KEMAMPULEDAKAN BATUAN
II-1
kurva tegangan-regangan yang ditunjukkan oleh gambar 2.1. dapat
ditentukan beberapa parameter mekanik dan konstitutif berikut ini:
Parameter mekanik:
Kuat tekan = c
Perpindahan lateral = l
Perpindahan aksial = a
Modulus young = a
Poisson’s ratio = l/a
Parameter konstitutif:
Energi Fracture UCS = Wf=0.5 Fp x l
Energi fraktur spesific UCS = Wsf= 0.5c x p
II-2
Kuat tarik
Nilai kuat tarik (UTS) selalu jauh lebih kecil darpada nilai kuat tekan
(UCS). Perbandingan anatara UCS terhadap UTS, sering disebut sebagai
Toughness ratrio atau brittleness index, dan telah diakui bermanfaat
untuk memperkirakan kemudahan batuan untuk dipecahkan. Sebab
besaran ini memberikan nilai indeks “brittle” suatu batuan utuh.
Walaupun kuat tekan lebih besar daripada kuat tarik, kuat tekan dinamik
biasanya jauh lebih besar daripada kuat tarik dinamik. Tensile fracture
oleh karenannya menjadi mekanisme fracture penting dalam batuan kuat
dan masif. Namun demikian, tegangan tekan radial yang berhubungan
dengan gelombang kejut sangat lebih besar daripada tegangan tarik
tangensial. Maka dalam batuan lemah yang memiliki kuat tekan dinamik
kecil akan terjadi failure akibat tegangan tekan. Hasilnya akan berupa
fragmentasi berukuran kecil atau halus yang tentunya tidak terlalu
diinginkan dalam proses peledakan. Tingginya laju peredaman energi kejut
dikaitkan dengan peremukan material. Maka, energi gelombang kejut
menurun drastis begitu masuk zone plastik. Hal ini akan membatasi fraktur
tarik radial yang dibentuk oleh proses peledakan.
Modulus Young
Modulus young berhubungan dengan tegangan dan regangan pada perilaku
elastik
Nisbah Poisson
Nisbah poisson’s adalah perilaku batuan terhadap regangan lateral pada
kondisi pembebanan dalam arah aksial. Dalam peledakan, failure suatu
II-3
batuan pada dasarnya berada dalam bentuk brittle. Umumnya nisbah
poisson’s batuan berkisar antara 0.2-0.3. Begitu nisbah ini menurun,
kecepatan detonasi dan tekanan lubang tembak puncak seharusnya naik
agar dapat memberikan fragmentasi yang lebih baik. Pada dasarnya nisbah
poisson’s dinamik lebih rendah daripada nilai stattiknya, dan ini
menunjukkan bahwa brittle failure cenderung terjadi pada kondisi
peledakan.
II-4
Tabel 2.2. Klasifikasi jarak antar kekar menurut Attewell (1993)
II-5
Lubang bor vertikal
Struktur vertikal: Perbaikan dinding vertikal
Berpotensial Berpotensial menghasilkan Fragmentasi pada toe jelek
menghasilkan dinding fragmentasi kasar/blok Reduksi sub-drilling/powder factor kecil
yang bersih
Struktur miring
Secara khusus harus dibuat rancangan untuk
(berlawanan dg arah
membatasi keruskan (dibuat Buffer row)
kemiringan lereng): Tidak stabil Fragmentasi toe jelek
Berpotensial
Reduksi sub-drilling/powder factor kecil
menghasilkan
kerusakan dinding
Material keras:
Masive: Bahan peledak dg. Gelobang kejut tinggi,
Berpotensial Berpotensial menghasilkan Powder factor tinggi, mengurangi waktu
menghasilkan dinding bongkahan antar lobang ledak tunda
yang stabil Material lunak:
Powder factor rendah
Menaikkan waktu tunda
Berpotensial menghasilkan permasalahan
fragmentasi toe/kerusakan
II-6
2.4. KRITERIA METODE PENGGALIAN MENURUT INDEKS KEKUATAN BATUAN
Pada gambar 2.3., tampak bahwa, Franklin dkk (1971) mengusulkan klasifikasi
massa batuan menurut dua parameter, yaitu: fracture index dan point load
index (PLI). Fracture index dipakai sebagai ukuran karakteristik diskontinu
dan didefinisikan sebagai jarak rata-rata fracture dalam sepanjang bor inti
atau massa batuan. Kedua parameter ini di plot dalam satu diagram untuk
menduga kemampugaruan (rippatibility) suatu massa batuan, dimana I f dan Is
masing-masing menyatakan fracture index dan PLI.
Diagram klasifikasi dibagi kedalam tiga zona umum yaitu: penggalian bebas
(free digging), penggaruan (ripping) dan peledakan (blasting). Massa batuan
yang terkekarkan dan lemah masuk kedalam kategori bagian bawah kiri
diagram, sedangkan massa batuan massif dan kuat diplot dibagian atas kanan.
Yang pertama tentunya sangat mudah untuk digali dan yang terakhir sangat
sulit digali dengan alat mekanis.
II-7
Sistem Rock Mass Rating (RMR), atau sering juga dikenal sebagai
Geomechanics Classification, dibuat oleh Bienawski (1973). Klasifikasi ini
telah dimodifikasi berulang kali begitu informasi baru dari studi-studi kasus
diperoleh dan menjadikannya sesuai dengan International Standard dan
prosedur. RMR terdiri dari 5 parameter utama untuk membagi massa batuan
(lihat tabel 2.4.); kuat tekan batuan utuh (UCS), RQD, jarak diskontinu/kekar,
kondisi diskontinu/kekar, kondisi air tanah.
II-8
Jurus & kemiringan Sangat Mengun- Sedang Tidak Sangat tidak
orientasi diskontinu mengun- tungkan mengun- mengun-
tungkan tungkan tungkan
Bobot Terowongan 0 -2 -5 -10 -12
Fondasi 0 -2 -7 -15 -25
Lereng 0 -5 -25 -50 -60
II-9
Klasifikasi massa batuan menurut Q-system dibuat di Norwegia pada tahun
1974 oleh Barton, Lien dan Lunde, semuanya dari Norwegian Geotechnical
Institute (NGI).
Dan pembobotan total dari kualitas massa batuan ini ditulis menurut,
Dimana:
RQD = Rock quality designation Jn = jumlah set kekar
Jr = Angka kekasaran kekar Ja = Angka alterasi kekar
Jw = Angka reduksi kondisi air SRF = Faktor reduksi tegangan
Deskripsi massa batuan dan bobotnya untuk setiap parameter diberikan pada
tabel 2.5. Bobot kualitas massa batuan bervariasi mulai dari Q= 0.001 hingga
Q=1000 yang kenyataannya merupakan fungsi skala logaritmik. Dan ini
meliputi kondisi kualitas massa batuan mulai dari “heavy squeezing-ground
right” hingga “sound unjointed rock” dan semuanya ini berdasarkan 200 studi
kasus terowongan. Klasifikasi ini dibuat untuk penentuan dimensi optimum
lubang bukaan dan kebutuhan penyangga permanen untuk penggalian
terowongan.
N= Ms x (RQD/Jn) x Js x (Jr/Ja).....................................(2.2)
II-10
N adalah indeks penggalian dan parameter lainnya sama dengan parameter
yang digunakan Q-system, sedangkan Ms dan Js dapat dilihat pada tabel 2.6.
dan tabel 2.7.
2.8. KEMAMPULEDAKAN
Tidak ada satupun peledakan teoritis yang tepat untuk merancang peledakan
berdasarkan sifat-sifat suatu massa batuan sederhana. Hal ini dikarenakan
bahwa massa batuan sifatnya sangat kompleks dan sebagai obyek, sedangkan
peledakan adalah suatu proses. Sudah banyak contoh bagaimana
kemampuledakan diturunkan baik secara empirik maupun teoritik. Namun
keberhasilannya masih belum dapat dijamin karena mereka menggunakan
asumsi bahwa batuan dianggap elastik, isoteropik dan homogen, atau disebut
juga material brittle. Beberapa bahkan sudah menggunakan metode fraktur
mekanik untuk mensimulasikan proses pengembangan rekahan.
II-11