Anda di halaman 1dari 6

Kasus Korupsi #1

KASUS BANK BJB SYARIAH

Kasus kredit fiktif yang melibatkan Bank Pembangunan Jawa Barat dan
Banten (BJB) Syariah ke PT Hastuka Sarana Karya (HSK) mulai terungkap.

Dalam kasus tersebut, Bank BJB Syariah telah menyalurkan kredit ke PT HSK
periode 2014-2016 senilai Rp548 miliar. Dana itu digunakan PT HSK untuk
membangun 161 ruko di Garut Super Blok.

Akan tetapi, anak usaha Bank BJB itu tidak memiliki agunan dari kredit yang
disalurkan. Sementara itu, kredit tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai
Kredit Tanpa Agunan (KTA).

Seorang sumber Bisnis mengatakan, Bank Muamalat telah menyalurkan


kredit dengan agunan bukti kepemilikan sejumlah unit di Garut Super Blok
sebelum PT HSK mengajukan kredit ke Bank BJB Syariah.

"Entah fotokopi atau apa yang dijanjikan ke Bank BJB Syariah, tapi bukti
kepemilikan aset telah diagunkan ke Bank Muamalat," kata sumber yang
mengetahui proses tersebut kepada Bisnis, Kamis (21/3/2019).

Bisnis telah meminta konfirmasi langsung ke pihak Bank Muamalat. Namun


hingga berita ini ditulis, bank syariah pertama di Indonesia tersebut masih
belum memberikan informasi pasti.

"Kami cek dulu ya," kata Corporate Secretary Bank Muamalat Hayunaji saat
dihubungi Bisnis.

Biasanya KTA yang disalurkan oleh perbankan hanya berkisar Rp200 juta
hingga Rp300 juta. Bank BJB Syariah juga telah melakukan audit khusus
mengenai kasus ini..

Bareskrim Polri menetapkan dua orang tersangka baru dalam kasus kredit
fiktif sebesar Rp548 miliar di Bank BJB Syariah atas nama Arif Budirahardja
selaku Pimpinan Divisi Pembiayaan Bank BJB Syariah dan Yasril Narapraya
selaku Grup Head Ritel Bank BJB Syariah.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo
mengungkapkan bahwa keduanya ditetapkan sebagai tersangka setelah tim
penyidik melakukan gelar (ekspose) perkara pada Rabu (24/4/2019).

Dedi juga menjelaskan tersangka Yasril Narapraya diketahui berperan


sebagai pihak yang turut serta dengan tersangka Yocie Gusman dan Andi
Winarto dalam melakukan perbuatan tindak pidana korupsi melalui
pengucuran kredit fiktif Bank BJB Syariah ke pihak swasta.

"Jadi setelah ekspose kemarin, penyidik langsung menetapkan dua orang


sebagai tersangka dalam kasus kredit fiktif di Bank BJB Syariah," tuturnya
kepada Bisnis, Kamis (25/4/2019).

Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Korupsi (Dit Tipikor) Bareskrim Polri,
Brigjen Pol Erwanto Kurniadi mengatakan penyidik sudah mengirimkan Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dua tersangka itu ke
Kejaksaan Agung agar mengikuti perkembangan penyidikan perkara yang
telah merugikan keuangan negara sebesar Rp548 miliar itu.

"SPDP sudah kami kirimkan langsung ke Kejaksaan setelah keduanya


ditetapkan sebagai tersangka," ujarnya.

Sebelumnya, tim penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi telah memanggil


mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) setelah penyidik
menemukan adanya fakta baru yang mengarah pada nama Aher.

Dalam perkara tersebut, Bareskrim Mabes Polri telah menetapkan mantan


pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama Bank Jabar Banten Syariah (BJBS)
bernama Yocie Gusman sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian
kredit BJBS kepada debitur atas nama PT. Hastuka Sarana Karya periode
2014 hingga 2016.
Yocie Gusman merupakan bekas Ketua DPC PKS Kota Bogor, ditetapkan
sebagai tersangka atas perannya dalam memberikan kredit kepada PT. HSK
periode 2014 hingga 2016.

Yocie Gusman diduga tidak menaati prosedur saat memberikan kredit ke AW,
selaku pimpinan PT. HSK dalam memberikan fasilitas pembiayaan sebesar
Rp548 miliar. Dana itu sendiri digunakan PT. HSK untuk membangun 161
ruko di Garut Super Blok.

Penyaluran kredit itu sendiri belakangan diketahui dilakukan tanpa agunan.


Debitur, PT. HSK, malah mengagunkan tanah induk dan bangunan ke bank
lain. Setelah dikucurkan, ternyata pembayaran kredit tersebut macet
sebesar Rp548 miliar.

Sebelumnya, tim penyidik Direktorat Tindak Pidana Bareskrim Polri juga telah
melakukan penyitaan terkait kasus tersebut dalam rangka pengembalian
kerugian negara.

Berikut aset yang disita Bareskrim:

1. Sertifikat dan tanah seluas 7.000 m² atas nama Andy Winarto, terletak
di Jalan, Bukit Pakar Timur, Ciburial, Cimenyan, Bandung.
2. Sertifikat dan tanah seluas 1.522 m² beserta bangunan atas nama
Andy Winarto, terletak di Jalan Wastukencana No. 31 Kelurahan
Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung.
3. Sertifikat dan tanah seluas 1.493 m² beserta bangunan atas nama
Andy Winarto terletak di Jalan Inggit Garnasih No. 110 Keluraha Ciateul,
Kecamatan Regol, Bandung tanah dan sertifikat.
4. Sertifikat dan tanah seluas 1.400 m² atas nama Rosalina Hakim
terletak di Desa Langensari Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten
Garut.
5. Sertifikat dan tanah seluas 15. 593 m² atas nama Rosalina Hakim
terletak di Jalan Pembangunan Blok Untung Ds Jaya waras Kecamatan
Tarogong, Kabupaten Garut.
6. Sertifikat dan tanah seluas 13. 884 m² atas nama Rosalina Hakim
terletak di Jalan Pembangunan Blok Gordah Ds Jaya waras Kec.
Tarogong Kab. Garut.
7. Sertifikat dan tanah seluas 7.740 m² beserta bangunan yang terletak
di Jalan Malabar No. 331 Kelurahan Samoja Kecamatan Batununggal,
Kota Bandung.
8. Mobil Bently warna hitam Nopol: B 1 BAA atas nama Theresia Situngkir.

PT Bank Jawa Barat dan Banten (BJB) Syariah masih terlilit kasus dugaan
kredit fiktif yang merugikan perseroan senilai Rp548 miliar.

Kasus Korupsi #2

Korupsi Pengadaan Solar


yang Jerat Eks Dirut PLN

Penulis: Devina Halim | Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal (Bareskrim)
Polri mengungkapkan modus operandi kasus dugaan korupsi pengadaan high speed diesel (HSD)
atau solar tahun 2010.

Kasus itu turut melibatkan eks Direktur Energi Primer Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun
2010 sekaligus mantan Direktur Utama PT PLN tahun 2012, Nur Pamudji, sebagai tersangka.
Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Pol Djoko Poerwanto mengatakan
bahwa kasus tersebut bermula dari pertemuan Pamudji dengan Presiden Direktur PT Trans
Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), HW (Honggo Wendratno).

"Tersangka NP selaku Direksi PT PLN mengadakan pertemuan dengan saudara HW selaku


Presdir PT TPPI sebelum lelang dimulai untuk membahas pasokan kebutuhan PT PLN atas BBM
jenis HSD dari PT TPPI," ujar Djoko saat konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta
Selatan, Jumat (28/6/2019).

Djoko mengatakan, pertemuan tersebut membahas pengaturan PT TPPI sebagai pemenang


lelang.

Kemudian, Pamudji diduga memerintahkan panitia pengadaan untuk memenangkan Tuban


Konsorsium sebagai pemasok HSD ke PLTGU Tambak Lorok dan PLTGU Belawan.

Tuban Konsorsium tersebut dipimpin oleh PT TPPI.

"Kalau HW kan TPPI, dia kalau dilihat dari kemampuan tidak memenuhi syarat, tapi dia akan
membentuk perusahaan-perusahaan lain yang dibentuk dalam Tuban Konsorsium. Jadi
perusahaan-perusahaan lain itu kalau orang bilang hanya surat-suratnya, dokumen saja," kata
Djoko.

Setelah itu, kedua pihak pun menandatangani kontrak yang berlangsung selama empat tahun.
Namun, Tuban Konsorsium hanya dapat memenuhi kontrak tersebut selama sebelas bulan.

Ketika dikonfirmasi, Djoko mengatakan, ketidaksanggupan PT TPPI bukan dari segi keuangan.

"Enggak (karena keuangan), memang gak sanggup," tutur dia.

Akibatnya, PLN mengalami kerugian karena harus membeli solar dari pihak lain dengan harga
yang lebih mahal.

Berdasarkan laporan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dengan nomor


9/LHP/XXI/02/2018 tertanggal 2 Februari 2018, kerugian negara akibat kasus tersebut sebesar
Rp 188,75 miliar.
Akibat tindakannya, Pamudji dikenakan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.

Saat ini berkas perkara kasus tersebut telah dinyatakan lengkap atau P-21 oleh Kejaksaan Agung.

Anda mungkin juga menyukai