Anda di halaman 1dari 39

KASUS KORUPSI E-KTP

A. IDENTIFIKASI KASUS

Kasus ini berawal saat Kemendagri di tahun 2009 merencanakan mengajukan anggaran
untuk penyelesaian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAP), salah satu
komponennya adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK). Kemendagri telah menyiapkan dana
sebesar Rp 6 Triliun yang digunakan untuk proyek e-KTP dan program Nomor Induk
Kependudukan (NIK) Nasional dan dana senilai Rp 258 Milyar untuk biaya pemutakhiran data
kependudukan untuk pembuatan e-KTP berbasis NIK pada 2010 untuk seluruh kabupaten/kota
se-Indonesia. Prosedur pembuatan KTP elektronik yakni perekaman data penduduk dengan
menunjukkan KTP lama setelah itu tinggal menunggu hingga proses selesai dan e-KTP bisa
diambil di dinas pencatatan sipil. Pemerintah pun menargetkan pembuatan e-KTP bisa selesai di
tahun 2013. Proyek e-KTP sendiri merupakan program nasional dalam rangka memperbaiki
sistem data kependudukan di Indonesia. Mulanya proyek ini berjalan lancar dengan pengawasan
Komisi Pemberantasan Konupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta oleh Gamawan Fauzi yang saat
itu menjabat sebagai menteri dalam negeri. Lelang e-KTP dimulai sejak tahun 2011, dan banyak
bermasalah karena diindikasikan banyak terjadi penggelembungan dana.

Kejanggahan demi kejanggalan yang terjadi sejak proses lelang tender proyek e-KTP
membuat berbagai pihak mulai dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Government
Watch, pihak kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi
menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi. Sejak itu KPK melakukan berbagai penyelidikan
demi mengusut kronologi dan siapa saja dalang di balik kasus ini. Para pemangku kebijakan
terkait proyek e-KTP pun dilibatkan sebagai saksi, mulai dari Gamawan Fauzi, Nazaruddin,
Miryam S. Hani, Triyuni Soemartono, Chairuman Harahap bahkan hingga Diah Anggraini.

Melalui bukti-bukti yang ditemukan dan keterangan para saksi, KPK menemukan fakta
bahwa negara harus menanggung kerugian sebesar Rp 2,314 triliun. Setelah melakukan berbagai
penyelidikan sejak 2012, KPK akhirnya menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka korupsi
beberapa di antaranya pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi Dewan Perwakilan DPR.
Mereka adalah Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus Nari, Anang Sugiana dan Setya
Novanto. Miryam S. Haryani sebenarnya juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Namun
statusnya adalah bukan sebagai tersangka korupsi, melainkan sebagai pembuat keterangan palsu
saat sidang keempat atas nama Sugiharto dan Irman dilaksanakan. Penetapan tersangka oleh
KPK dalam kasus ini pertama kali dilakukan pada 22 April 2014 atas nama Sugiharto sementara
sidang perdana atas tersangka pada kasus ini digelar pada 9 Maret 2017. Tercatat ada puluhan
sidang yang berjalan setelah itu untuk para tersangka.

Sampai sekarang, penanganan korupsi megaproyek KTP Elektronik masih terus berjalan.
Dalam perkara pokok kasus korupsi e-KTP, ada 8 orang yang sudah diproses dan divonis
bersalah. Mereka adalah Setya Novanto (mantan ketua DPR RI), Irman dan Sugiharto (dua
mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri), Made Oka Masagung dan Andi Naragong
(Pengusaha), Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera sekaligus
keponakan Novanto), Anang Sugiana Sudiharjo (Direktur Utama PT Quadra Solution), dan
Markus Nari (mantan anggota DPR). Ada 2 tersangka lain yang divonis bersalah karena dinilai
menghalangi proses penyidikan KPK, diantaranya adalah Fredrich Yunadi (Pengacara) dan
Bimanesh Sutarjo (Dokter). Terakhir kali KPK menetapkan empat tersangka baru kasus korupsi
proyek e-KTP pada Agustus 2019. Para tersangka e-KTP tersebut adalah Miryam S Haryani
(mantan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura), Isnu Edhi Wijaya (Direktur Utama
Perum Percetakan Negara RI (PNRI) sekaligus ketua Konsorsium PNRI), Husni Fahmi (Ketua
Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP) dan Paulus Tanos (Dirut PT Shandipala
Arthaputra).

1. Faktor Penyebab terjadinya korupsi


Berikut ini beberapa faktor penyebab terjadinya korupsi ditinjau dari unsur fraud triangle:
 Tekanan (Pressure): adanya tekanan finansial dari pelaku. Untuk menjadi politisi
dan duduk di kursi DPR membutuhkan biaya yang besar. Agar modal yang
dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR payback, maka dibutuhkan cara-cara instan
untuk mendapatkan keuntungan dan menutup biaya politik secara cepat. Selain itu
lifestyle dan tekanan gengsi juga menjadi pressure bagi pelaku untuk melakukan
fraud.
 Rasionalisasi (Rationalization): fakta mengenai banyaknya tokoh pejabat yang
memperkaya diri pada periode jabatannya dan hal ini membentuk rasionalisasi
“mereka saja melakukan, bahkan mengambil lebih banyak, mengapa saya tidak.”
Bentuk rasionalisasi lainnya adalah perbuatan fraud yang mereka lakukan bukan
untuk kekayaan pribadi melainkan untuk kepentingan partai. Jadi perbuatan itu
memang sudah wajar dan lazim terjadi dimana-mana.
 Kesempatan (Opportunity): penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki.
Setya Novanto sebagai ketua DPR merasa punya wewenang untuk menyetujui semua
program anggaran pemerintah, termasuk diantaranya adalah proyek e-ktp.

B. WAWANCARA DAN INTEROGASI

Selama proses investigasi E-KTP, terhitung KPK telah memeriksa ratusan saksi. Berikut ini
beberapa keterangan yang diberikan baik dari para saksi maupun pelaku yang terekspos media:

1. Sehubungan tersangka Setya Novanto


 Kamis, 11/1/2018. Komisaris PT Berkah Langgeng, Abadi July Hira hadir dalam
sidang untuk terdakwa Setya Novanto di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Dalam
sidang tersebut, dia mengaku rekening miliknya di UOB Bank di Singapura
pernah mendapat kiriman uang dari Biomorf Mauritius. Uang yang ditransfer itu
sebesar 2,6 juta dollar Amerika Serikat dari perusahaan Biomorf Mauritius. Uang
itu selanjutnya diteruskan kepada keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra
Pambudi. Dalam keterangan, pengiriman uang itu dicatat sebagai pembayaran
software development. Padahal, July tidak pernah melakukan pembelian software
dengan Biomorf Mauritius. Perusahaan Biomorf Mauritius adalah perusahaan
asing yang menjadi salah satu penyedia produk biometrik merek L-1. Produk
tersebut digunakan dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis
elektronik (e-KTP). Perwakilan perusahaan Biomorf tersebut adalah Johannes
Marliem. Dalam fakta sidang sebelumnya, Marliem merupakan salah satu
pengusaha yang memberikan uang kepada Setya Novanto.
 Kamis, 25 Januari 2018. Mantan Wakil Ketua Banggar DPR Mirwan Amir hadir
sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat. Mirwan
menerangkan, Banggar DPR tak pernah membahas anggaran proyek e-KTP.
Menurut dia, Banggar DPR hanya membahas soal Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Sepengetahuan Mirwan, pembahasan anggaran proyek
e-KTP dilakukan oleh Komisi Pemerintahan DPR dan Kemengari sebagai
perwakilan pemerintah. Sebab, wewenang pembahasan anggaran ada di dua
instansi tersebut. Mirwan mengatakan pimpinan Banggar tak bisa
mengintervensi anggaran e-KTP.
 Kamis, 25 Januari 2018. Mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman
bersaksi pada sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta pusat. Irman
tak membenarkan pernyataan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong
ihwal pertemuannya dengan Setya. Menurut Irman, dirinya mengenal Setya
Novanto melalui perantara Andi. Irman memaparkan, saat pertama kali bertemu
Andi di ruang kerjanya, Andi hendak memperkenalkanya dengan Setya. Hal itu
untuk membahas proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Adapun
Andi menyatakan agar Irman tak khawatir dengan persoalan uang. Sebab, Andi
akan memfasilitasi keperluan dana yang diperlukan Irman. Agar kucuran dana
mulus, Irman harus diperkenalkan dulu dengan Setya Novanto. Andi juga
menyebutkan, Setya adalah pemegang kunci atau penentu anggaran proyek e-
KTP.
 Kamis, 1 Februari 2018. Mantan Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Chairuman Harahap bersaksi untuk tersangka Setya Novanto di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat. Keterangan yang disampaikan
Chairuman berbeda dengan Mirwan. Chairuman menyampaikan, banggar DPR
memiliki peran dalam penyusunan anggaran proyek e-KTP. Menurutnya,
pemerintah melalui kementerian dalam negeri (kemendagri) memang
mengajukan pagu anggaran ke DPR terlebih dulu. Anggaran untuk proyek-
proyek besar dibahas di Komisi II DPR. Adapun Komisi II DPR menyetujui
anggaran tersebut. Baru setelahnya anggaran e-KTP dibahas di banggar.
Banggar bisa menolak usulan Komisi II. Tak hanya itu, Chairuman juga
membantah kesaksian Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman yang mengaku ditelepon Chairuman
guna menanyakan soal fee lima persen untuk anggota dewan yang bakal turut
menikmati aliran dana e-KTP. Menurut Chairuman, tak pernah juga Setya
meminta bantuan mengenai proyek e-KTP.
 Kamis, 1 Februari 2018. Direktur Penanganan Permasalahan Hukum Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Setya Budi Arijanta
hadir dalam sidang kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik
(e-KTP) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, dengan terdakwa Setya Novanto. Setya
Budi Arijanta menegaskan banyak penyimpangan dalam proyek pengadaan e-
KTP. Karena itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang saat itu
menjabat Kepala LKPP, Agus Rahardjo, memutuskan instansinya
mengundurkan diri dan tak lagi mendampingi Kementerian Dalam Negeri
terkait dengan proyek e-KTP. Menurut Budi, pelanggaran dalam proyek e-KTP
antara lain aspek pemaketan, penyusunan dokumen tidak kualitatif, dan
menggunakan kontrak lump sum. Padahal proyek e-KTP seharusnya
menggunakan kontrak harga satuan. Menurut Budi, tidak ada perusahaan
pemenang lelang yang memenuhi syarat teknis. Tak hanya itu, ada
penyimpangan dalam proses lelang. Kementerian Dalam Negeri tak melewati
mekanisme lelang dalam mencari perusahaan pemenang proyek.

 Kamis, 22 Februari 2018. Anang Sugiana hadir menjadi saksi atas tersangka
Setya Novanto. Anang Sugiana mengakui ada aliran dana proyek e-KTP yang
masuk ke kantong anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut Anang,
pembayaran ke anggota DPR diatur oleh pengusaha Andi Agustinus alias Andi
Narogong, yang merupakan terpidana korupsi e-KTP.

2. Sehubungan tersangka Irman dan sugiharto


 Senin, 19/9/2016. Irman sempat diperiksa sebagai saksi oleh KPK untuk
tersangka bekas Pejabat Pembuat Komitmen Dirjen Dukcapil Sugiharto. Irman
mengklaim, tidak ada kejanggalan yang terjadi dalam proses pengadaan proyek E-
KTP. Ia menyatakan proyek sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Ia
menyebut, pengadaan proyek merupakan kesepakatan antara pemerintah dengan
Komisi II DPR.
 Kamis, 16/3/2017. Diah Anggraeni hadir dalam sidang kasus korupsi proyek e-
KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Ada beberapa informasi
menarik yang dibeberkan oleh Diah. Diah Anggraeni mengaku menerima aliran
dana 500 ribu dolar AS atau setara Rp 4,5 miliar dari terdakwa Irman dan
pengusaha Andi Agustinus (Andi Narogong). Menurut Diah Anggraeni, uang
diberikan secara bertahap pada 2013. Pertama, terdakwa Irman menyerahkan
uang 300 ribu dolar AS dan kemudian 200 ribu dolar AS dari Andi Narogong.
Uang 300 ribu dolar AS yang diantar sendiri oleh Irman
diterima Diah Anggraeni di rumahnya. Namun menjawab pertanyaan Ketua
Majelis Hakim Jhon Hasalan Butar Butar, Diah mengaku tidak tahu menahu
mengenai asal muasal uang itu. Usai menerima uang dari Andi, Diah kemudian
menghubungi Irman terkait uang 300 ribu dolar AS. Menurut Diah, Irman hanya
menjawab jika ingin mengembalikan uang itu maka sama dengan bunuh diri. Diah
Anggraeni pada akhirnya tidak pernah mengembalikan uang tersebut kepada Andi
Narogong dan Irman. Diah berdalih hanya menyimpan uang tersebut selama
hampir setahun dan kemudian diserahkan kepada KPK setelah Diah diperiksa
penyidik. Dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, Diah Anggraini menerima uang
2,7 juta dolar AS (setara Rp 24,5 miliar) dan Rp 22,5 juta. Jumlah suap dalam
surat dakwaan jauh lebih besar dari yang diakui Diah Anggraeni, 500 ribu dolar
AS. Diah juga beralasan sibuk ketika ditanya kenapa tidak segera mengembalikan
uang tersebut dan hanya menyimpan uang tersebut dalam jangka waktu kurang
dari 1 tahun. Diah mengaku baru mengetahui uang yang diterima tersebut
berkaitan dengan pengadaan KTP elektronik saat dipanggil penyidik KPK. Diah
juga mengungkapkan pesan rahasia Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketua
Fraksi Partai Golkar di DPR. Novanto minta Diah mewanti-wanti Irman agar
mengaku tidak mengenal dirinya. Permintaan tersebut disampaikan Novanto saat
bertemu Diah di acara pelantikan Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
 Kamis, 16 Maret 2017. Terdakwa korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik
(e-KTP) Irman menyanggah kesaksian mantan Sekretaris Jenderal Kementerian
Dalam Negeri, Diah Anggraini, dalam sidang korupsi e-KTP di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi. Irman mengatakan beberapa keterangan Diah tidak benar
dan sangat merugikannya. Irman membeberkan kesaksian Diah yang dianggapnya
tidak benar adalah soal keinginan Diah mengembalikan uang US$ 300 ribu
(sekitar Rp 4 miliar). Sebelumnya, Diah mengaku diberi Irman senilai tersebut
namun dikembalikan seminggu setelahnya, yakni pada 2013. Menurut Irman,
Diah menerima uang itu pada 2012 dan berniat mengembalikannya pada 2014.
Irman mengatakan keinginan Diah untuk mengembalikan uang itu terjadi setelah
Sugiharto, mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, ditetapkan
sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini, kata Irman,
diperkuat oleh pernyataan Diah yang pernah meminta Sugiharto menghadapnya
setelah diperiksa KPK pada 2014. Pernyataan Diah lain yang disanggah oleh
Irman adalah soal kedekatannya dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong,
penyelenggara pengadaan proyek e-KTP. Saat bersaksi, Diah mengatakan Irman
lebih dekat dengan Andi. Irman mengatakan sebetulnya Diah yang lebih dekat
dengan Andi. Ia mengatakan bahwa Diah pernah meneleponnya dan mengatakan
bahwa Andi adalah orang baik yang bisa pegang komitmen padahal saat itu ia
baru kenal dengan Andi. Selain itu, Irman juga membantah pertemuan di Hotel
Sultan yang dihadiri oleh Ketua Komisi II Chairuman Harahap, Irman, Sugiharto,
dan Diah. Menurut dia, pertemuan itu hanya dihadiri tiga orang saja. Chairuman
tak ikut dalam pertemuan seperti yang disebutkan Diah. Keterangan Diah yang
merugikan Irman lainnya adalah soal pesan Ketua DPR Setya Novanto yang
dititipkan ke biro hukum Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh. Pesan
yang dimaksud adalah permintaan Setya kepada Irman agar mengatakan tidak
kenal dengannya jika ditanya oleh KPK. Selanjutnya, Irman juga menyangkal
pernyataan Diah yang mengatakan bahwa untuk usulan konsep tahun jamak
(multiyears) proyek e-KTP, Irman menyampaikannya langsung kepada Menteri
Dalam Negeri Gamawan Fauzi tanpa melalui Diah. Padahal, kata dia, sebelum
menghadap Gamawan dia lebih dulu menghadap Diah. Terakhir, kesaksian Diah
yang dianggap merugikan adalah pernyataan bahwa Irman sering meminta uang
kepada Andi untuk diberikan kepada Gamawan Fauzi. Ia mengatakan bahwa
kesaksian Diah ini sangat keji dan menyangkal hal tersebut. Diah masih tetap
pada kesaksiannya meski telah mendengar sanggahan Irman. Namun, ada satu hal
yang ia klarifikasi yakni terkait dengan kehadiran Chairuman dalam pertemuan di
Hotel Sultan.
 Senin, 22 Mei 2017. Junaidi hadir sebagai saksi dalam sidang e-KTP di
Pengadilan Tipikor Jakarta. Bendahara pembantu proyek pengadaan kartu tanda
penduduk elektronik (e-KTP) itu menuturkan pernah dimintai oleh
terdakwa kasus e-KTP Irman untuk membuat laporan fiktif perihal dana
talangan supervisi di proyek tersebut. Menurut Junaidi, surat kesaksian itu
dibuat berdua dengan Suciati. Namun ia tak mengetahui maksud dari Irman
meminta untuk membuat kesaksian tersebut. Diduga kesaksian itu menjadi bukti
saat pemeriksaan di KPK. Saat itu Junaidi mengatakan dalam pertemuan di
rumah Irman, ada Suciati yaitu staf dari Irman. Menurut dia, Irman meminta
agar memberi kesaksian di KPK seolah-olah menerima uang dalam bentuk
dolar. Padahal ia memastikan tidak pernah menerima uang berkaitan dengan
proyek e-KTP dalam bentuk valuta asing. Sementara itu Irman membenarkan
bahwa ada dana talangan untuk tugas supervisi proyek e-KTP. Namun ia
meluruskan bahwa uang dalam bentuk dolar memang tidak diserahkan kepada
Junaidi, tetapi ke Suciati.
 Senin, 22 Mei 2017. Endah Lestari hadir sebagai saksi atas tersangka Irman dan
Sugiharto. Endah yang saat itu menjadi Panitia pemeriksa dan penerimaan barang
mengaku diminta oleh Irman menyatakan dalam berita acara pemeriksaan (BAP)
bahwa pencetakan blangko e-KTP sebanyak 145 juta keping. Jumlah itu berbeda
jauh dengan fakta di lapangan yang hanya mencapai 122 juta keping. Saksi
lainnya adalah Junaidi, Kasubag Perbendaharaan Sesditjen Dukcapil Kementerian
Dalam Negeri. Menurut pengakuan Junaidi, ia diperintah Sugiharto untuk
memusnahkan berkas-berkas terkait proyek e-KTP saat KPK menggeledah
kantornya. Dalam proyek ini, Junaidi merupakan bertugas mengurusi dokumen
pengeluaran dan pemasukan selama proyek e-KTP berlangsung. Junaidi mengaku
berkas yang dibakarnya itu adalah catatan penerimaan dan pengeluaran di luar
yang berasal dari pagu anggaran resmi untuk proyek e-KTP. Junaidi juga
mengaku membuat Surat Pertanggungjawaban (SPJ) fiktif dalam pembukuan
anggaran proyek ini. SPJ fiktif itu dibuat karena Sugiharto belum mengembalikan
uang Rp2,5 miliar yang dipinjam. Uang itu diambil dari dana pagu yang
tersimpan di brankas dan pinjaman bendahara. Hingga menjelang tutup buku,
uang tersebut tidak juga dikembalikan Sugiharto.
 Senin, 12/6/2017. Dalam sidang pemeriksaan terdakwa di pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Dua terdakwa kasus dugaan tindak pidana
korupsi KTP-Elektronik mantan dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil
(Dukcapil) Kemendagri Irman dan mantan direktur Pengelolaan Informasi
Administrasi Kependudukan (PIAK) Dukcapil Sugiharto mengaku
mengembalikan uang. Mereka juga mengaku menyesali perbuatannya dalam
proyek tersebut. Irman juga mengaku menyesali perbuatannya menerima uang
dan mengikuti intervensi pihak luar untuk mengawal konsorsium dalam
pengadaan KTP-E.
 Jumat, 15/9/2017. Diah Anggraini hadir sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan
Tipikor, Jakarta Pusat. Diah sempat berkata dikorbankan oleh Irman untuk
melindungi seseorang saat menjadi saksi terdakwa korupsi pengadaan e-KTP
Andi Agustinus alias Andi Narogong di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor), Jakarta Pusat. Namun, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam
Negeri tersebut enggan menyebutkan nama orang yang diduga dilindungi oleh
Irman.
3. Sehubungan tersangka Made Oka Masagung
 Selasa, 7 Agustus 2018. Manager Country Enterprises Hewlett Packard (HP), Charles
Sutanto Ekapradja, menjadi saksi dalam persidangan kasus korupsi proyek e-KTP untuk
terdakwa Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung. Charles mengaku
tiga kali bertemu dengan Setya Novanto untuk membahas proyek e-KTP. Pertemuan itu
dijembatani oleh Made Oka Masagung.
 Rabu, 21/11/2018. Dalam sidangnya sebagai terdakwa di Pengadilan tipikor
Jakarta, Made Oka Masagung membantah menjadi perantara suap ke mantan
anggota DPR RI, Setya Novanto senilai USD 3,8 juta. Made mengaku bahwa
dirinya tidak pernah terlibat pertemuan di ruko fatmawati, proses lelang, hingga
pemenang lelang. Made juga meminta majelis hakim mempertimbangkan sikap
kooperatifnya yang memberikan surat kuasa ke penyidik untuk menelusuri aliran
uang USD 3,8 juta.
4. Sehubungan tersangka Andi Narogong
 Jumat, 13 Oktober 2017. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dalam
kapasitasnya sebagai Mantan Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR hadir
sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus e-KTP untuk terdakwa Andi
Narogong. Ganjar Pranowo menceritakan pengalamannya saat ditawari goodie
bag berisi uang oleh seorang laki-laki di gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut Ganjar, goodie bag tersebut diberikan setelah dia menghadiri rapat di
Komisi Pemerintahan DPR terkait dengan anggaran proyek kartu tanda
penduduk elektronik atau e-KTP. 
 Kamis, 13/4/2017. Staf pusat Teknologi Informasi dan Penerapan Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Tri Sampurno hadir sebagai saksi
terhadap tersangka Andi Narogong di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Dalam
kesaksiannya, Tri mengaku sempat diberi uang dari Vidi Gunawan, adik
tersangka korupsi e-KTP Andi Agustinus alias Andi Narogong. Uang sebesar Rp
2 juta itu diberikan saat keduanya berada dalam sebuah taksi.
 Kamis, 30/11/2017. Dalam sidang pemeriksaan terdakwa yang dilaksanakan di
Pengadilan tipikor Jakarta, Andi mengakui beberapa hal:
1) Andi Akui ada "mark up" dan kerugian negara dalam proyek e-KTP
Andi mengakui bahwa benar telah terjadi penggelembungan nilai (mark
up) dalam proyek pengadaan e-KTP. Menurut Andi, mark up tersebut
merupakan kerugian negara.
2) Andi sebut adik Gamawan Fauzi dapat ruko dari proyek e-KTP
Andi menyebut bahwa uang korupsi proyek e-KTP mengalir kepada
anggota DPR dan pejabat di Kementerian Dalam Negeri. Salah satu yang
ikut menerima jatah dalam bagi-bagi fee tersebut adalah Azmin Aulia
yang merupakan adik kandung mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi. Menurut Andi, Azmin diberikan sebuah ruko di Grand Wijaya,
Kebayoran, Jakarta Selatan. Ruko tersebut diberikan kepada Azmin oleh
Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tanos.
3) Jatah untuk Setya Novanto dan DPR 7 juta dollar AS
Andi memastikan Setya Novanto dan anggota DPR lain sudah menerima
uang 7 juta dollar Amerika Serikat. Pemberian itu merupakan kesepakatan
bahwa DPR akan menerima fee dari pengusaha sebesar 5 persen.
4) Jatah untuk Setya Novanto lewat Made Oka Masagung
Awalnya, menurut Andi, konsorsium pelaksana e-KTP dipersulit pihak
Kementerian Dalam Negeri. Konsorsium tidak diberikan uang muka untuk
menjalankan proyek. Setelah mendengar keluhan itu, kata Andi, Setya
Novanto mengatakan bahwa para pengusaha akan dikenalkan dengan
temannya, Made Oka Masagung. Menurut Andi, Setya Novanto
memperkenalkan Oka Masagung sebagai orang yang punya jaringan luas
di bidang perbankan. Namun, selain mengenai masalah uang muka
proyek, menurut Andi, Setya Novanto juga meminta agar fee untuk
dirinya dan DPR diberikan melalui Oka Masagung.
5) Chairuman Harahap dan Setya Novanto menagih uang untuk DPR
Andi menyebut Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap dan Ketua
Fraksi Golkar Setya Novanto menagih uang untuk dibagikan kepada
anggota DPR. Uang tersebut sebagai bentuk komitmen para pengusaha
yang mengerjakan proyek e-KTP. Penagihan itu dilakukan di Equity
Tower, SCBD, Jakarta. Pertemuan itu juga dihadiri pengusaha Paulus
Tanos.
6) Adik Gamawan Fauzi salah satu kunci dalam proses lelang e-KTP
Andi menyebut bahwa Azmin Aulia adalah salah satu kunci penentu
pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Azmin merupakan adik kandung
Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat Menteri Dalam Negeri. Azmin
memiliki kedekatan dengan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra
Paulus Tanos.
7) Setya Novanto dapat jam tangan seharga 135.000 dollar AS
Andi mengaku pernah memberikan jam tangan Richard Mille seharga
135.000 dollar AS kepada Setya Novanto. Jam tangan tersebut merupakan
hadiah ulang tahun Setya Novanto. Selain itu, Andi mengakui bahwa
hadiah arloji mewah tersebut sekaligus ucapan terima kasih atas bantuan
Setya Novanto yang telah meloloskan anggaran proyek pengadaan e-KTP
di DPR. Pembelian jam tangan itu dilakukan Andi bersama Johannes
Marliem.
8) Uang kepada Setya Novanto diputar ke Singapura
Andi mengakui bahwa uang untuk Setya Novanto lebih dulu dikirim ke
rekening perusahaan milik Oka Masagung di Singapura. Uang tersebut
berasal dari PT Quadra Solutions yang diwakili Anang Sugiana
Sudihardjo dan PT Biomorf yang diwakili Johannes Marliem.
9) Pertemuan di rumah Setya Novanto Dalam persidangan
Andi menyebut ada beberapa kali pertemuan di kediaman Setya Novanto.
Pertemuan itu dihadiri sejumlah pengusaha, salah satunya yang juga
keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi. Tidak cuma soal
pembagian fee. Menurut Andi, pertemuan itu sampai membicarakan hal-
hal teknis dalam pengadaan barang dan jasa untuk proyek e-KTP.
10) Setya Novanto kembalikan jam tangan Pada awal 2017
Setya Novanto mengembalikan jam tangan Richard Mille seharga 135.000
dollar AS kepada Andi Narogong. Jam tangan tersebut dikembalikan saat
kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP ramai dibicarakan publik.
5. Sehubungan tersangka Irvanto Hendra Pambudi Cahyo
 Selasa, 7/8/2018. Pengusaha PT Media Solutions, Muda Ikhsan Harahap, bersaksi
dalam sidang terdakwa Irvanto Hendra Pambudi dan Made Oka Masagung di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta.
Muda Ikhsan mengatakan pernah menerima uang dari keponakan Setya Novanto,
Irvanto Hendra Pambudi. Saat itu, keponakan Setya Novanto tersebut menerima
uang transfer dari pihak lain melalui dirinya. Dia mengaku menerima uang dari
Irvanto untuk digunakan buat ongkos naik pesawat menuju Singapura dan Jakarta.
Selain itu ia juga mengaku sudah mengembalikan uang SGD 1.700 ke KPK. Uang
tersebut diperoleh dari proyek e-KTP.
 Selasa, 18/9/2018. Keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo,
menegaskan pengakuannya pernah menyerahkan langsung duit korupsi proyek e-
KTP dalam persidangannya di Pengadilan Tipikor Jakarta. Dia mengaku
memberikan duit kepada tujuh anggota DPR. Dalam persidangan, Irvanto
menyebut tujuh orang itu adalah Melchias Markus Mekeng, Markus Nari,
Chairuman Harahap, Ade Komarudin, Agun Gunadjar Sudarsa, Jafar Hafsah, dan
Nurhayati Assegaf. Semuanya gabungan dolar Singapura dan Amerika dengan
total 4,9 juta. Besaran uang yang diberikan berbeda-beda. Berikut rincian duit
yang dipaparkan Irvanto:
1) Melchias Markus Mekeng dan Markus Nari SGD 1 juta
2) Chairuman Harahap USD 1,5 juta
3) Ade Komarudin USD 700 ribu
4) Agun Gunandjar Sudarsa USD 1,5 juta
5) Jafar Hafsah USD 100 ribu
6) Nurhayati Assegaf USD 100 ribu
Irvanto kemudian memerinci satu per satu saat mengirimkan uang itu. Untuk
Melchias dan Markus, Irvanto memberikannya di ruangan Novanto, sedangkan
jatah Chairuman diserahkannya di Hotel Mulia. Lalu untuk Ade Komarudin,
Irvanto mengaku memberikan langsung di ruangan politikus Partai Golkar itu.
Sedangkan bagian Agun diberikan Irvanto di Senayan City dan kompleks DPR,
Kalibata, Jakarta Selatan. Untuk Jafar Hafsah, Ia mengaku mengantarkan uang
tersebut keruangannya. Namun Made Oka, yang juga duduk sebagai terdakwa,
mengaku tidak pernah mengantarkan uang langsung ke DPR. Jafar, yang
dihadirkan sebagai saksi dalam perkara itu, pun membantah. Ia mengaku tidak
menerima apapun bahkan tak mengenal Irvanto. Nama-nama yang disebut Irvanto
itu sebelumnya juga membantah hal tersebut. Mereka juga sudah pernah diperiksa
KPK di tingkat penyidikan dan hingga kini statusnya sebagai saksi.
 Selasa, 18/9/2018. Setya Novanto bersaksi untuk Irvanto dalam sidang di
Pengadilan Tipikor Jakarta. Setya Novanto menyebut nama-nama anggota DPR
penerima aliran duit korupsi proyek e-KTP. Menurut Novanto, orang-orang itu
menerima duit yang diberikan langsung melalui keponakannya, Irvanto Hendra
Pambudi Cahyo. "Kalau boleh saya sebutkan adalah yang pertama diberikan
kepada Chairuman (Harahap) USD 500 (ribu), kepada Pak Jafar (Hafsah) ini 100
(ribu USD), kepada Akom (Ade Komaruddin) adalah 700 (ribu USD), dan kepada
Agun (Gunandjar Sudarsa) adalah 1 juta (USD), dan kepada Melchias Mekeng
dan Markus Nari, ini diberikan di ruangan saya, ruangan Ketua Fraksi, di mana
Saudara Irvan (Irvanto) ini memberikan atas perintah Saudara Andi (Agustinus
alias Andi Narogong), ini memberikan 1 juta (USD). Ini totalnya 3,2 (juta USD).
Ini yang dituduhkan pada saya," kata Novanto. Kemudian Novanto
menyampaikan Irvanto tidak pernah menerima untuk dirinya sendiri. Dia malah
kemudian menyebutkan beberapa nama lagi yang disebut menerima duit e-KTP.
Hal itu diketahuinya pada konfrontasi dengan Irvanto untuk pertama kalinya
dengan KPK.
 Selasa, 25/9/2018. Andi Nagorong bersaksi dalam sidang Irvanto di Pengadilan
Tipikor Jakarta. Ia membantah tuduhan koruptor e-KTP Setya Novanto yang
mengatakan bahwa keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, membagikan
uang ke para anggota DPR atas perintah Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Andi juga merupakan terpidana dalam perkara tersebut. Justru sebaliknya,
menurut Andi, Novanto yang memerintahkan keponakannya itu membagikan
uang ke para anggota DPR. Selain itu, Andi juga berargumen bila uang yang
dibagikan ke para anggota DPR itu berasal dari konsorsium. Sedangkan, uang
yang didapatnya dari proyek diserahkan pada Irman dan Sugiharto. Dalam
persidangan 14 April 2018, Novanto mengaku pernah bertanya ke Irvanto soal
bagi-bagi duit ke anggota dewan. Novanto mengatakan bila Andi yang
memerintah Irvanto membagikan uang e-KTP.
 Rabu (21/11/2018), Irvanto membacakan nota pembelaan atau pleidoi dalam
sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Keponakan Setya Novanto itu mengakui
kesalahannya telah menjadi perantara atau kurir aliran duit korupsi dari proyek e-
KTP. Irvanto pun berharap hukumannya bisa diperingan.
6. Sehubungan tersangka Anang Sugiana Sudiharjo
 Senin, 25/9/2017.Willy Nusantara Joan hadir di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta sebagai saksi. Willy mengaku, Anang melalui Multikom --
perusahaan milik Anang di Singapura, pernah mengirim 2 juta dolar AS ke salah
satu perusahaan Oka. Uang itu untuk membeli saham Neural Pharmaceutical,
salah satu perusahaan farmasi. Namun Willy mengaku transaksi tersebut akhirnya
dibatalkan, lantaran perusahaan tersebut mengalami kendala di proses uji coba
obat. Sehingga, Oka akhirnya mengembalikan uang ke Anang sebesar 1,85 juta
dolar AS. 
7. Sehubungan tersangka Markus Nari
 Senin, 9/7/2018. Mantan anggota DPR Abdul Malik Haramain diperiksa penyidik
di gedung KPK. Abdul menerangkan penyidik KPK bertanya tentang tersangka
kasus proyek e-KTP Markus Nari. Ia mengaku tidak mengetahui permintaan uang
terkait proyek pengadaan e-KTP, tetapi tidak menjelaskan secara terperinci
keterangan yang disampaikan kepada penyidik KPK itu.
 Selasa, 10/7/2018. Mantan Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap mengaku
diperiksa penyidik KPK soal penganggaran e-KTP. Dia mengatakan tak ada
keterangan baru yang disampaikan terkait proses e-KTP. Dia mengatakan saat
pembahasan anggaran tak ada permintaan uang dari anggota DPR kepada
Kemendagri. Chairuman juga mengaku tak tahu soal aliran dana yang disebut
diterima sejumlah anggota DPR
 Jumat, 13/7/2018. Mantan anggota DPR Wa Ode Nurhayati diperiksa sebagai
saksi kasus dugaan korupsi e-KTP dengan tersangka Markus Nari. Dia mengaku
ditanyai soal posisi Markus di Komisi II DPR. Ia mengaku bertugas di Komisi II
pada 2009-2010. Dia juga mengatakan masih sempat mengikuti dan tahu
pembahasan e-KTP di komisi tersebut. Namun dia mengatakan tak tahu soal ada-
tidaknya pembagian uang terkait proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR. Wa
Ode mengaku sudah pindah dari Komisi II saat pembahasan anggaran e-KTP
pada 2010-2011.
 Rabu, 8/5/2019. Mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi
diperiksa KPK sebagai saksi untuk tersangka dugaan korupsi e-KTP Markus Nari.
Gamawan mengaku ditanya soal Markus Nari. Ia mengaku kenal dengan Markus
di DPR, tapi tidak pernah berbicara dengan Markus. Gamawan juga menjelaskan
anggaran untuk proyek e-KTP. Dia mengatakan tak ada penambahan anggaran
per tahun karena proyek tersebut memang dikerjakan multiyears.
 Jumat, 10/5/2019. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memenuhi panggilan
KPK. Ganjar diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap proyek e-KTP dengan
tersangka Markus Nari. Dia dipanggil dalam kapasitasnya sebagai mantan
anggota DPR RI. Dia mengaku ditanya soal pembahasan anggaran di DPR oleh
penyidik KPK. Ganjar, yang merupakan mantan pimpinan Komisi II DPR,
menyebut pembahasan anggaran dilakukan bersama mitra Komisi II, yaitu
Kementerian Dalam Negeri. Saat itu, kata Ganjar, ada kebutuhan untuk
pencetakan e-KTP di sekitar 100 kabupaten sehingga dibutuhkan tambahan
anggaran.
 Senin, 24/6/2019. Ketua Fraksi Partai Golkar Melchias Marcus Mekeng diperiksa
KPK sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dengan tersangka Markus
Nari. Dia menyebut ada dua pertanyaan baru yang diajukan penyidik kepadanya,
yaitu apakah dia mengenal Markus serta dimana lokasi rapat. Mekeng memang
pernah diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi e-KTP sebelumnya. Dia
menyebut pemeriksaannya kali ini untuk melengkapi penyidikan Markus yang
segera dilimpahkan untuk penuntutan. Selain itu, Mekeng sempat berbicara soal
anggaran proyek e-KTP yang menurutnya ditentukan oleh pemerintah. Mekeng
menyatakan DPR hanya membahas dan kemudian menyetujui anggaran itu.
 Selasa, 25/6/2019. Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly
diperiksa KPK sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dengan
tersangka Markus Nari. Yasonna mengaku ditanya soal risalah rapat saat dirinya
duduk di Komisi II DPR.. Selain Yasonna, mantan Anggota DPR yang juga eks
Menpan-RB Taufiq Effendi juga diperiksa sebagai saksi untuk Markus. Dia
mengatakan dirinya ditanya soal rapat di DPR. Dia menyatakan tak ada uang yang
diberikan saat proses pembahasan anggaran perpanjangan proyek e-KTP.
 Rabu, 2/10/2019. Dalam sidang pengadilan mantan anggota DPR Markus Nari,
terdapat beda keterangan antara 2 saksi yang terlibat. Dua saksi itu adalah Andi
Agustinus alias Andi Narogong (menyatakan tidak pernah member uang kepada
Markus) dan Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (menyatakan pernah memberi uang
kepada Markus). Andi merupakan pihak swasta dalam pusaran kasus itu,
sedangkan Irvanto adalah keponakan Setya Novanto yang berperan sebagai
perantara aliran uang.
 Senin,21/10/2019. Markus Nari hadir sebagai terdakwa dalam persidangan di
Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia membantah pernah menerima uang hasil korupsi
proyek e-KTP. Mantan anggota DPR itu malah mengomentari keterangan
terdakwa-terdakwa sebelumnya yang berubah-ubah. Awalnya Markus mengaku
pernah mengikuti rapat dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
membahas proyek e-KTP ketika bertugas di Komisi II DPR. Markus
menyampaikan bila pembahasan dilakukan dengan Sugiharto, mantan pejabat
Kemendagri yang telah divonis dalam kasus korupsi e-KTP tersebut.
 Senin, 28/10/2019. Markus Nari menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Eks anggota DPR Markus Nari dituntut 9 tahun penjara karena diduga menerima
uang proyek e-KTP. Markus menyebut kasus yang dituduhkan kepadanya tak ada
buktinya.
 Senin, 11/11/2019. Markus Nari kembali menjalani sidang di Pengadilan Tipikor
Jakarta. Eks anggota DPR Markus Nari divonis 6 tahun penjara karena terbukti
melakukan pidana korupsi dengan memperkaya diri dari proyek e-KTP. Markus
Nari membantah menerima uang USD 400 ribu dan mengatakan bahwa majelis
hakim kurang mempertimbangkan banyak hal. Atas vonis penjara 6 tahun yang di
berikan oleh hakim, Markus Nari juga mengajukan upaya banding. Hal itu
disampaikan kuasa hukum Markus Tommy Sihotang.
8. Keterangan saksi ahli:
 Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Yunus Husein menyebut aktor di balik pengaturan aliran uang korupsi proyek e-
KTP mengkombinasikan empat modus tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Modus-modus itu dipakai untuk menyamarkan asal-usul uang. Berikut 5 modus
TPPU yang disebutkan Yunus:
1) Bersembunyi dalam perusahaan yang dikuasai pelaku
2) Penyalahgunaan perusahaan sah tanpa izin perusahaan
3) Pemakaian identitas palsu
4) Memanfaatkan kemudahan di negara lain seperti membuat perusahaan
5) Membeli atau menggunakan aset tanpa nama, seperti uang tunai, emas,
perhiasan, dan lukisan
Yunus kemudian mengatakan, dalam perkara korupsi e-KTP, ada penggunaan 4
dari 5 modus itu, yaitu nomor 1, 2, 4, dan 5. Keempatnya dikombinasikan secara
terencana. "Jadi kalau ini saya lihat ada empat modus dikombinasikan. Patut
diduga ini direncanakan karena memahami transaksi ini perlu informasi lengkap
dan membuat puzzle yang baik. Ini uang pergi ke mana dan ke siapa saja. Kami
lihat ini ada kesengajaan," ucap Yunus. "Selama kasus ini diperlukan cara-cara
sehingga asal-usulnya tersembunyi, tersamarkan, dengan cara-cara seperti ini.
Mencari asal-usulnya susah. Karena, setelah diterima, (uang) diputar-putar lagi,
jadi ada modus-modus TPPU yang dipakai," imbuh Yunus.
 Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo mengatakan sistem
kontrak tahun jamak atau multi years contract bukanlah sesuatu yang haram. Hal
itu disampaikan Agus usai menjalani pemeriksaan di KPK terkait korupsi proyek
e-KTP yang sistem kontraknya multi years. "Multi years contract ini bukan
sesuatu yang salah. Justru multi years contract itu diperlukan karena multi years
contract itu tidak terkait dengan anggaran, tetapi terkait dengan program atau
proyek yang kalau mau dikerjakan, pengerjaannya lebih dari satu tahun," kata
Agus usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi di KPK, Jalan Kuningan Persada,
Jakarta Selatan, Jumat (17/5/2019). Agus menyebutkan untuk proyek e-KTP,
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mengajukannya dengan sistem
itu. Agus yang saat itu menjabat sebagai Menkeu memberikan persetujuan. "Betul
di dalam proyek itu ada permohonan dari Kementerian Dalam Negeri untuk
meminta persetujuan multi years contract dan setelah dilakukan pembahasan,
telaah, dan semua dokumen dipenuhi, disetujui oleh Menteri Keuangan," kata
Agus. "Tapi yang ingin saya ingin katakan, multi years contract itu adalah sesuatu
yang lazim dan memang harus ada, karena kalau seandainya kita tidak punya
persetujuan multi years contract, kontrak atau proyek yang baru dikerjakan satu
tahun kemudian tahun berikutnya terpaksa harus dilakukan tender lagi oleh
kontraktor, bisa-bisa kontraktornya kontraktor yang beda," imbuh Agus.
Berdasarkan kabar terbaru dari kasus E-KTP, tim penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemeriksaan empat saksi terkait dugaan
megakorupsi e-KTP. Empat saksi yang dijadwalkan hadir yakni mantan Dirut PT Pura Barutama,
Yohanes Moelyono; Dirut PT Pura Barutama Yohanes Slamet; karyawan PT Pura Barutama,
Suwandi Utomo; dan karyawan PT Pura Barutama, Susan Suhartini.

C. PENGUMPULAN BUKTI AUDIT

Berikut ini bukti-bukti yang telah dikumpulkan auditor selama proses investigasi kasus E-KTP:
1. Bukti terkait tersangka Setya Novanto :
 Keterangan dari ahli
Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia Bob Hardian mengatakan,
dari 150 juta keping Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP), baru 7,4
juta keping yang sudah diverifikasi. Padahal, proses verifikasi penting untuk
memastikan kebenaran data pada setiap keping e-KTP.
 Keterangan saksi
Dari keterangan Rizwan diketahui bahwa keponakan Setya Novanto yaitu Irvanto
Hendra Pambudi Cahyo menggunakan PT Inti Valuta Money Changer dan PT
Perka Langgeng Abadi untuk memindahkan uang senilai US$ 2,6 juta dari
Mauritius ke Singapura. Dari pemindahan uang tersebut, dua perusahaan tadi
dapat fee sebesar Rp 100 per dollar atau senilai Rp 260 juta yang dibagi dengan
persentase 60% atau senilai Rp 156 juta untuk PT Inti Valuta Money Changer dan
40% atau senilai Rp 104 juta untuk PT Perka Langgeng Abadi.
 Bukti surat
KPK sebagai termohon dalam gugatan praperadilan Setya Novanto akan
melakukan pembuktian melalui dokumen-dokumen yang berupa akta perjanjian,
surat tentang pembayaran, termin-termin pembayaran, juga berita acara
pemeriksaan saksi baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
2. Bukti terkait tersangka Sugiharto (ketua panitia lelang proses pengadaan e-KTP) :
 Bukti surat
Berupa surat kontrak pada 1 Juli 2011 dan surat jaminan penerimaan uang Rp 50
juta.
 Keterangan Saksi
Sugiharto terima US$200. Mantan staf Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Yosep Sumartono membeberkan, ia sendiri yang mengambil uang dari Johannes
Marliem medio pada April-Mei 2011. Yosep menemui Johannes di Mal Grand
Indonesia atas perintah Sugiharto. Yosep mengaku ada juga uang dari Direktur PT
Quadra Solution Ahmad Fauzi sebesar US$100 ribu untuk Sugiharto. Uang itu
dibawa langsung ke rumah Yosep pada 2011.
3. Bukti terkait tersangka Markus Nari :
 Keterangan Saksi
Keterangan keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo ihwal
pemberian uang sebesar US$1 juta yang diberikan di ruang kerja mantan Ketua
DPR Setya Novanto. Dalam pemberian itu, Irvanto menyebut Markus ditemani
Ketua Fraksi Partai Golkar Melchias Marcus Mekeng.
 Bukti surat
Salinan BAP Markus dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.
 Bukti Kendaraan
Penyitaan mobil Toyota Land Cruiser warna hitam.
4. Bukti terkait tersangka Anang Sugiana Sudihardjo :
 Keterangan Saksi
KPK telah memeriksa puluhan saksi untuk menyelesaikan pemberkasan Anang.
Saksi yang dihadirkan berasal dari pengacara, pegawai money changer BOSS dan
sejumlah karyawan swasta. Total ada 60 yang saksi telah diperiksa. Unsur saksi
lainnya karyawan PT Softorb Technology Indonesia.
 Bukti surat
Anang turut terlibat mengarahkan dan mengkondisikan proses lelang bersama
Andi Agustinus Narogong, yakni membuat dokumen penawaran dan spesifikasi
teknis yang telah disetujui oleh panitia lelang agar konsorsiumnya dimenangkan
panitia lelang.
5. Bukti terkait tersangka Andi Narogong:
● Keterangan saksi
Bekas Direktur PNRI Isnu Edhy Wijaya memberikan kesaksian ihwal proyek e-
KTP dalam persidangan dengan terdakwa mantan pejabat Kementerian Dalam
Negeri, Irman dan Sugiharto. Isnu mengaku Irman memintanya berkoordinasi
dengan Andi untuk proyek e-KTP. Menurut dia, Andi berperan penting dalam
mengumpulkan pihak yang kompeten untuk proyek tersebut, seperti Johannes Tan
dan Paulus Tanos. Konteks pertemuannya adalah untuk memenangkan proyek e-
KTP.
● Bukti surat
KPK menemukan barang bukti elektronik dan nomor dokumen pada saat
melakukan penggeledahan di kediaman Andi dan kedua adiknya di daerah
Cibubur.
6. Bukti terkait Irman:
● Keterangan saksi
Diah Anggraini pada kesaksiannya mengatakan bahwa ia mendapat uang dari
Irman sebesar US$ 300 ribu pada 2013 dan berniat mengembalikannya sepekan
kemudian.
● Bukti elektronik
Yakni percakapan diduga Novanto dengan sejumlah pihak, termasuk Irman,
Sugiharto, dan Andi Narogong terkait dugaan rencana mencatut anggaran proyek
KTP-el.
Bukti-bukti lain yang terkumpul antara lain:
1. Alat bukti surat, meliputi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Miryam, tulisan tangan
Miryam saat dimintai keterangan dalam penyidikan, dan konsep atau revisi BAP oleh
Miryam.
2. Alat bukti saksi. Sejumlah orang, kata Setiadi, telah diperiksa, antara lain Elsa Syarief
Dalam perkara Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Yosep Sumartono dalam
perkara terdakwa kasus korupsi KTP-el Irman dan Sugiharto.
3. Alat bukti petunjuk. Rekaman video kesaksian Miryam persidangan Tipikor kasus KTP-
elektronik dan rekaman pemeriksaan saat penyidikan jadi modal tambahan KPK menjerat
Miryam.
4. Alat bukti lainnya. Pengusulan anggaran e-KTP yang tadinya menggunakan PHLN
(Pinjaman dan Hibah Luar Negeri) untuk diubah menjadi rupiah murni. Menurut surat
Dakwah KPK, penggunaan APBD sebagai sumber anggaran proyek e-KTP adalah bagian
dari grand design, agar 51% dari APBD dapat dipergunakan untuk belanja modal dan
49% nya untuk dibagi-bagikan. Selain itu, penggunaan teknologi kartu e-KTP tidak
sesuai dengan proposal yang diajukan. Ada ketidaksesuaian antara teknologi kartu dan
teknologi perangkat pembaca e-KTP. Teknologi yang dipakai sesuai proposal adalah iris
technology, mata, tetapi kemudian yang banyak dilakukan selama ini menggunakan
finger (jari).

D. PERKEMBANGAN PELAKSANAAN AUDIT

Kronologi Awal

● Laporan kepada KPK tanggal 23 Agustus 2013.


Pihak kepolisian mengabarkan bahwa mereka mencurigai terjadinya korupsi pada proyek
e-KTP. Kecurigaan itu berangkat dari laporan konsorsium yang kalah tender yang
menyatakan bahwa terjadi ketidaksesuaian prosedur yang dilakukan oleh panitia saat
lelang tender berlangsung. Kecurigaan adanya praktek korupsi pada proyek e-KTP juga
dirasakan oleh Government Watch (GOWA) yang berbuntut pada laporan kepada KPK
pada 23 Agustus 2011. Mereka berspekulasi bahwa telah terjadi upaya pemenangan
terhadap satu konsorsium perusahaan dalam proses lelang tender berdasarkan investigasi
yang telah dilakukan sejak Maret hingga Agustus 2011.

● Pada tanggal 31 Juli 2013 Mohammad Nazaruddin juga memaparkan adanya indikasi
korupsi terhadap proyek e-KTP. Saat diperiksa oleh KPK terkait kasus Hambalang, ia
menyerahkan bukti-bukti terkait korupsi e-KTP. Lewat pengacaranya, Elza Syarief, ia
juga menuding telah terjadi penggelembungan dana pada proyek e-KTP. Dari total
proyek sebesar RP 5,9 triliun, 45% di antaranya merupakan mark-up. Ia juga mengatakan
bahwa Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto dan mantan Ketua Umum Partai
Demokrat Anas Urbaningrum terlibat dalam kasus ini.

Perkembangan Kasus

● Setelah menyelidiki kasus lebih lanjut, pada Selasa, 22 April 2014 KPK akhirnya
menetapkan Sugiharto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal
Kependudukan dan Catatan Sipil pada Kementerian Dalam Negeri sebagai tersangka
pertama dalam kasus korupsi e-KTP. Sugiharto diduga melakukan penyalahgunaan
wewenang dan melakukan suap pada proyek e-KTP di DPR untuk tahun anggaran 2011-
2013, melanggar Pasal 2 Ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Ia juga
diperkaya dengan uang senilai 450.000 dollar AS dan Rp 460 juta.

● Untuk mengusut kasus ini lebih dalam KPK kemudian melanjutkan pemenuhan berkas-
berkas dengan memeriksa berbagai saksi terkait kasus e-KTP di Kementerian Dalam
Negeri pada 25 April 2014. Beberapa di antaranya adalah Drajat Wisnu Setyawan,
Pringgo Hadi Tjahyono, Husni Fahmi, dan Suciati. Sugiharto pun tak luput dari
pemeriksaan oleh KPK pada 14 Juli 2014 dan 18 Mei 2015. Pada waktu bersamaan KPK
juga memeriksa para pegawai Kemendagri dan pihak swasta seperti Pamuji Dirgantara,
karyawan Misuko Elektronik dan Andreas Karsono, karyawan PT Solid Arta Global
sebagai saksi.

● Per 30 September 2016, KPK menetapkan mantan Direktur Jenderal Dukcapil


Kemendagri Irman sebagai tersangka. Motifnya melakukan korupsi serupa dengan
Sugiharto, yakni demi memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melakukan
penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan surat tuntutan jaksa, Irman diperkaya senilai
573.000 dollar AS, Rp2,9 miliar dan 6.000 dollar Singapura.

● Pada 19 Oktober 2016 KPK melakukan penahanan terhadap Sugiharto setelah melakukan
pemeriksaan selama 4 jam di Gedung KPK. Ia ditahan di Rumah Tahanan Guntur.
Berbeda dengan Sugiharto, Irman justru baru ditahan oleh KPK pada 21 Desember 2016
setelah mengalami pemeriksaan selama 12 jam. Untuk kepentingan penyelidikan, Irman
dijebloskan ke rumah tahanan selama 20 hari ke depan. Walau ditetapkan sebagai
tersangka, Irman mengajukan surat permohonan sebagai justice collaborator untuk
membongkar kejahatan pada proyek e-KTP.

● Pada 8 Februari 2017 KPK mengumumkan bahwa mereka telah menemukan bukti terkait
keterlibatan anggota DPR dalam kasus korupsi e-KTP. Mereka kemudian menghimbau
kepada siapa saja yang menerima aliran dana tersebut untuk mengembalikannya ke
negara. Dua hari kemudian, tepatnya pada 10 Februari 2017 KPK menerima uang sebesar
Rp250 miliar dengan rincian Rp220 miliar berasal dari sejumlah korporasi, satu
perusahaan dan satu konsorsium sedangkan Rp30 miliar berasal dari anggota DPR
periode 2009-2014 dan beberapa orang lainnya. Penyerahan uang itu dilaksanakan usai
pemeriksaan sejumlah saksi oleh KPK. Mereka yang kooperatif kemudian mengirimkan
uang kepada rekening KPK khusus penyidikan.

● Perkembangan kasus e-KTP kemudian bergulir pada terjadinya pelimpahan kasus e-KTP
ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi oleh KPK pada 1 Maret 2017. Berkas
tersebut merupakan berkas atas nama Sugiharto sebanyak 13 ribu lembar dan atas nama
Irman sebanyak 11 ribu lembar yang mencakup berita acara pemeriksaan tersangka dan
saksi. Dalam berkas tersebut terdapat keterangan dari 294 saksi atas nama Sugiharto, 173
saksi atas nama Irman dan keterangan dari lima orang ahli.

Penetapan tersangka ketiga.

● Untuk menindaklanjuti pelimpahan berkas oleh KPK, Pengadilan Negeri Tindak Pidana
Korupsi kemudian mengadakan sidang. Sidang perdana terkait kasus korupsi e-KTP di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diadakan pada Kamis, 9 Maret 2017.

Setelah mengumpulkan berbagai fakta dan petunjuk pada tiga sidang sebelumnya, KPK
memutuskan untuk menetapkan tersangka ketiga setelah Irman dan Sugiharto, yakni Andi
Narogong. Penetapan dilakukan pada Rabu, 23 Maret 2017. Penyidik KPK menangkap
Andi Narogong untuk pemeriksaan lebih lanjut melalui Surat Perintah Dimulainya
Penyidikan (Sprindik).

Berdasarkan penyelidikan KPK, Andi ditetapkan sebagai tersangka karena ia berperan


dalam meloloskan anggaran Rp 5,9 triliun untuk pembuatan KTP elektronik dan agar
rencananya lancar, ia juga membagikan uang kepada para petinggi dan anggota komisi II
DPR serta Badan Anggaran. Andi juga berperan dalam mengatur tender dengan
membentuk tim Fatmawati, sesuai dengan lokasi rukonya serta terlibat dalam merekayasa
proses lelang, mulai dari menentukan spesifikasi teknis hingga melakukan
penggelembungan dana dalam pengadaan KTP elektronik.

● Pada 30 Maret 2017 Pengadilan Negeri menggelar sidang keempat. Sidang kali ini
menghadirkan 7 saksi, di antaranya adalah Miryam S Haryani, Ganjar Pranowo, Agun
Gunanjar Sudarta dan mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Pada sidang
keempat terjadi pengakuan yang kontradiktif antara Miryam S Haryani dengan Novel
Baswedan. Saat diperiksa di KPK, berdasarkan penuturan Novel, Miryam mengaku
bahwa telah dilakukan pemberian uang kepada anggota DPR RI. Akan tetapi, saat
persidangan Miryam justru membantah berita acara persidangan yang dituturkan Novel
sebelumnya. Miryam menjelaskan bahwa ia merasa ditekan oleh penyidik saat itu
sehingga ia mengarang isi berita acara persidangan. KPK terus melakukan konfrontasi
tapi Miryam tetap menyanggah. Menurut Novel, Miryam melakukan sanggahan karena
adanya ancaman beberapa anggota DPR RI periode 2009-2014. Temuan lainnya dalam
sidang kali ini adalah adanya pengakuan dari Sugiharto tentang pemberian uang darinya
kepada Miryam sebanyak empat kali dengan total 1,2 juta dollar AS yang pada akhirnya
disangkal pula oleh Miryam. Setya Novanto mengatakan Gubernur Jawa Tengah Ganjar
Pranowo menerima aliran dana proyek e-KTP. Setya Novanto mengungkap hal tersebut
saat Ganjar Pranowo bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor.

● Pengadilan kembali menggelar sidang lanjutan pada Senin, 3 April 2017. Kali ini 9 orang
saksi hadir untuk memberikan petunjuk-petunjuk baru terhadap kasus ini, salah satunya
adalah Nazaruddin. Terdapat beberapa temuan baru pada sidang ini. Menurut penuturan
Nazar, Anas Urbaningrum terlibat dalam menikmati uang untuk proyek e-KTP, seperti
biaya pemenangan Anas dalam Kongres Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat 2010.
Nazar juga menjelaskan bahwa Anas telah menerima uang sebesar Rp 20 miliar dari Andi
Narogong. Masih menurut pengakuan Nazar, Jafar Hafsah juga telah menerima uang
sebesar 100.000 dollar AS dari Andi Narogong dan Khatibul Umam Wiranu telah
menerima uang sebesar 400.000 dollar AS.
Kecurangan lelang dan rekayasa konsorsium

● Pada 6 April 2017. Sidang keenam menghadirkan delapan saksi, di antaranya adalah
Anas Urbaningrum, Markus Nari dan Setya Novanto. Pada sidang kali ini Novanto
membantah terlibat dalam proyek e-KTP, terlebih dalam menerima uang sebesar Rp
547,2 miliar. Pun dengan Anas dan Markus yang membantah bahwa mereka telah
menerima uang dari proyek e-KTP.

● Hasil dari sidang ketujuh yang digelar pada 10 April 2017 adalah terdapat pengakuan dari
anggota tim teknis Kementerian Dalam Negeri tentang pembagian uang. Namun mereka
menyebutnya sebagai uang transportasi dan uang lembur. Di samping itu mereka juga
mengaku bahwa mereka tidak menjalankan rekomendasi yang Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) sarankan berupa sembilan lingkup
pekerjaan dalam proyek e-KTP yang tidak digabungkan.

● Sidang kedelapan yang berlangsung pada Kamis, 13 April 2017 yang dihadiri 10 saksi,
KPK menemukan fakta bahwa tim teknis e-KTP sempat dikirim ke AS lalu diberikan
uang sebesar 20.000 dollar AS pada 2012 dan terjadi pemberian uang oleh kakak Andi
Narogong yakni Dedi Prijanto kepada tim teknis e-KTP. Dalam sidang tersebut juga
terkuak tentang keanehan pada proses lelang tender karena dalam proses lelang
konsorsium tidak melampirkan sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001 sesuai persyaratan.

● Hasil yang didapatkan pada sidang kesembilan yang digelar pada 17 April 2017 adalah
adanya temuan bahwa tim teknis e-KTP mengaku diperintah untuk meloloskan
konsorsium dalam proses lelang padahal sebenarnya tidak memenuhi syarat. Sugiharto
dan Irman menjadi dua nama yang bertanggung jawab atas hal ini.

● Pada sidang kesepuluh yang dihadiri oleh 6 saksi pada Kamis, 20 April 2017, KPK
menemukan fakta-fakta baru terkait kasus e-KTP. Nama Setya Novanto disebut telah
mendapat bagian sebesar 7 persen dari proyek e-KTP berdasarkan penuturan tim IT
proyek e-KTP, Johanes Richard Tanjaya yang saat itu menjadi saksi. Hal itu juga diakui
oleh Irvanto Hendra Pambudi yang tak lain adalah keponakan dari Setya Novanto.
Sementara itu menurut penuturan Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Andi
Narogong memang sengaja dalam membuat tiga konsorsium dalam proyek e-KTP. Dari
ketiga konsorsium tersebut, Andi telah mempersiapkan satu konsorsium pemenang
lelang, yakni Konsorsium PNRI sedangkan konsorsium Astragraphia dan Murakabi
hanya sebagai pendamping.

● Nama Setya Novanto kembali disebut pada sidang kesebelas yang berlangsung pada 27
April 2017. Selain adanya keterlibatan Irvan Pambudi, keponakan Setya Novanto, dalam
sidang itu terungkap bahwa salah satu saksi, yakni Presiden Direktur PT Avidisc Crestec
Interindo, Wirawan Tanzil menolak bergabung dalam konsorsium untuk proyek e-KTP
karena ada nama Setya Novanto. Sementara itu mantan anggota Badan Anggaran DPR,
Olly Dondokambey bersaksi bahwa proyek e-KTP dipenuhi oleh para calo dari Badan
Anggaran DPR dan menyanggah tentang terjadinya penerimaan uang sebesar 1,2 juta
dollar AS dalam proyek e-KTP. Fakta lain yang ditemukan adalah terjadinya kecurangan
karena konsorsium E-KTP memilih perangkat lunak yang tak lolos uji kompetensi.
Adapun pada sidang keduabelas yang digelar pada 4 Mei 2017 ditemukan fakta bahwa
Andi Narogong memegang andil terhadap pengaturan proyek e-KTP.

Peran Markus Nari dan Anang Sugiana

● Per 19 Juli 2017, KPK telah menetapkan anggota DPR periode 2009-2014 sekaligus
politisi Partai Golkar, Markus Nari sebagai salah satu tersangka berdasarkan Pasal 3 atau
2 ayat 1 UU Nomor 31 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Alasan penetapan Markus sebagai tersangka adalah karena ia berperan dalam


penambahan anggaran e-KTP di DPR dan diduga meminta uang sebanyak Rp 5 miliar
kepada Irman dalam pembahasan perpanjangan anggaran e-KTP sebesar Rp 1,4 triliun.
Di samping itu ia juga diduga telah menerima uang sebesar Rp 4 miliar, berupaya
menghalangi penyidikan yang dilakukan oleh KPK dalam menguak kasus e-KTP dan
diduga memengaruhi anggota DPR Miryam S Haryani untuk memberikan keterangan
yang tidak sesuai dengan kenyataan.

● Pada 27 September 2017 KPK menetapkan Anang Sugiana Sudiharjo, direktur utama PT
Quadra Solutions sebagai tersangka keenam pada kasus megakorupsi e-KTP. Anang
terbukti terlibat dalam penyerahan sejumlah uang kepada Setya Novanto dan anggota
DPR lainnya dari Andi Narogong. Pada 9 November 2017 KPK melakukan penahanan
terhadap Anang.

2018

● Pada Selasa 26 Juni 2018 KPK mengaku akan segera melakukan finalisasi berkas untuk
tersangka Mantan Direktur Utama PT Murakabi Sejahtera, Irvanto Hendra Pambudi
dalam kasus dugaan korupsi e-KTP. Untuk merampung berkas Irvanto, sejauh ini, KPK
telah memeriksa sekitar 115 saksi. Terkait unsur-unsur dari 115 saksi yang telah
diperiksa KPK adalah anggota DPR-RI baik yang masih aktif ataupun sudah mantan,
mantan menteri dalam negeri, pejabat dan PNS Kemendagri, pegawai LKPP dan BPPT,
pengurus DPD partai di jawa tengah swasta, serta Notaris/PPAT. Setelah perampungan
berkas Irvanto, kata Febri, KPK berharap dapat segera melakukan tahap baru dalam
kasus e-KTP.

Sementara itu dalam rangka merampungkan berkas Irvanto, hari ini KPK melakukan
pemeriksaan terhadap beberapa politisi Partai Demokrat, antara lain Nurhayati Ali
Asegaf, Marzuki Ali, Taufiq Efendi, Djamal Aziz Attamini, dan pengusaha Alexander
W. Saksi-saksi tersebut masih akan bertambah sesuai dengan kepentingan pemeriksaan
KPK.

● Pada persidangan Senin 30 Juli 2018 Anang Sugiana Sudihardjo dinyatakan terlah
terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindakan korupsi. Hakim
menyebutkan Anang, yang ingin mengikuti proyek e-KTP, bertemu Ketua Konsorsium
PNRI Isnu Edhi Wijaya. Dalam pertemuan itu, Isnu menyampaikan bahwa proyek e-
KTP yang dikerjakan Kemendagri milik Andi Narogong.

Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, didakwa turut melakukan korupsi proyek e-KTP.
Selain Irvanto, orang kepercayaan Novanto yaitu Made Oka Masagung juga didakwa
bersama-sama dengan Irvanto. Khusus untuk Novanto, Irvanto disebut jaksa menerima
USD 3,5 juta dengan cara barter uang melalui perusahaan penukaran uang atau money
changer. Selain itu, Made Oka juga menerima USD 1,8 juta dan USD 2 juta yang
ditujukan untuk Novanto.

● Pada Kamis, 13 September 2018, Jaksa eksekusi pada Unit Kerja Pelacakan Aset,
Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) melakukan pemindahbukuan dari
rekening Setya Novanto di Bank Mandiri ke rekening KPK untuk kepentingan
pembayaran uang pengganti sebesar Rp1.116.624.197. Pemindahbukuan tersebut
dilakukan Jaksa Eksekusi setelah mendapat surat kuasa dari Setya Novanto. Setya
Novanto menyatakan akan kooperatif untuk membayar uang pengganti. Sebelumnya,
Novanto sudah melunasi denda Rp 500 juta rupiah terkait hukumannya yang terbukti
melakukan korupsi e-KTP. Namun Novanto belum menyelesaikan pembayaran uang
pengganti sebesar USD 7.3 juta.

● Putusan pengadilan pada 5 Desember 2018 menyatakan Irvanto Hendra Pambudi Cahyo
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-
sama. Terdakwa divonis 10 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengdilan Tindak
Pidana Korupsi Jakarta. Keponakan mantan Ketua DPR Setya Novanto itu juga
dihukum membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

Irvanto terbukti merekayasa proses lelang dalam proyek pengadaan Kartu Tanda
Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Irvanto juga terbukti menjadi perantara suap
untuk sejumlah anggota DPR RI. Irvanto dinilai secara langsung maupun tidak
langsung, turut serta memenangkan perusahaan tertentu dalam pengadaan e-KTP.

2019
● KPK melanjutkan penyidikan kasus e-KTP dengan tersangka Markus Nari. Kali ini,
KPK memanggil mantan Sekretaris Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil
(Sesdirjen Dukcapil) Triyuni Soemartono sebagai saksi.

Markus Nari merupakan salah satu dari delapan tersangka e-KTP yang diproses KPK.
Penyidikan untuk Markus Nari sempat vakum usai ketujuh tersangka lainnya menjalani
persidangan dan divonis bersalah oleh pengadilan Tipikor.

Dalam perkara ini, Markus Nari diduga menerima uang untuk memuluskan pembahasan
anggaran perpanjangan proyek pada tahun anggaran 2013. KPK menduga Markus Nari
menerima Rp 4 miliar yang diserahkan oleh Sugiharto yang kini menjadi terpidana
kasus e-KTP.

● Pada 7 Mei 2019 KPK melakukan penyitaan terhadap satu mobil Toyota Land Cruiser
warna hitam yang diduga milik Markus Nari dan dimaksudkan sebagai barang bukti.
KPK menyatakan pihaknya akan menelusuri asal uang pembelian mobil tersebut untuk
mengetahui apakah mobil itu dibeli dari uang dugaan korupsi e-KTP atau tidak.

● Rabu 8 Mei 2019 KPK memeriksa mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan
Fauzi terkait kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Dia diperiksa sebagai saksi untuk
tersangka Markus Nari. Selain memanggil Gamawan, KPK memanggil Sekjen DPR
Indra Iskandar. Dia juga dipanggil sebagai saksi untuk Markus Nari.

● Anggota DPR dari Fraksi Golkar, Markus Nari menjalani pemeriksaan perdana setelah
ditahan KPK pada Selasa 9 April 2019.

● Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo diperiksa KPK sebagai saksi kasus dugaan
korupsi e-KTP dengan tersangka Markus Nari pada Selasa 10 Mei 2019. Dalam proses
pemeriksaan Ganjar ditanyai soal anggaran. Ganjar, yang merupakan mantan pimpinan
Komisi II DPR, menyebut pembahasan anggaran dilakukan bersama mitra Komisi II,
yaitu Kementerian Dalam Negeri. Saat itu, kata Ganjar, ada kebutuhan untuk
pencetakan e-KTP di sekitar 100 kabupaten sehingga dibutuhkan tambahan anggaran.

● KPK menetapkan 4 tersangka baru dalam pusaran kasus korupsi proyek e-KTP.
Keempat tersangka itu, disebut KPK, memiliki peran yang berbeda-beda.

Pada Selasa 13 Agustus 2019, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi
pers di kantornya mengatakan, dalam perkembangan proses penyidikan dan setelah
mencermati fakta-fakta yang muncul di persidangan hingga pertimbangan hakim, KPK
menemukan bukti permulaan yang cukup tentang keterlibatan pihak lain dalam dugaan
korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk
Kependudukan Secara Nasional atau KTP Elektronik.

Empat tersangka yang dijerat adalah:


- Miryam S Haryani sebagai anggota DPR periode 2014-2019;
- Isnu Edhi Wijaya sebagai Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik
Indonesia (PNRI) dan Ketua Konsorsium PNRI;
- Husni Fahmi sebagai Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP; dan
- Paulus Tannos sebagai Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra.

● Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin 11 November 2019, menyatakan bahwa
Markus Nari terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Markus Nari divonis 6 tahun
penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Markus bersalah
memperkaya diri sendiri USD 400.000 dari proyek e-KTP.

2020

● Pada 23 Juni 2020 Penyidik KPK mengungkapkan telah memanggil mantan Sekjen
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Diah Anggraeni terkait kasus korupsi proyek
e-KTP. Diah bakal diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Ketua Konsorsium
Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhi Wijaya. Selain Diah, KPK
memanggil staf Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Husni Fahmi, yang juga merupakan tersangka dalam kasus ini.
Husni juga dipanggil sebagai saksi untuk Isnu.

2021

● 1 Desember 2021, Penyidik KPK memeriksa eks Direktur Utama Perum Percetakan
Negara Republik Indonesia (PNRI), Isnu Edhi Wijaya (ISE), terkait kasus korupsi
proyek e-KTP. Isnu diperiksa sebagai tersangka korupsi pengadaan e-KTP.

Ali menyebut penyidik mendalami posisi dan peran Isnu selaku Dirut Perum PNRI
maupun pimpinan Konsorsium PNRI dalam pelaksanaan lelang. Selain itu, peran Isnu
dalam pelaksanaan pembagian pekerjaan proyek e-KTP kepada anggota konsorsium
turut didalami penyidik.

2022

● Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua tersangka kasus dugaan korupsi
terkait pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk
Kependudukan secara nasional (KTP-elektronik) atau e-KTP. Keduanya, yakni mantan
Dirut Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya dan mantan Staf Pusat
Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) Husni Fahmi.

Untuk kepentingan penyidikan, tersangka ISE dan HSF dilakukan penahanan selama 20
hari, terhitung 3 Februari 2022. Kedua tersangka tersebut ditahan di Rutan Cabang KPK
pada Pomdam Jaya Guntur.

● KPK kini masih punya utang untuk menahan satu buron tersangka korupsi e-KTP, yakni
Paulus Tannos. Deputi Penindakan KPK meyakini perjanjian ekstradisi Indonesia dan
Singapura bisa membantu KPK melacak para buron, termasuk Harun Masiku. Paulus
diketahui terakhir terlacak berada di Singapura. Karyoto mengatakan KPK juga tentu
akan mengejar buron lainnya setelah ekstradisi tersebut dijalin.

E. PELAPORAN HASIL INVESTIGASI

1. Pelaporan Hasil Investigasi Pada Kasus E-KTP

Kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP dinilai sebagai kasus yang masif dan sangat
terstruktur. Diduga, proyek itu direncanakan untuk dapat dikorupsi. Babak baru kasus e-KTP
dimulai di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Kamis 9 maret 2017, Mantan Dirjen Dukcapil
Kemendagri Irman dan anak buahnya yang bernama Sugiharto didakwa terlibat kasus yang
diduga merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun itu.

1) Mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal


Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil
Kemendagri) Sugiharto ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-
KTP pada Selasa 22 April 2014. Tersangka yang telah mendapatkan status justice
collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam
sidang e-KTP itu juga diperkaya sebesar 450.000 dollar AS dan Rp460 juta. Ia telah
divonis terbukti bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan hukuman 5
tahun penjara dan membayar denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.
2) Pada Jumat 30 September 2016, mantan Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman
ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Menurut jaksa,
Irman bersama-sama dengan Sugiharto terlibat dalam pemberian suap terkait proses
penganggaran proyek e-KTP untuk tahun anggaran 2011-2013. Irman yang
merupakan atasan Sugiharto itu diperkaya sebesar 573.700 dollar AS, Rp 2,9 miliar
dan 6.000 dollar Singapura. Ia divonis 7 tahun penjara dan membayar denda Rp500
juta subsider 6 bulan kurungan.
3) Pada Kamis 23 Maret 2017, KPK menetapkan Andi Agustinus atau yang dikenal
sebagai Andi Narogong sebagai tersangka ketiga pada kasus e-KTP. Ia yang
merupakan pengusaha pelaksana proyek e-KTP. Hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Andi Narogong delapan tahun penjara. Andi
yang berperan sebagai pengatur tender proyek e-KTP itu diwajibkan membayar denda
RP1 miliar atau menggatikannya dengan hukuman enam bulan kurungan.
4) Pada Senin 17 Juli 2017, mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya
Novanto ditetapkan sebagai tersangka keempat korupsi proyek e-KTP. Ketua KPK
Agus Rahardjo menerangkan bahwa Setya Novanto diduga memiliki peran dalam
proses pengadaan e-KTP. Diantaranya, perencanaan, pembahasan anggaran, hingga
pengadaan barang dan jasa melalui tersangka lainnya yaitu Andi Narogong. Pada
tanggal 24 April 2018, Setya Novanto divonis 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta
subsider 3 bulan kurungan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Jakarta.
5) KPK menetapkan Markus Nari sebagai tersangka kelima dalam kasus e-KTP pada
Rabu 19 Juli 2017. Politikus Partai Golongan Karya (Golkar) itu ditetapkan sebagai
tersangka terkait kasus dugaan merintangi proses penyidikan dan memberikan
keterangan tidak benar pada persidangan perkara korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada tanggal 2 Oktober 2020, Plt Juru Bicara
KPK Ali Fikri mengatakan eksekusi terhadap Markus Nari merupakan pelaksanaan
putusan Mahkamah Agung RI yang menjatuhi hukuman 8 tahun penjara dan denda
Rp300 juta subsider 8 bulan kurungan pada tingkat kasasi. MA juga menjatuhkan
hukuman membayar uang pengganti sebesar 900.000 dollar AS yang jika tidak
dibayar diganti dengan 3 tahun penjara. Hukuman tambahan lain yang dijatuhkan
kepada Markus adalah pencabutan hak untuk menduduki jabatan public selama 5
tahun terhitung setelah menjalani masa pidana.
6) KPK menahan Anang Sugiana Sudihardjo yang merupakan Direktur Utama PT
Quadra Solution, salah satu perusahaan yang tergabung dalam konsorsium pemenang
proyek pengadaan e-KTP, tahun anggaran 2011-2012. Ia ditetapkan sebagai tersangka
kasus korupsi e-KTP pada Rabu 27 September 2017. Pada tanggal 28 Juni 2018, Jaksa
Komisi KPK menuntut eks Direktur PT Quadra Solution Anang Sugianan Sudihardjo
dengan hukuman 7 tahun penjara dengan denda 1 miliar subside 6 bulan kurungan.
Selain itu, Jaksa menuntut Anang membayar uang pengganti sebesar Rp39 miliar
paling lambat sebulan setelah divonis hukum. Jika tidak bisa membayar, maka harta
bendanya disita dan akan dilelang. Tetapi jika hasil lelang tidak mencukupi, maka
hukumannya ditambah 7 tahun penjara.
7) KPK mengeksekusi Irvanto Hendra Pambudi ke lapas Sukamiskin, Bandung Jawa
Barat. Irvanto divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi E-KTP. Pada tanggal
17 Desember 2018, dilakukan eksekusi terhadap Irvanto. Sesuai putusan Pengadilan
Tipikor, Jakarta Pusat, Irvanto dijatuhkan hukuman atas kasus korupsi E-KTP selama
10 tahun penjara dengan denda 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
8) Teman rekan Irvanto Hendra Pambudi, Made Oka Massangung juga terbukti
melakukan tindak pidana korupsi E-KTP. KPK mengeksekusi pengusaha Made Oka
ke Lapas Kelas I Tangerang. Berdasarkan putusan Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat,
Made Oka dan Irvanto terbukti memperkaya orang lain, yaitu Setya Novanto. Menurut
hakim, keduanya memperkaya mantan ketua DPR RI itu sebesar USD 7,3 juta. Hakim
pun menjatuhkan hukuman terhadap Made Oka 10 tahun penjara dan denda 500 juta
subsider 3 bulan kurungan.

2. Dampak Terjadinya Kasus Korupsi E-KTP


Adapun dampak dari terjadinya kasus korupsi E-KTP dalam berbagai bidang, yaitu:
1. Bidang Ekonomi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan bahwa kerugian Negara akibat
kasus mega korupsi E-KTP adalah sebesar 2,3 triliun. Hal ini akan menambah tingkat
kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial karena dana pemerintah yang
seharusnya untuk rakyat justru masuk ke kantong para pejabat dan orang-orang yang
tidak bertanggung jawab lainnya. Kebiajakan-kebijakan pemerintah yang tidak
optimal ini akan menurunkan kualitas pelayanan pemerintah dalam berbagai bidang.
2. Bidang Demokrasi
Beberapa ahli berpendapat bahwa korupsi E-KTP cederai Demokrasi, hal ini
dikarenakan absennya E-KTP akan membuat warga Negara kesulitan untuk
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, karena setidaknya ada 3 aturan dalam
Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menyebutkan E-KTP
sebagai syarat.
3. Bidang Pelayanan Medis
Tanpa E-KTP warga akan kesulitan dalam mendapat pelayanan medis, khususnya
untuk menjadi peserta BPJS, dalam hal ini data peserta BPJS harus sesuai E-KTP,
karena tidak hanya Nomor Induk Kependudukan (NIK), data BPJS kesehatan juga
harus mengacu pada sidik jari dan iris mata sebagaimana yang telah terekam dalam
E-KTP.

3. Upaya Pencegahan Kasus Korupsi E-KTP

Adapun upaya pencegahan kasus korupsi E-KTP, yaitu:

1. Lingkungan Pencegahan
 Tata Kelola Pemerintah yang Bersih (Good Governance)

Pemerintah yang baik adalah sikap dimana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat
yang diatur oleh berbagai tingkatan pemerintahan Negara yang berkaitan dengan sumber-
sumber social, budaya, politik, serta ekonomi. Dalam praktiknya pemerintahan yang
bersih (Clean Governance ), adalah model pemerintahan yang efektif, efisien,, jujur,
transparan, dan bertanggung jawab, dengan menerapkan asas : Transparency,
Accountability, Responsibility, Independency, Fairness, Participation, Rule of law,
strategic vision. Kontrol masyarakat akan berdampak pada tata pemerintahan yang baik
dan efektif (Good Governance) dan bersih (Clean Governance), bebas dari praktik KKN.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip
pokok good governance, setidaknya dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas
program, yakni :

a) Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan.


Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan rakyat, MPR, DPR, dan DPRD,
mutlakdilakukan dalam rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol
jalannya pemerintahan.
b) Kemandirian lembaga peradilan,
c) Profesionalitas dan intergritas aparatur pemerintah,
d) Penguatan partisipasi
e) Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah.
 Tone At The Top

Sikap pemimpin harus mempunyai integritas yang tinggi untuk tidak terlibat dan
membudayakan tindakan anti fraud. Upaya dan komitmen pencegahan fraud harus
berasal dari pimpinan terlebih dahulu. Setya Novanto selaku Ketua DPR dan berada pada
posisi puncak seharusnya menjadi contoh bagi anggotanya untuk tidak melakukan fraud.
Namun justru dia yang menjadi pelaku fraud. DPR sebagai lembaga kontrol pemerintah
seharusnya menjadi role model bagi terwujudnya pemerintahan yang bersih, namun
nyatanya DPR menjadi lembaga paling korup berdasarkan survei Global Corruption
Barometer (GCB) yang dirilis Transparency International Indonesia (TII), pada 7 Maret
2017.

2. Persepsi Deteksi
Beberapa cara untuk meningkatkan persepsi deteksi meliputi:
 Pengawasan (Surveillance)
Idealnya, strategi atau sistem pencegahan melalui mekanisme pengawasan yang
efektif itu mulai bisa diberlakukan sejak proses perencanaan proyek, kelayakan, penghitungan
anggaran proyek, tahap lelang, pelaksanaan atau realisasi proyek hingga tahap memonitor
spesifikasi material proyek. Mekanisme pencegahan sekaligus pengawasan ini sudah bisa
diterapkan berkat dukungan teknologi informasi. Sejumlah perusahaan besar swasta asing
menggunakan teknologi dimaksud sejak perencanaan proyek, kalkulasi anggaran hingga
pengontrolan spesifikasi material proyek. Pada kasus proyek E-KTP yang bermasalah, KPK
tentu menemukan beberapa modus.
Kasus proyek E-KTP mencerminkan lemahnya pengawasan lintas instansi.
Lemahnya koordinasi pengawasan lintas instansi mendorong perilaku tidak peduli pada aspek
prudent (kehati-hatian). Pada tahap persetujuan dan pencairan anggaran proyek ini, jelas bahwa
aspek prudent diabaikan. Kalau saja pengawasan lintas instansi terkoordinasi dengan efektif,
kasus proyek E-KTP pasti tidak pernah ada.
 Surprise Audit
Surprise Audit efektif untuk meningkatkan Persepsi Deteksi. Operasi Tangkap
Tangan (OTT) yang dilakukan KPK akan sangat bermanfaat mencegah sebelum sebuah
kejahatan menjadi besar. OTT KPK dapat sampai ke level Kementrian, dan apabila saat itu KPK
datang untuk melakukan audit dadakan, besar kemungkinan kasus E-KTP akan terungkap lebih
cepat.

3. Pendekatan Klasik

Tinjauan pendekatan klasik terhadap pengurangan pencurian, penipuan, dan


penggelapan sangat membantu dalam mengembangkan program pencegahan dan pengendalian
kecurangan secara efektif. Pendekatan klasik untuk E-KTP adalah sebagai berikut :
 Pendekatan Perintah / Instruksi (Directive Approach)
Sebenarnya dalam hal ini, para pejabat yang terlibat dalam kasus E-KTP telah
disumpah untuk dapat melakukan pekerjaannya dengan jujur dan menjauhi tindakan suap dan
korup, namun hal ini tetap tidak menghentikan mereka untuk tidak berbuat curang. Presiden
sebagai kepala pemerintahan dalam hal ini telah berkali-kali menegaskan bahwa pelaksanaan
proyek pemerintahan harus dilakukan secara jujur dan jauh dari suap dan korupsi
 Pendekatan Pencegahan (Preventive Approach)
Perlu dilakukannya kajian menyeluruh mengenai pejabat pemerintahan yang
terlibat dalam pengadaan lelang Proyek E-KTP dengan peserta lelang. Perlu dipastikan bahwa
tidak ada hubungan khusus antara peserta lelang dengan pejabat penyelenggara lelang.

 Pendekatan detektif (Detective Approach)


Sedari awal haruslah melibatkan BPK dalam proses penyelenggaraan lelang
mengingat bahwa proyek ini bernilai besar, melibatkan banyak pihak serta proses yang rumit
sehingga rawan terjadi fraud.
 Pendekatan Observasi (Observation Approach)
BPK yang sedari awal harus dilibatkan dapat memantau perubahan gaya hidup
dari pejabat penyelenggara lelang. Perubahan gaya hidup Setya Novanto, dapat digunakan
sebagai tanda awal untuk mencegah kerugian fraud yang semakin banyak.
 Pendekatan Investigasi (Investigative Approach)
Investigasi dilakukan sebagai tindak lanjut dari ketidakwajaran yang terjadi di
dalam kasus Proyek E-KTP, sebagai contoh adanya hubungan khusus antara penyelenggara
lelang dengan peserta lelang Proyek E-KTP.
4. Ukuran Pencegahan Lain
 Pemeriksaan Latar Belakang (Backgroundcheck)

Seperti yang sudah dipaparkan di atas sebelum di lanjutkannya proses lelang E-


KTP, perlu dilakukan pemeriksaan latar belakang oleh BPK terkait ada tidaknya hubungan
khusus antara pejabat yang terkait penyelenggaraan proyek E-KTP dengan peserta lelang.
Pemeriksaan ini berguna untuk mencegah terjadinya kolusi didalam lelang sehingga pemenang
lelang ditetapkan dengan cara yang tidak sah.

 Hasil Audit Reguler Kasus E-KTP (Reguler Audit)


 Siklus Akuntansi (Accounting Cycle)
Adapun tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah memeriksa seluruh
posisi laporan keuangan seluruh peserta lelang kemudian membandingkannya dengan posisin
laporan keuangan perusahaan setelah lelang di tutup. Apabila terdapat pengeluaran kas atau cek
dalam jumlah besar namun dengan catatan akuntansi yang tidak kuat, maka selanjutnyua auditor
dapat segera melakukan audit investigasi untuk membuktikan apakah transaksi tersebut telah
disajikan wajar atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai