar diri
(externalist), akan melahirkan pribadi yang tidak bertanggungjawab (‘melempar
tanggung-jawab’). Berikut beberapa ciri kebiasaan dari the loser dan the winner.
The Loser (Pecundang) The Winner (Pemenang)
21
MIND-(RE)SET
Bagaimana mengubah persepsi-diri sebagai “korban” atau “obyek penderita”
menjadi “subyek”, pelaku utama yang menentukan nasibnya sendiri? Bagaimana men-
delete program-program negatif dan salah itu dan menggantinya dengan program-
program yang positif dan benar? Dengan kata lain, bagaimana mendobrak dan
meruntuhkan mental-block lalu memproses mind-resetting dari the loser menuju the
winner?. Itulah tantangan pembinaan dan pelatihan menyangkut self-change,
pengubahan pola-pikir dan pola perilaku atau kebiasaan (habitus, habits). Entry-point
atau pintu masuknya adalah keyakinan, beliefs. Para ahli menawarkan jawaban,
mengacu pada teori mengenai otak.
Di ‘perbatasan’ pikiran sadar dan bawah sadar ada filter yang disebut Reticular
Activating System (RAS). Minimal ada dua fungsi dari RAS: melindungi pikiran kita dari
informasi yang tidak diperlukan, dan menjadi pintu masuk/keluar untuk menyimpan/
menghapus rekaman informasi di bawah sadar. Untuk membuka pintu RAS itu,
gelombang otak harus berada di gelombang Alfa. Karena itu berbagai metode terbaru
pembelajaran benar-benar memanfaatkan hasil penelitian tentang gelombang otak.
Teknik Accelerated Learning, misalnya mengedepankan dominasi dua gelombang otak:
Gelombang Alfa untuk mempelajari informasi baru, dan
Gelombang Theta untuk penyatuan/integrasi mendalam materi pembelajaran.
Yang pasti, ciri utama pembelajaran Accelerated Learning dalam pendekatan Georgi
Lozanov adalah kegembiraan. Jika tidak menggembirakan dan menyenanangkan (fun),
pembelajaran itu bukan Accelerated Learning. Karena itu, Pelatihan ini menyatukan
kegembiraan dan ketegaran menghadapi tantangan, memikul ‘beban’ tanggungjawab.
Apa dan bagaimana mengakses dan mengatur gelombang otak itu?
22
Beta (14 - 100 Hz): frekuensi ketika kita sedang terjaga/sadar penuh dan
didominasi oleh logika dengan lebih memfungsikan otak kiri untuk aktif
berpikir, sehingga gelombangnya meninggi dan merangsang otak mengeluarkan
hormon kortisol dan norefinefrin yang menyebabkan cemas, khawatir, marah,
tegang, stres. Akibatnya kita makin potensial diserang berbagai macam penyakit.
Alfa (8 – 13,9 Hz): gelombang paling ideal untuk pembelajaran, karena menjadi
pintu masuk atau akses ke pikiran bawah sadar sehingga otak akan bekerja
optimal. Pada gelombang ini kita berada dalam kondisi nyaman, relaks bahkan
melamun atau berkhayal, berimanjinasi. Dalam kondisi ini, otak kita
memproduksi hormon serotonin dan endorphin yang mengantar ke rasa
nyaman, tenang, senang, bahagia.
Theta (4 – 7,9 Hz): frekuensi ini menunjukkan kita sedang berada dalam kondisi
khusyuk, relaks yang dalam, ‘mimpi’, ikhlas, pikiran sangat hening, indera
keenam atau intuisi muncul. Dalam kondisi ini, otak mengeluarkan hormon
melatonin, catecholamine, dan AVP (arginine-vasopressin), sehingga pikiran
menjadi sangat kreatif, inspiratif dan terbuka ke realitas kuantum yang tak
terjangkau oleh pancaindera kita.
Delta (0,1 – 3,9 Hz): frekuensi terendah ini menunjukkan kita dalam keadaan
tertidur pulas tanpa mimpi, tidak sadar, tidak berpikir. Otak mengeluarkan
hormon yang disebut HGH (Human Growth Hormone, hormon pertumbuhan
insani), yang bisa membuat orang awet muda. Bila seseorang tidur dalam
kondisi delta yang stabil, meski hanya beberapa menit, akan bangun dengan
tubuh yang segar.
Dr.F.Noah Gordon menegaskan:
“Gelombang Alfa adalah kondisi relaks yang merupakan ‘rumah pembelajar sebenarnya’,
di mana kita dapat belajar dengan menyenangkan tanpa harus bersusah payah”
Paul T.Scheele, pendiri Learning Strategies Inc, menulis:
“Untuk berubah, diperlukan pergeseran gelombang otak dari perjuangan pikiran sadar
menjadi tuntunan bawah sadar. Pikiran Anda yang terlalu keraslah yang membuat Anda
terus terjebak dalam masalah yang ingin Anda selesaikan”.
Pengalaman kita juga membuktikan, kita tidak dapat mengubah pandangan
seseorang dengan membentak, memarahi, memojokkan, memaksa dan sejenisnya
(kecuali bila hal itu dilakukan dalam konteks “pelatihan spartan” yang diawali dengan
kontrak pembelajaran, antara lain berupa Tata Tertib Pelatihan dan dipandu Team yang
kompeten). Yang akan kita hasilkan justru kebalikannya: resistensi atau perlawanan!
Sebaliknya kalau kita masuk pintu perasaan (pikiran bawah sadar)nya, dia akan mudah
mengubah pandangannya: “masuk melalui pintu dia, keluar melalui pintu kita”.
Jelaslah bahwa kita membutuhkan skill untuk beralih dari gelombang Beta (perjuangan
pikiran sadar, yang kemampuannya 12%) ke Alfa (tuntunan bawah sadar, yang
23
kemampuannya 88%). Ini tidak mudah, karena kita tidak terbiasa. Umumnya kita
hanya bergerak antara gelombang Beta dan Delta, tanpa melalui dua gelombang Alfa
dan Theta. Bangun tidur kita langsung ‘menyetel’ otak kita pada gelombang Beta
dengan rencana kerja hari ini, apa yang harus dikejar, masalah yang harus dibereskan,
lalu masuk kesibukan kerja atau studi yang menuntut konsentrasi penuh. Hidup
keseharian kita sering diwarnai ketegangan, kecemasan, kekuatiran, stress. Pulang ke
rumah, sudah lelah, mengantuk akhirnya tertidur, kita langsung masuk gelombang
Delta. Karena umumnya tidak terbiasa, kita membutuhkan latihan-latihan untuk
menyelam ke pikiran bawah sadar, dimana kita bisa menggunakan seluruh potensi
kecerdasan kita. Berbagai latihan relaksasi dan meditasi untuk mengakses gelombang
Alfa, akhir-akhir ini banyak diperkenalkan dalam pelatihan manajemen.
Jose Silva, pendiri Silva Mind Method, menulis:
“Tingkat optimum untuk otak berpikir adalah 10 Hz (Alfa), yang merupakan frekuensi
optimum untuk melatih kecerdasan semua indera manusia dan pintu masuk ke (hati)
bawah sadar. Hanya 10% yang sanggup berpikir di frekuensi ini secara alami. Selebihnya
perlu dilatih untuk itu”.
Ada berbagai cara untuk berlatih mengakses gelombang Alfa dan Theta. Ada
yang sangat ilmiah dan terstruktur, membutuhkan waktu khusus dan biaya tinggi,
seperti Silva Mind Method. Tetapi ada juga yang lebih sederhana dan mudah, misalnya
melalui latihan meditasi dan melalui media audio (musik) sebagaimana digunakan
dalam Accelerated Learning. Ini perlu kita kaji dan dalami, karena dunia orang muda
sangat dekat dengan ‘bahasa universal’ yang bernama musik itu. Yang pasti, dalam
Pelatihan yang efektif para trainees harus dituntut membuat Refleksi Tertulis yang
dibaca dan diberi komentar/arahan oleh para trainers. Baik untuk setiap materi kognitif
maupun atas latihan-latihan khusus (taylor-made) untuk setiap peserta, termasuk
“hukuman-hukuman” atas pelanggaran tata tertib. Saat-saat Refleksi itu dianjurkan
diiringi musik pembelajaran, khususnya musik untuk Meninjau Ulang dan Relaksasi.
MEMILIH MUSIK
Musik, tulis Lex McKee, adalah ‘ketukan irama’ yang sangat penting dan ampuh
untuk mendorong pikiran agar harmonis dengan pengalaman pembelajaran. Musik
dapat disebut sebagai entrainer utama. Kebanyakan manusia memiliki asosiasi tertentu
serta terbawa pada kondisi emosional asosiatif bila mendengar musik tertentu. Karena
itu musik dengan irama yang kuat dan tepat dapat membantu pengalaman
pembelajaran. Orang muda, yang biasanya (cuma) senang dengan musik keras yang
menghentak-hentak, justru menciptakan hambatan pembelajaran bagi dirinya sendiri,
karena jenis musik itu justru mendekatkan otak pada gelombang Beta dan
menjauhkannya dari Alfa apalagi Theta. Oleh karena itu memilih musik yang tepat
untuk pembinaan, khususnya pelatihan dan kaderisasi, merupakan seni tersendiri.
Tidak semua musik cocok untuk digunakan sebagai bagian dari proses pelatihan.
Menggunakan musik dari artis-artis yang terlalu populer, apalagi bila musik/lagunya
24
dikuasai dan digemari orang muda, justru akan menggangu. Perhatian mereka akan
beralih ke lagu, dan akan cenderung mengikuti lagu itu. Lebih baik menggunakan lagu-
lagu (instrumental) yang kurang dikenal, dari genre yang sesuai dengan kebutuhan:
gelombang otak mana yang akan diakses, dan untuk keperluan apa. Pemilihan sound-
system yang bagus dan pengaturan volume juga sangat menentukan efek emosional.
Lex McKee membedakan:
Musik untuk memasuki proses pembelajaran
Musik untuk keluar dari proses pembelajaran
Musik untuk peralihan
Musik untuk menyemangati kelompok
Musik untuk relaksasi dan meninjau ulang
Musik untuk mengubah pola pikir selama waktu jeda
Musik untuk memfasilitasi pembelajaran berirama
Musik untuk menguatkan imajinasi dan visualisasi
Musik untuk menekankan berbagai poin pembelajaran tertentu (program-
program kunci pembelajaran).
Untuk referensi dan inspirasi dalam memilih musik yang tepat untuk pelatihan kita,
berikut ini dikutip tawaran Lex McKee buku “The Accelerated Trainer, Revolusi
Pelatihan Sukses dengan Teknik Accelerated Learning”:
25
MUSIK UNTUK KELUAR PROSES PEMBELAJARAN
26
MUSIK UNTUK MENINJAU ULANG & RELAKSASI
Catatan:
Kebanyakan judul lagu diatas sudah dikumpulkan oleh P.Frans Tandipau Pr, salah
seorang anggota Tim Kaderisasi STIKPAR KAMS dan sudah dipakai untuk pertama
kalinya pada Latihan Kepemimpinan Mahasiswa (Kaderisasi Pratama) STIKPAR, 9-15
Desember 2008.
27
DOA SEORANG PEMBINA
Tuhanku …
Bentuklah binaan kami menjadi manusia yang cukup kuat
untuk mengetahui kelemahannya
dan berani menghadapi dirinya sendiri saat berada dalam ketakutan.
Manusia yang bangga dan tabah dalam kekalahan,
namun tetap jujur dan rendah hati dalam kemenangan.
Bentuklah binaan kami
menjadi manusia yang berhasrat mewujudkan cita-citanya,
dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angannya saja.
Sosok pribadi yang sadar bahwa mengenal Engkau dan dirinya sendiri
adalah landasan segala ilmu pengetahuan.
Tuhanku …
Kami mohon janganlah manjakan mereka ini di jalan yang mudah dan lunak.
Namun tuntunlah mereka di jalan
yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan tantangan.
Biarkan mereka belajar untuk tetap berdiri di tengah badai
sehingga belajar untuk ber-empati, dan mengasihi mereka yang tidak berdaya.
Ajarilah mereka berhati tulus dan bercita-cita tinggi,
sanggup mengendalikan diri dan memimpin diri sendiri
sebelum mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain.
Tuntunlah para binaan kami memahami seluruh pengalaman hidup mereka,
mengerti makna tawa ceria, tanpa melupakan makna tangis duka.
Pribadi-pribadi yang berhasrat untuk menggapai masa depan yang cerah
namun tak pernah melupakan masa lampau, dan menghargai saat kini.
Dan, setelah semua menjadi milik mereka …
Berikan mereka cukup rasa-humor
sehingga mereka dapat bersikap sungguh-sungguh
namun tetap dapat menikmati hidup mereka
Tuhanku …
Berilah mereka ini kerendahan hati
agar senantiasa ingat akan kesederhaan dan keagungan yang hakiki
pada sumber kearifan, kelemah-lembutan dan kekuatan yang sempurna …
Dan, pada akhirnya bila semua ini terwujud,
kami, para pembina, dengan berani dapat berkata
“Hidup kami tidaklah sia-sia, pekerjaan kami tidak percuma;
Dan kami bersyukur diberi kesempatan menjadi perpanjangan KasihMu
dengan melayani mereka ini, yang Kau percayakan kepada kami.
Semoga pekerjaan kami menjadi pujian bagiMu, Allah dan Tuhan kami”.
(disadur dari “Doa untuk Puteraku” Jenderal Mac Arthur, 1942).
“Jika Anda lunak pada diri sendiri, Kehidupan akan keras terhadap Anda.
Kalau Anda keras pada diri sendiri, Kehidupan akan lunak terhadap Anda”
28
BAGIAN KEDUA
MODUL-MODUL
PELATIHAN
29
UNIT 1
Dinamika kelompok:
TUJUAN
Membantu peserta untuk:
BACAAN
1. Edward E.Schannel/John E.Newstrom, “GAMES TRAINERS
PLAY”, McGraw-Hill Book Company, New York 1983
2. Anne Hope and Sally Timmel, “Training for Transformation, a
Handbook for Community Workers, Mambo Press 1987, 25-33.
3. Rhonda Byrne “THE SECRET - RAHASIA”, Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2008
4. Erbe Sentanu “Quantum Ikhlas, The Power of Positive
Feeling”, Elex Media Komputindo, 2008.
5. Stephen R.Covey “The 7 Habits of Highly Effective Person”,
Edisi Revisi, Binarupa Aksara 1997
6. Adi W.Gunawan, “The Secret of MINDSET” , Gramedia
Pustaka Utama, 2008
7. Philips Tangdilintin, “PEMBINAAN GENERASI MUDA
dengan Proses Manajerial VOSRAM – Visi – Orientasi -
Rencana Aksi – Metode” Kanisius 2008, hal 89-90 dan 141.
30
Session - I ICE-BREAKING & PERKENALAN
FORMASI
Tempat untuk sesi ini harus cukup luas dan terbuka (mis. Aula). Kalau mau
pakai kursi, diatur dalam bentuk lingkaran utuh sebanyak peserta, dengan jarak
yang memungkinkan mereka bergerak leluasa. Peserta tidak perlu membawa
atau memegang apapun, termasuk HP. HP ditinggalkan di meja (atau di kamar,
tergantung Tatatertib Pelatihan) dalam keadaan off atau silent.
31
1. LINGKARAN BERLAPIS
o Pengantar singkat:
”Kita akan hidup dan berproses bersama di tempat ini selama 5 hari penuh.
Berhasil-tidaknya proses ini tergantung pertama-tama pada motivasi dan
partisipasi Anda, serta pada intensitas relasi, komunikasi dan interaksi
antara kita, peserta-facilitator/SC, peserta-OC, peserta-peserta. Untuk itu
kita harus saling mengenal lebih dari sekedar nama, dalam waktu
sesingkat-singkatnya. Kita akan buktikan itu dalam 60-90 menit ke depan.
Dalam waktu sesingkat itu, setiap orang tanpa kecuali sudah harus
mengenal semua rekan trainees”. Facilitator kemudian minta semua peserta
berdiri membentuk lingkaran utuh, dengan menempatkan diri di samping
orang yang belum dikenal !
o Facilitator mengambil tempat di tengah, lalu minta peserta berhitung
dengan suara lantang, mulai dari no. 1 sampai orang terakhir. Pertama-
tama, ”Say hello to your neighbours”: minta mereka bersalaman dengan
tetangga kiri-kanan, sambil sebutkan nama. Aturannya: genggam-erat
tangannya, tatap-hangat matanya, ingat mukanya, hafal namanya!
Kemudian, semua yang menyebut nomor ganjil (”orang ganjil”) maju
selangkah ke tengah, nomor genap tetap di tempat. Dalam lingkaran
berlapis, peserta berjalan dengan arah berlawanan, sambil bernyanyi (pilih
satu lagu gembira). Setiap kali ada komando ”Stop!”, peserta berhenti,
saling berhadapan, bersalaman dan berkenalan sesuai dengan ’aturan’ tadi.
Yang perlu diperkenalkan hanya: nama lengkap, nama panggilan, dan
utusan darimana (asal daerah/paroki /keuskupan). Proses ini berlangsung 2
kali (perhatikan jangan sampai ketemu pasangan yang sama), lalu ’break’
untuk test-nama: tunjuk satu peserta maju ke tengah lingkaran,
menyebutkan: dua nama (sekurang-kurangnya nama panggilan) dan asal
dari tetangganya dalam lingkaran pertama, kemudian hal yang sama dari 2
teman baru yang ditemui dalam acara ’gerak & lagu’ (sambil
menunjuk/kenalkan teman-teman ybs); terakhir menyebut namanya
sendiri. Sesudah itu minta lagi satu orang tampil ke tengah, menyebutkan
empat nama/asal dari 4 orang yang diperkenalkan pendahulunya, nama si
pendahulu sendiri, baru mengenalkan dua tetangganya dari lingkaran
pertama, dua teman baru dalam lingkaran berlapis dan terakhir namanya
sendiri. Kalau lupa salah-satu nama saja, dia harus mendatangi ybs, minta
maaf dengan ”gaya tertentu” sampai diingatkan kembali. Prosedur itu
diulangi beberapa kali (asal jaga jangan sampai peserta jenuh), kemudian
lemparkan tantangan ”siapa berani menyebutkan nama setengah (atau 2/3,
atau seluruh?) rekan peserta dan anggota Team”? Apabila si penerka
melupakan beberapa nama, tawarkan siapa yang bisa mengenalkan peserta
yang belum dikenal tsb. Kemudian, tunjuk secara acak peserta tertentu
untuk menyebut semua nama peserta secara berurutan.
32
2. ZIP-ZAP-ZUP
o Facilitator minta semua kembali ke formasi satu lingkaran. Lalu
menjelaskan secara singkat-cepat game berikut, yakni ”Zip-Zap-Zup”: bila
Facilitator menunjuk seseorang sambil mengucapkan Zip, yang
bersangkutan harus menyebut nama teman di sebelah kirinya, namanya
sendiri, lalu nama teman di sebelah kanannya. Bila Facilitator
mengucapkan ”Zap” maka yang bersangkutan harus menyebut nama
teman di sebelah kanan – namanya sendiri, lalu teman di sebelah kiri. Ingat
”Zip” artinya mulai dari kiri, Zap mulai dari kanan! Dan harus cepat dan
spontan, tidak boleh pikir-panjang. Kalau Facilitator mengucapkan ”Zip-
Zap-Zup”, semua harus meninggalkan tempat, untuk mencari tempat dan
teman baru, tidak boleh berdampingan kembali dengan teman yang sama!
Yang ”melanggar” akan mendapat ”hukuman”. Sekali lagi test-nama:
tunjuk spontan peserta yang paling ”kurang perhatian” untuk
mengenalkan nama dan asal-usul semua peserta.
o Kalau masih dirasa perlu, Facilitator dapat mendekati dan menunjuk
beberapa peserta yang nampaknya ”kurang populer”. Setiap kali Facilitator
menunjuk seseorang, seluruh peserta harus menyebut namanya (dua kali
tunjuk, dua kali nama dikumandangkan!). Kalau yang ditunjuk laki-laki,
maka namanya harus disebutkan dengan keras-tegas; kalau perempuan,
namanya harus dilafalkan dengan lembut.
(Alternatif lain: lempar bola volley: pemegang bola sebut nama kemudian
nama orang yang akan menerima lemparan bolanya. Misalnya: ”Dari Reni
untuk Reno”, ”dari Reno untuk Noni” dst. Orang terakhir harus melempar
bolanya kembali kepada Facilitator. Perhatikan, tidak boleh ada orang
menerima lemparan bola lebih dari satu kali. Kalau ada ’kesalahan’
(melempar bola kepada yang sudah dapat giliran), harus menerima
’hukuman’ (yang ringan tapi lucu, misalnya ’jalan bencong’). Pastikan
bahwa setelah sesi ini semua peserta sudah saling kenal nama dan asal-usul
dalam suasana yang sudah cair dan cerah-reria.)
REFLEKSI
Facilitator mengajak peserta ‘belajar dari pengalaman’ dengan mengajukan
beberapa pertanyaan, mis sbb:
Bagaimana perasaan Anda ketika baru masuk di ruangan ini sejam lalu?
Bagaimana perasaan Anda sekarang ini? Mengapa?
Apa yang kita pelajari dari proses singkat ini bagi pembinaan OMK kita?
Bila dianggap perlu, Facilitator dapat ‘mengangkat’ beberapa kata-kunci
yang muncul dari peserta, khususnya suasana hati dan tingkat relasi
(keakraban) antar mereka. Lalu memuji mereka atas ‘prestasi luar biasa’:
mengenal sekian banyak teman baru dalam waktu yang sangat singkat.
33
3. “ZEN KOAN”
Facilitator mengambil teko dan gelas berisi (penuh) air putih / teh yang
sudah disiapkan di luar arena. Gelas teh itu ditaruh diatas piring yang cukup
besar dan ‘dalam’ untuk menampung luberan teh yang akan dituangkan.
Kemudian minta semua peserta memperhatikan apa yang akan
dilakukannya. Lalu Facilitator menuangkan teh dari teko ke dalam gelas
penuh itu, dari jarak yang cukup tinggi untuk memberi efek tertentu.
Tuangkan terus sampai ada yang spontan berteriak “Penuh!”, atau “Stop!”
Apapun reaksi mereka, selalu dapat dievaluasi dan direfleksikan! Apabila
mereka membiarkan Facilitator menuangkan terus teh dari teko sampai luber
ke piring pengalas bahkan sampai ke lantai, Facilitator dapat mengajukan
pertanyaan sbb:
Apa yang terjadi? Mengapa?
Mengapa Anda semua berdiam diri dan membiarkan Facilitator
membuat hal konyol?
Apakah ini mencerminkan kenyataan sehari-hari dalam Gereja &
masyarakat kita? (Membiarkan pemimpin membuat kesalahan, sampai
ada ekses yang parah, tanpa ada yang berani menyetop kesalahan tsb!).
Apabila demonstrasi kecil ini berjalan ‘normal’ (ada yang cepat bereaksi/
minta stop), Facilitator langsung berhenti dan bertanya: Mengapa?
REFLEKSI:
Apa makna demonstrasi/permainan kecil ini bagi kita ?
Adakah diantara Anda yang pernah membaca/mendengar ceritera yang
tadi diperagakan? Bagaimana kisahnya? Apa pesan pokoknya?
Pesan pokok kisah Zen Koan: kalau Anda mau belajar sungguh-sungguh,
“kosongkan cangkirmu”, buang jauh-jauh semua yang “memenuhi” pikiran
dan hatimu, yang menghambat proses belajarmu: keangkuhan, pembenaran-
diri, ‘sok tahu’, spekulasi, praduga, curiga dst. Buka pikiran, buka hati!
ZEN KOAN
Nan-in, seorang ‘Master’ Zen Jepang, menerima tamu seorang professor universitas yang
ingin mencari-tahu perihal Zen. Mereka bercakap-cakap sejenak, lalu Nan-in menyajikan teh
seperti lazimnya tradisi Jepang. Ia menuangkan teh ke cangkir si professor sampai penuh,
berhenti sebentar, lalu meneruskan gerakannya menuangkan teh hingga meluber . Si professor
mengamati tumpahan itu hingga tidak tahan lagi. “Sudah meluber, tak ada lagi yang bisa
masuk” teriaknya. “Seperti cangkir ini” ujar Nan-in, “Anda sudah penuh dengan pertimbangan,
pendapat, pandangan, teori dan spekulasi. Bagaimana saya bisa memperlihatkan Zen, kalau
Anda tidak mengosongkan cangkirmu lebih dulu?”
34
SESSION II PERUBAHAN: MIND-SET vs MENTAL-BLOCK
FORMASI
Tempat untuk sesi ini disiapkan di dua lokasi: untuk game dan untuk refleksi
serta informasi. Untuk game, disiapkan meja kecil sebanyak kelompok peserta (5-
6 kelompok, masing-masing 6-7 orang) yang ditempatkan agak berjauhan agar
tidak saling mengganggu. Untuk refleksi dan pengarahan/informasi/input,
disiapkan dalam bentuk lingkaran atau setengah lingkaran untuk memberi
sugesti ‘kekompakan dan saling mendukung’.
35
1. PENGANTAR
Dalam sesi awal kita sudah membuat sensational record: mengenal semua
rekan sesama trainees & trainers dan menjadi akrab dalam waktu amat singkat.
Kumpulan ‘aku dan engkau’ sudah menjadi KITA. Dari pribadi yang tadinya
asing satu dengan yang lain, relasi kita menjadi semakin rekat, kohesif. Ke-
KITA-an itu memungkinkan kita untuk menunaikan ‘tugas perkembangan’:
menjadi pribadi yang matang, seimbang dan utuh, secara fisik-biologis, sosial-
psikologis, mental-spiritual. Namun pengalaman pribadi kita membuktikan
tidak mudah menunaikan tugas pengembangan diri. Mengapa? Banyak
bambatan-hambatan dalam diri kita, baik yang kita ciptakan sendiri tanpa
sadar, maupun yang kita serap dari lingkungan eskternal: keluarga, sekolah,
masyarakat. Itulah yang akan kita sadari dan olah dalam sesi berikut ini.
Kita akan mulai dengan permainan dalam kelompok. Kelompok sudah dibagi
dan sekarang kami minta berkumpul dalam kelompok masing-masing dekat
pada meja yang akan ditunjukkan (bacakan pembagian kelompok, tunjukkan
tempat/mejanya).
2. PERMAINAN “TRUST FALL”
Apa yang akan kita buat? Setiap orang akan mendapat giliran naik keatas
meja dan ‘menjatuhkan diri’ diatas tatangan tangan rekan-rekan. Tiap
kelompok bertanggungjawab atas keselamatan anggotanya. Apakah semua
jelas? Silahkan tentukan urutan, siapa yang pertama dst. Permainan berakhir
setelah semua sudah ‘terjun bebas’ (Para observers dipersilahkan menuju
kelompok yang akan diobservasi. Jangan jelaskan lebih dari itu, supaya
semua bermain lepas-wajar-spontan tanpa terlalu digiring/didikte).
3. EVALUASI/REFLEKSI
Peserta kembali ke ruang pertemuan, duduk berdekatandengan timnya.
Pemandu mengajukan pertanyaan overhead untuk evaluasi dan refleksi
Apakah semua berhasil ‘terjun-bebas’ dengan selamat ?
Bagaimana perasaan Anda pada saat mau menjatuhkan diri? Mengapa
demikian? Bagaimana perasaan Anda sesudahnya?
Apa yang menyebabkan Anda berani menjatuhkan diri?
Apakah ada yang tidak berani? Mengapa Anda tidak berani?
Apa yang kita pelajari dari permainan ini?
Adakah yang tahu judul permainan ini?
Permainan ini dikenal sebagai Trust Fall. Apa maknanya?
Pada tahap ini, usahakanlah agar muncul dari peserta minimal dua kata
kunci: ketakutan/keraguan dan kepercayaan/keyakinan. Ketakutan muncul
karena ketidakpercayaan: pada diri sendiri dan pada rekan-rekan. Adakah
kaitan antara kedua dimensi kepercayaan itu? Dan, adakah kaitan antara
kepercayaan-diri, kepercayaan pada sesama dengan keprcayaan pada Tuhan?
36
4. INPUT: “MENGUBAH MIND-SET, MENDOBRAK MENTAL BLOCK”
(Untuk tahap ini, silahkan baca Pengantar dalam Buku Panduan ini hal 10 s/d
17, dan Adi W.Gunawan “The Secret of Mindset”). Intinya:
Pola pendidikan dan pengalaman masa lalu membentuk DIRI kita kini.
Sayangnya, yang masuk dan tertanam di otak (sadar & bawah-sadar) kita
kebanyakan program negatif. Itulah yang membentuk benteng-benteng
penghambat perkembangan kita, menjadi Mental Block.
Meskipun secara kognitif pikiran sadar kita ‘merumuskan’ suatu positive
thinking, kalau perasaan kita penuh keraguan, ketakutan dst, hal itu akan
sulit terwujud. Mengapa? Kekuatan perasaan (88%) yang jauh diatas
kekuatan pikiran (12%), menjadi mental block.
Maka, tak ada jalan lain: kalahkan dan singkirkan mental lock itu dengan
tekad baja, melalui berbagai latihan serius, sendiri atau terbimbing.
Latihan ini salah satunya. Karena itu ada angket yang minta daftar dari
faktor-faktor penghambat dalam diri Anda: “sifat/kebiasaan negatif dan
hambatan-hambatan mental yang ingin Anda ubah”. Permainan Trust Fall
telah menyadarkan kita pada salah satu mental-block paling fatal:
ketakutan, keraguan karena ketidak percayaan. Hal lain adalah MALU!
Semua itu menjadi beliefs; sayang sekali justru negative beliefs. Proses
tertanamnya beliefs disebut Konrad Lorenz sebagai “Imprint”.
Buatlah sekali lagi daftar mental block Anda, urutkan menurut tingkat
‘parahnya’ sebagai penghambat keberhasilan Anda. (Daftar ini akan
digunakan dalam Ibadat Tobat/dibakar sebagai ungkapan tekad Tobat).
Aktivitas Pribadi: Susunlah menurut urutan kronologis (apa yang
mendahului apa) bagi diri Anda: NASIB (destiny) – TINDAKAN (actions) –
NILAI (values)– KEYAKINAN (beliefs) – KEBIASAAN (habits) – PIKIRAN
(thoughts) – KATA-KATA (words).
Diskusikan hasil susunan Anda dengan dua teman kiri-kanan Anda, untuk
mendapatkan susunan bersama. (Berikan waktu diskusi trio 10’. Lalu ajak
mereka melihat bersama beberapa model susunan kelompok trio, untuk
saling meng-kritisi ‘susunan hasil pribadi maupun trio’).
Konfrontasikan hasil trio Anda dengan prinsip Mahatma Gandhi sbb:
37
VISI PRIBADI
Session - III
POSITIVE THINKING & FEELING
FORMASI
Setengah lingkaran (dua lapis?), dengan meja-kursi facilitator di tengah bagian
lingkaran yang kosong. Setiap peserta harus bisa melihat dengan jelas layar LCD.
38
1. PRASARAN: POSITIVE THINKING&FEELING, AND PERSONAL VISION
Materi prasaran sebaiknya disiapkan dalam format Power Points di Laptop.
Bila dibawakan oleh Narasumber non-SC, harus diingatkan (sejak proses
persiapan) agar membatasi presentasi pada kisaran 30-45 menit, 60 menit
dengan tanya-jawab informatif. Kerangka materi presentasi, lih. Lampiran 1 –
Sesi II, hal …
39
Session - IV. MENDENGAR AKTIF & KOMUNIKASI ASERTIF
FORMASI
Tempat untuk sesi ini harus cukup luas dan terbuka (aula). Kursi diatur dalam
formasi Trio dengan jarak yang cukup agar tidak saling mengganggu. Dengan
memusatkan peserta di satu tempat, Facilitator mudah memberi perhatian,
mengontrol dan mengarahkan proses dengan menggunakan wireless mike.
40
1. PENGANTAR
(Karena kursi sudah diatur untuk kelompok Trio, untuk pengantar dan pembagian
kelompok berikut ini peserta diminta berdiri dalam lingkaran).
“Mendengarkan” akhir-akhir ini ternyata semakin sulit. Kita semua, tanpa
kecuali, punya kesulitan dalam “Mendengarkan”. Orang cenderung makin
sibuk dengan pikiran, pandangan dan kepentingan sendiri, lupa memberi
perhatian pada orang lain. Para pemimpin dan wakil rakyat sering mendapat
kiriman “korek kuping” dari para demonstran mahasiswa, untuk
mengingatkan agar mereka belajar mendengarkan suara rakyat, bukan cuma
sibuk mendengar suara sendiri. Dalam Gereja, suara orang muda sering
dianggap angin lalu, diremehkan. OMK butuh didengarkan! Dalam
kelompok apalagi komunitas, OMK lebih membutuhkan seorang sahabat
yang siap mendengarkan daripada ‘pembina’ yang serbatahu. Alm. Rm.
Mangunwijaya pernah menyindir program Latihan Kepemimpinan begini:
“Daripada sibuk dengan public speaking, lebih baik calon pemimpin berlatih
glenak-glenik speaking, dimana mereka belajar saling mendengarkan.
Pemimpin harus lebih banyak mendengar daripada berbicara”. Karena itu
pada sesi ini, kita akan ber-glenak-glenik speaking untuk belajar apa dan
bagaimana itu Active Listening.
41
o Topik Pandangan: kemukakan pandangan/pendapat pribadi Anda,
tentang kondisi masyarakat dan Gereja dewasa ini.
o Topik Perasaan: ungkapkan satu perasaan Anda yang paling kuat
selama berada di tempat dan proses pelatihan ini.
Persilahkan trio berbagi topik tsb (siapa mendapat topik apa) dan beri waktu
untuk siapkan selama 2-3 menit secara tertulis di kertas yang sudah
dibagikan sebelumnya. Setelah itu, Facilitator memandu aktivitas 3 ronde:
Aktivitas Ronde 1. Topik Berita Aktual
Pembicara-1 menyampaikan berita/isyu menurutnya aktual/terkini
selama 1-2 menit. Pendengar menyimak dan memberi reaksi yang
menurutnya perlu, sehingga terjadi interaksi, selama 5 menit ! Setelah
batas waktu 5 menit, trio berganti peran (sehingga ketiganya pernah
menjadi pembicara, pendengar dan pengamat).
Aktivitas Ronde 2. Topik Pandangan Pribadi
Pembicara-2 mengemukakan pandangan/pendapat pribadinya tentang
kondisi masyarakat & Gereja dewasa ini selama 1-2 menit. Pendengar
akan bereaksi, dialog dibiarkan berjalan 5 menit, lalu di-stop untuk
selanjutnya berganti peran.
Aktivitas Ronde 3. Topik Perasaan
Pembicara-3 mengungkapkan perasaannya yang paling kuat muncul sejak
masuk pelatihan selama 1-2 menit. Pendengar bereaksi, lalu dialog
berjalan sampai 5 menit.
42
4. INPUT “MENDENGAR AKTIF & KOMUNIKASI ASERTIF”
Trainer yang bertugas membawakan materi input dapat menggunakan satu
dari dua teknik berikut :
1) Siapkan materi dalam bentuk handout untuk tiap peserta, dibagikan
setelah pleno diskusi Trio untuk dibaca bertiga dan dibandingkan /
‘dikonfrontasikan’ dengan hasil mereka dalam kelompok Trio.
2) Trainer yang berfungsi sebagai narasumber menyiapkan materi ini
dalam format Power Points di laptop, untuk dipresentasikan secara
singkat (30 menit) disusul tanya-jawab. Ini mengandaikan kompetensi
dari si ‘narasumber’.
Pokok-pokok materi ada di Lampiran 2 – Sesi III, hal …
43
UNIT 2
MENJADI PEMBINA OMK
MENGAMBIL BAGIAN DALAM PANGGILAN
GEREJA MEMBANGUN KEADABAN PUBLIK BARU
TUJUAN
BACAAN
1) Stephen R.Covey “The 7 Habits of Highly Effective People”,
Edisi Revisi, Binarupa Aksara 1997, hal 3-34.
2) Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda, Kom Kepemudaan KWI
3) PGM – VOSRAM, Kanisius 2008, semua bab tentang visi-
orientasi dan Metode Pembinaan
4) “Spiritualitas Kader Katolik dan Spiritualitas Pengkader”
dalam Buku Panduan Pelatihan & Kaderisasi OMK, hal 33-47.
5) Hasil-hasil Penelitian mutakhir tentang OMK, Narkoba, -=dst
44
Session - V PENJERNIHAN MOTIVASI
MENJADI PEMBINA OMK
FORMASI
Tempat untuk sesi ini disiapkan dalam formasi setengah lingkaran, dua baris
horizontal, untuk memudahkan peserta membentuk kelompok spontan bertiga
atau berempat pada saat diminta sharing.
45
1. PENGANTAR
Lewat proses pembelajaran eksperiensial selama 3 hari ini, kita sudah
mengalami dan menjadi “Komunitas Basis Gerejani”, dan memahami tugas
perutusan Gereja Indonesia untuk membangun keadaban publik baru. Kita
sadar, sebagai (anggota) Gereja, kita punya andil dalam berbagai kenyataan
buruk masyarakat kita yang mencerminkan ketidakadaban publik. Karena itu
kita mau berubah, dan kemauan itu sudah kita wujudkan dengan
METANOIA: bertobat. Setiap perubahan harus dimulai dari ‘pengubahan
diri’, tobat pribadi, karena kita yakin bahwa the essence of change is self-change.
Kita mengakui dosa-dosa sosial dan personal, terutama kelalaian (tidak
berbuat/bertindak pada saat seharusnya kita bertindak), serentak bertekad
untuk lebih peduli dan terlibat, pribadi maupun bersama.
Sekarang, dalam status sebagai Manusia Baru, kita akan mendirikan
pemahaman tentang tugas-perutusan kita: membangun keadaban publik
baru melalui pembinaan OMK yang (akan) dipercayakan kepada kita. Suatu
tugas besar dan tidak ringan. Oleh karena itu kita akan mulai dengan
meneliti Motivasi kita menjadi Pembina OMK, sebagai kelanjutan dari tobat
pribadi kita. Selanjutnya kita akan ‘membentuk’ Spiritualitas Pembina OMK,
memahami OMK dan dunia mereka, merumuskan Visi – Orientasi – Strategi
pembinaan OMK dan melatih Metode-metode pembinaan. Inilah rangkaian
proses Tema besar kita yang ke-3: “MENJADI PEMBINA OMK, mengambil
bagian pada panggilan Gereja membangun keadaban publik baru”
Kita perlu sepakat lebih dulu bahwa kita akan tetap menggunakan istilah
“pembinaan”, karena sudah menjadi istilah tehnis yang umum digunakan.
Tetapi yang kita maksud dan pahami dengan istilah baku itu akan menjadi
terang-benderang dalam pembahasan tema besar ini.
46
Karena saya tidak puas dengan liturgi Gereja yang kurang kreatif
Karena orang-orang muda minta saya membimbing mereka
……………………………………………………………………..
(Kalimat-kalimat ini dapat diganti dengan alasan-alasan lain yang sering
kita pikirkan atau dengarkan dari para Pembina. Sengaja disiapkan satu
baris kosong untuk diisi sendiri oleh peserta apabila alasannya belum
muncul dalam 9 kalimat yang ditawarkan).
Apabila mereka sudah selesai mencatat semua kalimat diatas (plus baris
kosong, bila sudah diisi), Facilitator kemudian memberi ‘instruksi’:
“Kalimat-kalimat ini adalah kemungkinan-kemungkinan yang menjadi
‘alasan pendorong’ atau motivasi Anda menjadi Pembina. Karena itu susunlah
potongan-potongan kertas (alasan) itu sejujur-jujurnya untuk menjawab
pertanyaan: Mengapa saya menjadi Pembina OMK? Artinya, kalimat yang
benar-benar menjadi alasan faktual Anda menjadi Pembina akan berada di
urutan teratas, dan yang paling tidak benar di urutan terakhir”.
Berikan waktu 3-5 menit untuk aktivitas pribadi ini, dengan iringan musik
klasik tenang-meditatif. Setelah itu, lemparkan pertanyaan untuk mengecek
pilihan mereka, mis: “Berapa orang menempatkan kalimat ‘karena saya
disuruh Uskup/Pastor/Moeder/Atasan’ di urutan pertama”? Lalu pindah ke
kalimat lain, mis ”karena saya merasa terpanggil menjadi Pembina OMK”.
Umumnya mereka akan ‘tergoda’ untuk memilih kalimat ini, karena sulit
membedakan motivasi faktual dengan motivasi ideal. Maka bisa ‘dikejar’
dengan pertanyaan ‘bagaimana Anda tahu Anda dipanggil jadi Pembina?’
Ingatkan mereka untuk membedakan motivasi awal/faktual dengan motivasi
ideal, yang seharusnya. Lalu minta kembali mereka untuk menyusun lagi,
tetapi dalam dua versi: yang faktual dan yang ideal. Beri waktu 3 menit lagi
dengan iringan musik yang sama.
47
Adakah dinamika dari motivasi-faktual ke motivasi-ideal yang Anda
temukan dalam sharing teman-teman? Bagaimana persisnya? Adakah
teman sharing yang sudah puas dengan motivasi awal? Mengapa?
Mengapa kita mengawali pembahasan tema “Menjadi Pembina OMK”
dengan sub-tema Motivasi? Seberapa pentingkah motivasi seorang
Pembina dalam karya pembinaan OMK?
Facilitator kemudian mengangkat butir-butir mutiara yang muncul dari
sharing dan diskusi pleno diatas sambil menyelipkan input bila perlu, mis:
Apapun motivasi awal Anda, meski dangkal (mis cari nama atau
popularitas sekalipun), tidak ada yang salah karena Tuhan menarik kita
kedalam karyaNya dengan berbagai cara. Yang salah ialah kalau kita
bertahan dalam motivasi awal yang dangkal dan egosentrik. Karena itu
kita perlu masuk dalam proses “penjernihan dan pemurnian motivasi”.
Motivasi ideal (“panggilan bagi pelayanan”) akan terus memurnikan
dan ‘membungkus’ motivasi awal yang egosentrik itu.
Motivasi kita juga harus berproses dari ‘motivasi ekstrinsik’ (dari luar,
mis ‘jadi Pembina karena disuruh atasan’) menjadi ‘motivasi intrinsik’
(kesadaran akan pentingnya POMK, sense of mission atau rasa terpanggil
untuk menyiapkan OMK mengemban peran pembaruan dalam Gereja
& Masyarakat). Kalau bertahan hanya pada motivasi ekstrinsik, kita
akan jadi ‘orang suruhan’, tanpa inisiatif dan kreativitas.
Kedua point diatas merupakan ‘on going process’, pergumulan yang tak
ber-kesudahan. Mengapa? Karena kualitas pelayanan seorang Pembina
ditentukan oleh motivasi-nya. Motivasi yang benar dan kuat akan
melahirkan komitmen: kesiapsediaan mengikat/memberi-diri (pikiran-
tenaga-waktu bahkan dana) pada karya pembinaan. Selanjutnya,
mendorong Pembina mencaritahu seluk-beluk pembinaan ‘sampai ke
ujung dunia’ sekalipun. Motivasi yang benar juga akan menumbuh-
suburkan sikap-sikap dasar yang benar, yang akan kita gali dari Kitab
Suci dalam proses berikut.
48
renungan pribadi Anda pada kolom di samping kanan dengan jelas agar
dapat dibaca teman-teman sebagai sharing pada tahap berikutnya”.
Berikan waktu secukupnya (20-30 menit), dengan iringan musik instrumental
meditatif yang merangsang imajinasi dan kreativitas. Setelah selesai, mintalah
mereka untuk sharing diam dengan “memberikan LKP ke teman di samping
kiri”. Tiap orang membaca hasil renungan pribadi dari 2-3 teman dari
samping kanannya, dengan tetap diiringi musik instrumental.
49
Session - VI
SPIRITUALITAS & MORALITAS
PEMBINA OMK
FORMASI
Tempat untuk sesi ini dapat disiapkan dalam formasi kelas atau setengah
lingkaran, tergantung sugesti mana mau ditekankan. Apabila narasumber adalah
seorang Imam/ahli Spiritualitas yang diharapkan menyampaikan ‘ajaran resmi
Gereja’ tentang topik ini, maka formasi kelas yang dipilih. Apabila metode
dialogis (wawancara) digunakan, maka formasi setengah lingkaran lebih tepat.
50
1. PENGANTAR
Dalam sesi yang lalu kita sudah mengawali upaya kita “menjadi Pembina
OMK” dengan menyadari, menjernihkan dan memurnikan motivasi kita.
Untuk menjamin proses pemurnian motivasi dan pembaruan komitmen
terus menerus, kita butuh pondasi yang kokoh yakni Spiritualitas. Istilah ini
sudah amat sering kita dengarkan, khususnya di kalangan rohaniwan/ti.
Bagi kita (calon) Pembina OMK, apakah kata ini punya makna tertentu? Apa
yang spontan muncul di benak Anda ketika mendengar kata ‘spiritualitas’?
Tuliskanlah satu-dua kata yang dapat menjelaskan atau mengasosiasikan
kata ‘spiritualitas’ ketika Anda mendengarnya. (Berikan waktu 1 menit
untuk menuliskan satu-dua kata – bukan definisi! – yang spontan muncul di
benak peserta bila mendengar kata ‘spiritualitas’). Lalu tampung di papan
tulis atau white-board sebagai titik tolak untuk prasaran (atau ceramah).
51
untuk melakukan hal-hal yang benar (doing right things) dengan cara-cara
yang benar (doing things right). Kalau yakin bahwa pilihan langkah kita
benar (= selaras dengan kehendakNya), maka kita akan
melaksanakannya dengan “kepercayaan penuh”: percaya diri karena
percaya pada Allah, yakin bahwa kehendakNya-lah yang kita jalankan.
Spiritualitas memandu seorang kader/Pembina OMK menemukan
orientasi hidup dan perjuangannya untuk tidak jatuh kedalam tiga
godaan paling berbahaya: 1.Kekayaan 2.Kehormatan 3.Keangkuhan.
Jatuh kedalam bahaya-bahaya ini akan menggiring ke berbagai
kedurhakaan lain. Seorang Pembina, misalnya, akan jatuh kedalam
jebakan popularitas, cari kehormatan-diri di kalangan OM, lalu
menempatkan diri, bukan Kristus, sebagai arah dan pusat karyanya.
Karena itu seorang Pembina yang baik tidak akan membiarkan karya
pelayanannya bergantung pada dirinya (salah satu bentuk keangkuhan)
melainkan berupaya menciptakan sistem dan mekanisme yang menjamin
kesinambungan karya pembinaan.
3. DISKUSI KELOMPOK
Untuk ‘mendaratkan’ materi Spiritualitas, peserta dibagi dalam kelompok
untuk diskusi (max 40 menit), dengan pertanyaan panduan berikut:
1. Nilai-nilai apa saja yang harus menjadi ciri-ciri utama Spiritualitas
Pembina OMK? (rumuskanlah 3 nilai utama)
2. Faktor-faktor apa saja yang bisa menghambat Anda mengembangkan
Spiritualitas sebagai Pembina OMK?
3. Bagaimana Anda, secara individual maupun komunal/bersama,
mengembangkan dan menjaga Spiritualitas Pembina OMK?
52
VISI PEMBINAAN (1)
Session - VII PERSEPSI PEMBINAAN
OMK
SASARAN: setelah mengikuti sesi ini para peserta diharapkan
Menyadari persepsi yang keliru tentang OM dan POMK, sebagai salah satu
sumber berbagai permasalahan dalam hubungan dengan OM dan POMK
Membentuk persepsi yang benar sebagai landasan perumusan visi-orientasi-
strategi dan pendekatan/metode POMK
FORMASI
Sesi ini diawali dengan game “Blind Walk”, perjalanan Si Buta. Karena itu setting
tempat perlu disiapkan dengan amat cermat: (1) tempat start bisa di lapangan
terbuka, atau salah satu ruangan agak besar; (2) jalan menuju tujuan, dengan
segala faktor kesulitan dan hambatan; (3) aula atau ruang pertemuan, dengan
gambar-gambar binatang tanpa mata, sebanyak jumlah Si Buta. Di sini kursi
diatur setengah lingkaran untuk evaluasi, refleksi dan pengarahan. Kalau ada
lapangan terbuka atau taman yang cukup luas, lengkap dengan kesulitan dan
hambatan (pohon, selokan, pagar dst), seluruh game (1-3) bisa berlangsung di situ.
53
1. PENGANTAR
Para peserta berkumpul di tempat start, berdiri bertiga-tiga dengan pasangan yang
sudah dibagikan. Facilitator memberi pengantar yang memungkinkan permainan Si
Buta berlangsung spontan untuk menampilkan sikap/perilaku asli para pemeran.
Kita akan mulai sesi ini dengan suatu “perjalanan” dari tempat ini menuju
tujuan yaitu ruang pertemuan. Di sana ada tugas kecil: melengkapi gambar-
gambar binatang dengan menggambar mata binatang tsb yang memang
belum ada. Akan tetapi, perjalanan ini unik. Anda akan jalan bertiga-tiga,
tetapi mata satu orang akan ditutup. Dalam keadaan mata tertutup dia (kita
sebut Si “A”) akan ditemani oleh si “B” menuju ke tujuan tadi dan
menyelesaikan tugas menggambar mata binatang. Terserah bagaimana cara
Anda berdua menempuh perjalanan sampai di sana dan menyelesaikan
tugas itu. Si “C” akan berjalan bersama dengan Si “A”dan “B’, tetapi pasif,
tidak boleh campur tangan. Anggap saja dia tidak ada. Kalau ini jelas, kita
akan mulai persiapan dengan minta “B” menutup mata “A”
(dibantu/dikontrol OC agar benar-benar tertutup sempurna!), sementara
semua “C” menyingkir ke sudut sana (salah satu anggota SC memberi ‘arahan’
pada Pengamat: mencatat sikap/perilaku Si Buta maupun Penuntun, dan pola
interaksi antar keduanya untuk evaluasi nanti).
54
a) Si Buta:
Bagaimana perasaan Anda sekarang ini? Bagaimana perasaan Anda
sepanjang perjalanan tadi?
Bagaimana Anda diperlakukan oleh Penuntun Anda? Bagaimana
perasaan dan sikap Anda padanya?
Bagaimana Anda menyelesaikan gambar tadi? Puaskah dengan
hasil Anda? Mengapa?
b) Penuntun:
Bagaimana anggapan Anda terhadap Si Buta? Bagaimana Anda
memerlakukannya? Mengapa perlakuan Anda seperti itu?
Apa yang Anda buat ketika ada rintangan di perjalanan Si Buta?
Bagaimana ‘proses’ menggambar Anda bersama Si Buta?
c) Pengamat:
Bagaimana pengamatan Anda atas interaksi/komunikasi antar Si
Buta dengan Penuntunnya sepanjang perjalanan tadi?
Gambar-gambar mata binatang ini sebenarnya hasilnya siapa?
Apa yang paling mengesan dari pengamatan Anda?
55
Ketika sedang menjalani ‘permainan’ Blind Walk tadi, apakah Anda
sudah mengetahui kaitannya dengan pembinaan OMK?
Bila “Ya”, dapatkah kita katakan bahwa pola interaksi antara Si
Buta dengan Penuntunnya adalah cerminan interaksi dalam
pembinaan Anda? Artinya mencerminkan pola sikap/perilaku,
relasi/interaksi antara OM dengan Pembina? Bagaimana Anda
menjelaskan hal itu dengan melihat kata-kata kunci di depan ini?
Bila “Tidak”, dapatkah sekarang ini Anda melihat kaitan antara
permainan Blind Walk dengan Pembinaan OMK? (Catatan: Para
psikolog dan ahli dinamika kelompok sependapat bahwa sikap dan
perilaku kita dalam permainan mencerminkan watak/sikap dasar
kita yang sesungguhnya ! So?)
4. PENGARAHAN
Apabila tahap evaluasi dan refleksi berjalan baik dan direkam dengan baik di
white board atau LCD, tahap pengarahan menjadi sangat mudah. Dengan
merujuk pada kata-kata kunci yang sudah dikelompokkan sebagai “Cermin
untuk Berefleksi”, Facilitator menegaskan beberapa pokok berikut:
Persepsi kita (Penuntun) mengenai OM (si Buta) menentukan sikap,
perlakuan, pendekatan dan ‘metode’ kita dalam pembinaan. (Tunjukkan
hasil rekaman di LCD/whiteboard yang membuktikan hal tsb). Permainan
Blind Walk ini menyadarkan kita pada persepsi (asli) kita, serentak
mengingatkan kita untuk “bertobat”: mengubah persepsi, label, anggapan,
pola pikir kita yang negatif terhadap OM selama ini. Ingat Hukum Tarik
Menarik (Law of Attraction): pikiran negatif akan menarik energi negatif
dan menjadikannya kenyataan!
Michelle Obama (First Lady USA) masuk dalam 100 orang berparas elok
sedunia menurut majalah People. Apa komentarnya?
“Saya punya ayah dan saudara laki-laki yang selalu beranggapan bahwa
saya cantik. Penilaian mereka itulah yang membuat saya merasakan hal
yang sama setiap hari…. Saya tumbuh di lingkungan keluarga dengan
para pria yang beranggapan saya pandai, trengginas, dan humoris. Jadi
saya sering mendengar pujian-pujian itu. Saya tahu bahwa di luar sana
banyak remaja putri yang tidak memperoleh pujian seperti itu. Saya
merasa sangat beruntung”. Persepsi positif kita yang terucap dalam
pujian: sugesti positif yang menumbuhkan PD, membentuk Citra-diri,
menjadi Kenyataan (kekuatan perasaan: 88%).
Blind Walk juga mengajarkan kepada kita Fungsi Pembina sebagai sahabat,
pendamping, pendorong dan pemandu sebagaimana dirumuskan dalam
PKPKM (hal 11). Dan diatas semua itu, Pembina harus menjadi Role
Model, figur keteladanan bagi OMK.
Baca bersama: Pembinaan GM, VOSRAM hal 55-61 dan PKPKM hal 11.
56
Session - VIII VISI PEMBINAAN (2):
MENGENAL OMK & DUNIA MEREKA
FORMASI
Bila memungkinkan, sesi ini hendaknya dilangsungkan di tempat terbuka,
lapangan atau taman, untuk memberi sugesti open mind. Peserta duduk santai tapi
serius dalam satu lingkaran. Narasumber / Facilitator menempatkan diri diantara
peserta, dan bebas bergerak ke tengah lingkaran. Role-play dimainkan di tengah
lingkaran sebagai ‘arena’.
57
1. PENGANTAR
Melalui permainan Blind Walk kita telah membuktikan filosofi homo ludens:
manusia adalah mahluk bermain. Sejak kecil, karakter kita terbentuk melalui
berbagai bentuk interaksi sosial dalam aneka-ragam permainan. Karena itu
dipercaya bahwa permainan mencerminkan watak kita yang sebenarnya.
Blind Walk telah mengingatkan kita akan pentingnya mengubah persepsi kita
yang (mungkin) selama ini masih negatif tentang pembinaan OM. Kita akan
teruskan upaya itu dengan membangun persepsi yang tepat mengenai
“siapa Orang Muda bagi kita”. Kita awali upaya itu dengan role-plyaing atau
permainan peran yang akan menyajikan bahan diskusi sekitar “dunia” orang
muda: sikap/perilaku, nilai-nilai, harapan, permasalahan, konflik dst.
Pusatkan perhatian pada peran dan watak yang ditampilkan, bukan pada
keterampilan pemeran, agar kita terbantu untuk memahami OM dari dalam.
2. ROLE-PLAY
Apabila menggunakan gaya Teater Rakyat, maka para pemeran duduk
bersama ‘rakyat’ (peserta) dalam lingkaran, dan muncul pada saat perannya
harus tampil. Facilitator, yang duduk diantara peserta, memerhatikan dan
mencatat dengan cermat hal-hal yang perlu ‘diangkat’ dalam tahap evaluasi
dan refleksi. Bila diperlukan, Facilitator dapat menyela dan menghentikan
lakon untuk mengecek watak/peran yang barusan dimainkan. Kemudian
diteruskan pada alur yang lebih tepat dan tajam menuju klimaks.
58
VISI PEMBINAAN (3)
Session - IX TANTANGAN AKTUAL OMK
FORMASI
Tempat untuk sesi ini disiapkan sesuai dengan tuntutan metode yang dipilih. Bila
ada narasumber ahli dari luar SC, formasi kelas dapat dipilih. Bila diskusi kelas
lebih ditekankan, formasi setengah lingkaran lebih cocok untuk dipilih.
59
1. PENGANTAR
Dalam sesi yang baru lalu kita sudah ‘melihat’ OM/OMK dengan ‘kacamata
baru’ yang lebih positif. Dalam sesi berikut kita akan ‘menempatkan’ OMK
itu dalam konteks sikon mereka sebagai warga Gereja serentak warga
Masyarakatnya, untuk melihat berbagai masalah dan tantangan aktual yang
mereka hadapi. Kita ingat penegasan Alm Mgr.Al.Soegijapranata SJ bahwa
setiap warga Gereja harus menjadi 100% Indonesia serentak 100% Katolik.
Pembinaan kita selama ini mungkin terjebak dalam 100% katolik, lalu
menjadi ‘kerohani-rohanian’ dan cenderung menjadikan OMK (menurut
Alm Rm.Mangunwijaya) sebagai “rohaniwan mini” yang terasing dari
lingkungan masyarakatnya. Karena itu, dalam sesi ini kita akan
merumuskan berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi OMK sebagai
100% warga masyarakatnya.
(Kalau ada narasumber, diperkenalkan dengan topik yang akan dibawakan
dan proses yang akan ditempuh. Bila tak ada narasumber, Facilitator dari SC
dapat menyiapkan prasaran untuk merangsang diskusi dengan kerangka di
bawah ini. Sebaiknya disiapkan dalam format power points. Alternatif lain,
menugaskan peserta untuk membaca hal 39-54 buku “Pembinaan GM,
VOSRAM” yang dibagikan untuk setiap peserta sebelumnya).
2. INFORMASI / PRASARAN
Kerangka presentasi/prasaran SC “Masalah & Tantangan OMK”:
Setiap orang (muda) Katolik adalah warga dua komunitas: Komunitas
Gerejawi 100% sekaligus Komunitas Insani 100% (GS art 1)
Analisis KWI (Surat Gembala & Nota Pastoral) sejak 1997 tentang
situasi dan kondisi bangsa: ketidakadaban publik
7 masalah aktual bangsa dalam kaitan dengan OM: (1) keretakan
hidup berbangsa & formalisme agama, (2) Korupsi, (3) Kemiskinan, (4)
Pengangguran, (5) Premanisme, (6) Ketidaksetaraan gender dan KDRT
(7) Narkoba. 2 tantangan aktual menurut Pertemuan Moderatores
Mahasiswa, 2007: (1) Globalisasi, (2) Fudamentalisme agama.
3. DISKUSI KELOMPOK
Kelompok Diskusi (5-7 anggota) dibentuk berdasarkan kedekatan wilayah.
Diskusi dapat dipandu dengan pertanyaan berikut:
1. Diantara tujuh masalah diatas, manakah tiga masalah utama yang Anda
temukan dan rasakan dalam wilayah/lingkungan Anda? Rumuskanlah
masalahnya lebih konkrit dan tajam, dengan fakta riil. Adakah masalah
lain (dari 7 masalah tsb) yang Anda ‘lihat’ dalam lingkungan Anda?
2. Bagaimana kedua tantangan diatas Anda lihat dan rasakan di tempat/
lingkungan Anda? Adakah tantangan-tantangan lain?
60
3. Sebagai (calon) Pembina, bagaimana Anda menjadikan masalah dan
tantangan diatas sebagai bagian dari pembinaan OMK?
Hasil diskusi kelompok sedapat mungkin ditulis di flaps atau diketik di
laptop untuk diplenokan.
61
Session - X VISI PEMBINAAN (4):
PROFIL IDEAL-VISIONER OMK
FORMASI
Tempat untuk sesi ini dapat disiapkan dalam formasi setengah lingkaran, tetapi
dengan mengatur peserta duduk berdekatan dengan teman satu tim utusan
(wilayah, paroki, kevikepan, keuskupan?). Pengelompokan ini juga sekaligus
digunakan untuk diskusi kelompok.
62
1. PENGANTAR
Kita akan memasuki tahap yang amat penting: merumuskan visi pembinaan
OMK. Dkl, membayangkan Profil Ideal OMK yang kita inginkan sebagai
hasil pembinaan kita (5, 10, 15, 20 tahun?). Profil itu menyangkut kualitas.
Kami ingin awali sesi ini dengan mengajukan pertanyaan: apakan sudah ada
rumusan Visi Pembinaan di keuskupan/kevikepan/paroki Anda? Kalau
ada, apakah Anda (dan Pembina/pemerhati OMK lain) tahu dan paham?
Ada dua alternatif kegiatan kita dalam kelompok ‘tim utusan’ (Paroki?
Kevikepan? Keuskupan?) pada sesi ini.
Pertama, bila sudah ada rumusan tertulis Visi Pembinaan, tugas kelompok
Anda adalah membuat suatu kajian kritis sekaligus membangun
pemahaman bersama supaya rumusan itu menjadi shared vision, visi
bersama. Caranya: rumusan Visi yang sudah ada di tangan kiri, dan hasil
sesi X-XI-XII di tangan kanan. Kajilah rumusan itu, sejauh mana match
dengan hasil studi kita selama di sini, khususnya dalam tiga sesi terakhir.
Bila perlu perubahan, tawarkanlah perubahan itu dengan argumentasinya.
Kedua, bila belum ada rumusan tertulis Visi Pembinaan, diskusikan dan
rumuskanlah Visi Pembinaan untuk OMK yang berada dalam batas-batas
kewenangan Tim Anda (Paroki? Kevikepan? Keuskupan?) dengan
menggunakan PKPKM sebagai sumber inspirasi. Rumusan ini hendaknya
menjabar-konkritkan rumusan dalam PKPKM bertolak dari Hasil sesi X-XI-
XII, untuk menghasilkan shared vision, visi bersama.
Tentang pentingnya Vision Statement, kita sudah paham sejak sesi Personal
Vision: Positive Thinking & Positive Feeling, dan kaitannya dengan HTM/LoA.
Yang perlu kita pedomani bersama adalah beberapa kriteria rumusan Visi
yang baik, antara lain:
Ringkas, jelas, tajam dan memiliki daya motivasional yang kuat
Mendeskripsikan secara riel (konkrit, ‘present tense’) kondisi ideal
OMK yang ingin kita hasilkan dalam pembinaan
Ada batas waktu yang jelas, mis 5 thn, 10 thn, 15 thn kedepan.
Sedapat mungkin mencerminkan kualitas OMK dalam empat
aspek: kepribadian, iman, kegerejaan, kemasyarakatan. Karena itu
kita menggunakan sekurang-kurangnya hasil dari 3 sesi terakhir.
63
3. PLENO
Tiap kelompok diberi waktu 5-7 menit untuk menjelaskan secara singkat:
proses kerja dan produk kelompok mereka berupa Vision Statement atau
Profil Ideal OMK … tahun ke depan. Setelah laporan tiap kelompok, beri
kesempatan floor untuk mengajukan pertanyaan informatif saja. Setelah
semua kelompok usai menyampaikan laporan, Facilitator dapat membuka
kesempatan untuk saling menanggapi dalam diskusi pleno. Sebaiknya
Facilitator mencegah ‘saling serang’ antar kelompok. Karena itu lebih baik
jika Facilitator mengangkat satu-dua hal problematis dan penting yang
terbaca pada setiap kelompok, lalu lemparkan sebagai topik diskusi pleno.
Tidak perlu membuat ‘rangkuman’ dari hasil-hasil kelompok dan diskusi
pleno tsb, karena tidak diperlukan.
64
IBADAT TOBAT
MANUSIA BARU, HABITUS BARU
SASARAN: setelah Ibadat Tobat & Pengakuan Dosa ini para peserta diharapkan
Menyadari andilnya sebagai warga Gereja dalam terjadinya ketidakadaban
publik, terutama karena kelalaian/pembiaran dan sikap acuh tak acuh
Membangun sikap tobat sejati: mengubah diri/habitus (pola-pikir, pola-rasa,
pola-perilaku) menuju pribadi yang peduli dan siap-sedia terlibat aktif
Membangun kembali keyakinan pada kekuatan Sakramen Tobat / Pengakuan
Dosa dalam hidup beriman pribadi, maupun dalam pembinaan OMK.
FORMASI
Sesi ini terdiri atas tiga tahapan: Ibadat Tobat bersama, disusul Pengakuan Dosa
Pribadi dan dipuncaki dengan Perayaan Ekaristi Syukur. Karena itu tempatnya
harus disiapkan dengan cermat, untuk Ibadat Tobat dan Misa Syukur bersama
(gunakan karpet atau tikar), dan tempat-tempat untuk Pengakuan Dosa pribadi.
Imam-imam yang akan menerima Pengakuan Dosa pribadi (sekurang-kurangnya
4 imam) sudah dihubungi jauh sebelumnya.
SARANA & SUASANA YANG PERLU DISIAPKAN
Tim Liturgi perlu menyiapkan Ibadat Tobat yang benar-benar menggugah dan
membangkitkan sikap tobat sejati. Mulai dari musik meditatif yang sesuai,
penerangan yang pas (lilin !) sampai pemimpin ibadat, semua harus disiapkan
dengan serius. Sesi ini dirancang untuk menjadi sesi terakhir pada malam hari
ketiga, yang memuncak pada Perayaan Ekaristi syukur atas tobat pribadi,
serentak membangun Tobat Sosial dengan tekad keterlibatan sosial.
WAKTU & PROSES
Dibutuhkan 120 untuk tiga tahapan proses berikut:
1) Ibadat Tobat Bersama: pemimpin Ibadat Tobat perlu menjelaskan
kerangka proses ini dalam konteks sesi-sesi yang sudah digumuli hingga
kini. Kesadaran akan dosa sosial dan personal, terutama kelalaian (tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan) perlu ditekankan.
2) Pengakuan Dosa Pribadi. Pentingnya Sakramen Tobat (Pribadi) perlu
diberi tekanan khusus, mengingat kenyataan ‘sepinya kamar pengakuan’
dewasa ini.. Mungkin perlu memandu peserta baik dalam tata-cara
pengakuan dosa maupun dalam pengaturan teknis tempat pengakuan.
3) Perayaan Ekaristi Syukur
Tim Liturgi diharapkan menyiapkan sesi ini secara kreatif dan ekspresif, agar
benar-benar menjadi puncak proses (sesi I s/d VI), serentak menjadi landasan
proses selanjutnya.
65
ORIENTASI & STRATEGI
Session - XI
PEMBINAAN OMK
FORMASI
Tempat untuk sesi ini disiapkan dalam formasi yang sama dengan sesi sebelum-
nya, karena merupakan satu kesatuan proses dengan Visi Pembinaan OMK.
66
1. PENGANTAR
Siapkan Pengantar dengan membaca “PGM, VOSRAM” hal 69-72 (Orientasi) dan
hal 85-86 (Strategi). Juga sumber lain, termasuk KAMUS POLITIK (P.Heuken SJ,
Cipta Loka Caraka) yang menguraikan kedua kata kunci ini. Hal penting yang perlu
ditekankan untuk menyamakan persepsi untuk kepentingan proses ini:
Pembinaan kita: kehilangan arah (dis-orientasi) ataukah belum punya arah
alias tanpa-arah (nir-orientasi)?
Kita sering jatuh dalam dikotomi ‘orientasi ke dalam’ dan ‘orientasi ke
luar’, sesuatu yang tidak perlu terjadi. Bacalah hal 71.
Orientasi Pembinaan: pilihan arah-tekanan dan prioritas pembinaan
selama periode tertentu. Pilihan dan prioritas itu akan (seharusnya)
tercermin pada topik/bentuk/materi pembinaan, pihak-pihak yang
dilibatkan, dan alokasi sumberdaya (3 M: man, money, material).
Strategi Pembinaan: rangkaian rencana kegiatan yang disusun secara
sistematik, bertahap-bersinambung (jangka pendek - jangka panjang)
untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu mewujudkan tahap tertentu dari
Visi Pembinaan. Suatu kegiatan ‘bernilai strategis’ apabila memberi
hasil/dampak yang luas dan jauh ke depan.
2. STUDI BAHAN
Facilitator memersilahkan peserta membaca sendiri-sendiri bahan yang
dianjurkan diatas, dan bahan lain yang dicari oleh SC/Facilitator. Berikan
waktu secukupnya (20-30 menit, tergantung bahan yang diberikan) untuk
studi-bahan di tempat yang mereka pilih sendiri. Tetapi sebelum mereka
berpencar, sebaiknya Facilitator sudah mengingatkan mereka untuk langsung
masuk kelompok diskusi (kelompok yang sama dengan sesi sebelumnya)
apabila bel dibunyikan. Tempat setiap kelompok juga sudah harus ditentukan,
dan pertanyaan/panduan diskusi sudah disampaikan.
67
4. DISKUSI PLENO & PENGARAHAN
Tujuan diskusi pleno bukan untuk mencari ‘rumusan bersama’ melainkan
untuk saling menginspirasikan, memerkaya dan menyempurnakan. Karena
itu setelah setiap kelompok melaporkan hasil kerja mereka, Facilitator minta
floor untuk memberi komentar / usul-usul penyempurnaan isi dan bobot dari
rumusan Orientasi & Strategi setiap Tim.
Sesudah diskusi pleno, Fasilitator menggarisbawahi beberapa hal penting
yang didiskusikan. Diharapkan muncul dari diskusi ini suatu kesadaran dan
komitmen bersama untuk “membangun sistem pembinaan OMK” sebagai
syarat dan jaminan pembinaan yang berkelanjutan dan berkesinambungan.
Perlu diingatkan juga, rumusan Orientasi & Strategi tak akan berguna dan
tidak akan membawa perubahan apa-apa jika tidak dijabarkan kedalam
Rencana Aksi dan Program-program Kegiatan-bina. Tahap programming
harus dibuat bersama dengan otoritas pembinaan (Komisi atau Tim Pembina
setempat). Para Pembina, yang sudah menyadari panggilan untuk
“memerjuangkan keadaban publik baru melalui dan bersama OMK”, tidak
boleh membiarkan terjadinya ‘mismanegement’ dan ‘misleading’ dalam POMK.
Sebagai Kader Katolik, seorang Pembina OMK tidak boleh berdiam diri kalau
melihat ada masalah, apalagi yang (akan) berdampak luas dan jauh ke masa
depan bila tidak ditangani dengan benar. Pantang bagi seorang Kader Katolik
membiarkan “masalah berlangsung di depan hidungnya” tanpa bertindak
atau menawarkan suatu solusi. Beberapa gagasan dari “PGM: VOSRAM” hal
101-112 dapat dijadikan referensi untuk dikembangkan.
68
UNIT 3
MEMBANGUN KOMUNITAS BASIS
STRATEGI HIDUP MENGGEREJA C-21
TUJUAN
BACAAN
69
Session - XII
CIRI-CIRI SOSIOLOGIS-BIBLIS
“KOMUNITAS BASIS GEREJANI”
FORMASI
Tempat untuk sesi ini disiapkan dalam dua (2) formasi: formasi setengah lingkaran
untuk pertemuan pleno dan tempat diskusi/sharing kelompok kecil 5-7 anggota.
Akan lebih baik bila mereka duduk “melantai” saat kerja kelompok, untuk
menghindari suasana formal.
70
1. PENGANTAR
Kita telah bersama-sama di sini selama paling kurang … jam. Bagaimana
suasana hati, perasaan Anda sekarang ini, dibandingkan dengan suasana ketika
baru datang? Apa yang berbeda? Mengapa ? (Beri kesempatan beberapa orang
mengemukakan pendapat/perasaannya. Intinya, peserta sudah menjadi
Komunitas: aku + engkau = KITA yang saling kenal dan akrab).
Dalam sesi berikut ini kita akan berdiskusi dan sharing dalam kelompok untuk
merumuskan “Ciri-ciri Komunitas Basis Gerejawi” berdasarkan dua sumber:
o Pengalaman Anda berproses bersama sejak pembukaan Pelatihan ini, mulai
dari rangkaian dinamika kelompok, ibadat/liturgi, dst.
o Kitab Suci, khususnya KisRas 2:41-47 dan 4:32-35.
Berdasarkan refleksi pengalaman ber-dinamika kelompok dan bacaan dari Kisah
para Rasul itu: “RUMUSKANLAH 3-5 ciri-ciri sosial-psikologis-biblis dari KBM
yang akan KITA upayakan bangun setelah pelatihan ini”.
71
CIRI-CIRI KOMUNITAS BASIS GEREJAWI
YANG HENDAK KITA BANGUN DI KALANGAN OMK
Catatan:
Ketujuh butir Ciri-ciri KBG diatas dirangkum dari bahan-bahan bacaan
yang tertera pada keterangan awal Sesi IV ini. Idealnya, ketujuh point ini
merupakan rangkuman dari hasil kelompok dan proses pendalaman pleno.
Maka dalam diskusi pleno Facilitator hendaknya mengajukan pertanyaan-
pertanyaan pendalaman yang “memancing” keluar ide-ide pokok diatas.
Penting dipahami bahwa rumusan Ciri-ciri KBG yang dihasilkan dan
disepakati dalam proses ini harus menjadi “hasil bersama yang mengikat”
semua. Dengan itu rumusan akan mendapat ‘legitimasi kelompok’ untuk
dijadikan panduan sekaligus pegangan bersama dalam membentuk KBG-
KBG di jalur territorial, fungsional dan kategorial (tergantung pada
keadaan yang paling memungkinkan) setelah pelatihan. Bila “Ajaran Sosial
Gereja” nampak agak dipaksanakan, tak perlu dimasukkan dulu dalam
rumusan ini. Tetapi Facilitator harus menegaskan bahwa rumusan Ciri-ciri
KBG ini belum final, karena dalam proses Pelatihan ini mungkin ada
tambahan yang tidak boleh kita lalaikan dalam gerak pembinaan ke depan.
Beberapa kata kunci lain bisa saja menyusul masuk dalam rumusan ini
misalnya setelah Sesi VI. Karena itu Facilitator harus mengingatkan untuk
siap-sedia menyempurnakan rumusan ini dalam perjalanan proses.
72
Session - XIII KBM & MISI SOSIAL GEREJA
FORMASI
Tempat untuk sesi ini disiapkan dalam dua (2) formasi: formasi setengah lingkaran
untuk prasaran dan tempat diskusi/sharing kelompok kecil 5-7 anggota.
73
1. PRASARAN
Sebagai “prasaran”, materi yang dipresentasikan harus menjadi pijakan diskusi.
Karena itu materi prasaran (sebaiknya disajikan dalam bentuk power points)
harus bisa merangsang pemikiran dan memancing diskusi. Ada dua pilihan
bentuk penyajian prasaran:
o Disajikan dalam ceramah monologis singkat (30-an menit) tetapi menarik.
Pertanyaan informatif, dibatasi 10-15 menit, karena yang tertenting adalah
diskusi kelompok untuk pengkajian/operasionalisasi.
o Dipresentasikan secara dialogal (teknik wawancara atau diskusi kelas).
Narasumber setiap kali mengajukan pertanyaan untuk menarik-keluar
pemahaman/penghayatan trainees tentang setiap points, menampung dua-
tiga pendapat (bahkan mungkin lebih, jika topiknya menantang dan diskusi
menjadi seru). Narasumber tinggal menggarisbawahi, meluruskan (bila ada
yang menyimpang) dan jika masih dianggap perlu, mengemukakan bahan
yang sudah disiapkan sebagai rumusan “lain” yang menantang pendapat
mereka. Waktu: bisa 60 menit.
2. DISKUSI KELOMPOK
Peserta mengkaji dan mendaratkan bahan prasaran / hasil-proses diatas
melalui diskusi kelompok 5-7 orang, dengan panduan:
1. Temukanlah indikator-indikator dimana Komunitas Iman (Gereja / KITA)
lalai menjalankan Misi Sosial semestinya
2. Apa yang herus kita buat agar Komunitas Basis Mahasiswa (KBM) kita
benar-benar menjadi Blessing Community?
(Rumusan pertanyaan diatas dapat diubah sesuai situasi dan proses).
74
Session - XIV PENDEKATAN & METODE
PEMBINAAN OMK
FORMASI
Tempat untuk sesi ini dapat disiapkan di alam terbuka untuk memberi sugesti
open mind. Peserta duduk diatas tilam/tikar dalam formasi setengah lingkaran
dua lapis atau dalam satu lingkaran utuh bila memungkinkan.
75
1. PENGANTAR/PRASARAN
Pelatihan kita sudah sampai pada tahapan paling praktis-aplikatif, yakni
Metode Pembinaan OMK. Dalam karya Anda sebagai dosen dan/atau
Pembina mahasiswa, Anda pasti pernah menggunakan metode-metode yang
‘tidak lazim’ dan ingin Anda bagikan pada teman-teman lain. Selama
Pelatihan ini kita juga mengalami berbagai metode pembinaan, yang pasti
sudah sering kita gunakan dalam karya kita. Kita akan mengingat dan
merumuskan kembali semua metode itu sambil membandingkan
efektivitasnya. Namun proses itu akan kita awali dengan belajar dari
‘metode Yesus’ dalam Lk 24:13-35. Kita akan siapkan diskusi dan sharing
untuk saling memerkaya, dengan bekerja sendiri-sendiri, dimulai dari
membaca teks Lukas ini. Selanjutnya kita akan dibantu dengan beberapa
panduan untuk kegiatan pribadi, sebagai bekal masuk kelompok untuk
diskusi/ sharing selama 45’.
(Atau bila perlu, prasaran singkat pengganti aktivitas pribadi, dan panduan
diskusi/sharing dirumuskan kembali)
2. AKTIVITAS PRIBADI
Panduan aktivitas pribadi untuk menyiapkan kegiatan Kelompok:
1. Inspirasi apa yang Anda petik dari kisah perjalanan Yesus bersama dua
murid Emaus (Lk 24:13-35) sehubungan dengan metode pembinaan
Mahasiswa/OMK?
2. Ingat dan tulislah kembali 3 metode yang paling mengena dunia OMK,
yang Anda alami selama Pelatihan ini. Mengapa ‘mengena’?
3. Ingat dan bagikanlah pada teman-teman, metode-metode berciri dialogis-
partisipatif-eksperiensial yang pernah Anda praktekkan dalam karya
pembinaan Mahasiswa/OMK.
Peserta diberi waktu 20 menit untuk membaca/merenungkan teks Lk 24:13-
35 dan menyiapkan diri masuk diskusi/sharing dengan tiga panduan diatas.
4. PLENO/PENGARAHAN
Yang terutama penting diplenokan adalah no.1, inspirasi Injili untuk ‘belajar
dari Yesus’dalam proses dialogis-partisipatif-eksperiensial, diakhiri dengan
‘pengarahan’ Yesus yang ‘membuka mata mereka’. Namun, bila waktu
mengizinkan, sharing metode (no 2-3) perlu diplenokan.
Untuk bahan pembanding/studi pribadi, baca ‘PGM: VOSRAM’ hal 135-188.
76
LATIHAN MENDESAIN
Session - XV BAHAN PEMBINAAN OMK
FORMASI
Tidak diperlukan tempat khusus untuk seluruh peserta pada sesi ini, apalagi
kalau pengantar kegiatan ini sudah disampaikan secara singkat pada akhir sesi
XV. Kelompok dipersilahkan mencari tempat yang mereka anggap cocok untuk
menyelesaikan tugas bersama: mendesain bahan pembinaan untuk dipraktekkan
sebagai tim dan dievaluasi untuk pembelajaran.
77
LATIHAN & EVALUASI
Session - XVI MEMANDU PEMBINAAN OMK
FORMASI
Tergantung kebutuhan kelompok / Tim yang akan praktek.
78
Session - XVII PEMBINAAN OMK & DUNIA MAYA:
WEBSITE-FACEBOOK-FRIENDSTER ETC
FORMASI
Tempat untuk sesi ini dapat disiapkan dalam formasi kelas atau setengah
lingkaran, tergantung sugesti mana mau ditekankan dan formasi mana paling
memungkiknkan untuk mengikuti peragaan di layar LCD.
79
Session - XVIII MEMBANGUN & MENGEMBANGKAN
KOMUNITAS BASIS OMK
FORMASI
Tempat untuk sesi ini dapat disiapkan dalam formasi setengah lingkaran, untuk
memudahkan interaksi dialogis (Facilitator-Trainees) maupun multilogis
(Facilitator-Trainees-Trainees).
80
1. PENGANTAR
Kita sudah sampai pada tahap-tahap akhir pelatihan ini. Besok siang kita
sudah tinggalkan ‘kawah candradimuka’ ini, balik ke habitat kita untuk
berkutat dengan pekerjaan harian kita. Apakah pelatihan/TOT selama 5 hari
penuh ini akan membawa “perubahan” dalam gerak pembinaan kita?
Ataukah kita akan pulang dengan lagu “Aku masih seperti yang dulu”?
Baiklah kita awali sesi ini membaca dan berkaca pada ungkapan berikut:
Umumnya kita ini berada di tipe mana? Mengapa? Setelah pelatihan ini kita
mau berada di tipe mana? Dalam sesi Spiritualitas Pembina kita masih ingat
ciri kader katolik: berbuat melampaui panggilan tugasnya (beyond the call of
duty). Jawaban singkat dan paling tepat atas pertanyaan “Who is a cadre”?
(Siapakah seorang kader?) adalah “a (wo)man who can make things done, and
well-done”. Sesi berikut ini akan membekali kita, bagaimana kita mengelola
organisasi pembinaan atau komunitas kita agar berjalan dengan baik. Kita
akan mulai dari sebuah kasus riel yang diangkat dari kejadian konkrit.
3. DISKUSI KELAS
Setelah itu Facilitator memandu diskusi kelas dengan mengikuti urutan
pertanyaan yang ada dalam lembaran kasus. Untuk menyiapkan rangkuman
dan pengarahan, sebaiknya dipercayakan pada anggota SC lainnya.
4. RANGKUMAN/MASUKAN
Pokok-pokok penting untuk setiap nomor diangkat dan ‘diarahkan’. Yang
diharapkan muncul adalah pemecahan strategis: mengembangkan KMK-
KMK menuju kualitas KBM. Dan untuk menghidupkan KBM-KBM, perlu
rekrutmen/pelatihan Pembina KBM. Setelah itu Facilitator/Narasumber
memberi masukan “Dasar-dasar Manajemen Organisasi & Komunitas”dan
membuka diskusi kelas. Intinya: mencegah figure-centered menuju Sistem
81
Pembinaan OMK/MK yang akan menjamin konsistensi, kontinuitas dan
peningkatan berkelanjutan.
82
RENCANA AKSI, POSTCARE,
Session - XIX
O.F DAN KOMITMEN
FORMASI
Tempat untuk sesi ini dapat disiapkan dalam formasi setengah lingkaran untuk
tahap pengantar dan pleno. Siapkan tempat untuk kerja kelompok Tim Utusan,
sebanyak Tim yang ada.
83
1. PENGANTAR
Kita sudah sampai pada tahap akhir proses Pelatihan kita sebelum ditutup
dengan Misa Pengutusan. Dalam sesi ini setiap Tim Utusan akan membuat
Rencana Aksi atau Tindak Lanjut (RTL) di regio / keuskupan masing-masing.
Mungkin kita sering melihat/mendengar banyak pertemuan atau pelatihan
yang tidak berdampak apa-apa. Pasti kita tidak mau digolongkan dalam
kategori itu. Karena itu kita akan menyusun Rencana Aksi yang benar-benar
memenuhi standar manajemen, khususnya perencanaan, yaitu SMART:
Specific : spesifik, khas dan tajam, tidak biasa-biasa atau ‘umum’
Measurable : dapat diukur secara kuantitas dan kualitas
Achievable : dapat diraih/dicapai
Realistic : (karena itu harus) realistik, konkrit, tidak muluk-muluk
Time-based : berbasis/berbatas waktu tertentu
Meskipun masih akan lebih diaktualkan dan dijadualkan dalam Program-
kerja bersama dengan Tim lengkap yang punya otoritas dalam Pembinaan
M/OMK, RA/RTL yang akan kita hasilkan harus memenuhi syarat-syarat
diatas. Untuk itu kita akan menggunakan Lembar Kerja Rencana Aksi
(jelaskan). Dalam kelompok Tim regio/keuskupan, Anda juga diminta
membicarakan bentuk-bentuk postcare atau bina-lanjut untuk menjaga
semangat, motivasi, spiritualitas sebagai pembina, serta on-going formation
untuk belajar terus-menerus seluk-beluk pembinaan M/OMK. Beberapa hal
yang patut didiskusiskan adalah rencana Pelatihan Pembina M/OMK di
tempat masing-masing, pembukaan Website PM/OMK, Pembentukan Tim
Pembina Mhs, mekanisme pemantauan, dan peningkatan KMK-KMK menjadi
KBM. Di tangan Anda sudah ada tawaran model kegiatan “Lock-in” untuk
meningkatkan KMK-KMK menjadi KBM, sesuai amanat Gereja Katolik
Indonesia sejak 2005 (SAGKI).
3. PLENO
Tiap Tim Utusan menyampaikan hasil kerja untuk berbagi rencana sembari
menerima catatan kritis dari rekan trainees dan SC. Disepakati juga hal-hal
yang menyangkut kepentingan/program bersama, dan sistem pemantauan/
pengendalian, sekonkrit mungkin. Hasil yang sudah diplenokan diarsipkan
Bimaskat/Komkat KWI untuk monitoring & controlling sesuai kesepakatan.
84
BAGIAN KETIGA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
85
Lampiran 1 - Session II
“SHARING LIGHT”
SESI PERSIAPAN PELATIHAN KADERISASI
Deskripsi Program:
Program membangun kerelaan ini merupakan program persiapan pelatihan kaderisasi
Garam dan Terang. Dalam rangka itu, menuliskan, menceritakan dan melepaskan
segala beban dan hambatan sangatlah perlu. Supaya tidak merasa terpaksa, atau untuk
mengurangi resistensi terhadap komitmen yang harus dibangun oleh para peserta
pelatihan, maka membangun kerelaan ini merupakan program dimaksudkan untuk
menciptakan kondisi personal bagi pelatihan.
Tujuan:
(1) Mengajak peserta pelatihan untuk menyadari diri dan seluruh pengalaman
(2) Melepaskan beban, tugas, pengalaman yang mungkin masih menjadi
penghambat peserta untuk masuk dalam pelatihan
(3) Mengajak peserta untuk mulai menyadari pentingnya “jiwa besar” dan “hati
yang rela” dalam pelatihan kaderisasi
Indikator:
(1) Peserta rela untuk mengumpulkan barang miliknya yang bisa mengganggu
pelatihan (HP, MP3, laptop, dompet, rokok, kartu permainan, dsb)
(2) Peserta mulai mengenal teman-teman yang lain lewat sharing personal
Sarana:
(1) Kertas HVS dan alat tulis
(2) Katong plastic transparan yang diselipi kertas putih untuk menuliskan nama
peserta dan kotak kardus untuk mengumpulkan barang milik peserta.
86
Durasi Waktu: 90 menit
Langkah-langkah
(1) Pengantar: Pengarah menjelaskan bahwa untuk memulia pelatihan, kondisi yang
dibutuhkan dalam diri peserta adalah kerelaan dan jiwa besar.
(2) Para peserta diminta duduk melingkar dengan membawa kertas HVS dan alat
tulis yang sudah dibagikan.
(3) Peserta diajak untuk duduk dengan punggung tegak, rileks.
(4) Peserta diajak untuk menyadari nafas, tubuh dan seluruh dirinya dengan posisi
duduk dan terpejam seraya mengatur nafas.
(5) Peserta diajak merasakan anggota tubuh satu persatu dan menyapa tubuh
mereka
(6) Peserta diajak mengingat pengalaman-pengalaman terkahir sebelum dating ke
tempat pelatihan
(7) Peserta diajak kembali kepada meditasi awal untuk fokus pada nafas mereka
(8) Peserta diajak untuk melepaskan beban dan hambatan serta perasaan yang
mengganggu seiring dengan keteraturan nafas mereka
(9) Refleksi: Setelah kurang lebih 30 menit menyadari tubuh, dan fokus pada nafas,
serta mengingat pengalaman yang mengganggu, peserta diajak untuk membuka
mata, dan membuat refleksi tertulis. Bisa juga peserta diajak untuk
menggambarkan.
(10) Meniuliskan semua perasaan, pengalaman yang masih mengganggu. Lalu
hasilnya dibagikan pada teman dekat.
(11) Penutup: Program ini ditutup dengan penyerahan barang milik peserta
sebagai ungkapan kerelaan mereka untuk mengikuti sepenuhnya pelatihan
kaderisasi. Barang milik dimasukkan ke dalam plastic yang sudah disiapkan.
(12) Pengarah membacakan tata tertib bagi peserta pelatihan.
87
Pelatihan ini adalah bagian dari Rangkaian Gerakan Nasional untuk
menyiapkan kader-kader muda untuk menjalankan fungsi pendampingan
dan pemanduan komunitas basis di kalangan OMK, khususnya Mhs.
Kita sedang menjalankan Strategi Hidup Menggereja Abad 21 yang
digariskan oleh SAGKI 2000 dan SAGKI 2005: Komunitas Basis Gerejawi.
Bgmn supaya 5 hari pelatihan di RR Giri Nugraha ini menjadi tonggak
sejarah hidup Anda, 5 hari yang membawa PERUBAHAN MENDASAR
dalam cara berpikir, cara merasakan, bersikap, berperilaku …?
Jawabannya ada di tangan Anda sendiri-sendiri maupun bersama-sama,
apakah Anda mau BERUBAH dan siap dibantu saling membantu untuk
BERUBAH? Karena esensi perubahan adalah PENGUBAHAN-DIRI: the
essence of change is self change. Giri Nugraha akan menjadi tonggak
ANUGERAH BESAR, BUKIT ANUGERAH dalam sejarah hidup pribadi
Anda.
Session SHARING LIGHT berikut akan membantu Anda menyiapkan diri
untuk menjalani pelatihan atau kaderisasi ini dengan HATI RELA dan
JIWA BESAR, dua sikap dasar yang menjadi prasyarat mutlak ikut
kaderisasi 5 hari ini. Kalau sesudah sesi ini Anda merasa tidak siap, tidak
rela, PINTU RR TERBUKA. Silahkan kembali dan menyanyikan lagunya
ST-12 Jangan Berubah. Tapi begitu Anda memutuskan untuk tinggal
untuk menjalani 5 hari penuh tantangan ini, Anda harus BERKOMITMEN
TOTAL. Anda siap MENINGGALKAN ZONA AMAN-NYAMAN dan
masuk ZONA TANTANGAN dgn bekal KOMITMEN PRIBADI. SIAP?
Mulai sekarang harus bergerak CEPAT-GESIT.
MEDITASI
Tinggalkan kursi-kursi /kedudukan Anda, ambil posisi duduk di lantai
menghadap dinding tembok : tegak, lurus, mata tertutup ….
Sadari nafas Anda … tanda kehidupan yang Anda dapat dari Tuhan
dengan Cuma-Cuma …. Bernafas dengan teratur. .. menghirup udara
bersih dengan oksigen …membuang udara kotor … itulah filosofi dasar
kehidupan: menghirup energy baru yang bersih, baik, positif dari Semesta
…dan membuang energy sisa-sisa, yang kotor, semua yang buruk dalam
diri kita ….
Sambil tetap mengatur nafas, sadari, sapalah dan syukurilah setiap bagian
dari tubuh Anda ... mulai dari ujung rambut, sampai ujung kaki. Syukuri
88
tubuh Anda sebagai anugerah Tuhan … hadirkan itu secara utuh disini,
dalam pelatihan ini.
Sadarilah pengalaman-pengalaman, pikiran, perasaan, perjuangan,
pergumulan Anda sebelum datang di tempat ini… adakah sesuatu yang
memberatkan dan menghambat Anda ? Sejak Anda mendapat tawaran
untuk ikut pelatihan ini … mungkin sebulan yang lalu, seminggu yang
lalu, kemudian tiga hari yang lalu…
Renungkanlah pelatihan ini: apa yang Anda harapkan terjadi dalam 5 hari
ini? Perubahan dan peningkatan apa yang Anda inginkan dalam diri
Anda? Bayangkanlah setiap titik perubahan diri Anda itu akan membawa
pengaruh, perubahan bagi komunitas OMK/mahasiswa di tempat Anda...
Sekarang, sadari sepenuhnya keberadaan Anda kini dan disini……
ingatlah kembali semua barang bawaan Anda … yang kini melekat di
tubuh Anda dan yang ada di tas bawaan Anda … apa saja, semuanya
…satu-demi-satu ….. pikirkan dan pertimbangkan dengan sejujur-
jujurnya apa manfaat dari setiap benda itu …. Mendukung ataukah justru
menghambat totalitas Anda selama 5 hari pelatihan ini?
Kembalilah pada kesadaran Anda … pernafasan … simbol perubahan dan
pengubahan diri: merengkuh yang baru, segar, positif, baik …
menyingkirkan yang kotor, buruk, mubazir, negatif … atau yang potensial
menghambat totalitas diri Anda … Bukalah mata perlahan-lahan ….
Siapkan alat tulis…
MENULISKAN HASIL MEDITASI KESADARAN
Hasil meditasi tadi dituliskan secara berurutan, secara singkat dan jelas di
lembaran yang tersedia.
1. Pengalaman, pikiran, perasaan …. yang memberatkan, menghambat Anda
datang ke tempat/pelatihan ini.
2. Harapan Anda dari pelatihan ini bagi masadepan Anda/komunitas Anda?
3. Perubahan khusus apa yang Anda inginkan terjadi pada diri Anda dalam
pelatihan ini? Mungkin ada kelemahan/kekurangan khusus yang ingin
diatasi, atau keunggulan pribadi yang ingin ditingkatkan ?
4. Tuliskan 1 hal terpenting yang harus Anda niatkan/tekadkan untuk
mewujudkan harapan/keinginan itu.
5. Tuliskan juga 1 hal yang harus Anda singkirkan/jauhkan karena potensial
menghambat totalitas dan komitmen Anda dalam pelatihan ini.
89
SHARING LIGHT
1. Sharing duo, berganti-ganti pasangan untuk setiap nomor diatas.
2. Pleno: how do you feel now, bagaimana perasaan Anda saat ini?
3. Pengarahan: hati rela & jiwa besar … singkirkan semua penghalang;
YESTERDAY IS JUST HISTORY, TOMORROW IS STILL MISTERY ….
ONLY TODAY IS IN YOUR MASTERY !
TUGAS KELOMPOK:
1. Liturgi (misa)
2. Doa Harian (incl ibadat pagi)
3. Ice breaking
4. Menyiapkan Ruang Pertemuan/Sessi
5. Olah raga / Membangunkan teman-teman
90
Lampiran 2 – Session III
91
Marci Shimof, co-writer dari buku sukses Chicken Soup for the Woman’s Soul
dan Chicken Soup for the Mother’s Soul: “Ketika Anda menjalani hidup
sehari-hari, HTM bekerja di setiap detik. Segala sesuatu yang kita
pikirkan dan rasakan sedang menciptakan masa depan kita. Jika merasa
baik, Anda menciptakan sebuah masa depan yang selaras dengan hasrat
Anda. Jika khawatir atau takut, Anda sedang mendatangkan lebih
banyak kekhawatiran dan ketakutan ke dalam hidup, dan menjauhkan
Anda dari apa yang sebenarnya Anda inginkan dalam hidup”.
Kunci Perubahan
Perasaan buruk (emosi negatif) menjadi sinyal dari Semesta bahwa kita
sedang menghalangi kebaikan (hal-hal positif) menghampiri diri kita
karena pikiran kita sedang berada di frekuensi negatif. Itulah saat untuk
SEGERA mengubah frekuensi ke pikiran dan perasaan positif! Bob
Proctor, penulis buku terlaris internasional You Were Born Rich
memberikan resepnya: “Ketika Anda merasa murung, tahukah Anda
bahwa Anda dapat mengubahnya seketika? Pasang musik indah, atau
mulai menyanyi – itu akan mengubah emosi Anda. Atau pikirkan sesuatu
yang indah: seorang bayi, atau seseorang yang sungguh Anda cintai, dan
tinggallah di situ! Pertahankan pikiran itu, dan halangi pikiran lain
masuk. Saya jamin Anda akan mulai merasa baik”. “Kombinasi pikiran
dan cinta membentuk kekuatan yang tak tertahankan dari HTM, nama
lain untuk cinta. Ini adalah prinsip yang abadi dan mendasar yang
terdapat di dalam segala hal, dalam setiap sistem filsafat, Agama dan
Ilmu Pengetahuan. Tidak ada yang lepas dari hukum cinta. Perasaanlah
yang memberi vitalitas pada pikiran. Perasaan adalah hasrat, dan hasrat
adalah cinta. Pikiran yang dirasuki cinta, menjadi tak terkalahkan” tegas
Charles Haanel.
Erbe Sentanu, penulis buku “Quantum Ikhlas, Teknologi Aktivasi
Kekuatan Hati: The Power of Positive Feeling” mengutip hasil penelitian
bahwa manusia umumnya hanya memanfaatkan pikiran sadar yang
berkekuatan 12%. Sedang 88% lainnya merupakan kekuatan bawah sadar
yang secara umum muncul dalam bentuk perasaannya. Pikiran bawah
sadar (subconscious mind) juga menyimpan memory, self-image, personality,
habits. Maka itu ia menempatkan positive feeling sebagai entry point:
“Anda akan mendapat apa yang paling sering Anda rasakan ketika Anda
memikirkannya”. Bahkan kuncinya ada pada keselarasan perasaan
dengan pikiran, yang menyatu dengan ikhlas. Itulah kunci pengubahan
diri (self-change) dan nasib, bahkan juga perubahan sosial.
92
Bagaimana Menggunakan Rahasia HTM
“Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa
kamu TELAH menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Mk 11:24).
Ada tiga langkah dalam cara menggunakan HTM menurut Sabda Yesus:
1. MEMINTA. Pikirkan dan rumuskan dengan jelas apa yang benar-benar
Anda inginkan, dalam present tence. Seperti memilih dari katalog Semesta
dan menuliskan pesanan Anda. Penuhi pikiran Anda dengan permintaan
itu, menjadi pikiran dominan, pancarkan ke Semesta dan biarkan
Semesta meresponnya. Permintaan itu bahkan menjadi sedemikian kuat
karena menjadi doa, ditujukan kepada Sang Penguasa Semesta!
2. PERCAYA. Perhatikan bahwa Yesus menegaskan “percayalah bahwa
kamu TELAH menerimanya”. Bukan AKAN, melainkan TELAH ! Ini
butuh iman yang teguh dan total. Anda harus percaya, tanpa keraguan,
bahwa Anda telah menerimanya sekarang juga. Mengapa? Karena
Semesta adalah cermin, dan HTM memantulkan kembali pikiran
dominan Anda. Jika pikiran Anda berada pada frekuensi ragu dan tidak
memilikinya, Anda sedang menarik keadaan tidak memiliki juga.
3. MENERIMA. Masuk dalam perasaan senang dan nikmat ‘telah memiliki’
apa yang kita minta dan doakan. Dalam Mind Management, tahap ini
disebut Visualisasi. Melihat dengan daya-cipta dan imajinasi, merasakan
diri sudah berada dalam kondisi memiliki hal yang diminta. Ini
menumbuhkan perasaan positif, rasa syukur dan selanjutnya menarik
energi positif serupa untuk bekerja, berusaha dan berelasi. Pada saat
Anda masuk dalam perasaan baik, senang dan syukur, Anda berada
dalam frekuensi menerima dan HTM akan menggerakkan orang,
peristiwa, dan situasi untuk mewujudkannya. Jangan pernah khawatir-
kan caranya, kapan dan bagaimana. Itu urusan (Penguasa) Semesta.
Mulai dengan SYUKUR
“Banyak orang sudah menjalani hidup dengan benar, tetapi tetap miskin
karena kurang bersyukur… Bersyukur setiap hari adalah salah satu
syarat untuk mendatangkan kekayaan” (Wallace Wattles). Apapun yang
kita pikirkan dan syukuri, kita akan mendapatkannya lagi dan lagi.
Rasa syukur muncul dari penghargaan (pikiran dan perasaan positif)
terhadap setiap hal, peristiwa, keadaan – sekecil apapun – dalam hidup.
Penghargaan itu diwujudkan dalam perasaan, pikiran, sikap, perilaku
SYUKUR, tidak hanya lewat ucapan. Mulai setiap hari baru dengan rasa
syukur akan mendatangkan kegembiraan (good feeling), menarik energi
positif, dukungan dan kelimpahan dari katalog Semesta.
93
Lampiran 2 – Sesi IV
94
Apa yang harus dilakukan waktu Mendengarkan:
(1) Perlihatkan minat dengan bahasa tubuh: posisi tubuh, mimik dan pan-
dangan (ke mata si pembicara) – Trainer demonstrasikan Body Language tsb
(2) Berusaha memahami si pembicara apa adanya.
(3) Tampakkan empati (belarasa, ‘satu rasa’ dengan si pembicara)
(4) Kendalikan diri, singkirkan masalah pribadi Anda
(5) Beranikan si pembicara untuk mengembangkan kompetensinya
memecahkan masalahnya sendiri.
Apa yang tidak boleh dilakukan waktu Mendengarkan:
(1) Mendebat pendapat, apalagi ungkapan perasaan, Pembicara
(2) Menyela atau memotong pembicaraan
(3) Memberi pertimbangan yang terlalu dini bahkan mendahului
(4) Memberi nasehat (kecuali diminta oleh yang bersangkutan)
(5) Terlalu cepat menyimpulkan
TEHNIK-TEHNIK MENDENGAR-AKTIF
1) Minta penjelasan. Tujuan: untuk mendorong Pembicara mengemuka-
kan lebih banyak fakta, dan menyoroti persoalan dari semua aspek.
Contoh: “Bisakah Anda menjelaskan lebih jauh …”; “Apakah persoalan-
nya sebatas yang Anda sebutkan tadi?” “Maksud Anda ….”
2) Mengulangi. Tujuan: mengecek apakah pengertian dan interpretasi kita
cocok dengan Pembicara, dan membuktikan bahwa kita mendengarkan
dia dengan baik (aktif). Contoh: “Sejauh saya tangkap, yang ingin Anda
katakan adalah ….”; “Jadi Anda sudah putuskan untuk …. karena …”
3) Mendukung: menampakkan Anda tertarik dan sedang mendengarkan
sehingga mendukung Pembicara meneruskan dengan semangat.
Contoh: “Begitu ya”; “Saya mengerti”; “Itu luar biasa”
4) Memantulkan: memperlihatkan bahwa Anda memahami perasaan si
Pembicara bahkan merasakan hal yang sama (empati) dengannya.
Contoh: “Anda merasa …”; “Menakjubkan bahwa Anda melihat hal
itu”; “Kalau saya berada di posisi Anda, pasti merasakan hal sama”.
5) Meringkas: mengerucutkan pendapat Pembicara dalam rangkuman
singkat, untuk membuka aspek baru dalam pandangannya. Contoh:
“Sejauh saya tangkap, gagasan pokok yang Anda paparkan adalah …”;
“Kalau bisa saya simpulkan, perasaan Anda atas situasi ini ..”
95
Lampiran 4 – Sesi IV
KOMUNIKASI ASERTIF
Istilah “asertif” (dari kata Inggeris assertive, artinya tegas) mulai populer sejak
awal 1980-an, terutama sejak Donald Bowen mengadakan penelitian (1982) perihal
topik ini. Sebelumnya, para psikolog sosial melihat betapa banyaknya masalah
komunikasi yang muncul dari sikap-dasar dan perilaku keliru para pelaku komunikasi
itu. Mulai dari keluarga, sekolah, pergaulan, organisasi, hingga dunia kerja.
Pasif – Asertif – Agresif
Bowen menggolongkan sikap-dasar dan perilaku manusia dalam berkomunikasi
kedalam tiga kategori: Pasif – Agresif – Asertif. Perilaku Pasif (passive behavior) ditandai
sikap malu-malu, serba-mengalah dan tunduk-patuh. Orang pasif lebih suka cari-aman
–karena takut ambil-risiko– dengan menghindari konflik dan cenderung
mensublimasikan kekecewaan, kebutuhan dan perasaan mereka untuk menyenangkan
orang lain. Entah suami/isteri, atasan, rekan-kerja atau sahabat. Ada juga yang
menganggap bahwa sikap mengalah dan mengorbankan (perasaan) diri sendiri demi
kesenangan orang lain adalah suatu keutamaan (seperti judul lagu cengeng “Biar,
biarlah sedih asalkan kau bahagia”). Orang-orang pasif perlu diingatkan bahwa dengan
berbuat demikian mereka sebenarnya tidak membahagiakan siapa-siapa. Meskipun
nampaknya membawa kesenangan (sementara) pada pihak lain, lambat laun pihak lain
itu akan merasa tersiksa karena ‘digugat oleh nuraninya sendiri’. Akal-budi, kehendak
bebas dan hati-nurani adalah tiga ciri yang paling membedakan manusia dari hewan.
Pada ekstrim sebaliknya, ada perilaku Agresif (aggressive behavior) yang
ambisius, mendominasi dan tidak menghormati perasaan, kebutuhan dan hak-halk
orang lain. Mereka bisa mencederai bahkan mengorbankan perasaan orang lain tanpa
merasa bersalah pada saat itu. Kalaupun mereka kemudian digugat oleh nuraninya
sendiri mereka akan berupaya menutupi rasa bersalah dengan membungkam
nuraninya dan mencari alasan-alasan pembenaran diri. Karena itu banyak orang agresif
menderita berbagai macam penyakit di hari tua karena beban moral kesalahan masa
lalu yang ditumpuk dari waktu ke waktu, terutama kalau melihat atau mendengar
pengakuan korban-korbannya.
Kedua sikap dan perilaku diatas jelas menghambat komunikasi dan relasi antar-
pribadi karena keduanya tidak membangun keterbukaan, kesetaraan dan penerimaan
pihak lain sebagai-mana adanya. Dengan demikian, juga menghambat pengembangan-
diri pihak lain. Maka para psikolog-sosial mencari model sikap-dasar dan perilaku
diantara kedua ekstrim itu. Itulah perilaku Asertif (assertive behavior). Orang asertif
mengekspresikan perasaan dan pikiran secara terbuka, tegas, jujur, terus terang, tetapi
dengan santun sehingga tidak melukai perasaan pihak lain. Mereka juga akan
memerjuangkan hak-hak sendiri dan membela hak-hak orang yang pantas dibela,
tetapi dengan cara yang tidak mengabaikan apalagi menginjak hak-hak orang lain.
Karena itu orang Asertif selalu bersikap tegas tetapi tidak kasar, berterus-terang apa
96
adanya tanpa menyerang pihak lain. Orang Asertif umumnya peka dan berupaya
memerhitungkan perasaan orang lain dalam berkomunikasi. Itulah sebabnya sikap dan
perilaku Asertif mampu mengembangkan komunikasi dan relasi, baik antar-pribadi
maupun antar atasan-bawahan. Dengan melatih diri menjadi pribadi Asertif, seseorang
akan meninggalkan sikap-perilaku wishy-washiness (’encer’) alias plin-plan, defensif
atau sebaliknya ofensif, mendominasi, menjatuhkan orang lain dan berbagai perilaku
disfungsional lainnya.
Berikut dikemukakan dua sikap-dasar dan keterampilan Asertivitas: verbal dan
non-verbal, yang meliputi body language atau bahasa tubuh, dan paralinguistik.
Melatih Keterampilan Verbal Assertiveness
1. Gunakan “I” statement untuk mengungkapkan pikiran, pendapat, perasaan,
harapan dan keinginan Anda dalam kalimat langsung. Mis. “Saya pikir masih ada
cara lain yang dapat kita tempuh …”. “Saya punya pendapat yang agak berbeda
dengan bapak”. “Saya merasa diremehkan dalam masalah ini”. “Saya ingin
mendapat kepastian mengenai status saya setelah tiga bulan masa percobaan…”
2. Gunakan bahasa koperatif (cooperative language) untuk menunjukkan kemauan baik
Anda untuk berbagi pengalaman dan perasaan: “Bisakah kita…”; “Bagaimana
kalau kita …”. Sebaliknya, hindari bahasa ancaman dan pemaksaan seperti: “Awas
kalau Anda/kalian tidak mendukung”; “Kalau Anda tidak ikut, tahu sendiri
akibatnya”; “Saya ingatkan Anda …”.
3. Ajukan pertanyaan empatik (emphatic inquiries) untuk memperlihatkan bahwa
Anda menghargai perasaan dan pandangan pihak lain: “Apakah Anda merasa…”;
“Apakah Anda berpendapat …”. Sebaliknya hindari ungkapan evaluatif, misalnya:
“Seharusnya Anda tidak …”; “Anda membuat situasi menjadi lebih runyam”.
Hindari juga istilah-istilah sexist, racist, stereotypist.
4. Gunakan bahasa yang spesifik dan jelas. Hindari ambiguitas dan istilah samar-
samar. Daripada mengatakan “Kadang-kadang saya merasa sumpek dalam
ruangan tertutup, sementara orang lain tidak merasakan apa-apa”, lebih
mengatakan terus terang ”Bagaimana kalau kita buka jendela supaya udara segar
bisa masuk?”. Istilah samar-samar dan ragu-ragu biasanya digunakan orang non-
asertif: “Barangkali …”, “Mungkin …”.
5. Gunakan pernyataan langsung dan bicara langsung pada orangnya. Seringkali kita
menjadi orang non-asertif dengan mengecilkan atau menyangkal sendiri
kebutuhan-kebutuhan kita: “Sebenarnya ini tidak penting, tapi …”; “Sebenarnya
saya sendiri tidak perlu, tapi …”; Bicara langsung pada orangnya berarti Anda
tidak ‘menitipkan perasaan Anda’ untuk disampaikan orang ketiga pada orang
yang relevan dengan perasaan Anda: “Tolong sampai-kan pada pimpinan, saya
tidak suka caranya memerlakukan saya”; “Tolong sampaikan salam khusus saya
pada si Cantik itu”. Begitu juga bila Anda inginkan suatu tindakan konkrit diambil,
sampaikanlah usul pada orang yang kompeten dan mampu mengambil tindakan.
Keluhan dan kritik yang disampaikan langsung pada orang yang bersangkutan
97
atau kompeten dan mampu mengambil tindakan. Keluhan dan kritik yang tidak
disampaikan langsung kepada yang bersangkutan atau berkompeten, dapat
dianggap lebih sebagai agresi dan provokasi, daripada asersi.
6. Terimalah kritik dan doronglah sikap kritis. Ada 2 cara menerima kritik dari
orang lain. Pertama, mengakui adanya kemungkinan kebenaran dalam kritik
tersebut. Misalnya, kalau orang mengeritik Anda sebagai orang yang lamban,
tanggapilah bahwa Anda memang sering “tidak segesit orang lain”, lalu
berterimakasih atas masukannya. Cara kedua, Anda menerima kritik atau
kekurangan Anda secara tegas dan empatik. Misalnya dengan berkomentar: “Saya
bisa mengerti betapa sulitnya bagi orang yang gesit dan ambisius (seperti Anda)
untuk bekerjasama dengan orang lamban seperti saya”. Kritik-kritik konstruktif
yang disampaikan dalam suasana keterbukaan dan itikad baik akan membantu
setiap orang untuk mengembangkan diri.
7. Beranilah mengatakan ‘TIDAK’. Salah satu masalah paling parah yang selalu
muncul dalam setiap assertiveness training ialah ketidakmapuan untuk menolak
permintaan. Di satu pihak orang tidak mau mengecewakan dengan menolak
permintaan, di pihak lain disadari betapa banyaknya orang yang dikecewakan oleh
orang yang tidak mempu mengatakan ‘TIDAK’. Misalnya ingkar janji karena
tabrakan beberapa “ya” yang dipaksakan. Atau menurunnya kualitas hasil
pekerjaan karena menerima (= tidak berani menolak atau mengatakan ‘tidak’ atas)
terlalu banyak tugas atau jabatan. Dan yang bersangkutan sendiri akan merasa
cemas, gelisah, tidak puas bahkan stress dan kecewa pada diri sendiri, karena
merasa (takut, bahkan memang pasti) mengecewakan banyak orang.
8. Gunakan silence secara tepat, bila perlu. Kadang-kadang Anda hanya perlu berdiam
diri, tidak perlu bereaksi atau berkata apa-apa, bila orang lain memanipulasi sikap/
perilaku Anda. Dengan memilih sikap ‘tidak melayani’ tetapi tetap tenang,
Anda menjaga kewibawaan Anda sekaligus membuat si manipulator gagal meraih
kepuasan diri dari upayanya ‘merubah’ perilaku Anda.
98
2. Tunjukkan postur yang santai tapi atentif (penuh atensi, perhatian). Bila berdiri,
bertumpulah diatas kedua kaki dengan mantap dan enak, tidak kaku. Ingat bahwa
postur tubuh mencerminkan mood Anda. Postur yang kaku dapat ditafsirkan
sebagai non-asertif bahkan agresif. Bertumpu diatas satu kaki kemudian berganti
dengan kaki lain dapat ditafsirkan sebagai kegelisahan, kegugupan, tidak PD.
3. Gunakan gerakan atau isyarat (gestures) yang spontan dan sesuai, baik untuk meng-
iringi dan menekankan bahasa verbal maupun memberi reaksi non-verbal atas
ungkapan orang lain. Gestures yang dibuat-buat atau artifisial dan tidak tepat-
waktu mencerminkan kepalsuan atau sandiwara, dan akan membuat pihak lain
merasa direndahkan dan dilecehkan.
4. Tunjukkan dan pertahankan kontak mata langsung. Karena mata adalah ‘jendela
hati’, pandangan atau kontak mata Anda pada lawan bicara mencerminkan
peraHATIan. Mengalihkan pandangan dari orang yang sedang bicara adalah
pertanda Anda tidak tertarik atau tidak siap mendengarkan.
5. Gunakan ekspresi air-muka yang responsif. Senyum, mengernyitkan dahi, air muka
berseri atau bersedih seiring dengan ungkapan lawan-bicara mencerminkan sikap
asertif, empatik dan pemahaman.
6. Hindari perilaku mengangguk tanda persetujuan. Mengangguk-anggukkan kepala
apalagi terus-menerus sebagai tanda persetujuan dengan lawan-bicara bisa
mencerminkan sikap non-asertif bahkan manipulatif (ciri penjilat?).
7. Gunakan sentuhan secara tepat. Sentuhan yang tepat dan terukur, entah di tangan
atau di bahu, merupakan teknik komunikasi antar-pribadi yang amat kuat. Tetapi
bila terlalu kuat bisa ditafsirkan sebagai agressi, terlalu lemah berarti non-asertif.
8. Hindari ‘perhentian vokal’ (vocalized pauses) seperti ‘mmh’, ‘eeh’, ‘anu’ atau
selingan seperti ‘apa/siapa namanya’, ‘ngerti kan’, ‘tahu enggak’. Semuanya bisa
ditafsirkan sebagai perilaku non-asertif karena mencerminkan keragu-raguan,
meremehkan atau malah memaksakan.
9. Ubahlah kecepatan, irama dan nada (infleksi) suara Anda untuk menjelaskan atau
menekankan gagasan, menunjukkan maksud. Nada dan irama suara yang monoton
tidak hanya membosankan dan melelahkan pendengar, tapi juga mencerminkan
rendahnya PD dan sikap non-asertif.
10. Proyeksikan suara Anda dengan suara yang ‘pas’ sehingga cukup nyaring untuk
didengar dan dipahami. Terlalu lembut mencerminkan Anda kurang yakin, terlalu
nyaring dapat ditafsirkan sebagai dominasi atau agressi.
11. Artikulasikan setiap kata dengan jelas dan tepat, agar pesan dan maksud Anda bisa
ditangkap dan diyakini oleh lawan-bicara. Artikulasi atau pengucapan kata-kata
yang tidak jelas atau terburu-buru, mencerminkan ketidak-yakinan Anda sendiri
pada apa yang dikatakan, sehingga pasti tidak akan meyakinkan orang lain.
SELAMAT BERLATIH MENJADI PRIBADI YANG ASERTIF.
99
Lampiran 5 – Session V-VI
SIKAP-SIKAP DASAR SEORANG PEMBINA OMK
RINGKASAN TEKS KITAB SUCI RENUNGAN SAYA ATAS TEKS
1. Yoh 13:1b;4
1b: Ia senantiasa mengasihi
murid-muridNya sampai …
4 : Yesus menanggalkan jubah-
Nya, mengikat pinggangNya…
2. Yoh 3:28-30
… sekarang sukacitaKu penuh:
Ia harus makin besar, tetapi aku
harus makin kecil …
3. Mrk 1:37-38
Murid: “Semua orang mencariMu”
Yesus: “Marilah kita pergi …”
4. Mrk 2:1-5
Empat orang itu membuka atap,
lalu menurunkan orang lumpuh
itu ke dekat Yesus untuk
disembuhkan olehNya
5. Mt 19:16-22
Yesus bersedia menerima dan
meladeni orang muda itu, yang
akhirnya toh meninggalkan Dia ….
6. Tit 1:7-10
Penilik jemaat: suka akan yang
baik, beri tumpangan, bijaksana,
adil, dapat menguasai diri,
sanggup meyakinkan …
7.
100
SIKAP-SIKAP DASAR SEORANG PEMBINA OMK
4. Mrk 2:1-5 Seperti 4 Penolong itu, Pbn harus cari solusi tero-
bosan untuk kesembuhan OM yang ’lumpuh’:
Empat orang itu membuka atap, menyingkirkan penghalang menuju Yesus, tanpa
lalu menurunkan orang lumpuh pamrih. Sesudah itu mereka ‘menghilang’ tak
itu ke dekat Yesus untuk pernah disebut-sebut lagi. Yang penting si Lumpuh
disembuhkan olehNya sudah berjumpa & disembuhkan YESUS.
7. ………
101
Lampiran 6 – Sesi VII
102
Pengetahuan Facilitator
Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, seorang Facilitator diharapkan
Memiliki pemahaman tentang Komunitas Basis Gerejani
Memahami dunia orang muda, khususnya komunitas yang dihadapinya
Memiliki pengetahuan methodik tentang tehnik-tehnik memandu proses
Memahami konsep Andragogi dan perbedaannya dengan konsep “tabularasa”
Memiliki wawasan yang memadai tentang materi yang akan dipandu
Konsep “tabularasa” bertolak dari persepsi tentang peserta-bina sebagai ‘bejana
kosong yang perlu diisi’. Peserta dianggap tidak punya kemampuan, pengetahuan, dst
sehingga harus diajari dan diisi oleh orang yang punya pengetahuan, yakni pembina.
Mereka harus duduk, diam, dengar ceramah dan pengajaran si pembina yang
disampaikan dengan one way communication. Konsep ini sering diidentikkan dengan
Paedagogi (pendidikan anak-anak), dimana terjadi hubungan ‘guru-murid’.
Sebaliknya, konsep Andragogi atau pendidikan orang-dewasa bertolak dari keyakinan
bahwa peserta-bina (orangmuda) sudah punya pengetahuan, pendapat, pandangan,
pengalaman, perasaan pribadi yang harus dihargai. Oleh karena itu yang dibutuhkan
adalah interactive skills untuk memfasilitasi ‘pertukaran’ pengalaman dll dalam suatu
proses “belajar dan menemukan bersama”. (Lihat 16 metode dalam “Pembinaan
Generasi Muda dengan proses manajerial VOSRAM – Visi-Orientasi-Strategi-Rencana
Aksi-Metode”, Kanisius 2008, hal.148-188).
Kepribadian Facilitator
Diatas semua tuntutan pengetahuan dan keterampilan itu adalah karakteristik
kepribadian pembina/pendamping sebagai facilitator yang:
o Atentif: penuh perhatian, yang selalu ditunjukkan dalam kehangatan sapaan,
menyebut nama panggilan, menanyakan keadaan/keluarga dst
o Amikal: bersahabat dengan semua dan setiap anggota komunitas terutama
mereka yang paling ‘lemah’ dan merasa tersisih-tersudut
o Respektif: menghormati setiap peserta/anggota-komunitas sebagai sesama
yang setara, tanpa membeda-bedakan etnik dan status sosial-ekonomi
o Supportif: selalu mendukung, mengangkat, memuliakan peserta, baik dengan
kata-kata (pengakuan, pujian) maupun dengan bahasa-tubuh (memandang si
pembicara, mengangguk, mengangkat pendapatnya sambil menyebut nama)
o Inklusif: terbuka dan merangkul semua termasuk yang berbeda (ras-etnik-
agama-budaya maupun pandangan/pendapat), bahkan terbuka untuk belajar
dari peserta tanpa merasa terancam kalau ada yang lebih tahu.
o Empatik: peka dan mudah merasakan apa yang dirasakan orang lain, dengan
menempatkan diri pada posisi orang yang sedang susah, menderita, tertindas…
o Five C’s: Care (peduli), Commit (berkomitmen), Consistent (konsisten, tidak plin-
plan), Competent (kompeten, punya kemampuan yang dapat diandalkan) dan
Cooperative (mampu dan mudah diajak bekerjasama)
Semua karakteristik pribadi tersebut dikembangkan bersama dengan spiritualitas dan
moralitas pembina/pendamping.
103
Lampiran 7 – Sesi XI
Pengertian KBG:
Cara Baru Hidup Menggereja: Gereja Partisipatif, Komunio Komunitas-
Komunitas (communio of communities), yang memberikan kesaksian tentang
Tuhan yang bangkit (bdk. FABC 5, #8).
“Suatu perwujudan nyata dari Gereja” (Paus Yohanes Paulus II}.
“Sebuah tempat tinggal dan keluarga bagi siapa saja” (Familiaris Consortio, 85)
Dengan rumusan-rumusan ‘definif’ diatas, jelaslah bahwa KBG bukan – dan
tidak boleh disejajarkan dengan – organisasi/wadah yang sudah ada. Justru organisasi
atau wadah-wadah pembinaan yang sudah ada, yang umumnya sudah kehilangan
‘organisme’, harus direvitalisasi menuju kualitas KBG. Istilah KBM, Komunitas Basis
Mahasiswa, adalah aktualisasi KBG dalam dunia mahasiswa. Merujuk pada rumusan
Familiaris Consortio, wadah/organisasi itu boleh diibaratkan “tempat tinggal” atau
“rumah” khususnya dalam arti house. Semewah dan semegah apapun sebuah house,
tidak berarti bahkan tidak lebih dari struktur bangunan mati, tanpa adanya home (relasi
yang rekat dalam cinta dan kasih sayang, saling peduli, saling mendukung dan saling
mengembangkan antar penghuni/anggotanya). A house is made of bricks, a home is made
of love. KBG, sebagai cara hidup menggereja, adalah home yang harus merasuki berbagai
houses yang sudah ada:
di jalur teritorial ada kring/rukun/wilayah dst;
di jalur kategorial ada berbagai wadah/organisasi formal maupun non-formal:
Wanita Katolik, KIK (Kerukunan Ibu-Ibu Katolik), ISKA, PMKRI, Pemuda
Katolik, KMK (Keluarga MahasiswaKatolik), FMKI (Forum Masyarakat Katolik
Indonesia), THS-THM, ME, Choice, Antiokhia, Mudika, kelompok Minat-Bakat.
di jalur fungsional ada komunitas para aktivis/fungsionaris: PPA (Putera-Puteri
Altar), PPK (Petugas Pembagi Komuni), KLP… (Komunitas Lektor Paroki …),
Komunitas Paduan Suara …, Pengurus Dewan Pastoral Paroki dlst.
Bayangkanlah kualitas Gereja kita kalau semua wadah/kelompok/organisasi diatas
direformasi/direvitalisasi menuju kualitas Komunitas Basis Gerejawi. Impian visioner
itulah yang mendorong ditetapkannya KBG sebagai Strategi Hidup Menggereja Abad
21 oleh SAGKI 2005. Bagaimana realisasinya setelah 5 tahun berlalu?
104
2. Komunitas yang hidup dalam persekutuan
Para anggota komunitas lebih menonjolkan gerakan hidup bersesama, bukan
institusi/organisasi. Mereka bersatu-padu, sehati-sejiwa, bahkan senasib-
sepenanggungan dalam satu persekutuan hidup.
3. Komunitas yang bertekun dalam pengajaran para Rasul
Komunitas seiman tetap hidup meski ada saat-saat tak bergairah. Disinilah para
Rasul menjalankan fungsi kepemimpinan yang melayani, menggerakkan,
menguatkan, dan mendorong komunitas umat untuk menghayati imannya
sambil bertumbuh bersama. Karena itu mereka tetap bersemangat, tabah, setia
dan bertahan dalam segala situasi yang sulit sekalipun. Keunggulan Gereja
Perdana terletak pada ketekunan, kesetiaan dari hari ke hari, tanpa menonjolkan
diri/kelompok dan menarik perhatian. Inilah ciri Gereja yang berziarah:
a) Tekun dalam pengajaran para Rasul. Pewartaan para Rasul membuat
komunitas bertumpu pada Sabda: mendengarkan dan merenungkan, dan
dengan itu “peristiwa Yesus” terulang kembali di tengah mereka. Dengan
itu mereka mengalami ‘perjumpaan pribadi’ dengan Yesus, dan menjadi-
kanNya sumber inspirasi, penuntun dan pemecah persoalan mereka.
Dalam ketekunan dan kesetiaan pada Sabda serta misi perutusan Yesus
itulah komunitas mereka berkembang, membangun tradisi, melintasi jaman
dengan segala tantangan dan kesulitannya.
b) Tekun dalam hidup bersama menunjukkan rekatnya persatuan mereka.
Kerekatan (kohesivitas) relasi itu tampak dalam cara berpikir, cara berelasi,
cara berpartisipasi dan bertingkah laku. Wujudnya nampak dalam saling
berbagi, solidaritas, dan kepedulian pada sesama khususnya yang
menderita. Mereka berbagi dengan sukarela dalam suasana kekeluargaan,
bukan karena instruksi. Dengan itu mereka memecahkan masalah
kemiskinan tanpa ‘proyek besar’. Dengan hidup sederhana, berkorban dan
berbagi, mereka menghayati “kemiskinan” yang diajarkan Yesus sebagai
cara hidup untuk mewujudkan solidaritas dengan sesama yang
berkekurangan.
c) Tekun dalam Pemecahan Roti (Ekaristi) dan Doa, baik di Bait Allah
maupun dari rumah ke rumah. Dalam Ekaristi mereka mengalami kembali
kehadiran Yesus yang bangkit dengan gembira dan tulus hati. Pemecahan-
roti menjadi sumber inspirasi untuk ‘memecah dan membagikan diri’ bagi
sesama. Ini memberi kekuatan dan motivasi baru dari hari ke hari, bagi
suasana kekeluargaan dan persaudaraan mereka.
4. Komunitas yang disukai banyak orang
Cara hidup yang penuh semangat, tekun, setia, tulus dan solider dalam suasana
persaudaraan sebagai satu keluarga yang disatukan oleh Sabda dan Ekaristi,
itulah yang menjadikan mereka disukai semua orang. Cara hidup itulah yang
menjadi pewartaan, dan dengan itu komunitas menjalankan misi Yesus (Mt 28).
105
4 PILAR CIRI-CIRI KBG
1. Anggota KBG hidup sebagai persekutuan dalam satu ‘lingkungan’ tertentu.
Lingkungan dapat diartikan sebagai tempat-tinggal, kategori, fungsi tertentu
2. KBG menjadikan Sharing Kitab Suci sebagai dasar utama pertemuan-pertemuan
mereka, dan Pemecahan Roti (Ekaristi) sebagai sumber kekuatan mereka.
3. KBG bertindak secara nyata dan melakukan segala sesuatu secara bersama
berdasarkan iman. Aksi-aksi (sosial) bersama itu merupakan perwujudan-iman,
hasil dari proses sharing/pendalaman Kitab Suci dan Ajaran Sosial Gereja
4. KBG harus berhubungan dan berada dalam kesatuan dengan Gereja Universal.
Menghidupkan KBG
Agar KBG hidup, hal-hal berikut perlu diperhatikan dan diusahakan:
Kontekstual:
penghayatan KBG sesuai dengan konteks Indonesia daerah setempat:
menanggapi dan menghadapi kehidupan bangsa/masyarakat Indonesia dan
daerah setempat dalam terang Injil.
Terpadu:
ada keseimbangan antara yang “rohani” dan yang “sosial”, antara individu dan
masyarakat, antara kepemimpinan yang hierarkis dan tanggung jawab bersama
kaum awam.
Pastoral:
pelatihan para anggota KBG dalam tugas perutusan pastoral mereka di dalam
Gereja dan di dalam Dunia.
Kristosentris dan komunitassentris:
terpusat pada Kristus dan Komunitas.
Langkah-Langkah Praktis
1. Membentuk kelompok kecil, terdiri dari 12-20 orang.
2. Membangun/mempererat persaudaraan dan persatuan kelompok.
3. Merancang dan mengadakan pertemuan rutin-tematis untuk:
4. Mendengarkan dan merenungkan Sabda serta merayakan Ekaristi.
5. Membicarakan masalah-masalah kehidupan di dalam & di luar Gereja
6. Merencanakan dan memutuskan kegiatan pastoral kelompok.
7. Mengevaluasi kegiatan pastoral kelompok.
106
Lampiran 8 – Sesi XII
STRATEGI KETERLIBATAN
Mt 5:13-15: “Kamu adalah garam dunia, Jika garam itu menjadi tawar,
dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.
Kamu adalah terang dunia. Orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah
gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah”.
Landasan
Dalam diri setiap orang katolik terpatri ke-Indonesiaan 100% dan ke-Katolikan
100%. Ketika berada di tengah berbagai komunitas insani masyarakat, kita hadir
sebagai Warga Negara berjumpa dengan WN lain sebagai sesama manusia-
Indonesia, bukan dengan manusia-Muslim, manusia Hindu-Budha dst. Kita
bersesama dengan bekal kearifan lokal, nilai-nilai dan bahasa universal, bukan
bahasa agama, apalagi pretensi kristenisasi. Kekristenan harus terpancar dari sikap
dan perilaku, terutama keberanian melawan kebobrokan moral dan memberi
kesaksian hidup ‘keadaban publik’ berkat penghayatan spiritualitas martyria.
Menjadi Garam: menyatu, memberi rasa
Berintegrasi dengan sesama WN, berbaur dalam berbagai komunitas insani
(lingkungan, tempat kerja, organisasi), menjadi bagian dari gerakan bersama mem-
berantas kemiskinan dan kebodohan serta melawan ketidakadaban publik. Kehadir-
an yang tidak menonjolkan diri, tidak terasa tapi memberi rasa, menguatkan keber-
samaan /persaudaran dalam membangun habitus baru, membentuk karakter bangsa
Menjadi Terang: tampil di depan, memberi arah
Dengan bekal kualitas dan semangat ‘lebih’, siap tampil di depan, menciptakan dan
menggunakan peluang di posisi strategis penentu kebijakan, bukan demi status dan
kedudukan itu sendiri melainkan untuk pelayanan bagi kebaikan bersama. Berani
mengambil prakarsa mengajak pemimpin berbagai kalangan duduk bersama
merancang pergerakan sosial bagi pembaruan: membangun Komunitas Insani.
Membangun Komunitas Insani Responsif
Komunitas Responsif (Amital Etzioni, 1996) menolak perlakuan represif
(diskriminatif, intoleran, menindas) dan juga liberal (membiarkan warga berperilaku
sebebas-bebasnya). Juga menolak individualisme vulgar yang menghancurkan
solidaritas sosial, serta dominasi komunitas yang membelenggu kreativitas individu.
Komunitas Insani Responsif yang mau kita bangun adalah masyarakat majemuk
dimana relasi antar warganya saling menerima-menghargai-mendukung karena
saling percaya satu sama lain (high trust society). KIR hanya bisa dibangun atas
dasar nilai-nilai kejujuran, keadilan, tanggungjawab, kemandirian, toleransi, disiplin
dan solidaritas. KIR perlu dibangun di tempat kerja, lingkungan RT/RW, organisasi,
kelompok seminat, kelompok studi, UKM di kampus, kelompok profesi dsb, sebagai
gerakan sosial ‘membangun keadaban publik baru’.
107
Lampiran 9 – Sesi XIII
KOMUNITAS KMK
TANPANAMA FE UNDANA
KMK
FH UNDANA
OMK
PAROKI “A”
OMK PMKRI
PAROKI “C”
PEMUDA
KATOLIK
UKK KBM
UNWIRA STIPAS
STRATEGI TAMAN BUNGA: biarkan bunga mawar tetap mawar, melati tetap melati ……
Jadikan Paroki & Kampus sebagai BASIS pembenihan bibit-bibit unggul berbagai jenis bunga
Revitalisasi wadah & ormas tsb dari Careless Community menjadi Blessing Basic Community,
yang menjadi berkat satu-sama-lain dan bagi masyarakat, khususnya yang miskin-terpinggirkan.
108
LANGKAH KERJA MANAJERIAL PEMBINAAN MAHASISWA/OMK
PROFIL FAKTUAL
MHS KATOLIK:
Potensi
Masalah & Tantangan
Kebutuhan
(1)
109
SUSUNLAH BENTUK-BENTUK KEGIATAN DI BAWAH INI
KEDALAM MODEL PROGRAM PEMBINAAN MHS KATOLIK
(PILIHLAH HANYA YANG LINK & MATCH DENGAN RUMUSAN PROFIL IDEAL ANDA)
SEMINAR BUDAYA
AKSI SOSIAL LOKAL DAN CAMPING ROHANI
KARITATIF GLOBALISASI
MISA KAMPUS
RETRET CALON
RUTIN / BULANAN
MISA KAMPUS WISUDAWAN
AWAL TAHUN
MALAM DANA
REKOLEKSI AWAL PEMBINAAN MHS
FESTIVAL SENI- TAHUN KULIAH
BUDAYA DAERAH
DAPUR SENI-
PELATIHAN SEMINAR HIV-
BUDAYA DAERAH
PEMBINA KBM AIDS/NARKOBA
PEMBENTUKAN
KOMUNITAS BASIS MHS PEMBENTUKAN
(KMK / KBM) TIM PEMBINA MAH KATOLIK
PLANNING & PROGRAMMING
PENYUSUNAN BAHAN
LOCK-IN TEMATIS UTK PERTEMUAN
PEMANTAPAN KBM RUTIN KBM/KB-OMK
LATIHAN
KEPEMIMPINAN
TEMU MAHASISWA PENGURUS KBM PENDIDIKAN
SEKEUSKUPAN / REGIO POLITIK
DISKUSI PANEL
FUNDAMENTALISME
AGAMA
110
Lampiran 10 – Session XX
LEMBAR KERJA “RENCANA AKSI”
No BENTUK KEGIATAN SASARAN PIC/NS WAKTU/T4 SUMBER DANA
3. Bentuk/cara efektif untuk memantau dan mengontrol pelaksanaan Rencana Aksi kita:
111
(contoh)
PERNYATAAN KOMITMEN
Pada hari ini, Selasa 13 Juli 2010, bertempat di Wisma Lorenzo, Lotta – Manado,
sebagai peserta PELATIHAN PEMBINA KOMUNITAS BASIS MAHASISWA/
ORANG MUDA KATOLIK Keuskupan Manado,
Saya :
Utusan Kampus :
Sehingga kami semakin layak mengemban panggilan untuk menjadi Garam dan
teRang, dan pantas menyandang predikat “GaRang VI” sebagai Angkatan Ketiga
Pelatihan Pembina Komunitas Basis Mahasiswa Tingkat Keuskupan.
(________________________)
112
WHY ME?
Arthur Ashe adalah petenis kulit hitam dari Amerika yang
memenangkan tiga gelar juara Grand Slam; US Open (1968), Australia
Open (1970), dan Wimbledon (1975). Pada tahun 1979 ia terkena serangan
jantung yang mengharuskannya menjalani operasi bypass. Setelah dua kali
dioperasi, bukannya sembuh, ia malah harus menghadapi kenyataan pahit,
terinfeksi HIV melalui transfusi darah yang ia terima waktu operasi.
Seorang penngemar menulis surat kepadanya:
"Arthur, mengapa Tuhan memilihmu untuk menderita penyakit itu?"
Arthur Ashe menjawab:
"Di dunia ini ada 50 juta anak yang ingin bermain tenis, diantaranya 5 juta
orang yang bisa belajar bermain tenis; 500 ribu orang belajar menjadi
pemain tenis profesional, 50 ribu datang ke arena untuk bertanding; 5000
mencapai turnamen grandslam, 50 orang berhasil sampai ke Wimbledon;
hanya empat orang masuk semifinal, dan dua orang berlaga di final. Dan
ketika saya mengangkat trofi Wimbledon, saya tidak pernah bertanya
kepada Tuhan, "Mengapa saya?", Jadi ketika sekarang saya dalam kesakitan,
tidak seharusnya juga saya bertanya kepada Tuhan, "Mengapa saya?"
Sadar atau tidak, kerap kali kita merasa hanya pantas menerima
hal-hal baik dalam hidup: kesuksesan, karier yang mulus, kesehatan. Ketika
yang kita terima justru sebaliknya – penyakit, kesulitan, kegagalan – kita
menganggap Tuhan tidak adil. Sehingga kita merasa berhak untuk
menggugat Tuhan. Tetapi tidak demikian dengan Arthur Ashe. Ia berbeda
dengan kebanyakan orang. Itulah cerminan hidup beriman; tetap teguh
dalam pengharapan, pun bila beban hidup yang menekan begitu berat.
Ketika menerima sesuatu yang buruk, ingatlah saat-saat ketika kita
menerima yang baik. Pada saat menderita, pikirkanlah ini: suatu perlombaan
hanya dapat dimenangkan dengan derita, pengorbanan, perjuangan yang
keras. Itulah saat-saat persiapan, penguatan dan pematangan untuk mampu
memenangkan perlombaan. Karena Tuhan selalu menginginkan Anda keluar
sebagai pemenang! Camkanlah kalimat-kalimat mutiara berikut:
"Winning horse doesn't know why it runs the race.
It runs because of beats and pain.
Life is a race, God is your rider.
So if you are in a pain, then think: God wants YOU to win"
"Happiness keeps you Sweet,
Trials keep you Strong,
Sorrow keeps you Human,
Failure keeps you Humble,
Success keeps you Glowing,
but only Faith and Attitude keep you Going...."
(Disadur dari posting Marcellus Hermawan
di milis HRExcellency, 28 Maret 2010)
113
UCAPAN TERIMAKASIH
Sebagai wasana kata, pantas dan layaklah penulis menghaturkan terimakasih yang
tulus kepada semua pihak yang memungkinkan terbitnya buku panduan kedua ini. Menyusul
buku panduan pertama, yang dicetak secara terbatas-internal untuk mereka yang mengikuti
pelatihan. “Buku Panduan (1) Pelatihan & Kaderisasi Orang Muda Katolik” tersebut mencoba
menuangkan gagasan-gagasan pokok – bertolak dari penglaman menjalankan pelatihan dan
kaderisasi di berbagai tingkatan: paroki-kevikepan-keuskupan bahkan regional-nasional –
yang perlu dipertimbangkan para penyelenggara, baik Steering Committee maupun
Organizing Committee. “Buku Panduan (2): Modul-Modul Pelatihan Facilitator Komunitas
Basis Orang Muda Katolik” ini, seperti pembaca sudah lihat, memuat panduan praktis dalam
menjalankan pelatihan pendamping/facilitator Komunitas Basis.
Seperti disebutkan dalam pengantar, buku panduan ini disusun sebagai manual
bagi Panitia Penyelenggara “Pelatihan Pembina/Facilitator Komunitas Basis Mahasiswa”.
Dalam hal ini Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia sebagai Orgqanizing
Committee atau OC setempat dan Team dari Komisi Kateketik KWI sebagai Steering
Committee. Konsep awalnya disiapkan oleh penulis, kemudian dikaji dan dilengkapi dalam
suatu lokakarya di Wisma Tanah Air Jakarta (2007). Selanjutnya disosialisasikan dan
dimatangkan dalam dua lokakarya regional, 2008, di Jakarta untuk wilayah Barat, dan
Makassar untuk wilayah Timur. Pertama kali diuji-coba pada Training of Trainers (Mei
2009, tingkat nasional) di Klender. Kemudian menyusul tiga “Pelatihan Pembina/Facilitator
Komunitas Basis Mahasiswa” tingkat regional, masing-masing di Bogor (Juni 2009), Kupang
(Juli 2009) dan Malino (Agustus 2009). Ketiga pelatihan ini diberi identitas “GaRang”,
singkatan dari tugas-perutusan para peserta sebagai Garam dan Terang. Pada bulan Maret
2010, diadakan Pertemuan Nasional GaRang 1-2-3 di Denpasar Bali untuk menyiapkan 8
program pelatihan di 8 kevikepan/keuskupan: Tana Toraja (KAMS: GaRang-4), Jogyakarta
(KAS: GaRang-5), Manado (BaRang-6), Palembang (GaRang-7), Maumere (GaRang-8),
Jayapura (GaRang-9), Pontianak (GaRang-10) dan Lampung (GaRang-11).
Untuk menjaga standard kualitas output-nya, maka kedelapan pelatihan ini harus
menggunakan panduan yang sama, tentu dengan penyesuaian (muatan lokal). Terutama
untuk itulah, dan untuk pelatihan ala GaRang selanjutnya, buku panduan kedua ini
diterbitkan. Di samping itu harus ada satu orang dari Bimaskat pusat untuk monitoring dan
membantu pelaporan (anggaran dari Bimaskat) dan sekurang-kurangnya 1 anggota SC dari
“Team Nasional” (i.e Rm.Adi Susanto SJ sebagai Sekretaris Eksekutif KomKat KWI,
Rm.Markus Yumartana SJ yang khusus memerhatikan cura personalis dan latihan-latihan fisik-
mental-spiritual, serta Philips Tangdilintin sebagai ketua tetap SC dalam 4 pelatihan diatas
dan pernas Denpasar). Nama lain yang menjadi SC dalam pelatihan regional dan pernas
Denpasar, dan dapat dimasukkan dalam Tim Nasional itu adalah Rm.Astanto Adi CM
(Kalimantan), Pater Frans Ndoi (Ende), dan Lilik Krismantoro (Jogyakarta, khusus untuk
Networking / Ongoing Formation GaRang).
Untuk semua mereka itu, juga para anggota SC/Narasumber pelatihan GaRang,
secara khusus untuk Drs.Natanael Sesa Msi – Direktur Pendidikan Agama Katolik BimasKat
DepAg RI bersama staff, bahkan bagi semua alumni pelatihan dan pertemuan yang telah
memberi warna dan bobot pada panduan ini, penulis menghaturkan TERIMAKASIH yang
tulus. Semoga panduan ini membantu dan menginspirasi pelatihan-pelatihan kita.
Makassar, Pada hari Kebangkitan Kristus - 3 April 2010
Philips Tangdilintin
114