Anda di halaman 1dari 5

Lika Liku Joko Tjandra dan Kasus Cessie Bank

Bali

Jakarta - Joko Soegiarto Tjandra, terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali telah mangkir
dari panggilan Kejaksaan, Selasa (16/6/2009) kemarin. Sejatinya, mantan Dirut PT Era Giat
Prima (EGP) itu akan dieksekusi ke LP Cipinang.

Bersama mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin, pria yang juga memiliki nama
Tjan Kok Hui itu telah diputus 2 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA). Selain itu, Joko
Tjandra juga diwajibkan membayar denda Rp 15 juta.

Bagaimana keterlibatan pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat ini dalam kasus yang
melibatkan banyak pihak ini? Berikut kronologi menurut Indonesian Corruptions Watch (ICW).

11 Januari 1999

Perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang antara pihak Bank Bali (Rudy Ramli dan Rusli
Suryadi) dan Joko S Tjandra selaku Direktur PT Persada Harum Lestari mengenai tagihan
piutang Bank Bali terhadap Bank Tiara sebesar Rp 38.000.000.000 dibuat. Penyerahan kepada
BB selambat-lambatnya tanggal 11 Juni 1999.

Dibuat juga perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang antara dua pihak yang sama. Namun
dalam perjanjian ini, Joko Tjandra berperan sebagai Direktur PT Era Giat Prima (EGP).
Perjanjian ini mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap BDNI dan BUN dengan nilai pokok
seluruhnya sebesar Rp 798.091.770.000. Penyerahan kepada BB selambat-lambatnya 3 bulan
sejak tanggal perjanjian ini dibuat.

Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli dan Direktur Firman Sucahya menandatangani perjanjian
cessie dengan Direktur Utama PT EGP Setya Novanto. Melalui perjanjian itu, BB menjual
seluruh tagihan pinjaman antarbanknya kepada BDNI, BUN (keduanya dilikuidasi 1998), dan
Bank Bira pada PT EGP. Total tagihan pinjaman antarbank milik Bank Bali kepada BDNI, BUN
dan Bank Bira mencapai Rp 3 triliun.

8 September 1999

Laporan hasil audit terhadap PT Bank Bali oleh PricewaterhouseCoopers (PwC) terbit. Tata cara
yang berlaku untuk GGS pada BPPN dan BI tidak cukup untuk menghindari terulangnya
kejadian serupa. PwC mengusulkan agar dibuat metode terpadu untuk menyelamatkan dana yang
sudah diselewengkan pada masa lalu.

PwC menganjurkan dilakukan investigasi atas pihak-pihak tertentu, seperti menteri, pejabat
senior pemerintah, oknum anggota DPR dan partai, serta pelaku bisnis terkemuka, namun tidak
dianjurkan atas individu tertentu.

27 September 1999

Perkara korupsi cessie Bank Bali yang melibatkan Joko Tjandra mulai diusut oleh Kejaksaan
Agung sesuai dengan laporan dari Bismar Mannu, Direktur Tindak Pidana Korupsi kepada Jaksa
Agung.

29 September 1999 - 8 November 1999

Joko ditahan oleh Kejaksaan.

9 November 1999 - 13 Januari 2000

Joko Tjandra menjadi tahanan kota kejaksaan.

14 Januari 2000 - 10 Februari 2000

Joko kembali ditahan oleh kejaksaan.

9 Februari 2000

Kasus cessie skandal Bank Bali dengan Terdakwa Joko Tjandra diajukan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan.

10 Februari 2000 - 10 Maret 2000

Berdasarkan ketetapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Joko Tjandra kembali
menjadi tahanan kota.

6 Maret 2000

Putusan sela hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap
kasus Joko Tjandra tidak dapat diterima. Joko Tjandra dilepaskan dari tahanan kota. Jaksa
mengajukan permohonan
perlawanan ke Pengadilan Tinggi.
31 Maret 2000

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi.


Memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memeriksa dan mengadili Joko Tjandra.

19 April 2000

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjuk Soedarto (hakim ketua majelis), Muchtar
Ritonga dan Sultan Mangun (hakim anggota) sebagai Hakim yang memeriksa dan mengadili
Joko Tjandra.

April 2000 – Agustus 2000

Upaya berhasil. Proses persidangan Joko Tjandra selaku Direktur Utama PT Era Giat Prima
mulai bergulir. Joko Tjandra didakwa jaksa penuntut umum (JPU) Antasari Azhar telah
melakukan tindak pidana Korupsi dalam kasus Bank Bali.

Fakta-fakta menunjukkan, pemindahbukuan dari rekening bendaharawan negara ke Bank Bali


berdasarkan penjaminan transaksi PT BDNI terhadap Bank Bali menyebabkan kerugian negara
sebesar Rp 904.642.428.369.

Joko Tjandra pun dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan atau 18 bulan penjara. Joko juga dituntut
membayar denda sebesar Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan, serta harus membayar biaya
perkara sebesar Rp 7.500.

Sedang uang sebesar Rp 546 miliar milik PT Era Giat Prima yang berada di escrow account
Bank Bali agar dikembalikan pada negara.

28 Agustus 2000

Majelis hakim memutuskan Joko S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam
putusannya, majelis hakim menyatakan, sebenarnya dakwaan JPU terhadap perbuatan Joko
Tjandra terbukti secara hukum. Namun perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan
pidana melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Joko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan
hukum.

21 September 2000

Antasari, selaku JPU mengajukan kasasi.


26 Juni 2001

Majelis hakim agung MA melepaskan Joko S Tjandra dari segala tuntutan. Putusan
sendiri diambil dengan mekanisme voting dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara hakim
Sunu Wahadi dan M Said Harahap dengan hakim Artidjo Alkotsar mengenai permohonan kasasi
Joko Tjandra yang diajukan oleh JPU.

12 Juni 2003

Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar
menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank
Permata mengirim surat ke BPPN untuk meminta petunjuk. Permintaan ini akhirnya tak terwujud
dengan keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan BPPN.

17 Juni 2003

Direksi Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan di
atas.

19 Juni 2003

BPPN meminta fatwa MA dan penundaan eksekusi keputusan MA (Juni 2001) yang memperkuat
keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan Joko Tjandra. Alasannya, ada
dua keputusan MA yang bertentangan.

25 Juni 2003

Fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya menyatakan MA tidak dapat ikut campur
atas eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

1 Juli 2003

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Antasari Azhar


menyatakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai menghambat proses hukum
yang sedang dijalankan oleh Kejaksaan Agung selaku pihak eksekutor.

2 Maret 2004

Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memanggil Direktur Utama PT Bank Permata Tbk, Agus
Martowardojo. Pemanggilan ini terkait dengan rencana eksekusi pencairan dana senilai Rp 546
miliar untuk PT Era Giat Prima (EGP) milik Joko Tjandra dan politikus Partai Golkar Setya
Novanto.

Oktober 2008

Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi cessie Bank Bali dengan
terdakwa Joko Tjandra ke Mahkamah Agung.

11 Juni 2009

Majelis Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara,
Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan menerima
Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa. Selain hukuman penjara dua tahun, Joko Tjandra juga
harus membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp
546.166.116.369 dirampas untuk negara.

Imigrasi juga mencekal Djoko Tjandra. Pencekalan ini juga berlaku bagi terpidana kasus cessie
Bank Bali lainnya, Syahril Sabirin. Mantan Gubernur BI yang juga divonis 2 tahun penjara.

16 Juni 2009

Joko mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi. Joko diberikan kesempatan 1 kali
panggilan ulang, jika tidak kooperatif akan dinyatakan buron. Diduga Joko saat ini berada di
Singapura.

Anda mungkin juga menyukai