A. IDENTIFIKASI KASUS
Kasus ini berawal saat Kemendagri di tahun 2009 merencanakan mengajukan anggaran
untuk penyelesaian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAP), salah satu
komponennya adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK). Kemendagri telah menyiapkan dana
sebesar Rp 6 Triliun yang digunakan untuk proyek e-KTP dan program Nomor Induk
Kependudukan (NIK) Nasional dan dana senilai Rp 258 Milyar untuk biaya pemutakhiran data
kependudukan untuk pembuatan e-KTP berbasis NIK pada 2010 untuk seluruh kabupaten/kota
se-Indonesia. Prosedur pembuatan KTP elektronik yakni perekaman data penduduk dengan
menunjukkan KTP lama setelah itu tinggal menunggu hingga proses selesai dan e-KTP bisa
diambil di dinas pencatatan sipil. Pemerintah pun menargetkan pembuatan e-KTP bisa selesai di
tahun 2013. Proyek e-KTP sendiri merupakan program nasional dalam rangka memperbaiki
sistem data kependudukan di Indonesia. Mulanya proyek ini berjalan lancar dengan pengawasan
Komisi Pemberantasan Konupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta oleh Gamawan Fauzi yang saat
itu menjabat sebagai menteri dalam negeri. Lelang e-KTP dimulai sejak tahun 2011, dan banyak
bermasalah karena diindikasikan banyak terjadi penggelembungan dana.
Kejanggahan demi kejanggalan yang terjadi sejak proses lelang tender proyek e-KTP
membuat berbagai pihak mulai dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Government
Watch, pihak kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi
menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi. Sejak itu KPK melakukan berbagai penyelidikan
demi mengusut kronologi dan siapa saja dalang di balik kasus ini. Para pemangku kebijakan
terkait proyek e-KTP pun dilibatkan sebagai saksi, mulai dari Gamawan Fauzi, Nazaruddin,
Miryam S. Hani, Triyuni Soemartono, Chairuman Harahap bahkan hingga Diah Anggraini.
Melalui bukti-bukti yang ditemukan dan keterangan para saksi, KPK menemukan fakta
bahwa negara harus menanggung kerugian sebesar Rp 2,314 triliun. Setelah melakukan berbagai
penyelidikan sejak 2012, KPK akhirnya menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka korupsi
beberapa di antaranya pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi Dewan Perwakilan DPR.
Mereka adalah Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus Nari, Anang Sugiana dan Setya
Novanto. Miryam S. Haryani sebenarnya juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Namun
statusnya adalah bukan sebagai tersangka korupsi, melainkan sebagai pembuat keterangan palsu
saat sidang keempat atas nama Sugiharto dan Irman dilaksanakan. Penetapan tersangka oleh
KPK dalam kasus ini pertama kali dilakukan pada 22 April 2014 atas nama Sugiharto sementara
sidang perdana atas tersangka pada kasus ini digelar pada 9 Maret 2017. Tercatat ada puluhan
sidang yang berjalan setelah itu untuk para tersangka.
Sampai sekarang, penanganan korupsi megaproyek KTP Elektronik masih terus berjalan.
Dalam perkara pokok kasus korupsi e-KTP, ada 8 orang yang sudah diproses dan divonis
bersalah. Mereka adalah Setya Novanto (mantan ketua DPR RI), Irman dan Sugiharto (dua
mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri), Made Oka Masagung dan Andi Naragong
(Pengusaha), Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera sekaligus
keponakan Novanto), Anang Sugiana Sudiharjo (Direktur Utama PT Quadra Solution), dan
Markus Nari (mantan anggota DPR). Ada 2 tersangka lain yang divonis bersalah karena dinilai
menghalangi proses penyidikan KPK, diantaranya adalah Fredrich Yunadi (Pengacara) dan
Bimanesh Sutarjo (Dokter). Terakhir kali KPK menetapkan empat tersangka baru kasus korupsi
proyek e-KTP pada Agustus 2019. Para tersangka e-KTP tersebut adalah Miryam S Haryani
(mantan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura), Isnu Edhi Wijaya (Direktur Utama
Perum Percetakan Negara RI (PNRI) sekaligus ketua Konsorsium PNRI), Husni Fahmi (Ketua
Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP) dan Paulus Tanos (Dirut PT Shandipala
Arthaputra).
Selama proses investigasi E-KTP, terhitung KPK telah memeriksa ratusan saksi. Berikut ini
beberapa keterangan yang diberikan baik dari para saksi maupun pelaku yang terekspos media:
Kamis, 22 Februari 2018. Anang Sugiana hadir menjadi saksi atas tersangka
Setya Novanto. Anang Sugiana mengakui ada aliran dana proyek e-KTP yang
masuk ke kantong anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut Anang,
pembayaran ke anggota DPR diatur oleh pengusaha Andi Agustinus alias Andi
Narogong, yang merupakan terpidana korupsi e-KTP.
Berikut ini bukti-bukti yang telah dikumpulkan auditor selama proses investigasi kasus E-KTP:
1. Bukti terkait tersangka Setya Novanto :
Keterangan dari ahli
Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia Bob Hardian mengatakan,
dari 150 juta keping Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP), baru 7,4
juta keping yang sudah diverifikasi. Padahal, proses verifikasi penting untuk
memastikan kebenaran data pada setiap keping e-KTP.
Keterangan saksi
Dari keterangan Rizwan diketahui bahwa keponakan Setya Novanto yaitu Irvanto
Hendra Pambudi Cahyo menggunakan PT Inti Valuta Money Changer dan PT
Perka Langgeng Abadi untuk memindahkan uang senilai US$ 2,6 juta dari
Mauritius ke Singapura. Dari pemindahan uang tersebut, dua perusahaan tadi
dapat fee sebesar Rp 100 per dollar atau senilai Rp 260 juta yang dibagi dengan
persentase 60% atau senilai Rp 156 juta untuk PT Inti Valuta Money Changer dan
40% atau senilai Rp 104 juta untuk PT Perka Langgeng Abadi.
Bukti surat
KPK sebagai termohon dalam gugatan praperadilan Setya Novanto akan
melakukan pembuktian melalui dokumen-dokumen yang berupa akta perjanjian,
surat tentang pembayaran, termin-termin pembayaran, juga berita acara
pemeriksaan saksi baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
2. Bukti terkait tersangka Sugiharto (ketua panitia lelang proses pengadaan e-KTP) :
Bukti surat
Berupa surat kontrak pada 1 Juli 2011 dan surat jaminan penerimaan uang Rp 50
juta.
Keterangan Saksi
Sugiharto terima US$200. Mantan staf Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Yosep Sumartono membeberkan, ia sendiri yang mengambil uang dari Johannes
Marliem medio pada April-Mei 2011. Yosep menemui Johannes di Mal Grand
Indonesia atas perintah Sugiharto. Yosep mengaku ada juga uang dari Direktur PT
Quadra Solution Ahmad Fauzi sebesar US$100 ribu untuk Sugiharto. Uang itu
dibawa langsung ke rumah Yosep pada 2011.
3. Bukti terkait tersangka Markus Nari :
Keterangan Saksi
Keterangan keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo ihwal
pemberian uang sebesar US$1 juta yang diberikan di ruang kerja mantan Ketua
DPR Setya Novanto. Dalam pemberian itu, Irvanto menyebut Markus ditemani
Ketua Fraksi Partai Golkar Melchias Marcus Mekeng.
Bukti surat
Salinan BAP Markus dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.
Bukti Kendaraan
Penyitaan mobil Toyota Land Cruiser warna hitam.
4. Bukti terkait tersangka Anang Sugiana Sudihardjo :
Keterangan Saksi
KPK telah memeriksa puluhan saksi untuk menyelesaikan pemberkasan Anang.
Saksi yang dihadirkan berasal dari pengacara, pegawai money changer BOSS dan
sejumlah karyawan swasta. Total ada 60 yang saksi telah diperiksa. Unsur saksi
lainnya karyawan PT Softorb Technology Indonesia.
Bukti surat
Anang turut terlibat mengarahkan dan mengkondisikan proses lelang bersama
Andi Agustinus Narogong, yakni membuat dokumen penawaran dan spesifikasi
teknis yang telah disetujui oleh panitia lelang agar konsorsiumnya dimenangkan
panitia lelang.
5. Bukti terkait tersangka Andi Narogong:
● Keterangan saksi
Bekas Direktur PNRI Isnu Edhy Wijaya memberikan kesaksian ihwal proyek e-
KTP dalam persidangan dengan terdakwa mantan pejabat Kementerian Dalam
Negeri, Irman dan Sugiharto. Isnu mengaku Irman memintanya berkoordinasi
dengan Andi untuk proyek e-KTP. Menurut dia, Andi berperan penting dalam
mengumpulkan pihak yang kompeten untuk proyek tersebut, seperti Johannes Tan
dan Paulus Tanos. Konteks pertemuannya adalah untuk memenangkan proyek e-
KTP.
● Bukti surat
KPK menemukan barang bukti elektronik dan nomor dokumen pada saat
melakukan penggeledahan di kediaman Andi dan kedua adiknya di daerah
Cibubur.
6. Bukti terkait Irman:
● Keterangan saksi
Diah Anggraini pada kesaksiannya mengatakan bahwa ia mendapat uang dari
Irman sebesar US$ 300 ribu pada 2013 dan berniat mengembalikannya sepekan
kemudian.
● Bukti elektronik
Yakni percakapan diduga Novanto dengan sejumlah pihak, termasuk Irman,
Sugiharto, dan Andi Narogong terkait dugaan rencana mencatut anggaran proyek
KTP-el.
Bukti-bukti lain yang terkumpul antara lain:
1. Alat bukti surat, meliputi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Miryam, tulisan tangan
Miryam saat dimintai keterangan dalam penyidikan, dan konsep atau revisi BAP oleh
Miryam.
2. Alat bukti saksi. Sejumlah orang, kata Setiadi, telah diperiksa, antara lain Elsa Syarief
Dalam perkara Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Yosep Sumartono dalam
perkara terdakwa kasus korupsi KTP-el Irman dan Sugiharto.
3. Alat bukti petunjuk. Rekaman video kesaksian Miryam persidangan Tipikor kasus KTP-
elektronik dan rekaman pemeriksaan saat penyidikan jadi modal tambahan KPK menjerat
Miryam.
4. Alat bukti lainnya. Pengusulan anggaran e-KTP yang tadinya menggunakan PHLN
(Pinjaman dan Hibah Luar Negeri) untuk diubah menjadi rupiah murni. Menurut surat
Dakwah KPK, penggunaan APBD sebagai sumber anggaran proyek e-KTP adalah bagian
dari grand design, agar 51% dari APBD dapat dipergunakan untuk belanja modal dan
49% nya untuk dibagi-bagikan. Selain itu, penggunaan teknologi kartu e-KTP tidak
sesuai dengan proposal yang diajukan. Ada ketidaksesuaian antara teknologi kartu dan
teknologi perangkat pembaca e-KTP. Teknologi yang dipakai sesuai proposal adalah iris
technology, mata, tetapi kemudian yang banyak dilakukan selama ini menggunakan
finger (jari).
Kronologi Awal
● Pada tanggal 31 Juli 2013 Mohammad Nazaruddin juga memaparkan adanya indikasi
korupsi terhadap proyek e-KTP. Saat diperiksa oleh KPK terkait kasus Hambalang, ia
menyerahkan bukti-bukti terkait korupsi e-KTP. Lewat pengacaranya, Elza Syarief, ia
juga menuding telah terjadi penggelembungan dana pada proyek e-KTP. Dari total
proyek sebesar RP 5,9 triliun, 45% di antaranya merupakan mark-up. Ia juga mengatakan
bahwa Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto dan mantan Ketua Umum Partai
Demokrat Anas Urbaningrum terlibat dalam kasus ini.
Perkembangan Kasus
● Setelah menyelidiki kasus lebih lanjut, pada Selasa, 22 April 2014 KPK akhirnya
menetapkan Sugiharto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal
Kependudukan dan Catatan Sipil pada Kementerian Dalam Negeri sebagai tersangka
pertama dalam kasus korupsi e-KTP. Sugiharto diduga melakukan penyalahgunaan
wewenang dan melakukan suap pada proyek e-KTP di DPR untuk tahun anggaran 2011-
2013, melanggar Pasal 2 Ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Ia juga
diperkaya dengan uang senilai 450.000 dollar AS dan Rp 460 juta.
● Untuk mengusut kasus ini lebih dalam KPK kemudian melanjutkan pemenuhan berkas-
berkas dengan memeriksa berbagai saksi terkait kasus e-KTP di Kementerian Dalam
Negeri pada 25 April 2014. Beberapa di antaranya adalah Drajat Wisnu Setyawan,
Pringgo Hadi Tjahyono, Husni Fahmi, dan Suciati. Sugiharto pun tak luput dari
pemeriksaan oleh KPK pada 14 Juli 2014 dan 18 Mei 2015. Pada waktu bersamaan KPK
juga memeriksa para pegawai Kemendagri dan pihak swasta seperti Pamuji Dirgantara,
karyawan Misuko Elektronik dan Andreas Karsono, karyawan PT Solid Arta Global
sebagai saksi.
● Pada 19 Oktober 2016 KPK melakukan penahanan terhadap Sugiharto setelah melakukan
pemeriksaan selama 4 jam di Gedung KPK. Ia ditahan di Rumah Tahanan Guntur.
Berbeda dengan Sugiharto, Irman justru baru ditahan oleh KPK pada 21 Desember 2016
setelah mengalami pemeriksaan selama 12 jam. Untuk kepentingan penyelidikan, Irman
dijebloskan ke rumah tahanan selama 20 hari ke depan. Walau ditetapkan sebagai
tersangka, Irman mengajukan surat permohonan sebagai justice collaborator untuk
membongkar kejahatan pada proyek e-KTP.
● Pada 8 Februari 2017 KPK mengumumkan bahwa mereka telah menemukan bukti terkait
keterlibatan anggota DPR dalam kasus korupsi e-KTP. Mereka kemudian menghimbau
kepada siapa saja yang menerima aliran dana tersebut untuk mengembalikannya ke
negara. Dua hari kemudian, tepatnya pada 10 Februari 2017 KPK menerima uang sebesar
Rp250 miliar dengan rincian Rp220 miliar berasal dari sejumlah korporasi, satu
perusahaan dan satu konsorsium sedangkan Rp30 miliar berasal dari anggota DPR
periode 2009-2014 dan beberapa orang lainnya. Penyerahan uang itu dilaksanakan usai
pemeriksaan sejumlah saksi oleh KPK. Mereka yang kooperatif kemudian mengirimkan
uang kepada rekening KPK khusus penyidikan.
● Perkembangan kasus e-KTP kemudian bergulir pada terjadinya pelimpahan kasus e-KTP
ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi oleh KPK pada 1 Maret 2017. Berkas
tersebut merupakan berkas atas nama Sugiharto sebanyak 13 ribu lembar dan atas nama
Irman sebanyak 11 ribu lembar yang mencakup berita acara pemeriksaan tersangka dan
saksi. Dalam berkas tersebut terdapat keterangan dari 294 saksi atas nama Sugiharto, 173
saksi atas nama Irman dan keterangan dari lima orang ahli.
● Untuk menindaklanjuti pelimpahan berkas oleh KPK, Pengadilan Negeri Tindak Pidana
Korupsi kemudian mengadakan sidang. Sidang perdana terkait kasus korupsi e-KTP di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diadakan pada Kamis, 9 Maret 2017.
Setelah mengumpulkan berbagai fakta dan petunjuk pada tiga sidang sebelumnya, KPK
memutuskan untuk menetapkan tersangka ketiga setelah Irman dan Sugiharto, yakni Andi
Narogong. Penetapan dilakukan pada Rabu, 23 Maret 2017. Penyidik KPK menangkap
Andi Narogong untuk pemeriksaan lebih lanjut melalui Surat Perintah Dimulainya
Penyidikan (Sprindik).
● Pada 30 Maret 2017 Pengadilan Negeri menggelar sidang keempat. Sidang kali ini
menghadirkan 7 saksi, di antaranya adalah Miryam S Haryani, Ganjar Pranowo, Agun
Gunanjar Sudarta dan mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Pada sidang
keempat terjadi pengakuan yang kontradiktif antara Miryam S Haryani dengan Novel
Baswedan. Saat diperiksa di KPK, berdasarkan penuturan Novel, Miryam mengaku
bahwa telah dilakukan pemberian uang kepada anggota DPR RI. Akan tetapi, saat
persidangan Miryam justru membantah berita acara persidangan yang dituturkan Novel
sebelumnya. Miryam menjelaskan bahwa ia merasa ditekan oleh penyidik saat itu
sehingga ia mengarang isi berita acara persidangan. KPK terus melakukan konfrontasi
tapi Miryam tetap menyanggah. Menurut Novel, Miryam melakukan sanggahan karena
adanya ancaman beberapa anggota DPR RI periode 2009-2014. Temuan lainnya dalam
sidang kali ini adalah adanya pengakuan dari Sugiharto tentang pemberian uang darinya
kepada Miryam sebanyak empat kali dengan total 1,2 juta dollar AS yang pada akhirnya
disangkal pula oleh Miryam. Setya Novanto mengatakan Gubernur Jawa Tengah Ganjar
Pranowo menerima aliran dana proyek e-KTP. Setya Novanto mengungkap hal tersebut
saat Ganjar Pranowo bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor.
● Pengadilan kembali menggelar sidang lanjutan pada Senin, 3 April 2017. Kali ini 9 orang
saksi hadir untuk memberikan petunjuk-petunjuk baru terhadap kasus ini, salah satunya
adalah Nazaruddin. Terdapat beberapa temuan baru pada sidang ini. Menurut penuturan
Nazar, Anas Urbaningrum terlibat dalam menikmati uang untuk proyek e-KTP, seperti
biaya pemenangan Anas dalam Kongres Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat 2010.
Nazar juga menjelaskan bahwa Anas telah menerima uang sebesar Rp 20 miliar dari Andi
Narogong. Masih menurut pengakuan Nazar, Jafar Hafsah juga telah menerima uang
sebesar 100.000 dollar AS dari Andi Narogong dan Khatibul Umam Wiranu telah
menerima uang sebesar 400.000 dollar AS.
Kecurangan lelang dan rekayasa konsorsium
● Pada 6 April 2017. Sidang keenam menghadirkan delapan saksi, di antaranya adalah
Anas Urbaningrum, Markus Nari dan Setya Novanto. Pada sidang kali ini Novanto
membantah terlibat dalam proyek e-KTP, terlebih dalam menerima uang sebesar Rp
547,2 miliar. Pun dengan Anas dan Markus yang membantah bahwa mereka telah
menerima uang dari proyek e-KTP.
● Hasil dari sidang ketujuh yang digelar pada 10 April 2017 adalah terdapat pengakuan dari
anggota tim teknis Kementerian Dalam Negeri tentang pembagian uang. Namun mereka
menyebutnya sebagai uang transportasi dan uang lembur. Di samping itu mereka juga
mengaku bahwa mereka tidak menjalankan rekomendasi yang Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) sarankan berupa sembilan lingkup
pekerjaan dalam proyek e-KTP yang tidak digabungkan.
● Sidang kedelapan yang berlangsung pada Kamis, 13 April 2017 yang dihadiri 10 saksi,
KPK menemukan fakta bahwa tim teknis e-KTP sempat dikirim ke AS lalu diberikan
uang sebesar 20.000 dollar AS pada 2012 dan terjadi pemberian uang oleh kakak Andi
Narogong yakni Dedi Prijanto kepada tim teknis e-KTP. Dalam sidang tersebut juga
terkuak tentang keanehan pada proses lelang tender karena dalam proses lelang
konsorsium tidak melampirkan sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001 sesuai persyaratan.
● Hasil yang didapatkan pada sidang kesembilan yang digelar pada 17 April 2017 adalah
adanya temuan bahwa tim teknis e-KTP mengaku diperintah untuk meloloskan
konsorsium dalam proses lelang padahal sebenarnya tidak memenuhi syarat. Sugiharto
dan Irman menjadi dua nama yang bertanggung jawab atas hal ini.
● Pada sidang kesepuluh yang dihadiri oleh 6 saksi pada Kamis, 20 April 2017, KPK
menemukan fakta-fakta baru terkait kasus e-KTP. Nama Setya Novanto disebut telah
mendapat bagian sebesar 7 persen dari proyek e-KTP berdasarkan penuturan tim IT
proyek e-KTP, Johanes Richard Tanjaya yang saat itu menjadi saksi. Hal itu juga diakui
oleh Irvanto Hendra Pambudi yang tak lain adalah keponakan dari Setya Novanto.
Sementara itu menurut penuturan Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Andi
Narogong memang sengaja dalam membuat tiga konsorsium dalam proyek e-KTP. Dari
ketiga konsorsium tersebut, Andi telah mempersiapkan satu konsorsium pemenang
lelang, yakni Konsorsium PNRI sedangkan konsorsium Astragraphia dan Murakabi
hanya sebagai pendamping.
● Nama Setya Novanto kembali disebut pada sidang kesebelas yang berlangsung pada 27
April 2017. Selain adanya keterlibatan Irvan Pambudi, keponakan Setya Novanto, dalam
sidang itu terungkap bahwa salah satu saksi, yakni Presiden Direktur PT Avidisc Crestec
Interindo, Wirawan Tanzil menolak bergabung dalam konsorsium untuk proyek e-KTP
karena ada nama Setya Novanto. Sementara itu mantan anggota Badan Anggaran DPR,
Olly Dondokambey bersaksi bahwa proyek e-KTP dipenuhi oleh para calo dari Badan
Anggaran DPR dan menyanggah tentang terjadinya penerimaan uang sebesar 1,2 juta
dollar AS dalam proyek e-KTP. Fakta lain yang ditemukan adalah terjadinya kecurangan
karena konsorsium E-KTP memilih perangkat lunak yang tak lolos uji kompetensi.
Adapun pada sidang keduabelas yang digelar pada 4 Mei 2017 ditemukan fakta bahwa
Andi Narogong memegang andil terhadap pengaturan proyek e-KTP.
● Per 19 Juli 2017, KPK telah menetapkan anggota DPR periode 2009-2014 sekaligus
politisi Partai Golkar, Markus Nari sebagai salah satu tersangka berdasarkan Pasal 3 atau
2 ayat 1 UU Nomor 31 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
● Pada 27 September 2017 KPK menetapkan Anang Sugiana Sudiharjo, direktur utama PT
Quadra Solutions sebagai tersangka keenam pada kasus megakorupsi e-KTP. Anang
terbukti terlibat dalam penyerahan sejumlah uang kepada Setya Novanto dan anggota
DPR lainnya dari Andi Narogong. Pada 9 November 2017 KPK melakukan penahanan
terhadap Anang.
2018
● Pada Selasa 26 Juni 2018 KPK mengaku akan segera melakukan finalisasi berkas untuk
tersangka Mantan Direktur Utama PT Murakabi Sejahtera, Irvanto Hendra Pambudi
dalam kasus dugaan korupsi e-KTP. Untuk merampung berkas Irvanto, sejauh ini, KPK
telah memeriksa sekitar 115 saksi. Terkait unsur-unsur dari 115 saksi yang telah
diperiksa KPK adalah anggota DPR-RI baik yang masih aktif ataupun sudah mantan,
mantan menteri dalam negeri, pejabat dan PNS Kemendagri, pegawai LKPP dan BPPT,
pengurus DPD partai di jawa tengah swasta, serta Notaris/PPAT. Setelah perampungan
berkas Irvanto, kata Febri, KPK berharap dapat segera melakukan tahap baru dalam
kasus e-KTP.
Sementara itu dalam rangka merampungkan berkas Irvanto, hari ini KPK melakukan
pemeriksaan terhadap beberapa politisi Partai Demokrat, antara lain Nurhayati Ali
Asegaf, Marzuki Ali, Taufiq Efendi, Djamal Aziz Attamini, dan pengusaha Alexander
W. Saksi-saksi tersebut masih akan bertambah sesuai dengan kepentingan pemeriksaan
KPK.
● Pada persidangan Senin 30 Juli 2018 Anang Sugiana Sudihardjo dinyatakan terlah
terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindakan korupsi. Hakim
menyebutkan Anang, yang ingin mengikuti proyek e-KTP, bertemu Ketua Konsorsium
PNRI Isnu Edhi Wijaya. Dalam pertemuan itu, Isnu menyampaikan bahwa proyek e-
KTP yang dikerjakan Kemendagri milik Andi Narogong.
Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, didakwa turut melakukan korupsi proyek e-KTP.
Selain Irvanto, orang kepercayaan Novanto yaitu Made Oka Masagung juga didakwa
bersama-sama dengan Irvanto. Khusus untuk Novanto, Irvanto disebut jaksa menerima
USD 3,5 juta dengan cara barter uang melalui perusahaan penukaran uang atau money
changer. Selain itu, Made Oka juga menerima USD 1,8 juta dan USD 2 juta yang
ditujukan untuk Novanto.
● Pada Kamis, 13 September 2018, Jaksa eksekusi pada Unit Kerja Pelacakan Aset,
Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) melakukan pemindahbukuan dari
rekening Setya Novanto di Bank Mandiri ke rekening KPK untuk kepentingan
pembayaran uang pengganti sebesar Rp1.116.624.197. Pemindahbukuan tersebut
dilakukan Jaksa Eksekusi setelah mendapat surat kuasa dari Setya Novanto. Setya
Novanto menyatakan akan kooperatif untuk membayar uang pengganti. Sebelumnya,
Novanto sudah melunasi denda Rp 500 juta rupiah terkait hukumannya yang terbukti
melakukan korupsi e-KTP. Namun Novanto belum menyelesaikan pembayaran uang
pengganti sebesar USD 7.3 juta.
● Putusan pengadilan pada 5 Desember 2018 menyatakan Irvanto Hendra Pambudi Cahyo
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-
sama. Terdakwa divonis 10 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengdilan Tindak
Pidana Korupsi Jakarta. Keponakan mantan Ketua DPR Setya Novanto itu juga
dihukum membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Irvanto terbukti merekayasa proses lelang dalam proyek pengadaan Kartu Tanda
Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Irvanto juga terbukti menjadi perantara suap
untuk sejumlah anggota DPR RI. Irvanto dinilai secara langsung maupun tidak
langsung, turut serta memenangkan perusahaan tertentu dalam pengadaan e-KTP.
2019
● KPK melanjutkan penyidikan kasus e-KTP dengan tersangka Markus Nari. Kali ini,
KPK memanggil mantan Sekretaris Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil
(Sesdirjen Dukcapil) Triyuni Soemartono sebagai saksi.
Markus Nari merupakan salah satu dari delapan tersangka e-KTP yang diproses KPK.
Penyidikan untuk Markus Nari sempat vakum usai ketujuh tersangka lainnya menjalani
persidangan dan divonis bersalah oleh pengadilan Tipikor.
Dalam perkara ini, Markus Nari diduga menerima uang untuk memuluskan pembahasan
anggaran perpanjangan proyek pada tahun anggaran 2013. KPK menduga Markus Nari
menerima Rp 4 miliar yang diserahkan oleh Sugiharto yang kini menjadi terpidana
kasus e-KTP.
● Pada 7 Mei 2019 KPK melakukan penyitaan terhadap satu mobil Toyota Land Cruiser
warna hitam yang diduga milik Markus Nari dan dimaksudkan sebagai barang bukti.
KPK menyatakan pihaknya akan menelusuri asal uang pembelian mobil tersebut untuk
mengetahui apakah mobil itu dibeli dari uang dugaan korupsi e-KTP atau tidak.
● Rabu 8 Mei 2019 KPK memeriksa mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan
Fauzi terkait kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Dia diperiksa sebagai saksi untuk
tersangka Markus Nari. Selain memanggil Gamawan, KPK memanggil Sekjen DPR
Indra Iskandar. Dia juga dipanggil sebagai saksi untuk Markus Nari.
● Anggota DPR dari Fraksi Golkar, Markus Nari menjalani pemeriksaan perdana setelah
ditahan KPK pada Selasa 9 April 2019.
● Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo diperiksa KPK sebagai saksi kasus dugaan
korupsi e-KTP dengan tersangka Markus Nari pada Selasa 10 Mei 2019. Dalam proses
pemeriksaan Ganjar ditanyai soal anggaran. Ganjar, yang merupakan mantan pimpinan
Komisi II DPR, menyebut pembahasan anggaran dilakukan bersama mitra Komisi II,
yaitu Kementerian Dalam Negeri. Saat itu, kata Ganjar, ada kebutuhan untuk
pencetakan e-KTP di sekitar 100 kabupaten sehingga dibutuhkan tambahan anggaran.
● KPK menetapkan 4 tersangka baru dalam pusaran kasus korupsi proyek e-KTP.
Keempat tersangka itu, disebut KPK, memiliki peran yang berbeda-beda.
Pada Selasa 13 Agustus 2019, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi
pers di kantornya mengatakan, dalam perkembangan proses penyidikan dan setelah
mencermati fakta-fakta yang muncul di persidangan hingga pertimbangan hakim, KPK
menemukan bukti permulaan yang cukup tentang keterlibatan pihak lain dalam dugaan
korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk
Kependudukan Secara Nasional atau KTP Elektronik.
● Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin 11 November 2019, menyatakan bahwa
Markus Nari terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Markus Nari divonis 6 tahun
penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Markus bersalah
memperkaya diri sendiri USD 400.000 dari proyek e-KTP.
2020
● Pada 23 Juni 2020 Penyidik KPK mengungkapkan telah memanggil mantan Sekjen
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Diah Anggraeni terkait kasus korupsi proyek
e-KTP. Diah bakal diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Ketua Konsorsium
Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhi Wijaya. Selain Diah, KPK
memanggil staf Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Husni Fahmi, yang juga merupakan tersangka dalam kasus ini.
Husni juga dipanggil sebagai saksi untuk Isnu.
2021
● 1 Desember 2021, Penyidik KPK memeriksa eks Direktur Utama Perum Percetakan
Negara Republik Indonesia (PNRI), Isnu Edhi Wijaya (ISE), terkait kasus korupsi
proyek e-KTP. Isnu diperiksa sebagai tersangka korupsi pengadaan e-KTP.
Ali menyebut penyidik mendalami posisi dan peran Isnu selaku Dirut Perum PNRI
maupun pimpinan Konsorsium PNRI dalam pelaksanaan lelang. Selain itu, peran Isnu
dalam pelaksanaan pembagian pekerjaan proyek e-KTP kepada anggota konsorsium
turut didalami penyidik.
2022
● Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua tersangka kasus dugaan korupsi
terkait pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk
Kependudukan secara nasional (KTP-elektronik) atau e-KTP. Keduanya, yakni mantan
Dirut Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya dan mantan Staf Pusat
Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) Husni Fahmi.
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka ISE dan HSF dilakukan penahanan selama 20
hari, terhitung 3 Februari 2022. Kedua tersangka tersebut ditahan di Rutan Cabang KPK
pada Pomdam Jaya Guntur.
● KPK kini masih punya utang untuk menahan satu buron tersangka korupsi e-KTP, yakni
Paulus Tannos. Deputi Penindakan KPK meyakini perjanjian ekstradisi Indonesia dan
Singapura bisa membantu KPK melacak para buron, termasuk Harun Masiku. Paulus
diketahui terakhir terlacak berada di Singapura. Karyoto mengatakan KPK juga tentu
akan mengejar buron lainnya setelah ekstradisi tersebut dijalin.
Kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP dinilai sebagai kasus yang masif dan sangat
terstruktur. Diduga, proyek itu direncanakan untuk dapat dikorupsi. Babak baru kasus e-KTP
dimulai di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Kamis 9 maret 2017, Mantan Dirjen Dukcapil
Kemendagri Irman dan anak buahnya yang bernama Sugiharto didakwa terlibat kasus yang
diduga merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun itu.
1. Lingkungan Pencegahan
Tata Kelola Pemerintah yang Bersih (Good Governance)
Pemerintah yang baik adalah sikap dimana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat
yang diatur oleh berbagai tingkatan pemerintahan Negara yang berkaitan dengan sumber-
sumber social, budaya, politik, serta ekonomi. Dalam praktiknya pemerintahan yang
bersih (Clean Governance ), adalah model pemerintahan yang efektif, efisien,, jujur,
transparan, dan bertanggung jawab, dengan menerapkan asas : Transparency,
Accountability, Responsibility, Independency, Fairness, Participation, Rule of law,
strategic vision. Kontrol masyarakat akan berdampak pada tata pemerintahan yang baik
dan efektif (Good Governance) dan bersih (Clean Governance), bebas dari praktik KKN.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip
pokok good governance, setidaknya dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas
program, yakni :
Sikap pemimpin harus mempunyai integritas yang tinggi untuk tidak terlibat dan
membudayakan tindakan anti fraud. Upaya dan komitmen pencegahan fraud harus
berasal dari pimpinan terlebih dahulu. Setya Novanto selaku Ketua DPR dan berada pada
posisi puncak seharusnya menjadi contoh bagi anggotanya untuk tidak melakukan fraud.
Namun justru dia yang menjadi pelaku fraud. DPR sebagai lembaga kontrol pemerintah
seharusnya menjadi role model bagi terwujudnya pemerintahan yang bersih, namun
nyatanya DPR menjadi lembaga paling korup berdasarkan survei Global Corruption
Barometer (GCB) yang dirilis Transparency International Indonesia (TII), pada 7 Maret
2017.
2. Persepsi Deteksi
Beberapa cara untuk meningkatkan persepsi deteksi meliputi:
Pengawasan (Surveillance)
Idealnya, strategi atau sistem pencegahan melalui mekanisme pengawasan yang
efektif itu mulai bisa diberlakukan sejak proses perencanaan proyek, kelayakan, penghitungan
anggaran proyek, tahap lelang, pelaksanaan atau realisasi proyek hingga tahap memonitor
spesifikasi material proyek. Mekanisme pencegahan sekaligus pengawasan ini sudah bisa
diterapkan berkat dukungan teknologi informasi. Sejumlah perusahaan besar swasta asing
menggunakan teknologi dimaksud sejak perencanaan proyek, kalkulasi anggaran hingga
pengontrolan spesifikasi material proyek. Pada kasus proyek E-KTP yang bermasalah, KPK
tentu menemukan beberapa modus.
Kasus proyek E-KTP mencerminkan lemahnya pengawasan lintas instansi.
Lemahnya koordinasi pengawasan lintas instansi mendorong perilaku tidak peduli pada aspek
prudent (kehati-hatian). Pada tahap persetujuan dan pencairan anggaran proyek ini, jelas bahwa
aspek prudent diabaikan. Kalau saja pengawasan lintas instansi terkoordinasi dengan efektif,
kasus proyek E-KTP pasti tidak pernah ada.
Surprise Audit
Surprise Audit efektif untuk meningkatkan Persepsi Deteksi. Operasi Tangkap
Tangan (OTT) yang dilakukan KPK akan sangat bermanfaat mencegah sebelum sebuah
kejahatan menjadi besar. OTT KPK dapat sampai ke level Kementrian, dan apabila saat itu KPK
datang untuk melakukan audit dadakan, besar kemungkinan kasus E-KTP akan terungkap lebih
cepat.
3. Pendekatan Klasik