Anda di halaman 1dari 11

BAB II

KEMAMPULEDAKAN BATUAN

Metode penggalian batuan banyak ditentukan oleh karakteristik batuan utuh


dan karakteristik massa batuan. Setiap massa batuan terbentuk dari
sekumpulan batuan utuh, yang dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh
bidang diskontinuitas, seperti : patahan, rekahan, kekar, bidang perlapisan,
bidang geser dan lain-lain. Oleh karena itu perilaku massa batuan sangat
tergantung atas sifat-sifat bidang diskontinuitas itu sendiri. Namun demikian,
beberapa contoh hubungan antara kemampuledakan dengan sejumlah
parameter sangat erat kaitannya, antara lain:
- Batuan kuat memerlukan energi peledakan yang lebih besar daripada
batuan lemah
- Ketidakhadiran bidang lemah (diskontinuitas) akan memerlukan energi
yang lebih besar untuk mendapatkan fragmentasi yang diinginkan
- Adanya bidang diskontinuitas akan semakin sulit didalam melakukan
rancangan peledakan, karena perhitungan konventional kurang cocok
- Batuan lunak atau plastis cenderung untuk menyerap energi peledakan,
sehingga peledakan tidak efektif
- Batuan berbobot isi tinggi membutuhkan energi peledakan lebih besar
untuk membongkar dan memindahkannya.

Parameter-parameter penting yang mempengaruhi kemampuledakan suatu


massa batuan pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kategori yaitu, batuan
utuh dan massa batuan. Sedangkan sifat-sifat yang berpengaruh untuk kedua
jenis batuan tersebut adalah sifat fisik, mekanik statik dan dinamik serta
struktur.

2.1. SIFAT-SIFAT BATUAN UTUH

2.1.1. Sifat Fisik


Sifat fisik material yang sangat berpengaruh terhadap peledakan adalah:
bobot isi, porositas, absorpsi, void ratio dan kandungan air.

2.1.2. Sifat Mekanik


Beberapa sifat mekanik yang penting untuk diperhatikan adalah:
 Kuat tekan
Kuat tekan atau UCS (uniaxial compressive stength). Pengujian ini
menggunakan mesin tekan (compression machine) untuk memecah contoh
batu yang berbentuk silinder, balok, atau prisma dari satu arah (uniaxial)
dengan luas contoh A dan panjang l. Pada pengujian ini gaya (kN) dan
perpindahan (mm) menurut sumbu aksial dan lateral direkam/dicatat
hingga batuan itu pecah. Hasil pengujian UCS dibuat kurva tegangan
(stress) – regangan (strain) seperti ditunjukkan pada gambar 2.1. Dari

II-1
kurva tegangan-regangan yang ditunjukkan oleh gambar 2.1. dapat
ditentukan beberapa parameter mekanik dan konstitutif berikut ini:

Parameter mekanik:
 Kuat tekan = c
 Perpindahan lateral = l
 Perpindahan aksial = a
 Modulus young = a
 Poisson’s ratio = l/a

Parameter konstitutif:
 Energi Fracture UCS = Wf=0.5 Fp x l
 Energi fraktur spesific UCS = Wsf= 0.5c x p

Gambar 2.1. Grafik hasil uji kuat tekan uniaksial

II-2
 Kuat tarik
Nilai kuat tarik (UTS) selalu jauh lebih kecil darpada nilai kuat tekan
(UCS). Perbandingan anatara UCS terhadap UTS, sering disebut sebagai
Toughness ratrio atau brittleness index, dan telah diakui bermanfaat
untuk memperkirakan kemudahan batuan untuk dipecahkan. Sebab
besaran ini memberikan nilai indeks “brittle” suatu batuan utuh.

Walaupun kuat tekan lebih besar daripada kuat tarik, kuat tekan dinamik
biasanya jauh lebih besar daripada kuat tarik dinamik. Tensile fracture
oleh karenannya menjadi mekanisme fracture penting dalam batuan kuat
dan masif. Namun demikian, tegangan tekan radial yang berhubungan
dengan gelombang kejut sangat lebih besar daripada tegangan tarik
tangensial. Maka dalam batuan lemah yang memiliki kuat tekan dinamik
kecil akan terjadi failure akibat tegangan tekan. Hasilnya akan berupa
fragmentasi berukuran kecil atau halus yang tentunya tidak terlalu
diinginkan dalam proses peledakan. Tingginya laju peredaman energi kejut
dikaitkan dengan peremukan material. Maka, energi gelombang kejut
menurun drastis begitu masuk zone plastik. Hal ini akan membatasi fraktur
tarik radial yang dibentuk oleh proses peledakan.

Kuat tarik dinamik sangat penting untuk diketahui dalam proses


peledakan. Hal ini disebabkan oleh:
- tegangan tarik tangential harus lebih besar daripada kuat tarik dinamik
agar terjadi rekahan radial
- bila spalling diinginkan untuk terjadi, kuat tarik dinamik harus lebih
kecil daripada tegangan tarik radial yang dihasilkan dari pantulan pulsa
tegangan tekan awal di bidang bebas.

Tabel 2.1. dibawah memberikan keterangan berbagai selang nilai


“brittleness index”.

Tabel 2.1. Klasifikasi Brittleness Index

Brittleness Index Keterangan


6-7 Sangat tough & plastik
7-8 Tough & plastik
8-12 Rata-rata jenis batuan
12-15 Sangat brittle tak plastik
15-20 Sangat brittle

 Modulus Young
Modulus young berhubungan dengan tegangan dan regangan pada perilaku
elastik
 Nisbah Poisson
Nisbah poisson’s adalah perilaku batuan terhadap regangan lateral pada
kondisi pembebanan dalam arah aksial. Dalam peledakan, failure suatu

II-3
batuan pada dasarnya berada dalam bentuk brittle. Umumnya nisbah
poisson’s batuan berkisar antara 0.2-0.3. Begitu nisbah ini menurun,
kecepatan detonasi dan tekanan lubang tembak puncak seharusnya naik
agar dapat memberikan fragmentasi yang lebih baik. Pada dasarnya nisbah
poisson’s dinamik lebih rendah daripada nilai stattiknya, dan ini
menunjukkan bahwa brittle failure cenderung terjadi pada kondisi
peledakan.

2.2. SIFAT-SIFAT MASSA BATUAN

2.2.1. Bidang Diskontinu


Bidang diskontinu di dalam massa batuan dapat membantu mudahnya proses
penggalian. Dua parameter penting dalam karakteristik bidang diskontinu
adalah:
 kekerapan (frequency), atau jarak antar bidang diskontinu
 orientasi, yang selanjutnya dibagi dalam dua bagian yaitu: arah
kemiringan (dip direction) dan kemiringan (dip).

Keberadaan bidang diskontinu dalam massa batuan dapat membantu


pencapaian fragmentasi yang diinginkan. Namun demikian, ketidakhadiran
bidang diskontinu akan membauat peledakan massa batuan masif lebih dapat
diduga dan akan lebih cocok dengan perhitungan konventional.

Permukaan dari bidang-bidang diskontinu akan bertindak sebagai bidang bebas


parsial sehingga gelombang kejut akibat peledakan dapat dipantulkan atau
dibiaskan oleh bidang-bidang tersebut yang dapat diperhitungkan pada awal
perancangan peledakan. Oleh karena, itu bilamana kondisi bidang diskontinu
dapat diperkirakan maka rancangan peledakannyapun dapat menyesuaikan
dengan kondisi setempat.

2.2.1.1. Jarak antar bidang diskontinu


Jarak pisah antar diskontinu atau kekar adalah jarak tegak lurus antara dua
bidang diskontinu yang berurutan sepanjang sebuah garis pengamatan yang
disebut “scan-line” dan dinyatakan sebagai “intack length”. Panjang scan-line
minimum untuk pengukuran jarak diskontinu sekitar 50x jarak rata-rata
diskontinu yang hendak diukur. Sedangkan menurut ISRM (1981) panjang ini
cukup sekitar 10x, tergantung pada tujuan pengukuran-nya. Jarak diskontinu
dan ketrangannya menurut Attewell (1993) diberikan pada tabel 2.2.

2.2.1.2. Orientasi bidang diskontinu


Istilah strike & dip yang dipakai oleh para geologist adalah arah garis
horisontal pada bidang diskontinu yang tegak lurus terhadap kemiringan
bidangnya, dan sudut tegak ke bawah dari bidang horisontal.

Orientasi diskontinu dapat mempengaruhi kinerja pemboran dan peledakan


seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.2. Pengaruh ini sangat mudah untuk
dijelaskan secara kualitatif namun pada perhitunganya untuk merancang
peledakan sulit untuk diterapkan.

II-4
Tabel 2.2. Klasifikasi jarak antar kekar menurut Attewell (1993)

Deskripsi Struktur bidang diskontinu Jarak -mm


Spasi sangat lebar Very thickly bedded >2000
Spasi lebar Thickly bedded 600-2000
Spasi sedang Medium bedded 200-600
Spasi rapat Thinly bedded 60-200
Spasi sangat rapat Very thinly bedded 20-60
Thickly laminated (Sedimentary) 6-20
Narrow (metamorphic and igneous) 6-20
Foliated, cleaved, flow-banded, etc. 6-20
Spasi sangat rapat Metamorphic <20
sekali Thinly laminated (sedimentary) <6
Very closely foliated, cleaved flow- <6
banded, etc. (metamorphic & igneous)

Arah rekahan horisontal dalam massa batuan umumnya sangat menguntungkan


untuk peledakan. Bongkaran pada kaki lereng dari lubang tembak akan baik
dan akan menghasilkan permukaan yang relatif rata. Rekahan vertikal dan
paralel terhadap muka lereng juga akan menguntungkan peledakan karena
energi peledakannya diarahkan langsung kepada bagian yang tak terkekarkan.

Bila rekahan sub-vertikal miring ke arah muka bidang bebas, bongkaran di


sekitar kaki jenjang kurang berhasil dan lantai kerja akan menjadi kasar, yang
akhirnya akan menyulitkan kegiatan pemuatan.

2.3. KLASIFIKASI METODE PENGGALIAN MENURUT KUAT TEKAN BATUAN

Batuan mempunyai kuat tekan >25 Mpa seringnya membutuhkan bahan


peledak untuk penggaliannya. Penggalian mekanis tanpa bahan peledak dapat
dilakukan pada batuan dengan kuat tekan < 25 Mpa. Teknologi saat ini sudah
dapat menggali atau memotong massa batuan yang berisi banyak bidang
lemah walaupun kuat tekan batuan utuhnya bisa mencapai 50 Mpa.

Penggalian mekanis terdiri dari penggalian bebas (free digging), penggaruan


(ripping) dan penggalian potong (rock cutting).

Tabel 2.3. Urutan pembongkaran batuan menurut tingkat kekuatan

Metode Kuat tekan (UCS) Alat


(Mpa)
Free digging 1-10 Shovel, Back Hoe, BWE
Ripping 10-25 Ripper
Rock cutting 10-50 Rock cutter
Blasting >25 Pemboran peledakan

II-5
Lubang bor vertikal
Struktur vertikal: Perbaikan dinding vertikal
Berpotensial Berpotensial menghasilkan Fragmentasi pada toe jelek
menghasilkan dinding fragmentasi kasar/blok Reduksi sub-drilling/powder factor kecil
yang bersih

Berpotensial menghasilkan permasalahan


fragmentasi toe/kerusakan

Secara khusus harus dibuat rancangan untuk


Struktur Horisontal: membatasi keruskan (dibuat Buffer row)
Berpotensial
menghasilkan
kerusakan dinding

Berpotensial menghasilkan lantai (floor) yang


bersih

Struktur miring
Secara khusus harus dibuat rancangan untuk
(berlawanan dg arah
membatasi keruskan (dibuat Buffer row)
kemiringan lereng): Tidak stabil Fragmentasi toe jelek
Berpotensial
Reduksi sub-drilling/powder factor kecil
menghasilkan
kerusakan dinding

Berpotensial menghasilkan permasalahan


fragmentasi toe/kerusakan

Struktur miring Seperti diatas, TAPI,


(searah kemiringan Jika kemiringan struktur >70o , lubang bor dan
lereng): perbaikan muka lereng sejajar dengan
Berpotensial Berpotensial terjadi longsor
kemiringan struktur
menghasilkan
kerusakan dinding dan
back break
Memungkinkan menghasilkan permasalahan
fragmentasi toe/kerusakan

Menggunakan bahan peledak dengan gel.


Struktur acak: kejut rendah gas tinggi
Dinding tidak stabil Powder factor rendah
Mengaplikasikan controlled blasting (dengan
presplits)

Terjadi kerusakan pada toe

Material keras:
Masive: Bahan peledak dg. Gelobang kejut tinggi,
Berpotensial Berpotensial menghasilkan Powder factor tinggi, mengurangi waktu
menghasilkan dinding bongkahan antar lobang ledak tunda
yang stabil Material lunak:
Powder factor rendah
Menaikkan waktu tunda
Berpotensial menghasilkan permasalahan
fragmentasi toe/kerusakan

Gambar 2.2. Pengaruh struktur pada kinerja peledakan (Scott, 1996)

II-6
2.4. KRITERIA METODE PENGGALIAN MENURUT INDEKS KEKUATAN BATUAN

Pada gambar 2.3., tampak bahwa, Franklin dkk (1971) mengusulkan klasifikasi
massa batuan menurut dua parameter, yaitu: fracture index dan point load
index (PLI). Fracture index dipakai sebagai ukuran karakteristik diskontinu
dan didefinisikan sebagai jarak rata-rata fracture dalam sepanjang bor inti
atau massa batuan. Kedua parameter ini di plot dalam satu diagram untuk
menduga kemampugaruan (rippatibility) suatu massa batuan, dimana I f dan Is
masing-masing menyatakan fracture index dan PLI.

Diagram klasifikasi dibagi kedalam tiga zona umum yaitu: penggalian bebas
(free digging), penggaruan (ripping) dan peledakan (blasting). Massa batuan
yang terkekarkan dan lemah masuk kedalam kategori bagian bawah kiri
diagram, sedangkan massa batuan massif dan kuat diplot dibagian atas kanan.
Yang pertama tentunya sangat mudah untuk digali dan yang terakhir sangat
sulit digali dengan alat mekanis.

Gambar 2.3. Kriteria Indeks Kekuatan Batu (Franklin dkk, 1971)

2.5. ROCK MASS RATING - BIENAWSKI

II-7
Sistem Rock Mass Rating (RMR), atau sering juga dikenal sebagai
Geomechanics Classification, dibuat oleh Bienawski (1973). Klasifikasi ini
telah dimodifikasi berulang kali begitu informasi baru dari studi-studi kasus
diperoleh dan menjadikannya sesuai dengan International Standard dan
prosedur. RMR terdiri dari 5 parameter utama untuk membagi massa batuan
(lihat tabel 2.4.); kuat tekan batuan utuh (UCS), RQD, jarak diskontinu/kekar,
kondisi diskontinu/kekar, kondisi air tanah.

Parameter-parameter ini selanjutnya dibagi kedalam 5 group pembobotan dan


karena parameter-parameter tersebut tidak sama nilai kepentingannya maka
pembobotan dialokasikan secara berbeda untuk berbagai selang dari setiap
parameter. Semakin besar bobotnya semakin baik massa batuan itu untuk
masalah kestabilan tetapi makin sulit untuk digali/dibongkar.

Tabel 2.4. Rock Mass Rating (Bienawski, 1989)

A. Klasifikasi parameter dan pembobotan

Parameter Selang nilai


1 Kuat tekan PLI (Mpa) > 10 4 - 10 2-4 1-2 Untuk kuat tekan
batuan rendah perlu UCS
utuh UCS (Mpa) > 250 100-250 50-100 25-50 5-25 1-5 <1
Bobot 15 12 7 4 2 1 0
2 RQD (%) 90-100 75-90 50-75 25-50 <25
Bobot 20 17 13 8 3
3 Jarak diskontinuiti >2m 0.6-2 m 0.2-0.6 m 0.06-0.2 m < 0.06 m
Bobot 20 15 10 8 5
4 Kondisi diskontinuiti Sangat kasar, Agak kasar, Agak kasar, Skickendsided Gouge lunak, tebal
tdk menerus, pemisahan pemisahan / tebal gouge >5 mm, atau
tdk ada <1 mm, < 1 mm, <5 mm atau pemisahan > 5 mm,,
pemisahan, dinding agak dinding sangat pemisahan menerus
dinding batu lapuk lapuk 1-5 mm,
tidak lapuk menerus
Bobot 30 25 20 10 0
5 Air tanah Aliran/10m Tidak ada <10 10-25 25-125 >125
panjang
terowongan
(lt/det)
Tekanan air 0 <0.1 0.1-0.2 0.2-0.5 >0.5
kekar/maks.
Tegangan
utama
Kondisi Kering Lembab Basah Menetes Mengalir
umum
Bobot 15 10 7 4 0

B. Peubah bobot orientasi diskontinu

II-8
Jurus & kemiringan Sangat Mengun- Sedang Tidak Sangat tidak
orientasi diskontinu mengun- tungkan mengun- mengun-
tungkan tungkan tungkan
Bobot Terowongan 0 -2 -5 -10 -12
Fondasi 0 -2 -7 -15 -25
Lereng 0 -5 -25 -50 -60

C. Pengaruh orientasi strike dan dip diskontinu dalam pembuatan terowongan


dan penggalian

1 Pengaruh jurus dan kemiringan kekar untuk penerowongan


Jurus tegak lurus sumbu terowongan Jurus Paralel sumbu Dip 0-20o
Galian searah kemiringan Galian melawan terowongan tidak
kemiringan tergantung
Kemiringan Kemiringan Kemiringan Kemiringan Kemiringan Kemiringan jurus
45-90o 20-45o 45-90o 20-45o 45-90o 20-45o
Sangat Mengun- Sedang Tidak Sangat Sedang Tidak
mengun- tungkan mengun- tidak mengun-
tungkan tungkan mengun- tungkan
tungkan

2 Koreksi orientasi untuk penggalian dengan RMR (Fowell&Johnson, 1991)


Kelas batuan I II III IV V
Orientasi jurus & Sangat tidak Tidak Sedang Mengun- Sangat
kemiringan mengun- mengun- tungkan mengun-
tungkan tungkan tungkan
Bobot untuk penggalian -12 -10 -5 -2 0

D. Kelas massa batuan menurut bobot total

Bobot 100-81 80-61 60-41 40-21 <20


No.Kelas I II III IV V
Diskripsi Batuan sangat Batuan baik Batuan sedang Batuan buruk Batuan sangat
baik buruk

E. Arti kelas massa batuan

No. Kelas I II III IV V


Stand-up time 20 th untuk 1 th untuk 1 mgg untuk 10jam untuk 30 mnit untuk
rata-rata 15 m span 10 m span 5 m span 2.5 m span 1 m span
Kohesi massa >400 300-400 200-300 100-200 <100
batuan (kPa)
Sudut geser 45 35-45 25-35 15-25 <15
dalam (...o)

Perlu diketahui bahwa penggunaan RMR memerlukan minimum 3 set


diskontinu atau kekar. Karena itu bila hanya ada dua grup diskontinu, maka
analisis RMR akan menjadi konservatif dan koreksi positif sebesar 30%
diperlukan.
2.6. ROCK MASS QUALITY (Q-SYSTEM)

II-9
Klasifikasi massa batuan menurut Q-system dibuat di Norwegia pada tahun
1974 oleh Barton, Lien dan Lunde, semuanya dari Norwegian Geotechnical
Institute (NGI).

Pembobotan Q-system didasarkan atas penaksiran numerik kualitas massa


batuan dengan menggunakan 6 parameter berikut ini:
 RQD
 Jumlah set kekar
 Kekasaran kekar atau diskontinu utama
 Derajat alterasi atau pengisian sepanjang kekar yang paling lemah
 Aliran air
 Faktor reduksi tegangan

Dan pembobotan total dari kualitas massa batuan ini ditulis menurut,

Q= (RQD/Jn) x (Jr/Ja) x (Jw/SRF)................................(2.1)

Dimana:
RQD = Rock quality designation Jn = jumlah set kekar
Jr = Angka kekasaran kekar Ja = Angka alterasi kekar
Jw = Angka reduksi kondisi air SRF = Faktor reduksi tegangan

Keenam parameter tersebut dikelompokan ke dalam 3 kelompok nisbah dalam


upaya untuk menyatakan kualitas total massa batuan,
 Ukuran blok = (RQD/Jn)
 Kuat geser blok utuh = (Jr/Jn)
 Tegangan aktif = (Jw/SRF)

Deskripsi massa batuan dan bobotnya untuk setiap parameter diberikan pada
tabel 2.5. Bobot kualitas massa batuan bervariasi mulai dari Q= 0.001 hingga
Q=1000 yang kenyataannya merupakan fungsi skala logaritmik. Dan ini
meliputi kondisi kualitas massa batuan mulai dari “heavy squeezing-ground
right” hingga “sound unjointed rock” dan semuanya ini berdasarkan 200 studi
kasus terowongan. Klasifikasi ini dibuat untuk penentuan dimensi optimum
lubang bukaan dan kebutuhan penyangga permanen untuk penggalian
terowongan.

2.7. INDEKS EKSKAVASI

Dalam upaya memudahkan pendugaan kemampugaruan suatu massa batuan,


Kirsten (1982) mengklasifikasikan massa batuan menurut sifat fisik (Ms),
relativitas orientasi struktur massa batuan terhadap arah penggalian dan
beberapa parameternya Q-sistem yang disebut dengan indeks ekskavasi yang
dinyatakan dengan persamaan 2.2.

N= Ms x (RQD/Jn) x Js x (Jr/Ja).....................................(2.2)

II-10
N adalah indeks penggalian dan parameter lainnya sama dengan parameter
yang digunakan Q-system, sedangkan Ms dan Js dapat dilihat pada tabel 2.6.
dan tabel 2.7.

Kirsten membagi nilai indeks ekskavasi sebagai berikut,


1<N<10 Mudah digaru (ripping)
10<N<100 Sulit digaru
100<N<1000 Sangat sulit digaru
1000<N<10000 Antara digaru dan peledakan
N>10000 Peledakan

Sudah tentu bahwa klasifikasi Kirsten tidak menjamin keberhasilan


penggaruan oleh suatu jenis buldoser pada kondisi tertentu, karena daya
mesin dan tipe alat garu tidak dilibatkan di dalam perhitungan.

2.8. KEMAMPULEDAKAN

Tidak ada satupun peledakan teoritis yang tepat untuk merancang peledakan
berdasarkan sifat-sifat suatu massa batuan sederhana. Hal ini dikarenakan
bahwa massa batuan sifatnya sangat kompleks dan sebagai obyek, sedangkan
peledakan adalah suatu proses. Sudah banyak contoh bagaimana
kemampuledakan diturunkan baik secara empirik maupun teoritik. Namun
keberhasilannya masih belum dapat dijamin karena mereka menggunakan
asumsi bahwa batuan dianggap elastik, isoteropik dan homogen, atau disebut
juga material brittle. Beberapa bahkan sudah menggunakan metode fraktur
mekanik untuk mensimulasikan proses pengembangan rekahan.

II-11

Anda mungkin juga menyukai